PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama
pilihan Allah swt yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia
mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an,
bacaan sempurna lagi mulia. Tiada bacaan semacam Al-Qur’an yang dibaca oleh
ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis
dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja,
dan anak-anak. Bahkan orientalis H.A.R. Gibb sebagaimana yang dikuti oleh M.
Quraish Shihab pernah menulis bahwa tidak ada seorang pun dalam seribu lima
ratus tahun ini telah memainkan “alat” bernada nyaring yang demikian mampu
dan berani, serta demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang
dibaca Muhammad saw (Al-Qur’an).1
Allah swt berfirman dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia yang telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Mengapa iqra’ merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal
beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Kata iqra’
terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”, sehingga tidak selalu harus
diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”. Dari menghimpun lahir
aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik tertulis maupun tidak.2
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-7, h. 3
2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat... h. 5
Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah cirri-ciri sesuatu, bacalah
alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak
tertulis. Alhasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkaunya.3 Meski demikian, penting juga memiliki kemampuan membaca teks
tertulis khususnya teks Al-Qur’an yang memang banyak keutamaannya jika
dibaca baik mengerti ataupun tidak akan maknanya. Tidak sedikit keterangan-
keterangan yang menyatakan keutamaan membaca Al-Qur’an, di antaranya firman
Allah swt dalam surat Faathir ayat 29- 30 yang berbunyi:
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat... h. 5
4
M. Shahib Thahar, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2007).
5
Djalaludin, Metode Tunjuk Silang Belajar Membaca Al-Qur’an, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), cet.
Ke-6, h. 3.
kian hari semakin memprihatinkan khususnya di kalangan remaja. Kondisi ini
diduga disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya orientasi berpikir
masyarakat kita yang mengarah kepada pemikiran pengetahuan praktis dan dapat
menunjang kehidupan duniawi. Maka tidak aneh jika pengajaran membaca Al-
Qur’an kalah bersaing dengan pengetahuan lainnya. Selain itu, kesempatan yang
jarang, metode yang berangsur kurang diminati, dan aksara bahasa Arab yang
dianggap sulit, turut menjadi faktor penyebab menurunnya kuantitas umat Islam
yang mampu membaca Al-Qur’an.6
Para ulama terdahulu telah membuktikan betapa pentingnya belajar membaca Al-
Qur’an sejak usia dini. Sehingga mereka mampu menghafal keseluruhan isi Al-
Qur’an pada usia yang sangat muda. Imam Syafi’i mampu menghafal Al-Qur’an
pada usia tujuh tahun, Ibnu Sina pada usia sepuluh tahun,dan Sahl bin Abdullah
At-Tustari mampu menghafalnya pada usia enam atau tujuh tahun.7
Meskipun mempelajari ilmu tajwid sebagai disiplin ilmu adalah fardhu kifayah
atau kewajiban kolektif, namun hukum membaca Al-Qur’an dengan memakai
aturan-aturan hukum tajwid ialah fardhu ‘ain. Hal ini tidaklah bertentangan
dengan firman Allah swt., pada surat Al-Muzammil ayat 4 yang berbunyi “...wa
rattilil qur’ana tartiilaa”8 (“…Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil”). Meski
demikian, bukan berarti kita enggan membaca Al-Qur’an dengan dalih belum
menguasai ilmu tajwid. Tetapi kita dituntut untuk terus mempelajarinya hingga
sampai pada tahap mampu.
Sedemikian pentingnya membaca Al-Qur’an, sehingga sudah saatnya pihak-pihak
yang terkait membuka mata untuk berperan aktif dalam memberantas buta aksara
Al-Qur’an. Kemudian muncul pertanyaan, siapakah yang berperan aktif dalam
mengatasi kesulitan membaca Al-Qur’an setelah diketahui betapa pentingnya
kemampuan tersebut dimiliki setiap muslim? Untuk menjawab pertanyaant
ersebut, penulis mengutip sabda Rosulullah saw., yang berbunyi :
6
Djalaludin, Metode Tunjuk Silang Belajar Membaca Al-Qur’an... h. 4-7.
7
M. Nur Abduh Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rosulullah, (Bandung: Al Bayan, 1997), cet. Ke-1,
h. 145.
8
Acep Iim Abdurohim, Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro,
2004), cet. Ke-10, h. 2-6.
“Dari Abi Abdirahman dari Utsman bin ‘Affan Rasulullah saw bersabda:
Sebaik-baik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya” (HR. Imam At-Turmudzi)9
Dari sabda nabi di atas, secara eksplisit dapat dipetik kesimpulan bahwa yang
sudah lebih dahulu mampu membaca Al-Qur’an, maka dia harus mengajarkannya
kepada yang belum memiliki kemampuan tersebut. Karena memang biasanya
yang memberikan pelajaran adalah orang yang lebih tahu atau mampu terlebih
dahulu daripada orang yang diajarkan. Memang jawaban ini belum sepenuhnya
menjawab pertanyaan di atas karena masih menyisakan pertanyaan, siapa atau
profesi apa atau lembaga apa yang harus berperan aktif dalam mengentas buta
huruf Al-Qur’an?
Seseorang dapat menerima pelajaran dari setiap yang ada di sekitarnya atau di
mana ia berada. Dia dapat belajar dari keluarga, sekolah, bahkan masyarakat.
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.
Namun, dalam tulisan yang sederhana ini penulis berusaha fokus hanya pada
lingkungan sekolah yang merupakan lembaga terbaik yang dapat membantu
remaja pada masa yang sensitif. Sekolah adalah lembaga penting yang memikul
tanggung jawab yang berat. Sekolah tidak hanya berkewajiban menyampaikan
ilmu, tetapi juga berkewajiban mendidik mental dan akhlak anak. 10 Maka tidak
berlebihan jika baik tidaknya seseorang dapat dilihat di mana ia bersekolah.
