Pelindung:
Rektor Institut Injil Indonesia
Dr. Stevri I. Lumintang, DTh, Th.D.
Penasehat:
Dr. Awasuning Manaransyah
Dr. Gunaryo Sudarmanto
Dr. Robert C. Wagey
Dr. Ferdinan S. Manafe
Morris Ph. Takaliuang, Th.D.
Pemimpin Redaksi:
Dr. Erni Takaliuang-Efruan
Dewan Redaksi:
Dr. Maria Hanie E.
Chresty T. Tupamahu, S.Th.
Alamat Redaksi:
Jl. Indragiri No.5 Batu-65301 Jawa Timur
Telp. (0341)591283; Fax. (0341)597974
Email: i3batu@yahoo.co.id
Website: www.i3 batu.ac.id
Diterbitkan
Dep. Multimedia YPPII BATU
Batu – 65312
Jawa Timur
MISSIO ECCLESIAE
Jurnal Institut Injil Indonesia
Edisi No. 4/Th. 4/Juni/2013
Pembaca yang budiman, segala pujian patut kita hsturksn kepada Tuhan kita
Yesus Kristus yang memungkinkan Jurnal “Missio Ecclesiae,” edisi
No.3/Th.4/Februari/2013 bisa mengunjungi para pembaca. Nampaknya terlalu
dekat jarak terbitan edisi sebelumnya (Oktober 2012), tetapi kami memang
berusaha memacu diri untuk menebus kevakuman yang pernah terjadi.
Dalam edisi ketiga ini, diawali dengan pembahasan menarik yang menyoroti
secara kritis terhadap perkembangan teknologi, baik secara positif maupun
negatife, berlandaskan Firman Allah, serta bagaimana tanggung jawab orang
Kristen. Menurut penulis artikel ini, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil
karya manusia sebagai salah satu wujud amanat budaya, yang telah mempengaruhi
manusi, sehingga berkecenderungan hati selalu menghasilkan yang jahat, termasuk
dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Pokok-pokok bahasan menarik lainnya adalah menyoroti tentang kebatinan,
tentang Peraturan Daerah, berdasarkan Firman Allah, dan bagaimana sikap gereja
pada umumnya, serta orang Kristen pada khususnya. Beberapa penulis lain
membahas tentang pokok-pokok teologis dan etika, serta, pastoral konseling.
Kami berharap bahwa Jurnal “Missio Ecclesiae,” edisi kontribusi yang
signifikan, sehingga pembaca diperkaya dengan pokok-pokok bahasan yang
diuraikan di dalamnya, sehingga memiliki wawasan yang lebih luas dalam
pelayanan.
Dengan pertolongan Tuhan, kami akan berusaha untuk menjumpai para
pembaca dalam edisi berikutnya. Tuhan memberkati.
Redaksi
TEKNOLOGI DAN TANGGUNG JAWAB
ORANG KRISTEN
PENDAHULUAN
PENGERTIAN TEKNOLOGI
15
Bnd. A.R. Hall. “Art Technology” dalam Encyclopedia Americana, Vol. 26
(New York: American Cooporation, 1972), 357
16
Bnd. T.S.G. Mulia, Encyclopedia Indonesia (Jakarta), 1324
Selain dari pengertian di berbagai bidang pekerjaan, istilah
teknologi dipakai juga dalam berbagai bidang kesenian, yang sering dipakai
dalam arti kemahiran atau kepandaian, misalnya teknik mengarang, teknik
menari, teknik melukis dan sebagainya. Di bidang olahraga dan pertanian,
teknik juga diartikan dengan kemahiran.17 Kegiatan teknologi adalah
kegiatan mental dan fisik pada manusia (perorangan ataupun kolektif)
untuk mengubah ataupun memanipulasi lingkungan (arbes). Teknologi
adalah suatu ilmu pengetahuan yang dipraktekkan dan merupakan jembatan
penghubung antara ilmu pengetahuan dan teknik. Pada dasarnya, ilmu
pengetahuan dan teknik bukanlah sama dan sebangun. Sebagai
perbandingan antara teknik dengan ilmu pengetahuan, sama dengan
perbandingan antara tabu dan dapat. Di dalam ilmu pengetahuan, yang
primer adalah pengertian mendalam secara teori, sedangkan di dalam
teknik, nilai gunanya, efisiensinyalah yang primer.18
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk
menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Sesuatu hal yang
menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui
dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya.
Oleh karena itu pengetahuan selalu menuntut adanya subyek yang
mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu obyek yang
merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya.
Jadi bisa dikatakan bawa pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap
sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami sesuatu objek
yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami objek
tertentu. Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat
penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya
pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham
filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan
ini apakah berfilsafat a priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik
pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan a
posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif.
Perbandingan lain antara teknik dengan ilmu pengetahuan adalah
bahwa pada zaman dahulu, teknik diartikan sebagai pekerjaan tangan kaum
terpelajar, dan ilmu pengetahuan adalah bagi sarjana yang tak kenal
17
Bnd. Ibid., 1326
18
Bnd. E. Lederer, “Art Technology,” dalam E.R.A. Seligman (Ed.),
Encyclopedia of the Social Sciences. Vol. 13-14 (New York. 1957), 553-559
praktek. Akan tetapi sejak permulaan revolusi industri yang pertama
(pemakaian mesin uap) di Inggris terbentuklah persekutuan antara ilmu
pengetahuan dan teknik, sehingga ilmu pengetahuan dan teknik sangat
saling mempengaruhi. Penemuan teknis ternyata sangat memajukan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah dan sebaliknya, berbagai teori-teori
ilmiah menghasilkan penemuan teknis yang baru. Pada teknologi, aliansi
(persekutuan) antara ilmu pengetahuan dan teknik berjalan bersama-sama
dan berkelanjutan. Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir,
merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan
dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan
dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan
jalan menerapkan pengetahuan yang diperoleh. Proses penemuan dan
penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dahulu hingga
teknologi jaringan komputer sebagai teknologi pada dewasa ini.
Menurut seorang penulis tentang teknik, bahwa perbedaan antara
dahulu dan sekarang, dilukiskannya sebagai berikut: Dahulu seribu
pemecahan untuk seribu soal, sekarang satu pemecahan untuk seribu soal. 19
Pesawat terbang, radio, telpon, televisi, dan sebagainya yang
distandarisasikan atau diharmonisasikan dan hasil persekutuan antara ilmu
pengetahuan dan teknik, sehingga teknologi tidaklah timbul secara
kebetulan saja.
19
Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1966), 85-86
dan Zaman Modern. Tema yang pokok filsafat China adalah masalah
perikemanusiaan (jen). Pembagian secara periodisasi filsafat India adalah
periode Weda, Waracarita, Sutra-sutra, dan Skolastik. Dalam filsafat India
yang penting adalah bagimana manusia bisa berteman dengan dunia, bukan
untuk menguasai dunia. Adapun pada filsafat Islam hanya ada dua periode,
yaitu periode Mutakallimin dan periode filsafat Islam. Untuk sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan di sini pembahasan mengacu ke
pemikiran filsafat di Barat.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban, karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir
manusia dari mite-mite menjadi yang lebih rasional. Pola pikir mite-mite
adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk
menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi
tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi dewa bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun ketika filsafat diperkenalkan, fenomena
alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas
alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan pola pikir tersebut
kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana, karena selama
ini alam ditakuti dan dijauhi, tetapi kemudian didekati bahkan dieksploitasi.
Manusia yang dulunya pasif menghadapi fenomena alam menjadi lebih
proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan
pengkajian. Dari proses inilah ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang
akhirnya dalam bentuk teknologi. Karena itu periode perkembangan filsafat
Yunani merupakan poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak
berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif.
Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, mau tidak mau harus
melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap
periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu
kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu di sini dimulai
dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer.
20
Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, 1996
21
Brouwer, (1982), 6
Orang Yunani tentu berhutang budi kepada bangsa-bangsa lain dalam
menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan dari mereka. Demikianlah ilmu
ukur dan ilmu hitung sebagian berasal dari Mesir dan Babilonia, pasti ada
pengaruhnya dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani.
Namun, andil bagi bangsa-bangsa lain dalam perkembangan ilmu
pengetahuan Yunani tidak boleh dilebih-lebihkan. Orang Yunani telah
mengolah unsur-unsur tadi atas cara yang tidak pernah disangka-sangka
oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Baru pada bangsa Yunani, ilmu
pengetahuan mendapat corak yang sungguh-sungguh ilmiah.
Pada abad ke-6 Sebelum Masehi mulai berkembang suatu
pendekatan yang sama sekali berlainan. Sejak saat itu orang mulai mencari
berbagai jawaban rasional tentang problem yang diajukan oleh alam
semesta. Logos akal budi, rasio mengganti mythos. Dengan demikian
filsafat dilahirkan.
Pada zaman Pra Yunani Kuno, di dunia ilmu pengetahuan dicirikan
berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empiris. Di samping itu
kemampuan berhitung ditempuh dengan cara one to one correspondency
atau mapping process. Contoh cara menghitung hewan yang akan masuk
dan ke luar kandang dengan batu kerikil. Namun pada masa kini manusia
sudah mulai memperhatikan keadaan alam semesta sebagai suatu proses
alam. Dengan demikian lama-kelamaan mereka juga memperhatikan dan
menemukan hal-hal berikut ini: Gugusan bintang di langit sebagai suatu
kesatuan. Gugusan ini kemudian diberi nama misalnya, Ursa Minor, Ursa
Mayor, Pisces, Scorpio dan lain-lain yang dikenal dengan nama zodiak.
Kedudukan matahari dan bulan pada waktu terbit dan tenggelam,
bergerak dalam rangka zodiak tersebut. Lambat laun dikenal pula bintang-
bintang bergerak di antara gugusan yang sudah dikenal tadi, sehingga
ditemukan planet Mercurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus, di samping
matahari dan bulan. Akhirnya dapat pula dihitung waktu bulan kembali
pada bentuknya yang sama antara 28-29 hari. Waktu timbul dan
tenggelamnya matahari di cakrawala yang berpindah-pindah dan
memerlukan kurang lebih 365 hari sebelum kembali ke kedudukan semula.
Ketika matahari timbul tenggelam sebanyak 365 kali, bulan juga
mengalami perubahan sebanyak 12 kali. Berdasarkan hal itu kelak
ditemukan perhitungan kalender. Ditemukan pula gejala alam seperti
gerhana, yang pada masa itu masih dihubungkan dengan mitologi-mitologi
tertentu, sehingga menakutkan banyak orang. 22
22
Rizal Mustansyir, (1996), 33
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada zaman ini ditandai oleh
kemampuan: Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada
pengalaman. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman ini diterima
sebagai fakta dengan sikap receptive mind, keterangan masih dihubungkan
dengan kekuatan magis. Kemampuan menemukan abjad dan sistem
bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke
tingkat abstraksi. Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.23
23
Ibid.
24
Lasiyo dan Yuwono, (1985), 52.
dikatakan oleh Phythagoras, manusia adalah ukuran untuk segala-galanya.
Hal ini ditentang oleh Socrates dengan mengatakan bahwa yang benar dan
yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai yang objektif, yang dijunjung
tinggi oleh semua orang. Akibat ucapannya itu Socrates dihukum mati.
Hasil pemikiran Socrates dapat ditemukan pada muridnya, yaitu Plato.
Plato mengatakan: realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang hanya
terbuka bagi panca indra, dan dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita.
Dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua dunia ide.
Pendapat tersebut dikritik oleh Aristoteles dengan mengatakan
bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret. Ide manusia
manusia tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles adalah filsuf yang
realis, dan sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar
sekali. Sumbangan yang sampai sekarang ini masih dipakai dalam ilmu
pengetahuan adalah mengenai abstraksi, yakni aktivitas rasional di mana
seseorang memperoleh pengetahuan. Ia membagi menjadi tiga abstraksi,
yakni abstraksi fisis (abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan
membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas), abstraksi
matematis (di mana subjek menangkap unsur kuantitatif dengan
menyingkirkan unsur kualitatif), dan metafisis (di mana seseorang
mengadopsi unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-
unsur lain).25 Teori Aristoteles yang cukup terkenal adalah tentang materi
dan bentuk. Keduanya ini merupakan prinsip-prinsip metafisis, materi
adalah prinsip yang tidak ditentukan, sedangkan bentuk adalah prinsip yang
menentukan. Teori ini terkenal dengan sebutan Hylemorfisme. 26
25
Harry Hamersma, (1983)
26
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogjakarta: Kanisius. 1988), 11-16
teknologi modern sudah semakin maju. Penemuan teknis telah dijadikan
hak paten dan dibuat oleh pabrik-pabrik besar dengan mesin secara besar-
besaran dalam jumlah jutaan serta dijual di seluruh dunia, misalnya:
industri-industri besar seperti tekstil, telpon, radio, mobil, makanan yang
diawetkan, dan sebagainya. Masyarakat modern tanpa gejala produksi
massa sebagai hasil dari teknologi modern agak sukar dibayangkan.
Gejala Otomatisasi
Suatu ciri yang khas pada abad teknik ini ialah gejala automation
atau otomatisasi/mekanisasi (membuat mesin-mesin atau pesawat-pesawat
yang berjalan otomatis). Gejala ini berpengaruh besar terhadap kehidupan
manusia di abad modern. Manusia sungguh tidak penyabar lagi. Manusia
selalu menghendaki yang serba cepat, otomatis, supersonic dan seterusnya.
Hal ini tercermin dalam segi moral, manusia ingin cepat kaya, bekerja
seperti robot dan komputer. Untuk itu bila perlu ada jalan pintas, melalui:
korupsi, penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya.
Sikap demikian juga tercermin dalam kehidupan rohaniah. Ada hubungan
yang sangat erat antara proses mekanisasi pada umumnya dan gejala
automation ini pada khususnya. Mekanisasi ialah penggantian tenaga
manusia dengan alat mesin. Otomatisasi ialah penggantian pekerjaan
lainnya daripada manusia, seperti mengukur, mengatur, mengontrol, dan
melayani dengan mesin atau otomatis.27
Jadi, mengotomatisasikan ialah mengemudikan atau mengontrol
jalannya mesin (pesawat) dengan mesin, tidak dengan manusia, misalnya
sentral-sentral atau pusat telpon otomatis, mesin-mesin hitung elektronik,
pilot otomatis (autopilot), penerbangan otomatis tanpa penerbang.
27
Bnd. “Art. Automation” dalam I.J. Gelb dan J.M. Weels, The Work Book
Encyclopedia, Vol. I (USA: 1968), 916-919
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa orang mendapatkan sesuatu penemuan
teknis tanpa mengetahui prinsip-prinsip teoritis.
Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang berasal
dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu
mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan
sistematik, dalam bahasa Jerman wissenchaft.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian
aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistimatis yang
menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.28
Aktivitas
Ilmu
Metode Pengetahuan
28
The Liang Gie, Konsepsi Tentang Ilmu (Yogjakarta: Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi, 1987)
wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain. Yang berkaitan sengan
aneka alat, meliputi: timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lain-lain.
Sejak permulaan revolusi industri pertama (mesin uap) terbentuklah
persekutuan antara ilmu pengetahuan dan teknik, sehingga ilmu
pengetahuan dan teknik saling mempengaruhi dan semakin mempunyai
hubungan erat, mempunyai ciri khas teknologi (teknik) modern dewasa ini.
Penemuan-penemuan teknis sangat mempengaruhi dan menakjubkan dalam
penyelidikan ilmiah, dan sebaliknya berbagai teori ilmiah menghasilkan
penemuan-penemuan teknis baru.29 Kombinasi dan kerjasama antara ilmu
pengetahuan dan teknik itulah yang disebut dengan teknologi. Pada
teknologi jelas terlihat aliansi atau persekutuan antara ilmu pengetahuan
dan teknik. Seorang insinyur modern yang terdidik secara ilmiah adalah
individu yang dalam pekerjaannya membuat teknik dan ilmu pengetahuan
berjalan bersama-sama. Terutama dalam bidang kimia dan fisika (Ilmu
alam) dalam teknologi modern, hubungan antara teknik dan ilmu
pengetahuan itu nyata dan semakin erat sekali.
Ilmu pengetahuan adalah suatu disiplin yng menyelidiki secara
rasional dan kenyataan, umpamanya ilmu berhitung, yaitu suatu disiplin
ilmu yang menyelidiki segala yang berhubungan dengan angka-angka. Ilmu
alam ialah suatu disiplin yang menyelidiki tentang alam. Teknologi pada
zaman dahulu masih dalam taraf terbatas dan rendah sekali, di mana seribu
pemecahan untuk seribu soal. Di zaman teknologi modern ini penemuan
insidentil sebagian besar telah lampau. Kini zaman penyelidikan ilmiah
sudah secara sistematis, dan usaha sistematis pula untuk menemukan
pemecahan-pemecahan teknis guna mengaplikasikan atau mempraktekkan
pendapat-pendapat teoritis secara menakjubkan, yang menjadi ciri
teknologi modern dewasa ini. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah
yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan
pengetahuan yang baru, atau pengetahuan yang telah ada disempurnakan,
sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat
kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang
sistematis.
Adapun menurut Bahm, definisi ilmu pengetahuan melibatkan
minimal enam macam komponen, yaitu: masalah (problem), sikap
(attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution),
dan pengaruh (effects).30
29
Bnd. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 85.
30
Bahm dalam Koento Wibisono, (1997).
Masalah (Problem)
Ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi untuk menunjukkan
bahwa suatu masalah bersifat scientific, yaitu: communicability berarti
masalah adalah untuk dikomunikasikan. The scientific attitude paling tidak
memenuhi karakteristik curiosity, speculativeness, willingness to the
objective. The scientific method berarti masalah harus dapat diuji (testable).
Sikap (Attitude)
Karakteristik yang harus dipenuhi antara lain: 1) Curiosity, berarti
adanya rasa ingin tahu tentang bagaimana sesuatu itu ada, bagaimana
sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan sesuatu
yang lain, 2) Speculativeness. Scientist harus mempunyai usaha dan hasrat
untuk mencoba memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang
diusulkan, 3) Willingness to be objective, hasrat dan usaha untuk bersikap
dan bertindak objektif merupakan hal yang penting bagi seorang scientis, 4)
Willingness to suspend judgement, ini berarti bahwa seorang scientist
dituntut untuk bertindak bijaksana dan sabar dalam mengadakan observasi,
serta bersikap bijaksana dalam menentukan kebijakan berdasarkan bukti-
bukti yang dikumpulkan karena apa yang diketemukan masih serba tentatif.
Metode (Method)
Sifat scientific method berkenaan dengan hipotesis yang kemudian
diuji. Esensi science terletak pada metodenya. Science sebagai teori,
merupakan sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode
scientific, para scientist tidak selalu memiliki ide yang (pasti) yang dapat
ditunjukkan sebagai sesuatu yang absolut atau mutlak.
Aktivitas (Activity)
Science adalah suatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist,
melalui apa yang disebut scientific research, terdiri atas dua aspek, yaitu
individual dan sosial. Dari aspek individual, science adalah aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang. Adapun dari aspek sosial, science has become a
vast institutional undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-
orang elite, dan science merupakan a never ending journey, atau a never
ending effort.
Kesimpulan (Conclusions)
Science lebih sering dipahami sebagai a body of knowledge. Body
dari ide-ide ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan merupakan
pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan
dari science, yang diakhiri dengan pembenaran dari sikap, metode, dan
aktivitas.
Pengaruh (Effect)
Sebagaian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gilirannya
memberi berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua
penekanan, yaitu pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, melalui apa
yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap
atau dalam masyarakat, serta membudayakan menjadi berbagai macam
nilai.
31
Bnd. F.H. Sianipar, Satu Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), 76
32
Bnd. M. Sastrapratedja, “System Teknokratis; Cenderung Kepada Peningkatan
Kekayaan Ekonomis serta Kekuasaan Politik,” dalam Kompas, 2 September 1980, 1, 9
Dengan ribuan cara teknik di dunia modern ini terjalin dalam hidup dan
nasib negara-negara, bangsa-bangsa, ideologi, sistem budaya masyarakat,
dan lain-lain.
Kadang-kadang para cendikiawan itu sama sekali tidak tahu betapa
besar pengaruh penemuan mereka pada ekonomi dunia, yang telah menjadi
ciri dan mewarnai teknologi modern dewasa ini. Seringkali mereka itu
adalah orang-orang yang naif, hampir tidak mengetahui pentingnya
penemuan di bidang ekonomi. Pendapat-pendapat lainnya seperti Thomas
Alva Edison dan Henry Ford tahu benar betapa pentingnya pendapat
mereka dalam kehidupan manusia dan pentingnya peranan teknologi
terhadap ekonomi dunia, sebaliknya falsafah ekonomi telah mewarnai atau
mempunyai ciri khas perkembangan teknologi modern dewasa ini.
Mengutip Jacques Ellul dalam bukunya yang terkenal The
Technological Society, M. Sastrapratedja menyebutkan, kini teknik telah
menguasai seluruh ekonomi dan kebudayaan. Teknik berkembang menurut
prinsip-prinsipnya sendiri. Otonomi teknik adalah ciri khas teknologi
modern. Dalam situasi ini, timbul masalah-masalah seperti moralitas yang
terancam oleh pertumbuhan teknik, penindasan hak atau nilai-nilai
manusiawi yang semakin diremehkan. Manusia telah dijadikan atau
menjadi budak-budak teknologi akibat jiwa ekonomi yang telah mewarnai
dan menguasai pikiran manusia yang terlibat dalam pengusahaan teknologi
modern dewasa ini. Kuasa, kekayaan, konsentrasi kerja yang diakibatkan
oleh spesialisasi keahlian yang menjadi ciri khas teknologi modern, juga
menuntut adanya konsentrasi pengawasan dan control di bidang ekonomi,
politik, informasi oleh kelompok-kelompok teknologi tersebut. Maka
hubungan teknologi dan ekonomi dunia dewasa ini tidak dapat lagi
disangkal telah mewarnai dan menguasai pengembangan ilmu dan
teknologi, atau dengan kata lain telah menjadi ciri-ciri teknologi modern.
Ciri-ciri dari teknologi modern cenderung terhadap perimbangan
dan pertentangan yang membinasakan, mengakibatkan manusia semakin
terancam bahaya, resah dan putus asa. Dalam peperangan, ilmu dan
teknologi menyebabkan manusia saling meracuni, membunuh dan saling
menjatuhkan. Dapat dikatakan ciri-ciri teknologi pada zaman modern ini, di
samping hakekatnya yang menguntungkan umat manusia, hal itu tidak
dapat disangkal, namun juga dapat membawa pengaruh yang buruk dan
fatal terhadap hidup manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Ada dua
pengaruh positif yang menentukan dalam pengembangan teknologi pada
media komunikasi, misalnya pada televisi masyarakat membutuhkan
hiburan dan informasi, sedangkan pemerintah membutuhkan informasi
untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam mengembangkan kehidupan
bangsa.
Ciri-ciri teknologi modern memuat tiga ciri filsafat sebagai dasarnya
yang bersifat deskriptif, kritik atau analitik, evaluatik atau normatif,
spekulatif, dan sistematik.
Menyeluruh
Artinya, pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan
hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pandangan kefilsafatan
ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang
lain, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan tujuan hidup.
Mendasar
Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang
fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya sehingga dapat
dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya
berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi tembus sampai ke dalamannya.
Spekulatif
Artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi
pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai
dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun
demikian tidak berarti hasil pemikiran kefisafatan itu meragukan, karena
tidak mencapai keselesaian.
33
Bnd. W. Lamp, Tafsiran Kejadian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964), 78-86
34
Bnd. Ibid., 54-55, 101-105
mengusahakan, dan mengerjakan bumi ini dengan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Maka tugas itu telah dimulai di taman Eden.
Taman Eden adalah awal daripada suatu keadaan alam. Allah telah
berfirman bahwa manusia akan mengusahakan dan mengerjakan bumi yang
dimulai dari Taman Eden. Terlukislah seakan-akan di dalam angan-angan
manusia sepanjang sejarah atas perintah Allah untuk mengusahakan segala
sesuatu, baik mencangkul, membajak, memalu, memarut, hingga pesawat
radar dan mesin elektronik, bahkan juga alat-alat untuk melukis, alat-alat
musik, laboratorium kimia dan lain-lain.
Di dalam Alkitab sangat ditekankan, bahwa tugas itu suatu tugas
yang langsung dari Allah kepada manusia. Hal itu mempunyai arti yang
sangat penting bagi etika Kristen. Barangsiapa menolak bekerja dalam
tugas ini, adalah orang yang melalaikan kewajiban, orang yang mogok
kerja, pembolos atau desersi dari dinas pengabdian kepada Allah, hamba
yang malas, karena menghindarkan diri tugas panggilannya. 35
Allah yang hidup, yang menyatakan diri dalam Alkitab, adalah
Allah yang memberikan tugas dan yang menciptakan manusia dengan mata
yang dapat melihat, otak yang dapat berpikir, tangan yang dapat
membangun, supaya manusia atas nama Tuhan, menaklukkan dunia dan
segala yang ada di dalamnya dengan batas-batas tertentu.
Allah yang dikenal dalam Alkitab adalah Allah yang menjadi
sumber terang dan pengetahuan. Roh Allah menyelidiki perkara Allah yang
dalam, menerangi juga roh dan akal manusia serta segala yang dijanjikan
oleh Allah. Allah telah memberi roh yang dari Allah kepada manusia, sebab
karena roh itulah manusia dapat menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal
yang tersembunyi di dalam diri Allah sendiri (1Kor 2:10). Dalam menggali
ilmu pengetahuan, manusia harus terlebih dahulu meminta bimbingan Roh
Kudus, dengan demikian dapat bekerja sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia memperoleh tugas utuk memeriksa, menyelidiki, dan
mengelola segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini (Pkh 1:13), sebagai
seorang musafir yang berjuang, memperhatikan, meneliti, dan meneruskan
perjalanannya di atas bumi ini.
Di dalam berbagai mitologi kekafiran, kerapkali digambarkan
tentang dewa-dewi yang hendak mencegah supaya pengetahuan dan
pengertian jangan sampai dimiliki manusia. Di antara dewa-dewi yang
hendak mencegah itu kerapkali digambarkan tokoh seorang dewa yang
sangat licik, bahkan lebih licik dari dewa-dewa lainnya dan membuka
35
Bnd. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 20-21
rahasia dewa-dewa kepada manusia.36 Sehingga tidak ada usaha manusia
untuk menyelidiki segala sesuatu untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dengan cara berpikir animistis itu, banyak orang menyerah terhadap alam
(naturalism, fatalism), takut mendekati, menyelidiki, menguasai, apalagi
bertindak untuk berbuat sesuatu bersifat ilmiah. Lalu merelasikan diri dan
berlindung di bawah kekuatan mistik dan magic. Tetapi Allah di dalam
Yesus Kristus bukanlah seperti dewa-dewa itu, yang hendak
meyembunyikan pengetahuan bagi manusia, bukan pula seperti
kepercayaan animisme yang takut mendekati, menyelidiki, menguasai
bumi, sehingga berserah terhadap kehendak alam, melainkan justru hanya
Dia-lah Allah yang memberikan tugas kepada manusia untuk menyelidiki
segala sesuatu dan menguasainya. Di dalam ringkasan Dasa Titah yang
tercantum dalam Matius 22:37, “Kasihilah Tuhan Allahmu; dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu (bnd. Ul
6:5).” Tuhan tidak meminta kepada manusia untuk menon-aktifkan atau
menyisihkan akal budinya, melainkan harus menggunakannya dengan
penyerahan dan ketekunan sepenuhnya. 37
Di dalam tugas itu sangat erat hubungannya dengan hal mengenal
dan mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Di dalam bahasa Ibrani istilah
itu disebut dengan yada (tahu, kenal); dan daath (pengetahuan); epistame
(tahu, mengerti); theorein (nampak, melihat). Sehingga dengan tepat dalam
Alkitab, segala yang berhubungan dengan tahu selalu dihubungkan dengan
mengaku, percaya kepada Allah adalah khalik langit dan bumi. Dalam
perkataan yada selalu tersimpul hubungan yang diketahui atau dikenal,
yakni mengenal Dia dalam segala yang diciptakan-Nya dalam kasih. Itulah
juga yang dimaksudkan dalam Alkitab: “Pengetahuan tanpa kasih tiada
berguna (1Kor 13:2),” bahwa Allah akan mempermalukan akal orang yang
berakal, yang mengumpulkan pengetahuan dan menyelidiki segala sesuatu
tanpa terang kasih Allah (Pkh 1:18).
Dalam penyelidikan itu, manusia seharusnya tidak hanya mengenal
dan mengakui kekuasaan, kekudusan serta murka Allah, tetapi harus
mengenal dan mengakui kemurahan, belas kasihan, dan anugerah Allah. 38
Segala yang diciptakan Allah adalah untuk manusia, untuk dikenal,
diselidiki, dan dipahami oleh manusia dan seluruh karya dan kerajaan Allah
(bnd. Mzm 2). Hal ini berarti di dalam menyelidiki alam atau dunia ini,
penting bidang ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Kristen, baik ilmu
36
Bnd. Ibid., 64
37
Bnd. J. Verkuyl. Etika Kristen dan..., 64-65
38
Bnd. G. Kittle. Theological Dictionary of The New Testament, Vol.1 (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1977), 689-697
pengetahuan yang hasilnya secara langsung dapat dimanfaatkan (applied
science), selain teknologi misalnya: Biologi, Ekonomi, Kimia, Ilmu
Kedokteran, maupun Ilmu Pengetahuan belum secara langsung hasilnya
dapat dimanfaatkan (Indirect applied scince) seperti: Sosiologi, Filosofi,
Antropologi, Etnologi dan sebagainya. Tidak dapat disangkal bahwa
applied scince terutama teknologi hasilnya lebih langsung menyangkut
hidup manusia, bagaimanapun tingkat peradaban manusia itu tanpa
meniadakan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Walaupun manusia banyak mengalami rintangan dan hambatan, ia
tetap memperjuangkan dan memajukannya sesuai dengan kebenaran yang
dilihat, dipelajari dan dipraktekkan, bahkan ada yang bersedia sampai
kehilangan nyawa (mis. Galileo: 1564-1642) hanya mempertahankan
kebenaran ilmu pengetahuan. Ternyata semua ilmu pengetahuan yang
diperolehnya telah dimanfaatkan oleh, dan untuk manusia itu sendiri.
Memang pekerjaan untuk berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, adalah suatu pekerjaan yang berat, sungguh melelahkan dan akan
sia-sia belaka apabila dilaksanakan tanpa terang yang datang dari Allah.
Sehingga bukan berarti untuk menakut-nakuti manusia terhadap ilmu
pengetahuan, melainkan mendorongnya dengan semangat roh dan
kebenaran yang datang dari Allah.
