Anda di halaman 1dari 18

RESUME

DIABETES MELITUS TIPE 1 DAN HIPOGLIKEMIA RINGAN

Nama : Indri Yulianti


NPM : 116170031
Kelompok : XII D

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON / RSUD WALED
2020
1

DIABETES MELITUS TIPE 1

A. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolic yang
ditandai dengan karakteristik hiperglikemia dan terjadi akibat defek sekresi
insulin, kerja insulin maupun keduanya. Disebut diabetes mellitus tipe 1
terjadi akibat defisiensi sekresi insulin bersifat absolut. Pada anak, jenis DM
tersering adalah tipe-1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel
kelenjar pankreas oleh proses autoimun.1,2
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun
2018, tercatat 1220 anak penyandang DM tipe-1 di Indonesia. Insiden DM
tipe-1 pada anak dan remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari 3,88
menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2000 dan 2010.2

B. Etiologi
Etiologi Pada DM Tipe 1 terjadi kerusakan sel β pankreas akibat proses
autoimun atau idiopatik.1

C. Patofisiologi
Diabetes melitus tipe-1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas
akibat proses autoimun, walaupun pada sebagian kecil pasien tidak
didapatkan bukti autoimunitas atau idiopatik. Umumnya, gejala klinis timbul
ketika kerusakan sel-sel pankreas mencapai ≥90%. Banyak faktor yang
berkontribusi dalam patogenesis DM tipe-1, di antaranya faktor genetik,
epigenetik, lingkungan, dan imunologis. Namun, peran spesifik masing-
masing faktor terhadap patogenesis DM tipe-1 masih belum diketahui secara
jelas. Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan kerusakan
gen, saat ini diketahui lebih dari 40 lokus gen yang berhubungan dengan
kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga jarang dijumpai, hanya 10%-15%
pasien memiliki keluarga derajat pertama dan kedua dengan DM tipe-1.
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DM tipe-1, antara lain, infeksi
2

virus dan diet. Pada beberapa pasien dengan awitan baru DM tipe1, sebagian
kecil sel β belum mengalami kerusakan. Dengan pemberian insulin, fungsi sel
β yang tersisa membaik sehingga kebutuhan insulin eksogen berkurang.
Periode ini disebut sebagai periode honeymoon period di mana kontrol
glikemik baik. Umumnya, fase ini diawali pada beberapa minggu setelah
mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya, pada beberapa pasien dapat
mencapai dua tahun.2

D. Diagnosis diabetes melitus tipe 1 pada anak


Gejala DM tipe-1 pada anak sama dengan gejala pada dewasa, yaitu
poliuria dan nokturia, polifagia, polidipsia, dan penurunan berat badan. Gejala
lain yang dapat timbul adalah kesemutan, lemas, luka yang sukar sembuh,
pandangan kabur, dan gangguan perilaku.2
Pada pasien yang asimptomatik, ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl atau kadar glukosa puasa lebih dari normal (>126 mg/dl
atau 7 mmol/L), dengan hasil tes toleransi glukosa (TTG) terganggu pada
lebih dari satu kali pemeriksaan.1
Setelah dilakukan langkah awal penegakkan diagnosis diabetes,
selanjutnya tipe diabetes perlu untuk diketahui karena berimplikasi pada
terapi dan edukasi. Membedakan DM tipe-1 dan 2 seringkali sulit pada
remaja overweight atau obesitas sehingga pada kelompok pasien ini perlu
ditelusuri riwayat keluarga lengkap, pengukuran autoantibodi islet, dan
konsentrasi C-peptida plasma atau urin. Cho dkk melaporkan bahwa kadar C-
peptida puasa dapat membantu klasifikasi tipe DM saat diagnosis pada anak
dan remaja. Pemeriksaan autoantibodi pada anak dengan DM belum menjadi
pemeriksaan yang rutin dilakukan karena ketersediaan pemeriksaan yang
belum luas dan relatif mahal di Indonesia. Penanda serologi untuk
autoimunitas terhadap sel β pankreas, antara lain:
1. glutamic acid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD)
2. Tyrosine phosphatase-like insulinoma antigen 2 (IA2)
3. insulin autoantibodies (IAA), dan
4. β-cellspecific zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8)
3

Hasil positif pada salah satu penanda serologi tersebut memastikan diagnosis
DM tipe-1.2

