Anda di halaman 1dari 196

Dr. Nurliani Siregar, M.

Pd

Profesi Kependidikan
Pendidikan Profesi Guru

BAB 1
PROFESI DAN
PROFESIONALISM
E KEPENDIDIKAN

1.1 Pengertian profesi dan pendidik


1.1.1 Profesi
Graham Cheetham, G. E. Chivers1 menerangkan definisi
profesi adalah : “A vocation or calling, especially one that
involved some branch of advanced learning or science.” Sebuah
panggilan atau panggilan, terutama yang melibatkan beberapa
cabang belajar lanjut atau ilmu pengetahuan. Suatu pekerjaan atau
panggilan yang membutuhkan pelatihan, seperti dalam hukum,
teologi, dan ilmu.
Kata profesi semakin populer kita dengar sejalan dengan
semakin kuatnya tuntutan kemampuan profesional dalam bekerja.
Apa pun bentuk dan jenis pekerjaannya, kemampuan profesional
telah menjadi kebutuhan individu.
Secara etimologi,2 profesi berasal dari istilah bahasa
Inggris: profession atau bahasa Latin: profecus, yang artinya
mengakui, pengkauan, menyatakan mampu, atau ahli dalam
melaksanakan pekerjaan tertentu. Pengakuan siapa? Kalau
pengakuan itu datang dari penyandang profesi itu, muncul

2
beberapa pertanyaan. Apakah kemampuan yang diakui atau
diklaimnya itu benar-benar sebuah kenyataan? Apakah pengakuan
itu tidak lebih dari sebuah kesombongan? Tidakkah pengakuan
itu tidak lebih dari “riak-riak air” yang sesungguhnya
mengimplisitkan kedangkalan derajat profesional penyandangan
profesi itu? Apakah benar-benar ada bukti formal dan material
yang memperkuat pengakuannya itu. Pertanyaan ini mengemuka
karena dalam masyarakat kerap muncul perilaku gadungan,
misalnya dokter gadungan, dosen gadungan, ABRI atau Polisi
gadungan, Wartawan gadungan dan sebagainya. Mungkin juga
guru gadungan, bukan?
Penyandang profesi boleh mengatakan bahwa dia mampu
atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu asalkan
pengakuannya disertai bukti riil bahwa dia benar-benar mampu
melaksanakan suatu pekerjaan yang diklaim sebagai keahliannya.
Akan tetapi, pengakuan itu idealnya berasal dari masyarakat atau
pengguna jasa penyandang profesi itu atau berangkat dari karya
ilmiah atau produk kerja lain yang dihasilkan oleh penyandang
profesi itu. Pengakuan itu terutama didasari atas kemampuan
konseptual-aplikatif dari penyandang profesi itu.
Secara terminologi,3 profesi dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi
pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan
pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksudkan di sini
adalah adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen
untuk melakukan perbuatan praktis. Merujuk pada definisi ini,
pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan manual atau
fisikal, meskipun levelnya tinggi, tidak digolongkan dalam
profesi. Dengan demikian, tidak muncul organisasi profesi,
seperti Ikatan Tukang Semen Indonesia, Ikatan Tukang Jahit

3
Indonesia, Ikatan Pengayam Rotan Indonesia, dan sebagainya.
Bandingkan dengan Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Guru
Republik Indonesia, Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, dan
sebagainya.

Dari sudut penghampiran sosiologi,4Vollmer & Mills (1972)


mengemukakan bahwa profesi menunjuk pada suatu kelompok
pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada
dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, tetapi
menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh,
bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh.
Istilah “ideal” itu hanya ada dalam kata , tidak dalam realita,
karena sifatnya hanya sebuah abstraksi. Kondisi “ideal” tidak
lebih dari harapan yang tidak selesai karena fenomena yang ada
hanya sebatas mendekati hal yang “ideal” itu.
Ada tiga pilar pokok yang ditunjukkan untuk suatu profesi,
yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.
Pengetahuan adalah segala fenomena yang diketahui yang
disistematisasikan sedemikian rupa sehingga memiliki daya
prediksi, daya kontrol, dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat
yang lebih tinggi, pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang
dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. Keahlian
bermakna penguasaan substansi keilmuan, yang dapat dijadikan
acuan dalam bertindak. Keahlian juga bermakna kepakaran dalam
cabang ilmu tertentu untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya.
Persiapan akademik mengandung makna bahwa untuk mencapai
derajat profesional atau memasuki jenis profesi tertentu,
diperlukan persyaratan pendidikan khusus pada lembaga
pendidikan formal, khususnya jenjang perguruan tinggi.5

4
Profesi merupakan kelompok istimewa dari pekerjaan di
tengah-tengah masyarakat sebagai hasil dari sejarah kelembagaan
dan politik, hubungan antara praktisi dan masyarakat, dan
formalisasi struktur organisasi dan hukum di sekitar praktek
mereka.
Istilah ‘profesi’ berasal dari kata Latin ‘profiteor’ berarti
mengaku. Profesionalisasi adalah proses dimana kegiatan yang
menguntungkan bergerak dari status ‘pendudukan’ dengan status
‘profesi’. Klaim untuk status profesional dan munculnya standar
dan penghargaan khas dari perjalanan yang membuat pekerjaan
(atau mencoba untuk membuat) menuju profesionalisasi. Namun,
beberapa pekerjaan jatuh pendek dari tanda atau, paling banter,
menjadi semi-profesi dengan pelatihan yang lebih pendek, kurang
pengetahuan khusus; dan lebih sosial (negara bagian) kontrol.
Jika pembinaan adalah untuk menjadi profesi harus mengadopsi
kriteria seperti pengembangan disepakati dan terpadu tubuh
pengetahuan, standar profesional dan kualifikasi, dan kode etik
dan perilaku. Sementara beberapa di antaranya sudah selesai atau
dalam pengembangan, kelanjutan dari banyaknya tumbuh asosiasi
pembinaan menunjukkan bahwa jalur pembinaan untuk
profesionalisasi mungkin menjadi yang terbaik bergelombang,
dan paling buruk tergelincir.
Rusman mengatakan, profesi adalah suatu jabatan atau
pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya jabatan
profesional tidak bisa dilakukan atau dipegang oleh sembarangan
orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk
melakukan pekerjaan tersebut. Melainkan melalui proses
pendidikan dan pelatihan yang disiapkan secara khusus untuk
bidang yang diembannya. Misalnya, seorang guru profesional

5
yang memiliki kompetensi keguruan melalui pendidikan guru
seperti (S1-PGSD, S1 Kependidikan, AKTA Pendidikan) yang
diperoleh dari pendidikan khusus untuk bidang tersebut. Jadi
kompetensi guru tersebut diperoleh melalui apa yang disebut
profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang
menjalani profesi itu (preservice training atau pra jabatan)
maupun setelah menjalani suatu profesi (inserice training).
Profesi dapat diartikan juga sebagai suatu jabatan atau pekerjaan
yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang
diperolehnya dari pendidikan akademis yang intensif (Webster,
1989).
Selanjutnya disebut Rusman dengan mengutif pendapat
Martinis Yamin (2007), “Profesi mempunyai pengertian
seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian,
kemampuan, tehnik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.”
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian atau kecakapan yang mmenuhi mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Menurut Djam’an
Satori, “profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang
menyandang suatu profesi, misalnya, “Dia seorang profesional”.
Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya
yang sesuai dengan profesinya. Sementara itu menurut Walter
Jhonson (1959) prefesional (professionals) sebagai “seseorang
yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunysai tingkat
kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan
dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian

6
kmampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang berkadar
tinggi.”
Pengertian lain dari Uzer Usman (1992), profesional adalah
“suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa
bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian
diaplikasikan bagi kepentingan umum.” Kata profesional itu
sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan
sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian
seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain,
pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya
dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu
dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena
tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak
pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah
orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam
bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan
fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.6
Profesionalisme berasal dari profession yang berarti pekerjaan.
Menurut Aripin (1995) profession mengandung arti yang sama
dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan
keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.
Pengertian profesionalisme adalah suatu pandangan terhadap
keahlian tertentu yang diperlukan dalam pekerjaan tertentu, yang
mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus
atau latihan khusus. (Aripin, 1995: 105). Jadi profesionalisme
mengarah kepada komitmen para anggota suatu profsi untuk
meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus
mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam

7
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesi yang
diembannya.7
Millerson (1973, pp. 1-2) menyarankan ada tiga metode
alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi profesi, yaitu:8
1. Looking for a set of characteristic or traits assosiated with
professions. (Mencari satu set karakteristik atau ciri assosiated
dengan profesi.)
2. Looking for evidence of professionalisation (the process
through which occupation are said to become professions.
(Mencari bukti profesionalisasi (proses dimana pendudukan
dikatakan menjadi profesi)).
3. Developing a model of professionalism based or certain
sociological aspects of professional practice (Mengembangkan
model profesionalisme berbasis atau tertentu aspek sosiologis
praktek profesional)
1.1.2 Pendidik
Pendidik mempunyai dua arti, ialah arti yang luas dan arti
yang sempit. Pendidik dalam arti yang luas adalah semua orang
yang berkewajiban membina anak-anak. Secara alamiah semua
anak, sebelum mereka dewasa menerima pembinaan dan orang-
orang dewasa agar mereka dapat berkembang dan bertumbuh
secara wajar. Sebab secara alamiah pula anak manusia
membutuhkan pembimbingan seperti itu karena ia dibekali insting
sedikit sekali untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini
orang-orang yang berkewajiban membina anak secara alamiah
adalah orangtua mereka masing-masing, warga masyarakat, dan
tokoh-tokohnya.

8
Sementara itu, pendidik dalam arti sempit adalah orang-
orang yang disiapkan dengan sngaja untuk menjadi guru dan
dosen. Kedua jenis pendoidik ini diberi pelajaran tentang
pendidikan dalam waktu relatif lama agar mereka menguasai ilmu
itu dan terampil melaksanakannya di lapangan. Pendidik ini tidak
cukup belajar di perguruan tinggi saja sebelum diangkat jadi guru
atau dosen, melainkan juga belajar dan diajar selama mereka
bekerja, agar profesionalisasi mereka semankin meningkat.9
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28 ayat 1). Kualifikasi
akademik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah tingkat
pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik
yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang
relevan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 2). 10
Di atas persyaratan tersebut di atas, seorang pendidik wajib
memahami dan mengamalkan dengan sebaik-baiknya pengertian
atau batasan tentang pendidikan yang menjadi wilayah kerja
keprofesionalannya, yaitu:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”
(UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 1).

1.2 Konsep pendidikan profesi guru (PPG)

9
Konsep pendidikan profesi guru berdasarkan PERMENNEG
PAN & RB No. 16/2009 dimana Guru harus berlatang belakang
pendidikan S1/D4 dan Pendidikan Profesi Guru (Sertifikat
Profesi). CPNS guru harus mengikuti Program Induksi dan
Pendidikan Pelatihan Pra-Jabatan . Empat jabatan fungsional guru
(Pertama, Muda, Madya, Utama), Beban mengajar guru 24 jam –
40 jam tatap muka per minggu atau membimbing 150 - 250
konseli per tahun .
Instansi pembina Jabatan Fungsional Guru adalah
Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan :
 Peningkatan karir guru ditetapkan melalui penilaian angka
kredit oleh Tim Penilai
 Jumlah angka kredit yang diperoleh guru terkumpul dari angka
kredit:
• Unsur utama (Pendidikan, PK GURU, dan PKB), e” 90%
• dan unsur penunjang, d”10%
 Penilaian kinerja guru dilakukan setiap tahun (Formatif dan
Sumatif)
 Nilai kinerja guru dikonversikan ke dalam angka kredit yang
harus dicapai (125%, 100%, 75%, 50%, 25%).

Tujuan umum :
 meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah
/madrasah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Tujuan khusus:
 Memfasiltasi guru untuk mencapai standar kompetensi profesi
yang telah ditetapkan.

10
 Memfasilitasi guru untuk terus memutakhirkan kompetensi
yang mereka miliki sekarang dengan apa yang menjadi
tuntutan ke depan berkaitan dengan profesinya.
 Memotivasi guru-guru untuk tetap memiliki komitmen
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga
profesional.
 Mengangkat citra, harkat, martabat profesi guru, rasa hormat
dan kebanggaan kepada penyandang profesi guru.

Belajar juga dapat diartikan sebagai suatu proses usaha sadar


yang di lakukan oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak
tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi memilik
sikap yang benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan
sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan
atau informasi yang di sampaikan. Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif membuat ataupun merevisi hasil belajar yang
di terimanya menjadi suatu pengalaman yang bermanfaat bagi
individinya. Sebagaimana gambar di bawah ini, belajar adalah
bagaimana peranan guru di dalam member pembelajaran di dalam
kelas, jika siswa pasif/reseptif (Teacher Center Learning),
dibutuhkan metode pembelajaran yang baru dari guru menjadi
berpusat kepada siswa (student center learning).

11
Gambar 1. Peranan Guru dalam pembelajaran

Peranan Guru dalam pembelajaran menunjukkan bagaimana


kegiatan guru terlibat langsung dalam skema pembelajaran mulai
dari persiapan, kemudian melaksanakan kegiatan pembelajaran
dan menindaklanjuti pembelajaran tersebut sebagaimana
keterangan di bawah ini :
Persiapan, merencanakan program pengajaran tahunan,
semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) dan
penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan
alat evaluasi, buku atau media cetak lainnya.
Melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu
pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Banyak
dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode
pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya,
serta filosofi kerja dan komitmen guru , persepsi, dan sikapnya
terhadap siswa;

12
Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya.
Kegiatan pasca pembelajaran ini dapat berbentuk enrichment
(pengayaan), dapat pula berupa pemberian layanan remedial
teaching bagi siswa yang berkesulitan belajar.
Menurut Begge peranan guru dalam pembelajaran adalah
bagaimana guru mengupayakan suatu perubahan yang
berlangsung dalam kehidupan individu siswa sebagai upaya
perubahan dalam pandangan, sikap, pemahaman atau
komunikasidari semuanya. Belajar selalu menunjukkan
perubahan sistematis dan tingkah laku yang terjadi sebagai
konskwensi pengalaman dalam situasi khusus. Di dalam banyak
hal belajar adalah proses mencoba dengan kemungkinan keliru
dan pembiasaan. Kemampuan belajar seseorang harus bisa di
perhitungkan dalam menentukan isi pelajaran. Belajar melalui
praktik akan lebih efektif daripada melakukan hapalan.
Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar siswa
belajar. Pembahasan mengenai pembelajaran lebih menekankan
pada guru dengan segala proses yang menyertai untuk melakukan
perubahan perilaku terhadap perserta didik. Perubahan dalam
paradigma pembelajaran merupakan suatu aktifitas
mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik baiknya dan
menghubungkan dengan anak didik sehingga terjadi proses
belajar mengajar. Sebagaimana gambar 2 di bawah ini indikator

13
perubahan paradigm dalam pembelajaran:

Gambar 2. Perubahan Paradigma dalam Pembelajaran

14
Perubahan paradigma dalam pembelajaran sebagaimana
gambar 2 di atas adalah proses pembelajaran bagaimana guru
mendampingi peserta didik dalam proses belajar. Karena sekolah
merupakan medan belajar, baik guru maupun peserta didik
terpanggil untuk belajar. Guru terpanggil untuk bersedia belajar
bagaimana mendampingi atau mengajar dengan baik dan
menyenangkan; peserta didik terpanggil untuk menemukan cara
belajar yang tepat.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada
diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi
karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.
Oleh karena itu belajar dapat terjadi dimana dan di kapan saja .
salah satu pertanda bahwa seseorang itu telah belajar adalah
adanya terjadi suatu perubahan tingkah laku pada diri orang itu
yang mungkin di sebabkan oleh terjadinya perubahan pada
tingkat pengetahuan, keterampilan atau sikap nya.
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang
dirinya. Yaitu bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk
mendampingi peserta didik untuk belajar. Guru dituntut untuk
mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik
itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru
terpanggil untuk menemukan penyebab kegagalan dan mencari
jalan keluar bersama dengan peserta didik; bukan
mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Perubahan paradigma dalam pembelajaran merupakan awal
dibutuhkan guru profesional, guru yang mampu mendesain
pembelajaran sesuai kebutuhan pembelajaran di kelas. Perubahan
paradigma dalam pembelajaran berarti konsep pembelajaran
teacher center menjadi student center inilah yang menghasikan

15
konsep pendidikan profesi guru. Pendidikan profesi guru
menjadikan proses pembelajaran yang lebih efektif, efesien dan
peningkatan mutu pembelajaran lebih baik.

1.3 Peranan profesionalisme kependidikan


Profesionalisme kependidikan merupakan syarat utama
mewujudkan pendidikan bermutu di tanah air Indonesia. Hal
inilah yang melatarbelakangi pemerintah mengupayakan
langkah-langkah strategis untuk meningkatkan profesionalitas
guru-guru dimasyarakat Indonesia. Menyadari begitu pentingnya
peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember
2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan
meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh
mereka yang kepepet mencari kerja. Eksistensi guru tersebut
dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30
Desember 2005.
Undang-undang guru dan dosen ini dalam kenyataan di
dunia pendidikan sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan
dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan
sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

16
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk
meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen
pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga
profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan
nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat
dari pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi.
Sementara guru-guru yang belum mendapatkan sertifikat, seolah-
olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal yang
namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah
harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian
mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan
yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam
melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat
profesi itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat
profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak
menyentuh substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran
yang digunakan pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan
sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam

17
Berdasarkan undang-undang Guru dan Dosen11 ada 8
(delapan) peranan profesionalisme kependidikan di Indonesia
yang lebih dikenal dengan pendidik/pengajar. Kesebelas tenaga
kependidikan ini berperan dalam menyelenggarakan pendidikan
sebagai suatu profesionalisme pendidik dengan tugas-tugas
khusus yaitu seorang profesionalisme pendidik. Sebagai seorang
Pendidik, sebutan lain seorang guru dalam profesinya dikenal
dengan sebutan lain yaitu:
1. Guru
Menurut UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen. Pada
Bab I Pasal 1, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama pendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen
Menurut UU No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen. Pada
Bab I Pasal 1, Dosen adalah pendidik profesional dan
ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
3. Konselor
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan
Konselor adalah pendidik dan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 mengemukakan
Konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah.

18
Konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam
melakukan konseling. Berlatar belakang pendidikan minimal
sarjana strata 1 (S1) dari jurusan Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan (PPB), Bimbingan Konseling (BK), atau
Bimbingan Penyuluhan (BP). Mempunyai organisasi profesi
bernama Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN).
4. Pamong Belajar
Menurut Permenpan dan RB (Peraturan Menteri
Pendayagunaan dan Reformasi Birokrasi) No. 15 Tahun
2012, Pamong Belajar adalah pendidik dengan tugas utama
melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program,
dan pengembangan model pendidikan nonformal dan
informal (PNFI) pada unit pelaksana teknis (UPT) atau unit
pelaksana teknis daerah (UPTD) dan satuan PNFI. Pamong
belajar merupakan jabatan karier yang hanya dapat diduduki
oleh seseorang yang telah berstatus sebagai pegawai negeri
sipil. PNFI sekarang berganti nama menjadi PAUDNI
(Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal)
5. Widyaiswara
Widyaiswara adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang
diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang
berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk
mendidik, mengajar, dan/atau melatih pegawai negeri sipil
(PNS) pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat)
pemerintah.
6. Tutor

19
Tutor adalah orang yang membelajarkan atau orang yang
memfasilitasi proses pembelajaran di kelompok belajar
(Chairudin Samosir, 2006:15). Tutor merupakan pembimbing
dan pemotivasi peserta didik untuk mempelajari sendiri
materi ajar yang tersaji dalam modul pembelajarannya.
Tutor dapat berasal dari guru atau pengajar, pelatih, pejabat
struktural, atau bahkan siswa yang dipilih dan ditugaskan
guru untuk membantu teman-temannya dalam belajar di
kelas.
7. Instruktor
Instruktor adalah orang yang bertugas mengajarkan sesuatu
dan sekaligus memberikan latihan dan bimbingannya;
pengajar; pelatih; pengasuh (KBBI online)
8. Fasilitator
Fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok
orang memahami tujuan bersama mereka dan membantu
mereka membuat rencana guna mencapai tujuan. Tugas
fasilitator dalam sebuah proses pembelajaran pada hakikatnya
mengantarkan peserta didik untuk menemukan sendiri isi atau
materi pelajaran yang ditawarkan atau yang disediakan
melalui atau oleh penemuannya sendiri.
Peranan keprofesionalan Guru dan dosen adalah sebagai
pendidik yang profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dan sebagai fasilitator tenaga pendidikan. Profesional adalah

20
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Undang-Undang Guru dan Dosen ( UUGD ) merupakan
suatu ketetapan politik bahwa pendidik adalah pekerjaan
profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus
kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat
mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak
dari profesi tersebut. Dalam UUGD No 14 tahun 2005 ditentukan
bahwa seorang pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kompetensi
profesi pendidik meliputi kompetensi pedagodik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Kompetensi profesi pendidik ini melahirkan Pendidikan
Profesi Guru yang dikenal dengan lembaga ; Lembaga
Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK) yang menghasilkan guru
yang profesional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan kompetensi guru. Sertifikasi dengan portofolio,
sertifikasi dengan PLPG, belum menunjukkan hasil seperti yang
diharapkan. Faktanya, setiap tahun dihasilkan ribuan lulusan
LPTK, hal ini tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan guru,
sehingga terjadi oversupply. Maka untuk mendapatkan guru-guru
yang unggul, Pendidikan Profesi Guru merupakan jalan keluar.
Dan bila saat ini sampai beberapa tahun ke depan kebijakan
Pendidikan Profesi Guru menyangkut inputnya adalah hanya
mereka yang telah melaksanakan pengabdian melalui SM-3T,
maka akhirnya hanya mereka yang memang benar-benar

21
terpanggil untuk menjadi guru sajalah yang akan menjadi guru.
Guru menjadikan dirinya berperan menjadi guru yang profesional.

Endnote

Graham Cheetham,G. E. Chivers, Professions, Competence and


Informal Learning, Edward Elgar Publishing Limited,
Massachusetts,2005, hal. 6.
2
Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Pustaka Setia, Bandung,
2002, hal. 20
3
Sudarwan Danim, Op.cit., hal. 21
4
Sudarwan Danim, Op.cit., hal. 21-22
5
Sudarwan Danim, Op.cit., hal. 22
6 22
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan
Profesionalisme Guru, PT. RajaGrafindo – Persada, Jakarta, 2011,
LEMBAR KERJA MAHASISWA

Nama :

NPM :

Nilai :

Dosen Pengampu :

23
LEMBAR KERJA MAHASISWA

Nama :

NPM :

Nilai :

Dosen Pengampu :

24
BAB LANDASAN
PROFESI
2 KEPENDIDIKAN

25
2.1 Landasan Hukum
2.1.1 Dasar Hukum undang-undang pendidikan profesi guru
Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan hukum
tertinggi di Indonesia. Semua peraturan perundang-undangan
yang lain harus tunduk atau tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar ini. Sesuai dengan namanya, ia mendasari
semua perundang-undangan yang ada yang muncul kemudian.
Kedudukan seperti ini, membuat Undang-Undang Dasar
mengandung isi yang sifatnya umum. Demikianlah aturan tentang
pendidikan dalam Undang-Undang Dasar ini sangat sederhana.
Pasal-pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 hanya 2 pasal, yaitu Pasal 31 dan
Pasal 32. Yang satu menceritakan tentang pendidikan dan yang
satu menceritakan tentang kebudayaan. Pasal 31 ayat 1 berbunyi:
“Tiap-tiap warga ngara berhak mendapat pengajaran. Ayat 2 pasal
ini berbunti: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat ini berkaitan
dengan wajib belajar 9 tahun di SD dan SMP yang sedang
dilaksanakan. Agar wajib belajar ini berjalan lancar, maka
biayanya harus ditanggung oleh negara. Kwajiban negara ini
berkaitan erat dengan ayat 4 pasal yang sama yang
mengharuskan negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD.
Ayat 3 pasal ini berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Ayat ini
mengharuskan pemerintah mengadakan satu sistem pendidikan
nasional, untuk memberikan kesempatan kepada setiap warga
negara mendapatkan pendidikan. Kalau karean suatu hal
seseorang atau sekelompok masyarakat tidak bisa mendapatkan
kesempatan belajar, maka mereka bisa menuntut hak itu kepada

26
pemerintah. Atas dasar inilah pemerintah menciptakan sekolah-
sekolah khusus yang bisa melayani kebutuhan masyarakat
terpencil, masyarakat yang penduduknya sedikit, dan masyarakat
yang penduduknya tersebut berjauhan satu dengan yang lain.
Sekolah-sekolah yang dimaksud antara lain ialah SD kecil, SD
Pamong, SMP terbuka dan sistem belajar jarak jauh.
Pasal 32 Undang-Undang Dasar itu pada ayat 1 bermaksud
memajukan budaya nasional serta memberikan kebebasan kpada
masyarakat untuk mengmbangkannya dan ayat 2 menyatakan
negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
bagian dari budaya nasional. Mengapa pasal ini juga berhubungan
dengan pendidikan? Sebab pendidikan adalah bagian dari
kebudayaan. Seperti kita telah ketahui bahwa kebudayaan adalah
hasil dari budi daya manusia. Kebudayaan akan berkembang bila
budi daya manusia ditingkatkan. Sementara itu sbagian besar budi
daya bisa dikembangkan kemampuannya melalui pendidikan. Jadi
bila pendidikan maju, maka kebudayaan pun akan maju pula.
Kebudayaan dan pendidikan adalah dua unsur yang saling
mendukung satu sama lain. Bila kebudayaan maju berarti
pendidikan ikut maju. Karena kebudayaan yang banyak aspeknya
akan mendukung program dan pelaksanaan pendidikan. Dengan
demikian upaya memajukan kebudayaan brarti juga sbagai upaya
memajukan pendidikan.
2.1.2 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Di antara peraturan perundang-undangan RI yang paling
banyak membicarakan pendidikan adalah Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2003. Sebab undang-undang ini bisa disebut
sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan.
Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya, artinya
segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tinggi ditentukan
dalam undang-undang ini.

27
2.2 Landasan Filsafat
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang
mndalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran
menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kbenaran ilmu
yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari
segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam
yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan
mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang di atas
permukaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami
sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang
ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Secara garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu
metafisika, epistemologi, logika dan etika, dengan kandungan
materi masing-masing sebagai berikut:1
1. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang haikat segala
sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitannya dengan
manusia, ada dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a. Manusia pada hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah
jiwa atau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan
berkwajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu.
Pendidikan adalah untuk mengaktualisasikan diri.
Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Skolastik, dan
beberapa Realis.
b. Manusia adalah organisme materi. Pandangan ini dianut
oleh kaum Naturalis, Materialis, Eksperimentalis,
Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk
hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kahidupan
manusia menjadi menyenangkan.
2. Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang
pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing
sebagai berikut:

28
a. Ada lima sumber pengetahuan, yaitu:
1) Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks
yang baik, rumus dan tabel.
2) Common sense, yang ada pada adat dan tradisi
3) Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
4) Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman
5) Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan
pengtahuan secara ilmiah.
b. Ada empat teori kebenaran, yaitu:
1) Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan
kebenaran umum
2) Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan
fakta yang dijelaskan.
3) Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila
konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
4) Skeptisisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada
kebenaran yang lengkap.
3. Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia
berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika
diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan
pendapatnya secara tepat dan benar.
4. Etika ialah filsafat yang menguraikan tentang perilaku
manusia. Nilai dan norma masyarakat secara ajaran agama
menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika
sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan
pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, antara
lain afeksi peserta didik.

29
2.3 Landasan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa
manusia. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan
jasmani. Jiwa balita baru berkembang sedikit sekali sejajar
dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sederhana
sekali. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya,
dengan melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai
kedewasaan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.2
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani inilah seyogianya
anak-anak belajar, sebab pada masa ini mereka peka untuk
belajar, punya waktu banyak untuk belajar. Oleh karena itu,
layanan-layanan pendidikan terhadap mereka harus pula dibuat
bertingkat-tingkat agar pelajaran itu dapat dipahami oleh anak-
anak. Sebab pendidikan adalah perlakuan terhadap anak didik
dan secara psikologis perlakuan ini harus selaras mungkin dengan
keadaan anak didik.3
Adapun soal-soal psikologis yang berperan dalam proses
pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:4

Kelompok pertama yang bersumber pada peninjauan individu


dalam statusnya sebagai anak didik, yaitu anak didik dalam
situasi pendidikan. Peninjauan ini dapat dikata peninjauan secara
statis. Dalam kelompok ini dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Sifat-sifat yang umum daripada aktivitas manusia, ditinjau
secara psikologis. Para anak didik itu beraktivitas dalam cara-
cara yang seperti dilakukan oleh manusia-manusia lain pada
umumnya. Mereka memperhatikan, mengerti, mengamati,
mengingat, berkhayal, berpikir, dan sebagainya seperti
manusia-manusia lain pada umumnya. Hukum-hukum
psikologis yang mendasari aktivitas yang demikian itu adalah
hukum-hukum psikologis yang bersifat umum. Untuk dapat
memahami para anak didik itu pendidik harus mempunyai
bekal pengetahuan psikologis yang brsifat umum itu, yaitu

30
pengetahuan mengenai hukum-hukum psikologis yang
mendasari aktivitas manusia pada umumnya itu.
2. Di samping aktivitas-aktivitas yang bersifat umum, pada para
anak didik kita dapatkan sifat-sifat individual yang khas.
Misalnya ada anak yang sudah cukup diisyarati saja untuk
menghentikan perbuatannya yang kurang layak (misalnya
bermain-main sementara guru mengajari), ada yang perlu
ditegur, bahkan ada pula yang tidak cukup dengan ditegur dan
membutuhkan tindakan lain yang lebih keras (misalnya
dipindahkan tempat duduknya ke dekat guru, dan
sebagainya). Ada anak yang mudah bergaul, sebaliknya ada
yang sukar sekali mendapatkan teman, ada anak yang sangat
setia kepada teman-temannya, ada anak yang suka membeo,
ada yang suka berpedoman kepada pendapat sendiri; ada anak
yang lebih suka kepada soal-soal politik, ada yang lebih suka
kepada soal-soal kesenian, yang lain lagi lebih suka kepada
soal-soal kemasyarakatan atau keagamaan, dan sebagainya.
Pendek kata, kepribadian anak didik itu berlain satu sama
lain, dan demi suksesnya usaha pendidikan hal ini harus
dikenal oleh pendidik. Pendidik perlu mengenal bagaimana
struktur kepribadian anak didiknya, bagaimana dinamikanya,
dan bagaimana kepribadian yang demikian itu terbentuk. Di
samping itu pengetahuan mengenai tipe-tipe kepribadian anak
didik adalah sangat berguna dipandang dari segi praktis.
3. Kecuali kita dapatkan perbedaan antara individu yang satu
dan individu yang lain dalam hal kepribadian mereka masih
kita dapatkan adanya sifat-sifat individual yang lain yang
khas. Salah satu sifat yang demikian itu yang besar
peranannya dalam proses pendidikan adalah sifat yang khas
yang berasal pada inteligensi. Kita kenal ada anak yang cepat
menangkat inti persoalan yang dihadapi, ada yang tidak; ada
yang dapat mengingat banyak sekali hal, ada yang tidak; ada
yang sukar kalau harus bekerja dengan angka-angka, ada
yang tidak; ada yang mempunyai orientasi ruang baik; ada

31
yang tidak, dan sebagainya. Perbedaan dalam inteligensi
mengakibatkan adanya perbedaan antara individu yang satu
dengan individu lainnya. Perlu sekali para pendidikan
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hal ini, dan
mengamalkannya sejauh mungkin. Apalagi telah terbukti
terutama waktu anak-anak masih sangat muda inteligensi
dapat dipakai sebagai salah satu petunjuk yang penting untuk
meramalkan bagaimanakah kiranya hasil studi mereka
kemudian.
4. Masih ada satu sifat khas lagi pada individu yang besar
peranannya dalam individu mendapatkan pendidikan,
terutama untuk pendidikan di atas tingkat pendidikan dasar
terlebih-lebih lagi pada pendidikan kejuruan dan pendidikan
orang dewasa. Telah diakui bahwa antara individu yang satu
dengan individu yang lain terdapat perbedaan dalam bakat.
Suatu hal yang telah dianggap self-evident adalah bahwa anak
didik akan lebih berhasil belajar mereka kalau mereka belajar
dalam lapangan yang sesuai dengan bakat mereka. Dan
selanjutnya juga orang akan lebih berhasil dalam bekerja
kalau orang tersebut bekerjanya pada lapangan yang sesuai
dengan bakatnya. Adalah suatu hak yang sangat ideal kalau
kita dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan bakat
para anak didik. Dari penalaran ini nyata, bahwa adalah suatu
keharusan kalau pendidikan mengenal bakat para anak
didiknya.