Orang Kristen tidak patut takut, melainkan hendaknya berusaha
memajukan dan mendorong perkembangan ilmu dan teknologi, demikian
pernah dipesankan oleh Max Scheler.39 Tuhan tidak hanya memberi tugas
kepada manusia supaya menyelidiki segala yang ada dan telah dijadikan
oleh Tuhan, tetapi juga tugas manusia supaya mengakui kekhususan tiap-
tiap lapangan, yang penuh dengan corak ragam dan variasi itu. Barangsiapa
tidak memandang ilmu dan teknologi sebagai mandat, tugas dan tanggung
jawab dari Allah di tengah-tengah alam ciptaan “Bengkel Tuhan” di dunia
ini, maka terancamlah dia oleh suatu bahaya, yakni mempermutlak suatu
bidang dan menjadi buta terhadap keanekaragaman dan kekayaan alam
ciptaan Tuhan. Maka manusia dalam menyelidiki ilmu dan teknologi
haruslah berpangkal pada kepercayaan Sang Khalik dengan penuh hikmat,
dan mengakui kekhususan tiap-tiap bidang dari kekayaan alam ciptaan
Tuhan itu. Allah memerintahkan supaya manusia bekerja, berkembang
biak, memenuhi dan menguasai bumi (bnd. Kej 1:22). Selama manusia
hidup, selama itulah dia terpanggil untuk berkerja, mengembangkan dan
meningkatkan bakat atau talenta yang dianugerahkan Tuhan kepadanya,
sesuai dengan firman, hikmat dan kebenaran Allah dalam kejujuran yang
39
Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 66
datang dari Allah, yaitu untuk kebahagiaan manusia dengan cara
membagikan kecerdasan kepada yang muda, dan kebutuhan kepada yang
tidak berkecukupan (bnd. Ams 1:1-14).
Dalam situasi perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat dewasa
ini, nampak banyak perubahan yang menonjol di kalangan masyarakat,
terutama bila ditinjau dari tingkah laku manusia, di mana seharusnya orang
Kristen tidak boleh berdiam diri, melainkan harus bersuara dan mengambil
peran untuk menempatkan diri dalam melakukan tugas kesaksiannya.
Manusia harus membuka hati kepada suara Tuhan, bukan kepada suara Iblis
dengan kerakusan dan egoisme serta kebenciannya, termasuk di bidang
teknologi. Karena itu dalam kemajuan teknologi dunia sekarang ini,
manusia dituntut untuk belajar keras bergumul dan bersaksi, berjuang dan
bekerja keras, untuk menyatakan kerajaan Allah di dunia ini. Sebagai orang
Kristen di mana pun berada dan bekerja, orang Kristen wajib bertanggung
jawab, mengabdi di dalam kesungguhan dan keberanian untuk
menghancurkan kekuasaan Setan (bnd. 1Yoh 3:8; Kol 1:13). Akibat
perkembangan dunia yang sungguh telah pesat itu, manusia juga harus
memiliki keseimbangan rohani dan jasmani. Peranan orang Kristen semakin
penting, untuk saling membangun maupun bekerja, guna membangun
manusia seutuhnya melalui keseimbangan, keserasian, keselarasan material
dan spiritual dalam memelihara perdamaian dan ketertiban dunia.
Sebagaimana D.H Assegaff mengemukakan, bahwa kemajuan teknologi
dan pengaruhnya terhadap dunia sekarang merupakan kenyataan yang tidak
bisa dihindari dan ditolak, sehingga manusia harus turut berpatisipasi,
mengarahkan, menguasai dan memanfaatkan sesuai dengan kehendak
Tuhan dan kesejahteraan umat manusia.
Untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam menunaikan
tugas usaha pengembangan ilmu dan teknologi, baik bagi para teknokrat,
maupun usahawan, buruh, pemerintah dan juga orang-orang yang turut
ambil bagian dalam ilmu dan teknologi, harus selalu mengingat syarat
pokok keagamaan dan kesusilaan yang dituntut oleh Tuhan dari manusia
dalam mengusahakan dan mengembangkan ilmu dan teknologi itu, antara
lain sebagai berikut.
40
Bnd. G.A. Batrick, The Interpretar’s Bible, Vol. IV (New York: 1955), 784-785
41
Bnd. M. Sastrapratedja. Op.Cit, 1, 4
Sikap Rendah Hati dan Menyembah Pencipta
Syarat keagamaan dan kesusilaan yang perlu dipertahankan dalam
bidang ilmu dan teknologi ialah rendah hati, dan tidak sombong. Karena
tidak ada lapangan kegiatan manusia yang lebih mudah diperalat oleh
manusia dengan hybris (kesombongan) seperti pada lapangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal setiap manusia yang berusaha dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus secara sadar dan mengakui
secara jujur dan rendah hati, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
dapat memecahkan soal-soal yang terdalam dari Allah. Dari diri sendiri,
ilmu pengetahuan dan orang berusaha di lapangan itu tidak dapat menjawab
pertanaan: Darimana, sebab apa dan untuk apa ilmu pengetahuan dan
teknologi itu dikembangkan? Karena baik ilmu dan teknologi serta orang
yang berkecimpung di lapangan tersebut, semuanya berasal dan atas kuasa
Tuhan.
Untuk itu para teknokrat dan yang berkecimpung di dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, wajib juga untuk tetap berdoa, meminta
bimbingan dari Tuhan, agar di dalam usaha dan perjuangannya tidak
mengarah kepada kesombongan dan kecongkakan hati, melainkan untuk
sembah puji bagi Allah. Karena tak dapat disangkal banyak orang yang
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpangkal
pada kepercayaan kepada Tuhan, telah membuat ruangan kerjanya atau
laboratorium mereka menjadi ruangan untuk berdoa, di mana tak lupa untuk
memohon pengampunan dan sembah puji kepada Tuhan. Karena itu
tetaplah: Ilmu pengetahuan dan teknologi jika dimulai dengan Allah,
berjalan terus dengan ketaatan kepada Allah, rendah hati, jujur, adil dan
benar, ketekunan dalam doa, yang semuanya dirangkum dalam kasih. Maka
tidak boleh tidak semuanya akan membawa berkat kepada manusia, dan
yang berakhir pada sembah puji kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang
layak dipuji untuk selama-lamanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bersejarah (histories) dianggap sebagai bagian
kesinambungan dan terjemahan penjabaran inti Creation Dei dari dunia ini,
yang sekaligus sebagai tugas dan tanggung jawab orang Kristen atau
manusia dari Allah.
ALIRAN KEBATINAN DI PULAU JAWA DAN
PENDEKATAN IMAN KRISTEN
CECILIA ILONA
PENDAHULUAN
Hardapusara
1
Phil Parshall, Bridges to Islam: A Christian Perspective on Folk Islam (untuk
kalangan sendiri), 16
2
S. De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogjakarta: Yayasan
Kanisius, 1976), 11
Hardapusara adalah yang tertua di antara kelima gerakan yang
terbesar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra,
seorang petani desa Kemanukan dekat Purworejo. Ia konon mendapatkan
ilmu dari menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula yang disebut
kawruh kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula-mula adalah seorang
priyayi dari Purworejo dan beberapa kota lain di daerah Bagelan.
Organisasi ini dahulu pernah berkembang dan mempunyai cabang-
cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Jakarta.
Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberapa ribu orang. Ajaran-
ajarannya termaktub dalam dua buah buku yang oleh para pengikutnya
sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.
Sapta Darma
Sapta Darma merupakan yang termuda dari kelima gerakan
kebatinan yang terbesar di Jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama
Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri
Gutomo. Ia berasal dari desa Keplakan dekat Pare, Jawa Timur. Berbeda
dengan keempat organisasi yang lain, Sapta Darma beranggotakan orang-
orang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di
kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semuanya
priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah Kitab Pewarah Sapta Darma.
Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di Pulau Jawa, namun
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan
tempat di mana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang
terpenting. Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan di sana; lima di
antaranya dengan anggota sebanyak antara 30-70 orang, tetapi ada satu
yang anggotanya sekitar 500 orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya
adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat di kota-kota lain
seperti Jakarta, Yogjakarta, Madiun, Kediri dan sebagainya.3
Kata kebatinan berasal dari kata Arab batin yang berarti: bagian
dalam, dalam hati, tersembunyi dan terahasia. Kebatinan Jawa seperti yang
diajarkan dan dipraktikkan oleh orang Jawa, merupakan pengolahan
terhadap bahan kebatinan yang datang dari luar Jawa yaitu kekayaan-
kekayaan rohani di dalam agama Siwa dan Buddha yang dibawa oleh
3
Jong, Salah Satu Sikap..., 10-12
bangsa India serta agama Islam yang mendapat pengikut di Pulau Jawa
pada abad ke 15 Masehi.
Agama Islam yang datang di Indonesia ini dibawa oleh para
pedagang dari Gujarat sehingga agama itu sudah dipengaruhi oleh aliran
kebatinan di India. Hanya ada dua buku Islam yang berasal dari abad ke-16
M, yaitu:
Pertama, Een Javaansch Geschrift uit de 16de eeuw (sebuah
kesusasteraan Jawa abad ke-16 yang membicarakan tujuan tertinggi dari
kebatinan, yaitu kesatuan dengan Allah, yang juga dihubungkan dengan
cara hidup etis. Diajarkan di sini bahwa ada tiga pangkat hidup keagamaan
yaitu syari’a, tariqa dan haqiqa. Mengenai arti dari ketiga istilah ini akan
dijelaskan dalam bagian lain dari tulisan ini.
Kedua, Het Boek van Bonang (Buku Bonang) yang antara lain
mengajarkan bahwa Allah adalah esa, tanpa ada yang menyamainya.
Ajaran kebatinan Islam yang demikian itu dipertahankan oleh orang
Jawa sampai berabad-abad lamanya. Hal ini mungkin sekali disebabkan
oleh karakteristik orang Jawa yang mempunyai kesadaran kebudayaan yang
besar (cultural self-consciousness), bahkan menurut Anderson, toleransi
orang Jawa yang terkenal itu sebenarnya didasari oleh kebanggaan akan
kesadaran kebudayaan ini, sehingga hampir segala sesuatu ditolerir, asalkan
dapat dijelaskan atau disesuaikan dengan sikap hidup orang Jawa.4
Pada abad ke 19 terdapat dua buah buku pula yaitu Serat Wirid dan
Serat Centini yang mengungkapkan gagasan mengenai kebatinan Jawa.
Rangkuman dari pengajaran tersebut adalah:
Pertama, Allah sebagai Zat yang Mutlak, di dalam keadaannya yang
semula adalah kosong yaitu kosong yang sejati, yang keadaannya pasti
(tidak berubah), tidak dijadikan, tak berawal dan tak berakhir. Penguraian
tentang Allah ini lebih mendekati ajaran agama Buddha tentang sunyata.
Kedua, Allah sebagai Zat yang Mutlak berdiam di dalam diri
manusia, yaitu di bagian terdalam dari manusia, yang disebut atma, sejajar
dengan atman di dalam agama Hindu.
Ketiga, sebagai Zat Mutlak, segala sesuatu mengalir ke luar dari
pada-Nya, jadi proses penjadian manusia dipandang sebagai emanasi dari
sumbernya yaitu Zat Tuhan. Ajaran ini seperti ajaran Srti dalam agama
Hindu, bahwa dari Brahma sebagai sumber, mengalir segala sesuatu.
Keempat, manusia sempurna adalah manusia yang sadar akan
keadaannya yang sebenarnya, manusia yang kenal akan asal-usulnya dan
4
Niels Mulder, Mysticism & Everyday Life in Contemporary Java (Singapore:
University Press, 1983), 11
tujuan hidupnya, manusia yang telah mengalami kesatuan zat dengan Allah,
yang dengannya ia dapat mempersatukan pada dirinya segala kuasa di
dunia yang tampak dan yang tidak tampak. Hasilnya ialah bahwa manusia
mendapatkan kekuatan gaib yang adikodrati (supernatural), yang
dengannya ia dapat melakukan hal-hal yang melebihi orang biasa. Tak ada
senjata yang dapat melukainya, ia dapat menyembuhkan orang sakit, dapat
berhubungan dengan roh dan sebagainya. Segala sesuatu mungkin baginya,
sebab segala sesuatu ditaklukkan kepadanya. Manusia sempurna memiliki
juga sifat Allah.
Penulis teringat bahwa pernah seseorang yang mempelajari
kebatinan mengatakan: “segala sesuatu berpangkal pada batin. Kalau kita
terus menerus di dalam batin menghendaki sesuatu secara sungguh-
sungguh, bahkan misalnya menghendaki kematian seseorang, maka dengan
kekuatan batin kita, keinginan itu dapat terpenuhi.”
Selanjutnya ajaran ini juga mengemukakan bahwa manusia
sempurna sanggup pula menggulung keadaannya sendiri, dengan tujuan
untuk dikembalikan kepada asalnya, yaitu pada saat ia meninggalkan dunia
ini. Ia adalah Juruselamat-nya sendiri, sekalipun ia tak bisa menyelamatkan
manusia lain.
Kelima, jika manusia sempurna sudah kembali kepada asalnya, ia
menjadi sama dengan Allah, yaitu menjadi meliputi serta menyelami segala
sesuatu yang dijelmakan.
Perlu diketahui bahwa para murid yang mempelajari ilmu kebatinan
selalu harus mengucapkan lafal atau dalil yang pada hakekatnya adalah
mantera-mantera, yang jika diucapkan dengan benar menjadi daya
kekuasaan atau kuasa yang bekerja secara tersembunyi, yang bisa
menghasilkan apa yang dikehendaki.
Mereka juga harus menjalankan latihan pernapasan yang tidak
mudah pelaksanaannya, tetapi ada instruksi mengenai cara melakukannya.
Latihan pernapasan ini merupakan dasar untuk meditasi dan di dalam
meditasi inilah mereka menerima kuasa-kuasa yang besar itu. Latihan
pernapasan ini mengingatkan kepada ajaran agama Hindu dan Buddha, di
mana latihan pernapasan juga berperanan penting.
5
Mulder, Mysticism & Everyday Life..., 20
penindasan yang pahit pada zaman penjajahan, diberi harapan baru akan
suatu hidup yang lebih baik, sesudah kemerdekaan mereka diproklamirkan
pada tahun 1945. Akan tetapi yang mereka lihat justru kemerosotan moral
yang mengecewakan, dan agama-agama yang ada pada waktu itu, baik
Kristen, Katolik, Islam dan lain-lainnya tidak membuktikan menjadi suatu
benteng kekuatan moral.
Padahal bangsa Indonesia sedang mencari azas hidup yang baru
sebagai landasan untuk membangun struktur kehidupan manusia Indonesia.
Maka timbullah bermacam-macam aliran kebatinan yang selalu menyebut
sebagai tujuannya: untuk menyumbangkan usaha bagi pembangunan negara
dengan mengajukan budi luhur. Hal ini ditegaskan oleh Badan Kongres
Kebatinan Indonesia yang mengemukakan sebagai azas dan tujuannya:
“B.K.K.I. berazaskan KeTuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
berdasarkan pedoman: Menunaikan kewajiban, menjauhkan kepentingan
diri sendiri, untuk kebahagiaan sesama (sepi ing pamrih – rame ing gawe
untuk memayu hayuning bawono) dengan tujuan:
Pertama, membuka jalan Kesunyatan yang menuju ke arah
kesempurnaan dan kebahagiaan hidup lahir batin.
Kedua, dengan rasa cinta kasih hidup damai bergotong-royong
dengan segala golongan, tidak memandang Bangsa, Aliran, Agama
dan/atau Kepercayaan.
Ketiga, untuk kesejahteraan umat manusia, membangkitkan budi
pekerti luhur dan membangunkan jiwa yang suci murni, agar supaya
dengan memakai dasar kebatinan di segala lapangan tercapailah
kesempurnaan.”6
B.K.K.I. juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki
antara agama dan kebatinan. Agama menekankan upacara, sedangkan
kebatinan menekankan pengalaman batin dan kesempurnaan manusia, oleh
karenanya mereka menginginkan agar aliran-aliran kepercayaan/kebatinan
diakui dan mendapat status seperti agama resmi, sebagaimana agama Islam
dan Kristen.
Para ahli kebatinan berpendapat bahwa Allah ada di hati manusia,
dan hidup seharusnya merupakan doa yang tak henti-hentinya kepada yang
Mahakuasa. Jadi mereka tidak merasakan adanya suatu keperluan untuk
berdoa kepada Allah lima kali sehari maupun untuk berdoa di Gereja.
Demikian pula mereka tidak mengerti mengapa doa-doa itu harus
dikumandangkan melalui pengeras suara di mesjid-mesjid. Bagi mereka,
Allah bukannya hakim yang jauh yang tak dapat didekati, justru sebaliknya
6
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 9
Allah lebih dekat kepada manusia dari pada segala sesuatu yang lain,
karena manusia pada hakekatnya adalah bagian dari Yang Kudus.
Jadi, di sini kita dapat melihat bahwa ajaran Kebatinan itu
mempunyai sifat antroposentris, segalanya berkisar pada manusia. Manusia
terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah. Bagian batiniah ialah rohnya,
sukma atau pribadinya, dan bagian inilah yang mempunyai tabiat ilahi
karena keluar dari pada-Nya sebagai bayangan Tuhan. Bagian lahiriah dari
diri manusia ialah badannya dengan segala hawa nafsu. Badan inilah
merupakan wilayah kerajaan rohnya. Itulah dunia kecil atau jagad cilik
yang harus dikuasainya.
Bila manusia dapat menguasai dunia kecil ini, yakni dirinya sendiri,
maka dia telah menjadi seorang ksatrya pinandita, seorang raja pahlawan
merangkap pendeta, seorang pujangga yang maklum akan hal-hal rahasia.
Dalam dirinya telah tercapai kesatuan: seperti batinnya mempunyai asal-
usul ilahi, demikian pun badannya mengalami proses spiritualisasi,
berkembang menjadi rohani.
Manusia yang telah berkembang secara mental, dapat membebaskan
diri dari mencari keuntungan sendiri dan akan bekerja dengan sepi ing
pamrih, ambisi pribadi harus diatasi. Karena sikap hidupnya yang keras,
tanpa mencari keuntungan, manusia itu memajukan dunia, jagad gedhe.
7
Mulder, Mysticism & Everyday Life..., 11
8
Ini adalah animisme yang diintegrasikan ke dalam sistem meditasi gaya Budha
terlalu muda di mana mereka belum sanggup menguasai disiplin atas tubuh
dan jiwa serta dianjurkan pula bahwa mereka menggabungkan diri pada
seorang guru.
Guru ini berfungsi sebagai perantara antara pengikutnya dan kuasa-
kuasa misterius, antara roh-roh dan Allah. Segala nasihat para guru diterima
sebagai ‘sabda pandita ratu’ (words of a wise king). Guru tidak pernah
boleh meminta upah atas pelayanannya, dia harus mencari sendiri nafkah
hidupnya, tetapi para pengikutnya boleh memberi makanan, rokok, pusaka,
sekedar menunjukkan rasa hormat pada sang guru.
9
De Jong, Salah Satu Sikap..., 11
sebagai: mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-
lembutan, kesabaran dan sebagainya.
Jadi, menurut arti Kristiani, rila, narima dan sabar bukannya
meninggalkan dunia atau menjauhi dunia melainkan percaya pada
bimbingan Tuhan di tengah-tengah dunia ini, dan juga dalam kehidupan
pribadi. Inilah persekutuan dengan Allah. Di dalam persekutuan dengan
Allah, manusia bukannya dilarutkan dalam zat Allah, tidak terjadi
peleburan hamba dan Tuhan, sebab manusia tetap manusia dan Tuhan tetap
Tuhan. Perlu diingat bahaya didatangi dan dirasuki roh-roh jahat jika
seseorang membuka diri terhadap dunia roh tanpa perlindungan dari Roh
Kudus.
Baik dalam mencari kelepasan, ketenangan ataupun makna hidup,
semuanya dapat tercapai melalui Yesus Kristus karena Dia mengatakan:
“Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).
PENUTUP
10
John T. Seamands, Tell it Well: Communicating the Gospel Across Cultures
(Kansas City: Beckon Hill Press of Kansas City, 1981)
KEBANGKITAN TUBUH
MENURUT I KORINTUS 15:25-58 DAN IMPLIKASI ETIS
PENDAHULUAN
1
Erei artinya reply, say; Aland Kurt, Analytical greek New Testament (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), 544; Horst Balz, Exegetical Dictionary of
the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), 347
2
Tij, someone, anyone… 1 Cor. 15:35; William F. Arndt, A Greek –English
Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The
University of Chicago Press, 1979), 819
3
Konsep Yunani: “sesudah mati, jiwa meninggalkan tubuh dan selanjutnya
keberadaannya di tempat lain, tetapi bagi tubuh tidak ada harapan untuk bangkit”; Denis
Green, Tafsiran Surat I Korintus (Malang: SAAT, 1992), 103; Paulus mengantisipasi
jenis-jenis pertanyaan yang pasti akan diajukan oleh seseorang di Korintus; V.C. Pfitzner,
Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat I Korintus (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), 316
menyebutnya dalam ayat 36: afpwn (adj. pronom. voc. mask. sing. afpwn,
on) artinya bodoh, tolol,4 dalam bentuk kata benda berarti orang bodoh.
Kata ini ditempatkan pada awal kalimat dan dalam bentuk vokatif (kata
seruan) dapat diterjemahkan seperti terjemahan LAI yaitu “Hai orang
bodoh!” Kata bodoh ini, Paulus tujukan kepada orang-orang yang
mempertanyakan kebangkitan orang mati (ay. 35), mereka disebut oleh
Paulus sebagai orang bodoh.5 Kebodohan mereka ternyata adalah bertolak
dari ketidakpercayaan mereka terhadap hal kebangkitan orang mati. Karena
itu, untuk memberikan penjelasan kepada orang yang bodoh (tidak
percaya), maka Paulus menggunakan beberapa perumpamaan (analogi)
yang diambil dari pengalaman dan kenyataan alami yang ada dalam
kehidupan sesehari.
4
Wesley J. Perschbecher, Refresh Your Greek (Chicago: Moody Press, 1989), 660
5
Pfitzner, Ibid., 316
6
Istilah zwopoleitai berasal dari kata zwopolew artinya to make alive, give life;
Perschbacher, Ibid
7
Kata kokkon: seed, grain; Perschbacher, Refresh Your.., 660
terlebih dahulu, kemudian hidup (bertunas) lagi dengan tubuh yang baru
yaitu tubuh yang diberikan kepada benih tersebut. Analogi biji ini dipakai
Paulus untuk memberikan penjelasan tentang tubuh orang mati yang
kepadanya Allah memberi suatu tubuh yang baru. Tubuh yang baru ini,
bukan tidak terkait dengan tubuh yang mati, ada keterkaitannya. Yang jelas,
Allah yang memberikan tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Berkenaan
dengan analogi tubuh tumbuhan dan tubuh manusia, Green berpendapat
sebagai berikut:
Hidup baru, baik bagi tumbuh-tumbuhan maupun bagi manusia,
tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sesuai dengan kehendak Allah
dan ketetapan karya penciptaan-Nya. Tuhanlah yang 'memberikan'
tubuh kepada tiap-tiap ciptaan-Nya, mulai dari tumbuh-tumbuhan
sampai kepada manusia sendiri (lih. ay. 39, dst.). 8
Jadi, jelas bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan
kehidupan yang baru bagi semua yang diciptakan-Nya, baik tubuh
tumbuhan maupun tubuh manusia. Istilah didwsin (verb. indic. prest. act. 3
pers. sing.) artinya memberi.9 Kata ini menjelaskan bahwa Allah-lah yang
secara aktif berkarya dalam hal memberikan tubuh, dan karya-Nya ini
belum berakhir, melainkan terus berlangsung. Dengan kata lain, karya
Allah membangkitkan orang mati, dan memberi tubuh yang baru kepada
mereka yang dibangkitkan, adalah belum berakhir.
Paulus meneruskan perumpamaan dengan menyebutkan
keanekaragaman tubuh dan bentuk-bentuk yang luas darimana suatu
kehidupan di dunia ini diwujudkan. Paulus menggunakan istilah swma
dalam ayat 38. Istilah ini menjelaskan mengenai tubuh secara keseluruhan
dan dapat diterapkan secara luas berkenaan dengan tubuh/badan, jasmani. 10
Dalam bagian ini, Paulus menggunakan istilah lain, yaitu sarx (ay. 39)
artinya daging, yaitu menjelaskan mengenai kepelbagaian daging (sarx,
bahwa tidak semua daging adalah sama. Daging manusia, binatang, burung
dan ikan adalah berbeda.11
Selanjutnya, Paulus menjelaskan perumpamaan lain mengenai
perbedaan antara tubuh sorgawi dan tubuh duniawi. Paulus menggunakan
istilah swmata (noun. nom. neut. pl.) artinya tubuh, yaitu menjelaskan
mengenai keseluruhan tubuh manusia. Dimana antara tubuh sorgawi dan
8
Green, Tafsiran Surat…, 108
9
Kata didwsin artinya gives; Friberg, Analytical Greek New…, 545
10
James Strongs, Strong Exhaustive Concordance of the Bible (New York:
Thomas Nelson Publishers, 1979), 70
11
Ibid., 64
tubuh duniawi memiliki kemuliaannya masing-masing (ay. 40).12 Kata
kemuliaan disini menjelaskan ciri khas yang berbeda dari masing-masing
tubuh, yaitu tubuh sorgawi dan tubuh duniawi. Adapun perbedaan
kemuliaan yang dimaksudkan disini dijelaskan lebih jelas oleh Paulus,
bahwa kemuliaan matahari lain dari kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan
lain dari kemuliaan binatang. Demikian pula kemuliaan binatang yang satu
berbeda dengan kemuliaan binatang yang lainnya (ay. 41). Perbedaan-
perbedaan di atas adalah menerangkan mengenai kemuliaan Pencipta-Nya,
yaitu Allah yang berkuasa membentuk sesuai dengan kehendak-Nya.
Dalam ayat 42-44a, Paulus menjelaskan sesuatu yang bertolak
belakang, yaitu mengenai kebangkitan orang mati, secara khusus mengenai
tubuh kebangkitan. Tubuh untuk kehidupan dalam dunia ini disebut dengan
tubuh alamiah, sedangkan tubuh untuk dunia yang akan datang disebut
dengan tubuh rohaniah. Baik tubuh alamiah maupun tubuh dunia yang akan
datang memiliki sifatnya sendiri-sendiri.
Dalan ayat 36-38, Paulus telah menjelaskan perumpamaan
mengenai biji yang ditanam orang, maka biji tersebut akan mati terlebih
dahulu, kemudian Allah akan menghidupkan kembali dengan tubuh yang
baru. Demikian pula dengan kebangkitan orang mati (ay. 42). Orang yang
telah mati akan ditaburkan (dikuburkan) dalam kebinasaan, maka tubuh
orang mati tersebut akan membusuk dan hancur, karena tubuh tersebut
bersifat alamiah.13 Kemudian tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah
dengan tubuh yang baru, yang tidak akan binasa, tubuh yang mulia, karena
tubuh tersebut bersifat rohaniah. Arti dari tubuh rohani menurut Farrar
ialah: “suatu tubuh yang tidak berada di bawah kekuasaan dari keinginan
jasmani atau dorongan nafsu dan rasio, melainkan sepenuhnya dikontrol
oleh Roh. Karena itu, tidak memiliki keinginan atau kemampuan untuk
memenuhi nafsu daging.”14 Penekanan Paulus dalam teks ini ialah karya
Allah yang membangkitkan tubuh alamiah menjadi tubuh rohani. Lebih
12
Kataswmata berasal dari kata dasar swma artinya the body (as a sound whole),
used in a very wide application, lit. or flg. : bodily, body, slave; Ibid., 70
13
The mortal body, perishable (Gal 6:8), dishonored, humiliated because of sin
(Phil 3:20,21), and weak (Mark 14:38) – a natural body like those of the animal world –
and bring that body that “is sown” in death (John 12:24); W. Harold Mare, “ICorinthians”
in The Expositor’s Bible Commentary. Edited by Frank E. Gaebelein The Expositor’s Bible
Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 290
14
The thing meant is a body which is not under the sway af corporeal desire or of
intellectual and passionate impulses, but is wholly dominated by the Spirit, and therefore
has no desire or capacity to fulfil the lusts of the flesh; F.W. Farrar, “I Corinthians” in The
Pulpit Commentary. Vol. 19, edited by H.D.M. Spence (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1983), 491
jauh lagi, berkenaan dengan itu, Martin berpendapat bahwa: “Allah yang
menciptakan semua tubuh sorgawi yang banyak jumlahnya adalah Allah
yang sama. Allah yang mampu menciptakan tubuh manusia dan
memberikan kepada mereka suatu kemuliaan yang jauh melampaui
imajinasi manusia.”15 Dengan kata lain, tubuh orang mati ditaburkan dalam
kehinaan, namun tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah dengan cara
menciptakan tubuh rohani, yang kepadanya akan diberikan kehormatan
yang tidak tertandingi di dalam dunia ini, karena ia akan menjadi bagian
dari kemuliaan Kristus sendiri (Flp 3:21; Kol 3:4). Tubuh orang mati
ditaburkan dalam kelemahan yang merupakan cirikhas dari semua
keberadaan manusia, tetapi dibangkitkan dalam kekuatan (ay. 43). Dalam
hal ini, Paulus ingin menunjukkan kepada jemaat Korintus, bahwa orang
Kristen akan ikut serta dibangkitkan bersama dengan Kristus, karena Ia pun
disalibkan di dalam kelemahan tetapi dibangkitkan oleh kekuatan Allah
(2Kor 13:4; Rm 1:4). Lebih lanjut dalam ayat 44a, Paulus menuliskan,
bahwa yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah
tubuh rohaniah. Dalam pernyataan ini, Paulus menjelaskan adanya suatu
kekontrasan, yaitu antara tubuh alamiah dan tubuh rohaniah.
15
The God who made all these vast heavenly bodies is able to recreate human
bodies and to give them a glory far beyond our imagining; Alfred Martin, First
Corinthians (New Jersey: Loizeaux Brothers, 1989), 138-139
pengalaman kita sehari-hari. Semua itu merupakan atribut-atribut
tubuh alamiah kita. Kualitas-kualitas ini akan memberikan jalan
dalam kebangkitan menuju antitesisnya. Tidak berdosa, kemuliaan,
dan kekuatan merupakan sifat-sifat tubuh spiritual.16
Paulus disini telah menjelaskan mengenai perbedaan antara tubuh
alamiah dan tubuh rohaniah. Keadaan tubuh alamiah sangatlah berbeda
dengan tubuh rohaniah. Tubuh rohaniah adalah tubuh yang sudah dirubah
dari pembatasan-pembatasan alamiahnya, yaitu tubuh yang dimuliakan,
tubuh yang dibangkitkan dalam suatu dimensi baru. Sebagai fakta dari
tubuh spiritual atau rohaniah adalah tubuh Tuhan Yesus yang dibangkitkan.