Di dalam sekolah pun banyak komponen yang mendukung berhasil atau tidaknya
proses pembelajaran. Salah satunya adalah guru yang merupakan bagian
komponen terpenting yang berperan aktif di sekolah. Dalam hal membaca Al-
Qur’an, tentu guru agama Islam bertanggung jawab akan hal tersebut, meski harus
bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang terkait. Sebab, mereka juga yang
berkewajiban menyampaikan pesan-pesan agama yang sekurang-kurangnya
meliputi tiga aspek, yaitu aspek iman yang meliputi seluruh rukun iman, aspek
9
Imam Turmudzi, Sunan At-Turmuzi, Juz X, (Bairut: Daarul Fikri, 1994), h. 149.
10
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Al-Huda, 2006), cet. Ke-1, h. 115.
ibadah yang meliputi rukun Islam, dan aspek akhlak. Dengan demikian, guru
agama Islam yang bertanggung jawab penuh atas kemampuan siswanya dalam hal
membaca Al-Qur’an. Paling tidak mereka yang bertugas membina dan memantau
perkembangan anak didikinya dalam kemampuan membaca Al-Qur’an.
Selain itu, guru agama Islam juga harus berusaha mengubah pandangan sebagian
orang seperti Mochtar Buchori yang dikutip oleh H. Muhaimin yang menilai
bahwa pendidikan agama masih gagal dikarenakan hanya memperhatikan aspek
kognitif, dengan mengabaikan aspek afektif dan konatif-volatif, yakni kemauan
dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.11
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian yang lebih
mendalam dan menuangkannya ke dalam bentuk skripsi yang berjudul “Peranan
Guru Agama Islam dalam Mengatasi Kesulitan Siswa Membaca Al-Qur’an
(Studi Kasus di TPA Mustabiqul Khairat Kel. Bataraguru Kec. Wolio Kota
Baubau)”.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah terdahulu, dapat diidentifikasi beberapa
masalah, di antaranya yaitu :
1. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya mengajarkan membaca
Al-Qur’an sejak usia dini pada anak.
2. Belum maksimalnya peranan sekolah dalam memfasilitasi anak untuk
belajar membaca Al-Qur’an.
3. Kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam membaca Al-Qur’an.
4. Peranan guru agama Islam yang belum terlihat signifikan dalam mengatasi
kesulitan siswa dalam membaca Al-Qur’an.
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis membatasi masalah yang akan diteliti
yaitu :
11
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. Ke-1, h. 23.
1. Menganalisa kesulitan-kesulitan yang dialami siswa TPA Mustabiqul
Khairat Kel. Bataraguru Kec. Wolio Kota Baubau dalam membaca Al-
Qur’an.
2. Menguraikan strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru agama
Islam dalam mengatasi kesulitan siswa dalam membaca Al-Qur’an.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang menjadi
fokos penelitian penulis adalah bagaimana peranan guru agama Islam dalam
mengatasi kesulitan siswa membaca Al-Qur’an.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), cet. Ke- 4, h. 377.
13
Jamal Ma’ruf Asmani, Tips menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (Jogjakarta: Diva Press,
2009), cet. Ke- 2, h. 20.
14
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Metodologi Pengajaran Agama Islam,
(Jakarta: T.Pn., 1983), h. 114
15
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
cet. Ke- 2, h. 74-75
“Menurut Oemar Hamalik sebagaimana yang dikutip oleh Martinis Yamin, guru
profesional harus memiliki persyaratan, di antaranya yaitu memiliki bakat sebagai
guru, memiliki keahlian sebagai guru, memilikikeahlian yang baik dan
terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman
dan pengetahuan yang luas, guru adalah manusia berjiwa Pancasila, guru adalah
seorang warga negara yang baik”.
Selanjutnya, penulis akan uraikan pembahasan mengenai pendidikan agama
Islam. Kata pendidikan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atai kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengjaran dan pelatihan.
Sedangkan agama di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
ajaran, system yang mengatur tata keimanan (keprcayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia serta lingkungannya.16
Memang tidak mudah untuk mendefinisikan kata agama, apalagi di dunia ini kita
menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang
terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu
sendiri. Beberapa ahli di dalamnya mencoba mendefinisikannya. Menurut Freezer,
agama adalah menyembah atau menghormati kekuatan yanglebih agung dari
manusia yang dianggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta dan
jalannya peri kehiduan manusia. ”Lain halnya dengan M. A. Tihami sebagaimana
yang dikutip oleh H. TB. Aat Syafaat yang mendefinisikan agama ke dalam
beberapa pengertian, di antaranya yaitu:
a. Al-Din (agama) menurut bahasa artinya keta’atan, ibadah, pembalasan,
dan perhitungan.
b. Menurut istilah syara’ agama ialah keseluruhan jalan hidup yang
ditetapkan Allah swt melalui lisan Nabi-Nya dalam bentuk
ketentuanketentuan (hukum).
c. Ketetapan Tuhan yang menyeru kepada makhluk yang berakal untuk
menerima segala sesuatu yang dibawa oleh rasul.
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia... h.12
d. Sesuatu yang menuntut makhluk berakal untuk menerima segala yang
dibawa oleh Rosulullah saw.”17
Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa agama ialah sesuatu yang
diperuntukkan kepada makhluk yang berakal yang meliputi perintah, anjuran,
larangan, dan petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Islam ialah agama yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad saw berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan ke
dunia melalui wahyu Allah swt. Sementara kata Islam itu sendiri berasal dari
bahasa Arab yang secara etimologi memiliki pengertian keselamatan, perdamaian,
dan penyerahan diri kepada Tuhan. Dari pengertian tersebut, setidaknya dapat
dipahami bahwa Islam merupakan agama yang memberikan petunjuk
keselamatan, yang senantiasa mengajarkan kedamaian di seluruh alam, dan
mengajarkan pemeluknya untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada pemilik
Islam itu sendiri.
Menurut Nasrudin Razak, agama Islam adalah addin yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw., yang diturunkan Allah swt., dan yang terdapat dalam sunnah
yang shahih, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjukpetunjuk
untuk kesejahteraan serta kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Mengenai pendidikan agama Islam, banyak para ahli yang mendefinisikannya.
Menurut Zakiyah Daradjat sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Majid dan Dian
Andayani, pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan
mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara
menyeluruh, lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan
serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.