Kelompok keduabersumber pada peninjauan individu dalam


proses pendidikan. Kita ketahui bahwa individu sebenarnya tidak
pernah ada dalam keadaan statis. Artinya sebenarnya selalu
terjadi perubahan di dalam dirinya. Di dalam proses pendidikan
justru perubahan inilah yang menjadi pokok persoalan.
Pendidikan berusaha merangsang dan memberi arah perubahan
ini sesuai dengan cita-cita pendidikan yang menjadi pedoman

32
usaha itu. Dalam hal ini ada dua soal pokok, seperti dikemukakan
berikut ini:
1. Soal pertama yang membicarakan soal perkembangan.
Perubahan individu ke arah kemajuan itu secara tehnis kita
sebut perkembangan. Supaya pendidikan dapat bertindak
sesuai dengan keadaan psikologis anak didiknya, perlu dia
tahu bagaimana perkembangan itu terjadi, faktor-faktor yang
mempengaruhinya apa saja, bagaimana sifat-sifat individu
pada masa-masa perkembangan tertentu, dan sebagainya.
2. Soal-soal yang kedua membicarakan perubahan pada individu
yang terjadi karena belajar. Belajar dan mengajar merupakan
inti daripada tindak pendidikan. Melalui belajar itulah anak
didik mendapatkan pendidikan. Karena itu tidak
mengherankan bahwa banyak ahli yang menganggap bahwa
masalah belajar inilah inti psikologis pendidikan. Maka untuk
suksesnya usaha mendidik para anak didik, perlu para
pendidik mengetahui seluk beluk belajar ini; faktor-faktor apa
yang mempengaruhi, bagaimana proses terjadinya, soal ini
akan dikemukakan pada sarinya, dan sebagainya.
3. Selanjutnya, masalah evaluasi hasil-hasil pendidikan. Adalah
suatu hal yang lumrah kalau seseorang berusaha mnilai hasil
usaha yang telah dilakukan. Di dalam lapangan usaha
pendidikan masalah evaluasi ini justru sangat penting karena
hasil evaluasi ini akan menjadi landasan bagi usaha
selanjutnya.

Kelompok ketigamakin kuatnya pandangan mengenailife long


education dan pentingnya nonformal education, makin mendesak
untuk mendapat penyorotan. Apa yang dimaksud di sini ialah
sebagai berikut:
1. Masalah psikologis dalam bimbingan dan konseling.
Pendidikan berusaha memberikan bantuan supaya anak didik

33
mendapatkan perkembangan yang wajar. Mendapatkan
ketentraman batin, dapat menyelesaikan problem-problem
yang dihadapinya, dan sebagainya. Tentu saja selalu
diharapkan bahwa hal-hal yang demikian itu akan dapat
selalu terjadi pada setiap anak didik. Akan tetapi apa yang
terjadi dalam kenyataan tidaklah demikian.
Banyak sekali individu baik belum dewasa maupun sudah
dewasa, yang pada suatu saat tidak mampu menyelesaikan
sendiri probelm-problemnya; mereka ini memerlukan bantuan
orang lain. Hal-hal yang bersangkut paut dengan bimbingan
dan konseling ini banyak sekali.
2. Masalah khusus lain adalah tentang individu-individu yang
tidak mengikuti pendidikan biasa. Tentu saja masyarakat, dan
terlebih-lebih para pendidik tidak dapat mengabaikan masalah
ini. Kelainan mereka ini untuk sebagian besar adalah bersifat
psikologis, karena itulah para pendidik mempunyai bekal
pngetahuan yang memadai mengenai hal ini.
3. Pendidikan orang dewasa dari sudut pandang psikologis.
4. Psikologi bahan pelajaran. Bahan pelajaran sebagai sesuatu
yang disajikan kepada anak didik akan dihayati dan dipelajari
dengan cara tertentu. Bahan itu sendiri mempunyai struktur
dan kualitas tertentu yang ikut menentukan proses psikologis
yang terjadi pada individu yang menghadapinya.

2.4 Landasan Sosial Budaya


Sosial budaya merupakan bagian hidup yang paling dekat
dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir
tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian
terbesar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok.
Pekerjaan di rumah, di kantor, di perusahaan, di perkebunan, di
bengkel dan sebagainya, hampir semuanya dikerjakan oleh lebih
dari seorang. Ini berarti unsur sosial ada pada kegiatan-kegiatan

34
itu. Selanjutnya tentang apa yang dikerjakan dan cara
mengerjakannya serta bentuk yang diinginkan merupakan unsur
dari suatu budaya.
Sosial mengacu kepada hubungan antar indiidu, antar
masyarakat, dan indiidu dengan masyarakat. Unsur sosial ini
merupakan aspek individu secara alami, artinya aspek ini telah
ada sejak manusia dilahirkan. Karena itu, aspek sosial melekat
pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam perjalanan
hidup peserta didik agar menjadi matang. Di samping tugas
pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat
berperan dalam membantu anak dalam upaya mengembangkan
dirinya. Maka segi sosial ini perlu diperhatikan dalam proses
pendidikan.
Aspek budaya juga berperan sama halnya dengan aspek
sosial dalam proses pendidikan. Malah dapat dikatakan tidak ada
pendidikan yang tidak dimasuki unsur budaya. Materi yang
dipelajari anak-anak adalah budaya, cara belajar mereka adalah
budaya, begitu pula kegiatan-kegiatan mereka dan bentuk –bentuk
yang dikerjakan juga budaya. Dengan demikian budaya tidak
pernah lepas dari proses pendidikan itu sendiri.5

35
Endnote

Made Pidarta, Op.cit., hal. 76-78


2
Made Pidarta, Op.cit., hal. 194-195
3
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, cetakan ke-11, 2002, hal.5
4
Sumadi Suryabrata, Op.cit., hal. 5-11
5
Made Pidarta, Op.cit., hal. 150-151

36
LEMBARAN KERJA MAHASISWA

Nama :

Nim :

37
LEMBARAN KERJA MAHASISWA

Nama :

Nim :

38
BAB MENJADI GURU
PROFESIONAL
3

3.1 Profesi dan Kode Etik Guru


Kode etik pendidik adalah salah satu bagian dari profesi
pendidik. Artinya setiap pendidik yang profesional akan
melaksanakan etika jabatannya sebagai pendidik. ISPI dalam
temu karya pendidikan III dan Rakornas di Bandung Tahun 1991
mengemukakan kode etik sarjana pendidikan Indonesia sebagai
berikut: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan
jujur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, (2) menjungjung
tinggi harkat dan martabat peserta didik (3) menjungjung tinggi
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, (4) selalu menjalankan tugas dengan
berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu
pendidikan, dan (5) selalu melaksanakan pendidikan, penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat.
Kode etik pendidik ini bertalian erat dengan unsur-unsur
yang dinilai dalam menentkan DP3 menurut PP Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1979. Unsur-unsur yang dimaksud

39
adalah: (1) kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, negara,
serta bangsa, (2) berprestasi dalam kerja, (3) bertanggungjawab
dalam bekrja, (4) taat kepad peraturan perundang-undangan dan
landasan, (5) jujur dalam melaksanakan tugas, (6) bisa melakukan
kerja sama dengan baik, (7) memiliki prakarsa yang positif untuk
memajukan pekerjaan dan hasil kerja, dan (8) memiliki sifat
kepemimpian.1
Para guru di Indonesia menyadari bahwa jabatan guru
adalah suatu profesi yang mulia. Guru mengabdikan diri dan
berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang
beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, srta menguasai IPTEKS
dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas. Para guru di
Indonesia idealnya selalu tampil secara profesional dengan tugas
utamanya adalah mendidik, membimbing, melatih, dan
mengembangkan kurikulum atau perangkat kurikulum,
sebagaimana bunyi prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya
mangun karso, tut wuri handayani.” Artinya seorang guru bila di
depan memberikan suri teladan atau contoh, di tengah
memberikan prakarsa dan di belakang memberikan dorongan atau
motivasi.
Kode Etik Guru merupakan panduan bagi para guru
memagari sikap guru sebagai seorang pendidik, oleh karena itu
para guru mempunyai 7 (tujuh) sikap profesionalisme
kependidikan yang disesuaikan dengan kode etik guru UU No. 14
tahun 2005 yaitu :
1. Sikap Terhadap Peraturan Perundang-undangan
Salah satu butir Kode Etik Guru indonesia:”guru
melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan”(PGRI, 1973). Kebijaksanaan pendidikan di
negara kita di pegang oleh pemerintah yaitu Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, kebijakan pusat maupun daerah,
maupun departemen lain dalam rangka pembinaan pendidikan
di negara kita.
2. Sikap Terhadap Organisasi Profesi

40
Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan
mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan
pengabdian. Selain itu dalam butir keenam dari Kode Etik
dinyatan bahwa Guru “ secara pribadi maupun bersama-
sama,mengembangkan, dan meningkatkan mutu dan martabat
profesinya.
3. Sikap Tehadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 Kode Etik Guru:”Guru memlihara hubungan
seprofesi, semangat kekluargaan, dan kesetiakawanan sosial”.
Ini berarti bahwa:
a) Guru menciptakan dan memlihara hubungan sesama guru
dalam lingkungan kerjanya.
b) Guru menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan
dan kesetiakawanan sosial diluar maupun dalam
lingkungan kerjanya.
4. Sikap Tehadap Anak Didik
Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila(Kode
Etik Guru Indonesia). Guru herus membimbing anak didikya.
5. Sikap Terhadap Tempat Kerjanya
Suasana yang baik di di tempat kerja akan meningkatkan
produktivitas. Untuk itu “guru menciptakan suasana sekolah
sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar
mengajar”(kode etik). Selain itu guru juga membina hubungan
baik dengan orang tua dan masyarakat sekitar.
6. Sikap Terhadap Pemimpin
Sikap seorang guru terhadap pemimpin ahrus positif, dalam
pengertian harus bekerja sama dalam menyukseskan program
yang sudah disepakati, baik disekolah maupun di luar sekolah.
7. Sikap Terhadap Pekerjaan
Seorang guru hendaknya mencintai pekerjaannya dengan
sepenuh hati. Melaksanakan tugas melayani dengan penuh
ketlatenan dan kesabaran.

3.1 Guru Yang Profesional

41
Pengertian profesionalisme guru
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu
bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang.
Profesi juga dapat diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan
tertentu yang mengisyaratkan pengetahuan dan keterampilan
khusus yang diperolh dari pendidikan akademis yang intensif.
(Webster, 1989).2
Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan,
dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang
pendidikan dan pembelajaran yang berkaitan dengan pekerjaan
seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru
yang profesionalisme adalah guru yang memiliki kompetensi
yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan
pembelajaran. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan,
sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru
dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah
orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang luas di bidangnya.3
Guru yang profesional merupakan faktor penentu proses
pndidikan yang berkualitas. Untuk dapat menjadi guru
profesional mereka harus mampu menemukan jati diri dan
mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan dan kaidah-
kaidah guru yang profesional.
Berkenaan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam
pendidikan Sanusi et al. (1991:23) mengutarakan enam asumsi
yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan,
yaitu:
1. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan,
pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat dikembangkan
sesuai dengan potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi
oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat
manusia.

42
2. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni scara sadar
brtujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh
norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara uniersal,
nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik,
peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3. Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka hipotesis
dalam menjawab permasalahan pendidikan.
4. Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni
manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang.
Oleh sebab itu, pendidikan itu adalah usaha untuk
mengembangkan potensi unggul tersebut.
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi dimana
terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidikan yang
memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang
dikehendaki oleh pendidik agar selaras dengan nilai-nilai yang
dijungjung tinggi masyarakat.
6. Sering terjadi dilemba antara tujuan utama pendidikan, yaitu
menjadikan manusia sebagai manusia yang baik (dimensi
intrinsik) dengan misi instrumental, yakni merupakan alat
untuk perubahan atau mencapai sesuatu.
3.1.1 Berkompetensi
Menurut, PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28, Ayat 3 dan UU
No. 14 Tahun 2005 Pasal 10, Ayat 1, menyatakan 17
“Kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini
meliputi: (a) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi kepribadian,
(c) kompetensi profesional, dan (d) kompetensi sosial.
a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut
kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran.

43
Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan
program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi
atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan
melakukan penilaian.
Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran
Menurut Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program
belajar mengajar mencakup kemampuan:
 merencanakan pengorganisasian bahan-bahan pengajaran,
 merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar,
 merencanakan pengelolaan kelas,
 merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran; dan
 merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan
pengajaran.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi
penyusunan rencana pembelajaran meliputi (1) mampu
mendeskripsikan tujuan, (2) mampu memilih materi, (3) mampu
mengorganisir materi, (4) mampu menentukan metode/strategi
pembelajaran, (5) mampu menentukan sumber belajar/media/alat
peraga pembelajaran, (6) mampu menyusun perangkat penilaian,
(7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu
mengalokasikan waktu.Berdasarkan uraian di atas, merencanakan
program belajar mengajar merupakan proyeksi guru dan dosen
dan dosen mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama
pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan,
menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan
belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar,
dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.
Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar
Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap
pelaksanaan program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini
kemampuan yang di tuntut adalah keaktifan guru dan dosen
menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai

44
dengan rencana yang telah disusun. Guru dan dosen harus dapat
mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah
kegiatan belajar mengajar dicukupkan, apakah metodenya diubah,
apakah kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum
dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar
mengajar, pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran
dan keterampilan teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip
mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode
mengajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.Yutmini
(1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus
di miliki guru dan dosen dan dosen dalam melaksanakan proses
belajar mengajar meliputi kemampuan: (1) menggunakan metode
belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan
tujuan pelajaran, (2) mendemonstrasikan penguasaan mata
pelajaran dan perlengkapan pengajaran, (3) berkomunikasi
dengan siswa, (4) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar,
dan (5) melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menyangkut
pengelolaan pembelajaran, dalam menyampaikan materi pelajaran
harus dilakukan secara terencana dan sistematis, sehingga tujuan
pengajaran dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien.
Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan dosen
dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar terlihat dalam
mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal siswa,
kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon setiap perubahan
perilaku siswa.
b. Kompetensi Kepribadian
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28
ayat (3) butir b4, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, 19 arif, dan berwibawa, menjadi teladan
bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sosok seorang guru

45
haruslah memiliki kekuatan kepribadian yang positif yang dapat
dijadikan sumber inspirasi bagi peserta didiknya. Dikemukakan
pula oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem pendidikan yang
diinginkannya yaitu guru harus “Ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya bahwa guru
harus contoh dan teladan yang baik, membangkitkan motivasi
berlajar siswa serta mendorong/memberikan dukungan dari
belakang. Berdasarkan hasil rapat Asosiasi LPTKI (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia) di Unesa Surabaya
Tahun 2006 dalam Abdul Hadis dan Nurhayati (2010: 27-28)
kompetensi kepribadian dapat dijabarkan menjadi subkompetensi
dan pengalaman belajar sebagai berikut: 1) Menampilkan diri
sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa:
a) Berlatih membiasakan diri untuk menerima dan memberi kritik
dan saran. b) Berlatih membiasakan diri untuk menaati peraturan.
c) Berlatih membiasakan diri untuk bersikap dan bertindak secara
konsisten. d) Berlatih mengendalikan diri dan berlatih
membiasakan diri untuk menematkan persoalan secara
proporsonal. e) Berlatih membiasakan diri melaksanakan tugas
secara mandiri dan bertanggung jawab. 2) Menampilkan diri
sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi
peserta didik dan masyarakat: a) Berlatih membiasakan diri
berperilaku yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan. b)
Berlatih membiasakan diri beperilaku santun. c) Berlatih
membiasakan diri berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta
didik dan masyarakat. 3) Mengevaluasi kinerja sendiri: a) Berlatih
dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan sendiri. b) Berlatih
mengevaluasi kierja sendiri dan c) Berlatih menerima kritikan dan
saran dari peserta didik. 4) Mengembangkan diri secara
berkelanjutan: a) Berlatih memanfaatkan berbagai sumber belajar
untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian.
b) Mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang pengembangan
profesi. c) Berlatih mengembangkan dan menyelenggarakan
kegiatan yang menunjang profesi guru.

46
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kompetensi kepribadian adalah kemampuan seorang guru untuk
menampilkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,
berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didiknya. Dalam hal
ini, seorang guru haruslah memiliki pribadi dan pembawaan yang
dapat dijadikan sebagai contoh dan panutan bukan hanya bagi
peserta didiknya tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya.

c.Kompetensi Profesional
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung juga harus meningkatkan
kualitas guru-gurunya. Karena yang langsung berinterkasi dengan
peserta didik melaksanakan proses pendidikan adalah guru. Dan
untuk meningkatkan mutu dan kualitas guru, haruslah 21
ditingkatkan dari segala aspek baik itu aspek kesejahteraannya
maupun keprofesionalannya. UU No. 14 tahun 2005 Pasal 1 ayat
(1) menyatakan guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peseta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
menengah. Sebagai seorang profesional guru harus memiliki
kompetensi keguruan yang cukup. Kompetensi keguruan itu
tampak pada kemampuannya menerapkan sejumlah konsep, asas
kerja sebagai guru, mampu mendemonstrasikan sejumlah strategi
maupun pendekatan pembelajaran yang menarik dan interaktif,
disiplin, jujur dan konsisten. Kemantapan pada penguasaan
kompetensi profesional tersebut, guru diyakini mampu menjalani
tugas dan fungsinya dengan baik. Sejalan dengan baiknya kualitas
profesionalisme guru maka mutu pendidikanpun akan lebih baik.
Secara umum, ruang lingkup kompetensi profesional guru
menurut Mulyasa (2008: 135)5 adalah: a. Mengerti dan dapat
menerapkan landasan kependidikan baik filosofi, psikolgis,
sosiologis, dan sebagainya; b. Mengerti dan dapat menerapkan
teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta didik; c. Mampu
menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi

47
tanggungjawabnya; d. Mengerti dan dapat menerapkan metode
pembelajaran yang bervariasi; e. Mampu mengembangkan dan
menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar yang
relevan; Sedangkan secara khusus, kompetensi profesionalisme
guru dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut: a. Memahami
Standar Nasional Pendidikan. b. Mengembangkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. c. Menguasai materi standar. d.
Mengelola program pembelajaran. e. Mengelola kelas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kompetensi profesionalisme guru berhubungan dengan
kompetensi yang menuntut guru untuk ahli di bidang pendidikan
sebagai suatu pondasi yang dalam melaksanakan profesinya
sebagai seorang guru profesional. Karena dalam menjalankan
profesi keguruan, terdapat kemampuan dasar dalam penegetahuan
tentang belajar dan tingkah laku manusia, bidang studi yang
dibinanya, sikap ang tepat tentang lingkungan belajar mengajar
dan mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar.

d.Kompetensi Sosial
Dalam Standar Nasional Pendidikan, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru
sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan 23
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam
RPP tentang Guru, bahwa kompetensi sosial merupakan
kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-
kurangnya memiliki kompetensi untuk: - Berkomunikasi secara
lisan, tulisan, dan isyarat - Menggunakan teknologi komunikasi
dan informasi secara fungsional - Bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang
tua/wali peserta didik .
Berdasarkan hasil rapat Asosiasi LPTKI (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia) di Unesa Surabaya
Tahun 2006 dalam Abdul Hadis dan Nurhayati B (2010: 27-28)

48
kompetensi sosial dapat dijabarkan menjadi sub kompetensi dan
pengalaman belajar sebagai berikut: 1) Berkomunikasi secara
efektif dan empatik dengan peserta didik, orangtua peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat. a)
Mengkaji hakikat dan prinsip-prinsip komunikasi yang efektif dan
empatik. b) Berlatih berkomunikasi secara efektif dan empatik. c)
Berlatih mengevaluasi komunikasi yang efektif dan empatik. 2)
Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan
masyarakat: a) Berlatih merancang berbagai program untuk
pengembangan pendidikan di lingkungan sekolah dan lingkungan
sekitar. b) Berlatih berperan serta dalam penyelenggaraan
berbagai program di sekolah dan di lingkungannya. 24 3)
Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di tingkat
lokal, regional, nasional, dan global: a) Berlatih mengidentifikasi
dan menganalisis masalah-masalah pendidikan pada tataran lokal,
regional, nasional, dan global. b) Berlatih mengembangkan
alternatif pemecahan masalah-masalah pendidikan pada tataran
lokal, regional, nasional, dan global. c) Berlatih merancang
program pendidikan pada tataran lokal, regional, dan nasional 4)
Memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi (ICT) untuk
berkomunikasi dan mengembangkan diri: a) Mengkaji berbagai
perangkat ICT. b) Berlatih mengoperasikan berbagai peralatan
ICT untuk berkomunikasi. c) Berlatih memanfaatkan ICT untuk
berkomunikasi dan mengembangkan kemampuan profesional.
Jadi kompetensi sosial guru merupakan kemampuan guru
untuk menyesuaikan diri kepada tuntunan kerja di lingkungan
sekitar pada saat menjalankan tugasnya sebagai seorang guru.
Dalam menjalani perannya tersebut guru, sebisa mungkin harus
dapat menjadi sosok pencetus dan pelopor pembangunan di
lingkunga sekitar terutama yang berkaitan erat dengan
pendidikan. Melalui interaksinya yang baik dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga pendidik dan wali peserta didik tentunya
akan sangat mendukung proses pendidikan sehingga mencapai
tujuan pendidikan yang lebih baik.

49
3.1.2 Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru merupakan upaya menentukan kelayakan
guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajar,
meningkatkan profesionalitas guru, dan mengangkat harkat,
martabat, dan kesejahteraan guru yang pada akhirnya mampu
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 20056 ; tentang Guru dan
Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru profesional
harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau
diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik,
profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang
diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut
dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Lebih lanjut Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru tersebut
mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi. Diharapkan agar guru sebagai
tenaga profesional dapat berfungsi untuk meningkatkan martabat
dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan terlaksananya
sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya
mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

50
Tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru
yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan
mutu pendidikan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi
syarat dapat mengikuti proses sertifikasi untuk mendapat
sertifikat pendidik. Dalam APBNP tahun 2006, Depdiknas
menargetkan untuk dapat melakukan uji sertifikasi terhadap
20.000 guru. Prioritas uji sertifikasi tahap awal ini adalah guru-
guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP)
yang telah memenuhi persyaratan.
Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk
meningkatkan kompetensinya, sehingga layak untuk menjadi guru
yang profesional, juga dimaksudkan agar guru yang bersangkutan
dapat mengikuti uji sertifikasi setelah memperoleh ijasah S1/D4
serta mengikuti pendidikan profesi. Pemberian bantuan biaya
pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi bagi guru-guru SD
dan SMP dengan menggunakan dana APBNP tahun 2006
merupakan salah satu wujud implementasi UUGD
Pelaksanaan sertifikasi guru dimulai pada tahun 2007
setelah diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun
2007 tentang Setifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Tahun 2010 ini
merupakan tahun keempat pelaksanaan sertifikasi guru dalam
jabatan. Landasan yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan
sertifikasi guru tahun 2010 adalah Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2008 tentang Guru. Oleh karena itu, ada beberapa
perubahan mendasar dalam proses penetapan peserta sertifikasi
guru tahun 2010. Jumlah sasaran peserta sertifikasi guru setiap
tahunnya ditentukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan Nasional.
Tahapan pelaksanaan sertifikasi guru dimulai dengan
pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota, pemberian kuota kepada dinas
pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, dan penetapan peserta
oleh dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Agar seluruh
instansi yaitu dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota,

51
LPMP dan unsur terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru
mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses
penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman
Penetapan Peserta Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

3.1.3 Pendidikan Profesi Guru (PPG)


Pendidikan Profesi guru menurut Djam’an Satori (2007: 1.3-
1.4)7 menyatakan bahwa “Profesi adalah suatu jabatan atau
pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para
anggotanya”. Artinya, suatu profesi tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang. Orang yang menjalankan suatu profesi harus
mempunyai keahlian khusus dan memiliki kemampuan yang
ddapat dari pendidikan khusus bagi profesi tersebut. Selanjutnya
Satori mengatakan , “Profesional menunjuk pada dua hal.
Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya, “Dia
seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam
melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya.
“Profesionalisme menunjuk pada komitmen para anggota suatu
profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalannya dan
terus 10 menerus mengembangkan strategi-strategi yang
digunakan dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan
profesinya”.
Profesionalisme, di pihak lain, mengacu kepada sikap para
anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan
keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan
pekerjannya”. Jadi seorang profesonal tidak akan mau
mengerjakan sesuatu yang memang bukan bidangnya. Menurut
Djam’an Satori (2007: 1.4)8, menyatakan bahwa profesionalisasi
adalah: Profesionalisasi, menunjuk pada proses peningkatan
kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam
mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai
suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan
serangkaian proses pengembangan profesional (profesional

52
development), baik dilakukan melalui pendidikan atau latihan
“prajabatan” maupun latihan dalam jabatan (inservice training).
Oleh karena itu, profesionalisme merupakan proses yang
sepanjang hayat (life long) dan tidak pernah berakhir (never
ending), selama seseorang telah menyatakan dirinya sebagai
warga suatu profesi”. Dinyatakan bahwa profesi adalah suatu
jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari
para anggotanya. Artinya, ia tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang yang tidak dilatih dan tidak disiapkan secara khususuntuk
melakukan pekerjaan itu. Keahlian diperoleh melalui apa yang 11
disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang
menjalani profesi itu maupun setelah menjalani suatu profesi.
Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang
menyandang suatu profesi, misalnya “Dia seorang profesional”.
Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya
yang sesuai dengan profesinya. Pengertian kedua ini profesional
dikontraskan dengan “non-profesional” atau “amatir”.
Profesionalisme menunjuk pada komitmen para anggota
suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya
dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang
digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan
profesinya. Sedangkan Profesionalisasi menunjuk pada proses
peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi
dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya
sebagai anggota suatu profesi. Menurut Djam’an Satori (2007:5)
9profesi mempunyai beberapa ciri-ciri yaitu sebagai berikut: a.
Standar unjuk kerja; b. Lembaga pendidikan khusus untuk
menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas
akademik yang bertanggung jawab; c. Organisasi profesi; d. Etika
dan kode etik profesi; e. Sistem imbalan; f. Pengakuan dari
masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang
dipersiapkan melalui proses pendidikan dan pelatihan. Semakin
tinggi tingkat pendidikan yangGuru adalah sosok pendidik yang
sebenarnya.