Tubuh yang dimiliki Tuhan Yesus setelah kebangkitan-Nya adalah berbeda
dengan tubuh Tuhan Yesus yang dikubur. Tubuh itu mewujudkan
kesinambungan dan ketidaksinambungan. Kesinambungan dalam
pengertian kesinambungan tubuh alamiah (waktu hidup sebagai manusia di
dunia) dan tubuh sorgawi (tubuh yang telah diubah, yaitu tubuh
kebangkitan, tubuh yang tidak dapat binasa, mulia dan bersifat rohani).
Ketidaksinambungan yaitu sekalipun ada kesinambungan, namun ada juga
perubahan atau perbedaan. Dalam hal ini, Paulus menekankan bahwa
walaupun kita sudah mati, pasti akan mempertahankan kesinambungan
dengan identitas-identitas kita yang sekarang, namun kita akan mengalami
perubahan-perubahan bentuk. Sebagai contoh : Tuhan Yesus sarapan pagi
bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus memperlihatkan tanda-tanda
penyaliban kepada Thomas (Yoh 20:27), Pintu terkunci, Yesus datang dan
berdiri di tengah-tengah mereka (Yoh 20:26).
Paulus dalam ayat-ayat sebelumnya telah menjelaskan adanya
perbedaan mengenai tubuh, yaitu tubuh alamiah dan tubuh rohaniah (ay.
36-44a). Dalam bagian ini (ay. 44b-49), Paulus menjawab pertanyaan
mengenai: “Bagaimana orang mati dibangkitkan?,” sebelum Paulus
menjawab pertanyaan ini, Paulus mengawali jawabannya dengan
memberikan suatu kesimpulan atas jawaban dari pertanyaan “jika ada tubuh
alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah” (ay. 44b). Dalam menjawab
pertanyaan “Bagaimana orang mati dibangkitkan?” Paulus kembali
memberikan suatu bukti yang kontras, yang diungkapkannya dalam ayat 45:
Egeneto o prwtoj anqrwpoj Adam eij yuchn zwsan o escatoj Adam eij
pneuma zwopoioun. NGSB menterjemahkan kalimat ini sebagai berikut:
“Adam manusia pertama menjadi satu makhluk yang hidup, Adam yang
16
R.C. Sproul, Hai Maut Dimanakah Sengatmu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 108
terakhir menjadi satu roh yang menghidupkan.” 17 Berbeda dengan
terjemahan LAI. Dengan mengutip dari Kitab Kejadian 2:7, Paulus
menunjukkan bahwa “Tuhan Allah menciptakan manusia pertama dari debu
tanah” (Adam berasal dari kata adamah dalam bahasa Ibrani artinya tanah)”
dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, maka jadilah
manusia pertama, yaitu Adam menjadi makhluk yang hidup atau jiwa yang
hidup. Adam dengan tubuh jasmani atau alamiahnya “yang diberi jiwa”
adalah kebalikan dari Adam yang terakhir, yaitu Adam yang memberi
kehidupan (zwopoioun. acc. sing. neut. pres. act. part.).18 Adam yang
terakhir (zwpoioun), yang dimaksudkan oleh Paulus adalah Kristus yang
memberi hidup rohani (bnd. Yoh 6:63). Kristus yang memberi hidup pada
diri-Nya sendiri. Lebih lanjut ayat 46, Paulus menjelaskan bahwa yang
mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian
barulah datang yang rohaniah. Dalam hal ini, Paulus menyatakan bahwa
manusia pertama adalah seperti Adam pertama, yaitu bersifat alamiah,
namun setelah manusia menerima atau percaya Kristus secara baru maka
akan diberinya suatu tubuh yang baru yaitu tubuh rohaniah. Selanjutnya
Paulus memberikan penjelasan lebih rinci, bahwa manusia pertama yaitu
Adam yang diciptakan Allah dari debu tanah (Kej 2:7), bersifat jasmani
atau dapat rusak dan binasa. Tetapi manusia kedua adalah berasal dari
sorga, dimana sebelum menjadi manusia, Dia bersifat kekal dan mulia,
yang kemudian diterimanya kembali secara nyata sesudah Dia dibangkitkan
dari antara orang mati (ay. 47). Hal yang sama juga diungkapkan lebih luas
lagi oleh Pfitzner sebagai berikut:
Seluruh manusia adalah dari debu tanah dan bersifat jasmani, seperti
halnya manusia kedua berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani.
Di pihak lain, semua yang tergolong kepada Kristus sebagai manusia
yang berasal dari sorga, setelah kebangkitan pada kedatangan-Nya
yang kedua kali, akan berasal dari sorga; tubuh duniawi yang lama
akan ditukar dengan tubuh sorgawi.19
17
Living being … life-giving spirit. Paul clarifies his meaning by continuiting the
contrast between the first and the last Adam (21,22 note). The Greek word translated
“being” (psyche) is related to the word translated “natural” in v. 44 (psychikos). The
word “life-giving spirit” are most probably a reference to the Holly Spirit. …..., New
Geneva Study Bible …, 1823. “The first man Adam became a living being, the last Adam
became a life giving spirit.”
18
Istilahzwopoiounberasal dari kata zwopoiew artinya to make alive, give life.
Attributive pert dari pneuma; Perschbacher, Refresh Your..., 661
19
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian …, 321
Semua yang pernah hidup, mula-mula memakai rupa yang alamiah.
Dengan kata lain semua keturunan Adam membawa citranya (Kej 5:3).
Setelah orang percaya mengalami kebangkitan, maka orang percaya akan
memakai rupa sorgawi, yaitu tubuh yang mulia, tidak binasa seperti tubuh
Kristus (Flp 3:21). Bagi mereka (orang Kristen) yang memiliki hubungan
dengan Kristus, yang sekarang masih hidup dalam tubuh alamiah, namun
mereka sudah memiliki hidup sorgawi. Oleh karena itu pada akhirnya juga
akan mengenakan rupa sorgawi atau tubuh rohaniah (ay. 48-49).
20
Riphthrowing, rapid movement, e.g. of the eyes; the ‘casting’ of a glance takes
an extremely short time: en riph ofqalmonin the twinkling of an eye I Cor 15; Arndt, A
Greek–English Lexicon..., 736
21
Gk. en riph ofqalmou, the equivalent of the Eng. “the blink of an eye”. It is of
interest that this physical phenomenen was picked up in more that one culture to express
the speed with which something can happen; Gordon D. Fee, The New International
Commentary On The New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1987), 801
mengenakan yang tidak dapat binasa, tubuh yang tidak lagi terancam
oleh maut. Acuan kepada orang-orang percaya yang sudah mati dan
orang-orang percaya yang masih hidup pada waktu kedatangan
Kristus kembali jelas dilanjutkan dalam kata-kata ini. Meskipun
yang masih hidup mempunyai tubuh yang fana, yang telah
ditetapkan untuk mati, ia pun akan diubahkan untuk ikut serta di
dalam kehidupan Allah; Dialah satu-satunya yang memiliki
kekekalan (1Tim 6:16). “Yang fana” akan “ditelan oleh hidup (2Kor
5:4).22
Paulus menjelaskan bahwa, adanya keharusan suatu perubahan
bagi umat Tuhan yang hidup maupun yang sudah mati, yaitu akan
mengalami perubahan dari tubuh yang alamiah menjadi tubuh yang
rohaniah. Peristiwa ini terjadi pada saat kebangkitan, yaitu saat
dimana Tuhan Yesus datang kembali (ay. 53-54a).
Dalam ayat 53-54a Paulus telah menggambarkan istilah-istilah yang
kontras mengenai suatu perubahan di masa depan pada waktu kebangkitan
yaitu pada saat kedatangan Tuhan Yesus kembali. Sedangkan dalam 54-57,
paulus membahas mengenai dua teks dalam PL untuk menyimpulkan
pemikiran sebelumnya, dan untuk membentuk sebuah nyanyiankemenangan
yang menantang maut sebagai sebuah kuasa yang bagi orang Kristen sudah
dikalahkan. Disini Paulus mengutip, pertama: Yesaya 25:8 “Ia akan
meniadakan maut untuk seterusnya”. Kata-kata Paulus “maut telah ditelan
dalam kemenangan (ay. 54b).” Kedua: Hozea 13:14 dalam bahasa Ibrani
menyatakan: “Dimanakah penyakit samparmu, hai maut, dimanakah tenaga
pembinasaanmu, hai dunia orang mati?”, Paulus dalam 1Korintus 15:55
menyatakan: “Hai maut dimanakah kemenanganmu (nikoj: victory)? Hai
maut dimanakah sengatmu (kentron: sting)?” Teks PL di atas, dipakai oleh
Paulus untuk menggaris bawahi hubungan antara kebangkitan dan
pemberian tubuh rohaniah dengan kemenangan terakhir dari maut, artinya
Tuhan Yesus akan membinasakan kematian dan alam maut, dimana
kemenangan-Nya meliputi dua hal, yaitu kebangkitan orang percaya yang
mati di dalam iman kepada Kristus dan perubahan orang-orang percaya
yang masih hidup pada waktu kedatangan Tuhan Yesus. Dalam hal ini
Paulus berkata bahwa yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya dan nabi Hozea
adalah benar dan tidak dapat ditolak lagi. Kemudian Paulus menerangkan
hal itu lebih jelas dalam ayat selanjutnya, yaitu ayat 56-57. Dituliskan
dalam ayat 56 “sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah Hukum
Taurat.” Paulus mau menjelaskan bahwa saat ini maut masih bekerja dan
22
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian …, 325-326
memiliki sengatnya, yaitu dosa yang menyerang manusia melalui
pelanggaran-pelanggaran terhadap Hukum Taurat. Dalam hal ini kalau
manusia percaya kepada Kristus maka dosa dihapuskan, dan akan mendapat
kebebasan dari akibat dosa (maut), dimana tubuh yang binasa diubah
menjadi tubuh yang tidak dapat binasa pada waktu kebangkitan. Dengan
kata lain mereka akan dibangkitkan dengan tubuh yang “tidak dapat
binasa... dan tidak dapat mati.” Dengan demikian “maut telah ditelan dalam
kemenangan” atau maut tidak berkuasa lagi atas manusia yang dosanya
telah dibereskan sehingga ia dibangkitkan untuk dapat menikmati hidup
kekal. Grosheide menjelaskan hubungan antara dosa dan Hukum Taurat
adalah sebagai berikut:
Kuasa dosa adalah hukum Taurat: Bukan hanya kematian tetapi juga
dosa digambarkan sebagai suatu kuasa yang mempertahankan
dirinya sendiri. Dosa menggunakan hukum Taurat yang
mengstimulasi orang yang telah jatuh dalam dosa untuk berbuat dosa
(Rm 5:12, 7:7). Paulus berbicara mengenai kemenangan yang
terbesar, bahwa kemenangan bukanlah pada masa kini, yaitu ketika
orang diselamatkan, melainkan setelah segala sesuatu ditaklukkan
sejak dosa Adam dihapuskan dan setelah setiap kuasa yang
menentang Allah dilenyapkan.23
Dosa menggunakan Hukum Taurat yang mengstimulasi manusia
untuk berbuat dosa, namun bagi orang yang percaya, kuasa dosa tidak
menguasainya lagi, karena orang percaya telah mengalami kemenangan
atas dosa dan maut melalui iman. Selanjutnya dalam ayat 57, Paulus
menjelaskan bahwa oleh karya Kristus telah memuaskan apa yang menjadi
tuntutan Hukum Taurat (bnd. Gal 3:13). Kuasa dosa telah dihancurkan,
sehingga sekarang orang percaya dapat “bersyukur kepada Allah”
Kemenangan orang percaya atas dosa dan maut telah diterima melalui iman
kepada Yesus Kristus. Hal ini pun diungkapkan lebih luas oleh Pfitzner,
sebagai berikut:
Yesus Kristus yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan
mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (2Tim 1:10). Seperti
dalam Roma 7:25, Paulus memisahkan diri dari kisah yang
23
The power of sin is the law : not only death but sin also is described as a power
that seeks to maintain itself. Sin uses the law which stimulates fallen man to sin (cf. Rom.
5:12; 7:7f). Paul speak of the ultimate victory; that victory is not present when some men
are saved, but only after everything that had assumed dominion since Adam’s sin has been
abolished and after every God-opposing power has been annihilated; F.W. Grosheide,
Commentary On The First Epistle To The Corinthians (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1960), 394
menyedihkan tentang perhambaan manusia untuk mengucapkan doa
syukur: Syukur kepada Allah, telah memberikan kepada kita
kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Mereka yang hidup
dengan kasih karunia dan tidak lagi hidup di bawah keputusan
Taurat yang menghukum, bebas dari tirani maut – termasuk rasa
takut akan maut (Rm 6:14; 8:1,2; Ibr 2:14,15). Kematian fisik masih
harus ditanggung, tetapi bahkan itu pun tidak dapat merampas dari
kita kepasti akan kemenangan di dalam Kristus di masa datang (Rm
8:37-39). Mereka yang berada di dalam Kristus telah mati kepada
dosa (dengan ikut serta di dalam kematian-Nya yang sempurna
dalam baptisan); jadi, merekapun ikut serta di dalam kehidupan-Nya
yang baru, kehidupan yang akan disempurnakan pada hari
kebangkitan (Rm 6:1-11). Tetapi kemenangan selalu adalah milik
Kristus, tak pernah milik kita – meskipun Ia dengan kasih karunia-
Nya memungkinkan kita ikut serta di dalam arak-arakan
kemenangan bahkan sejak di dalam kehidupan ini (2Kor 2:14). 24
24
Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian …, 327-328
25
R. Sudarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 18
kebenaran dengan kalimat “Sesuai dengan Kitab Suci”. Inilah implikasi
bibliologis dari kebangkitan Tuhan Yesus. Kebenaran Kitab Suci digenapi
dengan peristiwa Kebangkitan Tuhan Yesus. Selanjutnya kebenaran Kitab
Suci dan peristiwa kebangkitan Yesus diperkuat dengan kesaksian para
murid mengenai penampakan Tuhan Yesus kepada mereka. Penampakkan
Diri Tuhan Yesus kepada para murid merupakan salah satu ketentuan yang
mendasar dimana para murid disebut Rasul. Karena para murid telah
melihat Tuhan Yesus yang telah bangkit dan Rasul-Rasul inilah yang telah
menulis Injil-Injil. Salah satu argumentasi Paulus mengenai kebenaran Injil,
berita kebangkitan Yesus, adalah dengan penampakan Tuhan Yesus yang
bangkit kepada murid-murid. Mereka kemudian disebut rasul karena alasan
telah melihat Tuhan Yesus secara langsung. Paulus mengemukakan
sejumlah laporan tentang penampakan Tuhan Yesus kepada murid-murid.
Dalam ayat 5, 7-10: Pertama: Kristus menampakkan diri-Nya kepada Kefas
atau Petrus dan kepada keduabelas murid (bukan mitos). Kedua: Kristus
menampakkan diri-Nya kepada lebih dari lima ratus saudara. Ketiga:
Kristus menampakkan diri-Nya kepada Yakobus, kemudian kepada semua
rasul. keempat; Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus sendiri,
waktu penglihatan Paulus saat perjalanannya ke Damsyik, dengan maksud
untuk menganiaya orang Kristen (Kis 9).26 Peristiwa inilah yang
digambarkan oleh Paulus ”seperti anak yang lahir sebelum waktunya”,
artinya Paulus mengungkapkan mengenai dirinya yang tidak layak, namun
dilayakan oleh Tuhan Yesus yang datang menampakan Diri-Nya
kepadanya.27 Kesaksian Paulus ini, diperkuat dengan pengalaman dirinya
sendiri. Paulus bersaksi dalam kerendahan hatinya dan ia senantiasa merasa
menyesal karena telah menganiaya jemaat Tuhan (ay. 9-10). Alasan inilah
yang dianggap Paulus bahwa dirinya adalah yang terkecil (paling hina)
diantara semua rasul. Namun, kuasa kebangkitan Kristus telah merubah
Paulus secara total menjadi seorang yang sungguh-sungguh hidup dan
26
Green, Tafsiran Surat I..., 102
27
Ungkapan itu bukan menunjuk kepada saatnya Paulus bertobat, melainkan
kepada tindakan menyela yang mendadak, yang dengannya ia disobek, dari menentang
Tuhan menjadi murid Tuhan atau kepada perasaannya sebagai orang yang tak layak sama
sekali – sama tak layak disebut rasul, sama halnya abortus dipandang sebagai dewasa.
Sekalipun disini Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari semua rasul, ia tidak
bermaksud menunjukkan bahwa pelayanannya lebih rendah daripada pelayanan rasul-rasul
lainnya (bnd. 2Kor 11:5; Gal 2:11), sebab sebenarnya ia bekerja lebih berkelimpahan, tapi
karena ia telah menganiaya jemaat Allah (Kis 26:9 dsb. Gal 1:13) ia tak patut sama sekali
disebut rasul (1Tim 1:15); Donald Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini. 3 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992), 530-531
melayani Tuhan. Pfitzner juga menyatakan hal yang sama. 28 Kuasa yang
mengubah hidup Paulus ini, disadari olehnya sebagai karunia Allah (ay.
10). Semua laporan mengenai penampakan Tuhan Yesus kepada murid-
murid, termasuk kepada Paulus memberikan kesaksian yang kuat bahwa
kebangkitan Yesus adalah berita yang benar, dan historis, bukan mitos.
28
Tuhan menangkap penganiaya besar ini dan mengubahnya menjadi seorang
misionaris yang besar (Gal 1:13-16). Hal itu, kata Paulus, hanya membuktikan satu hal :
karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang; Pfitzner, Kesatuan
dalam Kepelbagaian..., 295
29
Louis Berkhof, Teologi Sistematika, 4: Doktrin Keselamatan (Surabaya:
Momentum, 2002), 5
Kita telah mengetahui bahwa pengampunan merupakan satu
kebutuhan kita yang paling mendasar, dan satu dari karunia Allah yang
Agung. Menurut Alkitab pengampunan hanya mungkin bila ada darah (Mat
26:28; Rm 6:23). Dan dalam hal ini pengampunan terkait dengan
perjanjian, darah merupakan adanya pengampunan dosa yang disyaratkan
oleh pencurahan. Darah merupakan isi dari perjanjian. Kristus menggenapi
dengan pencurahan di kayu salib bahkan mati di kayu salib. Dan
kebangkitan membuktikan bahwa darah Kristus atau kematian-Nya di kayu
salib adalah sebagai bukti bahwa karya pengampunan dosa itu sempurna
dan berkenan kepada Allah. Karena itu Paulus dalam 1Korintus 15
menekankan mengenai pentingnya kebangkitan bagi pengampunan dosa,
sebagaimana pendapat Stott sebagai berikut:
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati dan melalui
membangkitkan-Nya, Allah telah memberikan jaminan kepada kita
bahwa Ia mengakui kematian yang berkaitan dengan dosanya, bahwa
Ia tidak mati sia-sia dan bahwa mereka yang percaya kepadaNya
menerima suatu pengampunan yang penuh dan bebas. Kebangkitan
mengsyahkan salib Kristus.30
Jadi, kebangkitan memiliki implikasi untuk orang Kristen dan juga
untuk Kristus. Satu sisi kebangkitan memungkinkan kesatuan orang
percaya dengan Kristus. Kristus sebagai kepala orang percaya dan orang
percaya sebagai tubuh Kristus. Hal ini menerangkan mengenai Kristus yang
hidup dalam kehidupan orang percaya. Pemaparan tersebut, dipertegas
dalam ayat 2, yang mengungkapkan bahwa Kristus adalah satu-satunya
jaminan keselamatan. Jadi jelaslah bahwa, Kristus telah dibangkitkan. Dia
adalah sebagai perintis atau buah sulung dari kebangkitan orang mati, yang
mana mengakibatkan kebangkitan bagi orang percaya pada hari
kedatangan-Nya. “Kemudian tiba kesudahannya... (ay. 24).” Sesudah
kedatangan Kristus dan orang percaya yang telah mati dibangkitkan, maka
tibalah kesudahannya, yaitu puncak dari segala zaman. Kedatangan Kristus
adalah untuk meneguhkan kedaulatan-Nya yang penuh dan secara langsung
(2Tes 1:7). Sebelum Kristus meneguhkan kedaulatan-Nya, tiap kuasa yang
menentangNya akan dibinasakan. Setelah semuanya dibinasakan, yaitu
30
The terrible consequences of no resurrection would be that the apostles are
false witnesses, believers are unforgiven, and the Christian dead have been perished. But
in fact, Paul continued, Christ was raised from the dead, and by raising him God has
assured us that he approves of his-bearing death, that he had not died in vain, and that
those who trust in him receive a full and free forgiveness. The resurrection validates the
cross; John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: Inter Versity Press, 1992), 82
tugas yang diberikan Allah Bapa telah dipenuhi (Mat 28:18), maka Kristus
menyerahkan kedaulatan atau kerajaan-Nya kembali kepada Allah Bapa
(1Kor 15:24). Kerajaan yang diserahkan Kristus kepada Allah Bapa
bukanlah pemerintahan atas daerah atau wilayah tertentu secara lahiriah,
melainkan yang diserahkan Kristus adalah kekuasaan penuh atas segala
sesuatu termasuk manusia (bnd. Flp 2:10). Untuk itu, terlebih dahulu Dia
harus membinasakan segala kekuasaan lain. 31 Karena itulah Kristus harus
memegang pemerintahan sebagai Raja (ay. 25), sampai pemerintahan yang
lain dibinasakan dan ditaklukkan, yaitu sebelum kesudahannya tiba. Hal ini
adalah sesuai dengan janji Allah bahwa Kristus akan memperoleh
kemenangan terakhir atas kuasa-kuasa yang menentang-Nya (bnd. Mzm
110:1). Jadi jelas, Paulus mau menjelaskan bahwa kuasa lain yang paling
terakhir dihapuskan atau dibinasakan oleh Kristus adalah maut. Setelah itu
tidak ada lagi yang harus dihapuskan, karena maut merupakan musuh
paling terakhir dari kuasa-kuasa lain yang dibinasakan oleh Kristus. Dalam
ayat 27-28, Paulus berbicara tentang manusia yang sempurna, yaitu Yesus
Kristus. Segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah kaki-Nya, Allah Bapa
yang menyerahkan kekuasaan mutlak itu kepada Kristus. Kalau pekerjaan
yang diberikan Allah Bapa kepada Kristus telah selesai, maka Kristus akan
menyerahkannya kembali segala kekuasaan kepada Bapa-Nya (ay. 24).
Sebagai bukti bahwa kepada-Nya Anak sendiri ditaklukkan, yaitu Anak taat
kepada Bapa-Nya. Tujuannya adalah Allah Bapa menjadi semua di dalam
semua (bnd. Rm 11:3).
31
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 532; Green, Tafsiran Surat I…,105
32
R. Soedarmo, Iktisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 172
33
Luois Berkhof, Teologi Sistematika 5 (Surabaya: Momentum, 2003), 7
Didaskalia (1Kor 15:1-2)
Kata didaskalia berasal dari bahasa Yunani didasco yang artinya
mengajar, sedangkan kata didaskalia adalah berhubungan dengan apa yang
diajarkan. Kata didaskalia dapat disebut juga dengan kata doktrin (bahasa
Latin).34 Jadi, yang dimaksudkan dengan implikasi bagi didaskalia Gereja
adalah pengajaran atau doktrin kebangkitan Tuhan Yesus memastikkan atau
menjamin pengajaran Kristen. Dengan kata lain, bahwa kebangkitan Kristus
berimplikasi kepada kebenaran dan kepastian pengajaran Gereja, sehingga
jemaat memiliki pemahaman, pengakuan yang benar tentang imannya dan
memberikan diri dalam pengabdian kepada Kristus yang bangkit.
34
www.wikipedia.com
35
This is the kerygma, the proclamation the gospel preached by the early church;
Morris, Tyndale New Testament…, 201
36
The cross is at the heart of the Gospel; Ibid.
37
Since ‘our sins’ were the only reason for Christ’s death, this means that he died
for as sinners, as the substitutionary sacrifice through whom we receive the forgiveness of
sins; Geoffrey B. Wilson, I Corinthian (Pennsylvania: The banner of Truth Trust, 1978),
214
kebangkitan Kristus. Sedangkan dalam ayat 58, Paulus menghimbau jemaat
Korintus untuk berdiri teguh, jangan goyah, dan giat dalam pekerjaan
Tuhan. Jadi, kebangkitan Kristus membuat orang percaya mengambil
keputusan atau berjanji mengikut Kristus dan mengabdikan dirinya untuk
dipakai menjadi alat-Nya dalam memberitakan Injil.
38
The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted
that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts;” Stott, The
Contemporary Christian…, 81
teguh tidak goyah, tentunya hal ini juga memaparkan tentang berdiri teguh
dalam hidup yang saleh, hidup tidak bercacat dihadapan Tuhan. Fakta
kebangkitan Kristus membuat orang percaya hidup dalam kekudusan,
karena adanya pengampunan dosa dan mereka tidak akan mengalami
kebinasaan pada kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Fakta Kebangkitan
Kristus membuat orang percaya memiliki pengharapan hidup kekal.
39
Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian..., 296
sama sekali tidak lebih rendah dari pada para rasul yang lain, yang suka
menonjolkan diri atau menyombongkan kekuatan-kekuatan rohani mereka
(2Kor 11:5, 23; 12:11). Karena kasih karunia Allah, Paulus berhasil dalam
pelayanan. Bukti keberhasilan Paulus dalam pelayanan yaitu ia telah
membuka daerah-daerah baru kemanapun ia pergi atau melayani. Dalam hal
ini, Paulus tidak membanggakan usaha-usahanya tetapi “bukannya aku,
melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” yang menghasilkan
setiap keberhasilan. Kalimat berikutnya yaitu ayat 11 adalah sebagai kunci
dari kalimat-kalimat sebelumnya “sebab itu, baik aku, maupun mereka,
kami sama-sama mengajar dan kamu menjadi percaya.” Paulus atau para
rasul, para misionaris lainnya, hanyalah seorang hamba, yang dengan penuh
kesetiaan menunaikan tugas yang telah dipercayakan kepadanya (1Kor 3:5-
10). Mereka sama-sama mengajarkan kebenaran yang sama, seperti apa
yang orang-orang Korintus juga percaya. Dalam ayat 58 ini, Paulus
memberikan suatu kesimpulan praktis dari keseluruhan ayat-ayat
sebelumnya (ay.1-57), yang telah dijelaskan bahwa kepastian atau
pengharapan kebangkitan orang percaya adalah didasarkan pada
kebangkitan Kristus sebagai yang sulung dari kebangkitan orang percaya.
Karya Kristus telah memuaskan tuntutan Hukum Taurat (bnd. Gal 3:13),
dimana kuasa dosa telah Ia hancurkan, maut telah Ia kalahkan.
Kesimpulan pembahasan Paulus adalah himbauan bagi seluruh
jemaat Tuhan di Korintus agar berdiri teguh, jangan sampai iman mereka
digoyahkan atau digeser oleh dunia, oleh iman yang merusakkan yaitu iman
yang tidak benar dan giat didalam melayani Tuhan. Karena pekerjaan atau
pelayanan yang sungguh di dalam Tuhan akan menghasilkan buah yaitu
iman yang tidak kosong dan perbuatan-perbuatan yang baik. Pernyataan ini
tidak memberikan kepada mereka pintu masuk ke dalam sorga, tetapi hanya
oleh kasih karunia Allah di dalam Kristus yang memberikannya.
40
Sin. Ferguson, David F. Wright, “New Dictionarry of Theology,” in Lecturer in
New Testament, clair BS.H. Travis (Leicester, England: Universities and Colleges
Christian Felloship, 1988), 228
membicarakan tentang hari-hari terakhir; waktu terakhir atau jam terakhir. 41
Jadi, yang dimaksud dengan implikasi eskatologi adalah doktrin
kebangkitan orang mati membuat Gereja atau orang percaya memiliki
pengharapan kebangkitan pada akhir zaman atau pada saat kedatangan
Tuhan Yesus yang kedua kali (parousia). Paulus dalam ayat 20
menyatakan: “… bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati,
sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” John Stott
menyatakan bahwa: “Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kepada kita
mengenai pengampunan Allah. Kita telah mengetahui bahwa pengampunan
adalah salah satu kebutuhan yang paling mendasar dan salah satu dari
karunia Allah yang terbaik.”42 Paulus dalam hal ini, menekankan bahwa
Kristus benar-benar telah dibangkitkan. Ia mau menjelaskan suatu kejadian
yang sudah berlalu, tetapi berakibat terus menerus. Kristus menjadi jaminan
dari buah yang akan datang, yaitu jemaat-Nya. Kristus bangkit dari
kematian langsung ke sorga, tidak hidup dalam dunia ini lagi. Selain itu,
kebangkitan Kristus adalah dasar bagi kebangkitan orang percaya, dengan
kata lain, kebangkitan Kristus adalah kebangkitan yang menyelamatkan,
yang memungkinkan kebangkitan orang mati. Paulus menyatakan bahwa,
orang yang telah mati akan ditaburkan (dikuburkan) dalam kebinasaan,
maka tubuh orang mati tersebut akan membusuk dan hancur, karena tubuh
tersebut bersifat alamiah (ay. 42).43 Kemudian tubuh itu akan dibangkitkan
oleh Allah dengan tubuh yang baru, yang tidak akan binasa, tubuh yang
mulia, karena tubuh tersebut bersifat rohaniah. Penekanan Paulus dalam
teks ini ialah karya Allah yang membangkitkan tubuh alamiah menjadi
tubuh rohani. Jadi, kebangkitan Kristus adalah menjadi dasar bagi
kebangkitan orang percaya. Kristus sebagai jaminan atau buah sulung bagi
orang percaya atau Gereja. Orang percaya yang telah mati pada akhir
zaman akan dibangkitkan dari kematian dan tubuhnya akan diubahkan
menjadi tubuh yang baru atau rohani, sedangkan yang masih hidup akan
diubahkan dalam sekejap mata (tubuh kemuliaan).
IBADAH SEBAGAI GAYA HIDUP
41
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 6: Doktrin Akhir Zaman (Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1998), 10-11
42
The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted
that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts; Stott, The
Contemporary Christian…, 81
43
The mortal body, perishable (Gal 6:8), dishonored, humiliated because of sin
(Phil. 3:20,21), and weak (Mark 14:38) – a natural body like those of the animal world –
and bring that body that “is sown” in death (John 12:24); W. Harold Mare, The
Expositor’s Bible Commentary, in I Corinthians…, 290
MENURUT ROMA 12:1
DAN IMPLIKASINYA BAGI IBADAH MASA KINI
PENDAHULUAN
1
John T. McNeill (Ed), Calvin: Institutes of Religion (Philadelphia: The
Westminster Press, 1981), 37.