Lain halnya menurut Tayar Yusuf (masih dalam kutipan yang sama), menurutnya
pendidikan agama Islam ialah usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan
pengalaman, pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan kepada generasi muda
agar kelak menjadi manusia bertakwa kepada Allah swt. Menurut Ahmad Tafsir,
17
TB. Aat Syafaat, S.Sos, M.Si., dkk., Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah
Kenakalan Remaja... h. 12-13
pendidikan agama Islam ialah bimbingan yang diberikan seseorang kepada
seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Mata pelajaran pendidikan agama Islam secara keseluruhan meliputi Al-Qur’an
dan Al-Hadits, keimanan, akhlak, fiqh ibadah, dan sejarah, sekaligus
menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup
perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan
Allah swt, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam
dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan
dan persatuan bangsa.
Dengan melihat penjelasan-penjelasan terdahulu, akhirnya bermuaralah kepada
sebuah kesimpulan akhir pada pembahasan ini bahwa guru agama atau guru
pendidikan agama Islam ialah seseorang yang mengemban tugas mengajar
sekaligus mendidik yang telah memiliki stratifikasi S-1 yang memegang mata
pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) dan terdaftar sebagai tenaga pendidik di
suatu lembaga pendidikan atau sekolah.
2. Kedudukan, Peran, dan Tugas Guru Agama
a. Kedudukan Guru Agama
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam adalah penghargaan Islam
yang sangat tinggi terhadap guru. Kedudukan orang ‘alim dalam Islam dihargai
tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara
megajarkan ilmu kepada orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai
oleh Islam. Maka tidak berlebihan jika dikatakan menjadi guru merupakan tugas
yang sangat mulia, terlebih guru agama Islam yang secara jelas menyampaikan
pesan-pesan Al-Qur’an meliputi akidah, akhlak, dan ibadah yang
memang dahulu tugas tersebut diemban oleh Rosulullah saw. Dengan demikian,
guru merupakan mitra Rosulullah saw., yang meneruskan perjuangannya
menyampaikan kebenaran baik yang tersurat maupun tersirat di dalam Al-Qur’an.
Tingginya kedudukan guru, terlebih guru agama Islam, merupakan realisasi ajaran
Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, sementara pengetahuan itu
sendiri didapat dari proses belajar mengajar sehingga terjadi interaksi antara yang
diajar dengan yang mengajar, dalam hal ini yang mengajar adalah guru. Maka
tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru. Tingginya kedudukan guru dalam
Islam masih dapat disaksikan secara nyata pada zaman sekarang. Hal tersebut
dapat dilihat terutama di pesantren-pesantren Indonesia. Santri bahkan tidak
berani menantang sinar mata kyainya, sebagian lagi membungkukkan badan
ketika menghadap kyainya.18
Guru adalah actor penting kemajuan peradaban bangsa ini yang tidak cukup hanya
sekadar transfer of knowledge (memindah ilmu pengetahuan) dari sisi luarnya
saja, tetapi juga transfer of value (memindah nilai) dari sisi dalamnya. Perpaduan
dalam dan luar inilah yang akan mengokohkan bangunan pengetahuan, moral, dan
kepribadian murid dalam menyongsong masa depannya. Kalau sekadar memindah
ilmu pengetahuan, masa depan murid akan terancam. Sebab, moralitas dan
integritas mereka rapuh, mudah terombang-ambing badai topan modernisasi yang
menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsu hedonisme. Namun, jika hanya
memindah nilai tanpa mentransfer keilmuan yang memadai, mereka terancam
pada gelombang salju dan tembok tebal kemiskinan, pengangguran, dan
keterbelakangan. Keduanya penting dan harus berjalan seiring, tidak boleh ada
yang dimarginalkan dari yang lain.19
Selain itu, kedudukan guru ditengah masyarakat pun dijadikan sebagai teladan dan
rujukan masyarakat sekitar. Di sinilah nilai strategis seorang guru untuk selalu
berpijak pada jalan yang benar, tidak menyimpang, sesuai dengan ajaran agama
yang suci, adat istiadat yang baik, dan aturan pemerintah.
Sedemikian mulianya kedudukan guru di hadapan Allah swt., dan di mata
masyarakat, maka sudah seharusnya seseorang yang mengambil jalan hidup
sebagai guru menjaga citra baik tersebut dengan tidak menodai kemuliaan profesi
18
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam... h. 76-77
19
Jamal Ma’ruf Asmani, Tips menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif... h.77-78
guru dengan sikap dan perbuatannya yang dapat mengundang kebencian Allah
swt dan masyarakat.
b. Peran dan Tugas Guru Agama
Peran dan tugas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk membuktikan
peran, seseorang harus melakukan tugas-tugas yang diembannya. Begitu pun
seorang guru, untuk menunjukkan eksistensinya sebagai pendidik, maka dia harus
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru.
Menurut M. Uzer Usman, peran guru agama dalam kegiatan belajar mengajar
adalah serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam
situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan
perkembangan peserta didik yang menjadi tujuannya.20
Menurut Jamal Ma’mur Asmani dalam bukunya Tips Menjadi Guru Inspiratif,
Kreatif, dan Inovatif, fungsi dan tugas guru sebagai berikut:
1) Educator (pendidik)
Tugas pertama guru adalah mendidik murid-murid sesuai dengan materi pelajaran
yang diberikan kepadanya. Jelaslah bahwa guru agama adalah pendidik, yakni
pendidik agama. Ia bertugas menanamkan ide keagamaan ke dalam jiwa anak.
Perasaan cinta agama yang terdapat pada guru, besar pengaruhnya terhadap
perasaan cinta anak kepada apa yang diberikan olehnya.21
2) Leader (pemimpin)
Sebagai pemimpin kelas, guru harus bisa menguasai, mengendalikan, dan
mengarahkan kelas menuju tercapainya tujuan pembelajaran yang berkualitas.
Sebagai pemimpin, guru juga harus terbuka, demokratis, dan menghindari cara-
cara kekerasan. Begitu pun seorang guru agama, ia harus bisa mengarahkan
murid-muridnya untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam di dalam kehidupan
sehari-hari.
