Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya pembinaan
kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon orang tua, tenaga kerja,
bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak di
Indonesia diperlukan upaya pembinaan kesehatan anak yang komprehensif dan terarah pada
semua permasalahan kesehatan akibat penyakit maupun masalah lainnya. Kekerasan dan
penelantaran anak mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada tumbuh kembang anak.
Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan berdampak terhadap penurunan
kualitas sumber daya manusia.
Definisi kekerasan terhadap anak menurut Centers for Disease Control and Prevention
adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau
pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau
memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Kekerasan pada anak menurut keterangan
WHO dibagi menjadi lima jenis, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional,
penelantaran anak, eksploitasi anak.
Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan seksual pada anak
semakin meningkat jumlahnya.Peningkatan jumlah kasus yang terlaporkan dan dilaporkan
meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap tahunnya antara tahun 2004 ke tahun 2007.
Secara umum yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang
anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur
tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau anak
lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannyauntuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Di Indonesia UU
Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kekerasan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum mencukupi
menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual orang dewasa atau anak
yang sangat lebih tua.Belakangan ini banyak muncul kasus perilaku seks bebas yang melanda
anak-anak di bawah umur, dimana anak merupakan kelompok yang rentan baik fisik maupun
mental.Seksual abuse termasuk oral-genital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital,
tangan-rektal atau kontak tangan payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa
1
anatomi seksual, danmenunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak dalam
produksipornografi.Penelitian tentang “Kekerasan Pada Anak” yang dilakukan oleh Sudaryono
menyatakan selama tiga dasawarsa masalah anak baik sebagai pelaku maupun korbankekerasan
(kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian.
Maka dari itu, hal yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan seksual atau
pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin, perlu dilakukan oleh orangtua
dan pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi yang salah dari teman, internet,
maupun media lainnya.
1.2. Perumusan Masalah
1.2.1. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak-anak
1.2.2. Peraturan apa yang mengatur perlindungan terhadap kekerasan seksual pada anak-anak
1.2.3. Bagaimanakah mengetahui tanda-tanda kekerasan seksual pada anak
1.2.4. Bagaimanakah efek psikologi pada anak korban kekerasan seksual
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1.3.1. TUJUAN
Mengetahui peranan dokter umum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak.
1.3.2. MANFAAT
Dari hasil referat yang dilakukan ini diharapkan dapat diperoleh beberapamanfaat, antara lain :
1. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan meningkatkan
pengetahuan tentang tanda-tanda kekerasan seksual terhadap anak serta tanda-tanda
psikologisnya.
2. Untuk menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya tentang
kekerasan seksual pada anak-anak dan bagaimana cara menangani kasus tersebut

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)


Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu
individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Anak ialah
individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kekerasan pada
anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang atau individu pada mereka yang belum genap
berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena
yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada
seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi.Pelaku kekerasan di sini karena bertindak
sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak.Ibu dan
bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek
pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya.
Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak
terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi.
Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertamadan kedua pemberi atau
penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan
yang disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang
merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada anak
merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain,
yangmengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,salah satu di
antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (familystress). Stress dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasitertentu.

3
1. Stress berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilakuyang
terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anakdengan
penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stress.
2. Stress yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa(psikosis
atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tuaterlampau
perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasadengan sikap
disiplin.
3. Stress berasal dari situasi tertentu misalnya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.Dengan adanya
stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kentaldengan ketidaksetaraan dalam
hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukumanbadan sebagai bagian dari
mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sah untukmenyiksa anak. Dengan sedikit
faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisantanpa henti dan ketidakpatuhan pada
pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yangtidak jarang membawa malapetaka bagi
anak dan keluarganya.
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, gegerotak, atau
perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin,mulai dari luka lecet,
luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang.Perlukaan organ dalam (visceral
injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perludilakukan pemeriksaan dalam dengan
melakukan otopsi.Perlukaan pada permukaanbadan seringkali memberikan bentuk yang khas
menyerupai benda yang digunakanuntuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau
sundutan rokok.Karenaperlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan
seringkaliberganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula
yanghampir menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks).Di samping itu
lokasiperlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat
jatuh.ataukecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung,
telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya.
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahkan
mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana senjata atau denda yang
tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah
sepertiganya yakni pada pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :

4
2.1.1 Undang-Undang Perlindungan Anak

a. Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau
ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan
asuh sebagai orang tua terhadap anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik
fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

5
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik
dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar
biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang
tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang
anak secara wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama
yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial
dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional
dalam bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.

6
b. Ketentuan Pidana

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik


materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80

1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,


atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).

7
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.

Pasal 81
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri
atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

8
Pasal 84

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 85

(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau
penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa
seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 86

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum
bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Pasal 87

Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk
kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan
dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam
kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

9
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 88

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).

Pasal 89

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,


menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi
narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi
alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 90

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal
79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,
Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan
pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-
masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

10
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Dalam Konflik Sosial :

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini, yang dimaksud dengan :

1. Konflik sosial yang selanjutnya disebut konflik adalah perseteruan dan/atau benturan
fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlansung
dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan
disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat
pembangunan nasional.
2. Perlindungan perempuan dan anak adalah upaya pencegahan dan penanganan dari segala
bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi perempuan dan anak, serta
memberikan layanan kebutuhan dasar dan spesifik pereempuan dan anak dalam
penangganan konflik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan penanganan
konflik.
3. Pemberdayaan perempuan dan anak adalah upaya penguatan hak asasi, peningkatan
kualitas hidup, dan peningkatan partisipasi perempuan dan anak dalam membangun
perdamaian.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
5. Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, mental, psikologis, termasuk intimidasi, pengusiran paksa, ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, penelantaraan serta menghalangi
kemampuan perempuan dan anak untuk menikmati semua hak dan kebebasannya
Pasal 2
Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik bertujuan untuk
melindungi, menghormati, dan menjamin hak asasi perempuan dan anak dalam penanganan
konflik.
Pasal 3
(1) Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik dilaksanakan oleh :
a. Kementerian/lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya; dan
b. Pemerintah daerah

11
(2) Pemerintah daerah dalam melaksanakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan
anak dalam konflik sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperhatikan
kondisi, situasi, permasalahan, dan penanganan konflik di daerah.

2.1.2. Bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child
abuseprevention) yaitu:
1. Kekerasan fisik (Physical abuse)
Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun
potensialterhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang
layaknyaberada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung
jawab,kepercayaan atau kekuasaan.Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan
yangmembuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar, menampar.
2. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidaksepenuhnya
memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karenaperkembangannya belum
siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yangmelanggar hukum atau pantangan
masyarakat, atau merupakan segala tingkah lakuseksual yang dilakukan antara anak dan
orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan lain-lain.
3. Mengabaikan (Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkanuntuk
tumbuh kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi, rumahatau tempat
bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks sumber dayayang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangatmungkin
mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik mental, moral dan
sosial, termasuk didalamnya kegagalan dalam mengawasi danmelindungi secara layak dari
bahaya gangguan.
4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)
Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadaibagi
perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figure primer
sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian kemampuan sosial dan
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadina dalam konteks

12
lingkungannya.Segala tingkah laku atau sikap yang mengganggu kesehatan mental anak atau
perkembangan sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif,membandingkannya
dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan ataumengucapkan” aku sayang
kamu”.
5. Eksploitasi anak (child exploitation)
Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan
orang lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu
pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada
permasalahan-permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Stigma yang melekat pada korban :
1. Stigma Interna
a. Kecenderungan korban menyalahkan diri.
b. Menutup diri.
c. Menghukum diri.
d. Menganggap dirinya aib
2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.
Faktor-faktor kausalitas yang signifikan :
1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus

Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikianberat dalam


diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkahpenanganan yang holistik dan
komprehensif melalui pendekatan interdisipliner,interinstitusional dan intersektoral dengan
dukungan optimal dari berbagai sumber danpotensi dalam masyarakat.