Tabel 1. Kriteria diagnosis DM (Ikatan Dokter Anak Indonesia, diadaptasi


dari American Diabetes Association)2

Memenuhi salah satu kriteria

1. Gejala klasik diabetes atau hiperglikemi dan glukosa plasma ≥200


mg/dL (11,1 mmol/L), atau
2. Glukosa puasa plasma ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L), atau
3. Glukosa 2 jam postprandial 200 mg/dL (11,1 mmol/L) dengan Uji
Toleransi Glukosa Oral, atau
4. HbA1c >6,5% sesuai standar National Gylcohemoglobin
Standardization Program (NGSP) pada laboratorium tersertifikasi

Pemeriksaan penunjang
1. Deteksi autoantibodi pada serum:
a) Islet Cell Autoantibodies (ICAs)
b) glutamic acid decarboxylase 65 autoantibodies
c) insulin autoantibodies
d) transmembrane tyrosine phosphatase (ICA512A)
e) zinc transporter 8 autoantibody (ZnT8A)
2. keton darah
3. urinalisis (reduksi, keton, protein)
4. C-peptide (<0,85 ng/dl), menggambarkan kadar insulin secara tidak
langsung.
5. HbA1c sebagai parameter control metabolik.

E. Penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 1 pada anak


4

Diabetes merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan


tetapi dengan tata laksana dan pemantauan yang adekuat anak dapat memiliki
kualitas hidup yang baik. Tujuan dari terapi pada DM tipe-1 adalah mencapai
kontrol metabolik yang optimal, mencegah komplikasi akut, mencegah
komplikasi jangka panjang mikrovaskular dan makrovaskular, serta membantu
psikologis anak dan keluarga.
Lima pilar tata laksana DM tipe-1 pada anak adalah injeksi insulin,

pemantauan gula darah, nutrisi, aktivitas fisik, serta edukasi. Dalam


menangani DM tipe-1, dibutuhkan pendekatan holistik dari tim tenaga
kesehatan terintegrasi yang terdiri atas dokter anak endokrinologi, ahli gizi,

psikiater atau psikolog dan, edukator DM.2


Insulin
Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel pulau
Langerhans pankreas yang mempunyai dampak regulasi glukosa. Insulin
menghambat proses glikogenolisis di hati dan glukoneogenesis di hati dan
ginjal serta merangsang pengambilan glukosa oleh otot dan jaringan lemak.
Insulin juga menghambat lipolisis dan proteolisis di jaringan. Di hati, insulin
juga menekan proses ketogenesis, sehingga defisiensi insulin dapat
menyebabkan terjadinya ketosis. Insulin diklasifikasikan berdasarkan lama
kerjanya yaitu cepat, pendek atau reguler, menengah, dan panjang.1,3

Tabel 2. Jenis insulin dan profil kerja2


Jenis insulin Awitan kerja Puncak kerja Durasi kerja Waktu pemberian
(jam) (jam) (jam)
Kerja cepat (aspart, glulisin, 0,15-0,35 1-3 3-5 15 menit-20 menit sebelum makan,
lispro) kecuali pada anak bayi atau balita yang
sulit makan diberikan setelah makan
Kerja pendek (reguler/soluble) 0,5-1 2-4 5-8 30 menit sebelum makan
Kerja menengah
NPH 2-4 4-12 12-24 30 menit sebelum makan
Kerja panjang
Ultralente 4-8 12-24 20-30 30 menit sebelum makan
Basal analog Diberikan 1-2 kali per hari
Glargine 2-4 8-12 22-24
Detemir 1-2 4-7 20-24
5