53
Dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen Pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Profesi
sebagai seorang guru harus dipandang dari beberapa sisi
kehidupan secara luas. Peranan profesionalisme dalam
pembangunan pendidikan mencakup : a. Peranan pendidikan
harus dilihat dalam konteks pembangunan secara menyeluruh,
yang bertujuan membentuk manusia sesuai dengan cita-cita
bangsa. b. Hasil pendidikan mungkin tidak bisa dilihat dan
dirasakan dalam waktu singkat, tetapi baru dilihat dalam jangka
waktu yang lama, bahkan mungkin setelah satu generasi. c.
Sekolah adalah suatu lembaga profesional yang bertujuan
membentuk anak didik menjadi manusia dewasa yang
berkepribadian matang dan tangguh, yang dapat bertanggung
jawab terhadap masyarakat dan terhadap dirinya. d, Sesuai
dengan hakikat dan kriteri profesi yang telah dijelaskan di depan,
jelas bahwa pekerjaan guru harus dilakukan oleh orang yang
bertugas selaku guru. e. Sebagai konsekuensi logis dari
pertimbangan tersebut, setiap guru harus memiliki kompetensi
profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi
kemasyarakatan.
Penanaman nilai-nilai profesinalosme bagi pendidik tidak
terlepas dari penanaman nilai-nilai ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik yang dipahami dan diimpelemtasikan para pendidik.
Penanaman nilai-nilai ranah ini menjadikan para pendidik lebih
mengusai bagaimana perkembangan dari setiap peserta didik.
Oleh karena itu para pendidik yang professional harus mampu
menguasai teori-teori belajar dan berperan dalam setiap teori-teori
pembelajaran ranah yaitu :
1. Ranah kognitif
Profesi guru dalam Ranah kognitif menginterpretasikan
bahwa belajar adalah suatu proses perubahan persepsi dan

54
pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat
diukur dan diamati. Dalam teori ini lebih menekankan bagaimana
proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek
rasional yang dimiliki oleh orang lain. Teori pembelajaran ini
adalah sebuah teori pembelajaran yang cenderung melakukan
praktek-praktek yang mengarah pada kualitas intelektual peserta
didik. Meskipun teori ini memiliki berbagai kelemahan akan
tetapi, teori kognitif ini juga memiliki kelebihan yang harus
diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu aspek
positifnya adalah keceerdasan peserta didik perlu dimulai dari
adanya pembentukan intelektual dan mengorganisasian alat-alat
kognisi
Ranah kognitif dalam teori belajar (Brunner : 1996) 10yang
berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana
orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah.
Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar
ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
1. Jenis Pengetahuan
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting
dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap
individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah
kita ketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi
perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan.
Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya,
tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif
kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Pengetahuan Deklaratif yaitu pengetahuan yang bisa
dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya
pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang fakta
(misalnya, bumi berputar mengelilingi matahari dalam kurun
waktu tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke
angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi),
pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara
menyenangkan) atau aturan (apabila membuat kalimat dengan

55
kata sedang melakukan subjek harus di ikuti to be dan verb
harus di ikuti dgn ing. Contoh : saya sedang memasak = i am
cooking )
b. Pengetahuan Prosedural yaitu pengetahuan tentang tahapan
yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu
bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya
“pengetahuan bagaimana”. Contoh, apabila membuat kalimat
dengan kata sedang melakukan subjek harus di ikuti to be dan
verb harus di ikuti dgn ing. Contoh : saya sedang memasak = i
am cooking , namun bila siswa mampu mengerjakan tersebut
maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan
menterjemahkan teks bahasa Inggris.
c. Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal
“kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural
digunakan. Seperti peserta didik harus dapat mengidentifikasi
terlebih dahulu verb apa yang perlu dipakai (pengetahuan
deklaratif) sebelum membuat kalimat (pengetahuan
prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan
hal yang penting dimiliki peserta didik , karena menentukan
penggunaan konsep dan prosedur yang tepat. Terkadang
peserta didik mengetahui fakta dan dapat melakukan satu
prosedur pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya
mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang
tepat.
Menurut Brunner, pembelajaran hendaknya dapat
menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri
melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan
pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut
pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif
untuk meningkatkan kualitas output pendidikan adalah
pengembangan program-program pembelajaran yang dapat
mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada
setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril,
yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan
ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur

56
atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian yang
sedang dipelajari.
Dalam teori belajar, Jerome Bruner11 berpendapat bahwa
kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat
menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam
hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu
adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu
tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin
bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk
mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar
atau tidak. Bruner mempermasal ahkan seberapa banyak
informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan . Perlu
Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada empat tema
pendidikan yaitu: (1) mengemukakan pentingnya arti struktur
pengetahuan, (2) kesiapan (readiness) siswa untuk belajar, (3)
nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi, (4) motivasi
atau keinginan untuk belajar siswa, dan curu untuk
memotivasinya.
Dengan demikian Bruner12 menegaskan bahwa mata
pelajaran apapun dapat diajarkan secara efektif dengan kejujuran
intelektual kepada anak, bahkan dalam tahap perkembangan
manapun. Bruner beranggapan bahwa anak kecilpun akan dapat
mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi
tema-tema hidup, yang dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga
pertanyaan. Berdasarkan uraian di atas, teori belajar Bruner dapat
disimpulkan bahwa, dalam proses belajar terdapat tiga tahap,
yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-
masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
banyak informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner juga memandang belajar sebagai “instrumental
conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta
sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu,

57
pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai
dengan pikiran umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin
bertambah dewasa kemampuan kognitif seseorang, maka semakin
bebas seseorang memberikan respon terhadap stimulus yang
dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa
internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai
dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan. Teori belajar
psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana
dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka
dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar
kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu
dikembangkan oleh pendidik dalam membelajarkan peserta
didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi
oleh sejauhmana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang
secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan Pendidik menurut psikologi kognitif ialah
bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada
setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap
peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh
proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan
mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran
yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di
kelas. Bloom dan Krathwohl dalam buku Brunner
13menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh
siswa, yang tercakup dalam kawasan kognitif.
Beberapa teori belajar yang berpedoman berdasarkan
kawasan kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori
perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori
penemuan Bruner dan teori kognitif Bandura.
1) Teori Gestalt
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi
gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer,
Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum

58
merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya
yang menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan
respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian

yan g dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih


menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah
sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang
mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk
individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat
manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar
merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang
antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin &
Wahyuni, 2007: 88).1
Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan
insight(wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah
pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yanng
menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis
sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori
gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari
pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118).2 Hal ini sesuai
dengan hukum yang terkenal dari teori gestalt yaitu hukum
pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan
harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan pragnanz,
menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk
menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).
1
Baharudin & Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran,Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara

2
Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana

59
Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar

pemahaman (insight), yaitu: (1) pemahaman


dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi
oleh pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung
kepada pengaturan situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha
coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, dan (6)
suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi
lain (Sukmadinata, 2007: 171).3

2) Teori Medan (field theory)


Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang
termasuk rumpun kognitif. Teori medan ini dikembangkan oleh
Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang menekankan
keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu
selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space),
yang digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai berikut:

3
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja
Rosdakarya

60
Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin
dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu saja ada barier atau
hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan
dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan
tersebut. Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai
tujuan, maka masuk ke dalam medan atau lapangan psikologis
baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-
hambatan baru pula. Demikian seterusnya individu keluar
dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis
berikutnya (Sukmadinata, 2007: 171).4
Kaitannya dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat
dipahami bahwa teori medan menganggap belajar sebagai proses
pemecahan masalah. Menurut Lewin (Sanjaya, 2006: 120)5,
beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah
dalam belajar adalah:
 Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang
akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah
struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh
adalah sebagai berikut:
 Orang yang melihat sembilan buah titik tersebut sebagai
sebuah bujur sangkar akan sangat sulit memecahkan
persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati
dengan 4 buah tarikan garis, maka harus mengubah struktur
kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan sebuah bujur
sangkar.
 Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat
mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi ini
dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).

4
Ibid
5
Op.cit. Sanjaya, hl 120

61
3) Teori Perkembangan Piaget
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar
terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak,
Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui
seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses

berpikir formal.
 Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak
mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi
sedikit mengembangkan kemampuannya untuk
membedakan dirinya dengan bena-benda lain.
 Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai
memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini anak menjadi
pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Misalnya
seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi
yang sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di
cawan datar, dia akan mengatakan bahwa air di gelas lebih
banyak dari pada air di cawan datar.
 Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak
mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama
dalam kondisi yang berbeda.
 Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa
ini anak mulai memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia
yang sebenarnya atau anak mengalami perkembangan
penalaran abstrak .

62
Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan
setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada individu yang
melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai
dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru
yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang
semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22).6 Hal ini berarti bahwa
perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses
genetik. Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis dari perkembangan sistem
syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin
kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).7
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa
pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki
kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka
akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan
pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan
tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan
tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan
(Sanjaya, 2006).8
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses
belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan
equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian)
informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak
peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur
kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah
proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.

6
Op.cit. Trianto, hl 22
7
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
8
Op.cit. Sanjaya, hl 122

63
Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman
baru, informasi tersebut akan dimodifikasi sesuai dengan struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi.
Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan
dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi.
(Muhaimin, 2002)9. Uraian tersebut di atas memberi sebuah
pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses
belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap
perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin,
2002).10

4) Teori Belajar Bermakna Ausubel


Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar
adalah menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana
materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar
seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002:
201).11

Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan


belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik melakukan

10
Op.cit, Muhaimin, hl 199
11
Ibid, hl 200

64
belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan
menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca
tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana
dalam belajar bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu
bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada
individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan
dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai
oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari
harus bermakna: istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep
yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang
mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya
dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan
dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan
sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur
kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan
sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007)12
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar
memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran
dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat
pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan
situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor
motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak
akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang
diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan
pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar
(Muhaimin, 2002).13
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah
pengaturan kemajuan belajar (advance organizers). Pengaturan
kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam bentuk abstrak
dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang
12
Op.cit, Sukmadinata, hl 188
13
Op.cit, Muhaimin, hl 201

65
ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila
dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah
peserta didik mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya
sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan
adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa yang dipelajari
menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara
hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan
(Muhaimin, 2002).14Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel
tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007).15

5) Teori Penemuan Bruner


`Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh
adalah teori Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar
penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa
belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah
serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan
yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007)16

14
Ibid, hl 202
15
Op.cit, Trianto, hl 25
16
Ibid, hl 26

66
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta
didik jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami
struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur
informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus
mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya
sekedar menerima penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru
harus memunculkan masalah yang mendorong peserta didik untuk
melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007).17
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning),
Bruner juga berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa
perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap
enaktif, dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya
memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu
melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal.Ketiga, tahap simbolik, dimana individu mempunyai
gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika
berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan
pertolongan sistem simbol (Muhaimin, 2002).18
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran
sesuatu tidak perlu menunggu sampai seseorang mencapai suatu
tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan pembelajaran yang
diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar meskipun
umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun
asalkan materi pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi
dimulai dari yang sederhana dan sesuai dengan karakteristik
perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi
pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan
tingkat perkembangannya (Muhaimin, 2002).19

17
Ibid, hl 33
18
Op.cit, Muhaimin, hl 200
19
Ibid. Hl 201

67
6) Teori Kognitif Bandura
Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari
sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah pencapaian
pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya
tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura
adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini
berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan
sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola
perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007:
93).

Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui


pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang
lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain
(model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan
cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman
sebelumnya atau mengulang-ulang kembali. Melalui jalan
pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang tersebut
untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto,
2007)20.
Bandura juga menyatakan bahwa perilaku seseorang dan
lingkungan itu dapat dimodifikasi. Buku tidak berpengaruh pada
seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya dan orang yang
memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman
tidak akan banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya
20
Op.cit. Trianto, hl 31

68
perilaku yang diharapkan. Diperolehnya perilaku yang kompleks
bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua arah antara pribadi
dan lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara perilaku –
lingkungan – peristiwa batiniah (reciprocal determinism/
determinasi timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih,
akan timbul perasaan percaya diri. Perilakunya menimbulkan
reaksi baru, yang pada akhirnya reaksi ini mempengaruhi
kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku
berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu,
meskipun dia tidak melakukannya (Djaali, 2007: 94).
Berdasarkan tingkatan kawasan Kognitif terdiri dari enam
tingkatan, yaitu :
1) Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2) Pemahaman (menginterpretasikan),
3) Aplikasi/penerapan (menggunakan konsep untuk
memecahkan suatu masalah),
4) Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi
suatu konsep utuh),
6) Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan
sebagainya).

Oleh karena itu para ahli teori belajar psikologi kognitif


berkesimpulan bahwa salah satu faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas ialah
faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Faktor kognitif
merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan yang
diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun
kegiatan belajar secara kelompok.
Selanjutnya kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan
aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar terdiri dari :
a. Pengetahuan (knowledge)

69
Pengetahuan merupakan aspek kognitif yang paling rendah
tetapi paling mendasar. Dengan pengetahuan individu dapat
mengenal dan mengingat kembali suatu objek, ide prosedur,
konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar, rumus, teori, atau
kesimpulan. Dilihat dari objek yang diketahui (isi) pengetahuan
dapat digolongkan sebagai berikut :
Mengetahui sesuatu secara khusus :
 Mengetahui terminologi yaitu berhubungan dengan mengenal
ataumengingat kembali istilah atau konsep tertentu yang
dinyatakan dalam bentuk simbol, baik berbentuk verbal
maupun non verbal.
 Mengetahui fakta tertentu yaitu mengenal atau mengingat
kembali tanggal,peristiwa, orang tempat, sumber informasi,
kejadian masa lalu, kebudayaan masyarakat tertentu, dan ciri-
ciri yang tampak dari keadaan alam tertentu.
 Mengetahui tentang cara untuk memproses atau melakukan
sesuatu:Mengetahui kebiasaan atau cara mengetengahkan ide
atau pengalaman
 Mengetahui urutan dan kecenderungan yaitu proses, arah dan
gerakan suatu gejala atau fenomena pada waktu yang
berkaitan.
 Mengetahui penggolongan atau pengkategorisasian.
Mengetahui kelas, kelompok, perangkat atau susunan yang
digunakan di dalam bidang tertentu, atau memproses sesuatu.
 Mengetahui kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi
fakta, prinsip, pendapat atau perlakuan.
 Mengetahui metodologi, yaitu perangkat cara yang
digunakan untuk mencari, menemukan atau menyelesaikan
masalah.
 Mengetahui hal-hal yang universal dan abstrak dalam bidang
tertentu, yaitu ide, bagan dan pola yang digunakan untuk
mengorganisasi suatu fenomena atau pikiran.
 Mengetahui prinsip dan generalisasi
 Mengetahui teori dan struktur.

70
b. Pemahaman (comprehension)
Pemahaman atau dapat dijuga disebut dengan istilah
mengerti merupakan kegiatan mental intelektual yang
mengorganisasikan materi yang telah diketahui. Temuan temuan
yang didapat dari mengetahui seperti definisi, informasi,
peristiwa, fakta disusun kembali dalam struktur kognitif yang ada.
Temuan-temuan ini diakomodasikan dan kemudian berasimilasi
dengan struktur kognitif yang ada, sehingga membentuk struktur
kognitif baru. Tingkatan dalam pemahaman ini meliputi :
 Translasi yaitu mengubah simbol tertentu menjadi simbol lain
tanpa perubahan makna. Misalkan simbol dalam bentuk kata-
kata diubah menjadi gambar, bagan atau grafik;
 Interpretasi yaitu menjelaskan makna yang terdapat dalam
simbol, baik dalam bentuk simbol verbal maupun non verbal.
Seseorang dapat dikatakan telah dapat menginterpretasikan
tentang suatu konsep atau prinsip tertentu jika dia telah
mampu membedakan, memperbandingkan atau
mempertentangkannya dengan sesuatu yang lain. Contoh
sesesorang dapat dikatakan telah mengerti konsep tentang
“motivasi kerja” dan dia telah dapat membedakannya dengan
konsep tentang “motivasi belajar”;
 Ekstrapolasi; yaitu melihat kecenderungan, arah atau
kelanjutan dari suatu temuan. Misalnya, kepada siswa
dihadapkan rangkaian bilangan 2, 3, 5, 7, 11, dengan
kemapuan ekstrapolasinya tentu dia akan mengatakan bilangan
ke-6 adalah 13 dan ke-7 adalah 19. Untuk bisa seperti itu,
terlebih dahulu dicari prinsip apa yang bekerja diantara kelima
bilangan itu. Jika ditemukan bahwa kelima bilangan tersebut
adalah urutan bilangan prima, maka kelanjutannnya dapat
dinyatakan berdasarkan prinsip tersebut.

c. Penerapan (application)

71
Menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah
atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang dikatakan menguasai kemampuan ini jika ia dapat
member contoh, menggunakan, mengklasifikasikan,
memanfaatkan, menyelesaikan dan mengidentifikasi hal-hal yang
sama. Contoh, dulu ketika pertama kali diperkenalkan kereta api
kepada petani di Amerika, mereka berusaha untuk member nama
yang cocok bagi alat angkutan tersebut. Satu-satunya alat
transportasi yang sudah dikenal pada waktu itu adalah kuda. Bagi
mereka, ingat kuda ingat transportasi. Dengan pemahaman
demikian, maka mereka memberi nama pada kereta api tersebut
dengan iron horse (kuda besi). Hal ini menunjukkan bagaimana
mereka menerapkan konsep terhadap sebuah temuan baru.

d. Penguraian (analysis)
Menentukan bagian-bagian dari suatu masalah dan
menunjukkan hubungan antar bagian tersebut, melihat penyebab-
penyebab dari suatu peristiwa atau memberi argumen-argumen
yang menyokong suatu pernyataan. Secara rinci Bloom
mengemukakan tiga jenis kemampuan analisis, yaitu :
· Menganalisis unsur :
 Kemampuan melihat asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan
secara eksplisit pada suatu pernyataan
 Kemampuan untuk membedakan fakta dengan hipotesa.
 Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan
pernyataan normatif.
 Kemampuan untuk mengidentifikasi motif-motif dan
membedakan mekanisme perilaku antara individu dan
kelompok.
 Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan yang mendukungnya.

Menganalisis hubungan

72
 Kemampuan untuk melihat secara komprehensif interrelasi
antar ide dengan ide.
 Kemampuan untuk mengenal unsur-unsur khusus yang
membenarkan suatu pernyataan.
 Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi yang esensial
yang mendasari suatu pendapat atau tesis atau argumen-
argumen yang mendukungnya.
 Kemampuan untuk memastikan konsistensinya hipotesis
dengan informasi atau asumsi yang ada.
 Kemampuan untuk menganalisis hubungan di antara
pernyataan dan argumen guna membedakan mana pernyataan
yang relevan mana yang tidak.
 Kemampuan untuk mendeteksi hal-hal yang tidak logis di
dalam suatu argumen.
 Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan unsur-
unsur yang penting dan yang tidak penting di dalam
perhitungan historis.

· Menganalisis prinsip-prinsip organisasi


Kemampuan untuk menguraikan antara bahan dan alat
 Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola karya seni
dalam rangka memahami maknanya
 Kemampuan untuk mengetahui maksud dari pengarang suatu
karya tulis, sudut pandang atau ciri berfikirnya dan perasaan
yang dapat diperoleh dalam karyanya.
 Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan dalam
meyusun suatu materi yang bersifat persuasif seperti
advertensi dan propaganda

e. Memadukan (synthesis)
Menggabungkan, meramu, atau merangkai berbagai
informasi menjadi satu kesimpulan atau menjadi suatu hal yang
baru. Kemampuan berfikir induktif dan konvergen merupakan

73
cirri kemampuan ini. Contoh: memilih nada dan irama dan
kemudian manggabungkannya sehingga menjadi gubahan musik
yang baru, memberi nama yang sesuai bagi suatu temuan baru,
menciptakan logo organisasi
f. Penilaian (evaluation)
Mempertimbangkan, menilai dan mengambil keputusan
benar-salah, baik-buruk, atau bermanfaat tak bermanfaat
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun
kuantitatif. Terdapat dua kriteria pembenaran yang digunakan,
yaitu :
 Pembenaran berdasarkan kriteria internal; yang dilakukan
dengan memperhatikan konsistensi atau kecermatan susunan
secara logis unsur-unsur yang ada di dalam objek
 Pembenaran berdasarkan kriteria eksternal; yang dilakukan
berdasarkan kriteria-kriteria yang bersumber di luar objek
yang diamati., misalnya kesesuaiannya dengan aspirasi umum
atau kecocokannya dengan kebutuhan pemakai.

2. Ranah Afektif
Profesi Guru dalam ranah afektif adalah memahami bahwa
belajar dalam ranah afektif adalah yang berkaitan dengan sikap
dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti
perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar
mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan
perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif
tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada
peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya
terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya
dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya
yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama
Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya
terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.

74
Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang,
yaitu:
receiving
Receiving atau attending (= menerima atua
memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima
rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam
bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam
jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk
menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau
rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attenting juga
sering di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan
suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik
dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang
di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri
kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu.
Contah hasil belajar afektif jenjang receiving , misalnya: peserta
didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di
siplin harus disingkirkan jauh-jauh.
responding
Responding (= menanggapi) mengandung arti “adanya
partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut
sertakan dirinya secara taktif dan fenomena tertentu dan membuat
reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi
daripada jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif
responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk
mempelajarinya lebih jauh atau menggeli lebih dalam lagi,
tentang ajaran-ajaran spiritual sesuai dengan kepercayaannya
masing-masing siswa.
valuing
Valuing (menilai=menghargai). Menilai atau menghargai
artinya mem-berikan nilai atau memberikan penghargaan

75
terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu
tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau
penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih
tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan
dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya
mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah
berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik
atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan
mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti
bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu
mulai di camkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian
nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar
efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat
pada diri peseta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah,
dirumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
organization
Organization (=mengatur atau mengorganisasikan), artinya
memper-temukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru
yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur
atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai
kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan
satu nilai denagan nilai lain., pemantapan dan perioritas nilai
yang telah dimilikinya. Contoh nilai efektif jenjang organization
adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang
telah dicanangkan oleh bapak presiden Soeharto pada peringatan
hari kemerdekaan nasional tahun 1995.
characterization by evalue or calue complex
Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi
dengan suatu nilai atau komplek nilai). Characterization by
evalue or calue complex (=karakterisasi dengan suatu nilai atau
komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah
dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian
dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah

76
menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu
telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah
mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif
tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar
bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan.
Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai
yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang
lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah
lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan.
Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah
kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur
adalah: Menerima (memperhatikan), Merespon, Menghargai,
Mengorganisasi, dan Karakteristik suatu nilai. Skala yang
digunakan untuk mengukur ranah afektif seseorang terhadap
kegiatan suatu objek diantaranya skala sikap. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan
netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku
pada seseorang. Ada tiga komponen sikap, yakni kognisi, afeksi,
dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang
tentang objek yang dihadapinya. Afeksi berkenaan dengan
perasaan dalam menanggapi objek tersebut,
sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat
terhadap objek tersebut. Oleh sebab itu, sikap selalu bermakna
bila dihadapkan kepada objek tertentu.
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk
dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau
ditolaknya, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu,
pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni
pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang
kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan
ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam
suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas,
atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan

77
karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan
target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah,
matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa
merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini
diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui.
Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di
kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target
kecemasannya adalah tes.
Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan
tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
 Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara
suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk
melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif,
kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal.
Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan
yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk
mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu
predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau
negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap
peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau
terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk
ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata
pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah
peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding
sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah
satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana
pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang

78
membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi
lebih positif.
 Minat
Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang
memiliki intensitas tinggi.Penilaian minat dapat digunakan untuk:
· mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk
pengarahan dalam pembelajaran,
· mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
· pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta
didik,
· menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
· Mengelompokkan didik yang memiliki peserta minat sama,
f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara
keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam
penyampaian materi,
· mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran
yang diberikan pendidik,bahan pertimbangan menentukan
program sekolah,meningkatkan motivasi belajar peserta
didik.
 Konsep Diri
.Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir
peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta
didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk
memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri.
Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut:
 Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan
peserta didik.

79
 Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah
dicapai.
 Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
 Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan
peserta didik.
 Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses
pembelajaran.
 Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan
mengetahui standar input peserta didik.
 Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti
pembelajaran.
 Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
 Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
 Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
 Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
 Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap
peserta didik.
 Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial,
hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang
dilakukan.
 Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
 Peserta didik mampu menilai dirinya.
 Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
 Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

 Nilai

80
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga
berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif
dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan
tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh
individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu
objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur
penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan
pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan
menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta
didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi
konstribusi positif terhadap masyarakat.
 Moral
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang
dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi
orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis.
Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang,
yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi
moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan
seseorang.Ranah afektif lain yang penting adalah:
 Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran
dalam berinteraksi dengan orang lain.
 integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode
nilai, misalnya moral dan artistik.
 Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang
mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh
pendidikan.
 Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang
demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab
secara maksimal kepada semua orang.

81
3. Ranah Psikomotorik
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan
keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah
ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari,
melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil
belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang
menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam
bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu.
Menurut Ebel (1972), ada kaitan erat antara tujuan yang akan
dicapai, metode pembelajaran, dan evaluasi yang akan
dilaksanakan. Oleh karena ada perbedaan titik berat tujuan
pembelajaran psikomotor dan kognitif maka strategi
pembelajarannya juga berbeda. Menurut Mills (1977),
pembelajaran keterampilan akan efektif bila dilakukan dengan
menggunakan prinsip belajar sambil mengerjakan (learning by
doing). Leighbody (1968) menjelaskan bahwa keterampilan yang
dilatih melalui praktik secara berulang-ulang akan menjadi
kebiasaan atau otomatis dilakukan. Sementara itu Goetz (1981)
dalam penelitiannya melaporkan bahwa latihan yang dilakukan
berulang-ulang akan memberikan pengaruh yang sangat besar
pada pemahiran keterampilan. Lebih lanjut dalam penelitian itu
dilaporkan bahwa pengulangan saja tidak cukup menghasilkan
prestasi belajar yang tinggi, namun diperlukan umpan balik yang
relevan yang berfungsi untuk memantapkan kebiasaan. Sekali
berkembang maka kebiasaan itu tidak pernah mati atau hilang.
Sementara itu, Gagne (1977) berpendapat bahwa kondisi
yang dapat mengoptimalkan hasil belajar keterampilan ada dua
macam, yaitu kondisi internal dan eksternal. Untuk kondisi
internal dapat dilakukan dengan cara: (a) mengingatkan kembali
bagian dari keterampilan yang sudah dipelajari, dan (b)
mengingatkan prosedur atau langkah-langkah gerakan yang telah
dikuasai. Sementara itu untuk kondisi eksternal dapat dilakukan

82
dengan: (a) instruksi verbal, (b) gambar, (c) demonstrasi, (d)
praktik, dan (e) umpan balik.
Dalam melatihkan kemampuan psikomotor atau
keterampilan gerak ada beberapa langkah yang harus dilakukan
agar pembelajaran mampu membuahkan hasil yang optimal. Mills
(1977) menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam mengajar
praktik adalah: (a) menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan,
(b) menganalisis keterampilan secara rinci dan berutan, (c)
mendemonstrasikan keterampilan disertai dengan penjelasan
singkat dengan memberikan perhatian pada butir-butir kunci
termasuk kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan
pekerjaan dan bagian-bagian yang sukar, (d) memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mencoba melakukan praktik dengan
pengawasan dan bimbingan, (e) memberikan penilaian terhadap
usaha peserta didik.
Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan
dapat diukur melalui: (1) pengamatan langsung dan penilaian
tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik
berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan
jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur
pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu
sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan
kerjanya. Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat bahwa
penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan
menggunakan alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis
suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan, (3)
kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan membaca gambar
dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan ukuran yang telah
ditentukan.
Kemampuan dan kompetensi guru dalam
mengimplementasikan landasakan-landasan pendidikan dan
psikologi pendidikan di atas menjadikan profesionalisme menjadi
lebih di akui semua lapisan masyarakat di Indonesia. Dan
berdasarkan PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 visi dan misi

83
kependidikan, yaitu meningkatkan dan atau mengembangkan:
karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat dan
kesehjateraan seluruh tenaga kependidikan. Sedngkan visinya
secara umum adalah terwujudnya tenaga kependidikan yang
profesional.
 Meningkatkan dan mengembangkan karier
anggota, merupakan upaya organisasi profesi kependidikan
dalam mengembangkan karier anggota sesuai dengan bidang
pekerjaan yang diembannya. Karier yang di maksud adalah
perwujudan diri seorang pengemban profesi secara psikofisis
yang bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupuin bagi oran
lain (lingkungannya) melalui serangkaian aktifitas.
 Meningkatkan dan atau mengembangkan kemampuan anggota,
merupakan upaya terwujudnya kompetensi kependidikan yang
handal dalam diri tenaga kependidikan atau guru, yang
mencakup: performance component, subject component,
profesional component. Dengan kekuatan dan kewibawaan
organisasi, para pengemban profesi kependidikan/keguruan
akan memiliki kekuatan moral untuk senantiasa meningkatkan
kemampuannya, baik melalui program terstruktur maupun
program tidak terstruktur.
 Meningkatkan dan mengembangkan kewenangan profesinal
anggota, ini merupakan upaya paraprofesional untuk
menempatkan anggota suatu profesi sesuai dengan
kemampuannya. Proses ini tidak lain dari proses spesifikasi
pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang,
kecuali oleh ahlinya yang telah mengikuti proses pendidikan
tertentu dan dalam waktu tertentu yang relatif lama.
Umpamanya, keahlian guru pembimbing dalam bimbinghan
karier, pribadi/sosial, dan bimbingan belajar.
 Meningkatkan dan atau mengembangkan martabat anggota, ini
merupakan upaya organisasi profesi kependidikan agar
anggotanya terhindar dari perlakuan tidak manusiawi dari

84
pihak lain, dan tidak melakukan praktik yang melecehkan
nilai-nilai kemanusiaan. Ini dapat dilakukan karena saat
seorang profesional menjadi anggota organisasi suatu profesi,
pada saat itu pula terikat oleh kode etik profesi sebagai
pedoman perilaku anggota profesi itu. Dengan memasuki
organisasi profesi akan terlindung dari perlakuan masyarakat
yang tidak mengindahkan martabat kemanusiaan dan berupaya
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
standar etis yang telah disepakati.
 Meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan, ini
merupakan upaya organisasi profesi kependidikan untuk
meningkatkan kesejahteraan lahir batin anggotanya. Dalam
poin ini tercakup juga upaya untuk menjaga dan meningkatkan
kesehatan anggotanya. Tidak disangsikan lagi bahwa tuntutan
kesejahteraan ini merupakan prioritas utama. Karena selain
masalah ini ada kaitannya dengan kelangsungan hidup, juga
merupakan dasar bagi tercapainya peningkatan dan
pengembangan aspek lainnya. Dalam teori kebutuhan maslow,
kesejahteraan ini mungkin menempati urutan pertama berupa
kebutuhan fisiologis yang harus segera dipenuhi.
Dalam peraturan Organisasi profesi kependidikan selain
sebagai ciri suatu profesi kependidikan, sekaligus juga memiliki
fungsi tersendiri yang bermanfaat bagi anggotanya. Organisasi
profesi kependidikan berfungsi sebagai berikut
Fungsi pemersatu
Kelahiran suatu organisasi profesi tidak terlepas dari motif
yang mendasarinya, yaitu dorongan yang menggerakan para
profesional untuk membentuk suatu organisasi keprofesian.
Organisasi profesi kependidikan merupakan wadah pemersatu
berbagai potensi profesi kependidikan dalam menghadapi
kompleksitas tantangan dan harapan masyarakat pengguna jasa
kependidikan. Dengan mempersatukan potensi tersebut
diharapkan organisasi profesi kependidikan memiliki kewibawaan

85
dan kekuatan dalam menentukan kebijakan dan melakukan
tindakan bersama, yaitu uaya untuk melindungi dan
memperjuangkan kepentingan para pengemban profesi
kependidikan itu sendiri dan kepentingan masyarakat pengguna
jasa profesi ini.
Fungsi peningkatan kemampuan profesional
Fungsi ini secara jelas tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992,
pasal 61 yang berbunyi “tenaga kependidikan dapat membentuk
ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan
mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional,
martabat dan kesejahteraan tenaga kependidikan” peraturan
pemerintah tersebut menunjukan adanya legalitas formal yang
secara tersirat mewajibkan anggota profesi kependidikan untuk
selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya melalui
organisasi atau ikatan profesi kependidikan. Bahkan dalam
UUSPN Tahun 1989 : pasal 31 ayat 4 menyatakan bahwa,
“tenaga kependidikan berkewajiban untuk berusaha
mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan
perkembangan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pembangunan bangsa.”
Adapun yang menjadi organisasi pendidikan profesi guru
di Indonesia yaitu :
1). PGRI
Persatuan Guru Republik Indonesia lahir pada 25 November
1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal
bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan
Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah
nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932. Pada
saat didirikannya, organisasi ini disamping memiliki misi profesi
juga ada tiga misi lainnya, yaitu misi politis-deologis, misi
peraturan organisaoris, dan misi kesejahteraan.
2). MGMP

86
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) didirikan atas
anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikan Nasional.
Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan
profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya masing-masing.
3). KKG
Kelompok Kerja Guru (KKG) sebagai kelompok kerja
seluruh guru dalam satu gugus. Pada tahap pelaksanaannya dapat
dibagi ke dalam kelompok kerja guru yang lebih kecil, yaitu
kelompok kerja guru berdasarkan jenjang kelas, dan kelompok
kerja guru berdasarkan atas mata pelajaran.