3) Fasilitator
Sebagai fasilitator, guru bertugas memfasilitasi murid untuk menemukan dan
mengembangkan bakatnya secara pesat. Guru tidak boleh mendikte anak didiknya
20
M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 3
21
Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama terhadap Pemecahan Problema Remaja... h. 56
untuk menguasai satu bidang. Anak harus dibiarkan mengeksplorasi potensinya
dan memilih potensi terbaik yang dimiliki sebagai jalur hidupnya di masa depan.
Di sinilah guru agama bertugas memberikan arahan atau bimbingannya agar anak
didiknya tidak salah memilih dan tetap memegang nilainilai ajaran Islam.
4) Motivator
Sebagai motivator, seorang guru harus mampu membangkitkan semangat dan
mengubur kelemahan anak didik bagaimanapun latar belakang hidup keluarganya,
bagaimanapun masa lalunya, dan bagaimanapun berat tantangannya. Akan tetapi,
ada hal yang harus diperhatikan dalam memberikan motivasi oleh guru agama, ia
tidak hanya memotivasi hal-hal yang bersifat duniawi, tetapi juga harus
memperhatikan hal-hal yang bersifat ukhrowi.
5) Administrator
Tugas administrator sudah melekat dalam diri seorang guru, mulai dari melamar
sampai diterima menjadi seorang guru dengan bukti surat keputusan yayasan,
surat instruksi kepala sekolah, dan lain sebagainya. Dalam proses pembelajaran,
guru harus mengabsen siswa, mengisi jurnal kelas, dan membuat laporan berkala
sesuai dengan sistem administrasi sekolah. Pada saat ujian, ia harus membuat soal,
mengawasi, mengoreksi, memberikan nilai raport kepada wali kelas, dan lain
sebagainya.
6) Evaluator
Sebaik apapun kualitas pembelajaran, pasti ada kelemahan yang harus dibenahi
dan disempurnakan. Di sinilah pentingnya evaluasi seorang guru. Dalam evaluasi
ini, guru bisa memakai banyak cara, di antaranya dengan merenungkan sendiri
proses pembelajaran yang diterapkan, meneliti kelemahan dan kelebihan, atau
meminta pendapat orang lain seperti kepala sekolah, guru lain, atau murid-
muridnya.22 Demikian pula dengan guru agama, ia harus mengevaluasi hasil
proses pembelajarannya. Apakah anak didiknya sudah menguasai teori yang telah
diberikan dan mempraktikannya ke dalam kehidupan sehari-hari? Atau baru hanya
menguasai secara teori saja? Sebab, yang terpenting dari ajaran agama adalan
pengamalannya. Dari pengamalan akan melahirkan pengalaman.
22
Jamal Ma’ruf Asmani, Tips menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif... h.39 - 54
Dalam pergaulannya di masyarakat, guru agama pun mempunyai beberapa peran
penting, di antaranya yaitu:
1) Pengatur irama
Dalam kehidupan sosial, potensi masyarakat sangat banyak, bervariasi, dan
kompleks. Potensi tersebut ada pada generasi tua dan muda, kalangan kelas atas,
menengah, dan bawah. Di sinilah peran guru sebagai pengatur irama, harus jeli
membaca potensi seseorang dan menempatkannya pada posisi yang tepat, agar
menghasilkan “bunyi orkestra” yang enak dan indah didengar.
2) Penengah konflik
Dalam kehidupan bermasyarakat, masalah adalah bagian dari variasi kehidupan
sehari-hari. Setiap orang pasti mempunyai masalah dan belum tentu mampu
memecahkan masalahnya sendiri dengan solusi yang tepat. Banyak di antara
mereka yang justru menyelesaikan masalah dengan emosional sehingga dengan
mudah menghakimi orang lain. Akibatnya, kehidupan sosial menjadi kurang
harmonis. Di sinilah peran guru sebagai penengah konflik. Sebagai guru agama,
tentunya solusi yang diberikan harus tetap dalam koridor ajaran Islam.
3) Pemimpin kultural
Peran-peran di atas dengan sendirinya menempatkan seorang guru sebagai
pemimpin kultural, pemimpin yang lahir dan muncul dari bawah secara alami
berkat potensi, aktualisasi, dan kontribusi besarnya dalam pemberdayaan potensi
masyarakat. Ia akan menjadi tempat rujukan berbagai problem yang berkembang
di masyarakat, menjadi figur pemersatu, sumber ilmu yang disenangi oleh semua
kalangan, dan selalu senang memberikan motivasi bagi kemajuan masyarakat.
Dalam semua situasi, seorang guru harus selalu menghiasi dirinya, lahir dan batin,
dengan kejujuran dan keteladanan yang menjadi sumber kepercayaan masyarakat.
Ketulusan, semangat pengorbanan, dan senang melihat kebahagiaan orang lain
membuatnya semakin dicintai rakyat.23 Dipandang sebagai profesi, tentunya guru
agama memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Adapun tugas profesional
guru agama adalah sebagai berikut:
23
Jamal Ma’ruf Asmani, Tips menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif... h.208 - 211
1) Guru agama harus dapat menetapkan dan merumuskan tujuan
instruksional dan target yang hendak dicapai.
2) Guru agama harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai berbagai
metode yang dapat digunakan dalam situasi yang sesuai.
3) Guru agama harus dapat memilih bahan dan alat bantu serta menciptakan
kegiatan yang dilakukan anak didik dalam pengalaman pelajaran agama.
4) Guru agama harus dapat menetapkan cara-cara penilaian setiap hasil sesuai
dengan target.24
Zakiah Daradjat dalam bukunya Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam
menyebutkan tiga macam tugas guru agama, yaitu:
1) Tugas pengajaran
Sepanjang sejarah keguruan, tugas guru yang sudah tradisional adalah
“mengajar”. Karenanya sering orang salah duga bahwa tugas guru hanyalah
semata-mata mengajar. Sebenarnya, sebagai pengajar guru bertugas membina
perkembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
2) Tugas bimbingan
Bagi guru agama, pemberian bimbingan meliputi bimbingan belajar dan
bimbingan sikap keagamaan. Pemberian bimbingan dimaksudkan agar setiap
murid disadarkan mengenai kemampuan dan potensi diri murid yang sebenarnya
dalam kapasitas belajar dan bersikap.