Campuran 30 menit sebelum makan


Cepat-menengah 0,5 1-12 16-24
Pendek-menengah 0,5 1-12 16-24

Penentuan dosis insulin kerja cepat dapat menggunakan rasio insulin


terhadap karbohidrat yang dihitung dengan menggunakan rumus 500, yaitu
500 dibagi dosis insulin harian total. Hasil yang didapatkan adalah berapa
jumlah gram karbohidrat yang dapat dicakup oleh 1 unit insulin.
Penyesuaian dosis insulin selanjutnya ditentukan berdasarkan pola kadar
gula darah sewaktu harian. Pada pemberian insulin kerja cepat disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu 1-2 jam setelah makan
untuk menentukan efikasi insulin. Peningkatan gula darah sebelum sarapan
memerlukan penyesuaian dosis insulin kerja menengah sebelum makan
malam atau sebelum tidur atau insulin kerja panjang. Peningkatan gula
darah setelah makan memerlukan peningkatan dosis insulin kerja cepat atau
reguler. Jika peningkatan gula darah terjadi sebelum makan siang atau makan
malam, perlu dilakukan penyesuaian dosis insulin basal atau insulin kerja
cepat/ pendek sebelum makan. Dosis insulin sebaiknya ditentukan
berdasarkan konsumsi makanan atau karbohidrat dan hasil pemeriksaan
GDS.
Selain insulin basal dan preprandial, terdapat dosis insulin koreksi yang
diberikan saat terjadi kenaikan kadar glukosa darah. Penghitungan dosis
koreksi menggunakan faktor sensitifitas insulin yang menentukan banyaknya
glukosa darah yang dapat diturunkan oleh 1 unit insulin. Dosis koreksi
dihitung menggunakan rumus 1800 untuk insulin kerja cepat, yaitu 1800
dibagi dosis insulin total harian. Penghitungan dosis koreksi untuk insulin
kerja pendek adalah menggunakan rumus 1500, yaitu 1500 dibagi dosis
insulin total harian. Dari perhitungan tersebut, akan didapatkan berapa banyak
glukosa darah yang dapat diturunkan dengan pemberian 1 IU insulin.2
Tabel 3. Dosis insulin pada anak dengan DM tipe-12

Kondisi Dosis insulin


Fase remisi parsial < 0,5 IU/kg/hari
Prepubertal 0,7 – 1 IU/kg/hari
6

Pubertas 1 – 2 IU/kg/hari
Pemantauan gula darah
Pemantauan pada pasien DM tipe-1 mencakup pemantauan gula darah
mandiri (PGDM), HbA1C, keton, dan glukosa darah berkelanjutan. Ikatan
Dokter Anak Indonesia menyarankan PGDM paling tidak 4-6 kali per hari,
yaitu :
1. pagi hari saat bangun tidur,
2. sebelum makan
3. 1,5-2 jam setelah makan, dan
4. malam hari
Pemantauan gula darah mandiri dapat lebih sering dilakukan dan bervariasi
pada setiap individu. American Diabetes Association (ADA) dan The
International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD)
merekomendasikan PGDM lebih sering, yaitu mencapai 6-10 kali per hari.
Pengukuran HbA1c dilakukan paling tidak tiga bulan sekali. Rekomendasi
IDAI dan ADA menargetkan <7,5%. Sedangkan ISPAD menetapkan patokan
lebih rendah, yaitu <7%.2

Nutrisi
Nutrisi yang baik dibutuhkan agar tumbuh kembang anak dengan DM
tipe-1 optimal, serta mencegah komplikasi akut dan kronik. Prinsip dari terapi
nutrisi adalah makan sehat. Pasien disarankan untuk mengonsumsi buah,
sayur, produk susu, gandum utuh, dan daging rendah lemak dengan jumlah
sesuai usia dan kebutuhan energi. Kebutuhan kalori per hari dapat dihitung
berdasarkan berat badan ideal dan dan kecukupan kalori yang dianjurkan.
Sebagai panduan, distribusi makronutrien adalah karbohidrat 45-50% energi,
lemak <35% energi, dan protein 15-20% energi. Pasien dan keluarga harus
diajarkan untuk menyesuaikan dosis insulin berdasarkan konsumsi karbohidrat
sehingga anak lebih fleksibel dalam konsumsi karbohidrat. Cara ini diketahui

meningkatkan kontrol glikemik dan kualitas hidup.2


7

Aktivitas fisik
Aktivitas fisik penting untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan
menurunkan kebutuhan insulin. Selain itu, aktivitas fisik dapat meningkatkan
kepercayaan diri anak, mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan
kapasitas kerja jantung, meminimalisasi komplikasi jangka panjang, dan
meningkatkan metabolisme tubuh. Rekomendasi aktivitas fisik pada anak
dengan DM tipe-1 sama dengan populasi umum, yaitu aktivitas ≥60 menit
setiap hari yang mencakup aktivitas aerobik, menguatkan otot, dan
menguatkan tulang. Aktivitas aerobik sebaiknya tersering dilakukan,
sementara aktivitas untuk menguatkan otot dan tulang dilakukan paling tidak 3
kali per minggu.