Endnote

Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu


Pendidikan Bercorak Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2007,
hal. 284-285
2
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan
Profesionalisme Guru, PT. RajaGrafindo – Persada, Jakarta,
2011, hal. 15-16
3
Rusman, Op,cit., hal. 19
4
Op.cit, UU guru dan Dosen
5
Ibid, UU Guru dan Dosen
6
Ibid
7
Op.cit, Satori, hl 5
8
Jerome Brunner : The culture of Education, Harvard :
London, 1996, hl 78-85
9`
Ibid
10
Op.cit, 98
11
Op.cit, hl 108

87
LEMBARAN KERJA MAHASISWA

Nama :

Nim :

88
LEMBARAN KERJA MAHASISWA

Nama :

Nim :

89
BAB
PROFESI GURU
DALAM
4 PENGEMBANGAN
PEMBELAJARAN

4.1 Pengembangan Pembelajaran


Pengembangan pembelajaran adalah langkah awal untuk
peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan atau sistem
pembelajaran dalam pendidikan. Pengembangan pembelajaran
juga menjadi langkah awal dalam mengengembangan
pembelajaran bagi setiap guru yang menjadikan dirinya menjadi
guru profesional. Sebagaimana tujuan dan misi dari sistem

90
pembelajaran di setiap fakultas ilmu pendidikan dan keguruan
mengharapkan para lulusannya mencapai profil kemampuannya :
1) Mampu mencari solusi dalam bidang profesinya, 2) Memiliki
kemampuan manajerial dan memberdayakan profesinya, 3)
Memiliki rasa tanggung jawab dalam lingkungan dan peka
terhadap perubahan, 4) Berorientasi ke masa depan dan
menghargai waktu, 5) Mampu menguasai konsep-konsep
teknologi pendidikan dan menerapkannya dalam berbagai aplikasi
bidang teknologi pendidikan, 6) Mampu memadukan
kemampuaan telaah teknologi pendidikan dengan kemampuan
menggunakan alat (software) dalam proses penyelesaian kasus
dimulai dari tahap identifikasi, formulasi hingga penetapan
kesimpulan, memiliki wawasan kreatif dan inovatif, 7) Mampu
berkompetensi dengan lulusan perguruan tinggi lain dan
beriorientasi global.
Pembelajaran identik dengan pengajaran, suatu kegiatan di
mana guru mengajar atau membimbing anak-anak menuju proses
pendewasaan diri. Istilah pembelajaran setara dengan istilah
teaching atau intruction.1
Kegiatan pembelajaran yaitu kegiatan belajar dan mengajar.
Mengajar berarti ‘Pengajaran’ yang dilaksanakan dalam suatu
aktivitas yang kita kenal dengan istilah mengajar. Pengajaran
amat dekat dengan pengertian pedagogi. Pedagogi adalah seni
atau ilmu untuk menjadi guru. Dalam pengajaran sains, pada
hakikatnya pengajaran didefinisikan sebagai transformasi dari
pengetahuan sains.2
Selanjutnya ‘Belajar’ merupakan kegiatan yang dilakukan
dengan sengaja atau tidak sengaja oleh setiap individu, sehingga
terjadi perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu,dari yang
tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, tidak bisa membaca
menjadi bisa membaca dan sebagainya. Belajar adalah suatu
proses perubahan individu yang berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya ke arah yang baik maupun tidak baik. Belajar
menurut Gagne & Briggs (2008)3 adalah hasil pasangan stimulus

91
dan respon yang kemudian diadakan reinforcement yang terus
menerus. Reinforcement ini dimaksudkan untuk menguatkan
tingkah laku yang diinternalisasikan dalam proses belajar.
Proses belajar setiap orang akan menghasilkan hasil belajar yang
berbeda-beda untuk itu perlunya reinforcement yang terus
menerus hingga mengalami perubahan tingkah laku kearah yang
lebih baik.
Belajar setiap orang dapat dilakukan dengan cara berbeda.
Ada belajar dengan cara melihat, menemukan dan juga meniru.
Karena melalui belajar seseorang akan mengalami pertumbuhan
dan perubahan dalam dirinya baik secara psikis maupun fisik.
Secara fisik jika yang dipelajari berkaitan dengan dimensi
motorik. Secara psikis jika yang dipelajari berupa dimensi afeksi.
Secara kognitif jika yang dipelajari berupa pengetahuan baru. Jadi
pada hakikatnya belajar pada ranah kognitif juga akan
bersinggungan dengan ranah afektif dan juga dengan ranah
psikomotorik. Ketiga ranah ini saling berhubungan satu sama
lainnya.4
Pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam proses
belajar juga dipengaruhi oleh lingkungannya, Heinich (1999)5
mengatakan bahwa belajar adalah proses aktivitas
pengembangan pengetahuan, keterampilan atau sikap sebagai
interaksi seseorang dengan informasi dan lingkungannya
sehingga dalam proses belajar diperlukan pemilihan, penyusunan
dan penyampaian informasi dalam lingkungan yang sesuai dan
melalui interaksi pemelajar dengan lingkungannya. Gredler6 juga
menekankan pengaruh lingkungan yang sangat kuat dalam proses
belajar, belajar adalah proses memperoleh berbagai pengetahuan,
kecakapan, keterampilan dan sikap melalui pengalaman, interaksi
antara pemelajar, tutor dan lingkungannya. Dari beberapa
definisi-defenisi di atas dapat dikemukakan beberapa hal yang
menyangkut pengertian belajar sebagai berikut:

92
a) Belajar merupakan proses perubahan dalam setiap individu ke
arah yang lebih menguatkan dan ke arah yang baik.
b) Belajar merupakan suatu proses perubahan pertumbuhan dan
perkembangan setiap individu dengan lingkungannya baik
secara fisik maupun kognitifnya.
c) Belajar adalah interaksi individu dengan lingkungannya
sehingga membentuk kepribadian baik emosional, kecakapan,
keterampilan dan sikap.
Sementara menurut Lindgren7 belajar sebagai proses
perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan perubahan
tersebut disebabkan adanya interaksi individu yang bersangkutan
dengan lingkungannya. Dari kajian belajar di atas dapat
dinyatakan bahwa pengaruh lingkungan juga sangat
mempengaruhi pola belajar seseorang, jika lingkungan sekolah
mendidik pemelajar menjadi ramah budaya maka pemelajar
belajar menjadi anak yang mencintai budayanya. Perubahan
tingkah laku/sikap pemelajar sebagai hasil belajar lebih banyak
dipengaruhi oleh lingkunganya. Belajar mencintai lingkungan
budaya lokal menjadi dasar pemikiran dalam penelitian ini.
Pengertian pembelajaran tidak terlepas dari pengertian belajar,
belajar dan pembelajaran menjadi satu rangkaian kegiatan yang
tidak dapat dipisahkan.
Hasil dari belajar menjadi model dalam proses
pembelajaran selanjutnya. Pembelajaran berarti kegiatan belajar
yang dilakukan oleh pemelajar dan guru. Proses belajar menjadi
satu sistem dalam pembelajaran. Sistem pembelajaran terdiri dari
beberapa komponen yang saling berinteraksi hingga diperoleh
interaksi yang efektif. Dick dan Carey8 menjelaskan komponen
dalam sistem pembelajaran adalah pemelajar, instruktur (guru),
bahan pembelajaran dan lingkungan pembelajaran.
Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas
berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang
lain. Komponen tersebut meliputi: tujuan, materi, metode, dan
evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus

93
diperhatikan oleh guru dalam memilih dan menentukan model-
model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran.
Model-model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan
berbagai prinsip atau teori sebagai pijakan dalam
pengembangannya. Para ahli menyusun model pembelajaran
berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan, teori-teori psikologis,
sosiologis, psikiatri, analisis sistem, atau teori-teori lain (Joyce &
Weil, 1980). Biasanya mempelajari model-model pembelajaran
didasarkan pada teori belajar yang dikelompokkan menjadi empat
model pembelajaran. Model tersebut merupakan pola umum
perilaku pembelajaran untuk mencapai komptensi/tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Joyce & Weil berpendapat bahwa
model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat
digunakan untuk membentuk kurikulum dan pembelajaran jangka
panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan
membimbing pembelajaran di kelas atau di luar kelas. Model
pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk
mencapai tujuan pembelajaran.9
Dengan kata lain komponen dalam pembelajaran merupakan
upaya menciptakan kondisi (lingkungan eksternal) yang
konduktif agar terjadi proses belajar (kondisi internal) pada diri
siswa (pebelajar). Pembelajaran akan berhasil guna dan berjalan
secara efektif bila dalam perancangan dan pengembangan bertitik
tolak pada karakteristik pebelajar, mata pelajaran dan pedoman
pada kompetensi dasar, tujuan-tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan atau indikator keberhasilan belajar. Belajar akan
berhasil jika pebelajar (siswa) secara aktif melakukan sendiri
proses belajar melalui berinteraksi dengan berbagai sumber
belajar.
Menurut Reigeluth10 dalam menunjang proses pembelajaran
ada tiga variabel pembelajaran yaitu variabel kondisi
pembelajaran, metode dan variabel hasil pembelajaran. Ketiga

94
variabel pembelajaran yang dikemukan Regeluth dapat kita lihat
pada gambar 2 di bawah ini:

Karakteristik Pembelajaran Karakteristik siswa

Kondisi
Pembelajaran
Tujuan Hambatan

Metode Strategi Strategi


Pembelajaran
Strategi
Pembelajaran Penyampaian
Pengelolaan

Hasil
Pembelajaran
Efektivitas, Efisiensi dan daya tarik pembelajaran

Gambar 2. Variabel Pembelajaran Reigeluth (1999, h.19)

Variabel pembelajaran Reigeluth menunjukkan bahwa


kondisi pembelajaran menjadi awal dari strategi pembelajaran
untuk mencapai hasil pembelajaran. Sedangkan metode
pembelajaran menekankan pada komponen-komponen strategi
pembelajaran, penyampaian dan pengelolaan pembelajaran. Dan
untuk mencapai hasil pembelajaran Reigeluth lebih mengarahkan
model pembelajaran yang efektifitas, efesiensi dan mempunyai
daya tarik.
Ketiga variabel pembelajaran di atas menurut Reigeluth11
saling berinteraksi, interaksi dari variabel-variabel tersebut
membangun dua bentuk hubungan antar variabel yang dikenal
dengan teori deskriptif dan teori preskriptif, sebagaimana gambar
3 di bawah ini:

95
Kondisi
Pembelajaran

deskriptif Metode
Pembelajaran
2
1

preskriptif
Hasil
Pembelajaran

Gambar 3. Interaksi Variabel Kondisi Pembelajaran, Metode dan Hasil


Pembelajaran dari Reigeluth (1999, h. 22)

Gambaran teori deskriptif menurut Reigeluth12 adalah satuan


prinsip yang terintegrasi secara sistematis dan bermakna antara
kondisi dan metode pembelajaran untuk menjelaskan hasil
pembelajaran. Sedangkan teori preskriptif adalah satuan prinsip
yang terintegrasi secara sistematis dan bermakna antara kondisi
dan hasil pembelajaran untuk menjelaskan metode pembelajaran.
Dalam hal ini penulis lebih menekankan ke arah teori deskriptif,
bahwa kondisi pembelajaran dengan pendekatan/metode
pembelajaran akan menghasilkan hasil pembelajaran yang efektif,
efesien dan mempunyai daya tarik bagi pebelajar (siswa).
Pendekatan atau sistem pembelajaran menjadi konteks
dalam penulisan ini sebagaimana Dick dan Carey13 menjelaskan
dalam sistem pembelajaran terdapat juga strategi pembelajaran
yang terdiri dari 5 (lima) komponen yaitu: (a) aktivitas pra-
pembelajaran, meliputi pemberian motivasi, gambaran tujuan

96
pembelajaran dan menginformasikan keterampilan, (b) presentase
pembelajaran bagian dari inti, meliputi tahapan pembelajaran,
materi dan contoh, (c) melibatkan partisipasi siswa dalam
pembelajaran, meliputi praktek dan pemberian umpan balik (d)
melakukan penilaian, meliputi tes awal dan tes akhir, (e) aktivitas
lanjutan meliputi pengulangan dan penyampaian kesimpulan.
Strategi pembelajaran adalah spesifikasi untuk memilih dan
mengurutkan kejadian dan aktivitas dalam pembelajaran (Seels
and Richey).14 Strategi pembelajaran mengarahkan kearah peta
pembelajaran dan pengembangan pembelajaran. Pengembanga
pembelajaran biasanya dinyatakan dalam bentuk model-model
pembelajaran, dengan alasan: (a) agar mudah dimengerti oleh
pemelajar dan guru, (b) disesuaikan dengan situasi lingkungan
sekolah dan masyarakat, (c) mampu menghasilkan hasil
pembelajaran yang lebih baik sesuai dengan model yang akan
diimplementasikan.
Model Pembelajaran merupakan komponen utama dalam
menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi
siswa sehingga siswa lebih aktif, kreatif, inovatif dan berkarakter.
Model pembelajaran menjadi pijakan untuk menghasilkan
perencanaan hasil pembelajaran yang bernuansa efektif, efesien
dan menyenangkan. Model pembelajaran menurut Bruce & Weil15
adalah perencanaan suatu pola yang dapat digunakan sebagai
desain dalam pembelajaran di dalam kelas.
Model pembelajaran dikembangkan atas pengembangan dari
hasil pembelajaran, sebagaimana Reigeluth16 memaparkan bahwa
istilah pengembangan dalam pembelajaran merupakan suatu
upaya untuk memahami, memperbaiki dan mengkonstruksi
bangunan berdasarkan cetak biru (blue print). Melalui proses
pengembangan tersebut dimungkinkan diperoleh suatu produk
baru dalam pendidikan baik berbentuk perangkat lunak (soft
ware) seperti program pembelajaran maupun perangkat keras
(hard ware) seperti media pembelajaran. Reigeluth17 juga
menekankan bahwa model pembelajaran digunakan untuk

97
berbagai keperluan termasuk pembelajaran dimana satu
komponen terintegrasi dari strategi, ringkasan, penggunaan
contoh, penggunaan praktek untuk memberikan motivasi kepada
siswa.
Menurut Miarso18 ada berbagai macam model, ada tiga
diantaranya adalah (a) model konseptual yang pada hakekatnya
merupakan perwujudan dari suatu teori atau konseptualisasi teori-
teori, (b) model prosedural yang bersifat preskriptif artinya
memberikan presentasi tentang bagaimana sesuatu, (c) model
fisikal yaitu model dalam wujud fisik. Reigeluth dan Merill19,
menekankan ada tiga komponen pendukung model pembelajaran
yaitu, metode pembelajaran, kondisi dan hasil pembelajaran.
Yang dimaksud dengan metode pembelajaran adalah berbagai
macam cara untuk mencapai berbagai macam hasil dalam
berbagai macam kondisi. Kondisi pembelajaran merupakan faktor
yang mempengaruhi dampak metode dan karena itu penting
untuk menentukan metode. Hasil pembelajaran merupakan
berbagai akibat yang dapat dipakai untuk mengukur kegunaan
berbagai macam metode dalam berbagai kondisi.
Peristiwa pembelajaran merupakan serangkain dari sistim
pembelajaran untuk merubah tingkah laku seseorang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
Pembelajaran bagi Vigotsky yang dikutip oleh Brennen20, bahwa
pembelajaran terjadi dalam suatu zona perkembangan proksimal.
Perkembangan yang dimaksud mencakup perbedaan yang
terdapat diantara perkembangan aktual dan potensial.
Perkembangan ini merupakan hal-hal yang dapat dilakukan oleh
pemelajar tanpa bantuan serta hal-hal yang mungkin dapat
dilakukan dengan bantuan pihak yang lebih tahu, baik bantuan
yang diberikan oleh guru atau sesama dengan teman belajar.
Kebutuhan akan model pembelajaran yang akan
dikembangkan menurut Sambaugh dan Magliaro juga harus
terlebih dahulu melakukan analisis kebutuhan dan difokuskan
pada materi, peserta didik dan konteks. Analisis kebutuhan disini

98
adalah memerinci masing-masing kebutuhan, kemudian
mengklafikasi dan selanjutnya memilah-milah sesuai kebutuhan
pembelajaran tersebut.21 Joice22 menjelaskan model pembelajaran
adalah suatu perencanaan yang digunakan sebagai pedoman
dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran
tutorial dan untuk menentukan perangkat pembelajaran serta
mengarahkan kita dalam mendesain pembelajaran untuk
membantu pembelajar sedemikian hingga tujuan pembelajaran
tercapai.
Beberapa konsep pengembangan model yang akan
dikembangkan dalam pengembangan pembelajaran yang
menghasilkan model pengembangan pembelajaran yang
diterapkan profesionalisme pendidik yaitu Model David Merrill,
Model Robert Gagne, Model Gerlach dan Ely, Model ASSURE,
Model ADDIE, Model Dick and Carey, dan MPI Atwi
Suparman:
a. Model David Merrill
Model pembelajaran David Merril ini di mulai dengan model
desain instruksional yang menunjukkan lingkungan belajar yang
efektif adalah berbasis masalah dan melibatkan siswa dalam
empat tahap yang berbeda dari pembelajaran:(1) aktivasi
pengalaman sebelumnya, (2) demonstrasi keterampilan, (3)
penerapan keterampilan dan (4) integrasi atau keterampilan ke
dalam kegiatan dunia nyata. Gambar 4 di bawah
ini menunjukkan tahap-tahap mengatasi masalah
dalam lingkungan belajar dengan desain model
pembelajaran David Merril23

INTEGRASI
AKTIFITAS
MASALAH

PENERAPAN DEMONSTRASI

Gambar 4. Prinsip Model pembelajaran D. Merril

99
Prinsip awal model pembelajaran ini adalah :
a) Belajar difasilitasi ketika peserta didik terlibat dalam
memecahkan masalah di dunia nyata.
b) Belajar difasilitasi ketika pengetahuan yang ada diaktifkan
sebagai dasar untuk pengetahuan baru.
c) Belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru menunjukkan
kepada pelajar.
d) Belajar difasilitasi ketika pengetahuan baru diterapkan oleh
pelajar.
Prinsip model David Merrill ini yang di mulai dari tahap
(1) masalah, artinya pembelajaran dilaksanakan dalam rangka
memecahkan permasalahan dunia nyata di sekitar siswa, (2)
aktifitas, artinya pembelajaran dikembangkan relevan dengan
pengalaman dan pengetahuan siswa yang telah dimiliki
sebelumnya, (3) demonstrasi, artinya pembelajaran yang
dikembangkan untuk mempertunjukkan apa yang akan dipelajari
bukannya melulu menceritakan informasi tentang apa yang akan
dipelajari, (4) aplikasi, artinya pembelajaran yang dikembangkan
untuk menggunakan keterampilan atau pengetahuan yang baru
siswa untuk memecahkan masalah, (5) integrasi,pembelajaran
yang dikembangkan mengintegrasikan keterampilan atau
pengetahuan yang baru ke dalam kehidupan sehari-hari siswa.
b. Model Robert Gagne

Peristiwa pengembangan model pembelajaran yang


dikembangkan Gagne berdasarkan empat fase yaitu :

Peristiwa Fase Fase


Fase Fase Fase
Model Perhatian Retensi
Retensi Reproduksi Motivasi

Gambar 5. Peristiwa Model pembelajaran Robert Gagne 1985

100
Dari ke empat peristiwa pengembangan model Gagne ini,
menghasilkan penampilan hasil-hasil belajar disebut kemampuan
(Gagne, 1988). Ratna Wilis24 dalam bukunya Model
Pembelajaran Gagne menjelaskan lima kemampuan sebagai hasil
belajar Gagne yaitu :
a) Keterampilan Intelektual memungkinkan seseorang
berinteraksi dengan lingkungannya, dengan penggunaan
simbol-simbol atau gagasan-gagasan.
b) Strategi Kognitif merupakan keterampilan khusus yang
mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir.
Misalnya strategi ketika siswa menggunakan strategi-strategi
khusus dalam melaksanakan tugas-tugas belajar, untuk
memudahkan, strategi kognitif dikelompokkan sesuai
fungsinya. Apakah strategi Menghafal, strategi Elaborasi,
strategi Pengaturan, strategi Metakognitif, dan strategi
Afektif.
c) Informasi Verbal adalah pengetahuan verbal yang disimpan
sebagai jaringan proposisi-proposisi (mengingatkan kembali
pembelajaran lalu).
d) Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari
mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-
kejadian atau makhluk hidup lainnya.
e) Keterampilan Motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik,
melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan
keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis,
memainkan sebuah instrument musik atau dalam pelajaran
sains menggunakan berbagai macam alat seperti
mikroskop, alat-alat listrik dalam fisika, dan lainnya.

Kemampuan belajar Gagne25 ini merupakan hasil produk


pembelajaran sebagaimana Gagne menjelaskan: “the design
component of the instructional system design process results in a

101
plan or blueprint for guiding the development of instructional
“artinya komponen desain adalah proses desain sistem
pembelajaran yang menghasilkan rencana atau
blueprint untuk mengarahkan pengembang
mendesain produk pembelajaran. Sebagaimana
teori pembelajaran Gagne menghasilkan produk
model peristiwa pembelajaran di bawah ini:

Gambar 6. Model Pembelajaran Robert Gagne

Model pengembangan pembelajaran Robert Gagne di atas


adalah hasil sintesis ide dari behaviorisme dan kognitivisme
untuk menghasilkan hasil belajar dengan domain kognitif,
afektif dan psikomotor. Proses pembelajaran selanjutnya adalah
serangkaian peristiwa pembelajaran (conditions of learning) yang
mencerminkan peristiwa-peristiwa pembelajaran

b. Model Gerlach dan Ely


Model Gerlach dan Ely dikembangkan sejak tahun 1971 dan
cocok diterapkan untuk lembaga pendidikan karena produk

102
model Gerlach dan Ely ini merupakan produk teknologi
pendidikan yang menghasilkan perencanaan pembelajaran yang
sistematis. Tujuan pembelajaran yang efektif dan efesien melalui
media pendidikan. Komponen dalam model ini juga berkaitan
satu sama lain, sebagaimana gambar 8 di bawah ini:26

Development
Design Utilization

Theory
Management
Evaluation Practice

Gambar 8 . The Domains in instructional technology

Dasar teori model pembelajaran Gerlach dan Ely ini adalah


berdasarkan kawasan dari tekhnologi pendidikan sebagai teori
praktek pengembangan pembelajaran di kelas. Berdasarkan lima
(5) kawasan tekhnologi pendidikan yaitu desain pembelajaran,
strategi pembelajaran, pengembangan pembelajaran, manfaat
pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang satu sama lain
saling bersinergis. Dasar teori ini menjadi awal model
pengembangan pembelajaran Gerlach dan Ely ditandai dengan
model preskriptif. Model preskriptif ini memberikan para desain
model untuk mengikuti langkah-langkah kerja pemanfaatan
pembelajaran dan strategi pembelajaran sebagaimana
pembelajaran K 12 atau gambar model desain pembelajaran
Gerlach dan Ely gambar 9 di bawah ini:27

Strategi
Organisasi
kelompok

103
Alokasi waktu
Isi Utama Evaluasi Kinerja
Alokasi tempat
Penilaian
perilaku
Seleksi sumber
Analisis Umpan
Objek Balik
Utama

Gambar 9. Model desain pembelajaran Gerlach dan Ely

Langkah pertama dari proses model ini adalah sebuah proses


interaktif yang memeriksa konten dan kemudian menghasilkan
tujuan dari konten. Sebagai contoh, mengidentifikasi isi “50
negara dari Amerika Serikat” kemudian akan secara interaktif
menentukan tujuan “ Nama dan menemukan 50 negara dengan
akurasi 85%”. Menurut Gerlach dan Ely model pembelajaran ini
mencakup kondisi dimana perilaku harus terjadidan kriteria yang
ditetapkan untuk kinerja yang dapat diterima. Sebagaimana
prinsip-prinsip yang mendasari model ini adalah teori belajar
behaviorisme. Behavioris percaya bahwa pengalaman pribadi
merupakan desain pembelajaran yang utama yaitu perilaku siswa
harus diamati. Behavioris meyakini bagaimana peran
pembelajaran “menyajikan materi secara efektif terstruktur dan
menilai pemahaman siswa tepat dan lengkap. Pembelajaran
adalah fokus presentasi dan interaksi . Peran siswa adalah “
Untuk menyerap presentasi pembelajaran dan materi yang
menunjukkan pencapaian model mental yang benar. Sebuah
peristiwa belajar behavioris dicirikan dengan ciri :28
a) Pengetahuan yang ditetapkan ditransmisikan ke peserta didik
sesuai dengan program direncanakan.
b) Kegiatan khusus yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
c) Belajar dibentuk oleh pengulangan dan penguatan sebagai
pelajar menanggapi rangsangan tertentu.

104
d) Pelajar tidak memiliki kontrol pembelajaran atau pada rentang
waktu.
e) Pendidik adalah pusat pembelajaran perilaku bagi siswa
f) Evaluasi dilakukan secara individual pada akhir acara belajar
untuk menentukan apakah tujuan pembelajaran.
g) Kegagalan berarti isi konsep / pembelajaran akan diulang
sampai itu dikuasai.
c. Model Assure
Model desain pembelajaran
ASSURE dikembangkan oleh Sharon
Smaldino, Robert Henich, James Russell
dan Michael Molenda dan model ini dapat
digunakan untuk menetapkan pengalaman
belajar yang dapat membantu siswa dalam
mencapai kompetensi yang diinginkan.
Langkah awalnya mengenal siswa dengan
mengenal dan mengetahui profil siswa yang
akan menempuh proses belajar, guru, instruktur, pelatih dan
perancang program pembelajaran dapat menentukan kompetensi
yang sesuai dan perlu dicapai.
Model ASSURE dirancang untuk membantu para guru
merencanakan mata pelajaran yang secara efektif memadukan
penggunaan teknologi dan media di ruang kelas. Tujuan utama
para guru adalah memenuhi kebutuhan unik setiap siswa sehingga
mereka bisa mencapai tingkat belajar maksimum. Model
ASSURE mengarahkan ke pendekatan sistematis untuk
menganalisis karakteristik para siswa yang mempengaruhi
kemampuan belajar siswa yaitu:29
1. Karakteristik Umum
Analisis karakteristik umum seperti sikap dan ketertarikan
bisa diperoleh dari percakapan dengan para siswa dengan
mengamati perilakunya. Karakteristik-karakteristik tersebut
dinilai untuk setiap mata pelajaran yang dikembangkan karena
ketertarikan siswa sering sekali berbeda-beda sesuai dengan

105
subjeknya. Analisis awal atas karateristik umum para siswa
akan lebih mungkin digunakan peninjauan dari catatan akademik
siswa tersebut.
2. Kompetensi dasar spesifik
Ujian masuk merupakan penilaian yang menentukan apakah
para siswa memiliki prasyarat yang diperlukan atau kompetensi
untuk mengambil manfaat dari pembelajaran. Untuk membantu
mengklarifikasi komponen dasar spesifik atau prasyarat adalah
penting untuk dengan cermat mendaftar hal-hal ini dalam rencana
mata pelajaran dari guru. Pra-ujian mungkin dibutuhkan untuk
menilai konten yang akan diajarkan guru untuk mengetahui
apakah para siswa belum menguasai apa yang. guru rencanakan
untuk diajarkan.
3. Gaya Belajar
Gaya Belajar merujuk pada serangkaian sifat psikologis
yang menentukan bagaimana seseorang siswa merasa,
berinteraksi dengan dan merespons secara emosional terhadap
lingkungan belajarnya. Misalnya adaptasi ruang kelas meliputi
penyediaan ruang tempat membaca dengan permadani dan kursi
yang nyaman, tempat belajar yang privat, hening dan
menggunakan pencahayaan yang cukup dan musik yang baik.
Dalam memahami model ASSURE, Benny Pribadi
mengawalinya dengan 6 (enam) komponen model yang terdapat
dalam model: 30

Evaluate

Gambar 10. Model Pembelajaran ASSURE

106
1. A analyze learner characteristics/menganalisis karakteristik
siswa, siapakah siswa yang akan melakukan proses belajar?
Analisis terhadap karakteristik siswa meliputi beberapa aspek;
karakteristik umum, kompetensi spesifik yang telah dimiliki
siswa sebelumnya, gaya belajar siswa, motivasi.
2. Sstate performance objectives/menetapkan tujuan
pembelajaran agar kompetensi-pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang akan dimiliki oleh siswa setelah menempuh proses
pembelajaran menunjukkan hasil belajar yang telah dicapai.
3. S select methods,media and materials/ memilih metode, media
dan bahan pelajaran yang tepat akan dapat membantu guru dan
instruktur dalam mengoptimalkan hasil belajar siswa.
4. U utilize materials/ menggunakan metode, media dan bahan
ajar yang telah dipilih agar komponennya efektif dan efesien.
5. Rrequire learner participation/ mengaktifkan keterlibatan
siswa agar siswa termotivasi untuk mencapai prestasi belajar
yang lebih tinggi.
6. E evaluate and revise/evaluasi dan revisi dilakukan untuk
menilai pencapaian hasil belajar siswa sehingga komponen-
komponen pembelajaran mencapai pembelajaran sukses.
Ke enam (6) langkah yang diterapkan dalam model
ASSURE ini bertujuan untuk mencapai hasil belajar
siswa lebih ditingkatkan, langkah awal menjadi
langkah untuk mengetahui karakteristik siswa
menuju pencapaian hasil belajar siswa yang
berdasarkan evaluasi dan revisi hasil belajar.

d. Model ADDIE
Model desain pembelajaran ADDIE dikembangkan oleh
Reiser dan Margareth Molenda dengan ke lima (5) komponen,
yang diterapkan secara sistematik sesuai dengan penyebutan
nama model ADDIE.

107
Analysis

Evaluation Design

Implemen
tation Development

Gambar 11. Model Pembelajaran ADDIE


1. A analysis/analisis kebutuhan merupakan langkah yang
diperlukan untuk menentukan kemampuan-kemampuan atau
kompetensi yang perlu dipelajari oleh siswa untuk
meningkatkan kinerja atau prestasi belajar.
2. D design/desain pengalaman belajar siswa selama
mengikuti aktivitas pembelajaran.
3. D development/pengembangan pembelajaran meliputi
kegiatan membuat, membeli, memodifikasi bahan ajar atau
learning materials untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan.
4. I implementation/implementasi pembelajaran yang
disampaiakan guru kepada siswa.
5. E evaluation/evaluasi adalah pemberian nilai kepada siswa
berdasarkan kompetensi-pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti
program pembelajaran, misalnya evaluasi formatif.

e. Model Dick and Carey


Model Dick and Carey31 dalam bukunya The Systematic
Design of Instruction bahwa sistem model pengembangan

108
pembelajaran mengacu pada 10 sepuluh tahapan
pengembangan yaitu: (1) Identifikasi tujuan pembelajaran, (2)
Analisis pembelajaran, (3) Identifikasi perilaku awal, (4)
Menuliskan tujuan, (5) Mengembangkan tes, (6)
Mengembangkan strategi pembelajaran, (7) Mengembangkan dan
memilih bahan pembelajaran, (8) Mengembangkan evaluasi
formatif, (9) Mengembangkan evaluasi sumatif, (10) Revisi.
Sebagaimana gambar 10 komponen model Dick dan Carey di
gambar 12 bawah ini:

Menulisk Mengemba
Mengemb Strategi Mengemba
an kinerja ngkan
Identifika angkan Tes pengemban ngkan
si Tujuan gan pembelajar evaluasi
an formatif

Identifikasi
Perilaku
Mengemba
ngkan
evaluasi
sumatif
Gambar 12. Desain model pembelajaran Dick & Carey

Uraian 10 (sepuluh) tahap-tahap komponen model desain


pembelajaran Dick & Carey :
1. Identifikasi Tujuan Pembelajaran
Tahap awal dari sepuluh (10) komponen model
pembelajaran Dick & Carey adalah untuk mengidentifikasi apa
yang akan diharapkan dari siswa setelah siswa melakukan
pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran dibutuhkan
analisis kebutuhan, analisis kebutuhan apa saja yang menjadi
kendala/masalah-masalah dalam proses pembelajaran.
Identifikasi tujuan pembelajaran artinya menemukan apa yang

109
menjadi kebutuhan belajar siswa melalui analisis kebutuhan agar
tujuan pembelajaran yang dilaksanakan berjalan dengan efektif.
2. Analisis Pembelajaran
Analisis pembelajaran dilakukan setelah melakukan
identifikasi tujuan pembelajaran siswa, agar tercapai tujuan
pembelajaran yang efektif. Analisis pembelajaran ini adalah
serangkaian proses pembelajaran siswa yang di analisis melalui
analisis keterampilan, analisis pengetahuan dan analisis sikap
siswa dalam pembelajaran. Tujuan analisis pembelajaran adalah
untuk mengetahui perilaku awal siswa melalui analisis tugas-
tugas belajar siswa dan analisis hasil belajar siswa.