3) Tugas administrasi
Dalam hal adminitrasi, guru bertugas mengelola kelas atau menjadi manajer
interaksi belajar. Mengajar dengan pengelolaan yang baik, guru akan lebih mudah
mempengaruhi murid di kelasnya dalam rangka pendidikan dan pengajaran agama
Islam khususnya.25
3. Kompetensi Guru Agama
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi diartikan sebagai
kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).26 Ada juga
24
Abu Ahmad, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Bandung: Amrico, 1986), h. 100
25
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1995), cet.
Ke- 1, h. 264 - 268
26
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia... h. 584
yang mengartikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dengan
demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas
guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk
penguasaan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap profesional dalam
menjalankan fungsi sebagai guru.
Pembahasan mengenai guru agama telah penulis uraikan pada pembahasan
sebelumnya. Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi guru agama adalah kompetensi yang harus dimiliki
oleh setiap guru agama yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dapat mendukung dalam menyampaikan materi pada mata pelajaran agama
(Islam) di setiap satuan pendidikan.
Zakiah Daradjat menyebutkan paling tidak ada tiga kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru, baik guru agama maupun guru umum, yaitu:
a. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian pada seorang guru harus dikembangkan terusmenerus
agar guru terampil dalam:
1) Mengenal dan mengakui harkat dan potensi dari setiap individu atau murid
yang diajarkannya.
2) Membina suatu suasana sosial yang meliputi interaksi belajar-mengajar
sehingga amat menunjang secara moral terhadap murid bagi terciptanya
kesepahaman dan kesamaan arah dalam pikiran serta perbuatan murid dan
guru.
3) Membina suatu perasaan saling menghormati, saling bertanggung jawab,
dan saling mempercayai antara guru dan murid.
b. Kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran
Kompetensi penguasaan meliputi bahan bidang studi sesuai dengan kurikulum
dan bahan perdalaman aplikasi bidang studi. Kesemuanya ini amat perlu dibina
karena selalu dibutuhkan dalam:
1) Menguraikan ilmu pengetahuan atau kecakapan dan apa-apa yang harus
diajarkannya ke dalam bentuk komponen-komponen dan informasi-
informasi yang sebenarnya dalam bidang ilmu ayau kecakapan yang
bersangkutan.
2) Menyusun komponen-komponen atau informasi-informasi tersebut
sedemikian rupa baiknya sehingga akan memudahkan murid untuk
mempelajari pelajaran yang diterimanya.
c. Kompetensi dalam cara-cara mengajar
Kompetensi dalam cara-cara mengajar atau keterampilan mengajar diperlukan
dalam:
1) Merencanakan atau menyusun setiap program satuan pelajaran, demikian
pula merencanakan atau menyusun keseluruhan kegiatan untuk satu satuan
waktu.
2) Mempergunakan atau mengembangkan media pendidikan bagi murid
dalam proses belajar yang diperlukannya.
3) Mengembangkan dan mempergunakan semua metode mengajar sehingga
terjadilah kombinasi dan variasi yang efektif.27
Di dalam Buku Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Pasal 28 dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki
pendidik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta anak usia dini
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional,
dan kompetensi sosial.28
Demikian juga Prof. Dr. Ramayulis menyatakan bahwa ada empat kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru agama, di antaranya yaitu:
a. Menguasai substansi, yakni materi dan kompetensi berkaitan dengan mata
pelajaran yang dibinanya, sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
b. Menguasai metodologi mengajar, yakni metodik khusus untuk mata
pelajaran yang dibinanya.
c. Menguasai teknik evaluasi dengan baik.
27
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam... h. 263 - 264
28
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:
Fokusmedia,2009)
d. Memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral dan kode etik
profesi.29
Syaikh Muhammad Said Mursi pun menyebutkan 12 sifat yang harus dimiliki
oleh seorang pendidik guna menunjang keberhasilan dalam mencapai tujuan,
yaitu:
1. Memberikan keteladanan
2. Mempunyai hubungan yang baik dengan Allah SWT.
3. Berjiwa besar dan bercita-cita tinggi
4. Mencintai dan dicintai
5. Mengendalikan diri
6. Banyak membaca
7. Mempunyai pengetahuan khusus
8. Penyayang
9. Mampu menyelami dunia anak
10. Berkomunikasi dengan wali murid
11. Mempunyai tujuan jelas
12. Memberikan hasil.30
Dengan demikian, jelaslah bagi setiap guru agama yang terdaftar di setiap satuan
pendidikan untuk lebih memperhatikan dan mengembangkan lagi kompetensi-
kompetensi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dalam mengajar.
Selain itu, perlu juga melatih diri agar mempunyai kepribadian yang baik hiangga
layak menjadi teladan bagi muridnya.
29
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. Ke-5, h. 60-
61
30
Syaikh Muhammad Said Mursi, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet.
Ke- 1, h. 285 - 301
cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Proses
pembelajaran disebut juga keterpaduan antara konsep belajar dan mengajar yang
akhirnya melahirkan konsep pembelajaran. Belajar dan mengajar merupakan dua
aktivitas yang saling keterkaitan satu dengan yang lain dalam proses
pembelajaran. Belajar mengacu kepada apa yang dilakukan siswa, sedangkan
mengajar mengacu kepada apa yang dilakukan oleh guru. Dua kegiatan tersebut
menjadi terpadu pada saat terjadi interaksi antara guru dan murid dalam proses
pembelajaran.31
Makna mengajar awalnya masih diartikan sebagai aktivitas pemberian bimbingan
kepada siswa yang mengacu kepada apa yang dilakukan guru. Pandangan
paedagogis dan ilmuan pendidikan di awal paroan ke-2 abad ke-20 sudah
berkembang menuju model pendidikan yang berpusat pada siswa, hanya saja
keterlibatan dan peran guru masih sangat besar dalam proses pengajaran.