Edukasi
Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1 karena
didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik dan keluaran
psikososial. Edukasi dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri atas paling
tidak dokter anak endokrinologi atau dokter umum terlatih, perawat atau
edukator DM, dan ahli nutrisi. Edukasi tahap pertama dilakukan saat pasien
pertama terdiagnosis atau selama perawatan di rumah sakit yang meliputi
pengetahuan dasar mengenai DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis,
dosis, cara penyuntikan, penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan
pertama kedaruratan DM tipe-1 (hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit),
sementara tahap kedua dilakukan saat berkonsultasi di poliklinik.
8

Tabel 4. Penyesuaian diet, insulin, dan pemantauan gula darah bagi anak

dengan DM Tipe-12
Sebelum aktivitas fisik Selama aktivitas fisik Setelah aktivitas fisik
 Menentukan jenis, waktu, dan  Memeriksa glukosa darah setiap  Memeriksa glukosa darah
intensi- tas olahraga 30 menit terutama sepanjang malam
 Konsumsi karbohidrat 1-3 jam sebe-  Konsumsi cairan 250 mL setiap  Mempertimbangkan menurunkan
lum olahraga 20-30 menit dosis insulin basal
 Memeriksa glukosa darah minimal  Konsumsi karbohidrat setiap  Meningkatkan konsumsi
2 kali sebelum olahraga 20- 30 menit jika perlu karbohid- rat indeks glikemik
o <90 mg/dL, konsumsi rendah 1-2 jam setelah olahraga
karbohidrat ekstra untuk menghindari hipoglikemia
o >250 mg/dL dan keton awitan lambat.
urin/darah (+) tunda olahraga  Konsumsi cairan segera setelah
 Pada olahraga aerobik, perlu diper- olahraga dan 1-2 jam setelah
kirakan energi yang keluar untuk olah- raga bersama makan
menyesuaikan konsumsi karbohidrat
dan dosis insulin
 Pada olahraga anaerobik, saat
cuaca panas, atau kompetisi dosis
insulin sebaiknya naik
 Konsumsi cairan 250 mL 20 menit
sebelum olahraga

F. Komplikasi diabetes melitus tipe 1


Komplikasi DM Tipe-1 mencakup komplikasi akut dan kronik. Pada
anak, komplikasi kronik jarang menimbulkan manifestasi klinis signifikan
saat masih dalam pengawasan dokter anak. Sebaliknya, anak berisiko
mengalami komplikasi akut setiap hari. Komplikasi akut terdiri atas KAD dan
hipoglikemia, Studi SEARCH menemukan bahwa sekitar 30% anak dengan
DM tipe-1 terdiagnosis saat KAD. Kriteria KAD mencakup hiperglikemia,
asidosis, dan ketonemia. Gejala KAD antara lain adalah dehidrasi, takikardi,
takipnea dan sesak, napas berbau aseton, mual, muntah, nyeri perut,
pandangan kabur, dan penurunan kesadaran.2

HIPOGLIKEMIA RINGAN
9

A. Definisi
Hipoglikemia merupakan suatu kelainan metabolik dan endokrin yang
sering terjadi pada bayi dan anak yang berakibat kerusakan otak yang
menetap. Hipoglikemia adalah kadar gula plasma kurang dari 2,6 mmol/L (<
47 mg/dl). Untuk neonatus aterm berusia kurang dari 72 jam dipakai batas
kadar gula plasma 35 mg/dL. Sedangkan untuk neonatus prematur dan KMK
(Kecil masa kehamilan) yang berusia kurang dari 1 minggu, disebut
hipoglikemia bila kadar gula darah plasma kurang dari 25 mg/dl.
hipoglikemia ringan pada kadar 50 – 70 mg/dL dan biasanya asimptomatis,
definisi hipoglikemia berat bila kadar kurang dari 40 mg/dL, dan terapi
berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL. 4

B. Etiologi dan Klasifikasi


A) Berdasarkan patofisiologi
Berdasarkan patofisiologi dapat dikelompokkan dalam 4 golongan anak
dengan risiko terjadinya hipoglikemia, yaitu:
1) bayi dari ibu diabetes atau diabetes waktu hamil,
2) bayi berat badan lahir rendah yang mungkin mengalami malnutrisi
intrauterin; pada golongan ini dapat terjadi penurunan cadangan
glikogen hati dan lemak tubuh; BBLR (berat bayi lahir rendah) yang
termasuk rawan adalah bayi kecil menurut kehamilan, salah satu bayi
kembar yang lebih kecil (berat badan berbeda 25% atau lebih, berat
badan lahir kurang dari 2000 g).
3) bayi sangat kecil atau sakit berat yang mengalami hipoglikemia
karena
meningkatnya kebutuhan metabolisme yang melebihi cadangan kalori.
4) Bayi dengan kelainan genetik atau gangguan metabolik primer (jarang
terjadi)5