2
Richard L. Pratt, Dirancang bagi Kemuliaan (Surabaya: Penerbit Momentum,
2003 ), 3
orang percaya. Pengenalan akan Allah adalah merupakan hak
istimewa.3
Dari kajian ini jelas bahwa pengenalan akan Allah yang dimaksud
adalah di dalam Yesus Kristus karena iman Kristen memiliki keunikan
dalam hal ini. Iman Kristen memiliki perbedaan yang mendasar dengan
iman dalam agama-agama lain dalam hal isinya atau content. Iman Kristen
menjadi kesatuan integral dengan struktur jiwa manusia dan menghasilkan
nilai-nilai kekekalan dalam hidup manusia.4 Iman yang sejati memberikan
kepastian dalam segala hal yang terjadi sekarang dan dalam segala hal yang
akan terjadi nanti (Eskatologis). Maka keKristenan bukan hanya sebuah
sistem agamawi tetapi sebuah relasi. Allah dalam iman Kristen adalah
Allah yang berpribadi dan Dia menghendaki supaya diri-Nya dikenal oleh
manusia serta umatnya mencari, mendekat dan bersekutu dengan Dia
melalui ibadah (bnd. Kel 7:16, 8:1-9; Luk 11:10; Kis 17:27). Sproul
menulis dua sebab utama mengapa kita beribadah kepada Allah yaitu:
“pertama, Allah menyuruh kita beribadah sebagai suatu kewajiban yang
diberikan oleh pencipta kepada ciptaan-Nya. Kedua, pada hakekatnya Allah
memang patut menerima ibadah kita.” 6 Ini berarti bahwa ibadah adalah
suatu tindakan memuliakan Allah. Searah dengan hal ini Grudem dalam
Systematic Theology mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
Worship is the activity of glorifying God in His presence with our
voices and heart. In this definition we note that worship is an act of
glorifying God. Yet all aspect of our lives are supposed to glorify
God, so this definition spesifies that worship is something we do
especially when we come into God’s presence, when we are
conscious on adoration of him in our hearts and when we praise him
with our voices and speak about Him so others may hear.”7
Carson mengutip apa yang didefinisikan oleh A.P. Gibbs tentang
ibadah yaitu: “ibadah adalah dikuasainya hati oleh Allah, bukan berbagai
kebutuhannya atau oleh berkat-berkatnya.8 Maka ibadah adalah suatu sikap
pengagungan dan rasa hormat yang terdalam bagi Allah di dalam Yesus
3
Sinclair B. Ferguson, Hati yang Dipersembahkan Kepada Allah (Surabaya:
Penerbit Momentum, 2002 ), 1-3
4
Ibid., 5
6
R.C. Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah: Pola Hidup Kristen (Malang:
Gandum Mas, 1990), 350
7
Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
1994), 1003
8
D.A. Carson, Gereja Zaman Perjanjian Baru dan Masa Kini (Malang: Gandum
Mas, 1997), 127
Kristus dan hanya Allah saja yang menjadi fokus utama. Sehingga setiap
ibadah selalu menyatakan Allah. Hoon menulis demikian: “Inti ibadah
Kristen adalah Allah sedang bertindak untuk memberikan hidup-Nya bagi
manusia dan membawa manusia mengambil bagian dalam kehidupan itu.” 9
Teolog Lutheran Peter Brunner menjelaskan ibadah dengan menggunakan
istilah Jerman Gottesdiest yaitu satu kata yang mencakup baik pelayanan
Allah kepada manusia maupun pelayanan manusia kepada Allah.10 Nikos
A. Nissiotis seorang teolog Ortodoks menyatakan bahwa ibadah pertama-
tama bukanlah inisiatif manusia melainkan tindakan pendamaian Allah
dalam Kristus melalui Roh-Nya.11 Selain berbicara tentang tanggapan
terhadap karya agung yang telah Allah kerjakan, sedang dikerjakan, ibadah
juga memberi dampak kekekalan atau makna eskatologis. Dalam
hubungannya dengan hal ini Jean Jaques von Allmen seorang theolog Swiss
mendefiniskan ibadah demikian: “Christian worship is an eschatological
game.” Maksudnya, bahwa keunikan ibadah Kristen adalah pada makna
eskatologinya. Seolah-olah apa yang dilakukan umat Kristen dalam ibadah
menunjuk pada apa yang akan terjadi kelak dalam kerajan Sorga (Why 4:1-
11, 7:9-17).12 Ibadah memiliki sifat kekekalan sehingga ibadah adalah
tujuan tertinggi. Maka ibadah Kristen adalah sesuatu yang unik yang tidak
terdapat dalam ibadah manapun karena semua aspek ada di dalam ibadah
Kristen. Bahkan ibadah adalah tujuan dari kehidupan itu sendiri, oleh
karena semua yang manusia lakukan adalah ibadah. Ini berarti bahwa
kehidupan sama dengan ibadah atau ibadah harus menjadi gaya hidup.
Konsep ibadah sebagai gaya hidup ini harus di implementasikan
dalam ibadah Gereja masa kini. Karena pertumbuhan Gereja baik secara
kualitas maupun kwantitas ditentukan oleh konsep ibadah. Bahkan praktek
ibadah dalam Gereja semua didasarkan pada konsep ibadah. Jika konsep
yang di implementasikan adalah keliru maka akan terjadi penyimpangan
yang berakibat pada pelaku ibadah yaitu jemaat.
Semua orang yang ada dalam Gereja menghendaki kehadiran Gereja
ditengah dunia ini adalah menjadi berkat. Harapan dan cita-cita Gereja ini
sangat mulia. Tetapi dalam kenyataan yang ditemui dilapangan beberapa
Gereja tidak dapat memenuhi cita-cita dan harapan yang mulia ini. Salah
satu faktor penyebab adalah kurang terimplementasinya konsep ibadah
yang benar. Beberapa Gereja telah melupakan bahkan menghilangkan
9
James F.White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 7
10
Ibid.
11
Ibid., 10.
12
Yakub B. Susabda, Mengenal dan Bergaul dengan Allah..., 254
unsur-unsur dasariah ibadah serta penyimpangan tujuan umat yang
beribadah. John Stott menulis sebagai berikut:
Bahwa kita yang menyebut diri 'injili' tidak tahu banyak bagaimana
harus beribadah. Pengabaran injil atau evangelisasi adalah
spesialisasi kita, bukan ibadah. Kita tampaknya hanya punya sedikit
rasa tentang kebesaran dan keagungan Allah yang Mahakuasa. Kita
tidak bersujud dihadapan-Nya dengan kagum dan gentar.
Kecenderungan kita adalah sok jago, kurang ajar dan sombong. Kita
tidak ambil pusing dalam mempersiapkan pelayanan ibadah kita.
Sebagai akibatnya ibadah kita kadang-kadang berjalan begitu saja,
mekanis, asal jadi dan kering. Pada kesempatan lain ibadah kita
gegap gempita sampai benar-benar kehilangan kekhidmatannya. Tak
heran mereka yang mencari kenyataan sejati sering mengabaikan
kita.13
Alan Wolfe, seorang sarjana dan peneliti menerbitkan sebuah studi
yang tajam dari kehidupan keagamaan bahwa yang tampil menyolok adalah
tokoh kaum injili. Ia menuliskan sebagai berikut:
Paham injili sekarang ini memamerkan sebuah keinginan yang
sangat kuat untuk meniru konsep bangunan mewah dan musik
populer yang membuatnya kehilangan perbedaan-perbedaan religius
yang pernah dimilikinya. Kebenarannya ialah terdapat
kecenderungan menguat akan adanya perbedaan tipis antara sebuah
aktivitas duniawi seperti industri hiburan populer dengan upaya dari
banyak mega gereja Injili untuk menarik orang sebanyak mungkin
dengan ongkos berapa pun.”14
Maka George Barna menyimpulkan bahwa setiap hari Gereja justru
lebih seperti dunia yang semestinya diubahkan. 15 Michael Horton seorang
teolog Injili meratap setelah membaca hasil survei dari The Gallup
Organization dan The Barna Group bahwa orang-orang Kristen Injili
nampaknya sedikit demi sedikit hendak memeluk gaya hidup sebagai kaum
hedonis, materialistik, berpusat pada diri sendiri dan berperilaku amoral
dalam hal seksual seperti dunia pada umunya.16 Inikah wajah Gereja masa
kini? masihkah ada ibadah yang sejati dalam Gereja?
Dalam hubungannya dengan perubahan zaman dari modern ke post
modern dimana orang-orang postmodern lebih suka hal-hal yang trans
13
John Stott, The Living Church (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 30
14
Ronald J. Sider, The Scandal of the Evangelical Conscience (Surabaya:
Literatur Perkantas, 2007), 22
15
Ibid., 23
16
Ibid., 22
history atau transenden dan sangat mengabaikan logika, telah memberikan
pengaruh dalam praktek ibadah masa kini, dimana ibadahnya lebih bersifat
mistis bahkan sinkritis. Tradisi-tradisi penyembahan berhala dimasukkan
dalam ibadah Kristen sehingga motivasi beribadah hanya terbatas pada
tanda-tanda ajaib. Selain itu juga tanda-tanda ajaib Allah hanya dibatasi
melalui media-media tertentu. Maka ibadah dengan Allah hanyalah untuk
menikmati berkat-berkat Allah bukan Allah sendiri. Allah hanya menjadi
sarana (tools) bukan sasaran. Jika Allah mampu melakukan tanda-tanda
ajaib maka Allah hadir dan ada dalam ibadah. Jika tidak ada tanda-tanda
ajaib maka Allah tidak ada dalam ibadah (functional God). Salah satu unsur
ibadah Kristen adalah pesta rohani dimana dalam pesta rohani tersebut
menunjuk kepada pengharapan. Itulah sebabnya Tuhan memerintah
melakukan sakramen perjamuan kudus karena hal ini adalah tanda surgawi
dari realita rohani di dalam kerajaan surga. Para reformator menyebut
sakramen sebagai pledge atau janji Allah.17 Susabda mengutip John A
Lasco tentang kebenaran dalam hubungan dengan sakramen demikian: “I
hope that you all, sitting down at this Supper, have perceived by the eye of
your faith that blessed time in the Kingdom of God when you sit at the table
with Abraham, Isaac dan Jacob.”18 Sakramen diubah fungsikan hanya
sebagai sarana utama perjumpaan dengan mujizat Allah bukan Allah
sendiri. Akibatnya sakramen di kultuskan sehingga ukuran untuk melihat
dan merasakan tanda-tanda ajaib hanya ada dalam sakramen. Tuhan
dimasukkan dalam kotak khusus yaitu perjamuan kudus. Ini berarti
membatasi Tuhan dalam karya-Nya.
Dalam praktek ibadah yang lain secara khusus pelaksanaan unsur
ibadah pujian, seringkali dilakukan dengan jiwa yang kosong dan kasih
yang hambar, maka pujian seringkali hanya untuk kemuliaan manusia
bukan Allah. Pujian harus menyentuh perasaan dan ketika perasaan
tersentuh maka kepuasaan batiniah tercapai dan itulah ibadah. Apakah
demikian pujian dalam ibadah? Jika pujian yang dilakukan hanya untuk
mengisi kekosongan perasaan dan hasrat tertinggi adalah pencapaian
kepuasaan batiniah, maka disinilah muncul subjective truth sehingga
kebenaran ini bersifat relativ. Karena pengalaman kepuasaan batiniah
bukan dengan landasan objective truth yaitu firman Allah. Pengabaian
Firman Allah dalam ibadah Kristen berarti sama dengan sebuah
pengkhianatan dalam ibadah, artinya firman hanyalah sampah. 19 Unsur lain
17
Susabda, Mengenal dan Bergaul..., 260
18
Ibid.
19
Hans Maris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita (Surabaya: Penerbit
Momentum, 2008), 34.
yang menjadi sorotan dalam ibadah adalah masalah charismata. Dalam hal
ini charismata dimunculkan dalam ibadah Kristen menjadi suatu
kewajiban. Dengan kata lain, tanpa charismata karya Roh kudus belum
lengkap. Apakah ukuran seseorang dalam beribadah hanya karena memiliki
charismata?
Pertanyaan yang muncul adalah jika semua unsur dalam ibadah
sudah terpenuhi dan bahkan dilaksanakan mengapa Gereja masih belum
maksimal dalam menjalankan cita-citanya yaitu Gereja yang menjadi
berkat? Mengapa masih ada diskriminasi ras dalam Gereja? Mengapa masih
terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di anggota Gereja?
Mengapa masih ada perceraian? Mengapa masih ada ketidak taatan
seksual? Mengapa filsafat materialisme, relativisme dan egoisme
berhembus kencang dalam Gereja? Serta ada banyak bentuk masalah sosial
yang ada yang dalam Gereja.
Semua fakta ini tidak dapat disangkali bahwa dalam tubuh Gereja
masih ada banyak skandal yang terjadi. Apakah Gereja gagal beribadah?
Gereja tidak pernah gagal beribadah hanya Gereja belum menerapkan
ibadah secara holistik. Selama ini Gereja membatasi ibadah hanya dalam
sistem ceremonial. Ini berarti menutup ruang gerak dari pemahaman
ibadah. Karena itu Gereja harus terus maju dan berkembang dalam tugas
dan panggilannya. Menyikapi hal ini maka pengajaran tentang ibadah
sebagai gaya hidup menurut Rasul Paulus dalam Roma 12:1-2, menjadi
pegangan utama dalam Gereja demi terwujudnya ibadah yang sejati dan
menghadapi semua skandal yang akan mengancam Gereja.
Konteks Jauh
Dalam memahami konsep tentang ibadah yang sejati, maka tidak
lepas juga dengan kitab-kitab di luar Roma atau disebut konteks jauh atau
dapat dikatakan bahwa topik tentang ibadah ini dibahas juga dalam bagian
surat-surat Rasul Paulus lainnya seperti Galatia dan Korintus. Akan tetapi
dari segi isi surat Roma memiliki perbedaan oleh karena banyak ahli
mengatakan bahwa kitab ini berisi tentang dogma yang sangat jelas sekali.
Ini tidak berarti bahwa surat-surat tulisan yang lain tidak bermakna. Tetapi
perbedaan yang nampak hanyalah dari sisi sistematika penulisan,
penjelasan mengenai isi memiliki kesamaan, misalnya konsep tentang Roh
dan Daging dalam Roma 8, dengan Galatia 5:16-26, selain itu juga konsep
dibenarkan karena iman dalam Roma 3:21-31 memiliki kesejajaran dengan
memiliki kesejajaran dengan Galatia 3:1-14. Mengenai ibadah yang
diungkapkan dalam Roma 12:1-2, sebenarnya juga memiliki kemiripan
dalam surat Korintus 3:16-17 yaitu tentang tubuh adalah Bait Allah yang
perlu dijaga kekudusannya. Dalam Roma 12:1-2 diungkapkan bahwa tubuh
ini adalah persembahan bagi Allah dan yang kudus. Artinya kekudusan
hidup berlaku terus bagi hidup tiap-tiap hari, karena hidup ini adalah bait
Allah, dimana dalam bait Allah ibadah tercipta senantiasa. Wujud dari
ibadah yang sejati dalam Roma 12:1-2 adalah hidup sebagai orang
23
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 11-12
merdeka, yaitu lepas dari kutuk dosa yang mengikat, memiliki gaya hidup
yang berbeda “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,” serta
melayani sesama dalam kasih. Wujud dari pembenaran Allah adalah
munculnya kasih dan jiwa melayani hal ini diungkapkan juga oleh Paulus
dalam Galatia 15:13, memiliki kemerdekaan bukan untuk melakukan dosa
tetapi melakukan melayani sesama dengan dalam kasih.
Dari pemikiran Paulus tentang ibadah dalam semua surat-surat
tulisannya, intinya adalah ibadah merupakan tanda dari orang yang telah
dibenarkan oleh Allah. Pembenaran Allah itu meliputi seluruh aspek hidup
manusia (totalitas hidup) dan totalitas hidup inilah yang dipersembahkan
kepada Allah sebagai ibadah, dan persembahan tubuh ini adalah kudus.
30
Ibid., 674
31
Reinecker & Roger, Jr (Ed), A Linguistic Key..., 375
32
Hagelberg, Tafsiran Roma..., 235
33
Ibid.
34
Barbara and Friberg (Ed), Analytical Greek..., 499
35
Morris, “Mercy,” Paul Dictionary and His Letter..., 601
Ibrani Rahamim yang diambil LXX, dimana kata ini digunakan sebanyak 6
kali. Kata ini diartikan oleh Leon Morris dalam Paul Dictionary demikian:
“A terms which seems to denote the feeling kinship between those born
from the same womb or the maternal feeling of a mother who has given
birth (rehem, womb).36 Berkenaan hal ini Cranfield menjelaskan demikian:
The use of the plural oivktirmw/n would suggest a number of
different manifestations of compassion; but here (as in 2 Cor 1:3;
Phil 2:1) it probably reflects the influence of the LXX, which
regularly respresent Hebrew plural RAHAMIM by plural of
oivktirmwos. The Vulgate represent Paul’s meaning accurately by
singular misericordiam. What he is appealing to as the basis of
efhortation is the compassion of God revealed in God’s dealing with
men through Jesus Christ.”37
Kemurahan selalu berbicara tentang relasi yaitu adanya pertalian
yang akrab antara dua pribadi yaitu antara Allah dan manusia. Hal ini
dipahami oleh Paulus sehingga dia mendasari nasehat pada kemurahan
Allah yang semua ini tercipta oleh suatu relasi yang akrab dengan Allah.
Oleh karena itu istilah mercy pada bagian ini jelas menunjuk kepada
apa yang Paulus jelaskan pada pasal sebelumnya secara khusus pasal 9-11,
di mana Paulus menjelaskan bahwa keselamatan tidak bergantung kepada
perbuatan baik manusia tetapi anugerah Allah (9:16). Maka hal ini berarti
bahwa anugerah Allah adalah karya agung Allah yang menyelamatkan
manusia berdosa. Disinilah nampak kemurahan Allah bagi manusia.
Thomas Van den End menuliskan: “Kemurahan Allah itu bukan hanya
hiburan. Tetapi dengan menyelamatkan orang berdosa, Tuhan meneguhkan
kembali hak-hak-Nya atas ciptaan-Nya itu.”38 Tanpa anugerah Allah dalam
hidup manusia, maka tidak ada seorangpun yang bisa datang kepada Allah.
Dalam hubungannya dengan nasehat yang didasari oleh anugerah
Allah ini, Cranfield mengutip apa yang ditulis oleh Calvin demikian:
“Calvin comment is apt. Paul here “teaches us,” he says, that men will
never worship God with a sincere heart, or be roused to fear and obey Him
with sufficient zeal, until they properly understand how much they are
indebted to His mercy.”39 Maka Rasul Paulus ingin mengingatkan kepada
seluruh orang percaya agar supaya mereka terus mengingat anugerah Allah
yaitu karya agung penyelamatan Allah bagi manusia berdosa dan tidak
36
Ibid.
37
Cranfield, The Epistle..., 596
38
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 563
39
Cranfield, Ibid.
bermain-main dengan anugerah Allah tetapi sebaliknya semakin serius
dengan Allah. Dan juga Rasul Paulus mengingatkan orang percaya bahwa
perbuatan baik bukanlah jaminan untuk keselamatan kekal tetapi semata-
mata hanya anugerah Allah, sehingga hal ini membawa kita semakin
menyadari status kita dihadapan Allah yang hanyalah ciptaan dan tidak ada
ssattu alasan pun untuk menentang penciptanya. Jadi, semakin mengerti
anugerah Allah membawa kita semakin mengasihi Allah dan mentaati-Nya.
40
Barbara and Friberg (ed.), Analytical..., 499
41
Strong, Strong’s Dictionary..., 676
42
Reinecker & Roger, A Linguistic..., 375
pasal 6:12-14 (penyembahan diri kepada Allah secara total), namun
penjabarannya berbeda.43
Dalam hubungan dengan hal ini juga Cranfield menjelaskan istilah
parasth/sai yang digunakan dalam bagian ini adalah istilah teknis dari ritual
agama.44 Hal ini diungkapkan juga oleh Loen Morris demikian: “Paul’s
verb 'offer' could be used of offering of various kinds (it is used, e.g., in
6:13, 16, 19), but it was a techinal term for ofering of sacrifice. Maka kata
to offer adalah penjelasan pengantar untuk istilah sw,mata. Yang
dipersembahkan adalah tubuh ini menjadi persembahan yang hidup, kudus
dan berkenan kepada Allah. Istilah tubuh yang digunakan oleh Paulus disini
sw,ma. Istilah ini memiliki beberapa makna karena istilah ini telah
mengalami perkembangan yaitu digunakan oleh beberapa filsuf. Yang
pertama Plato. Ia menuliskan hal ini demikian:
The body is only the abode of pre-existent soul. Death frees the soul
from the body. The picture of the body was also applied to the
cosmos. The latter is ruled and directed by divine soul. Zeus
conceals everything in himself and lets it all proceed from himself.
Similarly may can be represented as a microcosm. 45
Tetapi ada yang kontras mengenai ide ini seperti yang dijelaskan oleh
Aritoteles demikian: “The body is primarily that by which the soul becomes
something particular. The bond between body and soul is thus
indissoluble.”46 Epictetus seorang filsuf juga memberikan pengertian
tentang tubuh yaitu membuat gambaran antara jiwa dan daging lebih
daripada tubuh. Juga Stoa tentang ide dikotomi dari tubuh dan jiwa serta
Marcus Aurelius yang mengatakan tentang tiga bagian manusia demikian:
“there are three parts of which thou art composed: body, pneuma (spirit,
soul) and Nous (mind, reason).” Dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa
istilah sw,ma memiliki hubungan dengan sex.47 Akan tetapi penggunaan
istilah sw,ma di sini bukan atas dasar pemikiran filsafat Yunani yang
cenderung merendahkan tubuh sebagai jahat, penjahat dari akal yang baik.
Secara spesifik lagi dalam tulisan Paulus, istilah sw,ma yang digunakan
adalah menunjuk kepada keseluruhan hidup manusia. Bultman mengatakan
tentang istilah sw,ma dalam Roma 12:1 ini demikian: “Rom 12:1 clearly
43
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 563-564
44
Cranfield, Epistle..., 598
45
Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 232
46
Ibid.
47
Ibid.
show that the 'soma' is not merely an outer form but the whole person.”48
Cranfield mengutip komentar Calvin tentang istilah body demikian: “by
bodies, he means not only our skin and bones, but totality of which we are
composed... in bidding us present our selves...). The Christian is to offer to
God himself entire-himself in the whole of his concrete life.”42 Leon Morris
menjelaskan istilah body di sini demikian: “The use of the term bodies
interesting, for Paul surely expected Christians to offer to God not only
their bodies but their whole selver.”43
Dengan demikian penggunaan istilah tubuh menyangkut totalitas
hidup manusia, tidak hanyak dibatasi pada satu bagian saja. Ini berarti
bahwa seluruh kemampuan dan kegiatan kita harus dipersembahkan kepada
Tuhan. Penyerahan atau persembahan hidup kita bukan merupakan sesuatu
yang dilakukan sekali saja dalam proses pendewasaan. Tetapi yang
dimaksudkan dengan hal ini ialah hidup dalam ketaatan karena iman yang
bertumbuh, dimana anggota-anggota tubuh kita harus menjadi alat-alat
kebenaran, dan kita hidup dalam pembaharuan hidup.44 Tubuh yang
dipersembahkan kepada Allah adalah sebagai persembahan. Istilah yang
digunakan untuk persembahan di sini adalah Sacrifies (KJV, NIV), qusi,an
bentuk dasar dari kata bendanya qusi,a dan didefinisikan oleh Vine:
qusi,a primarly denotes the act of offering; then objectively, that
which is offeres (a) of idolatrous sacrifice (Act 7:4); (b) of animal or
other sacrifices, as offered under the law (Matt 9:13); 12:7; Mark
9:49; Luke 2:24; Act 7:24; ICor 10:18; Heb 5:1; 7:27). (c) of Christ,
in His Sacrifice on the cross (Eph 5:2; Heb 9:23) where the plural
antitypically comprehends the various forms of Levitical sacrifices
in their typical character. (d) Metaphorically, (1) of the body of the
beliver presented to God as a living sacrifice (Rom 12:1); (2) of
faith, (Phil 2:17); (3) of material assistance rendered to servant of
God (Phil 4:18); (4) of Praise (Heb 13:15); (5) of doing good to
others and communicating with their needs, (Heb 13:16). (6) of
spiritual sacrifices in general, offered by believers as a holy
priesthood (1Pet 2:5).45
Istilah sacrifies di sini menunjukan suatu tindakan atau aktifitas
yang memiliki objek atau materi. Oleh karena ibadah selalu identik dengan
kurban. Hal ini sangat jelas dalam PL, bahwa untuk mengadakan
48
Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 234
42
Cranfield, The Epistle..., 598
43
Morris, The Epistle..., 433
44
Hegelberg, Tafsiran Roma..., 235
45
Vine. M.A, Expository Dictionary..., 985
pendamaian dengan Allah perlu adanya kurban. Tetapi konsep Paulus disini
agak berbeda oleh karena bagi Paulus sendiri, Kristus adalah kurban yang
mulia untuk pendamaian dengan Allah dan hal ini adalah sempurna (Ef
5:2). Dan karena Kristus telah menjadi kurban, maka bagi orang yang
percaya kepada Kristus dituntut untuk memberikan persembahan yaitu
melalui hidup seutuhnya, tanpa menyisihkan sebagian untuk orang lain atau
diri sendiri, tetapi totalitas hidup ini dipersembahkan bagi Tuhan, atau
dalam pengertian lain bukan pemberian kita yang Tuhan kehendaki tetapi Ia
menghendaki kita sendiri.46 Dan persembahan yang kita berikan kepada
Allah adalah suatu persembahan yang hidup. Istilah hidup yang digunakan
dalam bagian ini adalah zw/san, living (NIV, KJV). Kata ini bersifat
sebagai objek dari kata qusi,an dan juga memberikan penjelasan tentang
kata qusi,an (sacrifices) itu sendiri, atau living adalah merupakan sifat dari
qusi,an dan hal ini terus menerus terjadi. Istilah zw/san memiliki akar kata
zw/. Kata ini digunakan sebanyak 23 kali secara khusus dalam kitab Roma.
Istilah ini juga berhubungan dengan zoe (life). Seperti dalam agama-agama
kuno yang lain, istilah zoe, digunakan pada masa kekristenan mula-mula
untuk menjelaskan tentang keselamatan.47 Dictionary of Paul and His
Letter menjelaskan zoe, demikian: “Zoe is used in Paul to mean something
other than mere physical existence; it refers to unique quality of life which
comes through faith in union with Christ.”48 Jadi, sesuatu yang hidup tidak
hanya hal fisik saja tetapi lebih dari itu adalah spiritual. Douglas Moo
menjelaskan istilah living demikian: “living, a theological sense,” as those
who have been brought to new spiritual life.”49 Hegelberg memberikan
penjelasan juga tentang persembahan yang hidup dan melihat sisi PL dan
PB tentang Persembahan, demikian:
Dalam ibadah PL tubuh-tubuh binatang yang hidup dimatikan untuk
dipersembahkan di mezbah Allah, sedangkan dalam ibadah kita,
tubuh-tubuh yang mati dipersembahkan sebagai persembahan yang
hidup oleh karena kuasa Roh Allah. Bukankah kontras antara ibadah
dalam Hukum Taurat dan ibadah kita dalam kasih karunia Allah
mencerminkan tema surat Roma, yaitu bahwa orang yang dibenarkan
karena iman akan hidup. Dalam ibadah diluar Kristus, segala macam
persembahan yang mati dipersembahankan kepada Allah. Dalam
46
Van den End, Surat Roma..., 564
47
Balz & Schneider (ed.), Exegetical Dictionary..., 105
48
Gerald F. Hawthorne, Ralph P. Martin & Daniel G. Reid (eds.), Dictionary of
Paul and His Letter (Leicester: Inter Varsity Press, 1993), 554
49
Douglas Moo, The New International Commentary on the New Testament, The
Epistle of Romans (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996), 751
Kristus, tubuh kita yang mati dihidupkanNya, dan itu menjadi
persembahan kita. 50
Oleh karena itu istilah hidup di sini menunjukan suatu kondisi hidup
yang baru, yaitu hidup yang dibaharui oleh Roh Kudus (8:11), karena tanpa
pembaharuan oleh Roh Kudus, maka hidup kita mati yaitu tetap dalam dosa
dan hal ini membawa kita untuk tidak dapat melakukan kehendak Allah,
dalam hal ini memberikan persembahan yang hidup. Selain persembahan
yang hidup, ada juga kriteria lain yang dicatat oleh Paulus dalam bagian ini
yaitu kudus, holy (KJV, NIV) yang digunakan di sini adalah dari kata
a`gi,an dari kata dasar a[gioj yaitu sacred (physically-pure); morally,
blameless or relegious; ceremonially, consecrated: (most) holy (one thing),
saint.51
Maka istilah kudus disini adalah menunjuk kepada sifat Allah yang
kudus dan juga menyangkut perubahan moral dan spiritual orang percaya
yang sudah dibenarkan, yang sudah dilahirkan kembali. Dikaruniai hidup
baru oleh Tuhan, sebagaimana yang Paulus jelaskan dalam pasal 7-8. Istilah
kudus ini juga seringkali Paulus gunakan dalam hubungan dengan
pembenaran artinya seseorang dikatakan kudus karena telah mengalami
pembenaran oleh Allah. Itu sebabnya istilah kudus disini merupakan bagian
yang penting dalam persembahan kepada Allah, karena Dia adalah Allah
yang kudus menerima persembahan yang kudus juga dari umat-Nya. Dalam
pengertian lain Allah hanya menghendaki persembahan yang kudus dengan
demikian persembahan itu adalah menyenangkan hati Tuhan atau berkenan
kepada Allah. Antara kekudusan dan menyenangkan hati Allah merupakan
satu bagian yang tidak dapat terpisahkan. Murray menjelaskan demikian:
Holiness is contrasted with the defilement which characterizes the
body of sin and with all sensual lust. Holiness is the fundamental
character and to be well-pleasing to God the governing principle of
a believer. These qualities have reference to his body as well as to
his spirit and show hoe ethical character belongs up the body and to
its functions. No terms could certify this fact more than “holy and
well-pleasing to God”.52
Sehingga menyenangkan hati Tuhan adalah merupakan sifat dari
persembahan yang kudus. Istilah eureston yang digunakan dalam bagian ini
memiliki bentuk kata yang sama dengan istilah a`gi,an -hagian- (holy) yaitu
50
Hagelberg, Tafsiran Roma..., 235-236
51
Strong, Strong Dictionary..., 566
52
John Murray, The Epistle to the Romans (Great Britain: W & J Makay Limited,
Chathan, n.d.), 112
kata sifat, akusatif, feminim tunggal. Hal ini berarti bahwa menyenangkan
hati Tuhan menandakan persembahan kurban dan persembahan kurban
disini adalah benar dan layak dimana hal ini sesuai dengan keinginan Allah
dan Dia menerimanya.
56
Moo, The Epistle..., 753-754
57
Van den End, Surat Roma..., 566
not in the sense of being consistent with the natural rationality of
man but in the sense of being consistent with a proper understanding
of the truth of God revealed in Jesus Christ.58
Jadi, istilah logikh.n di sini memiliki makna spiritual bukan dalam
makna filosofis lagi, seperti yang dijelaskan John Stott demikian: Paul is
clear that the presentation of our bodies is our spiritual act of worship. It is
a significant Christian paradox. No worship is pleasing to God which is
purely inward, abstract and mystical; it must express itself in concrete acts
of service performed by our bodies.59 Oleh karena itu ibadah yang kita
lakukan adalah merupakan tindakan spiritual yang masuk akal dimana
adanya keterikatan antara ketiga hal ini yaitu hati, pikiran dan perbuatan,
ketiga hal ini dalam tuntunan Roh Kudus serta sesuai dengan Firman Allah.
PENUTUP: IMPLIKASI
Dalam bagian ini penulis akan membahas ibadah menurut Roma 12:1-2 dan
implikasinya bagi ibadah masa kini, yang meliputi: implikasi teologis, etis,
soteriologis, eklesiologis, dan eskatologis.
Implikasi Teologis
Ibadah yang sejati bukan hanya didasarkan pada pengalaman tetapi
didasarkan pada sebuah pemahaman teologis yang mendasar. Artinya
ibadah harus di dasarkan pada Alkitab yang adalah Firman Allah. Maka
kebenaran dari ibadah bersifat mutlak dan harus dilakukan. Jika ibadah di
dasarkan kepada pengalaman pribadi, maka kebenaran dari ibadah tersebut
tergantung apa kata pribadi sehingga nilai kebenarannya adalah relativ,
manusia sebagai penentu kebenaran. Jika kebenaran ibadah adalah relativ,
maka ibadah dapat di tolak yang berarti perlawanan terhadap Allah.
Ibadah yang didasarkan pada pengalaman semakin jelas tujuannya
yaitu ibadah antropocentris. Karena itu, ibadah harus dikaji secara teologis
dengan melihat beberapa aspek penting yang saling berkaitan satu dengan
yang lain dan berfondasi pada Alkitab. Jika hal ini dilakukan, maka
dipastikan bahwa ibadah tersebut adalah ibadah yang sehat karena memberi
gizi yang tepat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah.
58
Cranfield, The Epistle..., 604-605
59
Stott, The Message of Romans...,
Implikasi Etis
Ibadah adalah sebuah penyembahan yang dilakukan oleh para
penyembah. Karenanya ibadah memberi pengaruh kepada penyembah. Jika
seseorang beribadah tetapi tidak menunjukkan perubahan karakter dalam
hidupnya maka dia tidak memahami dan melakukan ibadah yang
sebenarnya. Karena ibadah yang sejati selalu mengubah hati penyembah.
Ini berarti bahwa ibadah memberi impact dalam perilaku setiap orang yang
melakukan ibadah. Problematika hidup yang seringkali terjadi dalam
kehidupan jemaat Kristen bukan hanya karena di dasarkan pada istilah
“karena kita ini manusia lemah,” tetapi karena pemahaman ibadah yang
hanya dibatasi oleh ritus, sistem ceremonial ataupun tempat tertentu. Ibadah
yang sejati adalah sebuah gaya hidup. Maka semua aktifitas, kreatifitas dan
hal apa saja yang dilakukan adalah ibadah, sehingga semua orang yang
memiliki konsep ini akan semakin bijaksana hidup dan memiliki makna
hidup yang tinggi, yaitu hidup adalah memuliakan Allah sampai selamanya.
Implikasi Soteriologis
Hakekat dari Ibadah yang sejati adalah inisiatif Allah semata. Ini
berarti bahwa jika seseorang mampu melakukan ibadah itu bukan karena
kekuatan atau inisiatif orang tersebut tetapi pekerjaan Allah. mengapa Allah
melakukan hal ini ? Karena Dia adalah Allah yang senang untuk berjumpa
dengan umat-Nya. Dan wadah yang diciptakan oleh Allah ibadah. Tetapi
perjumpaan dengan Allah melalui ibadah harus melalui syarat Allah. Hal
ini dilakukan oleh karena manusia telah jatuh dalam dosa. Syarat mutlak
dari ibadah yang sejati adalah Justification by faith. Karena tanpa
pembenaran oleh Allah tidak ada seorang pun yang mampu menghampiri
tahta Allah yang kudus. Karena itu ibadah Kristen adalah ibadah anugerah
yaitu refleksi dari keselamatan yang telah Allah kerjakan bukan sebagai
sarana untuk mencari keselamatan.
Implikasi Eklesiologi
Ibadah selalu identik dengan Gereja karena tidak ada Gereja yang
tidak beribadah. Selama Gereja ada berarti selama itu pula akan terus ada
ibadah, bukan berarti bahwa ibadah tidak bisa dilakukan tanpa Gereja.
Konsep ibadah sangat berpengaruh dalam maju mundurnya sebuah
Gereja. Jika Gereja salah bahkan tidak memahami konsep ibadah yang
sejati yaitu persembahan totalis hidup manusia kepada Allah yang di
dasarkan pada pembenaran oleh Allah, maka Gereja hanya akan menjadi
sebuah pusat pesta dimana setiap orang yang datang bebas menumpahkan
isi hatinya tanpa melihat aturan-aturan yang ada. Ibadah hanya sebuah alat
pemuasaan kebutuhan emosional, sehingga tidak heran bahwa ibadah hanya
boleh dilakukan di Gereja saja. Maka ibadah menjadi suatu legalisme dan
rutinitas belaka. Ibadah hanya di batasi pada tata cara dan sistem
ceremonial yang dilakukan pada waktu tertentu dan tempat tertentu.
Bukankah ini sebuah pereduksian ibadah ?
Gereja harus mengimplementasikan ibadah sebagai gaya hidup bagi
semua jemaat yang datang beribadah sehingga memberi dampak bagi
kehidupan sendiri, orang lain dan memuliakan Allah. Serta memberi diri
kepada Allah sebagai persembahan yang hidup dan menjalani proses
renewing mind sampai Tuhan datang kedua kali.
Implikasi Eskatologis
Ibadah yang dilakukan adalah sebuah gambaran tentang kehidupan
yang akan datang. Karena ibadah memiliki nilai eskatologis. Ketika Yesus
menyelamatkan kita itu berarti bahwa kerajaan-Nya telah hadir dalam hidup
kita dan kita telah berada dalam kerajaan-Nya. Maka tujuan tertinggi orang
beribadah bukan untuk masuk surga tetapi memuliakan Allah. Sehingga
ibadah mengadung kepastian. Karena sebuah kepastian maka ada banyak
janji yang didengar dan diberikan untuk kekekalan dan itu diterima oleh
banyak orang percaya dan di atas semua ini ada pengharapan yang sejati
dalam Yesus Kristus. Karena itu ibadah yang dilakukan adalah sebuah
refleksi jiwa tentang adanya kepastian hidup di masa yang akan bukan
hanya sebuah propaganda tanpa kepastian.
1
Lih. beberapa ulasan mengenai transformasi dari beberapa tokoh Gereja dalam
karya bersama dengan tema Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan
yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003).
Pada tahun 1960-an sejalan dengan kebangunan New Age terjadi
kebangunan gerakan Kharismatik. Dasawarasa 1970-an ditandai dengan
pertumbuhan gerakan itu yang menembus ke lima benua dan memasuki
aliran-aliran Gereja, ini disusul dasawarsa 1980-an dimana gerakan ini
mulai mencari bentuk dan terjadi disorientasi dimana dari dalamnya lahir
banyak aliran-aliran yang menekankan ajaran tertentu dan bahkan sering
bersifat sensasional. Salah satu gerakan yang berkembang dan menjadi isu
penting adalah pujian dan penyembahan yang disusul dengan Ajaran
Kemakmuran (Jonggi Cho) yang merupakan evolusi dari Words of Faith
(Kenneth Hagin) yang sarat dengan konsep dan menekankan positive
thinking, visualisasi, dan kekuatan kata-kata doa (doa dimensi ke-empat),
dan bangunnya ajaran Signs & Wonders (John Wimber). Kemudian pada
tahun 1988 sebagai kelanjutan pergerakan sebelumnya, kemudian muncul
sensasi tentang Akhir Zaman yang ramalannya di ulang-ulang di tahun
1992, 1994, 1998 dan 2000. Pada Dasawarsa 1990 gerakan tersebut masih
menekankan ajaran kemakmuran dan pertumbuhan Gereja, dan kemudian
diselingi sensasi Toronto Blessing (1994-1996). Dari tokoh-tokoh yang
umumnya mendukung gerakan kemakmuran, akhir zaman, tanda & mujizat,
dan Toronto Blessing, kemudian diujung milenium ketiga, lahir gerakan
Doa Transformasi yang melanda seluruh dunia.2
Tokoh utama dibalik gerakan Doa Transformasi adalah Peter
Wagner dan George Otis Jr. Wagner adalah orang kedua setelah Donald
McGravan yang mengembangkan School of World Mission di Fuller
Theological Seminary dan gerakan pertumbuhan Gereja, serta John
Wimber, pendiri dari Association of Vineyard Churches and Vineyard
Ministries International yang dikenal luas dengan ajaran Signs &
Wonders.3 Wagner kemudian merintis gerakan Reformasi Kerasulan Baru4
2
Ulasan tentang gerakan words of faith dan signs and wonders dapat dilihat
dalam Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2011.
3
C. Peter Wagner adalah salah seorang pendiri the World Prayer Center (Pusat
Doa Sedunia) di Colorado Springs dan Koordinator dari the United Prayer Track of the
A.D. 2000 and Beyond Movement (Jalur Doa Terpadu dari Gerakan Tahun 2000 dan
sesudahnya. Gerakan ini di Indonesia dikenal dengan istilah Jaringan Doa Nasional.
Mentornya adalah Donald A. McGavran Profesor Pertumbuhan Gereja di Fuller
Theological Seminary dan John Wimber pendiri dari Association of Vineyard Churches
and Vineyard Ministries International.
4
Towns mengemukakan bahwa wagner pernah menyebut gerakan baru ini
(Willow Creek Associates, Calvary Chapels, Vineyard Fellowships) “Gereja-gereja
pascadenoinasi,” namun istilah ini ditolak karena beberapa orang menganggap istilah itu
mengaitkan mereka dengan kegagalan-kegagalan mereka di masa silam, aatau bahkan
lebih buruk, istilah itu memberi implikasi ketidakefektifan beberapa denominsi Injili,
(New Apostolic Reformation) melalui simposium nasional tentang Gereja
pasca-denominasi pada tanggal 21-23 Mei 1996 dimana ia dan beberapa
tokoh lainnya mengklaim diri sebagai rasul-rasul khusus pada akhir zaman
ini untuk penyatuan umat Kristen di luar tembok denominasi … Mereka
juga enyatakan bahwa telah muncul Gerakan Apostolik yang akan
merevolusi Gereja abad ke-21. Gereja generasi akhir akan mengalami
Reformasi Apostolik yang akan sama hebatnya dengan generasi awal
Gerakan Apostolik.5 Dari kubu kedua tokoh tersebut lahirlah konsep
pengajaran mengenai peperangan spiritual (spiritual warfare), pemetaan
spiritual (spiritual mapping), dan roh-roh teritorial (teritorial spirits) yang
pada intinya menekankan peran pendoa syafaat (intercessor) yang memilik
kuasa dalam mengubah negara bila dilakukan bersama dengan ajaran
mengenai peperangan dan pemetaan spiritual. Dalam film itu diceritakan
mengenai empat kota (Cali, Almolonga, Kiambu, dan Hemet) di mana
diklaim bahwa metoda baru doa itu telah berhasil mengubah kota-kota itu
menjadi kota yang diberkati Tuhan.6 Gerakan Doa Transformasi
dipublikasikan secara besar-besaran dengan menghadirkan kesaksian yang
sarat dengan klaim-klaim subjektif dan spektakuler tanpa memperhatikan
keseluruhan peristiwa yang terjadi. Di samping sarat dengan subjektifitas
yang tendensius, ajaran Doa Transformasi Kota juga mengusung dan
mempopulerkan “kuasa doa dan puasa serta pendoa syafaat” yang
memberikan hasil yang spektakuler. Sebagai sebuah mobilisasi massa,
gerakan transformasi tersebut berhasil menarik banyak minat para hamba
Tuhan dan anggota Gereja.
padahal sebenarnya mereka iti efektif. Karena itulh wagner mengubah judul buku ini
menjadi “Reformasi Rasuli Baru”; C. Peter Wagner (ed.), Gereja-Gereja Rasuli yang
Baru. Terj. (Jakarta: YPI 'Immanuel', 2001), 7-10; Lih. jg karya C. Peter Wagner, Gempa
Gereja. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1999), 5; Wagner meyebut perubahan terbesar dalam
Gereja sejak Reformasi Gereja Protestan sedang berlangsugng saat ini. Ia menamakan
fenomena ini sebagai “Reformasi Apostolik Baru.” Reformasi Apostolik Baru adalah
pekerjaan Tuhan yang luar biasa di abad ke dua puluh yang mengubah Kristen Protestan di
seluruh dunia … Sebenarnya, dari setiap bagian dunia ini, Gereja-gereja apostolic baru
telah menciptakan segmen pertumbuhan kekristenan yang paling cepat.
5
Bill Hamon, Apostolic & Prophetic Reformation 1. Terj. (Jakarta: Metanoia,
2002), 13; Melalui symposium tersebut kelompok ini menyakini bahwa telah muncul
Gerakan Apostolik yang akan merevolusi Gereja abad 21. Nabi-nabi dan rasul-rasul Gereja
generasi awal meletakkan fondasi Gereja. Kini, Reformasi Apostolik zaman akhir akan
memberikan sentuhan akhir pada Gereja.
6
Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2012.
Perkembangan Gerakan Transformasi Dalam Konteks Indonesia
Pada tahun 1980-an Gerakan Words of Faith yang dikenal dengan
prosperity gospel dirintis Kenneth Hagin melanda banyak Gereja,
kemudian dikembangkan oleh Benny Hinn, kemudian disusul ajaran Signs
& Wonder dipimpin John Wimbers yang menekankan tanda dan mujizat,
ketiga arus gerakan yang biasa dipopulerkan melalui KKR itu memberi
dasar timbulnya gerakan yang lebih sensasional lagi pada medio 1990-an
yaitu Toronto Blessing. Sekalipun gerakan terakhir ini dirintis salah satu
Gereja Vineyard dari lingkungan Signs & Wonders, John Wimber dan
mayoritas dari 600 Gereja Vineyard menolak kehadiran Toronto Blessing
yang terkenal dengan label tertawa, mabuk dan berjatuhan dalam roh itu
sehingga Gereja Vineyard di Toronto yang dipimpin John Arnott kemudian
dikeluarkan dari persekutuan Vineyard. Gelombang Toronto Blessing
melanda seluruh dunia termasuk dipopulerkan di Indonesia oleh Gereja-
gereja yang sudah lebih dahulu terpengaruh Words of Faith dan Signs &
Wonders.7 Dari Gereja-gereja yang biasa mempopulerkan Words of Faith,
Signs & Wonders, dan Toronto Blessings, kemudian juga dipopulerkan
sensasi Akhir Zaman dan Pengangkatan Jemaat pada tahun 1988, 1992
kemudian 1998, dan lebih-lebih pada tahun terakhir ini dipopulerkan
sensasi Pembangunan Bait Allah ke-III dan Lembu Merah. Dramatisasi
sensasi Akhir Zaman memuncak pada tahun Y2K alias tahun 2000. Morris
Cerullo sendiri mengatakan tak mau membuat rencana pada tahun 2000. 8
Di Indonesia, gerakan tersebut dapat diamat-amati pada jaringan
pelayanan doa di kalangan Gereja-gereja (walaupun tidak mengikuti
keseluruhan arus fenomena yang terjadi pada Gelombang Toronto
Blessing) atau yang lebih dikenal dengan Jaringan Doa Nasional (JDN),
sebagai motor penggerak berkumpulnya Gereja-gereja dalam kegiatan doa,
juga ikut dimotori oleh tokoh-tokoh yang biasa mempopulerkan gerakan-
gerakan Words of Faith, Signs & Wonders, Toronto Blessings, bahkan
Akhir Zaman itu, pada awal milenium ke-III itu ikut menyebarkan gerakan
Doa Transformasi sebagai penerus tangan Gerakan Transformasi yang
dirintis New Prophet & Apostle antara lain oleh: Peter Wagner, George
Ottis, dan Cindy Jacobs. Dalam rangka Jaringan Doa Nasional sendiri
menjadi National Prayer Comittee (NPC) pada tahun 2003 di Indonesia
salah satu pembicara yaitu Hammond mengemukakan bahwa, “pada masa
1997, suatu masa kairos baru di Indonesia telah mulai dan sekarang sedang
berjalan dan sedang menuju suatu klimaks dan ledakan besar bagi seluruh
7
Herlianto, Doa Transformasi, www.sabda.org, diakses tgl 19 Januari 2012.
8
Ibid.
bangsa Indonesia.”9 Bila gerakan-gerakan sebelumnya hanya berurusan
dengan kebangunan rohani, gerakan Doa Transformasi dipengaruhi
semangat transformation, mempopulerkan pembaharuan masyarakat dan
negara-negara melalui penekanan Doa dengan para pendoa syafaat
(intercessor) menuju pembaharuan dan kesatuan, dan dipercaya bahwa
dibawah kepemimpinan tokoh-tokoh New Apostolic di atas yang memuncak
pada tahun 2003, dipersiapkan trasformasi masyarakat yang penuh
kemuliaan dan kemakmuran. Jargon yang diusung oleh Doa Transformasi
adalah, antara lain: doa berjalan (prayer walk), menara doa (prayer tower),
konser & sekolah doa, pemetaan spiritual (spiritual mapping), roh teritorial
(teritorial spirit), peperangan rohani (spiritual warfare), memberkati kota-
kota, dan kemajuan dan kemakmuran negara.10
Film-film Transformations yang memberi penekanan kepada
peperangan rohani dengan pendoa syafaatnya disebarkan secara luar biasa
disertai dengan nubuatan-nubuatan yang menghipnotis mengenai kemajuan
dan kemakmuran negara-negara berkat doa-doa mereka. Orang-orang
Kristen di JDN percaya bahwa doa bersama umat Tuhan akan
mendatangkan kuasa besar bagi terjadinya transformasi di Indonesia
bahkan dalam KKR di Denpasar, Royandi Hutasoit yang merupakan salah
satu tokohnya mengemukakan bahwa pada tahun 2005, 50% penduduk
Indonesia akan menjadi Kristen. Cindy Jacobs malah menubuatkan
Indonesia akan bertobat dan ikan-ikan dari perairan dunia akan mengalir ke
perairan Indonesia dan Indonesia akan diberkati dengan berkelimpahan.
Ruyandi Hutasoit salah satu tokoh gerakan Doa Trasformasi tidak
tanggung-tanggung pada tahun 2001 mendirikan Partai Damai Sejahtera
dan berambisi menjadi Presiden RI. Gerakan yang mengandalkan
penglihatan dan nubuatan, dan bahwa mujizat Allah bisa dihasilkan melalui
doa dan peran pendoa-syafaat itu meyakini bahwa Indonesia juga bisa
dibangun menjadi maju dan makmur melalui gerakan ini. Partai baru itu
memanfaatkan Jaringan Doa Nasional yang ada sebagai jaringan
membangun partainya sehingga lolos verifikasi di 21 propinsi. 11 Sedangkan
Njotorahardjo meyakini bahwa gerakan transformasi suatu bangsa dapat
9
Jeff Hammond, “Transformasi-Kairos Bagi Indonesia,” Di dalam Transformasi
Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh
Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), 27
10
Lih. ulasan yang lebih luas dalam karya C. Peter Wagner, Doa Peperangan:
Strategi untuk Bertempur Melawan Penguasa Kegelapan. Terj. (Jakarta: Metanoia, 1994),
dan karya Jonathan David, Jemaat yang Mengalami Strategi-strategi Apostolik. Terj.
(Jakarta: Nafiri Gabriel, 2001)
11
Herlianto, Doa Transformasi, www.sabda.org, diakses tgl 19 Januari 2012
terjadi oleh dua kunci utama yaitu, kesatuan para pemimpin (unity among
the leaders) dan doa kesatuan (united prayer).12 Ia tidak mengemukakan
sama sekali upaya yang harus dilakukan oleh para pemimpin Gereja dalam
menyejahterakan masyarakat dan bangsa.
12
Niko Njotorahardjo, “Kesatuan Tubuh Kristus Menuju Transformasi Bangsa,”
DalamTransformasi Indonesia (Jakarta: Metanoia, 2003), 3
13
Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2012
perkara-perkara yang lebih besar daripada yang Yesus sendiri lakukan.
Kemudian ia lebih lanjut memaparkan peristiwa-peristiwa di mana Yesus
menyerang Iblis dan sekaligus pengajaran Yesus tentang perlunya
penyerangan, yang kemudian diakhiri dengan contoh-contoh alkitabiah
tentang penyerangan rohani. Semuanya ini dimaksudkan untuk
mengatakan: Yesus menyerang, demikian pula kita!14
17
Publikasi buku oleh George W. Peter, A Biblical Theology of Mission, Chicago:
Moody Press, 1974; Donald A. McGavran, Contemporary Theologies of Mission (Grand
Rapid, Michigan: Baker Book House, 1983).
18
J. Verkuyl, Contemporary Missiology: An Introduction (Grand Rapids,
Michigan: Eerdmans, 1978), 184, 190
19
C. Peter Wagner, Gempa Gereja. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), 7-8
20
C. S. Song, Christian Mission in Reconstruction: An Asia Analysis (New York:
Orbis Book, 1977), 13
21
David Fisher, The 21st Century Pastor (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
1996), 76
Dengan demikian, pergeseran paradigma dan kultur Gereja dalam
memahami Gereja dan Transformasi adalah lebih merupakan perumusan
bahwa doktrin persepsi dikotomi. Deskripsi yang salah dalam memahami
dan merumuskan doktrin Gereja dan Transformasi akan cenderung dapat
mengakibatkan perilaku yang tidak tepat pula. Kesalahannya bukan terletak
pada doktrin, tetapi pada cara pemahaman dan perumusan doktrin secara
salah, serta terhadap natur dan tujuan doktrin. Gerakan transformasi yang
berkembang di Indonesia dapat diidentikkan dengan gerakan Reformasi
Apostolik Baru yang mengklaim sebagai perwujudan dari akhir masa karya
Allah di dalam dunia yang akan memasuki masa akhir zaman, serta
menekankan kuantitas.
PL dan PB, tidak hanya berisi narasi sejarah dan aspek moralitas
belaka, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual, pembaruan sosial,
politik, dan ekonomi serta keagamaan. Berkaitan dengan hal itu, maka pada
bagian ini penulis membahas beberapa bagian mengenai dasar-dasar
transformasi sebagai wacana dan pergerakan perubahan dalam Gereja yang
diharapkan dapat menjadi pijakan dalam meneliti dan mengembangkan
tindakan-tindakan yang positif serta konstruktif bagi upaya Gereja dalam
hal transformasi. Penelitian beranjak dari sumber Alkitab mengenai
transformasi secara terbatas. Artinya tidak secara keseluruhan bagian
Alkitab, melainkan beberapa bagian saja yang dikemukakan, termasuk di
dalamnya fungsi mempertahankan dan mengoreksi pergerakan perubahan.
Perjanjian Lama
Allah adalah pencetus dan pemrakarsa serta dinamisator
transformasi yang sesungguhnya. Allah adalah awal dan yang sudah
memulai (originator) transformasi sesungguhnya pada waktu ia
mengadakan penciptaan dan ketika manusia jatuh dalam dosa (Kej 1-3). Ia
menciptakan semuanya menjadi “sungguh amat baik” (Kej 1-2). Ia
memiliki otoritas mutlak sebagai pencipta dunia dan yang mengadakan
transformasi. Otoritas Allah sebagai pencipta tidak hanya berbicara
mengenai teori penciptaan tetapi juga mengungkapkan tindakan Allah yang
agung terhadap alam semesta yang kompleks namun tertata dengan rapi
seperti yang diungkapkan oleh Karman, yaitu: “teologi penciptaan adalah
kepercayaan tentang Allah sebagai Pencipta alam semesta yang kompleks
namun tertata rapi, termasuk juga sebagai penjaga kelangsungan dunia
ciptaan sampai sekarang, menopang segala yang ada dengan firman-Nya
yang penuh kekuasaan (Ibr 1:3).”22 Berkaitan dengan hal itu, Smith
memaparkan bahwa Allah terus-menerus terlibat didalam kelangsungan dan
pergerakan alam semesta, yang di dalamnya termasuk manusia. Di dalam
kedaulatan Allah nyata karya-Nya yang adalah Tuhan atas segala ciptaan,
bukan hanya sebagian. Kerajaan-Nya meliputi seluruh kehidupan. Allah
menciptakan dunia sebagai suatu kesatuan; dunia jatuh ke dalam dosa
secara total, dan akhirnya dunia akan diperbarui secara menyeluruh. 23
Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah tidak hanya berdiam diri
tetapi Ia mencari dan berinisiatif untuk mengembalikan manusia pada relasi
dan tempat yang sepantasnya di hadapan Allah, agar manusia menjadi
manusia yang sesungguhnya sesuai dengan maksud kehendak-Nya, Allah
dalam kedaulatan dan kehendak-Nya sendiri berinisiatif mencari manusia,
bukan manusia yang mencari Allah (Kej 3). Kejadian pasal tiga
menyatakan kebutuhan manusia akan pertolongan, tetapi sekaligus
menyatakan tindakan Allah yang agung di dalam kehendak-Nya, rencana-
Nya dan kedaulatan-Nya serta kasih-Nya dalam melakukan transformasi.
Allah memanggil manusia dan berfirman kepadanya: ”Dimanakah
engkau?” Ini merupakan seruan transformasi, Allah yang memanggil
manusia dari ketakutan dan ketersembunyiannya untuk kembali memiliki
hubungan yang benar dan harmonis dengan Allah seperti sebelumnya.
Kidner menjelaskan, bahwa hanya suara Allah yang menerobos
ketersembunyian manusia, God’s first word to fallen man has all the marks
of grace. It is a question, since to help him He must draw rather than drive
him out of hiding. Only a voice penetrates his concealment.24 Kejatuhan
manusia dalam dosa menyatakan betapa dalamnya kerusakan yang terjadi
sehingga manusia membutuhkan pertolongan yang berasal dari luar dirinya
sendiri. Berkaitan dengan hal itu, Sire memberi komentar bahwa manusia
membutuhkan penataan ulang antara manusia dengan Allah, dengan
mengatakan: “Dan demikian juga kita sebagai umat manusia! Alur
22
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004), 18-19
23
Gary Scott Smith, “Reformasi: Luther, Calvin, dan Kaum Anabaptis,” Dalam
Membangun Wawasan Dunia Kristen. Vol 2. Terj. (Surabaya: Momentum, 2008), 260
24
Derek Kidner, “Genesis,” in Tyndale Old Testament Commentaries (Leicester:
Inter-Varsity Press, 1967), 70
pergerakan dunia terbuka bagi penataan ulang oleh kedua pihak (Allah
maupun manusia). Maka kita menemukannya ditata ulang secara drastis di
dalam kejatuhan. Adam dan Hawa membuat suatu pilihan yang memiliki
signifikansi yang luar biasa besar. Tetapi Allah membuat satu pilihan lain
yang di dalam menebus umat melalui Kristus.” 25 Manusia tidak mampu
menata ulang atau mereformasi dirinya sendiri, hanya oleh anugerah Allah
yang nyata melalui inisiatif dan tindakan Allah, transformasi yang
sesungguhnya dapat terjadi. Urgensitas transformasi ditandai dengan
keadaan manusia yang berada dalam ketakutan dan keterasingan serta
kebutuhan manusia untuk penataan ulang (Kej 3:9-10). Dalam konteks
tersebut seruan Allah bukanlah sekedar seruan belaka, tetapi merupakan
domain pergerakan transformasi dan secara signifikan merupakan seruan
suara transformasi sejati, sarat dengan nilai-nilai pembaruan bagi manusia.
Amos merupakan figur penggerak dan penyuara transformasi yang
menolak disebut sebagai nabi, karena memiliki latarbelakang seorang
awam dari tengah-tengah rakyat biasa, “peternak domba” dan “pemungut
buah ara hutan” (Am 1:1; 7:14). Namun, ia diutus Allah untuk
menyuarakan gerakan transformsi di Kerajaan Utara. Berkaitan dengan hal
itu, Andrew Hill memberi komentar bahwa: “kemurtadan rohani,
keruntuhan baik bidang moral dan sosial, serta kemerosotan politik
Kerajaan Utara menyebabkan Allah mengutus Amos dari Yehuda untuk
menyeberangi perbatasan dan bernubuat di Betel di kawasan Israel.” 26
Inilah yang menjadi latarbelakang dan sekaligus sebagai motivasi Amos
dalam pergerakan pembaruan. Dengan pemberitaannya yang jelas dan
tegas, khususnya dengan penolakannya terhadap sistem masyarakat yang
menindas orang-orang lemah/kecil dengan memakai alasan-alasan rohani.
Pada pasal 2, 3-6, Amos menyampaikan kecaman terhadap umat Allah
yang dikasihi-Nya, mereka justru akan mengalami hukuman yang lebih
berat. “Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang … mereka
menginjak-injak kepala orang lemah dan membelokkan jalan orang
sengsara serta mereka merebahkan diri… di atas pakaian gadaian orang”
(Am 2:6-8). Berkaitan dengan hal itu, Andrew Hill mengemukkan bahwa
berita yang disampaikan Amos meliputi seruan pertobatan dan perubahan
perilaku. Ia memaparkan sebagai berikut:
25
James W. Sire. The Universe Next Door: A Basic Worldview Catalog. Terj.
(Surabaya: Momentum, 2005), 19
26
Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama. Terj. (Malang:
Gandum Mas, 1996), 613
Amos menyalahkan secara khusus perbuatan-perbuatan
ketidakadilan sosial dan kemunafikan rohani. Beberapa tujuan pesan
ini meliputi seruan yang ditujukan pada beberapa orang untuk
bertobat dari dosa pribadi, dorongan untuk kembali pada norma-
norma perilaku yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan
perjanjian Yahweh, dan penolakan gagasan yang meluas bahwa
“hari Tuhan” hanya merupakan hari berkat secara nasional.27
Gagasan tersebut menjadi berita yang mendominasi pemberitaan
Amos agar bangsanya kembali kepada nilai-nilai dan perilaku yang sesuai
dengan kebenaran firman Allah.
Yesaya dikenal sebagai penasihat raja yang aktif melakukan
gerakan pambaruan bagi bangsanya dengan menyuarakan perubahan. Pada
pasal 1-5, Yesaya menyampaikan dan menegaskan kesalahan bangsanya
serta menyatakan kebutuhan akan pembaruan dengan mengatakan
“Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikan orang kejam;
belalah hak anak-anak yatim, perjuangkan perkara janda-janda (Yes 1:17).