Itulah bagian-bagian yang dikritik oleh para ilmuwan pendidikan di akhir abad ke
20 dengan memberi peluang yang sebesar-besarnya pada siswa untuk belajar.
Seperti kritik yang dilontarkan Paulo Freire yang dikutip oleh Dede Rosyada
terhadap pengajaran dengan model pembelajaran pasif, yakni guru menerangkan,
murid mendengarkan, guru bertanya, murid menjawab, dan seterusnya. Paulo
Freire menyebutnya dengan pendidikan gaya bank, yakni pendidikan model
deposito, guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai
pengalamannya pada siswa, sementara siswa hanya menerima dan mencatat
semua yang disampaikan guru. Pendidikan dengan model seperti ini menurut
Freire merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap siswa, karena
menghambat kreativitas dan pengembangan potensi siswa.32
Oleh sebab itu, pengertian mengajar pun berubah seiring dengan pergeseran masa.
Seperti pendapat Kenneth D Moore dikutip oleh Dede Rosyada dalam bukunya
Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam
Menyelenggarakan Pendidikan yang menyatakan bahwa mengajar adalah sebuah
tindakan dari seseorang yang mencoba untuk membantu orang lain mencapai
31
Annisatul Mufarokah, Strategi Belajar Mengajar, (Yogyakarta: Teras, 2009), cet. Ke-1, h. 25
32
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam
Menyelenggarakan Pendidikan... h. 89
kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya.
Pandangan ini didasari oleh sebuah paradigma bahwa tingkat keberhasilan
mengajar bukan pada seberapa banyak ilmu yang disampaikan guru kepada siswa,
melainkan seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar dan
memperoleh segala sesuatu yang ingin diketahuinya, guru hanya memfasilitasin
parasiswanya untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya.
Kemudian kata membaca memiliki arti melihat serta memaknai isi dari apa yang
tertulis dengan melisankan atau hanya dalam hati.33 Sedangkan Al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah swt yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca,
dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat
manusia.34
Secara etimologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata Al-
Qur’an. Di antara mereka ada yang menulisnya tanpa huruf hamzah (dibaca Al-
Quraan) dan ada pula yang menulisnya dengan memakai huruf hamzah (dibaca
Al-Qur’an). Pendapat yang pertama dapat dilihat dari pernyataan Imam Syafi’I
yang dikutip oleh A. Chaerudji Abdul Chalik yang menyatakan bahwa kata Al-
Qur’an ditulis tanpa huruf hamzah dan tida diambil dari kata apapun. Ia
merupakan kata yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi
Muhammad saw., sebagaimana nama Injil dan Taurat yang dipakai khusus untuk
kitab-kitab Tuhan yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa as., dan Nabi
Musa AS.35
Berbeda dengan Subhi al-Shaleh dalam kutipan A. Chaerudji Abdul Chalik yang
menyatakan bahwa kata Al-Qur’an itu masdar dan sinonim/ murodif dengan kata
qiro’ah yang berarti bacaan. Menurutnya kata qara’a yang berarti membaca
adalah berasal dari bahasa Arami. Tetapi ketika Al-Qur’an diturunkan, kata
tersebut telah baku menjadi bahasa Arab. Kemudian Islam mempergunakan kata
Al-Qur’an itu untuk nama kitab sucinya.36
33
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia... h. 83
34
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia... h. 33
35
A. Chaerudji Abdul Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Diadit Media, 2007), cet. Ke-1, h. 39
36
A. Chaerudji Abdul Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an... h. 40-41
Secara terminologi pun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Subhi Al-Shaleh yang dikutip oleh A. Chaerudji Abdul Chalik berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah kalamullah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw., yang termaktub dalam mushaf-mushaf yang dinukilkan
daripadanya dengan jalan mutawatir yang dianggap bernilai ibadah membacanya.
Di dalam Kamus Agama, makna Al-Qur’an yang populer di kalangan umat ialah
nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada nabi-Nya yang bernama
Muhammad saw., yang tertulis dalam mushaf. Sedangkan menurut ulama ahli
kalam, Al-Qur’an adalah kalimat-kalimat yang gaib dan azali, sejak dari awal Al-
Fatihah sampai An-Naas, yaitu lafal-lafal yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan,
baik secara inderawi, khayali, ataupun secara lain-lain, yang tersusun pada sifat
Allah yang Qadim.37
Prof. M.T. Thahir Abdul Mu’in sebagaimana yang dikutip oleh Humaidi
Tatapangarsa menyatakan bahwa Al-Qur’an ialah firman Allah swt., yang
disampaikan kepada rasul-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril dengan
berangsur-angsur, yang akan disampaikan kepada umatnya dengan mutawatir dan
sebagai tanda kerasulan Muhammad saw., dengan mengandung mu’jizat dan
sebagai petunjuk bagi manusia dalam menuju ketinggian/ kemuliaan hidup
dengan jalan yang lurus, yang dapat menyampaikannya kepada kebahagiaan hidup
yang abadi.38
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an pada dasarnya
mengandung unsur-unsur yang berupa:
a. Bahwa ia adalah kalam / wahyu Allah swt. Artinya bukan buatan atau
karangan manusia, jin, atau makhluk lainnya.
b. Bahwa ia diturunkan kepada rasul Allah yang bernama Muhammad saw.
Artinya kalam Allah yang diturunkan kepada selain Muhammad saw.,
bukanlah Al-Qur’an.
c. Bahwa kalam Allah swt., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.,
itu ialah dengan perantara malaikat Jibril, dan membacanya termasuk
37
Humaidi Tatapangarsa, Al-Qur’an yang Menakjubkan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007), h. 1
38
Humaidi Tatapangarsa, Al-Qur’an yang Menakjubkan... h. 2-3
ibadah. Artinya, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., tidak melalui Jibril dan membacanya tidak termasuk ibadah, seperti
hadits qudsi, bukanlah Al-Qur’an.
d. Bahwa kalam Allah swt., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW., dengan perantara malaikat Jibril itu merupakan mu’jizat Nabi
Muhammad SAW., dan sebagai pedoman agama Islam. Artinya, bahwa
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang juga
merupakan pedoman agama Islam, seperti hadits-hadits nabi, tetapi tidak
menjadi mu’jizat beliau, bukanlah pula Al-Qur’an.