B) Hipoglikemia berdasarkan kelompok usia


Hipoglikemia pada neonatus
10

1) Bersifat sementara
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir, misalnya karena masukan
glukosa yang kurang (starvasi, kelaparan), hipotermia, syok, dan pada
bayi dari ibu diabetes.
2) Bersifat menentap atau berulang
Terjadi akibat defisiensi hormon, hiperinsulinisme, serta kelainan
metabolism karbohidrat dan asam amino, gangguan metabolisme yang
bersifat herditer (misalnya, glycogen storage diseases, disorders of
gluconeogenesis, fatty acid oxidation disorders).
Hipoglikemia pada bayi dan anak
Hipoglikemia dapat terjadi karena akibat starvasi terutama bila cadangan
glikogen rendah, pre diabetes, obat-obatan misalnya insulin pada pasien
diabetes mellitus tipe 1, penyakit sistemik berat, dan pada gangguan
endokrin dan metabolisme.

Gambar 1. Klasifikasi hipoglikemia pada bayi dan anak


11

C. Patofisiologi
pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat
dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil adalah dari
penelitian binatang percobaan. Walaupun demikian pada anak dan dewasa
mempunyai substrat dan pengaturan metabolisme hormonal yang sama,
namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda. Bila seorang
ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak akan
terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis.
Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah:
glukosa, asam amino, dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang
dibutuhkan. Glukosa ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi
karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, kadar
glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke
janin dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang
dibutuhkan janin dengan kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan
kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem enzim yang terlibat
dalam glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin
namun tidak aktif, kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan.
Pada hewan aktivitas enzim untuk glukoneogenesis sangat penting, pada janin
manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat sampai
periode perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam beberapa
jam sampai beberapa hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk
mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi glukosa oleh
janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis telah
dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, kecuali pada bayi yang
prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis glikogen
sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.
Hanya pada anak dengan penyakit glycogen storage, dalam 3-4 minggu
terakhir kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai
kadar saat lahir.
12

Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar glukosa
vena ibu. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam
pertama setelah lahir, kadar glukosa darahnya tidak pernah di bawah 40
mg/dL, pada usia 4-6 jam berkisar antara 45-80 mg/dL. Kadar glukosa
dipertahankan segera setelah lahir dengan pemecahan glikogen hepar
(glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glucagon, difasilitasi oleh
turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8-12 jam pertama glikogen
berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari
laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan
masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi.
Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau
meningkatnya konsumsi glukosa. Karena euglikemia pada mulanya
tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang kekurangan
substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia.

Gambar 2. Mekanisme fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi bila satu atau lebih mekanisme keseimbangan di atas


gagal, atau penggunaan glukosa yang berlebihan seperti pada hiperinsulinisme,
atau produksi yang kurang seperti pada penyakit glycogen storage, atau kombinasi
defisiensi hormon pertumbuhan dan atau kortisol.5
13

D. Diagnosis hipoglikemia
Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa, penurunan
gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar
dan merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan
lemah, gelisah, keringat dingin, gemetar, dan takikardi. Gejala adrenergic
cenderung terjadi pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada
hipoglikemia karena kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan
menyebabkan gejala neuroglikopenia. Gejala hipoglikemia dapat
diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem saraf
otonom dan berhubungan dengan kurangnya suplai glukosa pada otak
(neuroglikopenia). Gejala akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat,
gemetar, gelisah, dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung,
rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala, dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang
disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk, dan lemah. Pada neonates
tidak spesifik antara lain tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia,
sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat, dan pucat.
Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, misalnya
kelainan bawaan pada susunan saraf pusat, cedera lahir, mikrosefali,
perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia
yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress pernapasan,
asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin. Kadang
hipoglikemia juga asimtomatik misalnya pada glycogen storage disease tipe I.
Pemeriksaan Laboratorium
Skrining hipoglikemia direkomendasikan pada bayi berat lahir sangat
rendah, bayi prematur, bayi kecil masa kehamilan dengan berat badan lahir
kurang dari persentil 10, bayi dengan ibu diabetes (tipe I atau II), bayi besar
masa kehamilan dengan berat badan lahir lebih dari persentil 90, bayi dengan
penyakit inkompatibilitas rhesus-hemolitik, bayi yang lahir dari ibu yang
mendapat terapi terbutaline/propoanolol/agen hipoglikemik oral, neonates
dengan asfiksia perinatal, polisitemia, sepsis, syok, distress pernapasan,
hipotermia, bayi dengan retardasi pertumbuhan. Termasuk juga ke dalamnya
14

