A. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolic yang
ditandai dengan karakteristik hiperglikemia dan terjadi akibat defek sekresi
insulin, kerja insulin maupun keduanya. Disebut diabetes mellitus tipe 1
terjadi akibat defisiensi sekresi insulin bersifat absolut. Pada anak, jenis DM
tersering adalah tipe-1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel
kelenjar pankreas oleh proses autoimun.1,2
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun
2018, tercatat 1220 anak penyandang DM tipe-1 di Indonesia. Insiden DM
tipe-1 pada anak dan remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari 3,88
menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2000 dan 2010.2
B. Etiologi
Etiologi Pada DM Tipe 1 terjadi kerusakan sel β pankreas akibat proses
autoimun atau idiopatik.1
C. Patofisiologi
Diabetes melitus tipe-1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas
akibat proses autoimun, walaupun pada sebagian kecil pasien tidak
didapatkan bukti autoimunitas atau idiopatik. Umumnya, gejala klinis timbul
ketika kerusakan sel-sel pankreas mencapai ≥90%. Banyak faktor yang
berkontribusi dalam patogenesis DM tipe-1, di antaranya faktor genetik,
epigenetik, lingkungan, dan imunologis. Namun, peran spesifik masing-
masing faktor terhadap patogenesis DM tipe-1 masih belum diketahui secara
jelas. Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan kerusakan
gen, saat ini diketahui lebih dari 40 lokus gen yang berhubungan dengan
kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga jarang dijumpai, hanya 10%-15%
pasien memiliki keluarga derajat pertama dan kedua dengan DM tipe-1.
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DM tipe-1, antara lain, infeksi
2
virus dan diet. Pada beberapa pasien dengan awitan baru DM tipe1, sebagian
kecil sel β belum mengalami kerusakan. Dengan pemberian insulin, fungsi sel
β yang tersisa membaik sehingga kebutuhan insulin eksogen berkurang.
Periode ini disebut sebagai periode honeymoon period di mana kontrol
glikemik baik. Umumnya, fase ini diawali pada beberapa minggu setelah
mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya, pada beberapa pasien dapat
mencapai dua tahun.2
Hasil positif pada salah satu penanda serologi tersebut memastikan diagnosis
DM tipe-1.2
Pemeriksaan penunjang
1. Deteksi autoantibodi pada serum:
a) Islet Cell Autoantibodies (ICAs)
b) glutamic acid decarboxylase 65 autoantibodies
c) insulin autoantibodies
d) transmembrane tyrosine phosphatase (ICA512A)
e) zinc transporter 8 autoantibody (ZnT8A)
2. keton darah
3. urinalisis (reduksi, keton, protein)
4. C-peptide (<0,85 ng/dl), menggambarkan kadar insulin secara tidak
langsung.
5. HbA1c sebagai parameter control metabolik.
Pubertas 1 – 2 IU/kg/hari
Pemantauan gula darah
Pemantauan pada pasien DM tipe-1 mencakup pemantauan gula darah
mandiri (PGDM), HbA1C, keton, dan glukosa darah berkelanjutan. Ikatan
Dokter Anak Indonesia menyarankan PGDM paling tidak 4-6 kali per hari,
yaitu :
1. pagi hari saat bangun tidur,
2. sebelum makan
3. 1,5-2 jam setelah makan, dan
4. malam hari
Pemantauan gula darah mandiri dapat lebih sering dilakukan dan bervariasi
pada setiap individu. American Diabetes Association (ADA) dan The
International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD)
merekomendasikan PGDM lebih sering, yaitu mencapai 6-10 kali per hari.
Pengukuran HbA1c dilakukan paling tidak tiga bulan sekali. Rekomendasi
IDAI dan ADA menargetkan <7,5%. Sedangkan ISPAD menetapkan patokan
lebih rendah, yaitu <7%.2
Nutrisi
Nutrisi yang baik dibutuhkan agar tumbuh kembang anak dengan DM
tipe-1 optimal, serta mencegah komplikasi akut dan kronik. Prinsip dari terapi
nutrisi adalah makan sehat. Pasien disarankan untuk mengonsumsi buah,
sayur, produk susu, gandum utuh, dan daging rendah lemak dengan jumlah
sesuai usia dan kebutuhan energi. Kebutuhan kalori per hari dapat dihitung
berdasarkan berat badan ideal dan dan kecukupan kalori yang dianjurkan.