13
2.1.3 Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yangmerugikan
kesehatan dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran Forensik berguna dalam fungsi penyelidikan,
yaitu untuk:

1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan


2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
3. Memperkirakan umur
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin

Kekerasan seksual merupakan segala kekerasan, baik fisik maupun psikologis,yang


dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas.Definisi kekerasan
seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan
seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual didepan umum, dan pelecehan
seksual.Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan berat. Macam-macam
kekerasan seksual ringan :

1. Pelecehan seksual
2. Gurauan porno
3. Siulan, ejekan dan julukan
4. Tulisan/gambar
5. Ekspresi wajah
6. Gerakan tubuh
7. Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan dan atau
menghina korban.Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jeniskekerasan seksual berat.
Macam-macam kekerasan seksual berat:
1. Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul, perbuatan
yang rasa jijik, terteror, terhina
2. Pemaksaan hubungan seksual
3. Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu.
5. Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban.

14
6. Tindakan seksual dan kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

2.1. 4 Dasar Hukum Kekerasan Terhadap Kesusilaan

Persetubuhan tertera pada Bab XIV KUHP Tentang Kekerasan Terhadap Kesusilaan
(a) Persetubuhan dalam perkawinan: Pasal 288 KUHP
(b) Persetubuhan di luar Perkawinan: Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287,

Pasal 284 KUHP


Diancam dengan pidanan penjara paling lama sembilan bulan :
a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui
bahwa pasal BW berlaku baginya
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
pasal 27 BW berlaku baginya
c. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin
d. Seorang wanita yang telah kawin yang turut sert melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah tlah kawin dan pasal 27 BW berlaku
baginya
1. Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun.

2. Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya diancam dengan pidana
penjara paling lama 9 tahun.

3. Pasal 287 KUHP


1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahuinya atau sepatutnya atau diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun
atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
15
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai
dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294
4. Pasal 288 KUHP
i. Barang siapa dalam perkawinan telah bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya atau diduganya belum waktunya
untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun
ii. Jika mengakibatkan mati dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun

2.1.5 Aspek Hukum KUHP Tentang Perbuatan Cabul

Pasal KUHP yang mengatur mengenai pencabulan ada dalam pasal 289-296.
a. Pasal 289 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kesusilaan, dengan pidana penjara palinglama 9
tahun.
b. Pasal 290 KUHP
Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui
atausepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau
kalauumurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus
didugabahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata,
bahwabelum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan perbuatan
cabul ataubersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain
c. Pasal 291 KUHP

6. Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun;

16
7. Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285. 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

d. Pasal 292 KUHP


Orang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
samakelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum
cukupumur,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
e. Pasal 293 KUHP
1. Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakanpembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
menyesatkan sengajamenggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik
tingkah-lakunya, untukmelakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan
cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau
selayaknya harus diduga, diancamdengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukankekerasan itu.
3. Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing
Sembilan bulan dan duabelas bulan.
f. Pasal 294 KUHP
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang
yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama:
i. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan
adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau
diserahkan kepadanya,
ii. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah
sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang dimasukkan ke dalamnya.

17
g. Pasal 295 KUHP
1. Diancam :
i. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya
atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
ii. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut
dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum
dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan,
maka pidana dapat ditambah sepertiga.
h. Pasal 296 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul
oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

2.1.6 Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Definisi Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang
berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa
orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti (“nuclear family”)
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau
ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang me-
18
netap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Aspek hukum kekerasan seksual dalam rumah tangga


a. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga puluh enam juta rupiah).
b. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00-(dua belas juta rupiah)
atau paling banyak Rp 300.000.000,00-(tiga ratus juta rupiah).
c. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4
(empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00-(dua puluh lima
juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00-(lima ratus juta rupiah).
d. UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan

2.1.7 Peran Kedokteran Forensik Dalam Kasus Kekerasan Seksual

1. Menentukan Adanya Tanda-Tanda Persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk kedalam
alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpaterjadinya
pancaran air mani.Pemeriksaan dipengaruhi oleh : besarnya zakar dengan ketegangannya,
seberapajauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan.