3. Identifikasi Perilaku Awal


Identifikasi perilaku awal siswa dimulai dengan
menganalisis lingkungan belajar siswa dengan mengidentifikasi
karakteristik kemampuan siswa, pengetahuan siswa, motivasi
siswa, dan perilaku awal siswa. Tujuan identifikasi perilaku
awal siswa ini agar karakteristik kemampuan siswa ini
diketahui guru untuk mengatur strategi belajar siswa
dilingkungan belajarnya.

4. Menuliskan Tujuan Pembelajaran


Menuliskan tujuan pembelajaran berarti menuliskan apa
yang harus dikerjakan siswa, menuliskan tugas-tugas apa saja
yang harus dikerjakan siswa dan menuliskan kriteria yang
digunakan untuk dikerjakan siswa sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai dengan baik.

5. Mengembangkan Tes Penilaian


Mengembangkan tes penilaian berdasarkan menuliskan
tujuan pembelajaran kemudian produk dari tujuan pembelajaran
yang dihasilkan dikembangkan melalui evaluasi tes agar dapat
mengukur kemampuan belajar siswa sesuai dengan tujuan

110
pembelajaran. Tujuan Tes penilaian ini dikembangkan agar dapat
mengukur kemampuan siswa untuk tujuan pembelajaran.

6. Mengembangkan Strategi Pembelajaran


Untuk mengembangkan strategi pembelajaran ada dua
kegiatan yaitu kegiatan pra-pembelajaran (pre-activity), yaitu
kegiatan penyajian informasi, praktek, umpan balik, pengetesan
dan mengikuti kegiatan selanjutnya. Kedua kegiatan
berdasarkan teori dan hasil penelitian yaitu kegiatan karakteristik
pembelajaran, bahan pembelajaran dan karakteristik siswa dalam
menerima pembelajaran. Dengan terlaksananya kedua kegiatan
ini menjadi tujuan mengembangkan strategi pembelajaran dan
akan mengembangkan bahan pembelajaran.

7. Mengembangkan dan Memilih Bahan Pembelajaran


Mengembangkan dan memilih bahan pembelajaran berarti
mengembangkan produk pembelajaran dengan memilih bahan
pembelajaran yang sesuai dengan lingkungan belajar siswa.
Mengem-bangkan dan memilih produk berarti apakah produk
media pembelajaran siswa,apakah tutor sebaya, apakah modul
pembelajaran maupun produk web dan e-learning pembelajaran.

8. Mengembangkan Evaluasi Formatif


Mengembangkan evaluasi formatif yang akan dihasilkan
adalah instrumen atau angket penilaian yang akan digunakan
untuk mengumpulkan data. Data-data yang akan diperoleh tersebu
sebagai pertimbangan dalam merevisi pengembangan
pembelajaran ataupun produk bahan pembelajaran.

9. Mengembangkan Evaluasi Sumatif


Evaluasi sumatif adalah hasil akhir dari evaluasi formatif,
evaluasi akhir ini dilakukan agar hasil pembelajaran yang
dihasilkan lebih efektif dengan mengukur dari hasil evaluasi
sumatif.

111
10. Revisi
Revisi merupakan langkah akhir dari model pembelajaran
Dick & Carey, tujuan dari revisi ini adalah agar tujuan
pembelajaran yang telah direvisi menghasilkan hasil
pembelajaran yang efektif, efesien dan mempunyai daya tarik
bagi siswa.

f. MPI Atwi Suparman


Suparman32 menyatakan untuk merancang model
pembelajaran diperlukan sebuah pendekatan agar memudahkan
instructional designer merancang dan mengembangkan sebuah
proses pembelajaran menjadi efektif dan efesien dalam
memfasilitasi pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagaimana
Benny Pribadi (2010, h.18) menyatakan bahwa “Penerapan
desain sistem pembelajaran bertujuan untuk menciptakan
pembelajaran yang sukses, yaitu pembelajaran yang mampu
membantu siswa mencapai kompetensi yang diinginkan”.
Model Pengembangan Instruksional (MPI) yang
dikembangkan Atwi Suparman ini secara garis besar terdiri atas
tiga tahap yaitu : (1) Tahap Identifikasi, yang mencakup tiga
langkah yaitu (a) mengindentifikasi kebutuhan instruksional dan
menulis tujuan instruksional umum (b) melakukan analisis
instruksional (c) mengindentifikasi perilaku dan karakteristik
awal siswa. (2) Tahap pengembangan, yang terdiri dari empat
langkah : (a) menulis tujuan instruksional
khusus, (b) menulis alat penilaian hasil
belajar, (c) menyususun strategi instruksional,
(d) mengembangkan bahan instruksional. (3)
Tahap evaluasi formatif, yang terdiri dari empat
langkah : (a) penelaahan oleh pakar dan revisi,
(b) Evaluasi oleh 1-3 siswa dan revisi, (c) Uji
coba dalam skala terbatas, (d) uji coba lapangan.
Dari ketiga tahap ini, tersusun 10 (sepuluh)
langkah dalam model pengembangan

112
pembelajaran Atwi Suparman, sebagaimana gambar 13 di bawah
ini:33

Analisis Menyusun
instruksio hasil
nal belajar
Identifik
Mengemba Menyusun Sistem
asi Tujuan
ngkan desain, instruksio
kebutuh Instruksiona
evaluasi
bahan nal
an dan l khusus
belajar fromatif
tujuan
instruksi Menyusun
strategi Implemen
onal
belajar tasi,
Identifikasi
perilaku evaluasi,
siswa inovasi

Gambar 13. Model pengembangan pembelajaran Atwi Suparman


Uraian 10 (sepuluh) langkah-langkah MPI Atwi Suparman
sesuai dengan gambar di atas:34
1. Mengidentifikasi Tujuan Instruksional
Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini
dibandingkan dengan keadaan yang diharapkan atau
seharusnya. Apabila kesenjangan itu besar atau dikhawatirkan
dapat menimbulkan akibat yang signifikan, maka perlu
diprioritaskan untuk diatasi. Kebutuhan seperti itu disebut
masalah. Analisis kebutuhan menjadi langkah pertama MPI Atwi
dengan mengindentifikasi kebutuhan instruksional disebut
educational needs, needs assessment atau training needs
assessment. Mengindentifikasi kebutuhan instruksional pada MPI
merupakan bagian awal dari suatu proses desain termasuk
pemberian perlakuan melalui evaluasi formatif.

2. Melakukan Analisis Instruksional


Analisis instruksional adalah proses menjabarkan
kompetensi umum menjadi subkompetensi, kompetensi dasar atau
kompetensi khusus yang tersusun secara logis dan sistematik.
Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengindentifikasi daftar

113
subkompetensi yang lain menuju kompetensi umum. Analisis
instruksional menjadi langkah kedua dalam MPI Atwi Suparman
yaitu kegiatan menjabarkan atau memecah kompotensi umum
menjadi subkompetensi, kompetensi dasar atau kompetensi
khusus yang lebih kecil atau spesifik serta mengindentifikasi
hubungan antara kompetensi khusus yang satudan kompetensi
khusus yang lain.

3. Mengindentifikasi Perilaku Awal


Mengindentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa
adalah menggunakan pendekatan menerima siswa apa adanya dan
menyusun sistem instruksional atas dasar keadaan siswa tersebut.
Langkah ketiga ini adalah titik mulai suatu kegiatan
instruksional tergantung pada perilaku awal siswa.

4. Menulis Tujuan Instruksional Khusus


Hasil akhir dari kegiatan mengindentifikasi perilaku dari
karakteristik awal siswa adalah menentukan garis batas antara
perilaku yang tidak perlu diajarkan dan perilaku yang harus
diajarkan kepada siswa. Perilaku yang akan diajarkan ini
kemudian dirumuskan dalam bentuk tujuan instruksional
khusus (TIK).

5. Menyusun Alat Penilaian Hasil Belajar


Menyusun alat penilaian acuan patokan dengan
menggunakan tabel spesifikasi atau kisi-kisi. Kisi-kisi yang
digunakan adalah yang komprehensif agar dapat digunakan
untuk menyusun alat penilaian yang bervariasi sesuai dengan
variasi tujuan instruksional. Kisi-kisi alat penilaian yang
komprehensif dapat mengakomodasi semua tujuan yang
termasuk dalam tiga kawasan taksonomi yaitu kognitif, afektif
dan psikomotor.

6. Menyusun Strategi Instruksional

114
Penyusunan strategi instruksional haruslah didasarkan atas
tujuan instruksional yang akan dicapai sebagai kriteria utama.
Tujuan instruksional tercapai melalui strategi instruksional.
Konsep strategi instruksional sebagai urutan kegiatan
instruksional yang dikaitkan dengan metode, media yang
digunakan dan waktu yang dibutuhkan pengajar dan siswa untuk
mencapai tujuan instruksional. Strategi instruksional yang
digambarkan dalam MPI bukan saja cara tentang bagaimana
tujuan instruksional dicapai, melainkan juga dengan alat apa
dan berapa besar usaha yang harus dilaksanakan pengajar dan
siswa.
7. Mengembangkan Bahan Instruksional
Mengembangkan bahan instruksional merupakan langkah ke
tujuh dalam MPI Atwi Suparman, bahan instruksional yang
dikembangkan adalah bahan instruksional yang mandiri yang
disebut modul, bahan instruksional kompilasi dan bahan
instruksional kombinasi.

8. Menyusun Desain Evaluasi Formatif


Menyusun desain evaluasi formatif dimaksudkan untuk
merevisi bahan instruksional, sedangkan evaluasi sumatif untuk
menentukan nilai dari bahan instruksional dan dijadikan
pertimbangan untuk terus menggunakannya atau menggantinya
dengan yang lain. Pelaksanaan evaluasi formatif pertama; review
isi instruksional oleh ahli isi, kedua; evaluasi satu-satu yang
melibatkan tiga orang siswa, ketiga; uji coba kelompok kecil
yang melibatkan 8-15 orang siswa dan keempat; uji coba
lapangan yang melibatkan 15-30 siswa. Setiap tahapan diikuti
dengan kegiatan merevisi bahan instruksional sebelum
melakukan tahapan berikutnya.
9. Implementasi, Evaluasi Sumatif & Difusi Inovasi
Implememtasi, evaluasi sumatif dan difusi inovasi
merupakan tiga bidang kegiatan yang menjadi mata rantai
lanjutan dari proses desain instruksional. Konsep dasar yang

115
digunakan oleh ketiga bidang tersebut berbeda dengan teori
belajar dan teori instruksional yang digunakan
Komponen tujuan memiliki fungsi yang sangat penting
dalam sistem pembelajaran. Kalau kita ibaratkan, tujuan adalah
komponen jantungnya dalam sistem tubuh manusia. Adakah
manusia yang hidup tanpa jantung? Tidak bukan? Demikian dapat
kita katakan, akan terjadi proses pembelajaran manakala terdapat
tujuan yang harus dicapai. Dengan demikian, sebagai kgiatan
yang bertujuan, maka segala sesuatu yang dilakukan guru dan
siswa dalam proses pembelajaran hendaknya diarahkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan merupakan
pengikat segala aktivitas guru dan siswa. Oleh sebab itu,
merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus
dilakukan dalam merancang sebuah perencanaan program
pembelajaran.35

4.1.2 Tujuan Pembelajaran Umum


Tujuan pembelajaran umum dalam membahas,
memperdalam ilmu profesi pendidikan dan pendidikan profesi
guru, tujuannya adalah bagaimana guru dan calon pendidik
mengembangkan pengembangan keprofesian jabatan guru untuk
meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah/madrasah
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan
dapat ditingkatkan para pendidik melalui:
 Meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai standar
kompetensi yang ditetapkan dalam peraturan perundangan
yang berlaku.
 Memutakhirkan kompetensi guru untuk memenuhi kebutuhan
guru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni untuk memfasilitasi proses pembelajaran peserta didik.
 Meningkatkan komitmen guru dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional.
 Menumbuhkan rasa cinta dan bangga sebagai penyandang
profesi guru.

116
 Meningkatkan citra, harkat, dan martabat profesi guru di
masyarakat.
 Menunjang pengembangan karir guru

Dengan meningkatnya mutu pembelajaran guru menjadi


guru yang professional maka pengembangan keprofesian guru
akan berkelanjutan baik secara terstruktur, sistematik dan
memenuhi kebutuhan lembaga sekolah, guru, masyarakat dan
peserta didik sendiri yaitu :
Bagi Peserta Didik. Dengan adanya pelaksanaan PKB, maka
peserta didik memperoleh jaminan pelayanan dan pengalaman
belajar yang efektif.
Bagi Guru. Kepada guru dengan melaksanakan PKB
(pengembangan keprofesian berkelanjutan) akan dapat memenuhi
standar dan mengembangkan kompetensinya sehingga mampu
melaksanakan tugas-tugas utamanya secara efektif sesuai dengan
kebutuhan belajar peserta didik untuk menghadapi kehidupan di
masa datang.
Bagi Sekolah/Madrasah. Sekolah/Madrasah akan mampu
memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik dan
berkualitas bagi peserta didik.
Orang tua/masyarakat memperoleh jaminan bahwa anak
mereka mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan
pengalaman belajar yang efektif.
Bagi Pemerintah, dengan adanya PKB akan memberikan
jaminan kepada masyarakat tentang layanan pendidikan yang
berkualitas dan profesional.
Tujuan dari pendidikan profesi guru itu sendiri adalah
pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan
persyaratan keahlian khusus dalam menjadi guru. Pendidikan
profesi guru harus ditempuh selama 1-2 tahun setelah seorang
calon lulus dari program sarjana kependidikan maupun non

117
sarjana kependidikan. PPG (Program Pendidikan Profesi Guru)
merupakan program pengganti akta IV yang tidak berlaku muali
tahun . PPG (Program Pendidikan Profesi Guru) diharapkan
kompetensi dan profesionalisme guru benar-benar lebih terjamin
dengan menjalani masa pendidikan selama 2 semester atau 1
tahun. PPG (Program Pendidikan Profesi Guru) berlaku bagi yang
ingin menjadi guru baik sarjana dari fakultas pendidikan, maupun
non pendidikan.
Pendidikan profesionalisme guru memiliki syarat dan
ketetapan. Yang pertama ialah harus mempunyai kualifikasi
akademik sarjana atau minimal diploma empat dari prodi atau
program studi yang telah terakreditasi, kecuali untuk prodi
PGPAUD dan PGSD. Selanjutnya, mau mengajar pada satuan
pendidikan yang berada dibawah naungan kementrian pendidikan
nasional. Kemudian menjadi guru PNS untuk mengajar dalam
satuan pendidikan yang telah diselenggarakan pemerintah daerah
atau menjabat sebagai guru yang akan dipekerjakan dengan
satuan pendidikan namun yang menyelenggarakan adalah
masyarakat. Guru non PNS sebagai guru tetap dalam naungan
yayasan, memiliki NUPTK dan memiliki masa kerja minimal
lima tahun sebagai guru.
Terwujudnya tujuan pendidikan profesi guru maka akan
terwujud Tujuan Pendidikan Nasional yaitu meningkatnya mutu
pendidikan Nasional bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila
dan UUD 45. Tujuan Pendidikan Nasional yang bersumber dari
sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003, Pasal 3, yang merumuskan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa ang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potnsi peserta didik, agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

118
Tujuan institusional, adalah tujuan yang harus dicapai oleh
setiap lembaga pendidikan. Dengan kata lain tujuan ini dapat
didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap
siswa setelah mereka menempuh atau dapat menyelesaikan
program di suatu lembaga pendidikan tertentu. Tujuan
institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan
umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap
jenjang pendidikan seperti tujuan SD atau MI, SMP atau MTs.
SMA atau MA dan tujuan pendidikan tinggi tujuan institusional
berhubungan dengan visi misi suatu lembaga pendidikan. Artinya
visi dan misi lembaga pendidikan tertentu dirumuskan sesuai
dengan tujuan institusional.36

4.1.3 Tujuan Pembelajaran Khusus


Tujuan Pembelajaran khusus dalam pembelajaran
pendidikan profesi guru adalah bagaimana pendidik maupun
calon pendidik memahami, menggali secara bersama
bagaimanakah kinerja guru di lembaga sekolah. Kinerja guru
yang terindikator dalam empat (4) pilar kompetensi guru yaitu
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi
terintegrasi dalam kinerja guru. Usaha peningkatan
profesionalitas guru harus berdasarkan pada informasi tentang
guru saat ini serta standar yang akan dicapai. Untuk memperoleh
informasi ini perlu diadakan penilaian kinerja guru.
Penilaian ini sangat diperlukan untuk mengetahui kinerja
guru, yang selanjutnya digunakan untuk menyusun strategi dalam
pengembangan profesinya. Setiap guru berkewajiban melakukan
berbagai kegiatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung-
jawabnya. Lingkup kegiatan guru tersebut meliputi : (1)
mengikuti pendidikan, (2) mengelola proses pembelajaran, (3)
melakukan kegiatan pengembangan profesi dan (4) melakukan
kegiatan penunjang. Idealnya keempat kegiatan ini dapat

119
dilakukan oleh guru, namun kenyataannya belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh guru, karena banyak guru yang beranggapan
bahwa kegiatan itu bukan sebagai kegiatan yang terus menerus
diupayakan untuk meningkatkan profesinya, namun lebih pada
memenuhi persyaratan minimal. Misalnya kebanyakan guru
beranggapan bahwa kegiatan pengembangan profesi hanya
digunakan jika akan mengusulkan kenaikan pangkat, pada hal
seharusnya melekat pada tugas guru. Guru perlu mengembangkan
profesinya agar menjadi guru yang profesional. Agar dapat
mengembangkan profesinya perlu diadakan penilaian kinerja.
Guru-guru yang berkeinginan untuk meningkatkan
pengajarannya biasanya sangat berhasrat untuk memahami
bagaimana pandangan guru lain dan siswa terhadap dirinya.
Memang, dalam proses evaluasi pandangan-pandangan mereka
yang terlibat dalam keseharian kiranya tidak bisa diabaikan begitu
saja. Sistem penilaian kinerja guru hendaknya memberikan
manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai
kebutuhan di kelas (classroom needs), dan peluang untuk
mengembangkan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta
mendapatkan saran (konseling) dari kepala sekolah atau guru
lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas. Para
evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman
keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. Jika para evaluator
menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru,
maka mereka dapat memberikan penilaian secara lebih akurat.
Menilai kinerja guru di sekolah bukan sebuah hal yang
sederhana. Perlu sebuah komunikasi yang baik di dalam sekolah
sendiri untuk membuat sebuah standar penilaian yang baik.
Standar penilaian kinerja guru yang baik tidak muncul begitu
saja. Perlu diupayakan kesepakatan dari pihak yang akan menilai
(kepala sekolah) dan guru yang akan dinilai. Dengan demikian
tercapai saling pengertian bahwa proses penilaian kinerja guru,
sama sekali bukan untuk mencari-cari kesalahan tetapi semata-
mata untuk peningkatan kinerja agar sekolah dapat berjalan lebih

120
baik lagi dalam prakteknya. Serta bagaimana agar sekolah dapat
membantu guru agar lebih baik lagi dalam melakukan
pembelajaran di kelas. Indikator suatu bangsa sangat ditentukan
oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indikator sumber daya
manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya.
Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik
tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya.
Oleh sebab itu indikator tersebut sangat ditentukan oleh
kinerja guru. Bila kita amati di lapangan, bahwa sebagian guru
sudah menunjukkan kinerja maksimal di dalam menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan
tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum
menunjukkan kinerja baik, tentunya secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro. Ukuran kinerja
guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah,
profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral
dipundaknya. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa
tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan
pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran.
Menurut Diknas (2008)37 kinerja guru dalam pelaksanaan
pembelajaran meliputi pra pembelajaran (pengecekan kesiapan
kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi
pembelajaran, pemanfaatan media/sumber, evaluasi, penggunaan
bahasa), dan menutup (refleksi, rangkuman dan tindak lanjut).
Kinerja guru dapat ditunjukkan oleh: kemampuan dalam
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, menerapkan
strategi pembelajaran, evaluasi, menciptakan lingkungan budaya
belajar, pengembangan profesi dan komunikasi (Diknas, 2009)
:38 a. Perencanaan pembelajaran Sesuai dengan pedoman
penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan rencana
pembelajaran meliputi aspek: (1) perumusan tujuan pembelajaran,
(2) pemilihan materi ajar, (3) pengorganisasian materi ajar, (4)
pemilihan sumber media pembelajaran, (4) kejelasan skenario

121
pembelajaran, (5) kerincian skenario pembelajaran, (6) kesesuaian
teknik pembelajaran dengan tujuan pembelajaran, (7)
kelengkapan instrumen penilaian pembelajaran b. Strategi
pembelajaran yang meliputi: (1) kejelasan rumusan tujuan
pembelajaran, (2) kesesuaian dengan kompetensi dasar, (3)
kesesuaian materi ajar dengan tujuan pembelajaran, (4)
kesesuaian tujuan dengan karakteristik peserta didik, (5)
keruntutan dan sistematika materi ajar, (6) kesesuaian media/alat
pembelajaran dengan tujuan pembelajaran, (7) kesesuaian
media/alat pembelajaran materi pembelajaran, (8) kesesuaian
dengan karakteristik peserta didik c. Evaluasi meliputi (1)
Kesesuaian antara teknik penilaian dengan tujuan pembelajaran
(2) Kejelasan prosedur penilaian, (3) Kelengkapan instrumen
penilaian(4) Mengkomunikasikan kemajuan belajar siswa kepada
orang tua, (4) Refleksi pengajaran(5) Evaluasi untuk mengambil
keputusan dalam pembelajaran d. Lingkungan belajar meliputi:
(1) menciptakan budaya belajar, (2) mengelola kelas secara
efektif, e. Pengembangan profesional meliputi: (1) peningkatan
profesi, (2) bekerjasama dengan rekan sejawat, (3)
mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan f.
Komunikasi meliputi: (1) komunikasi secara jelas kepada siswa,
(2) komunikasi secara akurat kepada siswa, (3) komunikasi secara
jelas kepada orang tua siswa (4) komunikasi secara akurat kepada
orang tua siswa, (5) komunikasi secara jelas kepada stakeholder,
(6) komunikasi secara akurat kepada stakeholder Kinerja guru
dapat dicermati berdasarkan kompetensi kepribadian dan
kompetensi sosial ditunjukkan dalam : (1) ketaatan dalam
menjalankan ajaran agama, (2) tanggungjawab, (3) kejujuran, (4)
kedisipilnan, (5) keteladanan, (6) etos kerja, (7) inovasi dan
kreativitas, (8) kemampuan menerima kritik dan saran, (9)
kemampuan berkomunikasi, (10) kemampuan bekerja sama. 2.
Penilaian Kinerja Guru. Kinerja guru dapat dilihat dan diukur
berdasarkan kriteria kompetensi yang ahrus dimiliki oleh setiap
guru. Berkaitan dengan kinerja guru, wujud yang perilaku yang
dimaksud adalah kegiatan guru dalam pembelajaran yaitu

122
bagaimana seorang guru merencanakan pembelajaran,
melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.
Depdiknas, 2008).39
Dalam kehidupan suatu organisasi ada beberapa asumsi
tentang perilaku manusia sebagai sumberdaya manusia yang
mendasari pentingnya penilaian kinerja. Menurut Sedarmayanti
(Sedarmayanti : 2001)40 asumsi tersebut adalah setiap orang
ingin: (1) memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan
kerjanya sampai tingkat maksimal, (2) mendapat penghargaan
apabila ia dinilai melaksanakan tugas yang baik, (3) mengetahui
secara pasti tentang karier yang akan diraihnya apabila dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, (4) mendapat perlakuan
yang objektif dan penilaian atas dasar prestasi kerjanya, (5)
menerima tanggung jawab yang lebih besar, dan (6) melakukan
kegiatan yang sifatnya tidak hanya rutin. Tujuan Penilaian
Kinerja Guru. Tujuan utama penilaian kinerja guru adalah untuk
menguji kompetensi dan untuk pengembangan profesi. Jika
tujuan penilaian kinerja untuk menguji kompetensi guru maka
penilainya adalah kepala sekolah dan pengawas, untuk keperluan
pengembangan profesi penilaian dapat dilakukan oleh rekan
sejawat, siswa, atau penilaian diri (self evaluation).
Menurut Soejipto; 200441 berbagai sistem penilaian kinerja
guru digunakan, yang umumnya bertujuan: (1) untuk mengukur
kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional.
Di samping itu penilaian bertujuan: (a) Meninjau prestasi masa
lalu sebagai dasar utama dalam membuat keputusan berkaitan
dengan pemberian umpan balik kinerja kepada guru. (b) Penilaian
prestasi juga bisa sebagai upaya memotivasi guru dengan
menunjukkan pada pihak yang dinilai pemahaman akan apa yang
diharapkan dari mereka. (3) Evaluasi kinerja bisa meningkatkan
pemahaman manajerial. Program evaluasi dapat mendorong
kepala sekolah mengamati perilaku guru. Melalui pengamatan
lebih banyak dan seksama, meningkatkan pemahaman bersama
antara kepala sekolah dan guru. Pengumpulan informasi melalui

123
pengamatan juga memberikan dasar untuk menetapkan kebutuhan
sumber daya manusia dan pelatihan. Informasi dari evaluasi juga
bisa digunakan untuk melakukan tes efektivitas teknik seleksi dan
pengembangan serta pengambilan keputusan, dengan
membandingkan evaluasi dengan skor tes, nilai wawancara, dan
alat seleksi lainnya. (4) Evaluasi kinerja akan mengurangi
favoritisme dalam membuat keputusan. Favoritisme dapat
membuat ketegangan hubungan antara kepala sekolah dengan
guru dan menciptakan ketidakpuasan atas kebijakan sekolah.
Implementasi Penilaian Kinerja. Jika tujuan evaluasi untuk
meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi
sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator,
seperti: siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan
self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya.
Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada
umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah
atau pengawas. Mengevaluasi kinerja guru dapat dilakukan oleh
siswa, rekan sejawat, tenaga administrasi, kepala sekolah atau
pengawas, dan evaluasi diri a. Penilaian Kinerja Guru oleh
Kepala Sekolah atau Pengawas Salah satu tujuan utama penilaian
kinerja guru adalah untuk mengetahui kompetensi guru, untuk
mengetahui kompetensi guru ini penilaian kinerja guru dilakukan
oleh kepala sekolah. Kepala sekolah menilai kinerja guru dalam
pelaksanaan pembelajaran pembelajaran meliputi pra
pembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi),
kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran,
pemanfaatan media/sumber, penilaian proses dan hasil belajar,
penggunaan bahasa), dan menutup (refleksi, rangkuman dan
tindak lanjut) Penilaian oleh kepala sekolah ini dilakukan karena
kepala sekolah bertugas untuk melakukan evaluasi dan
mengambil keputusan yang berhubungan dengan kinerja guru.
Para ahli menyarankan kepala sekolah untuk mengembangkan
kuesioner penilaian, yang mendorong komitmen guru dan
mengurangi sikap defensif dari guru atas penilaian. Pengawas
menilai kinerja guru berdasarkan kompetensi kepribadian dan

124
kompetensi sosial dengan indikator:42 (1) ketaatan dalam
menjalankan ajaran agama, (2) tanggungjawab, (3) kejujuran, (4)
kedisiplinan, (5) keteladanan, (6) etos kerja, (7) inovasi dan
kreativitas, (8) kemampuan menerima kritik dan saran, (9)
kemampuan berkomunikasi, (10) kemampuan bekerja sama. b.
Penilaian Kinerja Guru oleh Rekan Sejawat Penilaian oleh salah
seorang rekan sejawat acapkali merupakan metode evaluasi yang
efektif. Menurut penelitian peringkat penilaian dari rekan sejawat
lebih stabil dalam masa waktu tertentu dan seringkali mempunyai
validitas prediksi yang lebih tinggi dibanding peringkat oleh
kepala sekolah atau pengawas, dan penilaian rekan sejawat lebih
terfokus pada prestasi dan keluaran. Evaluasi oleh rekan kerja
jarang digunakan, karena 1) manajemen memandang rekan
sejawat akan lebih bersifat toleran dan terjadi bias dalam
penilaian (memberikan pada temannya nilai peringkat yang lebih
tinggi). 2) kurang memiliki pemahaman tentang penilaian
sehingga sukar untuk memberikan penilaian yang adil dan akurat.
3) beberapa manajer juga percaya bahwa evaluasi rekan sejawat
merusak wewenang mereka. c. Penilaian Kinerja Guru dengan
Penilaian Diri Memberikan kesempatan guru untuk mengevaluasi
kinerja mereka sendiri bermanfaat dari sisi perhatian. Penilaian
sendiri memudahkan pengembangkan guru, karena hal ini berarti
guru memfokuskan pada perilaku dan kinerja serta
mengidentifikasikan dan mempelajari kekuatan dan kelemahan
dirinya. Oleh karena guru cenderung menerima temuan dari hasil
penilaian mereka sendiri, mereka menjadi lebih proaktif dalam
membangun kekuatan mereka dan mengurangi kelemahan.
Penilaian sendiri juga mengklarifikasikan perbedaan pendapat
antara penilaian kepala sekolah atau pengawas dengan penilaian
dari siswa. Mereka juga cenderung untuk mendorong partisipasi
guru dan mengurangi sikap mempertahankan diri dalam
wawancara umpan balik penilaian. Kelemahan penilaian ini pada
umumnya guru merasa terancam sehingga ada kecenderungan
melindungi citra diri positif. Oleh karena itu, penilaian diri

125
umumnya lebih digunakan untuk pengembangan dibanding tujuan
evaluasi. d. Penilaian Kinerja Guru oleh Siswa
Banyak sekolah yang mengimplementasikan penilaian dari
siswa terhadap guru, karena siswa merupakan sumber yang kaya
akan informasi dan mempunyai perspektif atas perilaku guru
mereka. Dalam kontak yang lebih sering dengan guru mereka,
siswa mengamati sejumlah kinerja yang berkaitan dengan
perilaku, acapkali termasuk hal yang tidak dilihat oleh kepala
sekolah. Pandangan siswa terutama bermanfaat menilai
keterampilan pengelolaan kelas dari seorang guru. Penilaian dari
siswa dapat menimbulkan problematika tersendiri. Siswa acapkali
menanyakan jaminan identitas mereka dan agar tidak diberi nama,
dan mereka kurang bersemangat mekipun umumnya positif,
menilai guru mereka. Kadangkala, siswa bisa bersekongkol dalam
kelompok untuk “mematikan” guru yang sangat tidak disukai.
Juga, ketika penilaian siswa digunakan untuk membuat keputusan
promosi. Atas alasan ini, penilaian dari siswa sampai sekarang
digunakan terutama untuk tujuan pengembangan guru.
Pengembangan Profesi Guru Menurut Soetjipto dan Raflis
Kosasi (2004)43guru adalah jabatan profesi, untuk itu seorang
guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional.
Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan
tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja,
independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat (produktif),
tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-
prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu
atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan
masyarakat dan kode etik yang regulatif.
Profesionalisme merupakan sikap yang lahir dari keyakinan
terhadap pekerjaan yang dipegang sebagai sesuatu yang bernilai
tinggi sehingga dicintai secara sadar, dan hal ini nampak dari
upaya yang terus menerus dan berkelajutan dalam melakukan
perbaikan yang tiada hentinya. Pendidik profesional berupaya
untuk mewujudkan sikap perilaku ke arah menghasilkan peserta
didik yang menghasikan profesi yang berdasarkan ilmu dan

126
teknologi. Pengembangan wawasan dapat dilakukan melalui
forum pertemuan profesi, pelatihan ataupun upaya pengembangan
dan belajar secara mandiri.
Sejalan dengan hal di atas, seorang guru harus terus
meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang
dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola
pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan
peserta didik memiliki keterampilan belajar, mencakup
keterampilan dalam memperoleh pengetahuan (learning to know),
keterampilan dalam pengembangan jati diri (learning to be),
keterampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu (learning to
do), dan keterampilan untuk dapat hidup berdampingan dengan
sesama secara harmonis (learning to live together). Kegiatan
pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka
penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan keterampilan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran
dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
pendidikan pada umumnya maupun lingkup sekolah pada
khususnya.
Menurut Diknas (2008)44 Pada bidang pengembangan
profesi tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Melakukan
kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang pendidikan.
Lingkup kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang
pendidikan, meliputi : karya ilmiah hasil penelitian, pengkajian,
survei dan atau evaluasi di bidang pendidikan, karya tulis berupa
tinjauan atau ulasan ilmiah gagasan sendiri dalam bidang
pendidikan, tulisan ilmiah populer, prasaran dalam pertemuan
ilmiah, buku pelajaran, diktat pelajaran dan karya alih bahasa atau
karya terjemahan b. Membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat
bimbingan. c. Menciptakan Karya Seni meliputi Karya Seni
Sastra, Lukis, Patung, Pertunjukan, Kriya dan sejenisnya d.
Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan, meliputi
teknologi yang bermanfaat di bidang pembelajaran, seperti alat
praktikum, dan alat bantu teknis pembelajaran. e. Mengikuti
kegiatan pengembangan kurikulum, meliputi keikutsertaan dalam

127
penyusunan standar pendidikan dan pedoman lain yang bertaraf
nasional .
Depdiknas, (2009)45 menegaskan bahwa karya
pengembangan profesi adalah hasil karya dan atau aktivitas guru
yang menunjukkan adanya upaya pengembangan profesi.
Pelaksanaan kegiatan ini ditunjukkan: a. Buku yang
dipublikasikan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi atau
nasional b. Artikel yang dimuat dalam media jurnal/majalah yang
tidak terkreditasi, terakreditasi, dan internasional c. Reviewer
buku, penyunting buku, penyunting jurnal, penulis soal,
EBTANAS/UN/UASDA d. Modul/diktat cetak lokal yang
minimal mencakup materi pembelajaran selama satu semester e.
Media/ alat pembelajaran pada bidangnya f. Laporan penelitian di
bidang pendidikan (individu/kelompok) g. Karya teknologi
(teknologi tepat guna) dan karya seni (patung, kriya, lukis, sastra,
musik, tari, dan karya seni lainnya yang relevan dengan bidang
tugasnya. Upaya untuk mengaitkan penilaian kinerja guru dengan
pengembangan profesi memang bukanlah pekerjaan yang mudah,
baik untuk kepala sekolah, evaluator dan terutama guru itu
sendiri. Walaupun demikian, ada beberapa jawaban sederhana
bahwa penilaian kinerja guru dapat digunakan dalam : (1) Bekerja
sama dengan guru-guru untuk menata secara khusus tujuan yang
dapat dicapai. (2) Menyajikan kritik membangun dan dukungan
memperbaiki kelemahan dan mengembangkan kekuatan. (3)
Menginventarisasi guru-guru yang berpengalaman untuk diminta
bantuannya dalam meningkatkan kinerja guru-guru yang kurang
berpengalaman. Apabila guru akan diserahi pekerjaan sudah jelas
standar kompetensi yang dituntutnya, maka perlu dikembangkan
cara pembuktian untuk menyatakan adanya kesesuaian antara
kompetensi guru yang seharusnya dengan yang senyatanya.
Untuk mengetahui kesesuaian antara standar dengan kinerja guru
perlu ada penilaian. Penilaian kinerja guru dalam rangka
pengembangan profesionalitas sangat penting karena dalam
organisasi setiap orang sebagai sumber daya manusia ingin
mendapatkan penghargaan dan perlakuan yang adil dari

128
pimpinan. Penilaian untuk pengembangan profesi ini sangat
penting karena adanya asumsi bahwa setiap orang : (1) ingin
memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan kerjanya
sampai tingkat yang maksimal, (2) ingin mendapat penghargaan
apabila ia dinilai melaksanakan tugas dengan baik, (3) ingin
mengetahui secara pasti tentang karir yang akan diraihnya apabila
dapat melaksanakan tugasnya, (4) ingin mendapat perlakuan yang
objektif dan penilaian atas dasar prestasi kerjanya, dan (5)
bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar

4.2 Pengembangan Materi Pembelajaran


Pengembangan materi pembelajaran pada
pinsipnya disesuaikan dengan aturan yang dikeluarkan
oleh Diknas pendidikan tahun 2008 21 yaitu prinsip-prinsip
yang dijadikan dasar dalam menentukan materi
pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan
(konsistensi), dan kecukupan (adequacy).