Dengan demikian, yang dimaksud pembelajaran membaca Al-Qur’an ialah suatu
proses interaksi belajar mengajar antara guru dan murid yang menekankan pada
murid untuk mampu melafalkan huruf demi huruf, kata demi kata, serta kalimat
demi kalimat yang terdapat dalam mushaf Al-Qur’an yang menjadi pedoman bagi
umat Nabi Muhammad saw., yang selanjutnya diharapkan murid dapat memahami
maknanya dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Tujuan pembelajaran membaca Al-Qur’an
Dalam mengajar Al-Qur’an, ada pengklasifikasian ayat-ayat ke dalam dua
kategori, yaitu ayat-ayat yang hanya dibaca dan ayat-ayat yang harus ditafsirkan
dan dihafal. Semua itu bertujuan memberikan pengetahuan kepada anak didik agar
mengarah kepada:
1. Kemantapan membaca sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan
dan menghafal ayat-ayat atau surat-surat yang mudah bagi mereka.
2. Kemampuan memahami kitab Allah secara sempurna.
3. Kesanggupan menerapkan ajaran Islam ke dalam kehidupan seharihari.
4. Kemampuan memperbaiki tingkah laku murid melalui metode pengajaran
yang tepat.
5. Kemampuan memanifestasikan keindahan retorika Al-Qur’an.
6. Penumbuhan rasa cinta dan keagungan Al-Qur’an dalam jiwanya.
7. Pembinaan pendidikan Islam berdasarkan sumber-sumbernya yang utama
dari Al-Qur’an.39
Secara khusus, tujuan mengajar Al-Qur’an yang berkaitan dengan ayatayat
bacaan, yaitu:
1. Murid-murid dapat membaca Al-Qur’an dengan mantap, baik dari segi
ketepatan harkat, saktat (tempat berhenti), membunyikan huruf-huruf
sesuai dengan makhrajnya dan persepsi maknanya.
2. Murid-murid mengerti makna Al-Qur’an dan berkesan dalam jiwanya.
3. Murid-murid mampu menimbulkan rasa haru, khusyu, dan tenang jiwanya
serta takut kepada Allah SWT.
4. Membiasakan kemampuan murid dalam membaca pada mushaf dan
meperkenalkan istilah-istilah yang tertulis baik untuk waqaf, mad, dan
idgham.40
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dalam bukunya Metodik Khusus Pendidikan Agama
menyebutkan tujuan mempelajari Al-Qur’an selain untuk jadi ibadah adalah
sebagai berikut:
a. Memelihara kitab suci dan membacanya serta memperhatikan apa-apa
isinya untuk jadi petunjuk dan pengajaran dalam kehidupan di dunia.
b. Mengingat hukum agama yang termaktub dalam Al-Qur’an serta
menguatkan keimanan dan mendorong berbuat kebaikan dan menjauhi
kejahatan.
c. Mengharapkan keridhaan Allah swt.
d. Menanamkan akhlak yang mulia.
e. Menanam perasaan keagamaan dalam hati dan menumbuhkannya sehingga
bertambah keimanannya kepada Allah SWT.
39
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: T. Pn., 1985), h. 79
40
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama
Islam... h. 80-81
Kata strategi berasal dari kata startegos (Yunani) yang berarti jenderal atau
perwira negara. Jenderal inilah yang bertanggung jawab merencanakan suatu
strategi dari mengarahkan pasukan untuk mencapai kemenangan. Dalam
perkembangannya, konsep strategi telah banyak digunakan dalam berbagai situasi,
termasuk untuk situasi pendidikan. Implementasi konsep strategi dalam situasi
dan kondisi belajar-mengajar, sekurang-kurangnya melahirkan pengertian berikut:
1. Strategi merupakan suatu keputusan bertindak dari guru dengan
menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk
mencapai tujuan melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan
kondisi yang paling menguntungkan.
2. Strategi merupakan garis-garis besar haluan bertindak dalam mengelola
proses belajar-mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran secara efektif
dan efisien.
3. Strategi dalam proses belajar-mengajar merupakan suatu rencana yang
disiapkan secara seksama untuk mencapai tujuan belajar.
4. Strategi sebagai pola-pola umum kegiatan guru dalam perwujudan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
5. Strategi belajar mengajar berarti pola umum perbuatan guru-murid di
dalam perwujudan kegiatan belajar dan mengajar.41
Mempertimbangkan suatu strategi berarti mencari dan memilih model, metode
dan pendekatan proses belajar mengajar yang didasarkan atas karakteristik dan
kebutuhan belajar peserta didik dan kondisi lingkungan serta tujuan yang akan
dicapai. Dengan kata lain, strategi belajar-mengajar merupakan siasat guru utnuk
mengoptimalkan intreaksi antara peserta dengan komponen-komponen lain dari
sistem instruksional secara konsisten.42
Kaitannya dengan pembelajaran Al-Qur’an, guru agama Islam dapat memilih
metode pengajaran Al-Qur’an yang tepat dan sesuai agar mudah diterima oleh
peserta didik. Ada banyak metode yang lazim digunakan untuk mengajarkan
Al-Qur’an yang dapat menjadi alternatif bagi guru agama, di antaranya yaitu:
41
Annisatul Mufarokah, Strategi Belajar Mengajar... h. 36-38
42
Annisatul Mufarokah, Strategi Belajar Mengajar... h. 39
1) Metode Qira’ati
Metode qira’ati adalah cara mengajar membaca Al-Qur’an dengan menggunakan
buku qira’ati dan menawarkan pengajaran yang sistematis dan mendetail serta
pemahaman ilmu tajwid dan cara baca tartil. Adapun ciri-cirinya sebagai berikut:
a) Praktis
b) Sederhana (realis, tidak teoris)
c) Sedikit demi sedikit
d) Merangsang murid untuk saling berpacu
e) Tidak menuntun bacaan
f) Teliti terhadap bacaan salah atau keliru
g) Driil (bisa karena dibiasakan)43
2) Metode Iqra
Metode iqra merupakan temuan K.H. As’ad Human dari Yogyakarta. Metode ini
terdiri dari 6 jilid dengan waktu belajar selama 6 bulan. Ciri-cirinya sebagai
berikut:
a) Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
b) Privat, guru menyimak bacaan siswa
c) Asistensi, guru bisa meminta bantuan untuk mengajar kepada guru yang
lain
Ada pula metode-metode penunjang yang dapat digunakan untuk lebih
memudahkan siswa menerima pelajaran, yaitu: 44
1) Metode menyanyi
Menyanyi merupakan rekreasi batin yang indah, anak-anak akan hanyut dalam
nyanyian yang indah itu. Ia akan merasa senang dan tidak merasa dibebani
sehingga suasana belajar mengajar menjadi segar dan gembira. Misalnya huruf-
huruf hijaiyah dinyanyikan menggunakan nada dari lagu ”abang tukang bakso”
atau tidak menutup kemungkinan juga bagi guru menciptakan lagu sendiri atau
meniru lagu yang sedang terkenal di kalangan masyarakat.
43
Tombak Alam, Metode Membaca Menulis Al-Qur’an 5 kali Pandai, (Jakarta: PT. Reneka Cipta,
1995), h. 112
44
Arief Gunawan, Rahasia Sukses Mengajar Buku Iqra’ yang Mudah dan Menyenangkan, (Jakarta:
Yayasan Wakaf Madani, 2008), cet. Ke-1, h. 18-24
2) Metode cerita
Cerita meruupakan media efektif untuk menanamkan nilai-nilai yang luhur, yang
bersumber dari nilai akidah/ tauhid, dan nilai akhlak. Metode cerita dapat diambil
atau dibantu dari titian ingatan, seperti bunyi ”Ba” titian ingatannya adalah ikan
lumba-lumba. Guru bercerita tentang lumba-lumba dengan harapan santri tidak
lupa bunyi ”Ba”, dan seterusnya.
3) Metode bermain
Dunia anak adalah dunia bermain, namun mengajari anak sambil bermain
bukanlah pekerjaan main-main. Metode bermain dapat digunakan melalui
berbagai media belajar, seperti bermain tepuk hijaiyah, bermain kartu hijaiyah,
bermain mencari huruf hijaiyah, bermain menempel huruf hijaiyah, dan lain
sebagainya.
4) Metode alat peraga
Metode ini sepenuhnya menggunakan alat bantu atau alat peraga, dengan tujuan
membantu siswa agar lebih mudah memahami materi pelajaran Al-Qur’an. Di
antara alat peraga yang dapat digunakan adalah Kartu Hijaiyahku, Bendera
Hijaiyahku, dan Foster Hijaiyah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan proses yang diperlukan dalam perencanaan dan
pelaksanaan penelitian. Dalam hal ini penulis menggunakan desain penelitian
deskriptif analitis yakni penelitian yang menggambarkan, mengungkapkan dan
memaparkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat tergambarkan dengan
jelas.
Adapun pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah pendekatan kualitatif
yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.47 Suatu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan atau status fenomena secara sistematis, aktual dan
akurat.
Penelitian kualitatif ini digunakan karena beberapa hal. Pertama, menyesuaikan
metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan. kedua,
metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan
responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi.48
Dengan demikian untuk memperoleh data yang lengkap dan obyektif, maka
penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field reserch), yaitu penelitian
yang dilakukan secara langsung ke tempat penelitian guna memperoleh data-data
yang dibutuhkan.
47
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet.
24, h. 6
48
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,…………., h. 9.
49
Nuraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, … h. 91.
Adapun sampel ialah sebahagian atau wakil populasi yang akan diteliti. Teknik
sampling yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sampling purposive
atau sampling bertujuan. Sampling purposif merupakan metode penetapan sampel
dengan di dasarkan pada kriteria-kriteria tertentu untuk memberikan informasi
secara maksimal. Selain memang teknik ini merupakan salah satu teknik yang
sangat dianjurkan dalam penelitian kualitatif, teknik ini penulis gunakan agar
membantu dan mempermudah penulis mendapatkan data yang akurat. Sebab,
sampel yang akan penulis ambil dalam hal ini hanyalah yang memiliki ciri-ciri
yang penulis maksud yakni yang memiliki kesulitan membaca Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
50
Husaini, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 85-87
Reneka Cipta, 1995.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani,
1999.
Amini, Ibrahim. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Asmani, Jamal Ma’ruf. Tips menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif.
Jogjakarta: Diva Press, 2009.
Dalyono, Muhammad. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineke Cipta, 1997.
Daradjat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2007.
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Metodologi Pengajaran
Pendidikan Agama Islam. Jakarta: T. Pn., 1985.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Metodologi Pengajaran
Agama Islam. Jakarta: T.Pn., 1983.
Djalaludin. Metode Tunjuk Silang Belajar Membaca Al-Qur’an. Jakarta: Kalam
Mulia, 2004.
Gunawan, Arief. Rahasia Sukses Mengajar Buku Iqra’ yang Mudah dan
Menyenangkan. Jakarta: Yayasan Wakaf Madani, 2008.
Isjoni. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Mufarokah, Annisatul. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Teras, 2009.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Nasir, Sahilun A. Peranan Pendidikan Agama terhadap Pemecahan Problema
Remaja. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
New Life Options. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia,2009.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2008.
Razak, Nasrudin. Dienul Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Menyelenggarakan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Said Mursi, Syaikh Muhammad. Seni Mendidik Anak. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2001.
Sa’diah, Rika. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: PT. Wahana
Kardofa, 2009.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1998.
Syafaat, TB. Aat . dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah
Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Tafsir, Ahmad . Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
Tatapangarsa, Humaidi. Al-Qur’an yang Menakjubkan. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
2007.
Turmudzi, Imam. Sunan At-Turmudzi. Bairut – Libanon: Daarul Fikri, 1994.
Usman, M. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1994.
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1983.
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid I: Akidah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993.