19
Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan adanya benda
padat/kenyal yang masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan).Jika zakar
masuk seluruhnya & keadaan selaput dara masih cukup baik, pada pemeriksaan
diharapkan adanya robekan pada selaput dara. Jika elastis, tentu tidak akan ada robekan.
Adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam vagina merupakan tanda pasti adanya
persetubuhan. Pada orang mandul, jumlah spermanya sedikit sekali (aspermia), sehingga
pemeriksaan ditujukan adanya zat-zat tertentu dalam airmani seperti asam fosfatase,
spermin dan kholin. Namun nilai persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai
nilai deskriptif yang mutlak atau tidak khas.
 Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam
setelah persetubuhan.
 Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak bergerak)
sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan pada orang mati
sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling lama 7-8 hari setelah
persetubuhan.
 Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi sebanyak 2-5ml,
yang mengandung sekitar 60 juta sperma setiap mililiter dan 90% bergerak
(motile)
 Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP, misalnya pada
sprei atau kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet
dan akan terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.
 Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus
diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada zakar. Ini
dikerjakan dengan menempelkan gelas objek pada gland penis (tepatnya
sekeliling korona glandis) dan segera dikirim untuk mikroskopis.
 Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan tersebut
masih terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak robekan selaput dara pada
persetubuhan umumnya di bagian belakang (comisura posterior), letak robekan
dinyatakan sesuai menurut angka pada jam. Robekan lama diketahui jika robekan
tersebut sampai ke dasar (insertio) dari selaput dara.
 VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi
penyelidikan), dengan disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan. Halini
dapat diketahui dari keadaan sperma serta dari keadaan normal

20
luka(penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada keadaan normal akan
sembuh dalam 7-10 hari.
2. Menentukan Adanya Tanda-Tanda Kekerasan
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang
benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri.Tindakan
membius juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat
obat bius/racun pada korban.
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti tidak
ada kekerasan.Faktor waktu sangat berperan.Dengan berlalunya waktu, luka dapat
sembuh atau tidak ditemukan, racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. Faktor waktu
penting dalam menemukan sperma.
3. Memperkirakan Umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur, meskipun
pemeriksaannyamemerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk memeriksa
pertumbuhan tulang dan gigi.Perkiraan umur digunakan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut sudah dewasa (> 21 tahun) khususnya pada homoseksual/lesbian serta
pada kasus pelaku kekerasan. Sedangkan pada kasus korban perkosaan perkiraan umur
tidak diperlukan.
4. Menentukan Pantas Tidaknya Korban Buat Dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan
keturunan,pengertian pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah korban telah
siap dibuahi yang artinya telah menstruasi, namun untuk bukti hal ini korban perlu
diisolir untuk waktu cukup lama. Bila dilihat Undang-Undang Perkawinan, yaitu pada
Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah
mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun. Namun terbentur lagi pada
masalah penentuan umur yang sulit diketahui kepastiannya.