Di tengah-tengah bangsa dan pemimpin yang memutar balikkan hukum,
korupsi, menindas orang-orang yang lemah secara sosial dan ekonomi (Yes
1:21-23). Yesaya tampil dalam gelora dan semangat yang tak digentarkan
oleh ancaman dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal itu, Christoph
Barth memberi ulasan tajam mengenai gaya bahasa Yesaya dalam
menyuarakan transformasi, bahwa: “Yesaya terkenal dari gaya bahasanya
yang lancar, indah dan berbobot. Dia pandai menarik perhatian orang, lalu
dengan tiba-tiba melabrak dengan hebatnya, meskipun sebaliknya pula
pandai menghardik dan mengancam, lalu dengan tidak disangka-sangka
membayangkan pengharapan baru.”28 Yesaya menyampaikan suara
transformasi dengan gaya bahasa menarik, ia menyuarakan pertobatan bagi
bangsanya untuk kembali pada tatanan Hukum Allah. Inilah tugas dari
seorang yang diutus oleh Allah, menyampaikan kedaulatan Allah yang
dapat mendatangkan pembaruan dan kelepasan. Andrew Hill memberi
konklusi dengan jelas pada arah berita pembaruan Yesaya, dengan
mengemukakan bahwa: “Tujuan seorang nabi adalah menyampaikan
perkataan yang diberikan Allah kepadanya untuk disampaikan. Sebagian
besar ucapan-ucapan ilahi dibagian pertama kitab Yesaya (1-39) berisi
tuduhan dan hukuman. Pasal 40-66 lebih banyak berhubungan dengan
pengampunan dan kelepasan dari Allah serta pemulihan kembali Israel. 29
27
Ibid., 613-614
28
C. Barth, Theologia Perjanjian Lama. Terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989), 56
29
Hill & Walton, Survei Perjanjian Lama …, 528
Signifikansi berita transformasi Yesaya dapat diamat-amati dalam beberapa
hal yang terjadi, yaitu: Pertama, Yesaya mencela dan mengancam umat
Tuhan yang sudah memperoleh segala jenis berkat tetapi mereka
membalasnya dengan keangkuhan dan pemberontakan. Kedua, Yesaya
memberitakan penolakan dan penghukuman tidak dalam arah
membinasakan, melainkan hukuman Allah dimaksudkan untuk
memperbaiki dan memurnikan (Yes 1:25). Berkaitan dengan hal itu,
Chisholm memberi komentar bahwa, “Divine judgment would not bring
Israel’s history to a screeching, permanent halt. As noted, judgment was
merely a necessary step toward the realization of God’s ideal for the
nation. Even through the smoke of judgment, one could discern a ray
hope.”30 Allah bertindak dengan tegas adalah justru karena kasih-Nya yang
tetap hangat (bnd. 'tanaman kegemaran-Nya,' Yes 5:7) dan senantiasa
memberi pengharapan. Ketiga, Dalam perannya menyuarakan transformasi,
Yesaya harus menggumuli sesuatu yang lebih dahsyat; nubuat dan
nasihatnya bukan hanya diabaikan, melainkan justru “membuat hati
bangsanya lebih keras” (Yes 5, 8, 22). Satu-satunya harapan adalah melalui
penghukuman dan penderitaan, Namun demikian, Tuhan sendiri yang
menyembuhkan umat-Nya. Keempat, pemberitaan Yesaya, dengan tekanan
kepada panggilan umat orang-orang percaya untuk pembangunan
masyarakat yang adil dan perdamaian, serta undangannya agar umat-Nya
tetap percaya di tengah-tengah kemelut bangsa.31
Ezra dan Nehemia dapat dilihat sebagai dua nabi yang memiliki
latar belakang pelayanan dengan isu-isu yang sama dalam pergerakan
mereka sebagai transformator. Dalam arah yang sama Merrill
mengemukakan bahwa, secara historis dan religius Ezra dan Nehemia
memiliki latar belakang yang sama dalam pelayanan. Ia memberi komentar,
“Moreover, as one reads both parts at one sitting he comes to appreciate
their common historical and religious setting, their concern with the same
issues, and their reflection of identifical point of view.”32 Ezra maupun
Nehemia mendapati bahwa umat Allah mengotori diri mereka sendiri
dengan mengawini bangsa-bangsa kafir yang pada akhirnya membahayakan
kelangsungan Israel sebagai kesatua etnik dan kesatuan rohani. Ezra
menghadapi tantangan dalam upaya pembangunan Bait Suci, serta
30
Robert B. Chisholm, Jr, “A Theology Of Isaiah,” in A Biblical Theology of
The Old Testament (Chicago: Moody Press, 1991).
31
Bd. Barth, Theologia Perjanjian…, 58-59; Barth mengulas keempat
signifikansi tersebut dengan lebih luas.
32
Eugene H. Merrill, “A Theology of Ezra-Nehemiah and Esther,” in A Biblical
Theology of The Old Testament (Chicago: Moody Press, 1991), 189
perbaikan tembok Yerusalem pada zaman Nehemia. Dalam pembuangan di
Persia, Nehemia mendengar tentang terbongkarnya tembok-tembok
Yerusalem dan tentang keadaan yang menyedihkan bangsanya. “Bangunlah
aku pada malam hari bersama-sama beberapa orang saja yang menyertai
aku. Aku tidak memberitahukan kepada siapapun rencana yang akan
kulakukan untuk Yerusalem, yang diberikan Allahku dalam hatiku…” (Neh
2:12). “Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem”. Ia menyuarakan
pembaharuan semangat dan motivasi kebersamaan ditengah-tengah
bangsanya yang mengalami kelesuan dan ketidakberdayaan (Neh 2:17-18).
Berkaitan dengan hal itu, Merrill memberi komentar bahwa tindakan
Nehemia dan Ezra tidak hanya bersifat struktur pisik melainkan simbol
keberlangsungan dari masa lalu dan keyakinan akan masa depan. Ia
mengemukakan sebagai berikut:
The final expression of community restoration was the rebuilding of
the physical structures of the city and nation. This was necessery not
only for practical reasons of housing and community resources but
also as a symbol fo continuity with the past and confidence in the
future. Immediately on their return, then, the people under
Zerubbabel and Jhosua commenced their building projects, in
particular the Temple of the Lord (Ezr 3:8-13). Slowly the work
progressed under these leaders and others, including Ezra and
Nehemiah, until it was finished and stood as a monument to the
faithfullness of Yahweh to His people.60
Pada pasal 9-10 di bawah pimpinan Ezra, ia melakukan gerakan
transformasi rohani dan sosial. Ezra prihatin dengan kondisi bangsanya,
karena ”bangsa yang kudus” telah tercemar (9:2). Reaksi Ezra sungguh
mengejutkan: perasaan sedih dan berduka, berpuasa dan mencabut
rambutnya. Kemudian ia berdoa dengan segenap hati mengaku dosa (9:3-
16). Inilah teladan sikap seorang transformator yang sejati. Pembaruan
rohani tersebut dideskripsikan dengan tindakan penyingkiran isteri-isteri
kafir yang telah dinikahi oleh bangsa Israel, pernikahan yang bertentangan
dengan kehendak Allah. Respon yanag dideskripsikan adalah rakyat
bertobat dan mohon pengampunan serta merekonstruksi komitmen baru
kepada Allah. Pada Nehemia pasal 8-10 menjelaskan secara dramatis
transformasi yang dilakukan oleh Ezra dengan mengembalikan bangsanya
kepada Kitab Suci. Ketaatan kepada Kitab Suci merupakan tema penting
dalam gerakan transformasi kitab Ezra maupun Nehemia. Berkaitan dengan
hal itu Howard Jr memberi komentar, bahwa ”banyak perkara dalam kitab
60
Merrill, “A Theology of Ezra-Nehemiah and Esther,” 195
Ezra dan Nehemia memberikan kesan adanya satu perhatian besar untuk
melakukan segala sesuatu sesuai dengan Taurat Musa. Ketaatan yang
sungguh-sungguh kepada Taurat kini merupakan manifestasi yang kelihatan
dari kesetiaan bangsa ini.”61 Peristiwa dramatis tersebut dijelaskan dengan
kesungguhan rakyat yang terharu sampai menangis, serta diikuti adanya
pembaruan komitmen ulang dari bangsa Israel. Inilah gerakan transformasi
yang menghasilkan pembaruan yang mengembalikan komitmen bangsa
Israel. Dengan menarik Howard Jr memberi komentar mengenai reformasi
yang di sajikan kitab Ezra dan Nehemia. Ia mengemukakan bahwa: ” Kitab-
kitab ini dikemas begitu ketat dengan pesan spiritual yang siap digali.
Kedua kitab ini menyampaikan kekayaan rohani pada masa-masa selama
umat Allah diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan.” 62 Pada keseluruhan
struktur narasi yang telas dijelaskan di atas dapat dikemukakan bahwa di
dalam PL, baik Allah dan para nabi dan orang yang diutus Allah melayani
bangsa dan negaranya sarat dengan nilai-nilai pergerakan transformasi.
Perjanjian Baru
Tuhan Yesus dapat disebutkan sebagai pemberita dan sekaligus
menjadi inti berita transformasi yang memberi dan sekaligus merupakan
teladan seorang transformator yang sesungguhnya. Hal tersebut dapat
diamat-amati dari narasi yang dikemukakn oleh keempat Injil. Yesus
Kristus yang datang ke dunia merupakan berita perubahan yang jauh lebih
radikal dari perubahan-perubahan itu sendiri. Signifikansi perubahan
sejarah abad manusia diperlihatkan dengan kehadiran para malaikat yang
memperlihatkan wujudnya kepada manusia untuk menyampai berita
sukacita besar sebagai suara transformasi (Mat 1-2; Luk 1-2). Berita yang
dicatat oleh penulis Matius menyatakan inti berita transformasi
sesungguhnya yang memberi perubahan pada sejarah besar manusia, “Ia
akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus,
karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat
1:21). Dia tidak hanya menjadi inti berita transformasi, melainkan sekaligus
pada diri-Nya melekat berita itu sendiri, dan menjadi pelaku transformasi.
Hal ini lebih dari cukup untuk sebuah konsepsi, konfesi dan rekonstruksi
transformatoris. Bagi orang-orang pengecut, munafik dan penguasa korup,
serta yang tidak berkenan bagi Allah, berita tersebut pada satu sisi adalah
61
David M. Howard Jr, Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Terj.
(Malang, Gandum Mas, 2002), 380
62
Ibid., 340
api yang menimbulkan kegentaran dan ketakutan tetapi pada sisi lain,
sekaligus menjadi api yang menyulut amarah yang besar (Mat 2:1-18).
Kitab Injil memberikan suatu paradigma yang jelas, bahwa cara
hidup, cara berpikir dan tindakan-tindakan Yesus adalah bingkai seorang
transformator. Ia membersihkan Bait Allah dari konspirasi busuk para
penguasa Bait Allah yang mencari keuntungan ekonomi dan monopoli atas
nama agama (Mat 21:12-13; Mrk 11:15-19; Luk 19:45-48; Yoh 2:13-16).
Suara pembaruan Yesus mengancam status quo yang berkembang dan yang
dipertahankan oleh kebanyakan orang pada masa itu, secara khusus para
imam. Ia menggoncang kehidupan yang tenang dan nyaman dari golongan
Saduki, Romawi, dan Farisi. Berkaitan dengan hal itu, Kraybill
menghubungkan tindakan Yesus tersebut sebagai seorang revolusioner
tanpa kekerasan, dengan mengemukakan sebagai berikut.
Yesus memang seorang revolusioner, ketika Ia menyerang akar
permasalahannya– kejahatan yang sering mengikat niat dan pranata-
pranata manusia. Ia menyerukan pertobatan. Ia mengimbau untuk
mengasihi. Ia mengumumkan bahwa hanya Allah yang harus
disembah... Tetapi revolusi sungsang-Nya menggantikan kekuatan
dengan penderitaan dan kekerasan dengan kasih yang kuat.”63
Yesus menggoncang pranata-pranata sosial dan struktur
kemasyarakatan pada masa itu. Ia melayani dan ada bersama-sama dengan
orang-orang yang diberi stigma oleh masyarakat umum sebagai orang yang
sangat berdosa dan perlu dijatuhi hukuman (pemungut cukai, perempuan
Samaria, perempuan yang berzinah). Namun dengan kasih dan kehangatan-
Nya, Ia bergaul dan berani menerima prasangka-prasangka bahkan
kebencian dari kelompok/golongan masyarakat tertentu atas sikapnya itu.
Apa yang dilihat Yesus adalah lingkaran kekerasan yang menimpa
para petani Galilea. Para petani yang lain tidak hanya miskin, tetapi mereka
juga dieksploitasi dan ditindas tidak hanya oleh orang-orang Romawi tetapi
juga oleh Herodes dan para tuan tanah yang kaya raya. Mereka
menanggung beban pajak yang berat sehingga mereka terus-menerus
terbelit utang. Sementara keadaan mereka semakin buruk, apa yang
berkembang adalah lingkaran kekerasan. Pada konteks pergulatan sosial
politik pada masa-Nya, Yesus merupakan individu yang unik dengan peran
yang Ia mainkan dalam sejarah politik. Yesus sadar penuh (Him self
understanding) akan hal itu. Yesus tidak memandang orang di depannya
hanya sebagai seorang pengemis, atau hanya sekedar sebagai prajurit
63
Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang. Terj. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), 45
Romawi, atau hanya sebagai orang Farisi, atau juga hanya sebagai seorang
pemuda kaya. Yesus mengasihi mereka tanpa memandang label-label yang
melekat pada mereka, tanpa memandang penampilan dan kesalahan
mereka. Dalam kerangka reformasi-Nya, mereka adalah orang-orang yang
menjadi sasaran kasih dan pertolongan Allah. Bahkan para musuh-Nya
mengenali bahwa Yesus sepenuhnya tidak memihak dan bahwa Yesus tidak
peduli pada derajat atau status seseorang (Mrk 12:14). 64 Berkaitan dengan
hal itu, maka dapat disebutkan bahwa ide mengenai transformasi telah
dimulai dari Allah sendiri; Allah adalah pencetus ide dan sekaligus pelaku
transformasi yang sesungguhnya, Allah adalah Allah yang menyuarakan
transformasi, dan Allah adalah Allah yang sungguh-sungguh melakukan
trnasformasi bagi umat-Nya, dan Allah adalah Allah yang menjadi inti
berita transformasi sekaligus memfasilitasi penaataan ulang relasi manusia
dengan Allah, serta memanusiakan manusia pada maksud Allah. Hal itu
nampak ketika Allah mencari manusia yang berdosa dan memanggil
mereka dari ketersembunyiannya dan memfasilitasi manusia untuk
menemukan tempatnya di hadapan Allah (Kej 3:1-21), serta yang
menyatakan kehadiran dan karya penebusan oleh dan di dalam Kristus. Ide
mengenai perubahan-perubahan ada di dalam rencana, kedaulatan dan
otoritas Allah. Hanya di dalam dan melalui pengertian akan kedaulatan,
otoritas, kehendak dan rencana serta kasih Allah sendiri, manusia
menemukan transformasi yang sesungguhnya.
Dengan demikian transformasi yang sesungguhnya tidak dimulai
pada inisiatif manusia maupun lembaga-lembaga yang diciptakan oleh
manusia itu sendiri, melainkan dimulai dan dinyatakan serta digerakkan
oleh Allah Tritunggal. Allah yang telah memulai dan yang akan terus-
menerus melakukan transformasi dan transformasi tersebut juga menyebar
melalui orang-orang yang dipanggil, digerakkan dan dipakai-Nya, dan hal
itu selalu berada pada otoritas-Nya. Jika paradigma di atas kita gunakan
sebagai suatu pendekatan transformasi maka dapat dikemukakan bahwa
transformasi yang mengemuka secara khusus adalah transformasi yang
lebih mengacu pada konteks Gereja. Sebagai orang-orang percaya yang
telah mengalami transformasi tersebut, Allah melalui Gereja atau orang
percaya memiliki peran sebagai alat-Nya untuk memberitakan dan
mewujudnyatakan pengalaman transformasi kepada sesamanya.
64
Albert Nolan, Jesus Today. Terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 103-110
Sejatinya tidak ada dikotomi dalam hal pemahaman Gereja dengan
praksis kehidupan umat Kristen. Panggilan Gereja dalam merumuskan
doktrin dengan implementasi bukanlah dua ranah yang berbeda, sebab
Gereja atau orang Kristen dengan panggilan perannya sebagai
transformator beranjak pada keyakinan terhadap firman Tuhan sebagai
acuan berpikir dan berperilaku. Pada bagian ini penulis mengadakan
evaluasi serta memberi usulan yang sekiranya dapat menjadi pertimbangan
dalam mengembangkan paradigma Gereja dan Transformasi, yaitu:
65
Sydney Page, Power Of Evil: A Biblical Study of Satan and Demons (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1995), 91
maksud dan tujuan penulis itu sendiri. Teks tersebut tidak mengindikasikan
bahwa Paulus meminta para pembacanya untuk melakukan pemetaan
spiritual melainkan agar bersenjatakan seluruh perlengkapan senjata Allah
(Ef 6:13-20) melawan kuasa-kuasa sijahat. Ada fakta yang menarik ketika
Rasul Paulus mengunjungi kuil di Athena, ia sama sekali tak menceritakan
mengenai berdoa dengan cara mengelilingi kuil tersebut (prayer-walking)
atau melakukan pemetaan spiritual dan mengumpulkan pendoa syafaat,
melainkan ia menginjili mereka dimana mereka berada (Kis 17:16-34).
Ajaran Signs & Wonder (Wimber) yang menyebut bahwa
keselamatan dalam penebusan Kristus belum lengkap dan harus diisi
dengan bukti tanda dan mujizat, demikian juga Otis menyebut bahwa peran
Tuhan Yesus di kayu salib tidak berarti kecuali manusia melalui para rasul
barunya mampu memetakan dunia spiritual dan memerangi roh-roh
teritorial dengan kuasa doa syafaat dan puasa manusiawi. Konsep mengenai
doa berjalan (prayer-walk on sight with insight) dengan menara doanya
untuk menguduskan suatu kawasan seperti yang dilakukan di hari Kenaikan
Yesus di Jakarta beberapa waktu lalu, dan Gerakan Doa Nasional pada
bulan Mei 2012 lalu, maupun doa memberkati suku-suku atau kawasan
tertentu, jelas menekankan ajaran Words of Faith yang menjadikan doa
lebih semacam “mantra” daripada keseriusan dalam memberitakan Injil dan
menyuarakan dan mengupayakan pembaruan sosial, serta bukan sebagai
alat dialog dengan Tuhan dan Tuhan yang mendengar yang akan
memberikan jawaban-Nya.
66
John Piper, Gairah Allah Bagi Kemuliaan-Nya. Terj. (Surabaya: Momentum,
2008), 109
dan bukannya transformasi Indonesia dengan kekuatan doa semata (bukan
menolak pentingnya doa dalam kehidupan Kristen, doa bukanlah bahasa
klise yang artifisial), serta upaya memobilisasi massa untuk show force dan
pengaruh kekuatan kekristenan, melainkan kebersamaan di doa sekaligus
mewujudkan dalam tindakan kebersamaan mensejahterakan masyarakat.
Doktrin seharusnya mengarahkan dan memotivasi Gereja dalam
upaya menciptakan harmonisasi dalam kehidupan praktis umat. Doktrin
harus langsung berhubungan dengan kehidupan prakatis, penderitaan
manusia, pertanyaan arti hidup, ikut tersinggung terhadap penindasan,
menggali dan menemukan kemungkinan-kemungkinan, serta mencari
jawaban dan jalan keluar dari persoalan-persoalan hidup umat Allah
khususnya dan masyarakat umumnya. Artinya antara memahami Gereja
sebagai karya Allah dengan perannya sebagai agen transformasi adalah
suatu keharmonisan hidup, tidak ada pertentangan pada keduanya.
Berkaitan dengan hal itu, Vanhoozer mengemukakan bahwa, doktrin
membantu Gereja memahami di mana Gereja telah dilemparkan dan peran
apa yang harus dimainkan di sana… Doktrin yang kuat–ajaran yang
berkuasa–vital bagi kehidupan Gereja, teologi itu bagi kehidupan dunia.67
Pada satu sisi, doktrin yang menguatkan peran Gereja harus dirumuskan
dan berakar pada kebenaran penyataan Allah di dalam Alkitab. Namun
pada sisi lain, doktrin harus langsung berhubungan dengan kehidupan
prkatis, penderitaan manusia, pertanyaan arti hidup, ikut tersinggung
terhadap penindasan, menggali dan menemukan kemungkinan-
kemungkinan, serta mencari jawaban dan solusi persoalan-persoalan hidup
umat Allah khususnya dan masyarakat umumnya. Perlu dipahami bersama
bahwa doktrin Gereja bukanlah firman Tuhan yang tidak dapat diubah,
melainkan dalam perannya di dunia Gereja perlu mempertimbangkan
doktrin selaras dan mampu memotivasi kehidupan orang Kristen untuk
menyatakan kasih Allah.
67
Kevin J. Vanhoozer, Drama Doktrin: Suatu pendekatan Kanonik-Linguistik
pada theologi Kristen. Terj. (Surabaya: Momentum, 2011), 4
transformasi merupakan motivasi penting dalam upaya menerangkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan peran Gereja menjadi berkat di dalam dunia,
bagi orang-orang percaya dan yang tidak percaya seperti yang dikemukakan
oleh Roeroe sdebagai berikut:
Jadi pokok-pokok pikiran tentang tugas dan panggilan Gereja/jemaat
itu kita ringkaskan demikian: untuk “menjadi berkat bagi segala
kaum” mulai dari hal: mengolah, memelihara dan membina bumi ini
agar menjadi tempat kehidupan yang layak bagi manusia dan bagi
semua (bnd. Kej 2, 15), menguatkan yang lemah lesu dan
menguatkan lutut yang goyah, memberikan pengharapan bagi yang
takut, menyembuhkan yang sakit hingga membangkitkan yang
mati.68
Berkaitan dengan hal itu, Karman mengemukakan bahwa ada
kesinambungan antara Israel sebagai umat Allah dengan Gereja bahwa,
“kesinambungan itu terlihat sedikitnya dari kesamaan peran keduanya di
dalam dunia sebagai terang dunia dan saksi Allah yang hidup. Umat Israel
menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Yes 42:6) dan umat Kristen juga
berperan sebagai terang dunia (Mat 5:14-16) mengikuti jejak Yesus yang
adalah Terang Dunia (Yoh 8:2; bd 9:5).”69 Dimensi dogma di dalam Gereja
dengan eksistensi kehidupan di dunia bukanlah merupakan dua hal yang
berjalan terpisah satu sama lain, melainkan suatu keutuhan. Kedua wilayah
tersebut terkait amat erat satu dengan lainnya. Berkaitan dengan hal itu,
Roeroe mengemukakan bahwa bahwa di dalam PL peran orang percaya,
khususnya Tua-Tua Israel mencakup aspek rohani, maupun untuk yang
sering dianggap soal-soal duniawi.70
Dalam PB, penulis Injil Matius mengemukakan hal yang sama
(walaupun dengan bahasa yang berbeda) ketika mencatat pernyataan Yesus
68
W.A. Roeroe, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Gereja Untuk Perumusan Tata
Gereja [Ekklesiologi Baru], (Tomohon: GMIM, 2005), 11-12
69
Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004), 120
70
W.A. Roeroe, Peranan Para Tua-Tua dalam Naskah-Naskah Perjanjian Lama,
(Tomohon: UKIT-Press dan LETAK, 2008), 18-19. Para Tua-tua melaksanakan
tanggungjawab dan peranannya merangkumi bidang memimpin kehidupan bersama
sebagai persekutuan dan menjaga agar hubungan-hubungan perorangan lestari;
menanggulangi permasalahan-permasalahan keluarga besar, marga, suku serta pemukiman
dan perkotaan, sebagai penegak hukum dan membela keadilan dalam keputusan-keputusan
pengadilan dan kehakiman, mereka bertanggungjawab atas ketertiban, keamanan dan
pertahanan-keamanan-kemiliteran, atas pembebasan dari penindasan, atas masalah
kecukupan makanan dan minuman, masalah ibadah-persembahan dan doa syafaat, masalah
politik kedalam dan keluar persekutuan umat.
yang mengecam para ahli-ahli Turat dan orang-orang Farisi, “Celakalah
kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui
mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan
menerima hukuman yang lebih berat (Mat 23:14). Artinya, pernyataan
Yesus tidak memisahkan antara kepercayaan seseorang dengan kehidupan
dalam masyarakat. Yesus menghendaki adanya kesatuan antara aspek
ibadah kepada Allah dengan sikap konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada pemisahan antara dogma sebagai formalitas di dalam Gereja
dengan tindakan konkret sebagai peran Gereja di dalam dunia.
Transformasi memberi tempat untuk mengklarifikasi tersendiri isi dari iman
Kristen untuk memampukan Gereja dalam komunitas Kristen menjelaskan
tentang apa yang dipercayai di dalam kesaksian bagi dunia (terkait di
dalamnya mengenai hidup dalam kebenaran dan memperjuangkan keadilan
dan usaha memperbaiki kerusakan sosial). Hal itu juga berarti bahwa
transformasi menyelidiki isi dari teologi Kristen untuk tujuan kehidupan
praktis agar tepat dan efektif dikomunikasikan dalam tiap-tiap keadaan
sosial, bahasa, dan latarbelakang kultur. Hal inilah yang menjadi perhatian
dari Gereja seperti yang dikemukakan oleh Karl Barth bahwa,“dogmatics
as such does not ask what the apostles and prophets said but what we must
say on the basis of the apostles and prophets.”71 Doktrin, jauh dari teori
yang abstrak, sebenarnya merupakan bahan kehidupan nyata. Kehidupan
nyata terletak di jalan Yesus Kristus, dan tujuan doktrin adalah
membimbing kita tepat di jalan ini.72 Gereja sebagai saksi Kerajaan Allah,
harus mendemonstrasikan totalitas Kerajaan tersebut. Totalitas Kerajaan
Allah merupakan mandat Yesus kepada Gereja-Nya. Mandat itu adalah
mandat penginjilan dan sekaligus juga mandat pelayanan sosial. Gereja
hidup dalam dua dimensi: “di dalam Kristus” dan “di dalam dunia” (Yoh
15:1-6; 17:13-18). Gereja perlu menekankan ibadah dan pembangunan
masyarakat, pekabaran Injil dan kepedulian sosial. Gereja perlu
menyatakan kasih dan keadilan Tuhan, dimulai dari konteks Gereja sendiri
serta perbuatannya bagi masyarakat tanpa maksud-maksud tersembunyi.
Pelayanan Gereja dalam masyarakat adalah salah satu cara untuk
menyatakan kasih Tuhan di dalam ketulusan dan kejujuran. Berkaitan
dengan hal itu, Schaeffer mengemukakan bahwa, The point is that it is
71
Karl Barth, Church Dogmatics. Trans. G. W. Bromiley, second edition.
(Edinburgh: T. & T. Clark, 1975), 16
72
Vanhoozer, Drama Doktrin …, 2
possible to be a Christian without showing the mark; but if we expect non-
Christian to know that we are Christians, we must show the mark.73
Keutuhan transformasi seharusnya muncul bukan dari teori-teori
spekulatif tetapi dari praktik-praktik inti berita firman Tuhan serta
pengalaman kehidupan sehari-hari yang membentuk kehidupan dan
identitas Gereja dan orang-orang Kristen secara terus-menerus, sehingga
berupaya sedemikian rupa memengaruhi jemaat dan masyarakat umumnya.
KESIMPULAN
73
Francis A. Schaeffer, The complete works of Francis A. Schaeffer A Christian
Worldview, Volume Four: A Christian View of the Church (Westchester: Crossway Books,
1982), 184
kesejahteraan bangsa. Keberadaan dunia ini pada dasarnya tidak jahat,
melainkan baik karena diciptakan Tuhan. Tentu ciptaan yang baik itu telah
dinodai oleh dosa. Manusia telah memanipulasi dan merampas kebaikan
dan kasih yang benar. Namun ciptaan itu masih berharga dan perlu
diperbaiki di dalam penebusan Kristus. Gereja atau orang Kristen tidak
berhak menolak keberadaan dunia yang merupakan ciptaan Allah di dalam
Kristus (Kol 1:15-16), melainkan ikut serta memberi solusi terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia. Dunia adalah dunia Allah di
mana Gereja hidup dan tinggal menjadi berkat.
Gerakan Transformasi yang menekankan mobilisasi doa massa bisa
jadi hanya mengarah kepada pencapaian kesatuan Gereja-gereja, dan upaya
damai sejahtera (feel good theology) yang akan dialami secara transformatif
di Indonesia. Hal itu bisa saja menjadi gerakan yang lebih mirip ambisi doa
dan perilaku “nabi-nabi” yang dikritik oleh beberapa nabi dan Tuhan
Yesus. Jika Gereja tidak menyuarakan kebenaran dengan mengingatkan
pemerintah, para politikus, para tokoh agama, para pengusaha secara
khusus pemimpin dan pengusaha Kristen yang sarat dengan prilaku KKN
dan mengabaikan hukum serta tidak adanya upaya yang sistematis dari
pihak Gereja untuk memperbaiki keadaan sosial, maka doa-doa orang
Kristen bisa jadi hanya sebatas artifisial belaka. Artinya doa-doa yang
diungkapkan dan “kumpul-kumpul bareng” tidak menjadi edukasi bagi
orang-orang Kristen, dapat dilepaskan dari prilaku hidup benar, serta
terlepas dari takut akan Tuhan dan mengabaikan hukum yang merupakan
prasyarat kesejahteraan bangsa dan Negara. Jika di dalam Gereja dan
Yayasan Kristen serta partai politik sendiri menyimpan kebusukan dan
mempertontonkan perilaku ketidakadilan dan ketamakan akan kekuasaan
dan harta serta tidak memperdulikan kesejahteraan orang lain, maka
transformasi seperti apa yang dapat kita harapkan?
Pada satu sisi gerakan transformasi yang telah dikemukakan di atas
harus dihargai dalam upaya untuk kesatuan Gereja-gereja Tuhan di
Indonesia, serta upaya mengembangkan spirit kerjasama antar orang-orang
Kristen dalam persekutuan. Namun pada sisi lain, gerakan tersebut
menyisakan persoalan-persoalan yang tidak kalah merisaukan, sebab spirit
transformasi yang ditawarkan adalah dalam rangka mobilisasi masa untuk
menghacurkan kuasa kegelapan bukannya upaya sistematis dalam
menyuarakan pertobatan dan memberlakukan keadilan serta upaya
menanggulangi kemiskinan yang merupakan salah satu isu utama di
Indonesia, demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Gereja dan umat
Tuhan membutuhkan keseriusan dalam upaya transformasi di dalam
Kristus, merumuskan dan mengajar-ajarkan dogma dalam ibadah dan
keharmonisannya dengan kehidupan praktis sebagai tanggungjawab dan
ketaatan kepada Allah dan sesama. Hal itu berarti Gereja akan bergumul
dengan isu-isu yang berkembang dan kompleks pada eranya dan mungkin
sekali sebagai suatu persiapan kedepan dalam kerangka mempersiapkan
yang pada umumnya disebut tanggungjawab pelayan menjadi berkat bagi
bangsa-bangsa.