1. Relevansi artinya kesesuaian. Materi pembelajaran


hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi
dan pencapaian kompetensi dasar. Jika kemampuan yang
diharapkan dikuasai peserta didik berupa menghafal fakta,
maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa
fakta, bukan konsep atau prinsip ataupun jenis materi
yang lain. Misalnya : kompetensi dasar yang harus
dikuasai peserta didik adalah ”Menjelaskan hukum
permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang
mendasarinya” (Ekonomi kelas X semester 1) maka
pemilihan materi pembelajaran yang disampaikan
seharusnya ”Referensi tentang hukum permintaan dan
penawaran” (materi konsep), bukan Menggambar kurva
21
Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran, Diknas Pendidikan, Jakarta : 2008, hl 5-8

129
permintaan dan penawaran dari satu daftar transaksi
(materi prosedur).
2. Konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang
harus dikuasai peserta didik ada empat macam, maka
materi yang harus diajarkan juga harus meliputi empat
macam. Misalnya kompetensi dasar yang harus dikuasai
peserta didik adalah Operasi Aljabar bilangan bentuk akar
(Matematika Kelas X semester 1) yang meliputi
penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian,
maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan merasionalkan
pecahan bentuk akar.
3. Adequacy artinya kecukupan. Materi yang diajarkan
hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta didik
menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak
boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika
terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu
banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam
pencapaian target kurikulum (pencapaian keseluruhan SK
dan KD).

Adapun dalam pengembangan materi pembelajaran


guru harus mampu mengidentifikasi Materi Pembelajaran
dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:
1. potensi peserta didik;
2. relevansi dengan karakteristik daerah;
3. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional,
sosial, dan spritual peserta didik;

130
4. kebermanfaatan bagi peserta didik;
5. struktur keilmuan;
6. aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi
pembelajaran;
7. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan
lingkungan; dan
8. alokasi waktu.

Adapun menjadi penentuan cakupan dan Urutan Materi


Pembelajaran:22
1. Penentuan cakupan materi pembelajaran
Dalam menentukan cakupan atau ruang lingkup materi
pembelajaran harus memperhatikan apakah materinya
berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip, prosedur)
aspek afektif, ataukah aspek psikomotor, karena ketika
sudah diimplementasikan dalam proses pembelajaran
maka tiap-tiap jenis uraian materi tersebut memerlukan
strategi dan media pembelajaran yang berbeda-beda.

Selain memperhatikan jenis materi juga harus memperhatikan


prinsip-prinsip yang perlu digunakan dalam menentukan
cakupan materi pembelajaran yang menyangkut keluasan
dan kedalaman materinya. Keluasan cakupan materi
berarti menggambarkan seberapa banyak materi-materi
yang dimasukkan ke dalam suatu materi pembelajaran.
Kedalaman materi menyangkut rincian konsep-konsep

22
Ibid, hl 6-8

131
yang terkandung di dalamnya yang harus dipelajari oleh
peserta didik.

Sebagai contoh, proses fotosintesis dapat diajarkan di SD,


SMP dan SMA, juga di perguruan tinggi, namun keluasan
dan kedalaman pada setiap jenjang pendidikan tersebut
akan berbeda-beda. Semakin tinggi jenjang pendidikan
akan semakin luas cakupan aspek proses fotosintesis yang
dipelajari dan semakin detail pula setiap aspek yang
dipelajari. Di SD dan SMP aspek kimia disinggung sedikit
tanpa menunjukkan reaksi kimianya. Di SMA reaksi-
reaksi kimia mulai dipelajari dan di perguruan tinggi
reaksi kimia dari proses fotosintesis semakin diperdalam.

Kecukupan atau memadainya cakupan materi juga perlu


diperhatikan. Memadainya cakupan aspek materi dari
suatu materi pembelajaran akan sangat membantu
tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang telah
ditentukan. Misalnya, jika dalam pembelajaran
dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada
peserta didik di bidang jual beli, maka uraian materinya
mencakup:
a. penguasaan atas konsep pembelian, penjualan, laba, dan
rugi;
b. rumus menghitung laba dan rugi jika diketahui
pembelian dan penjualan;
c. penerapan/aplikasi rumus menghitung laba dan rugi.
Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan untuk
mengetahui apakah materi yang akan diajarkan terlalu

132
banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga
terjadi kesesuaian dengan kompetensi dasar yang ingin
dicapai.
Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI,
salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai peserta
didik adalah " Menulis surat dagang dan surat kuasa".
Setelah diidentifikasi, ternyata materi pembelajaran untuk
mencapai kemampuan tersebut termasuk jenis prosedur.
Jika kita analisis, secara garis besar cakupan materi yang
harus dipelajari peserta didik agar mampu membuat Surat
Dagang sekurang-kurangnya meliputi: (1) jenis surat
niaga, (2) jenis perjanjian jual beli dan surat kuasa, (3)
menulis surat perjanjian jual – beli dan surat kuasa sesuai
dengan keperluan , (4) surat perjanjian jual – beli dan
surat berdasarkan struktur kalimat dan EYD.

2. Urutan Materi Pembelajaran


Urutan penyajian berguna untuk menentukan urutan proses
pembelajaran. Tanpa urutan yang tepat, jika di antara
beberapa materi pembelajaran mempunyai hubungan
yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan
peserta didik dalam mempelajarinya. Misalnya, materi
operasi bilangan penjumlahan, pengurangan, perkalian,
dan pembagian. Peserta didik akan mengalami kesulitan
mempelajari pengurangan jika materi penjumlahan belum
dipelajari. Peserta didik akan mengalami kesulitan
melakukan pembagian jika materi perkalian belum
dipelajari.
Materi pembelajaran yang sudah ditentukan ruang lingkup
serta kedalamannya dapat diurutkan melalui dua

133
pendekatan pokok, yaitu: pendekatan prosedural dan
hierarkis.

a. Pendekatan prosedural.
Urutan materi pembelajaran secara prosedural
menggambarkan langkah-langkah secara urut sesuai
dengan langkah-langkah melaksanakan suatu tugas.
Misalnya langkah-langkah: dalam menelpon, dalam
mengoperasikan peralatan kamera video, cara
menginstalasi program computer, dan sebagainya.
Contoh : Urutan Prosedural (tatacara)
Pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK), peserta didik harus mencapai kompetensi dasar
”Melakukan setting peripheral pada operating system
(OS) komputer”. Agar peserta didik berhasil
mencapainya, harus melakukan langkah-langkah
berurutan mulai dari cara membaca gambar periferal
sampai dengan mengetes keberhasilannya. Prosedur
instalasi tersebut dapat disajikan dalam materi
pembelajaran sebagaimana dalam tabel di bawah ini :
Materi
Urutan Materi
Pembelajaran

Melakukan  Mengidentifikasi informasi tentang jenis dan fungsi tiap-


setting tiap peripheral
peripheral pada  Jenis dan fungsi tiap-tiap peripheral
 Petunjuk pengoperasian peripheral
operating
 Fungsi driver
system (OS)  Instalasi driver peripheral
komputer  Mempraktikkan setting peripheral
(Kecakapan hidup:Identifikasi variabel, menghubungkan
variabel, merumuskan, hipotesis, mengambil keputusan)

134
Tabel 1: Contoh Urutan Materi pembelajaran Secara
Prosedural

b. Pendekatan hierarkis
Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan
urutan yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau
dari atas ke bawah. Materi sebelumnya harus dipelajari
dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari materi
berikutnya.
Contoh : Urutan Hierarkis (berjenjang)
Soal cerita tentang Perhitungan Laba Rugi dalam Jual Beli
Agar peserta didik mampu menghitung laba atau rugi dalam
jual beli (penerapan rumus/dalil), peserta didik terlebih
dahulu harus mempelajari konsep/pengertian laba, rugi,
penjualan, pembelian, modal dasar (penguasaan konsep).
Setelah itu peserta didik perlu mempelajari rumus/dalil
menghitung laba dan rugi (penguasaan dalil). Selanjutnya
peserta didik menerapkan dalil atau prinsip jual beli
(penguasaan penerapan dalil). Bila disajikan dalam bentuk
tabel sebagai berikut.

Materi
Urutan Materi
pembelajaran
1. Menghitung laba 1.1. Konsep/pengertian laba, rugi, penjualan, pembelian,
atau rugi dalam modal dasar
jual beli 1.2. Rumus/dalil menghitung laba, dan rugi
1.3. Penerapkan dalil atau prinsip jual beli

Tabel 2: Contoh Urutan Materi pembelajaran secara hierarkis


3. Penentuan Sumber Belajar

135
Berbagai sumber belajar dapat digunakan untuk mendukung
materi pembelajaran tertentu. Penentuan tersebut harus
tetap mengacu pada setiap standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
 Beberapa jenis sumber belajar antara lain:
 buku
 laporan hasil penelitian
 jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah)
 majalah ilmiah
 kajian pakar bidang studi
 karya profesional
 buku kurikulum
 terbitan berkala seperti harian, mingguan, dan bulanan
 situs-situs Internet
 multimedia (TV, Video, VCD, kaset audio, dsb)
 lingkungan (alam, sosial, seni budaya, teknik, industri,
ekonomi)
 narasumber
Langkah-langkah penentuan materi pembelajaran
Materi Pembelajaran Fakta

Contoh: Jenis-jenis binatang memamah


Apakah kompetensi dasar biak, tanaman berbiji tunggal, nama-nama
berupa mengingat fakta? bulan dalam setahun. Kata kunci: Nama,
jenis. jumlah, tempat, lambang.

Materi Pembelajaran Konsep.


Apakah kompetensi
Contoh : Bujur sangkar adalah persegi
dasar berupa mengemukakan panjang yang keempat sisinya sama panjang
definisi, menjelaskan, Kata kunciDefinisi, klasifikasi, identifikasi,
mengklasifikasikan ? ciri-ciri, aksioma.

Materi Pembelajaran Prinsip.


Apakah kompetensi dasar
Pilih berupa menjelaskan hubungan Contoh :Jika permintaan naik, sedangkan
kompetens antara berbagai konsep, sebab- penawaran tetap, maka harga akan
i dasar akibat? naik.Kata kunciDalil, rumus, postulat
yang akan Hubungan, sebab-akibat, jika... maka…
diajarkan
136
Materi Pembelajaran Prosedur.
Apakah kompetensi dasar
Diagram 1. Proses Pemilihan Materi Pembelajaran

137
Proses Pemilihan Pengembangan Materi pembelajaran

138
Materi pelajaran pada hakikatnya adalah pesan-pesan yang
ingin kita sampaikan pada anak didik untuk dapat dikuasai.
Pesan adalah informasi yang akan disampaikan baik itu
berupa ide, data/fakta, konsep dan lain sebagainya, yang dapat
berupa kalimat, tulisan, gambar, peta, ataupun tanda. Pesan
bisa disampaikan secara verbal ataupun nonverbal.
Penerimaan pesan bisa dipengaruhi oleh keadaan individu
yang menerima pesan itu sendiri. Wina Sanjaya (2011)23
mengemukakan agar pesan yang ingin disampaikan bermakna
sebagai bahan pelajaran, maka ada sejumlah kriteria yang
harus diperhatikan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Novelty, artinya suatu pesan akan bermakna apabila
bersifat baru atau mutakhir,
Proximity, artinya pesan yang disampaikan harus
sesuai dengan pengalaman siswa.
Conflict, artinya pesan yang disajikan sebaiknya
dikemas sedemikian rupa sehingga menggugah emosi.
Humor, artinya pesan yang disampaikan sebaiknya
dikemas sehingga menampilkan kesan lucu. Pesan
yang dikemas dengan lucu cenderung akan lebih
menarik perhatian.
Pengembangan materi pelajaran dapat dilakukan
melalui pengembangan bahan ajar. Bahan ajar adalah segala
bentuk bahan yang digunakan untuk membantu
guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar di kelas (National center for vocational Education
Research Ltd/ National center for Competence based Learning
dalam Abdul Majid (2006) )24. Bahan ajar memungkinkan
siswa untuk mempelajari suatu kompetensi dasar secara runtut

23
ina Sanjaya. 2011. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta : Media Group, hl 12
24
Abdul Majid. 2006. Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung :
Remaja Rosdakarya, hl 25

139
dan sistematis. Ada Beberapa pertimbangan teknis yang perlu
diperhatikan dalam mengemas isi atau materi pelajaran
menjadi bahan belajar (Wina Sanjaya, 2011) diantaranya
adalah :
Kesesuaian dengan tujuan yang harus dicapai
Kesederhanaan
Unsur-unsur desain pesan
Pengorganisasian bahan
Petunjuk cara penggunaan
Pengemasan materi dan pesan pembelajaran melalui bahan
ajar dapat dilakukan dengan berbagai cara baik itu visual,
audiovisual atau cetakan. Berikut akan dijelaskan lebih rinci
tentang berbagai jenis bahan ajar :25
1. Bahan Ajar Cetak
a. Handout, yaitu bahan tertulis yang disiapkan guru untuk
memperkaya pengetahuan siswa. Handout dapat diambil
dari beberapa literatur yang relevan dengan materi yang
ajarkan/kompetensi dasar dan materi pokok yang harus
dikuasai siswa.
b.Buku, yaitu bahan tertulis yang menyajikan ilmu
pengetahuan. Buku sebagai bahan ajar adalah buku yang
beirisi suatu ilmu pengetahuan hasil analisis terhadap
kurikulum dalam bentuk tertulis.
c. Modul yaitu sebuah buku yang ditulis dangan tujuan agar
siswa dapat belajar mandiri dengan atau tanpa guru.
Modul harus menggambarkan kompetensi dasar yang
akan dicapai siswa, disajikan dengan bahasa yang baik,
menarik, dll.

25
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Konsep, landasan dan Implementasi pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hl 27-30

140
d.Lembar Kerja Siswa, yaitu lembaran-lembaran berisi
tugas yang harus dikerjakan siswa. Lembar kegiatan ini
biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk
menyelesaikan suatu tugas.
e. Brosur, yaitu bahan informasi tertulis mengenai suatu
masalah yang disusun secara bersistem/cetakan yang
hanya terdiri atas beberapa halaman atau selebaran
cetakan yang berisi keterangan singkat tapi lengkap
tentang perusahaan atau organisasi (Kamus besar Bahasa
Indonesia dalam Abdul Majid(2006)). Brosur
dimanfaatkan sebagai bahan ajar selama sajian brosusr
disusun berdasarkan kompetensi dasar yang harus
dikuasai siswa.
f. Leaflet, yaitu bahan cetak tertulis berupa lembaran yang
dilipat tapi tidak dimatikan/jahit. Leaflet sebagai bahan
ajar harus memuat materi yang dapat membawa siswa
untuk mengusai kompetensi dasar.
g.Wallchart, yaitu bahan cetak, yang berupa bagan/siklus/
grafik yang bermakna menunjukan posisi
tertentu,wallchart sebagai bahan ajar haruslah memiliki
kejelasan kompetensi dasar, dan materi yang harus
dikuasai siswa.
h.Foto/ Gambar, yaitu bahan ajar yang dirancang dengan
baik, agar setelah melihatn gambar tersebut siswa dapat
melakukan sesuatu/ menguasai kompetensi dasar yang
diharapkan.
i. Model/maket
Penggunaan model sebagai bahan ajar, memberikan
makna yang hampir sama dengan aslinya, sehingga
mempermudah peserta didik untuk mempelajarinya.
Penggunaan model/maket sebagai bahan ajar haruslah
menggunakan kompetensi dasar dalam kurikulum
sebagai acuan.

141
2. Bahan Ajar Dengar (Audio)
a. Kaset/piringan hitam/compact disk
Penggunaan kaset yang sudah dirancang sedemikian rupa
dapat digunakan sebagai bahan ajar. Penggunaan kaset
sebagai bahan ajar dapat menyimpan suara secara
berulang-ulang diperdengarkan pada peserta didik.
Penggunaan kaset sebagai bahan ajar membutuhkan
bantuan alat lain, seperti tape recorder, dan lembar skenario
guru.
b. Radio
Radio dapat digunakan sebagai salah satu bahan ajar, yang
memungkinkan peserta didik bisa belajar sesuatu. Radio
sebagai bahan ajar dapat dilakukan melalui program
pembelajaran, misalnya mendengarkan berita, dll.

3. Bahan Ajar Pandang Dengar (Audio Visual)


a. Video/film
Program video/film juga dapat digunakan sebagai bahan
ajar audiovisual. Penggunaan video/film sebagai bahan
ajar, haruslah didesain dengan lengkap, sehingga setelah
siswa menyaksikan penanyangan video/film, siswa dapat
menguasai kompetensi dasar yang diharapkan. Baik atau
tidaknya sebuah film/video tergantung pada desainnya,
analisis kurikulum, media, skenario, pengambilan gambar,
editing, dll.
b. Orang / Nara Sumber

142
Orang / nara sumber dapat berfungsi sebagai bahan ajar
karena orang tersebut memiliki keahlian/keterampilan
tertentu yang memungkinkan siswa dapat belajar.
4. Bahan Ajar Interaktif
Menurut Gidelines For Bibliographic Description of
Interactive Multimedia dalam Abdul Majid (2006)26,
multimedia interaktif adalah kombinasi dari dua arah atau
lebih media (audio, teks, grafik, gambar, animasi dan video)
yang oleh penggunanya dimanipulasi untuk mengendalikan
perintah dan atau perilaku alami dari suatu presentasi.
Penggunaan bahan ajar interaktif sebagai bahan ajar, harus
dipersiapkan sebaik mungkin, dan dirancang secara lengkap
mulai dari petunujuk penggunaan hingga penilaian. Bahan
ajar interaktif ini, biasanya dapat disajikan dalam bentuk
Compact Disc (CD), atau dikenal juga dengan istilah CD
Interaktif.

Setelah mengembangkan bahan pembelajaran,


pengembangan pembelajaran masih harus mengembangkan
dua macam pedoman, yaitu pedoman mahasiswa dan
pedoman pengajar.
1. Pedoman mahasiswa, berisi:
a. Petunjuk penggunaan semua bahan belajar yang diterima
mahasiswa
b. Daftar kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan secara
berurutan setiap unit pelajaran atau pertemuan.

26
Op.cit, Abdul Majid

143
c. Pedoman mahasiswa belajar mandiri, perlu disusun lebih
lengkap daripada pedoman mahasiswa yang digunakan
dalam pengajaran konvensional dan PBS.
2. Pedoman pengajar berisi petunjuk kegiatan yang harus
dilakukan pengajar, antara lain:
a.Dalam bentuk kegiatan pembelajaran belajar mandiri,
pedoman pengajar itu berupa pedoman fasilitator atau tutor.
Pedoman tersebut berisi :
 Petunjuk memberikan motivasi
 Petunjuk cara membimbing atau memberikan konsultansi
kepada mahasiswa dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya
 Petunjuk menggunakan bahan pembelajaran, baik cetak
maupun noncetak.
 Petunjuk memberikan bimbingan kepada mahasiswa
dalam menyelesaikan setiap latihan
 Petunjuk menyelenggarakan dan memeriksa hasil tes
 Naskah tes akhir

b. Dalam Pelajaran Konvensional, pedoman pengajar berisi:


 Strategi pembelajaran yang telah disuusn
 Program pengajaran yang dibagikan pada mahasiswa
 Petunjuk penggunaan formulir kerja/kegiatan praktek
 Petunjuk penyelenggaraan tes
 Naskah tes awal, tes formatif dan tes akhir.
c. Dalam PBS, pedoman pengajar berisi petunjuk tentang :
 Isi pelajaran yang belum termasuk dalam bahan belajar
yang dibagikan kepada mahasiswa
 Cara memberikan motivasi kepada mahasiswa

144
 Cara menyajikan dan menggunakan bahan belajar yang
telah dibagikan kepada mahasiswa
 Cara menyelenggarakan dan memeriksa hasil tes
 Naskah dan cara menyelenggarakan tes awal, tes
selama proses pembelajaran, dan tes akhir.

Materi pelajaran merupakan bagian terpenting dalam proses


pembelajaran, bahkan dalam pengajaran yang berpusat pada
materi pelajaran (subject-centered teaching), materi pelajaran
merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Materi pelajaran
dapat dibedakan menjadi: pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skill), sikap (attitude). Pengetahuan menunjuk pada informasi
yang disimpan dalampikiran (mind) siswa, dengan demikian
pengetahuan berhubungan dengan berbagai informasi yang harus
dihafal dan dikuasai oleh siswa, sehingga manakala diperlukan
siswa dapat mengungkapkan kembali. Keterampilan (skill)
menunjukkan pada tindakan-tindakan (fisik dan non fisik) yang
dilakukan seseorang dengan cara yang kompeten untuk mencapai
tujuan tertentu. Sikap menunjuk pada kecenderungan seseorang
untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang diyakini
kebenarannya oleh siswa.46

4.3 Pengembangan Media dan Sumber Materi Pembelajaran


Media berasal dari bahasa Latin medius yang secara
harafiah brarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’.47Gerlach &
Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara
garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperolh
pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini,
guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media.

145
Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar
mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis,
atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun
kembali informasi visual atau verbal.
Di samping sebagai sistem penyampai pesan atau
pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator
menurut Fleming (1987):234) adalah dua pihak dan
mendamaikannya. Dengan istilah mediator media menunjukkan
fungsi atau perannya, yaitu mengatur dalam proses belajar-siswa
dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator
dapatpulamencerminkan pengertian bahwa setiap sistem
pengajaran yang melakukan peran mediasi, mulai dari guru
sampai kepada peralatan paling canggih, dapat disebut media.
Ringkasnya, media adalah alat yang menyampaikan atau
mengantarkan pesan-pesan pengajaran.48
Media yakni perantara atau pengantar sumber pesan dengan
penerima pesan. Mediapembelajaran bisa dikatakan sebagai alat
yang bisa merangsang siswa untuksupaya terjadi proses belajar.
Sanjaya (2008) menyatakan bahwa mediapembelajaran meliputi
perangkat keras yang dapat mengantarkan pesan danperangkat
lunak yang mengandung pesan.Namun demikian, media bukan
hanyaberupa alat atau bahan saja, tapi juga hal-hal lain yang
memungkinkan siswamemperoleh pengetahuan.Media bukan
hanya berupa TV, radio, computer, tapijuga meliputi manusia
sebagai sumber belajar, atau kegiatan seperti diskusi,seminar
simulasi, dan sebagainya. Dengan demikian media pembelajaran
dapatdisimpulkan sebagai segala sesuatu yang dapat menyalurkan
pesan, dapatmerangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa
sehingga dapat mendorongterciptanya proses belajar pada diri
siswa.
Media Pembelajaran seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa pengetahuan akan semakinabstrak jika hanya
disampaikan melalui bahasa verbal. Hal tersebut
akanmemungkikan terjadinya verbalisme, yakni siswa hanya

146
mengetahui tentang katatanpa mengetahui dan mengerti makna
yang dimiliki kata tersebut. Pada kenyataannya, memberikan
pengalaman langsung pada siswa bukan sesuatu yang mudah,
karena tidak semua pengalaman dapat langsung dipelajari oleh
siswa.Misalnya jika ingin menerangkan kondisi di permukaan
bulan, maka tidak mungkin pengalaman tersebut didapat langsung
oleh siswa.Oleh karenanya di sini media pembelajaran berperan
sangat penting dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Guru dapat
menggunakan TV, film, atau gambar dalam memberikan
informasi pada siswa.
Dengan media pembelajaran hal yang bersifat abstrak bisa
menjadi lebih konkret. Secara umum media memiliki beberapa
fungsi, diantaranya:
 Dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh
para siswa. Hal tersebut bisa diatasi denganmedia
pembelajaran.Jika siswa tidak mungkin dibawa ke obyek
langsungyang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke
siswa.
 Dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak
mungkindialami secara langsung di dalam kelas oleh para
siswa tentang suatuobyek, yang disebabkan, karena: (a) obyek
terlalu besar; (b) obyek terlalukecil; (c) obyek yang bergerak
terlalu lambat; (d) obyek yang bergerakterlalu cepat; (e) obyek
yang terlalu kompleks; (f) obyek yang bunyinyaterlalu halus;
(f) obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi.
 Memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan
lingkungannya.
 Menghasilkan keseragaman pengamatan
 Menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
 Membangkitkan keinginan dan minat baru.
Secara garis besar media pembelajaran terbagi atas:
Media audio, yakni media yang hanya dapat didengar saja atau
yangmemiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara.

147
Media visual, yakni media yang hanya dapat dilihat saja dan
tidakmengandung unsur suara, seperti gambar, lukisan, foto,
dan sebagainya.
Media audiovisual, yakni media yang mengandung unsur suara
dan jugamemiliki unsur gambar yang dapat dilihat, seperti
rekaman video, film dansebagainya.
Sumber belajar adalah bahan-bahan yang dimanfaatkan dan
diperlukan dalam prosespembelajaran, yang dapat berupa buku
teks, media cetak, media elektronik, narasumber, lingkungan
sekitar, dan sebagainya yang dapat meningkatkan kadarkeaktifan
dalam proses pembelajaran.Sumber belajar adalah segala sesuatu
yang tersedia di sekitar lingkungan belajaryang berfungsi untuk
membantu optimalisasi hasil belajar. Optimalisasi hasil belajar ini
dapat dilihat tidak hanya dari hasil belajar saja, namun juga
dilihat dariproses pembelajaran yang berupa interaksi siswa
dengan berbagai sumber belajaryang dapat memberikan
rangsangan untuk belajar dan mempercepat pemahamandan
penguasaan bidang ilmu yang dipelajari.
AECT (Association for Education and Communication
Technology) menyatakanbahwa sumber belajar (learning
resources) adalah semua sumber baik berupadata, orang dan
wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam
belajar,baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga
mempermudah siswadalam mencapai tujuan belajar atau
mencapai kompetensi tertentu.
AECT membedakan enam jenis sumber belajar, yaitu:
 Pesan (message), yakni sumber belajar yang meliputi pesan
formal dannonformal. Sepertiperaturan pemerintah,
kurikulum, silabus, bahan pelajaran, dan sebagainya. Pesan
nonformal yakni seperti cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan
sebagainya.
 Orang (People), yakni orang yang menyimpan informasi.
Pada dasarnyasetiap orang bisa berperan sebagai sumber

148
belajar, seperti guru,instruktur, konselor, widyaiswara, dan
lain-lain; dan (b) orang yangmemiliki profesi selain tenaga
yang berada di lingkungan pendidikan,seperti dokter, atlet,
pengacara, arsitek, dan sebagainya.
 Bahan (Materials), yakni suatu format yang digunakan untuk
menyimpanpesan pembelajaran, seperti buku paket, alat
peraga, transparansi, film,slides, dan sebagainya.
 Alat (Device), yakni benda-benda yang berbentuk fisik yang
sering disebutdengan perangkat keras, yang berfungsi untuk
menyajikan bahanpembelajaran, seperti komputer, radio,
televisi, VCD/DVD, dansebagainya.
 Teknik (Technic), yakni cara atau prosedur yang digunakan
orang dalammemberikan pembelajaran, seperti diskusi,
seminar, simulasi, permainan, dan sejenisnya.
 Latar (Setting), yakni lingkungan yang berada di dalam
sekolah maupunyang berada di luar sekolah, seperti ruang
kelas,studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko,
museum, kantor dan sebagainya
Dalam pembelajaran konvensional, sering guru menentukan
buku teks sebagai satu-satunya sumber materi pelajaran. Bahkan,
pembelajaran yang berorientasi kepada kurikulum subjek
akademis, buku teks yang telah disusun oleh para pengembang
kurikulum merupakan sumber utama. Dengan demikian,
perubahan dan atau penyempurnaan kurikulum, pada dasarnya
adalah penyempurnaan dan perubahan buku ajar. Akibat, ketika
terjadi perubahan kurikulum, maka selalu diikuti oleh perubahan
buku pelajaran.
Heinich, dan kawan-kawan (1982) mengemukakan istilah
medium sebagai perantara yang mengantar informasi antara
sumber dan penrima. Jadi, Televisi, Film, Photo, Radio, Rekaman
Audio, Gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan
sejenisnya adalah media komunikasi. Apabila media itu mmbawa

149
pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau
mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut
media pembelajaran. Sejalan dengan batasan ini, Hamidjojo
dalam Latuheru (1993) memberi batasan media sebagai semua
bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk
menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat
sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu
sampai kepada penerima yang dituju.49
Istilah media sering dikaitkan atau dipergantikan dengan
kata teknologi, yang berasal dari kata Latin tekne (bahasa Inggris:
art) dan logos (bahasa Yunani, artinya ilmu). Menurut Webster
(1983:105), “art adalah keterampilan atau skill yang diperoleh
lewat pengalaman, studi dan observasi. Dengan demikian
teknologi tidak lebih dari suatu ilmu yang membahas tentang
keterampilan yang diperoleh lewat pengalaman, studi, dan
observasi. Bila dihubungkan dengan pndidikan dan pengajaran,
maka teknologi mempunyai pengertian sebagai: perluasan konsep
tentang media, di mana teknologi bukan sekedar benda, alat,
bahan atau perkakas, tetapi tersimpul pula sikap, perbuatan,
organisasi dan manajemen yang brhubungan dengan penerapan
ilmu. (Achsin, 1986:10).50
Buku pelajaran bukan merupakan satu-satunya sumber
bahan pelajaran, alasannya, karena:51
1. Ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat, sehingga kalau
guru fan siswa hanya mengandalkan buku teks sebagai sumber
pembeljaran, bisa terjadi materi yang dipelajarinya itu akan
cepat usang. Dengan demikian, guru dituntut untuk
menggunakan sumber lain yang dapat menyajikan informasi
terbaru, misalnya menggunakan jurnal yang menyajikan
berbagai pengetahuan mutakhir, majalah, koran dan sumber
informasi elektronik, misalnya dengan menggunakan dan
mamanfaatkan Internet dan lain sebagainya.