2.1.8. Pemeriksaan Medis

1. Anamnesis
Anamnesis umum memuat:
· Identitas : Nama, umur, TTL, status perkawinan,
· Spesifik : Siklus haid, penyakit kelamin, peny. kandungan, peny. lain, pernah
bersetubuh, persetubuhan yang terakhir, kondom ?
Anamnesis khusus memuat waktu kejadian
21
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum memuat :
· Kesan penampilan (wajah, rambut), ekspresi emosional, tanda-tanda bekas
kehilangan kesadaran / obat bius / needle marks.
· Berat badan, tinggi badan, tanda vital, pupil, refleks cahaya, pupil pin point, tanda
perkembangan alat kelamin sekunder, kesan nyeri ?
Pemeriksaan fisik khusus memuat:
a. Pembuktian persetubuhan :
- Ada / tidak penetrasi penis ke vagina / anus / oral
- Ejakulat / air mani pada vagina / anus
b. Bukti Penetrasi :
- Robekan hymen, laserasi (mencakup perkiraan waktu)
- Variasi : - korban 3 hari yang lalu / lebih hymen elastis
c. Penetrasi tidak lengkap
- Bukti Ejakulat/air mani (mencakup perkiraan waktu)
- Perlekatan rambut kemaluan
- Ejakulat di liang vagina
- Pemeriksaan Pakaian
- Rapi / tidak,
- Robekan? lama/baru, melintang? pada jahitan? kancing putus?
- Bercak darah
- Air mani
- Lumpur / kotoran lain di TKP

3. Pemeriksaan Laboratorium
- Cairan dan sel mani dalam lendir vagina
- Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhoea sekret ureter
- Pemeriksaan kehamilan
- Toksikologik darah dan urin
4. Pembuktian Adanya Kekerasan
- Luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks), luka-luka memar
- Lokasi : Muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat kelamin
5. Perkiraan Umur
- Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin sekunder
22
- Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
6. Penentuan sudah atau belum waktunya dikawin
- Pertimbangan kesiapan biologis : menstruasi,
- Wanita sudah ovulasi / belum : vaginal smear
- Berdasar umur ? : > 16 th
7. Pemeriksaan terhadap Pelaku
- Upaya pengenalan persetubuhan,
- Bercak sperma, darah, tanah dan pakaian, robekan.
- Bentuk tubuh : memungkinkan tindakan kekerasan.
- Tanda cedera : perlawanan korban ?
- Rambut terlepas.
- Pemeriksaan menyeluruh alat kelamin : mampu seksual ? cedera ?
- Tanda infeksi gonokokus,
- Sekret
- Smegma
8. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah
- Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yg ’sekretor’
- Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)
9. Homoseksual
- Homoseksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual
- Didalam Pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yangcukup
umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang samakelaminnya
yang belum cukup umur

2.1.9 Dampak Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan

Jangka pendek
a) Gangguan fisik antara lain: lebam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan organ,
robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat
b) Gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam, menangis dan menyendiri

23
Jangka panjang
 Post Traumatic Stress Disorder
Sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilasbalik dari
pengalaman yang amat pedih setelah mengalami stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa.
Gejala:
o Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat
akanperistiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-
olahperistiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi
buruktentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan
fisikyang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa
yangmenyedihkan.
o Penghindaran dan emosional, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas,tempat,
berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengantrauma. Selain
itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, dan perasaanterasing dari orang
lain.
o Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudahmarah/tidak
dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaanyang berlebih,
respon yang berlebihan atas segala sesuatu
 Depresi
Gejala:
o Kesedihan berkepanjangan
o Perubahan pola makan dan tidur
o Perubahan berat badan yang dikaitkan dengan perubahan pola makan
o Merasa tidak ada energy atau loyo
o Irritabilitas
o Menurunnya konsentrasi
o Pesisme atau apatis
o Gejala somatic seperti nyeri kepala
o Pikiran bunuh diri
 Infeksi Menular Seksual seperti HIV/AIDS, Herpes genitalis dan sifilis

24
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman IlmuKedokteran
Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
2. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in HongKong.
Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine University ofHongkong. 2007
3. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child Abuseand
Neglect A Clinician’s Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone, London.1999.
4. Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu PengetahuanPerilaku
Psikiatri Klinis, 2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).
5. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Departemen ilmu
kedokteran forensic dan medikolegal FKUI. Tahun 2014

25

Anda mungkin juga menyukai