bayi dengan berat lahir di antara persentil 10-90 dengan manifestasi klinis
janin kurang asupan nutrisi dalam bentuk kulit yang terkelupas, tidak punya
lipatan kulit, dan defisiensi lemak subkutan pada regio buccalis, dan pada
bayi dengan pemberian nutrisi parenteral total dan cairan intravena.
Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain pengukuran
glukosa oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran
glukosa dengan cara strip reagen walaupun digunakan secara umum, akan
tetapi tidak akurat khususnya pada saat level glukosa darah kurang dari 40-50
mg/dL. Pengukuran dengan cara ini berguna untuk tujuan skrining, namun
jika nilainya rendah harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium sebelum diagnosis hipoglikemia ditegakkan. Metode lainnya
yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini merupakan metode
yang paling akurat. Dalam pemeriksaan laboratorium, glukosa darah diukur
dengan cara kalorimetrik atau dengan cara elektroda (glucose electrode
method).6
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat
penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula
darah pertama yang diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan
hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi butirat, asam
laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk
melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol, hormone
pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam
amino (kuantitatif).
Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimtomatik,
maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka
pasien dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada
indikasi puasa dapat diperpanjang. Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap,
dipasang akses intravena dan diberikan heparin pada jalur intravenanya untuk
pengambilan sampel darah dan bila perlu untuk pemberian dextrose 25% bila
timbul gejala hipoglikemia. Diambil plasma darah secara sekuensial untuk
pemeriksaan glukosa plasma, beta hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16,
15

dan 20, kemudian diberikan glukagon 30-100 pg/kgBB intramuskuler.


Sampel diambil setiap jam sampai pemeriksaan berakhir. Sampel pertama dan
terakhir harus diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol. Bila
dicurigai defek pada enzim tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa
asam organic plasma dan atau urin.6

E. Penatalaksanaan hipoglikemia
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin
mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghindari hipoglikemia
berulang sampai homeostasis glukosa normal dan mengoreksi penyakit yang
mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus diketahui status klinis dan
penyebab hipoglikemia.

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan hipoglikemia


a) Hitung glucose Index rate (GIR) 6-8 mg/kg/menit untuk mencapai
gula darah maksimal, dapat dinaikan sampai 10-15 mg/kg/menit.
b) Bila dibutuhkan >15 mg/kg/menit, pertimbangkan obat-obatan
(glukagon, kortikosteroid)  konsul.
c) Bila ditemukan hasil GD 36 - < 47 mg/dl 2 x berturut-turut, berikan
IVFD dekstrose 10% sebagai tambahan asupan per oral.
16

Terapi dietetik pada pasien hipoglikemia tergantung pada etiologinya.


Pada pasien dengan penyakit metabolik, hindari bahan spesifik yang dapat
menyebabkan hipoglikemia. Pada pasien dengan hipoglikemia ketotik,
penyakit glycogen storage, dan penyakit lain yang tidak boleh puasa, harus
dihindarkan dari puasa dalam jangka waktu yang lama dan disediakan
makanan yang berbasis karbohidrat.
17

Daftar Pustaka

1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S dan Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
2. Pulungan AB, Annisa D, Imada S. Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak:
Situasi di Indonesia dan Tata Laksana. Vol. 20, No. 6. Jakarta: FK UI;
2019.
3. Wisman, Hakimi, Charles D dan Deliana M. Pemberian Insulin Pada Diabetes
Melitus Tipe-1. Vol. 9, No. 1. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik; 2007.
4. Wolsdorf JI, Weinstein DA. Hypoglycemia in Children. Pediatric
Endocrinology. Edisi ke-5 Volume 1. New York: Informa Healthcare. 2007.
5. Madiyono, Bambang. Hipoglikemia dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Jilid I. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2002; 349
50.
6. McGowan, Jane E. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review. American
Academy of Pediatrics. 1999;20;e6. Diunduh dari
http://pedsinreview.aappublications.org/. Pada 11 Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai