Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

CHILD ABUSE MERUPAKAN SALAH SATU DAMPAK NEGATIF DARI PENGASUHAN ANAK OLEH PEMBANTU

Disusun oleh : Nawar Najla Mastura 1102010204

Blok Elektif Bidang Kepeminatan Domestic Violence Kelompok 2 Tutor : dr. Citra Dewi, Mkes

Semester VII Tahun Ajaran 2013-2014 Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

ABSTRAK
Saat ini banyak alternatif yang dapat dipilih seorang ibu untuk menitipkan anak-anaknya, diantaranya adalah anak dititipkan di rumah dengan pengasuh atau pembantu rumah tangga yang sekaligus sebagai orang yang dapat dipercaya untuk merawat, menjaga dan mengawasi anak selama kedua orang tua mereka bekerja. Satu penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di rumah tangga bersama orang dewasa yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan mereka hampir 50 kali lebih mungkin untuk meninggal akibat penganiayaan dibandingkan dengan anak-anak yang hidup dengan dua orangtua biologis. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. Ruang lingkup rumah tangga diatur dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 23 tahun 2004, yang didalamnya termasuk anak dan pekerja rumah tangga. Child Abuse dapat didefinisikan sebagai setiap tindakan kekerasan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh, yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau emosional yang serius, pelecehan seksual, atau eksploitasi. Banyak yang menjadi pemicu kekerasan terhadap anak, salah satunya pengasuhan anak oleh babysitter atau pembantu yang kasar dan pemarah. Dampak kekerasan pengasuh pada anak tergantung dari kecerdasan dan emosinya. Sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 80 ayat (1), (2), dan (3). Sedangkan sanksi bagi pelaku pembunuhan diatur dalam pasal 338 KUHP. Kekerasan terhadap anak dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak sangat bertentangan dengan Hukum Islam dimana Undang-Undang Perlindungan Anak melarang hukuman fisik terhadap anak dalam bentuk apapun sedangkan dalam Islam hal tersebut diperbolehkan dalam kasus pendidikan agama selama itu masih dalam batas dan memiliki makna filosofis. Pembunuhan dalam Islam sangat dilarang, kecuali membunuh orang-orang yang murtad, pembunuh, dan pezina muhshan. Hukuman bagi pembunuh adalah Qishash, jika sudah dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh wajib membayar diyat. Kata kunci: KDRT, child abuse, kekerasan terhadap anak, babysitter, pengasuh

LATAR BELAKANG Pada masa sekarang ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, banyak dijumpai sebuah keluarga dimana suami dan isterinya bekerja di luar rumah. Diantara keluargakeluarga tersebut terdapat pula keluarga-keluarga muda dan tentunya memiliki anak yang masih kecil yang masih memerlukan pengawasan dari kedua orang tuanya, namun dilain pihak kedua orang tuanya harus tetap bekerja dalam mengejar karier. Ketika kedua orang tua mereka bekerja, biasanya ibulah yang paling merasa bertanggung-jawab ketika harus meninggalkan anak-anak dan sebagai konsekuensinya anak yang masih kecil tersebut harus dititipkan dan kemudian diperlukan orang lain untuk merawat, menjaga dan mengawasinya.

Saat ini banyak alternatif yang dapat dipilih seorang ibu untuk menitipkan anakanaknya, diantaranya adalah anak dititipkan di rumah dengan pengasuh atau pembantu rumah tangga yang sekaligus sebagai orang yang dapat dipercaya untuk merawat, menjaga dan mengawasi anak selama kedua orang tua mereka bekerja. (Mosad, 2009)

Satu penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics menemukan bahwa anakanak yang tinggal di rumah tangga bersama orang dewasa yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan mereka hampir 50 kali lebih mungkin untuk meninggal akibat penganiayaan
1

dibandingkan

dengan

anak-anak

yang

hidup

dengan

dua

orangtua

biologis.

(http://www.stoparchildabuse.com/Babysitter.pdf, akses 16 November 2013) Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta dan tidak tersembunyikan lagi. Karenanya, tidak tepat jika kekerasan terhadap anak dianggap urusan domestik atau masalah internal keluarga yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat. (Wahab, 2007)