TEOLOGI PAULUS TENTANG KARUNIA-KARUNIA
ROH DAN IMPLIKASINYA BAGI PROBLEMATIKA
PNEUMATOLOGIS GEREJA MASA KINI
PENDAHULUAN
1
Lotnatigor Sihombing, Persfektif Teologi Injili Dalam Panggilan Membangun
(Batu: Sekolah Tinggi Theologia “I-3,” 1995), 4
2
Ibid.
3
Stevri I. Lumintang, Keunikan Thelogia Kristen Di Tengah Kepalsuan (Batu:
Departemen Multimedia Bidang Literatur, 2009), 248-249
4
Ibid.
5
K.S. Lotourette, A History of Christianity. Chapter 2 (New York: Harper &
Row, 1975), 725
6
D. Bridge & D. Phypers, Karunia-Karunia Roh Dan Jemaat (Bandung: Kalam
Hidup, 1993), 27
karunia Roh dan pengalaman rohani oleh orang percaya sejak dulu hingga
saat ini. Artinya perbedaan penafsiran dan pengalaman rohani terhadap
karunia-karunia Roh Kudus kenyataannya tidak pernah selesai
diperdebatkan dikalangan orang-orang percaya, inilah yang disebut
problematika, meskipun para teolog Kristen berupaya untuk menyelesaikan
masalah ini dengan cara mengkaji lebih dalam dan mendisuksikan bersama,
namun dari upaya-upaya ini belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi
orang percaya sampai hari ini dan masih tetap menjadi problematika. 7
Tendesi orang Kristen memahami karunia-karunia Roh Kudus hanya
sebagai karunia yang dibutuhkan untuk menolong dan melengkapi hidup
orang percaya.8 Perdebatan terjadi antara aliran yang memiliki pandangan
dan mengatakan bahwa karunia-karunia Roh masih dilimpahkan oleh
Tuhan kepada orang percaya pada masa kini, dengan aliran yang memiliki
pandangan bahwa karunia-karunia Roh telah berhenti pada zaman Rasuli,
yakni ketika PB lengkap ditulis.9 Pada akhirnya banyak orang percaya
dipengaruhi pandangan yang terakhir, bahwa orang percaya masa kini tidak
lagi menerima karunia-karunia Roh sebagai salah satu karya Allah
Tritunggal, sehingga pemahamannya terhadap semua karunia Roh menjadi
lain daripada yang sebenarnya dimaksudkan dalam Akitab itu sendiri.
Permasalahan berikutnya juga terjadi dalam sejarah perkembangan
teologi, ditemukan adanya gerakan-gerakan rohani yang terus-menerus
berkembang, yakni pelayanan karunia karunia Roh Kudus menjadi dasar
atau norma untuk menilai dan mengukur kerohanian seseorang. Dengan
kata lain, karunia-karunia Roh Kudus menjadi tolak ukur mengenai
dipenuhinya seseorang dengan Roh Kudus, bahkan dipakai sebagai dasar
keselamatan seseorang.10 Ironisnya ada Gereja yang hanya menekankan
pengalaman rohani disertai dengan karunia-karunia Rohani saja dalam
kehidupan kekristenannya sebagai bukti bahwa ia sungguh-sungguh rohani
dan dipenuhi oleh Roh Kudus, serta memiliki kepastian keselamatan.
Bahkan tidak jarang orang percaya atau jemaat menghakimi hamba Tuhan
atau jemat yang tidak nampak karunia-karunia rohaninya, dengan
perkataan-perkataan yang menjatuhkan iman hamba Tuhan atau jemaat,
7
H. Berkhof & L.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1976), 34
8
Stanley M. Burgess, Kebutuhan Gereja Saat Ini (Malang: Gandum Mas, 2011),
339
9
Ibid., 28
10
Gorden Lindsay, Bagaimana Menerima Babtisan Roh Kudus (Jakarta: Imanuel,
1979), 24.
sehingga hal ini dapat memecahkan kesatuan serta persatuan sesama orang
percaya.11
Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya secara eksplisit telah banyak
memberikan way out secara theologis sebagai solusi terhadap semua
permasalahan Pneumatologi yang terjadi di Gereja masa kini. Dari fakta
realita problematika karunia-karunia Roh di atas, menstimulir penulis untuk
mengkaji dan menganalisa lebih lanjut dan lebih dalam melalui studi
theologis secara khusus tentang karunia-karunia Roh dalam konstruksi
theologia Rasul Paulus, dimana dalam tulisan Paulus yang mengajarkan
tentang konsep, dogma dan prinsip karunia-karunia Roh Kudus secara
Alkitabiah. Oleh sebab itu, penulis bermaksud untuk mengangkat hal ini
dalam sebuah jurnal “Missio Ecclesio” dengan judul: “Theologia Paulus
tentang Karunia-Karunia Roh dan Implikasinya Bagi Problematika
Pneumatologis di Gereja Pada Masa Kini.”
KAJIAN BIBLIKA
12
T.G.R. Boeker, Apa Kata Alkitab Tentang Roh Kudus (Malang: Institut Injil
Indonesia, 1991), 42
13
View from one angle they appar as charismata, form another as misnitrations,
and from a third as energies. Maksudnya adalah, jika dilihat dari satu arah ternyata sebagai
karunia, dari arah yang lain sebagai pelayanan, dan dari arah ketiga sebagai kuasa; R.C.H.
Lenski, The Interpretations of 1 and 2Chorinthians (Minnesota: Augsburg, 1963), 495
karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-
Nya.”14
14
Ibid.
15
Donald Bridge & David Phypers, Karunia-Karunia Roh dan Jemaat (Bandung:
Penerbit Kalam Hidup, 1973), 17
16
Ibid., 18
dalam ayat-ayat yang memang sukar untuk dipahami, yaitu 1Korintus
14:20-25, rupanya Paulus mengemukakan bahwa manifestasi karunia-
karunia Roh yang dapat dipahami, orang akan menyadarkan orang sesat
akan dosanya, “sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku,
sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu” (1Kor 14:25). Bahkan lebih
jelas dalam Efesus 4:11-12, Paulus mengatakan bahwa karunia-karunia itu
untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi perkerjaan pelayanan. Yang
juga penting dalam ayat ini ialah bahwa Paulus secara khusus mengakui
jabatan Rasul dan pemberita Injil.17
17
Ibid.
18
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia..., 20, 21
19
Ibid., 22
menggambarkan karunia-karunia Roh yang berasal dari kata energeo yang
dalam bentuk pasifnya berarti didorong atau digerakkan dan di dalam PB
selalu dipakai untuk menyatakan suatu prinsip atau kuasa yang sedang
bekerja. Hal ini menggambarkan berbagai karunia itu sebagai “berbagai-
bagai perbuatan ajaib.” Apabila karunia-karunia Roh dipergunakan, maka
kuasa Allah sedang bekerja di dalam diri orang Kristen bagi kepentingan
orang lain. Kata terakhir yang dipakai oleh Paulus untuk menggambarkan
sifat karunia-karunia Roh ialah phanerosis. Kata itu berasal dari kata kerja
phaneroein yang berarti menjadikan kelihatan, jelas atau diketahui.
Karunia-karunia adalah “penyataan Roh.”
20
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 24
ayat-ayat yang lainpun Paulus menyinggung beberapa karunia lain. Dalam
Roma 12 tercantum karunia-karunia untuk bernubuat, untuk melayani,
untuk mengajar, untuk menasehati, untuk membagi-bagkan sesuatu, untuk
memberi pimpinan dan untuk menunjukkan kemurahan. Dalam 1Korintus
12 tercantum karunia-karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, untuk
berkata-kata dengan pengetahuan, karunia iman, karunia untuk
menyembuhkan, untuk mengadakan mujizat, untuk bernubuat, untuk
membeda-bedakan roh, untuk berkata-kata dengan bahasa Roh, untuk
menafsirkan bahasa Roh, karunia untuk menjadi Rasul dan pengajar,
karunia untuk melayani dan karunia untuk memimpin. Efesus 4
mengemukakan jabatan dan bukan pekerjaan, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi,
pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar. Selain
itu, karunia membujang secara sukarela (1Kor 7), kemiskinan dan
kesahidan secara sukarela (1Kor 13:3) adalah karunia-karunia dalam arti
yang sama seperti karunia-karunia yang lain dan harus dimasukkan ke
dalam golongan karunia.21 Apabila suatu jemaat atau kelompok Kristen
memusatkan perhatian hanya pada beberapa karunia saja dan melupakan
adanya berbagai karunia lain yang dikemukakan dalam PB, maka mereka
hanya setengah-setengah dan tidak lengkap; mereka akan kehilangan
berkat, baik di dalam dan di luar persekutuan.
21
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 25
yang mencakup kehidupan manusia sehari-hari akan lenyap pada waktu
Allah menggenapkan janji-Nya dalam kemuliaan-Nya.22
22
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 29, 30
23
Donald Guthrie, Tafsiran Aliktab Masa Kini. Jilid III (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982), 82
untuk menegakkan jemaat. Oleh sebab itu, para rasul adalah dasar Gereja
yang terutama, karena pengajaran mereka yang ada di dalam Perjanjian
Baru menjadi dasar dan patokan bagi Gereja universal dalam segala zaman.
24
A.T. Robertson, A Grammar of the Greek New Testament in the Light of
Historical Research (Tennessee: Broadman, 1994), 787
25
E. Waaler, Exposition of the Letter to the Ephesians (Unplublished Manuscript,
1994), 51
26
tou.j me.n tou.j de. (tous men tois de) dengan arti yang kontras; bnd. Robertson,
A Grammar of the…, 1152
Paulus dalam surat Efesus pasal dua dan tiga berbicara mengenai rasul dan
nabi dalam arti satu kelompok, yaitu rasul yang memiliki karunia nubuat.27
Karunia Bernubuat
Pembahasan tentang karunia nabi sebagai salah satu karunia tidak
dapat lepas dari istilah nubuat. Paulus membahas tentang tugas seorang
nabi (1Kor 14:29), profh/tai (prophetai), Paulus juga berbicara mengenai
nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Tuhan mewahyukan sesuatu
kepada sesuatu kepada mereka (1Kor 14:30) avpokalufqh/ (apokaluphte),
yang kemudian mereka sampaikan (1Kor 14:31) profhteu,ein
(propheteuein). Seluruh fenomena ini diberi nama propheteia (1Kor 14:22)
artinya aktivitas seorang nabi. Sebenanya harus diperhatikan bahwa ada
perbedaan antara istilah “menerima wahyu atau nubuat” (apokaluphte) dan
istilah bernubuat (propheteuein). Istilah wahyu sering dipakai tentang
pengalaman Paulus sendiri, secara khusus wahyu sebagai dasar jabatan
Rasul (Rm 18:25; 1Kor 14:8; 2Kor 1:1-7; Gal 1:12, 15, 2:22; Ef 3:3).
Tetapl istilah wahyu juga dapat dipakai mengenai orang Kristen secara
umum (Ef 1:17; Flp 3:15) dan tentang karunia nubuat secara khusus (1Kor
14:28,30; bnd. 1Kor 14:6). Menurut Ridderboes, Prophecy is a special form
of the Spirit given to through the church. For this speaking of the prophets
can also be called relevation.28 Jadi, dapat dikatakan bahwa, nubuat artinya
“suatu pemberian Roh kepada dan melalui jemaat.” Oleh karena itu, apa
yang dikatakan para nabi dapat disebut nubuat. Meskipun karunia nubuat
juga ada di dalam jemaat pertama, tetapi otoritas nubuat dalam jemaat lebih
rendah daripada otoritas seorang rasul, seperti yang dijelaskan dalam
1Korintus 14:37-38.
Secara positif Paulus mengarahkan supaya nubuat dipakai sesuai
dengan iman dalam bahasa Yunani kata. th.n avnalogi,an th/j pi,stewj (kata
ten analogian tes pisteos) Roma 12:6. Maksudnya di sini bukan iman
pribadi seseorang, tetapi inti dari iman Kristen. Dengan demikian, iman
yang dimaksud oleh Paulus adalah iman sesuai dengan isinya, atau secara
umum doktrin Kristen. Karena nubuat yang dibuat oleh seorang rasul atau
nabi mempunyai otoritas yang jauh lebih tinggi daripada nubuat yang
27
The apostles are also prophets in the New Testament sense. Graham Huston,
Prophecy Now, (U.K.: Inter-Varsity, n.d.), 80
28
H. Ridderbos, Paul, An Outline of His Theology (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1990), 451
dibuat oleh seseorang yang berkarunia nubuat. Hal ini tidak terlepas dari
karunia mengajar.
Karunia Mengajar
Dalam surat Paulus istilah pengajar tidak berdiri sendiri, tetapi
berhubungan dengan istilah penatua, presbuteroj (presbuteros), “Penatua-
penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama
mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1Tim 5:17).
Tugas yang kedua yang dihubungkan dengan tugas penatua adalah
gembala, poimenoj (poimenos). Paulus memanggil penatua-penatua dari
Efesus (Kis 20:17). Kepada kelompok ini Paulus mengatakan: “karena
kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk
menggembalakan jemaat Allah” (Kis 20:28). Dalam surat Petrus juga
nampak bahwa, para penatua harus menggembalakan umat Tuhan (1Ptr
5:1-4). Demikian juga para pengajar dan gembala dilihat bersama dalam
surat Efesus: “maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar” (Ef 4:11).
Paulus menyebutkan lima gelar, yaitu: rasul, nabi, penginjil, guru dan
gembala. Setiap empat istilah pertama masing-masing didahului oleh artikel
tertentu, tetapi yang terakhir tidak tou.j de.( poime,naj kai. didaska,louj
(tous de poimenas kai didaskalous). Dari hal ini, maka dapat disimpukan
bahwa, dua kelompok ini dekat dan dilihat sebagai kesatuan dalam konteks
ini.
Selanjutnya, dalam tulisan Paulus dijelaskan adanya hubungan
antara seorang penilik dan seorang penatua. Dari segi tugas dua-duanya
disebut tenaga yang mengajar (1Tim 3:2; Tit 1:9) dan juga sebagai orang
yang menjaga jemaat (1Tim 5:17; Tit 1:9). Paulus dalam suratnya kepada
Titus, memakai istilah penilik (Tit 1:7) dan penatua (Tit 1:5) tentang orang-
orang yang sama. Juga dalam konteks ini khotbah Paulus kepada para
penatua dari Efesus sangat cocok, karena mereka disebut: “Penatua (Kis
20:17) dan Penilik (Kis 20:28) yang menggembalakan (Kis 20:28).” 29
Bahkan dalan surat pastoral Paulus kepada Timotius, terdapat istilah
pengajar dilihat dalam konteks pemerintahan jemaat: “mengajar atau
memerintah” (1Tim 2:12, terjemahan lama). Sepertinya para pengajar
diberi kuasa untuk memerintah di dalam jemaat. Memang seorang guru
29
“Eph. 4:11 qualifies ‘pastors and teachers’ more as an activity than as an
office, though the office of overseer can wall be aluded to (cf. Phil. 1:1).” Ridderboes,
Paul, An Outline…, 455
selalu menggurui muridnya, tetapi kuasa ini kemungkinan besar
mempunyai hubungan dengan tugas penatua yang juga memimpin jemaat.
Tugas utama seorang pengajar tentunya untuk membagikan
pengetahuan seperti yang dijelaskan oleh Paulus dalam 1Korintus 14:6,
bahwa: “jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan, avpokalu,yei:
(apokaluphei) Allah atau pengetahuan, gnw,sei: (gnosei) atau nubuat,
profhtei,a| (propheteia) atau pengajaran, didach (didakhe).” Dalam hal ini,
berarti bahwa pengajaran sama dengan pengetahuan, seperti nubuat sama
dengan penyataan. Frasa kata pengetahuan juga muncul di dalam konteks
karunia-karunia (1Kor 12:8), dimana dalam konteks yang sama istilah kata
hikmat, sofi,aj (sophia) juga muncul, bahkan terlihat juga dalam surat
Kolose bahwa, pengajaran juga berisi kata hikmat (Kol 3:16). Dengan
demikian, baik kata hikmat maupun pengetahuan adalah isi dari pengajaran.
30
Lenski, Interpretation of Romans …, 524
31
“It is said of the understanding therefore that with glossolia it is unfruitful (v.
14), that is to say, it is not involved in it;” Ridderboes, Paul, an Outline of…, 465
datif Qew (Theo) kasus datif menjelaskan bahwa, orang yang kepadanya
kami berbicara.32 Hal ini berarti bahwa bahasa lidah ditujukan bukan
kepada manusia melainkan kepada Allah. Istilah berdoa dengan bahasa
lidah dan berdoa dengan rohku (1Kor 14:14), sama maknanya dengan
“menyanyi dan memuji dengan rohku” (1Kor 14:15), “mengucapkan
syukur dengan rohmu” (1Kor 14:16). Maka jelaslah dari konteks ini bahwa
apa yang dilakukan adalah doa dan pujian kepada Allah. Dalam jemaat
hanya dibutuhkan doa yang dapat diaminkan oleh saudara-saudara seiman:
“bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat
mengatakan “amin” atas pengucapan syukurmu?” (1Kor 14:16). Hal ini
disebabkan bahwa bahasa lidah selalu harus diterjemahkan, kecuali kalau
orang berdoa seorang diri. Bahasa lidah juga harus membangun orang yang
berbicara: “hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada
Allah“ (1Kor 14:28), “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia
membangun dirinya sendiri” (1Kor 14:28). Persekutuan dengan Allah
dalam bentuk ini menolong seseorang dalam kehidupannya dengan Tuhan.
Dalam beberapa golongan Kristen tertentu, bahasa lidah menjadi
ukuran terhadap iman dan kerohanian seseorang. Bahasa lidah menjadi
tanda mutlak untuk pertobatan atau tanda berkat kedua (second blessing).
Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Alkitab. Paulus menjelaskan dalam
suratnya kepada jemaat di Korintus, seperti berikut: “Adakah mereka
semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat
karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk
berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” (1Kor
12:29-30). Pada bagian ini Paulus ingin lebih menekankan bahwa meskipun
masing-masing orang diberikan karunia yang berbeda, tetapi kita semua
satu dalam Kristus. Sama sekali tidak ada satu ayat Firman Tuhan yang
mengatakan bahwa bahasa lidah adalah tanda bagi suatu tingkatan
kerohanian ataupun syarat untuk selamat. Karunia bahasa lidah adalah
karunia yang terkecil. Paulus dengan tegas menolak segala pikiran bahwa
satu anggota tubuh tidak berharga, karena dia tidak memiliki satu karunia
tertentu (1Kor 12:12-20).
32
“The pers. To whom for with whom one is speaking.” Bauer, A greek English
Lexicon of the Greek New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago:
University of Chicago Press, 1975), 464
Karunia Iman, Penyembuhan dan Karya Ajaib
33
“For the faith as trust in the wonderworking omnipotence of God is not only
given to some, but, as appears from Romans 4:17-20, also defines the essence of that
which distinguishes every believer as a child of Abraham from unbelievers;” Ridderbos,
Paul an Outline if …, 464
Karunia atau Hasil Anugerah
Paulus mengatakan bahwa satu karunia dapat dimiliki, namun “kita
mempunyai karunia yang berlainan” (Rm 12:6). Istilah mempunyai,
e;contej (ekhontes) berbicara tentang sesuatu yang diberikan Allah untuk
dimiliki dan dipakai. Hal yang sama nampak juga, ketika Paulus
memberikan nasihat kepada Timotius: “Oleh karena itu kuperingatkanan
engkau untuk mengobarkan karunia yang ada padamu oleh penumpangan
tangan atasmu” (2Tim 1:7). Paulus memakai frasa o[ evstin evn soi (ho
estin en soi) artinya yang ada didalam kamu, yang berarti karunia itu dilihat
sebagai milik Timotius, meskipun sedang tidak (atau kurang) dipakai.
Dua jalur ini dapat disatukan dalam istilah yang berhubungan
dengan tiga istilah, yaitu: “karunia, pelayanan dan hasil kuasa” (1Kor 12:4-
6). Karunia yang dimiliki diberikan untuk pelayanan dan berfungsi demi
kuasa Tuhan, dan setiap orang memiliki paling tidak satu karunia (1Ptr
4:10). Kedua teks ini berbicara mengenai sesuatu yang diberi kepada setiap,
e/kastoj (ekastos) orang (1Kor 12:7; 1Ptr 4:10). Jadi, karunia iman bukan
merupakan kepintaran atau keahlian yang dikuasai sendiri oleh orang
percaya. Karena pendapat ini dekat dengan masalah synergisme, yakni
bahwa keselamatan merupakan hasil kerjasama Allah dan manusia. Oleh
sebab itu, “iman bukanlah karya manusia, karena iman merupakan karya
Allah di dalam dan bagi orang percaya.”
34
“For the idea of testing prophesyings compare I Cor. 14:29. Some had a special
gift for this, I Cor. 12:10. The rule to be applied is indicated in Rom. 12:7, the analogy of
faith;” Lenski, Interpretation of First…, 361
35
“Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada
orang yang akan meninggalkan imannya (avposth,sontai, tinej th/j pi,stewj), lalu mengikuti
roh-roh penyesat (terjemahan langsung dari bahasa asli).
36
“Jangan kamu biarkan orang merampas kemenangmu daripadamu” (terjemahan
langsung dari bahasa asli). Kata “merampas kemenanganmu” dari kata katabrabeue,tw,
artinya mengambil dari seseorang keselamatannya;” Lenski, Interpretation of First…, 361
Paulus jelas sekali. Lebih dulu orang tersebut dinasihati tiga kali, kemudian
dia diusir dari jemaat sampai dia bertobat (Rm 16:6,17; 1Kor 5:11; 2Tes
3:6,14; Tit 3:10; 2Tim 3:5, bnd. Mat 18:15-17; Yak 5:18-20; 1Yoh 4:1,6).
Karunia-Karunia Lain
Masih banyak karunia yang dapat dibahas sebenarnya. Penulis tidak
memberi tempat untuk pembahasan yang begitu dalam kepada semuanya,
ada beberapa yang masih belum dibahas antara lain: karunia Melayani (Rm
12:7); karunia Menasehati (Rm 12:8); karunia Memimpin (1Kor 12:28);
karunia Penginjilan (Ef 4:4); karunia membagikan (Rm 12:8); karunia
Menunjukkan Kemurahan (Rm 12:8). Kebanyakan karunia ini adalah
karunia yang bersifat praktis, yang sebetulnya kelihatan sederhana. Sering
orang tidak mau memperhatikan karunia seperti itu. Jarang ada orang yang
minta kepada Tuhan supaya diberikan karunia melayani orang lain (1Kor
12:28; Rm 12:7). Kalau orang meminta karunia memimpin (1Kor 12:28) itu
masih dapat dimengerti. Hal ini didasarkan kepada contoh dari Tuhan
Yesus sendiri. Dia merelakan diri untuk melayani murid-murid-Nya secara
jasmaniah. Melayani orang lain tidak dipuji dan tidak dilihat orang, tetapi
Tuhan melihat apa yang dilakukan secara tersembunyi.
Demikian juga karunia membagikan dan menunjukkan kemurahan
(Rm 12:8). Karunia ini tidak tergantung kepada kekayaan dan kemiskinan
seseorang. Sebetulnya bagi yang suka memberi yang menyenangkan Tuhan
dan bukan apa yang diberikan. Sebab “Allah menyukai orang yang
memberi dengan sukacita” (2Kor 9:7).
PENUTUP
Pada bagian penutup ini menyajikan implikasi teologi Paulus
tentang karunia-karunia roh bagi problematika pneumatologis di Gereja
masa kini, yang meliputi: problematika pneumatologis yang terjadi di
Gereja masa kini, implikasi teologi Paulus tentang karunia-karunia Roh
baik secara teologis, ekklesiologis dan missiologis.
37
Lumintang, Keunikan Thelogia Kristen..., 198
38
Ibid.
39
Ibid., 199
40
Ibid.
khusus dengan penumpangan tangan seorang pendeta, menjadi syarat
karunia Roh Kudus, karunia bahasa lidah dianggap sebagai senjant untuk
mengusir setan, serta dianggap sebagai syarat atau tanda penerimaan Roh
Kudus. Oleh sebab itu, dalam upaya menyikapi problematika
Pneumatologis di atas, penulis mengajak seluruh pembaca untuk “back to
the Bible.”41 Alkitab adalah sumber berotoritas bagi orang percaya
memahami pribadi dan karya Roh Kudus.
Implikasi Teologis
Rasul Paulus menyatakan bahwa kepada setiap anggota jemaat,
Allah telah memberikan karunia-karunia Roh Kudus; dimana masing-
masing anggota jemaat menerima karunia Roh Kudus yang berbeda-beda,
sesuai dengan kehendak-Nya. Dari segala karunia-karunia Roh Kudus
yang Paulus sebutkan dalam bagian Firman Tuhan tersebut, di dalamnya
tercantum juga karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat spektakuler.
Meskipun rasul Paulus tidak mengelompokkan semua karunia Roh Kudus
yang bersifat spektakuler dalam satu kelompok tersendiri dan
menyatakannya sebagai karunia-karunia yang hanya diberikan khusus
untuk orang tertentu atau untuk para rasul. Melainkan rasul Paulus
menyatakan bahwa semua karunia Roh Kudus tersebut diberikan kepada
jemaat dan dibagi-bagikan kepada tiap-tiap anggota jemaat, sesuai dengan
kehendak-Nya. Rasul Paulus juga menyatakan bahwa Allah sudah
menetapkan beberapa orang dalam jemaat: Pertama sebagai rasul, kedua
sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat
karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani,
untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh.
Rasul Paulus menjelaskan bahwa nubuat akan berakhir, bahasa roh
akan berhenti dan pengetahuan akan lenyap. Karena pengetahuan kita tidak
lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi maksud Paulus
mengungkapkan hal tersebut, sebenarnya bukan untuk menyatakan bahwa
karunia-karunia tersebut akan berakhir pada waktu berakhirnya zaman para
rasul, tetapi untuk menunjukkan ketidaksempurnaannya karunia-karunia
tersebut.42
Menurut Calvin: It begins, indeed, at death, for then we put off,
along with the body, many infirmities; but it will not be completely
41
Lumintang, Keunikan Thelogia..., 200
G.A. Buttrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Vol. A (Nashville:
42
Implikasi Ekklesiologis
Alkitab memandang jemaat sebagai suatu badan yang tiap
anggotanya penting untuk melaksanakan fungsi jemaat, dan yang
mempunyai peranan yang penting demi kepentingan semua. Jika Gereja
menyadari hakikat jemaat masa kini dan kewajiban semua orang Kristen
untuk menggunakan berbagai karunia, maka jemaat-jemaat yang stagnan
dapat dihidupkan kembali sementara setiap anggota berusaha memainkan
peranannya dalam menguatkan persekutuan jemaat. 45 Penggunaan karunia-
karunia Roh untuk menyembuhkan terhadap orang lumpuh mengakibatkan
rangkaian persitiwa, yaitu meningkatkan jumlah keanggotaan orang Kristen
di Yerusalem menjadi lima ribu orang dan membungkam perlawanan dari
para pemimpin Yahudi. Karunia untuk membagi-bagikan dengan murah
hati bertepatan dengan kuasa besar yang memungkinkan para rasul bersaksi
tentang kebaktian. Penggunaan karunia berkata-kata dengan pengetahuan
dalam menghadapi penipuan juga menimbulkan serangkaian peristiwa yang
mencapai puncaknya dalam bertambahnya jumlah orang percaya, yang
memperoleh berkat dari pelayanan jemaat.46
Penggunaan karunia-karunia roh hendaknya juga menghasilkan
kesatuan yang lebih mendalam di dalam jemaat dan di antara semua
kelompok Kristen. Perjanjian Baru berkali-kali menekankan bahwa inilah
43
Johanes Calvin, Calvin’s Commentaries, Vol. XX, I & II – Corinthians (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979), 428
44
F.E. Gaebelein (Gen.ed), The Expositor’s Bible Commentary. Vol. X (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 269
45
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 170
46
Ibid..., 170
salah satu tujuan karunia-karunia Roh, yaitu bahwa orang-orang percaya
yang memiliki karunia hendaknya bekerja dan bereaksi bersama-sama
seperti halnya berbagai anggota tubuh kita (1Kor 12:12). Apabila anggota-
naggota jemaat menyadari bahwa mereka saling bergantung, maka jemaat
diikat menjadi kesatuan yang erat dalam persekutuan dan kasih. Apabila
jemaat mengerti bahwa karunia mereka yang berbeda-beda mempunyai
nilai yang sama di mata Allah, maka dengan lebih bergairah mereka bekerja
sama demi kepentingan bersama. Penggunaan karunia-karunia Roh di
dalam umat Kristen juga hendaknya membawa banyak orang untuk
memasuki pengalaman kebaktian yang lebih mendalam. Dengan demikian
jemaat-jemaat yang mengakui karunia-karunia Roh tidak perlu meniadakan
bentuk-bentuk liturgi atau doa-doa tertentu yang menjadi kesukaan mereka,
agar dapat menggunakan karunia karunia itu. Jemaat dapat menggunakan
bentuk-bentuk kebaktian yang sudah ditetapkan maupun bentuk kebaktian
yang spontan dan pertemuan mereka dapat diperkaya karenanya. Tetapi
pada masa sekarang di Gereja-gereja yang tidak biasa dengan penggunaan
karunia-karunia roh di dalam acara kebaktian, asalkan pertemuan semacam
itu diadakan secara terbuka dan orang-orang yang menghadirinya tidak
membentuk suatu kelompok suci atau menganggap diri mereka berada pada
tingkat kerohanian yang lebih tinggi daripada kelompok lain, maka
pertemuan itu tidak perlu menimbulkan kerugian. Dengan sendirinya
kebaktian rumah tangga seperti itu hendaknya selalu diumumkan sebagai
bagian dari program jemaat yang lazim dan dihadiri oleh gembala sidang. 47
Implikasi Misiologis
Bagaimanapun penggunaan karunia menimbulkan minat terhadap
berita Injil dan sangat memperkuat tuntunan-tuntutan Injil. Dalam
1Korintus 2:9-10 menyatakan bahwa “Tetapi seperti ada tertulis: “Apa yang
tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan
yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan
Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”
Seringkali tantangan yang harus dihadapi adalah ketidakpercayaan
yang militan. Seperti halnya di jemaat Korintus, masa kini juga pengikut-
pengikut Kristus dikelilingi oleh orang-orang bukan Kristen yang
dibingungkan oleh perpecahan di antara umat Kristen dan yang tidak
terkesan oleh pengakuan mereka bahwa kasih Allah telah dicurahkan di
dalam hati mereka (Rm 5:5). Di dalam jemaat sendiri terdapat orang-orang
47
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 174
yang meniadakan unsur-unsur supranatural dari dalam Injil. Kabar baik
dirumuskan sehubungan dengan perbuatan sosial. Persekutuan dengan
Allah hanya sekedar ungkapan untuk menyatakan kerukunan hidup di
antara manusia. Doa adalah semata-mata pembicaraan tentang kenyataan.