150
2. Kemajuan teknologi informasi, memungkinkan materi
pelajaran tidak hanya disimpan dalam buku teks saja, akan
tetapi bisa disimpan dalam berbagai bentuk teknologi yang
lebih efektif dan efisien, misalnya dalam bentuk CD, kaset,
dan lain sebagainya. Dalam bentuk-bentuk semacam ini
diyakini materi pelajaran akan lebih menarik untuk dipelajari
sebab dengan berbagai teknik animasi, maka materi pelajaran
akan lebih jelas dalam konkret. Sesuatu yang tidak mungkin
disajikan dalam buku cetak karena keterbatasannya, maka
dalam bentuk media elektronik akan dapat disajikan.
3. Tuntutan kurikulum seperti pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), menuntut siswa agar tidak hanya sekedar
menguasai informasi teoretis, akan tetapi bagaimana informasi
tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan daerah
dan lingkungan di mana siswa tinggal. Dengan demikian,
kehidupan masyarakat nyata mestinya dijadikan sebagai salah
satu bahan pelajaran.
Ketiga alasan tersebut, mestinya membuka wawasan baru
bagi guru, bahwa ternyata banyak sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membelajarkan siswa, selain dari buku teks
yang dicetak secara masal. Guru yang hanya mengandalkan buku
teks sebagai sumber materi pelajaran cenderung pengelolaan
pembelajaran hanya menyajikan materi pelajaran yang belum
tentu berguna untuk kehidupan siswa. Ataupu, seandainya materi
pelajaran itu dianggap penting, maka siswa akan sulit menangkap
pentingnya materi tersebut, selain hanya untuk dihafal. Itulah
sebabnya selain buku teks, guru seharusnya memanfaatkan
berbagai sumber belajar yang lain.
Sumber materi pelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk
proses pembelajaran dapat dikategorikan sebagai berikut:52
a. Tempat atau lingkungan
Lingkungan merupakan sumber pelajaran yang sangat kaya
sesuai dengan tuntutan kurikulum. Ada dua bentuk lingkungan

151
belajar, yakni pertama lingkungan atau tempat yang sengaja
didesain untuk belajar siswa seperti laboratorium, perpustakaan,
ruang internet dan lain sebagainya. Lingkungan semacam ini
dikenal dengan lingkungan by disign. Mengapa dikatakan by
disign? Karena tempat semacam ini dirancang untuk proses
pembelajaran. Kedua, lingkungan yang tidak didesain untuk
proses pembelajaran akan tetapi keberadaannya dapat
dimanfaatkan, misalnya halaman sekolah, taman sekolah, kantin,
kamar mandi, dan lain sebagainya. Lingkungan yang demikian
dikenal dengan lingkungan yang bersifat by utilism. Kedua bentuk
lingkungan ini dapat dimanfaatkan oleh setiap guru karena
memang selain memiliki informasi yang sangat kaya untuk
membepalajari materi pembelajaran, juga dapat secara langsung
dijadikan tempat belajar setiap siswa.
b. Orang atau narasumber
Pengetahuan itu tidak statis, akan tetapi bersifat dinamis,
yang terus berkembang sangat cepat. Oleh karena perkembangan
yang secpat itu kadang-kadang apa yang disajikan dalam buku
teks tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan
mutakhir. Misalnya, peraturan dan undang-undang baru mengenai
sesuatu, penemuan-penemuan baru dalam berbagai ilmu
pengetahuan mutakhir, seperti munculnya berbagai jenis penyakit
misalnya flu burung, sapi gila, dan lain sebagainya serta berbagai
jenis rekayasa genetik; munculnya berbagai fenomena alam serta
pengaruhnya terhadap gejala-gejala sosial dan lain sebagainya,
yang kesemuaannya itu tidak mungkin dipahami sepenuhnya oleh
guru, maka untuk mempelajari konsep-konsep baru semacam itu,
guru dapat menggunakan orang-orang yang lebih menguasai
persoalan misalnya dengan mengundang dokter, Polisi dan lain
sebagainya sebagai sumber bahan pelajaran.
c. Objek
Objek atau benda yang sebenarnya merupakan sumber
informasi yang akan membawa siswa pada pemahaman yang

152
lebih sempurna tentang sesuatu. Mempelajari bahan pelajaran dari
benda yang sebenarnya bukan hanya dapat menghindari
kesalahan persepsi tentang isi pelajaran, akan tetapi juga dapat
membuat pelajaran lebih akurat di samping motivasi belajar siswa
akan lebih baik.
d. Bahan cetak dan noncetak
Bahan cetak (printed material) adalah berbagai informasi
sebagai materi pelajaran yang disimpan dalam berbagai bentuk
tercetak, seperti buku, majalah, koran dan lain sebagainya.
Sedangkan bahan belajar non cetak aadalah informasi sebagai
materi pelajaran, yang disimpan dalam brbagai bntuk alat
komunikasi elektronik yang biasanya berfungsi sebagai media
pembelajaran misalnya dalam bentuk kaset, video, komputer, CD,
dan lain sebagainya. Terdapat tiga jenis bahan cetak dan non
cetak yang dapat dijadikan sumber pelajaran. Pertama, bahan-
bahan yang dapat dijadikan sumber belajar utama untuk setiap
individu. Pada bentuk ini bahan-bahan pelajaran disusun
sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar secara individual,
misalnya bahan cetakan seperti model atau pelajaran
berprograma. Kedua, cetak yang disusun sebagai bahan
penunjang, dan dirancang bukan sebagai bahan pelajaran
individual. Artinya, belajar melalui bahan cetakan ini masih
memerlukan guru atau instruktur secara langsung. Yang termasuk
bahan jenis ini adalah buku-buku paket, diktat, hand-out dan lain
sebagainya. Ketiga, bahan yang tidak dirancang khusus untuk
pembelajaran, tetapi dapat dimanfaatkan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan siswa dalam mempelajari sesuatu.
Bahan yang demikian biasanya berisi tentang gagasan dan ide-ide
pengarang secara bebas, atau berisi tentang hasil-hasil penelitian
mutakhir dalam suatu bidang kajian tertentu. Yang termasuk ke
dalam jenis ini adalah berbagai buku populer atau jurnal ilmiah.

Endnote

153
Suyono, Hariyanto, Opcit., hal. 16-17
2
Suyono, Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori Dan Konsep
Dasar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hal. 183
3
Gagne, Briggs J, Principles of Instructional Design, Second Edition,
(New York: Holt Rinehart and Winston, 2008), pp. 7-8.
4
Ibid., h.12.
5
Heinich, Robert, et al, Instructional Media and Technology for
Learning, (New Jersey : Prentice Hall, 1999), h. 8.
6
Gredler, Margareth E. Bell, Buku Petunjuk Belajar dan Membelajarkan,
terjemahan Munandar (Jakarta : PAU PPAI UT, 1998), h. 2.
7
Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom,
(Toronto : John Wiley & Sons, Inc., 1976), h. 29.
8
Dick Walter, Lou Carey, James O.Carey, The Sistematic Design of
Instruction, (NewJersey: Pearson, 2001), hh. 3-4.
9
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan
Profesionalisme Guru, Rajawali Pers – PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2011, hal. 1
10
Charles M. Regeluth, Instructional Design Theories and Models, An
Overview of Their Current Status, (New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associate, 1999), hh. 18 – 23.
11
Ibid., h. 22
12
Ibid., h. 23
13
Dick , Carey.,op.cit.,p.189.
14
Seels, Barbara B and Rita C. Richey, Instructional Technology : The
Definitions and
Domain of the Field, (Washington : Association for Educational
Communication and Technology, 2004), h. 34.
15
Bruce Joyce, Marsha Weil, Models of Teaching, (New York : Allyn and
Bacon & Scuter, 2009), h.6
16
Reigeluth, op.cit., h. 8
17
Ibid, h. 23
18
Yusufhadi Miarso, Survey Model pengembangan Instruksional,
“makalah” ( Jakarta, 2007), h.5.
19
Reigeluth, Charles M ,Instructional Design Theories and Models, (New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 2009), h. 22.

154
20
Brennan, James F, Sejarah dan Sistem Psikologi, terjemahan Nurmala
Sari Fajar, (Jakarta: Rajawali, 2003), hh.118-119.
21
Neil Shambaugh, G Magliaro, Instructional Design: A Systematic
Apprpach for Reflective Practice, (New York: Pearson Education Inc.,
2006), h. 34
22
Bruce Joyce, Marsha Weil, Models of Teaching, (Boston : Pearson
Education, 2009), h. 87
23
David Merril, “ First Prinsip of Instructional :Educational Technology of
Research & Development “, Utah State University (2010),
http://web.principles.doc.com( diakses 20 oktober 2012).
24
Ratna Wilis D., Teori-Teori Belajar & Pembelajaran, (Bandung :
Erlangga, 2011), hh.118-127.
25
Robert M. Gagne, et.al, Principles of Instructional Design, (New York :
Thomson Learning, 2005), p.26
26
Ely D.P, Instructional Technology : Contemporary Frameworks,
Encyclopedia of Education Technology, (USA : Pergamon, 1996), h. 19.
27
Gerlach & Ely., op.cit., hh. 145-167
28
Gerlach and Ely design model grapic taken from: http://edutechwiki
unige.ch/enImage:Gerlach-ely-design-model.gif, Survey of
Instructional Development Models
29
Sharon E., Deborah L., Russell J., Instructional Technology & Media For
Learning: Tekhnologi Pembelajaran dan Media untuk Belajar,
(Jakarta : Kencana, 2011), hh 111-116.
30
Benny A. Pribadi, Model ASSURE untuk mendesain pembelajaran sukses,
(Jakarta : Dian Rakyat, 2011), hh. 29-35
31
Walter Dick, Carey L., The Systematic Design of Instruction, (New
Jersey : Pearson, 2009)., h. 3
32
Suparman M. Atwi, Desain Instruksional, (Jakarta : Pusat Antar
Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas
Instruksional, Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, 2003), hh. 56-57.
33
Atwi Suparman, Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar
& Inovator Pendidikan, (Jakarta : Erlangga, 2012), hh. 110-116.
34
Ibid., hh.233-337
35
H. Wina Sanjaya, Perencanaan dan Drsain Sistem Pembelajaran,
Kencana, Jakarta, 2009, hal. 121
36
H. Wina Sanjaya, Op.cit., hal. 123-124

155
37
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Penilaian Kinerja Guru.
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jendral Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
38
Departemen Pendidikan Nasional. 2009 Buku 3 Pedoman Penyusunan
Portofolio. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
39
Ibid
40
Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja.
Bandung: Mandar Maju. hl 4-10
41
Soetjipto dan Raflis Kosasi. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka
Cipta hl 55-58
42
Op.cit., Diknas : 2009
43
Op.cit., Kosasi : 2004
44
Op.cit., Diknas : 2008
45
Op.cit., Diknas : 2009
46
H. Wina Sanjaya, Op.cit., hal. 141-142
47
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, hal. 3
48
Op.cit., hal. 3-4
49
Op.cit., hal. 4
50
Op.cit., hal. 5
51
H. Wina Sanjaya, Op.cit., hal. 146-147
52
H. Wina Sanjaya, Op.cit., hal. 147-149

LEMBARAN KERJA MAHASISWA

156
Nama :

Nim :

LEMBARAN KERJA MAHASISWA

157
Nama :

Nim :

BAB PROFESI
158
GURU
Edwin Wandt dan Gerald W. Brown (1977): “Evaluation
refer to the act or process to determining the value of somthing.”
Menurut devinisi ini, maka istilah evaluasi itu menunjuk kepada
atau mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu pross
untuk menentukan nilai dari sesuatu.27
Profesi guru dalam evaluasi pembelajaran tidak terlepas
bagaimana kondisi lingkungan belajar peserta
didik/mahasiswa.Kondisi lingkungan belajar baik secara internal
dan eksternal sangat berpengaruh pada proses belajar. Kondisi
itu antara lain lingkungan fisik. Lingkungan fisik yang ada dalam
proses dan di sekitar proses pembelajaran memberi pengaruh bagi
proses belajar. Kedua suasana emosional siswa.Suasana
emosional siswa akan memberi pengaruh dalam proses
pembelajaran siswa. Hal ini bisa dicermati ketika kondisi
emosional siswa sedang labil maka proses belajarpun akan
mengalami gangguan.Ketiga lingkungan sosial.Lingkungan sosial

27
Anas Sudijono¸Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1

159
yang berada di sekitar siswa juga turut mempengaruhi bagaiman
seorang siswa belajar.Kondisi-kondisi lingkungan belajar ini
menjadi evaluasi pembelajaran bagi peningkatan profesi guru
dalam meningkatkan penerapan model pembelajaran di dalam
kelas.Evaluasi belajar yang muncul dari berbagai masalah baik
masalah internal maupun eksternal dalam pembelajaran.
Masalah-masalah internal yang dialami siswa akan
berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut:

Sikap terhadap Belajar


Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang
sesuatu yang membawa diri sesuai dengan penilaian.Adanya
penilaian terhadap sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap
menerima,menolak, atau mengabaikan.Akibat penerimaan,
penolakan, atau pengabaian dapat berpengaruh pada
perkembangan kepribadian.Oleh karena itu ada baiknya siswa
mempertimbangkan masak-masak akibat sikap belajar.
Motivasi Belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong
terjadinya proses belajar.Motivasi belajar sangat berpengaruh
pada aktifitas belajar apabila motivasi tersebut melemah maka
hasil belajar akan menjadi rendah. Motivasi belajar perlu
diperkuat secara terus menerus supaya kuat,untuk
mengoptimalkan perlu didukung pula suasana belajar yang
menyenangkan.

Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan
perhatian pada pelajaran.Disini diperlukan peran guru dalam

160
menerapkan strategi-strategi belajar mengajar dan
memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat.Maka
perhatian dan prestasi belajar dapat ditingkatkan
Mengolah Bahan Belajar
Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk
menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi
bermakna bagi siswa.Kemampuan siswa mengolah bahan
belajar akan menjadi baik jika siswa berpeluang aktif dalam
belajar.Disisi guru pada tempatnya menggunakan proses,
inkuiri ataupun laboratori.
Menyimpan Perolehan Belajar
Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan
menyimpan isi pesan dan perolehan pesan.kemampuan
menyimpan pesan ini ada yang pendek dan ada yang lama,
atau bahkan seumur hidup, proses ini merupakan saat
memperkuat hasil belajar.Pebelajar menggunakan berbagai
teknik belajar agar tersimpan dalam ingatan, penghayatan dan
keterampilan jangka panjang.Sikap, konsentrasi, dan
pengolahan bahan belajar sangat mempengaruhi pada fase ini.
Ada gangguan pada salah satu fase ini baik sendiri-sendiri
maupun gabungan akan menghasilkan hasil belajar yang
kurang baik.
Menggali Hasil Belajar yang tersimpan
Menggali hasil belajar merupakan proses mengaktifkan pesan
yang telah diterima.Penggalian hasil belajar yang tersimpan
ada hubungannya dengan baik atau buruknya penerimaan,
pengolahan, dan penyimpanan pesan. Siswa akan mengalami
gangguan dalam menggali pesan dan kesan lama. Jika tidak
memperhatikan pada saat penerimaan, maka akan berpengaruh

161
tidak baik pada proses penyimpanan dan akan sulit pada
proses pengolahan.
Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Kerja
Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Kerja merupakan
suatu puncak proses belajar.Pada tahap ini siswa membuktikan
kemampuanya dalam proses-proses penerimaan, pengaktifan,
pra-pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk
pembangkitan pesan dan pengalaman.Bila proses-proses
tersebut tidak baik, maka siswa dapat berprestasi kurang atau
juga dapat gagal berprestasi jadi perlu upaya dalam
mengoptimalkan proses-proses tersebut yang sudah dijelaskan
diatas.
RasaPercaya diri Siswa
Rasa percaya diri muncul dari keinginan mewujudkan diri
bertindak dan berhasil.Pengakuan umum dari keberhasilan
dapat membuat rasa percaya diri semakin kuat.Hal yang
sebaliknya dapat terjadi bila kegagalan yang berulang sering
dialami dapat mengakibatkan rasa tidak percaya diri.Pada
tempatnya guru mendorong keberanian terus menerus,
memberikan bermacam-macam penguat, dan memberikan
pengakuan dan kepercayaan bila siswa telah berhasil,
disamping itu diperlukan sikap positif dan usaha keras pada
siswa.
Intelegensi dan Keberhasilan Belajar
Menurut Wechler (Monk & Knoer, Siti Rahayu Haditiono)
Intelegensi merupakan suatu kecakapan global atau
rangkuman kecakapan untuk bertindak secara terarah, berpikir
secara baik,dan bergaul dengan lingkungan secara efisien.
Yang menjadi masalah adalah siswa yang memiliki intelegensi
dibawah normal.Ini akan mempengaruhi perolehan hasil
belajar.Oleh karena itu pada tempatnya mereka didorong untuk

162
belajar di bidang-bidang keterampilan sebagai antisipasinya.
Penyediaan kesempatan belajar diluar sekolah merupakan
langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan warga
Indonesia.
KebiasaanBelajar
Ketidakmengertian siswa pada arti dan pentingnya belajar bagi
diri sendiri memunculkan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti
belajar tidak teratur,menyianyiakan kesempatan belajar dll.Hal
ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin pembinaan
diri.Suatu pepatah dan berbagai petunjuk tokoh teladan
misalnya, dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya
belajar.Pemberian penguat dalam keberhasilan belajar dapat
mengurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan harga
diri siswa.
Cita-Cita Siswa
Cita-cita merupakan motivasi intrinsik dan perlu
didikan.Didikan cita-cita harus dimulai sejak sekolah
dasar.Disekolah menengah didikan mengenai cita-cita sudah
semakin terarah karena akan sangat bedampak buruk bila
pencapaian cita-cita tidak benar.Didikan pemilikan dan
pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan
berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke hal yang
semakin sulit.Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan
kemampuan berprestasi, maka diharapkan siswa berani
bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.
Masalah-masalah eksternal yang dialami siswa yang
berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut :
Guru Sebagai Pembina Siswa Belajar

163
Guru adalah pengajar yang mendidik. Guru tidak hanya
mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi
juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya.Guru juga
menumbuhkan diri secara professional. Guru bekerja dan
bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat.
Prasarana Dan Sarana Pelajaran
Prasarana meliputi gedung sekolah , ruang belajar, lapangan
olahraga, ruang Ibadah dan ruang kesenian.Sedangkan sarana
pembelajaran meliputi buku pelajaran, fasilitas laboratorium
dan berbagai media pembelajaran.
Kebijakan Penilaian
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar, pelaku aktif
dalam belajar adalah siswa. Hasil belajar juga merupakan hasil
proses pembelajaran, pelaku aktif dalam pembelajaran adalah
guru.
Lingkungan Sosial Siswa Di Sekolah.
Tiap siswa berada di dalam lingkungan sosial siswa di sekolah,
ia memiliki kedudukan dan peranan yang diakui oleh
sesame.Jika seorang siswa, diterima, maka dengan mudah
menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya jika ia
ditolak, maka ia akan merasa tertekan.
Kurikulum Sekolah
Program pembelajaran disekolah berdasarkan dari suatu
kurikulum.Kurikulum yang diberlakukan di sekolah adalah
kurikulum nasional yang didasarkan pemerintah atau suatu
kurikulum yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan

164
Untuk mengatasi masalah-masalah dalam lingkungan belajar
siswa baik internal maupun eksternal, salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas dan
peranannya ialah kegiatan evaluasi.Dilihat dari
jenisnya evaluasi ada empat yaitu sumatif
,formatif,penempatan dan diagnostik.
 Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor
penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah
siswa.Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang
penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input,
proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke
dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat
menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu: (a)
faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu
sendiri, seperti: kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat,
kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya;
dan (b) faktor eksternal, seperti: lingkungan rumah, lingkungan
sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial
dan sejenisnya.
 Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang
dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan
berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara
mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah
kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini
seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus,
dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta
bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.

165
 Tes diagnostic
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui
pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang
sesuatu hal.Untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-
kesalahan yang esensial.Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak
hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni
masalah penguasaan materi pelajaran semata melainkan
melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku
siswa.Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan
belajar dan merumuskan rencana tindakan remedial.Dengan
demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu
siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan
segera apabila guru atau pembimbing peka terhadap siswa
tersebut .Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu
guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala
kesulitan belajar
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru
perlu mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga
penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
5.1 Evaluasi Tes Hasil Belajar
Evaluasi Tes Hasil Belajar merupakan hasil kompetensi
siswa dalam kemampuan atau kecakapan siswa dalam
pembelajaran.Kompetensi berarti kemampuan diri siswa baik
dalam keterampilan, nilai, sikap dan hasil belajar
siswa.Kemampuan siswa dalam pengetahuan, apresiasi diri, nilai
sikap dan keterampilan belajar yang dimiliki setiap
siswa.Kompetensi tes hasil belajar ini merupakan domain dari
ranah pembelajaran taksonomi Bloom.Menurut Bloom,28 dalam
28
H. Wina Sanjaya, Op.cit., hal. 125-133

166
bukunya yang sangat terkenal Taxonomy of Educational
Objectives yang terbit pada tahun 1965, bentuk perilaku sebagai
tujuan yang harus dirumuskan dapat digolongkan ke dalam tiga
klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
A. Domain Kognitif

EVALUASI C6
SINTESIS C5
ANALISIS
ANALISIS C4
PENERAPAN C3
C3
PEMAHAMAN C2
C2
INGATAN C1

BLOOM, 1956

Gambar 1.Kawasan Kognitif Bloom

Domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang


berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan
berpikir, seperti kemampuan mengingat dan kemampuan
memecahkan masalah. Domain kognitif menurut Bloom terdiri
dari enam tingkat yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi.
Pengetahuan adalah tingkatan tujuan kognitif yang paling
rendah. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan untuk
mengingat informasi yang sudah diplajarinya atau (recall), seperti
misalnya mengingat tokoh proklamator Indonesia, mengingat
tanggal dan tahun sumpah pemuda, mengingat bunyi teori
relativitas, dan lain sebagainya. Pengetahuan mengingat fakta

167
semacam ini sangat bermanfaat dab sangat penting untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lebih penting berikutnya.
Pemahaman lebih tinggi tingkatannya dari pengetahuan.
Pemahaman bukan hanya sekedar mengingat fakta, akan tetapi
berkenaan dengan kemampuan menjelaskan, menerangkan,
menafsirkan, atau kemampuan menangkap makna atau arti suatu
konsep. Kemampuan pemahaman ini bisa pemahaman
terjemahan-terjemahan, pemahaman menafsirkan atau pun
pemahaman ekstrapolasi. Pemahaman menerjemahkan yakni
kesanggupan untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam
sesuatu contohnya menerjemahkan kalimat, sandi, dan lain
sebagainya. Pemahaman menafsirkan sesuatu, contohnya
menafsirkan grafik; sedangkan pemahaman ekstrapolasi, yakni
kemampuan untuk melihat dibalik yang tersirat atau tersurat.
Penerapan merupakan tujuan kognitif yang lebih tinggi lagi
tingkatannya dibanding dengan pengetahuan dan pemahaman.
Tujuan ini berhubungan dngan kemampuan mengaplikasikan
suatu bahan pelajaran yang sudah dipelajari seperti teori, rumus-
rumus, dalil, hukum, konsep, ide dan lain sbagainya ke dalam
situasi baru yang kongrit. Perilaku yang berkenaan dengan
kemampuan penerapan ini, misalnya kemampuan memecahkan
suatu persoalan dengan mengunakan rumus, dalil, atau hukum
tertentu. Di sini tampak jelas, bahwa seseorang akan dapat
menguasai kemampuan menerapkan manakala didukung oleh
kemampuan mengingat dan memahami fakta atau konsep tertentu.
Analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah
suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagian atau unsur-unsur
serta hubungan antar bagian bahan itu. Analisis merupakan tujuan
pembeljaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami dan

168
dikuasai oleh siswa yang telah dapat menguasau kemampuan
memahami dan menerapkan. Analisis berhubungan dengan
kemampuan nalar. Oleh karena itu, biasanya analisis
diperuntukkan bagi pencapaian tujuan pembelajaran untuk siswa-
siswa tingkat atas.
Sentesis adalah kemampuan untuk menghimpun bagian-
bagian ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna, seperti
merumuskan thema, rencana atau melihat hubungan abstrak dari
berbagai informasi yang tersedia. Sistesis merupakan kebalikan
dari analisis. Kalau analisis mampu menguraikan menjadi bagian-
bagian, maka sintesis adalah kemampuan menyatukan unsur atau
bagian-bagian menjadi ssuatu yang utuh. Kemampuan
menganalisis dan sintesis, merupakan kemampuan dasar untuk
dapat mengembangkan atau menciptakan inovasi dan kreasi baru.
Evaluasi adalah tujuan yang paling tinggi dalam domain
kognitif. Tujuan ini berkenaan dengan kemampuan membuat
penilaian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria
tertentu. Dalam tujuan ini, terkandung pula kemampuan untuk
memberikan suatu keputusan dengan berbagai pertimbangan dan
ukuran-ukuran tertentu, misalkna memberikan keputusan bahwa
sesuatu yang diamati itu baik, buruk, indah, jelek, dan lain
sebagainya. Untuk dapat memiliki kemampuan memberikan
penilaian dibutuhkan kemampuan-kemampuan sebelumnya.
Tiga tingkatan tujuan kognitif yang pertama ,yaitu
pengetahuan,pemahaman,dan aplikasi dikatakan tujuan kognitif
tingkat rendah; sedangkan tiga tingkatan berikutnya, yaitu
analisis, sintesis, dan evaluasi dikatakan sebagai tujuan kognitif
tingkat tinggi. Dikatakan tujuan tingkat rendah, oleh karena
tujuan kognitif ini hanya sebatas kemampuan untuk mengingat,

169
mengungkapkan apa yang diingat serta menerapkan sesuai
dengan aturan-aturan tertentu yang sifatnya pasti; sedangkan
tujuan kognitif tingkat tinggi seperti menganalisis dan mensintesis
bukan saja hanya berupa kemampuan mengingat, akan tetapi di
dalamnya termasuk kemampuan berkreasi dan kmampuan
mencipta. Oleh karenanya, tujuan ini sifatnya lebih kompleks dari
hanya sekedar mengingat.
Klasifikasi tujuan seperti yang telah diuraikan di atas
sifatnya berjenjang, artinya setiap tujuan yang ada di bawahnya
merupakan prasyarat untuk tujuan berikutnya. Oleh sebab itu,
tujuan yang berhubungan dengan pengetahuan atau kemampuan
mengungkapkan merupakan tujuan yang paling rendah;
sedangkan kemampuan mengevaluasi dalam aspek kognitif
merupakan tujuan tertinggi.
B. Domain Afektif

PENGALAMAN A5
PENGORGANISASIAN A4
PENGHARGAAN NILAI-NILAI A3
PEMBERIAN RESPON A2

PENGENALAN A1
KRATHWOHL, BLOOM,DAN MASIA 1964

Gambar 2. Kawasan Afektif Bloom

Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan


apresiasi. Domain ini merupakan bidang tujuan pendidikan

170
kelanjutan dari domain kognitif. Artinya seseorang hanya akan
memiliki sikap tertentu terhadap sesuatu objek manakala telah
memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Menurut Keathwohl
dan kawan-kawan (1964), dalam bukunya Taxonomy Education
of Objectives: Affective Domain, domain afektif memiliki
tingkatan yaitu: Penerimaan, respon, menghargai.
Penerimaan adalah sikap kesadaran atau kepekaan
seseorang terhadap gejala, kondisi, keadaan atau suatu masalah.
Sesorang memiliki prhatian yang positif terhadp gejala-gejala
tertentu manakala mereka memiliki kesadaran tentang gejala,
kondisi, atau objek yang ada, kemudian mereka juga
menunjukkan kerelaan untuk menerima, bersedia untuk
memerhatikan gejala, atau kondisi yang diamatinya itu yang pada
akhirnya mereka memiliki kmauan untuk mengarahkan segala
perhatiannya terhadap objek itu.
Merespon atau menanggapi ditunjukkan oleh kemauan
untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan tertntu seperti kemauan
untuk menyelsaikan tugas tepat waktu, kemauan untuk mengikuti
diskusi, kemauan untuk membantu orang lain, dan lain
sebagainya. Responding biasanya diawali dengan diam-diam
kemudian dilakukan dngan sungguh-sungguh dan kesadaran
setelah itu baru resp[on dilakukan dengan penuh kegembiraan dan
kepuasan.
Menghargai, tujuan ini berkenaan dengan kemauan untuk
memberi penilaian atau kepercayaan kepada gejala atau suatu
objek tertentu. Menghargai terdiri dari penerimaan suatu nilai
dengan kenyakinan tertentu, seperti menrima akan adanya
kebebasan atau persamaan hak antara laki-laki dan perempuan;
mengutamakan suatu nilai seperti memiliki kenyakinan akan

171
kebnaran suatu ajaran tertntu; serta komitmen akan kebenaran
yang diyakininya dengan aktifitas.
Mengorganisasi/mengatur diri, tujuan yang berhubungan
dengan pengembangan nilai ke dalam sistem organisasi tertentu,
termasuk hubungan antar nilai dan tingkat prioritas nilai-nilai itu.
Tujuan ini terdiri dari mengkonseptualisasi nilai, yaitu
memahamiunsur-unsur abstrak dari suatu nilai yang telah dimiliki
dengan nilai-nilai yang datang kemudian; serta mengorganisasi
suatu sistm nilai, yaitu mengembangkan suatu sistem nilai yang
saling berhubungan yang konsisten dan bulat termasuk nilai-nilai
yang lepas-lepas.
Karakterisasi nilai atau pola hidup, tujuan yang brkenaan
dengan mengadakan sintesis dan internalisasi sistem nilai dengan
pengkajian secara mendalam, sehingga nilai-nilai yang
dibangunnya itu dijadikan pandangan (falsafah) hidup serta
dijadikan pedoman dalam bertindak dan berperilaku.
C. Domain Psikomotorik

NATURALISASI P5
PERANGKAIAN P4
KETEPATAN P3
PENGGUNAAN P2
PENIRUAN P1
DAVE, 1967

Gambar 3. Kawasan Psikomotorik Dave 1967

172
Domain psikomotorik meliputi semua tingkah laku yang
menggunakan syarat dan otot badan. Aspk ini sering berhubungan
dengan bidang studi yang lebih banyak menekankan kepada
gerekan-gerekan atau keterampilan, misalnya seni lukis, musik,
pndidikan jasmani dan olah raga, atau mungkin pendidikan agama
yangberkaitan dengan bahasan tentang gerakan-gerakan tertentu,
termasuk juga pelajaran bahasa. Domain psikomotorik adalah
tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan atau
skill seseorang. Ada lima tingkatan yang termasuk ke dalam
domain ini: keterampilan meniru, menggunakan, ketepatan,
merangkaikan dan keterampilan naturalisasi.
Dengan bahasa lain ketiga domain itu (kognitif, afektif, dan
psikomotorik) dapat digambarkan dalam “3H”, yaitu: “Head”
(Kepala) atau pengembangan bidang intelektual (kognitif),”Heart”
(hati), yaitu pengembangan sikap (afektif) dan “Hand” (tangan)
atau pengembangan keterampilan (psikomotorik).
Ketiga kawasan pembelajaran (3 H) ini terintegrasi dalam
satu pembelajaran yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Ketiga domain ini juga dalam hasil evaluasi pembelajaran juga
saling melengkapi satu sama lain. Sehingga setiap aspek dalam
domain ini mampu merubah cara belajar siswa dalam
meningkatkan evaluasi belajarnya ke arah yang lebih baik dan
kondusif. Sebagaimana gambar 4 di bawah ini:

173
INTEGRASI DALAM TUJUAN
PEMBELAJARAN/PELATIHAN

Setiap aspek bukan merupakan hal yang


saling terpisah, melainkan saling melengkapi

AFEKTIF
KOGNITIF

PSIKOMOTOR

Gambar 4. Integrasi 3 H dalam pembelajaran

Evaluasi hasil belajar ini dinyatakan berhasil dalam kawasan


kognitif, afektif dan psikomotorik melalui Penilaian Acuan
Patokan/Criterion Referenced Test (CRT) dan Penilaian Acuan
Normatif/Norm Referenced Test (NRT).