DESKRIPSI KASUS

Tersangka (Ny.IA) yang bekerja sebagai pengasuh/pembantu sejak 3 Desember 2012 sampai dengan 31 Januari 2013 di rumah Tn.AS dan Ny.R, mengaku sudah sering kesal lantaran anak majikannya (An.RAA) yang masih bayi berusia 5 bulan sering rewel, tetapi baru pada hari hari Kamis tanggal 31 Januari 2013 anak majikannya sangat rewel walaupun tersangka sudah mengajaknya bermain, menggendongnya, dan memberinya susu, sehingga akhirnya tersangka capek dan kesal karena tersangka juga tengah hamil 4 bulan dan kemudian tersangka hilang kendali dan akhirnya melakukan melakukan penganiayaan dan pembunuhan terhadap korban dengan cara menutup muka korban dengan tangan kanan tersangka, karena korban masih menangis kemudian tersangka melilitkan kain panjang pada bagian muka, badan, dan tangan korban setelah itu tersangka pergi meninggalkan korban di dalam kamar. Kemudian tersangka lupa sudah meninggalkan korban di dalam kamar dalam keadaan terlilit kain, selama sekitar 30 menit tersangka menyetrika pakaian, lalu mengangkat pakaian di jemuran, tiba-tiba tersangka teringat oleh korban dan setelah itu kembali dan melihat korban sudah tidak bernyawa lagi. Kemudian tersangka panik dan timbul niat untuk merekayasa adanya perampokan dengan maksud untuk menutupi perbuatan tersangka lalu tersangka mengacak-acak lemari pakaian dan mengikat dirinya dengan tali rafia dan celana leging serta menyumpal mulutnya dengan menggunakan celana bayi. Kejadian tersebut terjadi sekitar jam 18.00 WIB saat orangtua korban/majikan tersangka sedang tidak ada di rumah, pada saat mereka pulang bekerja sekitar jam 18.35 WIB, mereka melihat rumahnya berantakan, anak mereka sudah meninggal dalam keadaan terlilit kain dan melihat tersangka dalam keadaan tangan terikat dan mulut disumpal dan
2

tersangka

tersangka dalam keadaan shock sehingga segera dilarikan ke klinik. Mereka mengira tersangka shock karena terjadi kasus perampokan di rumahnya, padahal tersangka shock karena sudah membunuh anak majikannya. Kejadian tersebut dilaporkan oleh orangtua korban sebagai kasus perampokan ke Polres Metro Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 31 Januari 2013, sekitar jam 21.30 WIB. Hasil penyelidikan polisi dari bukti-bukti yang ada, hasil pemeriksaan forensik (visum) dan Tempat Kejadian Perkara menunjukkan bahwa perampokan yang diakui oleh pelaku merupakan rekayasa, fakta yang ditemukan polisi adalah kasus penganiayaan dan pembunuhan An.RAA oleh pengasuhnya. Orangtua korban sangat sedih dan tidak menyangka pembantunya bisa melakukan hal tersebut, padahal mereka mendapat rekomendasi untuk memperkejakan tersangka dari seorang teman. Mereka mengaku bahwa mereka tahu tersangka telah menikah namun tidak mengetahui bahwa tersangka tengah hamil 4 bulan.

DISKUSI

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya. Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
3

persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe kekerasan, di antaranya: physical abuse, psychological abuse, material abuse or theft of money or personal property, dan violation of right. Berdasarkan studinya anak-anak yang menjadi korban KDRT cenderung memiliki ketidakberuntungan secara umum. Mereka cenderung menunjukkan tubuh yang lebih kecil, memiliki kekuatan yang lebih lemah, dan merasa tak berdaya terhadap tindakan agresif.

Lebih jauh lagi bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan secara detil:

Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dsalam hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.

Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus.

Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4

Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya. (Wahab, 2007)

KEKERASAN TERHADAP ANAK ( CHILD ABUSE )

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik dialami individu atau kelompok.

Child abuse (CA) adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebutkan kekerasan terhadap anak, kadang-kadang disebut juga sebagai child maltreatment. Dalam Encyclopedia Article from Encarta, CA didefinisikan sebagai perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik atupun emosional. Istilah CA meliputi berbagai macam tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai pada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

CA didefinisikan juga sebagai tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual serta penelantaran (lalai) sehingga anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensi uniknya sebagai manusia secara optimal (Cameron,1998). Pengertian yang sedikit berbeda dikemukakan oleh The National Commision of Inquiry into the Prevention of Child Abuse, CA adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu, institusi atau suatu proses yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan luka pada anak-anak sehingga
5

menimbulkan gangguan terhadap masadepan, keselamatan, dan kesehatan.

Menurut UU Perlindungan Anak Pasal 13 yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.

Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse and neglect berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendaharahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu :Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain. Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual.

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain yang menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, dimaksudkan selain gangguan fisik seperti di atas, ditambah adanya gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tak memadai. Istilah Child Abuse sendiri dipakai untuk menggambarkan kasus anak-anak dibawah usia 18 tahun yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak secara fisik dan kesehatan mental serta perkembangannnya.

Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah
6

semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orang tua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Pelanggaran terhadap hak anak dewasa ini semakin tidak terkendali dan mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta dan tidak tersembunyikan lagi. Karenanya, tidak tepat jika kekerasan terhadap anak dianggap urusan domestik atau masalah internal keluarga yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat.

CA dapat terjadi pada segala usia, mulai 0-18 tahun dan angka kejadian tertinggi pada usia kurang dari dua tahun, yaitu 50 %. Kejadian CA dalam masyarakat bervariasi antara 1542 kasus per 1000 anak per tahun. Resiko anak laki-laki dan perempuan, 55% : 45%.

Dampak CA terburuk adalah kematian. Selain itu dapat mengalami komplikasi fisik serius, seperti patah tulang, luka bakar, buta, tuli, cacat tetap, kerusakan otak, gangguan perkembangan jiwa, dll. (Salmiah, 2009)

Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah Tangga

Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:

a. Kekerasan Anak Secara Fisik Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis
7

terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.

b. Kekerasan Anak Secara Psikis Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

c. Kekerasan Anak Secara Seksual Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Kekerasan Anak Secara Sosial Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

Unicef meneliti keumuman bentuk kekerasan yang terjadi pada anak sesuai tingkatan usianya. Berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan yang ditampilkan pada tabel 3 berikut ini :

Dalam kasus ini, anak yang masih berada dalam fase bayi mendapat tindakan kekerasan fisik dari pengasuhnya yaitu berupa penganiayaan yang dipicu oleh tingkah laku anak yang sangat rewel yang menimbulkan kematian.

PENGASUH ANAK DAN PEMBANTU

Baby Sitter / Suster Bayi, Perawat Bayi atau Pengasuh Bayi Lingkup tugasnya adalah mengurus adik bayi secara keseluruhan, Mulai dari memberi susu, memberi makan, memandikan bayi, mencuci dan menyeterika pakaian bayi, membersihkan kamar, membersihkan atau mencuci perlengkapan bayi, menidurkan bayi, dan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan seluruh aktifitas bayi yang diasuhnya. Pengasuh bayi umumnya berusia tua. Dimana untuk dapat mengasuh bayi dengan baik, harus sudah mempunyai banya pengalaman sebelumnya dalam mengasuh bayi.

Nanny, Pengasuh Anak, Pengasuh Balita Lingkup tugasnya adalah mengurus anak balita secara keseluruhan, Mulai dari memberi susu, memberi makan anak, memandikan, mencuci dan menyeterika pakaian anak,
9

membersihkan kamar, membersihkan atau mencuci perlengkapan anak, menidurkan anak, mengajak bermain, mendampingi aktifitas anak di dalam dan di luar rumah, mengantar anak sekolah, dan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan seluruh aktifitas anak yang diasuhnya.

PRT Serabutan, Pembantu Rumah Tangga Serabutan Lingkup tugasnya adalah mengurus pekerjaan rumah tangga secara keseluruhan, Mulai dari membersihkan rumah, mencuci dan menyeterika pakaian, memasak, dan tugastugas lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Selain dari tugas-tugas pekerjaan rumah tangga diatas, PRT Serabutan juga diberi tugas tambahan untuk menjaga anak atau mengawasi anak atau menemani atau mendampingi Orang Tua atau Lansia. PRT Serabutan umumnya berusia tua. Dimana Pekerja berusia tua umumnya lebih tekun dalam bekerja karena dituntut memenuhi kebutuhan untuk membiayai keluarga atau anaknya. PRT umumnya sekarang disebut dengan panggilan lebih ramah yaitu ART atau Asisten Rumah Tangga. (http://nabilacare.blogspot.com/p/yayasan-baby-sitter-yayasan-

babysitter.html, akses 18 November 2013)

PENYEBAB KEKERASAN TERHADAP ANAK OLEH PENGASUH ANAK ATAU PEMBANTU

Tingginya kebutuhan babysitter, membuat suplai tenaga ini dikerjakan terburu-buru, training kerap dilakukan sangat cepat hanya 1-2 minggu. banyak orang tergiur menjadi tenaga pengasuh, karena bayaran yang tinggi, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa besarnya gaji harus diimbangi dengan kemampuan dan tanggung jawab yang tinggi pula. kenyataannya, kualitas mereka layaknya pembantu rumah tangga, dan perawatan anak tidak bisa dilakukan dengan baik. bahkan beberapa diantaranya berakhir dengan peristiwa buruk.

Pemakai tenaga pengasuh jarang melakukan pemeriksaan psikologis terhadap calon pengasuh, untuk mengukur persyaratan utama mengasuh anak : memiliki rasa kasih sayang dan kemauan serta kemampuan mengasuh. masa lalu seseorang yang kurang baik, ikut membentuk kepribadian dan tingkah laku seseorang. namun, bila latar belakang pengasuh baik hal mengesalkan sekalipun tidak akan mengarah pada tindakan buruk. (Femina, 2007)
10

PENYEBAB KEKERASAN TERHADAP ANAK OLEH PENGASUH DALAM KASUS INI Tersangka kurang kompeten dalam mengasuh anak karena tidak punya pengalaman sebelumnya Majikan/orangtua korban tidak melakukan pemeriksaan psikologis terhadap calon pengasuh

PEMICU TERJADINYA KEKERASAN PADA ANAK Pencetus CA terjadi akibat stres dalam keluarga, yang berasal dari beberapa permasalahan:

Pertama, berasal dari faktor anak, yakni anak dengan mental retardasi, anak hiperaktif, anak dengan gangguan perilaku, penampilan fisik anak, anak cacat, kelahiran yang tidak diinginkan, anak adopsi, dan sebagainya.

Kedua adalah faktor orang tua sebagai pencetus, misalnya pencandu alkohol, narkotika, kelainan kepribadian, depresi, kelainan jiwa seperti skizofrenia, gangguan mental emosional lainnya, orang tua yang pernah mempunyai pengalaman penganiayaan di masa kecil, orang tua tunggal, orang tua tiri, faktor pola asuh dan mendidik anak, nilai-nilai hidup yang dianut orang tua, serta rendahnya pengetahuan mengenai perkembangan anak.

Ketiga, faktor situasi keluarga, yakni hubungan kurang harmonis, orang tua tidak bekerja, keluarga banyak anak, anak yang tidak diinginkan orang tua, anak diasuh babysitter atau pembantu yang kasar dan pemarah, keterasingan dari masyarakat, kemiskinan, kepadatan hunian, tekanan hidup akibat masalah sosial ekonomi, seperti pengangguran, mutasi, bisnis merugi, selingkuh, perceraian, perpecahan dalam keluarga, masalah interaksi antara lingkungan ibu dan anak, serta anak terpisah dari orang tua pada perkembangan fase kehidupannya.

Terakhir adalah faktor budaya, yaitu adanya kepercayaan/adat mengenai pola asuh anak, hak orang tua terhadap anak, dan pengaruh pergeseran budaya.

11

Secara garis besar tercakup dalam lima faktor penyebab terjadinya CA, yaitu degradasi moral, rendahnya pendidikan, pola perawatan yang salah, rendahnya tingkat ekonomi dan media massa. (Salmiah, 2009)

Dalam kasus ini, yang menjadi faktor pemicu kekerasan terhadap anak adalah dari segi faktor situasi keluarga, yaitu anak diasuh oleh pembantu yang kasar dan pemarah.

FAKTOR PEMICU PELAKU MELAKUKAN KEKERASAN DALAM KASUS INI Terlalu capek dengan beban kerja yang terlalu banyak yang diberikan majikan Korban sangat rewel Hamil 4 bulan emosi pelaku menjadi tidak stabil

PERUBAHAN

HORMONAL

PADA

KEHAMILAN

MENYEBABKAN

KETIDAKSTABILAN EMOSI Emosi yang labil. Peningkatan hormon LSH akan mempengaruhi tingkat kestabilan emosi wanita yang sedang mengakami kehamilan. Emosi ini bisa saja berupa emosi positif ataupun emosi negatif. (http://tips-ibuhamil.info/perubahan-selama-kehamilan.html, akses 19

November 2013)

DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK OLEH PENGASUH ANAK ATAU PEMBANTU Agresif Sikap agresif biasanya ditujukan anak kepada pelaku tindak kekerasan. Sikap agresif ini umumnya akan ditunjukkan saat anak merasa ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat ayah/ibu ada di rumah, anak langsung memukul atau melakukan tindakan agresif terhadap si pengasuh. Namun orang tua perlu hati-hati karena tidak semua sikap ini menunjukkan bahwa anak telah mengalami tindak kekerasan. Anak yang sedang dalam masa agresif, bisa saja ingin menunjukkan kepada orang tuanya mengenai sikap agresifnya. Cengeng

12

Cengeng atau rewel umumnya dilakukan saat anak kehilangan figur yang bisa melindunginya. Dalam situasi seperti itu anak merasa tidak aman. Contohnya, begitu ditinggal bekerja ibu-bapaknya, anak korban kekerasan akan selalu menangis meraung-raung. Lagi-lagi ciri ini juga tidaklah mutlak. Boleh jadi anak cengeng karena memang amat lengket dengan orang tuanya. Ia tidak ingin kehilangan atau jauh dari figur terdekatnya. Orang tua perlu mencek faktor-faktor lain untuk membuktikan ada tidaknya faktor kekerasan pada anak. Bersedih dan Depresi Tindak kekerasan bisa membuat anak terpuruk pada kondisi depresi. Hal ini bisa dilihat dari sikap anak yang berubah drastis, semisal anak jadi memiliki gangguan tidur dan makan, tak jarang disertai penurunan berat badan secara mencolok dan menarik diri dari lingkungan yang menjadi sumber trauma. Sikapnya berubah menjadi pendiam serta anak terlihat kurang ekspresif. (Nakita, 2008)

Trauma kekerasan pada anak-anak, baik verbal maupun fisik sebenarnya dapat hilang dengan sendirinya. seiring proses pembentukan kepribadiannya namun, sebisa mungking harus dihindari, karena kemampuan setiap orang melampoi pengalaman tersebut berbeda-beda, tergantung kecerdasan emosinya. Seseorang yang dimasa kecil mengalami kekerasan verbal dan fisik yang berat, bisa saja tumbuh menjadai pribadi yang baik, sebaliknya, orang yang dimasa kecil pernah mengalami kekerasan relatif kecil, mungkin saja tumbuh dengan kondisi depresi karena ketidakmampuannya malampaui pengalaman buruk. Jika sudah terlanjur terjadi, upaya mengatasi trauma kekerasan pada anak adalah komunikasi yang intens, serta perhatian dan kasih sayang dari orang tua. (Femina, 2007) DAMPAK PSIKOLOGI ORANGTUA YANG KEHILANGAN ANAKNYA Dari saat anak meninggal, orang tua berhadapan dengan dua ekstrim antara kehilangan dan kehidupan sedihnya kehilangan seorang anak dan tuntutan harian dari anak yang selamat, kata Fleming, salah seorang penulis dari sebuah buku yang baru diterbitkan, Parenting After the Death of a Child: A Practitioners Guide. Fleming, seorang profesor psikologi di Fakultas kesehatan Universitas York, dan penulis kedua Jennifer Buckle, sekarang profesor di Universitas Memorial, melakukan penelitian
13

untuk buku tersebut ketika Buckle menjadi mahasiswa pasca sarjana di York. Penelitian mereka berdasarkan wawancara mendalam dengan orang tua yang kehilangan anaknya dan memiliki satu atau lebih anak yang selamat. Mereka menemukan kalau orang tua tidak pulih dari kehilangan. Justru, orang tua yang berduka berusaha meregenerasi mengambil potongan-potongan memori dengan putus asa, dan meregenerasi ulang naluri diri dan naluri keluarga. Ayah cenderung menjadi peratap instrumental. Mereka kembali kerja, bekerja untuk keluarganya, dan mereka cenderung mengatasi rasa takut menyebabkan anaknya memasuki dunia yang tidak aman, lebih cepat dari ibu, kata Fleming. Ibu lebih cenderung menjadi peratap intuitif, lebih berfokus pada perasaan mendalam, dan mereka memiliki rasa takut yang amat sangat bila satu anaknya telah mati, yang lain dapat segera mati pula. Jadi, sering kali, ibu harus diingatkan untuk segera melakukan pengasuhan pada anak yang selamat. Parenting After the Death of a Child mengisi celah penelitian mengenai pengaruh kematian anak, karena ia berfokus bukan hanya pada duka yang dialami, namun pada tindakan menyeimbangkan antara duka dan pengasuhan di saat yang sama. Sebagai seorang psikolog klinis, Flaming mengatakan ia berharap panduan ini akan mendidik para konselor mengenai pentingnya melihat implikasi psikologis dalam menyesali kehilangan seorang anak sebagai contoh, depresi, gangguan anxiety umum, dan gangguan stress pasca trauma. Terlalu sering, orang tua tidak dibekali atas reaksi ini, dan mereka dapat mengalami trauma oleh bayangbayang kematian atau penyakit anaknya, dan melepaskannya, kata beliau. SANKSI BAGI PELAKU KEKERASAN TERHADAP ANAK DAN PEMBUNUHAN Sebagai orang tua memang wajib untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dan penganiayaan. Hal ini juga sesuai dengan pengaturan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

14

a. b. c. d. e. f.

diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memuat tindak pidana yang

dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang dalam memeriksa perkara anak yang berhadapan dengan hukum melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap anak. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana tersebut di bawah ini Pasal 80 1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pengertian pembunuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah perkara membunuh ; perbuatan (hal dan sebagainya) membunuh. Pembunuhan secara yuridis diatur dalam pasal 338 KUHP, yang mengatakan bahwa: Barang siapa dengan sengaja menhilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

15

Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan kesengajaan, adalah apabila orang tersebut memang menghendaki perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau keadaan yang timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali oleh pelakunya.

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah disebut pembunuhan. (Lamintang 1985:10).

b. Jenis-jenis Pembunuhan Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya : 1) Pembunuhan biasa (Doodslag). Pembunuhan biasa ini sebagaimana biasa diatur dalam pasal 338 KUHP, yang pada pokoknya berbunyi : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena makar mati dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun

Menurut R.Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, mengatakan bahwa : a) Kejahatan ini dinamakan makar mati atau pembunuhan (doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja , artinya dimaksud , termasuk dalam niatnya.

b) Pembunuahan itu harus dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang. (Soesilo 1996: 240)

16

2) Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (Moord). Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada pokok isinya adalah sebagai berikut : Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Adapun yang menjadi unsur-unsur dari kejahatan yang direncanakan terlebih dahulu (moord) ialah :

a) Perbuatan dengan sengaja ; b) Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu ;

c) Perbuatan tersebut dimaksud untuk menimbulkan matinya orang lain.

Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu dilaksanakan.

Dari kedua pasal tersebut, yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 340 KUHP tersebut dapat ditarik kesimpulan , bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan, adalah perbuatan sengaja yang dilakukan orang terhadap orang lain dengan maksud untuk menghilangkan nyawa tersebut. Dalam kasus ini, orangtua korban sudah melaporkan tindakan penganiayaan terhadap anaknya ke polisi dan tersangka dijerat pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak dan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.

KONSEP KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANGUNDANG PERLINDUNGAN ANAK DAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kekerasan Pada Anak Menurut UU Perlindungan Anak

Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.
17

Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.

Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.

Batas-batas kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 ini, Tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. (Idris, 2005)

Kekerasan Pada Anak Menurut Pandangan Islam

Konsep kekerasan pada hukuman fisik terhadap anak-anak menurut Hukum Islam ialah apabila memukul anak yang melalaikan shalat atau melanggar peraturan disiplin, menimbulkan bekas atau melampau batas kepatutan. Hukuman fisik berupa pukulan ringan yang tidak berbekas dan tidak di tempat yang sensitif, bukan merupakan kekerasan. Hukum Islam membolehkannya dalam batas-batas tertentu, karena ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya: 1. Sebagai upaya penegakkan disiplin, diawali dengan disiplin menegakkan shalat. 2. Mengantisipasi ketidaknyamanan dari kenakalan yang lebih berat, dan mengingatkan mereka tentang manfaat disiplin. 3. Memiliki makna ketaatan dan kesetiaan terhadap ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya.

18

Dalam Islam, batas usia seorang anak adalah setelah dia mendapat tanda-tanda baligh (mumayyiz). Jika tanda-tanda ini mendatangi seorang anak, maka dia sudah beralih ke masa dewasa, yang kepadanya sudah dibebankan tanggungjawab (dunia dan akhirat).

Anak adalah hadiah terindah bagi orang tua sekaligus amanah bagi mereka. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Ath Taghabun:15 dibawah ini:

Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Dalam Islam, penanaman nilai-nilai moralitas pada anak adalah hal yang sangat sentral. Moral/akhlak, adalah ukuran baik buruknya atau sehat menyimpangnya perilaku seseorang. Moral/akhlak menentukan seseorang bergaul dengan lingkungannya. Penanaman nilai-nilai yang positif pada anak ini tidak langsung begitu saja tetapi melalui waktu yang panjang, dari mulai seorang anak lahir bahkan sebelum lahir. Orang tua atau pengasuh memegang peranan penting untuk perkembangan perilaku/akhlak/moral anak. Pada usia anak adalah usia imitasi yang paling dominan. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 9:

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
19

(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Pendidikan kepada anak, penanaman nilai-nilai moral dan akhlak memegang peranan yang paling utama. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa:

Tidak ada suatu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama dari pada pemberian budi pekerti yang baik (H.R Tirmidzi dari Said bib Al-Ash)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa: Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR. Abu Daud dan al-Hakim).

Hadist ini seakan-akan bertentangan dengan UU PA No 23 tahun 2002, dimana disebutkan bahwa, tidak dibenarkan hukuman yang bersifat fisik. Hadist ini mengacu pada kenyataan bahwa pendidikan dan pengasuhan anak harus dalam proporsional. Hukuman fisik yang tidak proporsional, justru tidak mendidik. Anak, jika dibebaskan begitu saja tanpa ada kontrol dari orangtua, akan berdampak buruk pada perilaku anak.

Apabila seseorang diantara kalian memukul,maka hindarilah bagian wajah (HR Muslim dan Abu Dawud)

Dalam Islam, dilarang memukul pada bagian-bagian yang bisa melukai anak secara fisik, ataupun bagian lain dengan tanpa pertimbangan atau memukul dengan keadaan emosi yang tidak stabil. Hal ini akan berakibat tidak bermamfaat, tidak mendidik, melampaui ketentuan yang ditetapkan oleh Allah ataupun akan menimbulkan kebencian dalam diri anak. Beberapa hadits lain yang menerangkan hal ini, antara lain:

Tidak boleh melakukan hukuman cambuk lebih dari 10 kali dera, kecuali hanya dalam kasus pelanggaran yang ada hukuman hadnya (HR Bukhari, Abu Dawud, Ahmad).

20

Seseorang yang benar-benar jagoan bukanlah orang yang dapat membanting orang lain, melainkan orang yang jagoan ialah seorang yang mampu mengendalikan dirinya saat sedang marah (HR Bukhari, Muslim, Ahmad)

Rasulullah tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah (HR Muslim).

Dari beberapa hadits ini, dapat disimpulkan bahwa, kekerasan dalam islam tidak dibenarkan sejauh tidak sesuai dengan ketentuan atau melebihi batas. Kekerasan hanya digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan hanya dengan tujuan mendidik, bukan dengan tujuan menghukum tanpa landasan, menghukum tanpa alasan, atau memukul tanpa ilmu adalah perbuatan yang sia-sia.

Menurut Ibnu Khaldum, barang siapa yang menerapkan pendidikannya dengan cara kasar dan paksaan terhadap orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya, atau para pelayannya, maka orang yang dididik olehnya akan dikuasai oleh serba keterpaksaan.

Pendidikan dalam Islam menurut Dr. M. Idris A. Shomad, MA diantaranya: Mendidik dengan keteladanan Mendidik dengan Hiwar (Dialog) Mendidik dengan kisah Mendidik dengan perumpamaan Mendidik dengan Ibrah dan Mauidhah Mendidik dengan latihan dan pengalaman Mendidik dengan Targhib dan Tarhib (reward and punishment)

Hadits lain disebutkan bahwa: Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).

Di sini sangat jelas bahwa, Islam tidak membenarkan adanya hukuman fisik yang berlebihan (justru itu tidak mendidik). Justru UU PA No 23 tahun 2002, yang seakan
21

memberikan kebebasan kepada anak tanpa ada kontrol dari orang tua. Kontrol dari orang tua sangat diperlukan, untuk pemahaman etika yang ada dalam dimasyarakat. Dengan kontrol ini anak akan dapat membedakan perilaku baik dan perilaku buruk yang ada di lingkungan. Hukuman disini hanya semacam perlakuan kondisi belajar. Jika suatu tingkah laku akan dieliminasi, maka caranya adalah dengan memberikan punishment. Sebaliknya jika suatu tingkah laku akan dimunculkan, maka akan diperkuat dengan permberian reward.

PEMBUNUHAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam melarang umatnya membunuh seseorang manusia atau seekor binatang sekalipun, kalau itu tidak berdasarkan kebenaran hukumnya. Dalam Islam orang-orang yang halal darah atau boleh dibunuh karena perintah hukum dengan prosedurnya adalah orangorang murtad, yaitu orang-orang Islam yang berpindah agama dari Islam ke agama lainnya, sesuai dengan hadis Rasulullah saw: Man baddala diynuhu faqtuluwhu (barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia). Ketentuan ini dilakukan setelah orang murtad itu diajak kembali ke agama Islam selama batas waktu tiga hari, kalau selama itu dia tidak juga sadar baru dihadapkan ke pengadilan.

Yang halal darah juga adalah pembunuh, bagi dia berlaku hukum qishash yakni diberlakukan hukuman balik oleh yang berhak atau negara melalui petugasnya. Penzina muhshan (yang sudah kawin) adalah satu pihak yang halal darah juga dalam Islam melalui eksekusi rajam, mengingat jelek dan bahayanya perbuatan dia yang sudah kawin tetapi masih berzina juga. Semua pihak yang halal darah tersebut harus dieksekusi mengikut prosedur yang telah ada dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang tidak punya otaritas baginya.

Selain dari tiga pihak tersebut dengan ketentuan dan prosedurnya masing-masing tidak boleh dibunuh, sebagaimana firman Allah swt: ...wala taqtulun nafsal latiy harramallahu illa bilhaq... (...jangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran...) (QS. al-Anam: 151). Larangan ini berlaku umum untuk semua nyawa baik manusia maupun hewan, kecuali yang dihalalkan Allah sebagaimana terhadap tiga model manusia di atas tadi atau hewan nakal yang mengganggu manusia dan hewan yang disembelih dengan nama Allah. Allah memberi perumpamaan terhadap seorang pembunuh adalah: ...barangsiapa
22

yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya... (QS. Al-Maidah: 32).

Hukuman bagi pembunuh

Hukuman duniawi terhadap seorang pembunuh dalam Islam sangatlah berat yaitu dibunuh balik sebagai hukuman qishash ke atasnya. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. al-Baqarah: 178).

Sementara hukuman ukhrawi-nya adalah dilemparkan dalam neraka oleh Allah SWT suatu masa nanti, sesuai dengan firman-Nya: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. anNisa: 93)

Bagi pembunuh yang sudah dimaafkan oleh keluarga terbunuh sehingga bebas dari hukuman qishash, wajib baginya membayar diyat kepada keluarga terbunuh sebanyak 100 ekor unta. Jumhur ulama sepakat dengan jumlahnya dan bagi wilayah yang tidak mempunyai unta dapat diganti dengan lembu atau kerbau atau yang sejenis dengannya. Dalam Islam, qishash diberlakukan karena di sana ada kelangsungan hidup umat manusia, sebagaimana firman Allah: Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 179).

Qishash ini betul-betul sebuah keadilan dalam sistem hukum pidana Islam, di mana seseorang yang membunuh orang lain tanpa salah harus dibunuh balik. Ini sama sekali tidak melanggar hak azasi manusia (HAM) sebagaimana diklaim orang-orang yang tidak paham
23

hukum Islam. Bagaimana mungkin kalau seseorang membunuh orang lain tanpa dibenarkan agama dapat diganti dengan hukuman penjara 5-9 tahun, sementara orang yang dibunuhnya sudah meninggal. Malah yang seperti itulah melanggar HAM, karena tidak berimbang antara perbuatan jahat yang dilakukannya dengan hukuman terhadapnya.

Ada tiga macam jenis pembunuhan dalam Islam yang mempunyai hukum qishash yang berbeda, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja dan tidak sengaja. Pembunuhan sengaja adalah seseorang sengaja membunuh orang lain yang darah dan keselamatan jiwanya dilindungi. Yaitu dengan menggunakan alat untuk membunuh seperti senjata api dan senjata tajam.

Tindak pidana pembunuhan secara sengaja jika memenuhi unsur-unsur: (1) orang yang melakukan pembunuhan adalah orang dewasa, berakal, sehat, dan bermaksud membunuh; (2) terbunuh adalah orang yang terpelihara darahnya (tidak halal untuk dibunuh); dan (3) alat yang digunakan untuk membunuh dapat mematikan atau menghilangkan nyawa orang. Jika pembunuh sengaja dimaafkan oleh keluarga terbunuh maka sipembunuh wajib membayar diyat berat berupa 100 ekor unta, terdiri dari 30 ekor unta betina berumur 3-4 tahun, 30 ekor unta betina berumur 4-5 tahun, dan 40 ekor unta betina yang sedang hamil.

Pembunuhan semi sengaja adalah menghilangkan nyawa orang lain dengan alat yang tidak biasa digunakan untuk membunuh dan tidak dimaksudkan untuk membunuh. Ia juga harus membayar diyat berat kalau sudah dimaafkan keluarga terbunuh dengan cara mengangsurnya selama 3 tahun.