Sebagai panduan, distribusi makronutrien adalah karbohidrat 45-50% energi,
lemak <35% energi, dan protein 15-20% energi. Pasien dan keluarga harus
diajarkan untuk menyesuaikan dosis insulin berdasarkan konsumsi karbohidrat
sehingga anak lebih fleksibel dalam konsumsi karbohidrat. Cara ini diketahui
Aktivitas fisik
Aktivitas fisik penting untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan
menurunkan kebutuhan insulin. Selain itu, aktivitas fisik dapat meningkatkan
kepercayaan diri anak, mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan
kapasitas kerja jantung, meminimalisasi komplikasi jangka panjang, dan
meningkatkan metabolisme tubuh. Rekomendasi aktivitas fisik pada anak
dengan DM tipe-1 sama dengan populasi umum, yaitu aktivitas ≥60 menit
setiap hari yang mencakup aktivitas aerobik, menguatkan otot, dan
menguatkan tulang. Aktivitas aerobik sebaiknya tersering dilakukan,
sementara aktivitas untuk menguatkan otot dan tulang dilakukan paling tidak 3
kali per minggu.
Edukasi
Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1 karena
didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik dan keluaran
psikososial. Edukasi dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri atas paling
tidak dokter anak endokrinologi atau dokter umum terlatih, perawat atau
edukator DM, dan ahli nutrisi. Edukasi tahap pertama dilakukan saat pasien
pertama terdiagnosis atau selama perawatan di rumah sakit yang meliputi
pengetahuan dasar mengenai DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis,
dosis, cara penyuntikan, penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan
pertama kedaruratan DM tipe-1 (hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit),
sementara tahap kedua dilakukan saat berkonsultasi di poliklinik.
8
Tabel 4. Penyesuaian diet, insulin, dan pemantauan gula darah bagi anak
dengan DM Tipe-12
Sebelum aktivitas fisik Selama aktivitas fisik Setelah aktivitas fisik
Menentukan jenis, waktu, dan Memeriksa glukosa darah setiap Memeriksa glukosa darah
intensi- tas olahraga 30 menit terutama sepanjang malam
Konsumsi karbohidrat 1-3 jam sebe- Konsumsi cairan 250 mL setiap Mempertimbangkan menurunkan
lum olahraga 20-30 menit dosis insulin basal
Memeriksa glukosa darah minimal Konsumsi karbohidrat setiap Meningkatkan konsumsi
2 kali sebelum olahraga 20- 30 menit jika perlu karbohid- rat indeks glikemik
o <90 mg/dL, konsumsi rendah 1-2 jam setelah olahraga
karbohidrat ekstra untuk menghindari hipoglikemia
o >250 mg/dL dan keton awitan lambat.
urin/darah (+) tunda olahraga Konsumsi cairan segera setelah
Pada olahraga aerobik, perlu diper- olahraga dan 1-2 jam setelah
kirakan energi yang keluar untuk olah- raga bersama makan
menyesuaikan konsumsi karbohidrat
dan dosis insulin
Pada olahraga anaerobik, saat
cuaca panas, atau kompetisi dosis
insulin sebaiknya naik
Konsumsi cairan 250 mL 20 menit
sebelum olahraga
HIPOGLIKEMIA RINGAN
9
A. Definisi
Hipoglikemia merupakan suatu kelainan metabolik dan endokrin yang
sering terjadi pada bayi dan anak yang berakibat kerusakan otak yang
menetap. Hipoglikemia adalah kadar gula plasma kurang dari 2,6 mmol/L (<
47 mg/dl). Untuk neonatus aterm berusia kurang dari 72 jam dipakai batas
kadar gula plasma 35 mg/dL. Sedangkan untuk neonatus prematur dan KMK
(Kecil masa kehamilan) yang berusia kurang dari 1 minggu, disebut
hipoglikemia bila kadar gula darah plasma kurang dari 25 mg/dl.
hipoglikemia ringan pada kadar 50 – 70 mg/dL dan biasanya asimptomatis,
definisi hipoglikemia berat bila kadar kurang dari 40 mg/dL, dan terapi
berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL. 4
1) Bersifat sementara
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir, misalnya karena masukan
glukosa yang kurang (starvasi, kelaparan), hipotermia, syok, dan pada
bayi dari ibu diabetes.
2) Bersifat menentap atau berulang
Terjadi akibat defisiensi hormon, hiperinsulinisme, serta kelainan
metabolism karbohidrat dan asam amino, gangguan metabolisme yang
bersifat herditer (misalnya, glycogen storage diseases, disorders of
gluconeogenesis, fatty acid oxidation disorders).
Hipoglikemia pada bayi dan anak
Hipoglikemia dapat terjadi karena akibat starvasi terutama bila cadangan
glikogen rendah, pre diabetes, obat-obatan misalnya insulin pada pasien
diabetes mellitus tipe 1, penyakit sistemik berat, dan pada gangguan
endokrin dan metabolisme.
C. Patofisiologi
pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat
dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil adalah dari
penelitian binatang percobaan. Walaupun demikian pada anak dan dewasa
mempunyai substrat dan pengaturan metabolisme hormonal yang sama,
namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda. Bila seorang
ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak akan
terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis.
Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah:
glukosa, asam amino, dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang
dibutuhkan. Glukosa ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi
karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, kadar
glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke
janin dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang
dibutuhkan janin dengan kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan
kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem enzim yang terlibat
dalam glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin
namun tidak aktif, kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan.
Pada hewan aktivitas enzim untuk glukoneogenesis sangat penting, pada janin
manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat sampai
periode perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam beberapa
jam sampai beberapa hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk
mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi glukosa oleh
janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis telah
dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, kecuali pada bayi yang
prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis glikogen
sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.
Hanya pada anak dengan penyakit glycogen storage, dalam 3-4 minggu
terakhir kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai
kadar saat lahir.
12
Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar glukosa
vena ibu. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam
pertama setelah lahir, kadar glukosa darahnya tidak pernah di bawah 40
mg/dL, pada usia 4-6 jam berkisar antara 45-80 mg/dL. Kadar glukosa
dipertahankan segera setelah lahir dengan pemecahan glikogen hepar
(glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glucagon, difasilitasi oleh
turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8-12 jam pertama glikogen
berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari
laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan
masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi.
Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau
meningkatnya konsumsi glukosa. Karena euglikemia pada mulanya
tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang kekurangan
substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia.
D. Diagnosis hipoglikemia
Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa, penurunan
gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar
dan merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan
lemah, gelisah, keringat dingin, gemetar, dan takikardi. Gejala adrenergic
cenderung terjadi pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada
hipoglikemia karena kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan
menyebabkan gejala neuroglikopenia. Gejala hipoglikemia dapat
diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem saraf
otonom dan berhubungan dengan kurangnya suplai glukosa pada otak
(neuroglikopenia). Gejala akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat,
gemetar, gelisah, dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung,
rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala, dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang
disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk, dan lemah. Pada neonates
tidak spesifik antara lain tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia,
sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat, dan pucat.
Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, misalnya
kelainan bawaan pada susunan saraf pusat, cedera lahir, mikrosefali,
perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia
yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress pernapasan,
asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin. Kadang
hipoglikemia juga asimtomatik misalnya pada glycogen storage disease tipe I.
Pemeriksaan Laboratorium
Skrining hipoglikemia direkomendasikan pada bayi berat lahir sangat
rendah, bayi prematur, bayi kecil masa kehamilan dengan berat badan lahir
kurang dari persentil 10, bayi dengan ibu diabetes (tipe I atau II), bayi besar
masa kehamilan dengan berat badan lahir lebih dari persentil 90, bayi dengan
penyakit inkompatibilitas rhesus-hemolitik, bayi yang lahir dari ibu yang
mendapat terapi terbutaline/propoanolol/agen hipoglikemik oral, neonates
dengan asfiksia perinatal, polisitemia, sepsis, syok, distress pernapasan,
hipotermia, bayi dengan retardasi pertumbuhan. Termasuk juga ke dalamnya
14
bayi dengan berat lahir di antara persentil 10-90 dengan manifestasi klinis
janin kurang asupan nutrisi dalam bentuk kulit yang terkelupas, tidak punya
lipatan kulit, dan defisiensi lemak subkutan pada regio buccalis, dan pada
bayi dengan pemberian nutrisi parenteral total dan cairan intravena.
Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain pengukuran
glukosa oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran
glukosa dengan cara strip reagen walaupun digunakan secara umum, akan
tetapi tidak akurat khususnya pada saat level glukosa darah kurang dari 40-50
mg/dL. Pengukuran dengan cara ini berguna untuk tujuan skrining, namun
jika nilainya rendah harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium sebelum diagnosis hipoglikemia ditegakkan. Metode lainnya
yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini merupakan metode
yang paling akurat. Dalam pemeriksaan laboratorium, glukosa darah diukur
dengan cara kalorimetrik atau dengan cara elektroda (glucose electrode
method).6
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat
penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula
darah pertama yang diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan
hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi butirat, asam
laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk
melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol, hormone
pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam
amino (kuantitatif).
Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimtomatik,
maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka
pasien dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada
indikasi puasa dapat diperpanjang. Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap,
dipasang akses intravena dan diberikan heparin pada jalur intravenanya untuk
pengambilan sampel darah dan bila perlu untuk pemberian dextrose 25% bila
timbul gejala hipoglikemia. Diambil plasma darah secara sekuensial untuk
pemeriksaan glukosa plasma, beta hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16,
15
E. Penatalaksanaan hipoglikemia
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin
mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghindari hipoglikemia
berulang sampai homeostasis glukosa normal dan mengoreksi penyakit yang
mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus diketahui status klinis dan
penyebab hipoglikemia.
Daftar Pustaka