Perbedaan Penilaian Acuan Patokan dan Penilaian Acuan


Normatif
AcuanPatokan Acuan Normatif

1 Menentukan pencapaian Menentukan pencapaian


terhadap standar yang terhadap kemampuan peserta
ditetapkan lain
2 Tidak menekankan pada Harus membedakan
perbedaan kemampuan kemampuan antar peserta
3 Menekankan pada Mengukur kompetensi
penguasaan kompetensi umum peserta
tertentu
4 Soal mewakili kompetensi Soal mengukur kompetensi
tertentu umum

174
5 Memiliki satu standar Menggunakan rentangan
penguasaan, berhasil atau tingkat penguasaan
gagal seseorang terhadap
kelompoknya
6 Memberikan info tentang Memberikan info secara
materi yang belum umum tentang penguasaan
dikuasai kelompok
Tabel 1. Perbedaan antara PAP dan PAN

Dalam penilaian evaluasi hasil belajar digunakan


berdasarkan penilaian acuan patokan dan penilaian acuan
normatif yang kedua penilaian ini juga menggunakan dengan Tes
Evaluasi Pembelajaran.Tes adalah suatu tugas atau serangkaian
tugas yang diberikan kepada individu atau sekelompok individu,
dengan maksud untuk membandingkan kecakapan mereka, satu
dengan yang lain.
Dalam dunia evaluasi pendidikan, yang dimaksud dengan
tes adalah cara (yang dapat dipergunakan) atau prosedur (yang
perlu ditempuh) dalam rangka pengukuran dan penilaian di
bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau
serangkaian tugas (baik berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus
dijawab), atau perintah-perintah (yang harus dikerjakan) oleh
tester, sehingga (atas dasar data yang diperoleh dari hasil
pengukuran tersebut) dapat dihasilkan nilai yang melambangkan
tingkah laku atau prestasi terter; nilai mana dapat dibandingkan
dengan nilai-nilai yang dicapai oleh tester lainnya, atau
dibandingkan dengan nilai standar tertentu.
 Fungsi Tes
Secara umum, ada dua macam fungsi yang dimiliki oleh tes,
yaitu:

175
a. Sebagai alat pengukur terhadap pesrta didik. Dalam
hubungan ini tes berfungsi mengukur tingkat perkembangan
atau kemajuan yang telah dicapai oleh pserta didik setelah
merka menmpuh proses belajar mengajar dalam jangka waktu
tertentu.
b. Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran,
sebab melalui tes tersebut akan dapat diketahui sudah
seberapa jauh program pngajaran yang telah ditentukan, telah
dapat dicapai.

 Penggolongan Tes
Sebagai alat pengukur, tes dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis atau golongan, tergantung dari segi mana atau
dengan alasan apa penggolongan tes itu dilakukan.Penggolongan
Tes Berdasarkan Fungsinya Sebagai Alat Pengukur
Perkembangan/Kemajuan Belajar Peserta Didik.Ditinjau dari segi
fungsi yang dimiliki oleh tes sebagai alat pengukur
perkembangan belajar pserta didik, tes dapat dibedakan menjadi 6
(enam) golongan, yaitu: 1) Tes Seleksi, 2) Tes Awal, 3) Tes
Akhir, 4) Tes Diagnostik, 5) Tes Formatif dan 6) Tes Sumatif.
1). Tes Seleksi
Tes seleksi sering dikenal dengan istilah “ujian saringan”
atau “ujian masuk”. Tes ini dilaksanakan dalam rangka
penerimaan calon siswa baru, di mana hasil tes digunakan untuk
memilih calon peserta didik yang tergolong paling baik dari
sekian banyak calon yang mengikuti tes.Materi tes pada tes
seleksi ini merupakan materi prasyarat untuk mengikuti program

176
pendidikan yang akan diikuti oleh calon. Sesuai dengan sifatnya,
yaitu menyeleksi atau melakukan penyaringan, maka matri tes
seleksi terdiri atas butir-butir soal yang cukup sulit, sehingga
hanya calon-calon yang tergolong memiliki kemampuan tinggi
sajalah yang dimungkinkan dapat menjawab butir-butir soal tes
dengan betul. Tes seleksi dapat dilaksanakan secara lisan, secara
tertulis, dengan tes perbuatan, dan dapat pula dilaksanakan
dengan mengkombinasikan ketiga tes tersebut secara serempak.
Sebagai tindak lanjut dari hasil tes seleksi, maka para calon
yang dipandang memenuhi batas persyaratan minimal yang telah
ditentukan dinyatakan sbagai peserta tes yang lulus dan dapat
diterima sebagai siswa baru, sedangkan mereka yang dipandang
kurang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, dinyatakan
tidak lulus dan karnanya tidak dapat diterima sbagai siswa baru.
2). Tes Awal
Tes awal sering dikenal dengan istilah pre-test. Tes jenis ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh manakah
materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat
dikuasai oleh para peserta didik. Jadi tes awal adalah tes yang
dilaksanakan sebelum bahan pelajaran diberikan kepada peserta
didik. Karena itu maka butir-butir soalnya dibuat yang mudah-
mudah.
Isi atau materi tes awal pada umumnya ditekankan pada
bahan-bahan penting yang seharusnya sudah diketahui atau
dikuasai oleh peserta didik sebelum pelajaran diberikan kepada
mereka. Sbagai contoh, sebelum mereka diberi pelajaran
pendidikan agama Islam, terlebih dahulu dites pengetahuan
tentang rukun Islam, rukun Iman, nama-nama rasul Allah, nama-
nama kitab suci yang dibawa oleh masing-masing rasul Allah,

177
nama-nama malaikat berikut tugas mereka masing-masing, dan
sebagainya. Contoh lainnya, sebelum siswa diberi pelajaran mate-
matika, terlebih dahulu dites pengetahuannya dalam hal perkalian,
pembagian, pengkuadratan, mencari akar dan sebagainya. Tes
awal dapat dilaksanakan baik secara tertulis atau secara lisan.
Setelah tes awal itu berakhir maka sebagai tindak lanjutnya
adalah: (a) jika dalam tes awal itu semua materi yang ditanyakan
dalam tes sudah dikuasai dengan baik oleh peserta didik, maka
matri yang telah ditanyakan dalam tes awal itu tidak akan
diajarkan lagi, (b) jika materi yang dapat dipahami oleh peserta
didik baru sebagian saja, maka yang diajarkan adalah materi
pelajaran yang belum cukup dipahami oleh para peserta didik
tersebut.
3). Tes Akhir
Tes akhir sering dikenal dengan istilah post test. Tes Akhir
dilaksanakan dngan tujuan untuk mengetahui apakah semua
materi pelajaran yang tergolong penting sudah dapat dikuasai
dengan sebaik-baiknya oleh para peserta didik.
Isi atau materi tes akhir ini adalah bahan-bahan pelajaran
yang tergolong penting, yang telah diajarkan kepada para peserta
didik, dan biasanya naskah tes akhir ini dibuat sama dengan
naskah tes awal. Dengan cara demikian maka akan dapat
diketahui apakah hasil tes akhir lebih baik sama, ataukah lebih
jelek dari pada hasil tes awal. Jika hasil tes akhir itu lebih baik
dari pada tes awal, maka dapat diartikan bahwa program
pengajaran telah berjalan dan berhasil dengan sebaik-baiknya.
4). Tes Diagnostik

178
Tes diagnostik (diagnostic test) adalah tes yang
dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis ksukaran yang
dihadapi oleh para peserta didik dalam suatu mata pelajaran
tertentu. Dengan diketahuinya jnis-jnis kesukaran yang dihadapi
oleh peserta didik itu maka lebih lanjut akan dapat dicarikan
upaya berupa pengobatan (terapi) yang tepat. Tes diagnostik juga
bertujuan ingin menemukan jawab atas pertanyaan “apakah
peserta didik sudah dapat menguasai pengetahuan yang
merupakan dasar atau landasan untuk dapat menerima
pengetahuan selanjutnya?”.
Materi yang ditanyakan dalam tes diagnostik pada umumny
ditekankan pada bahan-bahan tertentu yang biasanya atau
menurut pengalaman sulit untuk dipahami siswa. Tes jenis ini
dapat dilaksanakan dengan secara lisan, tertulis, perbuatan atau
kombinasi dari ketiganya.
Sesuai dengan nama tes itu sendiri (diagnose =
pemeriksaan), maka jika hasil “pemeriksaan” itu menunjukkan
bahwa tingkat penguasaan peserta didik yang sedang diperiksa itu
trmasuk rendah, harus diberi bimbingan secara khusus agar
mereka dapat memperbaiki tingkat penguasaannya terhadap mata
pelajaran tertentu.
4). Tes Formatif
Tes formatif (Formative test) adalah tes hasil belajar yang
bertujuan untuk mengetahui, sudah sejauh manakah peserta didik
“telah terbentuk” (sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah
ditentukan) setlah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam
jangka waktu tertentu. Perlu diketahui bahwa istilah formatif itu
berasal dari kata “form” yang berarti “bentuk”.Tes formatif ini
biasa dilaksanakan di tengah-tengah perjalanan program

179
penmgajaran yaitu dilaksanakan pada setiap kali satuan pelajaran
atau sub pokok bahasan berakhir atau dapat diselesaikan. Di
sekolah-sekolah tes formatif ini biasa dikenal dengan istilah
“Ulangan Harian.”
Materi dari tes formatif ini pada umumnya ditekankan pada
bahan-bahan pelajaran yang telah diajarkan. Butir-butir soalnya
terdiri atas butir-butir soal, baik yang termasuk kategori muda
pun termasuk kategori sukar.
Tindak lanjut yang perlu dilakukan setelah diketahuinya
hasil tes formatif adalah:
a) Jika materi yang diteskan itu telkah dikuasai dngan baik, maka
pembelajaran dilanjutkan dengan pokok bahasan yang baru.
b) Jika ada bagian-bagian yang belum dikuasai, maka sebelum
dilanjutkan dengan pokok bahasan baru, terlebih dahulu
diulangi atau dijelaskan lagi bagian-bagian yang belum
dikuasai oleh peserta didik.

6). Tes Sumatif


Tes sumatif (summative test) adalah tes hasil belajar yang
dilaksanakan setelah sekumpulan satuan program pengajaran
selesai diberikan. Di sekolah, tes ini dikenal dengan istilah
“Ulangan Umum” atau “EBTA” (Evaluasi Belajar Tahap Akhir),
di mana hasilnya digunakan untuk mengisi nilai raport atau
mengisi ijazah (STTB). Tes sumatif ini pada umumnya disusun
atas dasar materi pelajaran yang telah diberikan selama satu catur
wulan atau satu semster. Dengan demikian materi tes sumatif itu
jauh lebih banyak ketimbang materi tes formatif. Tes sumatif
dilaksanakan secara tertulis agar semua siswa mmperoleh soal
yang sama. Butir-butir yang dikemukakan dalam tes sumtif ini

180
pada umumnya juga lebih sulit atau lebih berat dari pada butir-
butir soal tes formatif. Yang menjadi tujuan utama tes sumatif
adalah untuk menentukan nilai yang melambangkan keberhasilan
peserta didik setelah mereka menempuh proses pembelajaran
dalam jangka waktu tertentu, sehingga dapat ditentukan:
a) Kedudukan dari masing-masing peserta didik di tengah-tengah
kelompoknya.
b) Dapat atau tidaknya peserta didik untuk mengikuti program
pengajaran berikutnya (yang lebih tinggi, dan;
c) Kemajuan peserta didik, untuk diinformasikan ke dalam pihak
orangtua, petugas bimbingan dan konseling, lembaga-lembaga
pendidikan lainnya, atau pasaran kerja, yang tertuang dalam
bentuk raport atau surat tanda tamat belajar.

 Penggolongan tes berdasarkan aspek psikis yang ingin


diungkap
Ditilik dari aspek kejiwaan yang ingin diungkap tes setidak-
tidaknya dapat dibedakan menjadi lima golongan, yaitu:
1) Tes intelegensi (intellegency test), yaitu tes yang dilaksanakan
dengan tujuan untuk mengungkap atau mengetahui tingkat
kecerdasan seseorang.
2) Tes kemampuan (aptitude test), yaitu test yang dilaksanakan
dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan dasar atau
bakat khusus yang dimiliki testee.
3) Tes sikap (attitude test), yakni salah satu jenis tes yang
dipergunakan untuk mengungkap predisposisi atau
kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu respon
tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-
individu maupun objek-objek tertentu.

181
4) Tes kepribadian (personality test), yakni tes yang dilaksanakan
dengan tujuan mengungkap ciri-ciri khas dari seseorang yang
banyak sedikitnya bersifat lahiriah, seperti gaya bicara, cara
berpakaian, nada suara, hobi, atau kesenangan, dan lain-lain.
5) Tes hasil belajar, yang juga sering dikenal dengan istilah tes
pencapaian (achievement test), yakni tes yang biasa digunakan
untuk mengungkap tingkat pencapaian atau prestasi belajar.
Tes hasil belajar atau tes prestasi belajar dapat didefinisikan
sebagai cara (yang dapat dipergunakan atau prosedur (yang
dapat ditempuh) dalam rangka pengukuran dan pnilaian hasil
belajar , yang berbentuk tugas dan serangkaian tugas (baik
berupa pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal) yang harus
dijawab, atau perintah-perintah yang harus dikerjakan oleh
testee, sehingga (berdasar atas data yang diperoleh dari
kegiatan pengukuran itu) dapat dihasilkan nilai yang
melambangkan tingkah laku atau prestasi belajar testee; nilai
mana dapat dibandingkan dengan nilai-nilai standar tertentu,
atau dapat pula dibandingkan dengan nilai-nilai yang berhasil
dicapai oleh testee lainnya.”

 Penggolongan Lain-lain
Ditilik dari segi banyaknya orang yang mengikuti tes, tes
dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
1) Tes individual (individual test), yakni tes di mana testee hanya
berhadapan dengan satu orang tester saja, dan;
2) Tes kelompok (group test), yakni tes di mana tester
berhadapan dngan lebih dari satu orang testee.

182
Ditilik dari segi waktu yang disediakan bagi testee untuk
menyelsaikan tes, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu:
1) Power test, yakni di mana waktu yang disediakan buat testee
untuk menyelesaikan tes tersebut tidak dibatasi, dan;
2) Speed test, yaitu ts di mana waktu yang disediakan buat testee
untuk menyelesaikan tes tersebut dibatasi.

Ditilik dari segi bentuk responnya, tes dapat dibedakan


menjadi dua golongan, yaitu:
1) Verbal test, yakni suatu tes yang menghendaki respon
(jawaban) yang tertuang dalam bentuk ungkapan kata-kata
atau kalimat, baik secara lisan maupun secara tertulis, dan;
2) Nonverbal test, yakni tes yang menghendaki respon
(jawaban) dari testee bukan berupa ungkapan kata-kata atau
kalimat, melainkan berupa tindakan atau tingkah laku; jadi
respon yang dikehendaki muncul dari testee adalah berupa
perbuatan atau gerakan-gerakan tertentu.
Ditinjau dari segi cara mengajukan pertanyaan dan cara
memberikan jawabannya, tes dapat dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu:
1) Tes tertulis (pencil and paper test), yakni jenis tes di mana
tester dalam mengajukan butir-butir pertanyaan atau soalnya
dilakukan secata tertulis dan testee memberikan jawabannya
juga secara tertulis.
2) Tes lisan (nonpencil and paper test), yakni tes di mana tester
di dalam mengajukan pertanyaan-pertayaan atau soalnya
dilakukan secara lisan, dan testee memberikan jawaban secara
lisan penuh.

183
TES

URAIAN OBJEKTIF

Terbuka Terbatas Benar-Salah Pilihan Ganda Menjodohkan

Biasa Hubungan Analisis Komplek Membaca


Antar Hal Kasus  Diagram
 Grafik
 Gambar

Tabel 2. Diagram Tes

NO. OBJEKTIF URAIAN


1. Keterwakilan materi Membatasi materi yang
tinggi diukur
2. Lebih banyak soal, Lebih sedikit soal,
namun lebih cepat namun lebih lama waktu
waktu untuk menjawab untuk menjawab
Siswa
3. Siswa memilih jawaban
dari pendapat yang mengorganisasikan dan
menuangkan pikirannya
diberikan pe nulis
dalam kalimat sendiri
4. Sukar membuat, butuh Lebih mudah membuat,
waktu lama, namun namun sulit menskor
mudah menskor (subjektif)
(objektif)
5. Ada kecendrungan Ada kecendrungan
untuk menerka. untuk mendongeng

Tabel 3. Perbandingan Tes Objektif dan Uraian

184
5.2 Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan
baik apabila dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada
tiga prinsip dasar berikut ini: (1) Prinsip keseluruhan, (2) Prinsip
kesinambungan, dan (3) Prinsip Objektivitas.29
1. Prinsip Keseluruhan
Prinsip keseluruhan atau prinsip menyeluruh juga dikenal
dengan istilah prinsip komprehensif (comprehensive). Dengan
prinsip komprehensif dimaksudkan di sini bahwa evaluasi hasil
belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila evaluasi
tersebut dilaksanakan secara bulat, utuh atau menyeluruh.
Harus senantiasa diingat bahwa evaluasi hasil belajar itu
tidak boleh dilakukan secara terpisah-pisah atau sepotong-potong,
melainkan harus dilaksanakan scara utuh dan menyeluruh.
Dengan kata lain, evaluasi hasil belajar harus dapat mencakup
berbagai aspek yang dapat menggambarkan perkembangan atau
perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri peserta anak
didiksebagai makhluk hidup dan bukan benda mati. Dalam
hubungan ini, evaluasi hasil belajar di sampingdapat mengungkap
aspek proses berpikir (cognitive domain) juga dapat mengungkap
aspek kejiwaan lainnya, yaitu aspek nilai atau sikap (affective
domain) dan aspek keterampilan (psychomotor domain) yang
melekat pada diri masing-masing individu peserta anak didik. Jika
dikaitkan dengan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
maka Evaluasi hasil belajar dalam mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam itu hendaknya bukan hanyamengungkap
pemahaman peserta didik terhadap ajaran-ajaran agama Islam,
melainkan juga harus dapat mengungkap sudah sejauh mana

29
Anas Sudijono¸Op.cit., hal. 31-33

185
peserta didik dapat menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran
Islam tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dengan melakukan evaluasi hasil belajar secara bulat, utuh
menyeluruh akan diperolh bahan-bahan keterangan dan informasi
yang lengkap mengenai keadaan dan perkembangan subjek didik
yang sedang dijadikan sasaran evaluasi.

2. Prinsip Kesinambungan
Prinsip kesinambungan juga dikenal dengan istilah prinsip
kontinuitas (continuity). Dengan prinsip kesinambungan
dimaksudkan di sini bahwa evaluasi hasil belajar yang baik
adalah evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan secara teratur dan
sambung menyambung dari waktu ke waktu.
Dengan evaluasi hasil belajar yang dilaksanaakan secara
teratur, terencana dan terjadwal itu maka dimungkinkan bagi
evaluator untuk memperoleh informasi yang dapat memberikan
gambaran mengenai kemajuan atau perkembangan peserta didik,
sjak dari awal mula mngikuti program pendidikan sampai pada
saat-saat mereka mngakhiri program pendidikan yang mereka
tempuh itu.
Evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan secara
berkesinambungan itu juga dimaksudkan agar pihak evaluator
(guru, dosen, dll) dapat memperoleh kepastian dan kemantapan
dalam menentukan langkah-langkah atau merumuskan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang perlu diambil untuk masa-
masa selanjutnya, agar tujuan pengajaran sebagaimana telah
dirumuskan pada Tujuan Intruksional Khusus (TIK) dapat dicapai
dengan sebaik-baiknya.

3. Prinsip Objektivitas

186
Prinsip objektivitas (objectivity) mengandung makna, bahwa
evaluasi hasil belajar dapat dinyatakan sebagai evaluasi yang baik
apabila dapat terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subjektif.
Sehubungan dengan itu, dalam pelaksanaan evaluasi hasil
belajar, seorang evaluator harus senantiasa berpikir dan bertindak
wajar, menurut keadaan yang senyatanya, tidak dicampuri oleh
kepentingan-kepentingan yang brsifat subjektif. Prinsip ketiga ini
sangat penting, sebab apabila dalam melakukan evaluasi unsur-
unsur subjektif menyelinap masuk ke dalamnya, akan dapat
menodai kemurnian pekerjaan evaluasi itu sendiri.
Evaluasi pembelajaran adalah adalah keseluruhan kegiatan
baik berupa pengukuran maupun penilaian (pengukuran data dan
informasi), pengolahan, penafsiran dan pertimbangan untuk
membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai
oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Evaluasi pembelajaran juga diartikan sebagai evaluasi
terhadap proses belajar mengajar. Secara sistematik, evaluasi
pembelajaran, yang mencakup komponen input, yakni perilaku
awal siswa, komponen input instrumental yakni kemampuan
profesional guru/ tenaga kependidikan, komponen kurikulum
(program studi, metode, media), komponen administratif (alat ,
waktu dan dana), komponen proses ialah perosedur pelaksanaan
pembelajaran, komponen output ialah hasil pembelajaran yang
menandai ketercapaian tujuan pembelajaran, dalam hal ini
perhatian ditujukan hanya pada evaluasi terhadap komponen
proses dalam kaitannyad dengan komponen input istrumental.

 Evaluasi Proses Pengajaran

187
Evaluasi terhadap proses pengajaran dilakukan oleh guru
sebagai bagian integral dari pengajaran itu sendiri. Artinya
evaluasi harus tidak terpisahkan dalam penyusunan dan
palaksanaan pembelajaran. Evaluasi proses bertujuan untuk
menilai kefektifan dan efisiensi kegiatan pengajaran sebagai
bahan untuk perbaikan dan penyempurnaan program dan
pelaksanaannya. Objek dan sasaran evaluasi proses adalah
komponen-komponen sistem pengajaran itu sendiri, baik yang
berkenaan dengan masukan proses maupun keluaran, dengan
semua dimensinya.
Komponen masukan dapat dibedakan menjadi dua kategori,
yakni masukan mentah (raw input), yaitu para siswa, dan
masukan alat (instrumental input), yakni unsur manusia dan non
manusia yang mempengaruhi terjadinya proses. Komponen
proses adalah interaksi semua komponen pengajaran seperti
bahan pengajaran, metode dan alat, sumber belajar, sistem
penilaian, dan lain-lain.
Komponen keluaran adalah hasil belajar yang dicapai anak
didik setelah menerima proses pengajaran. Penilaian keluaran
lebih banyak dibahas dalam penilaian hasil.Penilaian terhadap
masukan mentah, yakni siswa sebagai subjek dan objek belajar.

 Evaluasi Hasil Pengajaran


Pada umumnya evaluasi hasil pengajaran, baik dalam bentuk
formatif maupun sumatif, telah dilaksanakan oleh guru.Melalui
pertanyaan secara lisan atau tulisan pada akhir pengajaran guru
menilai keberhasilan pengajaran (tes formatif).Demikian juga tes
sumatif yang dilakukan pada akhir program seperti akhir kuartal
atau akhir semester, penilaian diberikan kepada para siswa untuk
menentukan kemajuan belajarnya.Tes tertulis, baik jenis tes esay
maupun tes objektif, dilakukan oleh guru dalam penilaian sumatif

188
tersebut.Penilaian hasil belajar bertujuan melihat kemajuan
belajar siswa dalam hal penguasaan materi pengajaran yang telah
dipelajarinya sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Alat dari hasil Evaluasi pembelajaran adalah Validitasi yaitu
mengukur kemampuan tes siswa yang seharusnya diukur dan
Validitasi Isi yaitu mengukur kemampuan tes keterwakilan siswa
yang diberikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Alat
evaluasi tes hasil pembelajaran berdasarkan Reliabilitas tes yaitu
konsistensi dari dua atau lebih set alat evaluasi yang digunakan
untuk mengukur hal yang sama. Dalam memilih metode penilaian
dalam evaluasi hasil pembelajaran disesuaikan dengan kawasan
kompetensi yang akan diukur, sebagaimana tabel di bawah ini :

Tentukan kawasan kompetensi yang akan diukur

PENGETAHUAN SIKAP KETRAMPILAN

TES LISAN WAWANCARA NON TES


TES TERTULIS OBSERVASI

Bentuknya: Mediumnya: Mediumnya:


 Objektif  Role Play  Simulasi
 Uraian  Simulasi  Demontrasi
 Dll.  Dll.

Tabel 4. Metode Penilaian dalam Evaluasi Pembelajaran

PRINSIP PENULISAN SOAL

189
LANGKAH-LANGKAH
PENYUSUNAN TES
1. Penentuan tujuan tes,
2. Penyusunan KISI-KISI tes,
3. PENULISAN SOAL,
4. PENELAAHAN SOAL (validasi soal),
5. Perakitan soal menjadi perangkat tes,
6. Uji coba soal termasuk ANALISIS-nya,
7. Bank Soal
8. Penyajian tes kepada siswa
9. Skoring (pemeriksaan jawaban siswa)

190
KAIDAH PENULISAN
SOAL URAIAN
1. Soal sesuai dengan indikator
2. Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan sudah sesuai
3. Materi yang ditanyakan sesuai dengan tujuan pengukuran
4. Isi materi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang jenis sekolah
atau tingkat kelas
5. Menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut jawaban
uraian
6. Ada petunjuk yang jelas tentang cara mengerjakan soal
7. Ada pedoman penskorannya
8. Tabel, gambar, grafik, peta, atau yang sejenisnya disajikan
dengan jelas dan terbaca
9. Rumusan kalimat soal komunikatif
10. Butir soal menggunakan bahasa Indonesia yang baku
11. Tidak menggunakan kata/ungkapan yang menimbulkan
penafsiran ganda atau salah pengertian
12. Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat/tabu
13. Rumusan soal tidak mengandung kata/ungkapan yang dapat
menyinggung perasaan siswa

TUJUAN PENILAIAN

MEMPERHATIKAN SK

MENENTUKAN KD

TES NON TES

Materi UKRK
•PENGAMATAN/OBSV.
Diuji secara Tulis/Lisan? (Sikap, Port P, Life S)
•TES SIKAP
•DLL.
Tepat Tdk Tepat

BENTUK
Tes Perbuatan
OBJEKTIF
Bentuk
(PG, ISIAN, DLL) URAIAN •KINERJA (PERFORMANCE)
•PENUGASAN (PROJECT)
•HASIL KARYA (PRODUCT)
•DLL.

Ikuti Kaidah Penulisan Soal + Pedoman Penskorannya

191
BENTUK TES TERTULIS

SKOR OBJEKTIF SKOR SUBJEKTIF

PILIHAN: •Uraian Terbatas


ISIAN:
•Pilihan Ganda •Ur. Tak Terbatas
•Jawaban Singkat
•Benar Salah •Projek
•Melengkapi
•Menjodohkan •Tugas
•Mengidentifikasi Masalah
•Sebab Akibat •Studi Kasus

-Dapat diukur/measureble -Ilustrasi gambar, nama, dll.


dari jenjang terendah – tertinggi. -Bapak pergi ke ….
-UKRK -Ibu pergi ke ….

-Menghargai keberagaman dalam


Kemampuan dan keberanian kebersamaan: Suku, Agama, Ras,
menghadapi/mengatasi problema dan sejenisnya
kehidupan:
-Kecakapan Akademik
-Kecakapan Pribadi
-Kecakapan Sosial (Sains, Lingkungan, Teknologi,
-Kecakapan Vocasional Masyarakat, Moral)
SETSM: (Science, Environtment,
Technology, Society, Moral)

192
FORMAT KISI-KISI PENULISAN SOAL
Jenis Sekolah : ............................ Alokasi Waktu : ......................
Mata Pelajaran : ............................ Jumlah soal : .......................
Kurikulum : ............................ Penulis 1. ....................
2. .................... S1

No. Kompetensi Bahan Bentuk Tes


Urut Dasar/ SKL Kelas/ Materi Indikator Soal (Tertulis/ No.
smt. Praktik) Soal

Endnote

193
Anas Sudijono¸Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005, hal. 1
2
H. Wina Sanjaya, Op.cit., hal. 125-133
3
Anas Sudijono¸Op.cit., hal. 31-33

LEMBARAN KERJA MAHASISWA

194
Nama :

Nim :

LEMBARAN KERJA MAHASISWA

195
Nama :

Nim :

196

Anda mungkin juga menyukai