Sementara pembunuhan tidak sengaja adalah seperti orang melempar buah mangga di pohon lalu terkena seseorang di bawah pohon mangga tersebut sehingga mati. Diyat bagi kasus seperti ini adalah diyat ringan, yaitu 100 ekor unta terdiri atas 20 ekor unta betina berumur 1-2 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2-3 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2-3 tahun, 20 ekor unta betina berumur 3-4 tahun, dan 20 ekor unta betina berumur 4-5 tahun. Pihak pembunuh wajib membayarnya dengan mengangsur selama 3 tahun, setiap tahun wajib membayar sepertiganya. Kalau tidak dapat dibayar 100 ekor unta, maka harus dibayar 200 ekor lembu atau 2.000 ekor kambing. (Adan, 2009)

24

Dalam kasus ini, pengasuh melakukan pembunuhan semi sengaja kepada anak majikannya, dengan cara melilitkan kain ke tubuh korban (alat yang tidak biasa digunakan untuk membunuh) dan tidak dimaksudkan untuk membunuh.

KESIMPULAN Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. Child Abuse merupakan tindakan kekerasan terhadap anak yang dikategorikan menjadi empat bentuk yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan sosial, dan kekerasan sosial. Child Abuse dapat dipicu oleh berbagai faktor yaitu faktor anak, faktor orangtua, faktor situasi keluarga, dan faktor budaya. Dampak kekerasan pengasuh pada anak tergantung dari kecerdasan dan emosinya. Sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 80 ayat (1), (2), dan (3). Sedangkan sanksi bagi pelaku pembunuhan diatur dalam pasal 338 KUHP. Kekerasan terhadap anak dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) sangat bertentangan dengan hukum Islam dimana UU PA melarang hukuman fisik terhadap anak dalam bentuk apapun sedangkan dalam Islam hal tersebut dibolehkan dalam hal pendidikan agama selama masih dalam batas dan mengandung makna filosofis. Pembunuhan dalam Islam sangat dilarang, kecuali membunuh orang-orang yang murtad, pembunuh, dan pezina muhshan. Hukuman bagi pembunuh adalah Qishash, jika sudah dimaafkan oleh keluarga terbunuh wajib membayar diyat.

SARAN Untuk mencegah terjadinya Child Abuse, orangtua sebaiknya mengasuh anaknya sendiri sehingga tidak perlu menggunakan jasa pengasuh bayi. Jika memang harus menggunakan jasa pengasuh bayi, orangtua harus bisa memilih pengasuh yang benar-benar baik atau sebaiknya saat bekerja pengasuh diawasi oleh anggota keluarga seperti nenek. Orangtua juga bisa menitipkan anaknya ke tempat penitipan anak karena di sana banyak tenaga pengasuh yang sudah dididik dan dilatih. Dalam mendidik anak, orangtua/pengasuh harus berpedoman kepada Al-Quran dan Hadits.

25

UCAPAN TERIMA KASIH Saya mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya, saya bisa menyelesaikan case report ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Polres Metro Jakarta Pusat khususnya bapak Winarno S. SH.MH selaku koordinator lapangan. Terima kasih juga kepada tutor pembimbing kelompok 2 bidang kepeminatan Domestic Violence yaitu dr. Citra Dewi, Mkes yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga case report dapat dibuat dengan hasil yang memuaskan. Terima kasih kepada dr. Hj. RW. Susilowati, Mkes dan DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun selaku koordinator blok elektif serta kepada dr. Ferryal Basbeth, SpF selaku dosen pengampu. Kepada semua anggota kelompok 2 Domestic Violence, terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya.

26

DAFTAR PUSTAKA

Adan, Hassanuddin Yusuf. Pembunuhan dalam Perspektif Islam, akses 17 November 2013, dari http://aceh.tribunnews.com/2013/05/03/pembunuhan-dalam-perspektif-islam Anonim. Bentuk Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, akses 16 November 2013, dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33206/3/Chapter%20II.pdf

Anonim. How Well Do You Know Your Babysitter? Your Child May be in Danger , akses 16 November 2013, dari http://www.stoparchildabuse.com/Babysitter.pdf Anonim. Pembunuhan dan pasal 338 KUHP, akses 18 November 2013, dari http://sampriste1.blogspot.com/2011/10/pembunuhan-dan-pasal-338kuhp.html#.UophDifKd1I Dr. M. Idris A. Shomad. Pendidikan Anak dalam Rumah Tangga Islam. Jakarta 2005. Hal 50. Ristianto, Edwin. Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga (Tinjauan Hukum Islam terhadap UU No. 23 Tahun 2002), akses 16 November 2013, dari http://digilib.uinsuka.ac.id/5633/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

Salmiah,

Siti.

Child

Abuse,

akses

16

November

2013,

dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1163/1/09E01842.pdf

Ulwan, Abdullah Nasih. Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 338 dan 340 tentang Pembunuhan Wahab, Rochmat. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif, akses 16 November 2013, dari

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,% 20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA(Final).pdf

27

Anda mungkin juga menyukai