Seolah-olah tujuan jemaat ialah supaya tidak kelihatan.74
Di banyak bagian belahan dunia dewasa ini penganiayaan besar-
besaran secara teroganisir dilancarkan terhadap Gereja. Jumlah orang
Kristen yang mati syahid selama abad ke-21 sama besarnya dengan jumlah
para syahid yang mati selama konflik dengan kekaisaran Romawi selama
tiga ratus tahun. Kekuatan-kekuatan animisme yang dinyatakan secara
menonjol dan agama-gama lama yang muncul kembali diwarnai daya
pesona duniawi yang sifatnya melawan. Maka pertanyaannya adalah: pada
masa yang penuh tuntutan seperti sekarang ini, apakah Allah sedang
menanggulangi keadaan dengan menguatkan umat-Nya akan warisan
rohani yang mereka miliki? Mungkinkah kebanyakan orang Kristen tidak
mempertimbangkan kesediaan Kristus yang adalah kepala Gereja untuk
memberikan karunia-karunia Roh kepada orang demi penguatan,
pembinaan dan perluasan umat-Nya?
Jika memang demikian halnya, dan munculnya kembali karunia-
karunia Roh yang sudah lama diabaikan itu merupakan bagian daripada
rencana Allah dan pertimbangan semacam itu, maka jelaslah bahwa
karunia-karunia Roh sangat relevan untuk masa kini. Ada keperluan yang
mendesak akan adanya Gereja yang dikerahkan untuk memberitakan Injil
selagi masih ada waktu dan kesempatan. Ada keperluan yang mendesak
akan adanya kesaksian yang kuat untuk meyakinkan yang bimbang dan
membungkam yang bersifat memusuhi. Kelompok-kelompok Kristen harus
diikat bersama oleh kasih dan bekerja sama saling mempercayai, Gereja
harus menggunakan segala karunia yang telah diberikan Allah kepada
jemaat-Nya dengan tertib dan teratur.
74
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 175
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI DALAM
PELAYANAN PASTORAL KONSELING KRISTEN
SHERLY MUDAK
PENDAHULUAN
PENGERTIAN ISTILAH
1
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 335
memberikan world view yang lebih luas sehingga dapat memberikan
pemahaman yang lebih utuh dalam melihat suatu fenomena. 2 Jadi, dalam
konteks konseling, integrasi diartikan sebagai pembauran antara theologia
dan psikologi hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat tanpa
menghilangkan ciri ilmu masing-masing.
Theologia, dari kata Yunani, yaitu theos yang berarti “Tuhan”, dan
logos, berarti “kata, wejangan, ajaran.”3 Webster mengartikan kata theology
sebagai, “Studi tentang doktrin-doktrin agama dan hal-hal keilahian: lebih
spesifik, studi tentang Tuhan dan hubungan antara Tuhan, umat manusia,
dan alam semesta.”4 Sedangkan menurut Lorens Bagus, Theologia berarti
“ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah)
dengan dunia fisik.”5 Jadi, istilah theologia artinya suatu pernyataan atau
interpretasi kebenaran tentang Allah dan ciptaan-Nya.
Psikologi, berasal dari kata psyche yang berarti pikiran dan logos
yang memiliki arti ilmu yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
yang dapat diamati (observerable).5 Istilah perilaku atau tingkah laku
digunakan dalam arti luas untuk memasukkan segala sesuatu yang manusia
atau hewan bisa melakukannya.6 Tingkah laku ini kadangkala sifatnya
terbuka atau umum, kadangkala tersembunyi, samar-samar.7 Dari
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Psikologi merupakan
sebuah bidang ilmu yang mempelajari dan mengamati tingkah laku manusia
yang terbuka maupun tersembunyi.
Usaha untuk mengintegrasikan theologia Kristen dengan ilmu
psikologi banyak mendapat kecaman atau tantangan. Orang Kristen telah
bereaksi dalam berbagai cara untuk munculnya psikologi modern, namun
beberapa telah menyambut dengan tangan terentang. Bagi mereka,
wawasan psikologi adalah sekutu besar untuk Gereja karena membawa
misinya di dunia. Lainnya menolak psikologi karena mereka melihat di
2
James Widodo, Konseling Dalam Pelayanan Geraja Masa Kini,
http://www.mail.archive.com/, (diakses, 25 Spetember 2007)
3
Henry C. Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2000), 2
4
Agnes (Ed), Webster’s New World, College Dictionary. Four Edition (Foster
City: IDG Books Worldwide, Inc, 2000), 1651
5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1996),
1090
6
Semua ilmu psikologi yang murni lahir dari pengamatan dan pengujian (riset
empiris) atas tingkah laku manusia yang memang dapat diamati; (Yakub Susabda, Menjadi
Konselor Yang Profesional (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2007), 10
7
Ronald E. Smith, Irwin G. Sarason, Psychology The frontier Of Behavior (New
York: Harper & Row Publisher, 1986), 4
dalamnya ancaman implisit untuk Gereja dan otoritas Alkitab. 8 Hal ini
mengindikasikan bahwa ada pihak yang menerima integrasi theologia dan
psikologi dengan tangan terbuka, namun ada juga yang tidak menerima
integrasi ini dengan anggapan bahwa keberadaan psikologi akan
mengancam Gereja dan otoritas Firman Tuhan. MacArthur dan Mack
mengutip pernyataan Bobgan yang menyatakan bahwa psikologi tidak lagi
berbicara tentang mempelajari jiwa manusia; melainkan merupakan
sekumpulan terapi dan teori yang berlainan, yang pada dasarnya bersifat
manusiawi. Semua persangkaan dan sebagian besar doktrin psikologi tidak
berhasil disatukan dengan kebenaran Kristen.9
Jadi, menurut MacArthur dan Mack, masuknya psikologi ke dalam
ajaran Gereja telah mengaburkan garis yang membatasi pengubahan
tingkah laku dengan pengudusan. Dengan tegas ditulis dalam buku
Pengantar Konseling Alkitabiah bahwa “jalan menuju keutuhan adalah
jalan pengudusan spiritual. Apakah kita akan berlaku dungu dengan
berpaling dari Tuhan sebagai sumber air kehidupan itu, dan beralih pada
hikmat dunia yang sensual dengan menggenangnya air behaviorisme?” 10 Di
dalam artikel yang berjudul The Bible and Psychology-Oil and Water That
Don’t Mix yang ditulis oleh G. Harry Leafe, psikologi dianggap sebagai
suatu system berpikir yang jika diintegrasikan dengan Firman Allah
merupakan penghinaan.11 Jay E. Adams adalah seorang konselor yang
dengan sangat berapi-api menentang integrasi. Dengan sangat serius,
Adams mempertanyakan legitimasi terhadap psikiatris, 12 yang merampas
pekerjaan para pengkhotbah dan dalam kesibukannya mencoba untuk
mengubah sikap dan nilai manusia ke dalam cara atau tingkah laku yang
tidak baik.13 Menurut Adams, seperti yang dikutip oleh Gary A. Collins,
“dengan mempelajari firman Allah dengan hati-hati dan mengamati
bagaimana prinsip-prinsip Alkitab menggambarkan orang yang Anda
nasihat ... Anda dapat memperoleh semua informasi dan pengalaman yang
Anda butuhkan untuk menjadi kompeten, percaya diri konselor Kristen
8
Carter & Narramore, The Integration..., 11
9
John F. MacArthur, Jr., Wayne A. Meck, Pengantar Konseling Alkitabiah
(Malang: Gandum Mas, 2002), 27
10
Ibid.
11
Are we to suggest that such system of thought shoul be integrated” with the
Word of God? The very thought of such an idea is blasphemeous!” G. Harry Leafe, The
Bible and Psychology-Oil and Water That Don’t Mix Internet (diakses 25 Sepetember
2007), 1
12
Bnd. Gary Garner, The Christian Faith and its Relevance to Counseling,
Internet (diakses, 3 Agustus 2007 ), 11
13
Bnd. Collins, Christian Counseling..., 18
tanpa studi psikologi.”14 Jadi, dalam hal ini Adams tidak menyetujui
theologia dan psikologi diintegrasikan dalam pelayanan pastoral konseling
Kristen. Adams berpendapat bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Alkitab
juga kepercayaan diri konselor saja sudah cukup memadai dalam
mengkonseling dan tidak perlu studi psikologi.
KEBERDOSAAN MANUSIA
14
Ibid.
15
Gambar Allah meliputi struktur maupun fungsi karena gambar Allah mencakup
keseluruhan pribadi. Manusia tidak bisa berfungsi tanpa adanya struktur tertentu. Seekor
elang, misalnya, melintasi udara dengan cara terbang ini adalah salah satu fungsinya. Akan
tetapi, elang takkan bisa terbang jika tidak memiliki sayap–salah satu strukturnya. Manusia
juga diciptakan untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu: menyembah Alah, mengasihi
sesama, berkuasa atas alam, dan seterusnya. Tetapi semua fungsi itu takkan bisa kita
lakukan jika Allah tidak mengaruniakan kapasitas-kapasitas struktural tertentu yang
memampukan manusia untuk itu. Jadi, ketika memikirkan manusia sebagai gambar Allah,
struktur dan fungsi sama-sama terlibat. Para theolog awal berkata bahwa gambar Allah di
dalam diri manusia terutama terletak di dalam kapasitas strukturalnya (manusia memiliki
rasio, moralitas, dan sebagainya); bnd. Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut
Gambar Allah (Surabaya: Momentum, 2003), 88-89
16
Bd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2005), 204
17
Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang
Antropologi Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002), 79
aspek yang tak mungkin hilang dari manusia, bagian esensi dan
eksisitensinya tidak hilang, namun gambar Allah harus dipahami sebagai
keserupaan dengan Allah yang telah diselewengkan ketika manusia jatuh ke
dalam dosa. Pengampunan dosa yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus
memungkinkan terjadinya rekonsiliasi antara manusia dengan Allah. Ketika
Kitab Suci menyatakan bahwa kebenaran melalui iman, pandangan manusia
dialihkan dari perbuatannya sendiri supaya manusia bersandar semata-mata
pada kemurahan Allah (Rm 3:23-24). Dosa menyebabkan manusia terpisah
dari Allah, dan akan tetap menjadi musuh Allah sampai ia dipulihkan di
dalam anugerah melalui kebenaran Kristus (1Tim 1:15). Orang tersebut
diterima ke dalam persekutuan dengan-Nya (1Kor 1:9), dibenarkan oleh-
Nya (Rm 5:1), yang terus-menerus dipulihkan dan diperbaharui dalam
proses pengudusan (Kol 3:10).
18
Shinichi Tamagi, Fragmentation And Integration: A Thought On Bases For
Artistic Expression; Artikel, 190-191
19
John D. Carter dan Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and
Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1980), 20
20
Kirk E. Farnsworth, Whole Hearted Integration (Grand Rapids, Michigan:
Baker Book House, 1985), 11
masing-masing dalam mengkomunikasikannya demi memperoleh dan
memberikan suatu pandangan atau pengertian yang baru dan komprehensif.
Integrasi antara teologi dan psikologi dalam pelayanan konseling
Kristen adalah sangat baik yakni untuk menolong pribadi yang mengalami
masalah (konseli) guna menghadapi masalah yang dihadapi. Firman Allah
memiliki relevansi besar dan abadi untuk konselor atau konselinya, tetapi
tidak mengklaim untuk menjadi dan juga bukan dimaksudkan untuk
menjadi wahyu Allah satu-satunya dalam menolong manusia. Dalam dunia
kedokteran, juga menolong umat manusia, manusia telah diizinkan untuk
belajar banyak tentang ciptaan Allah melalui ilmu pengetahuan dan studi
akademis. Mengapa, kemudian, psikologi ketika akan dipilih sebagai salah
satu bidang yang memiliki kontribusi pada pekerjaan konselor atau dunia
konseling ditolak?21 Berkenaan dengan ini, dikemukakan oleh Susabda:
“Memang kita tidak perlu terlalu naïf dan percaya bahwa setiap masalah
hidup manusia adalah masalah dosa (spiritual), tetapi kita harus mengakui
bahwa kebutuhan manusia yang terdalam selalu bersangkut paut dengan
penyelesaian masalah dosa (spiritual).” 22 Hal ini mendukung pernyataan
John H. Stoll dalam artikelnya mengenai The Bible and Psychology, bahwa
“psikologi dapat menyediakan alat-alat yang disediakan oleh Tuhan untuk
menembus lebih efisien, dan melarutkan pertahanan yang digunakan orang
untuk mengisolasi diri dari kebenaran Alkitab, dan dari sesama mereka. 23
Untuk mengetahui dan memahami masalah dosa konseli, seorang konselor
perlu memahami permasalahan secara psikis yang dialami oleh konseli. Hal
ini merupakan suatu keistimewaan bagi konselor-konselor Kristen.
Pendekatan Pastoral Konseling mempunyai skop yang jauh lebih luas
jikalau dibandingkan dengan skop pelayanan konseling dari konselor-
konselor lainnya, bukan karena availabilitas dan keunikan posisi hamba
Tuhan di tengah jemaatnya saja tetapi juga disebabkan oleh karena nature
dari pelayanan Pastoral Konseling yang menempatkan dimensi spiritual
sebagai inti dasar pendekatan setiap masalah hidup manusia.
21
Gary R. Collins, Christian counseling A Comprehensive Guide (Waco: Word
Books, 1982), 19
22
Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling. Jilid 2 (Malang: Gandum Mas, 1986), 5
23
John H. Stoll, The Bible and Psychology, http:// leaderu. Com/ offices/ stoll/
psychology.html: (diakses, 25 September 2007), no.pp.
PERBEDAAN MENDASAR ANTARA TEOLOGI DAN PSIKOLOGI
Untuk lebih memudahkan memahami perbedaan yang mendasar
antara teologi dan psikologi dapat dilihat dalam beberapa aspek:24
Natur Manusia
Teologi Kristen mengajarkan bahwa natur manusia adalah berdosa.
Alkitab menyatakan bahwa, “karena semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23). Lebih lanjut ditegaskan oleh
Sproul bahwa, “Sebenarnya umat manusia waktu hadir di dalam dunia ini
sudah dalam keadaan berdosa. Semua manusia dilihat sebagai orang
berdosa oleh Allah.”25 Sedangkan psikologi mengajarkan bahwa natur
manusia pada dasarnya adalah baik, atau setidaknya netral. Alasan
sesungguhnya manusia bertingkah laku salah adalah karena tekanan dari
luar dirinya.26 Kebanyakan pemikiran psikologis percaya bahwa pada
dasarnya manusia itu baik dan melalui upayanya sendiri diri manusia dapat
meningkatkan kehidupan tanpa Allah. Psikologi juga mengajarkan bahwa
manusia adalah korban dari masa lalunya dan masalah itu berasal dari
orang-orang dan lingkungan yang negatif mempengaruhi manusia di masa
24
Steven J. Cole, How John Calvin Led Me to Repent of Christian Psychology,
http://www.freerepublic.com, (diakses, 30 Januari 2008)
25
R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: SAAT,
1997), 194
26
Psychology theaches that human nature is basically good, or at least
neutral. The only reason that people misbehave is because of outside forces (such
as society or parents) that harm them. www.svchapel. Org/ assets/ docs/ theologylessons/
christian_and_psychology.pdf, (diakses, 18 Januari 2008)
lalu.27 Dengan kata lain psikologi tidak mengakui natur manusia sebagai
orang berdosa tetapi setiap masalah yang dialami oleh seseorang pada masa
sekarang ini adalah akibat dari kesalahan yang dialaminya pada masa lalu.
Nilai
Mengenai nilai, Alkitab mengajarkan mengenai ke-absolut-an.
Sutjipto Subeno menyatakan, kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri.
Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih
mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan
kebenarannya tidaklah absolut.28 Sedangkan psikologi mengajarkan tentang
relatif.29 Sesuatu yang dipandang baik oleh seseorang, belum tentu dilihat
baik juga oleh orang lain. Dalam mencari kebenaran, haruslah kembali
kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan diri-Nya sendiri
adalah kebenaran (Yoh 14:6).
Sumber Jawaban
Sumber jawaban dalam ilmu psikologi adalah di dalam diri individu
itu sendiri. Tugas dari seorang konselor hanyalah menolong konseli untuk
menemukan jawabannya. Sedangkan orang Kristen percaya bahwa
jawaban-jawaban dalam hidup ini terdapat di dalam Fiman Tuhan yang
telah dinyatakan oleh Allah. Berkaitan dengan ini, Subeno menulis, Allah
mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaran-
Nya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Inilah yang
ditekankan dengan proklamasi: Sola Scriptura (Hanya Alkitab Saja). 30
Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus didasarkan pada Alkitab.
Metode
Sebagaimana pengertian psikologi mengenai natur manusia di atas,
maka psikologi mengajarkan bahwa kunci dari masalah pribadi yang
27
Debbie O’Hara, Christianity Versus Psychology, http://newswithviews/ Ohara/
debbie16.htm, (diakses, 29 Januari 2008)
28
Sutjipto Subeno, Presuposisi Teologi: Sistematika, Edisi: 035/I/2003.
29
Steven J. Cole, How John Calvin Led Me to Repent of Christian Psychology,
http://www.freerepublic.com
30
Subeno, Ibid.
dialami oleh tiap individu terdapat pada masa lampau (past).31
Dibandingkan dengan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, Alkitab selalu
memperhadapkan manusia dengan apa yang terjadi pada masa lampau,
yaitu manusia berdosa, masa sekarang ini, sebagai manusia yang telah
diselamatkan dan juga memperhadapkan manusia pada masa yang akan
datang, yakni kehidupan kekal bersama Kristus di Surga.
31
Bd. www.svchapel.org/assets/docs/theologylessons/ (diakses, 29 Januari 2008)
32
Respon terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga jenis
kewajiban yang harus dia penuhi.1) Kewajiban karena keberadaanku, keberadaan
trancending nature, yaitu keberadaan untuk menopang alam. Jadi bukan hanya sekedar
mengontrol alam dan mengatur alam saja, tapi juga memperbaiki alam...2) Respon
terhadap wahyu umum Allah adalah bagaimana mengurus diri kita sendiri. Bagaimana kita
mampu melimitasi dirisehingga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab, baik
terhadap alam, diri sendiri, orang lain dan Allah. Mengatur diri sendiri berada di atas hal
mengatur alam. 3) Karena kuasa mengatur alam dan diri sendiri inilah maka timbullah
respon beribadah dan takut kepada Allah; Stephen Tong, Dosa dan Kebudayaan (Jakarta:
LRII, 1997), 20
33
Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab
Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-
Nya,yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari
karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rm 1:19-20).
Allah pencipta yang kudus, untuk itu Allah sendiri yang berinisiatif untuk
menyatakan diri-Nya kepada manusia. Satu-satunya cara untuk mengenal-
Nya adalah melalui wahyu. Tidak ada manusia yang bisa melihat-Nya
kecuali DIA sendiri menyingkapkan dan menyatakan diri-Nya kepada kita.
Pengertian mengenai penyataan umum diartikan oleh Bruce
Demarest and Gordon Lewis, “Wahyu Umum, dimediasi melalui alam, hati
nurani, dan sejarah, secara tradisional telah dipahami sebagai saksi
universal untuk keberadaan Allah dan karakter-Nya”34 Selanjutnya
dinyatakan bahwa, Pengungkapan Allah nyata di alam semesta, dalam
sejarah, dan hukum moral di dalam hati, dimana semua orang sepanjang
waktu dan tempat mendapatkan pemahaman dasar mengenai Pencipta dan
tuntutan moralnya.35 Dengan demikian, selain melalui perbuatan Allah
dalam alam semesta dan sejarah, Allah menyatakan diri pula kepada
manusia melalui hati nurani atau suara hati manusia seperti yang
dinyatakan oleh rasul Paulus di dalam Roma 2:14-15.36
34
B.A. Demarest, General Revelation: Historical Views and Contemporary
Issues, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 14
35
B.A. Demarest and G.R.Lewis, Integrative Theology: Knowing Ultimate
Reality, the Living God. Vol. 3 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987), 61
36
Apabila bangsa-bangsa yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri
sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak
memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab
dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati
mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau
saling membela (Rm 2:14-15), …., Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006)
37
Paul D. Meier, Frank B. Minirth, Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen
(Yogyakarta: ANDI, 2004), 18
Namun, melalui tabel di bawah ini dapat dilihat perbandingan yang
potensial dan dapat dipakai sebagai pendekatan di antara kedua ilmu ini.
Kristus dan Roh Kudus Psikologi Konseling McKenna 1977; Gilbert & Brock 1985
Sumber: Diadaptasi dari Carter dan Mohline 1976; Collins 1981; Meier dan Minirth 2004
Cakupan ilmu teologi dan psikologi yang luas membuat sulit untuk
memfokuskan diri pada satu titik temu tetapi melalui tabel tersebut di atas
dapat dilihat bahwa baik teologi maupun psikologi dapat diintegrasikan
demi mengembangkan pelayanan konseling Kristen.
38
John D. Carter and Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and
Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1978),73
Model ini merupakan posisi kekristenan melawan posisi psikologi 39
dan dibangun berdasarkan asumsi bahwa ada konflik yang tak dapat
diselesaikan antara psikologi dan kekristenan.40 Yang berpihak pada posisi
kekristenan melawan psikologi tidak melihat nilai psikologi sehingga
mengurangi semua masalah hanya dalam arena rohani. 41 Mendukung hal
ini, Benner menyatakan bahwa, pengurangan nilai rohani semacam ini
membuat psikoterapi bertentangan dengan tujuan Allah. 42
The Of Model
Pada bagian ini psikologi dianggap memiliki jawaban-jawaban
sementara kekristenan dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting atau
bahkan merusak kehidupan yang sehat.43 Freud menekankan bahwa
kekristenan bersifat patologis (penyakit).44 Menurut Minirth dan Meier,
baik The Against Model maupun The Of Model sama-sama terlalu
menyerdehanakan masalah dengan mengurangi segala sesuatu pada satu
sudut pandang.45
39
Meier dan Minirth, Pengantar Psikologi..., 12-13
40
Carter and Narramore, The Integration Of..., 73
41
Meier dan Minirth, Ibid., 12-13
42
D. Benner, Psychotherapy and the Spiritual Quest (Grand Rapids, Michigan:
Baker, 1988), 44
43
Meier dan Minirth, Ibid., 13
44
Benner, Psychotherapy..., 47- 48
45
Meier dan Minirth, Ibid.,13
46
Carter and Narramore, The Integration Of ..., 94
47
Benner, Ibid., 41
Setiap model yang di atas, memiliki kekuatan dan kelemahannya
masing-masing. Model integrasi dari Carter dan Narramore, baik Against
dan Of tidak memiliki keuntungan apa pun karena masing-masing bertahan
dengan prinsipnya, dan model parallels mempunyai beberapa kekuatan
dasar tapi terbatas karena keduanya bergerak pada rel masing-masing tanpa
bersinggungan. Hanya model integration yang cukup lengkap karena kedua
ilmu yang pada dasarnya bertolak belakang ini dapat diintegrasikan,
asalkan tidak bertentangan atau sesuai dengan prinsip Alkitab karena iman
Kristen bukan iman yang self-centered atau human-centered tetapi iman
yang dibangun di atas dasar Alkitab dan Kristus atau Christ-centered.
Expanded Empiricism
Mengakui bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah.
Kebenaran dalam dunia psikologi adalah kebenaran Allah, asalkan tidak
bertentangan dengan kebenaran Allah yang tertera di dalam Alkitab.
Alkitab adalah kebenaran yang menyelamatkan, sedangkan kebenaran yang
ditemukan di dalam dan melalui ilmu pengetahuan adalah kebenaran-
kebenaran yang melengkapi kebutuhan orang percaya yang kontekstual. 50
48
Integration model is rooted in the assumption that God is the author of all
truth; Carter and Narramore, Ibid., 103
49
Bnd. Yakub Susabda, Pastoral Konseling. I (Malang: Gandum Mas, 2006), 94
50
Bnd. Ibid.
51
Ibid., 95
Biblical Absolutism
Alkitab menyediakan dasar/prinsip-pinsip semua kasus.52 Memang
Alkitab bukanlah buku ilmu pengetahuan, karenanya ada fakta di mana
dalam hal-hal tertentu Alkitab “diam.” Misalnya pemakaian shock therapy
atau electro convulsive therapy, yang diberikan pada pasien schzophrenia,53
Alkitab seolah-olah tidak berbicara apa-apa, namun semua ini tidak lepas
dari dasar, tujuan dan motivasi tekhnik terapi.
Modified Reductionism
Bagian ini dijelaskan oleh Gary Collins sebagi suatu usaha dari para
ahli kimia, dokter, bahkan psikolog yang cenderung untuk melakukan
pemotongan-pemotongan, mendekati persoalan di sekitar manusia terlepas
dari keutuhannya sebagai ciptaan Allah yang teristimewa (Mzm 8:5-6).
Christian Supernaturalism
Allah adalah Allah yang berintervensi dalam kehidupan manusia,
dan memelihara manusia sampai pada hal-hal yang detail. Oleh karena itu,
sumbangan psikologi adalah sumbangan yang tidak merusak keyakinan
manusia orang percaya mengenai intervensi dan pemeliharaan Tuhan.
Biblical Anthropology
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang teristimewa karena
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Namun manusia kemudian
jatuh dalam dosa, sehingga hidupnya rusak total di hadapan Allah. Manusia
tidak mampu berkomunikasi lagi dengan pencipta-Nya. Allah menyediakan
pengharapan kepada manusia melalui pengalaman kelahiran kembali dan
percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Jadi, ilmu psikologi yang
disumbangkan dapat diterima apabila sumbangan tersebut tidak merusak
prinsip-prinsip Alkitab.
Untuk mencermati ilmu pengetahuan sebagai penyataan umum
Allah, Larry Crabb menggambarkan di dalam sebuah diagram seperti
berikut.
52
Stevri Lumintang, Integrasi Theologia dan Psikologi, Bahan Seminar.
53
Susabda, Ibid., 95-6
Tuhan
Penyataan Penyataan
Umum Khusus
Alkitab
Alam
Wahyu khusus
Wahyu umum
Studi Exegetis
Kesimpulan
(Hermeneutik)
Psikologis
Kesimpulan
Penelitian
Psikologi
Theologis
(Metode Ilmiah)
Sintesis
Teori Konseling
Kristen
54
Larry Crabb, Understanding People (Michigan, Grand Rapids: Zondervan,
1987), 38
sumber ini berbeda karena perbedaan sumber dan metode analisis, namun
pada tingkat analisis akhir akan ditemukan kesamaan, saling mengisi dan
interaktif.55
Jadi, akan terjadi dan terdapat refleksi teologis dan alkitabiah atas
psikologi dan refleksi psikologis atas theologia dan Alkitab. Konflik-
konflik yang terjadi antara theologia dan psikologi merupakan kesalahan
tafsiran alkitabiah atau kesalahan dalam penggunaan metode ilmiah, atau
keduanya. Teologi maupun psikologi diturunkan dari pewahyuan Allah,
penemuan-penemuan yang akurat dari masing-masing metode tidak akan
berkonflik.”56
Psikologi adalah bagian dari hidup dengan Allah, suatu pengesahan
bahwa Allah beserta orang percaya, dan adalah izin yang diberikan oleh
Tuhan, dan realitas tergantung pada Allah saja.”57 Ilmu pengetahuan
psikologi tidak bisa disingkirkan begitu saja hanya karena tidak secara
spesifik tertera di dalam Alkitab, karena psikologi dapat dipergunakan
untuk pelayanan pekerjaan Tuhan asalkan ilmu pengetahuan ini diletakkan
seutuhnya di bawah otoritas Firman Allah. Psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang juga mengandung kebenaran-kebenaran tertentu di
dalamnya. Lebih lanjut dinyatakan oleh Simanjuntak bahwa kebenaran-
kebenaran melalui ilmu pengetahuan ini disebut sebagai God’s law
sedangkan kesimpulan-kesimpulan dari dari kebenaran ilmu pengetahuan
itu disebut God’s truth jikalau hal itu harmonis dengan God’s law lainnya.58
Jadi jika kesimpulan-kesimpulan dari psikologi mengandung kebenaran
Allah, maka dapat dan harus digunakan dalam konseling Kristen.
Menurut Buttrick, keutuhan itulah yang menjadi visi kedatangan,
kehidupan dan pelayanan Yesus hingga memberikan nyawa-Nya, yakni
agar domba-domba-Nya mengalami kelimpahan dalam segala aspek
hidup.59 Hal inilah yang memungkinkan dibangunnya dasar integrasi antara
teologi dan psikologi karena psikologi didasarkan pada penyataan umum
Allah yang dinyatakan kepada manusia.
55
Meier dan Minirth, Pengantar Psikologi..., 18
56
Ibid.
57
Kirk. E. Farnswoth, Psychology and Christianity: A Substantial Integration,
JASA 27 (June 1975): 60-66
58
Julianto Simanjuntak, Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme (Jakarta:
Gramedia, 2008), 125-126
59
George Arthur Buttrick (Ed). The Inerprester’s Dictionary Of The Bible
(Nashville: Abingdon Press, 1991), 546
PENUTUP
PENDAHULUAN
1
Victor I. Tanya, Pluralisme Agama dan Problema Sosial (Jakarta: PT. Pustaka
Cidesindo,1998), XIX.
yang baru, bahkan sangat mungkin bahwa penelitian tentang hal tersebut
telah pernah dikemukakan sebelumnya secara lebih rinci.
Menyadari luasnya cakupan tentang permasalahan dan pembahasan
mengenai materi Toleransi Agama dan Motif Misi Kristen, maka penulis
membatasi pemaparan pada pada beberapa bagian saja. Dalam makalah ini
penulis akan memaparkan toleransi beragama dan motif misi Gereja di
Indonesia. Adapun materi yang akan dipaparkan adalah, Pertama,
penjelasan tentang pengertian toleransi dan agama. Selanjutnya pemaparan
tentang dinamika bertoleransi di Indonesia, urgensi toleransi beragama,
peran Pancasila sebagai dasar negara, keunikan pluralitas, tantangan
pluralisme. Selanjutnya memaparkan mengenai motif misi Kristen serta
dialog Kristen sebagai sarana dalam toleransi agama, serta bagian penutup
adalah kesimpulan.
2
I.Breward, “Toleration” in New Dictionary of Theology, Sinclair B. Ferguson
(ed.) (Leicester: Inter Varsity Press, 1988), 689
3
Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary (Jakarta:
Modern English Press,1985), 2073
4
Webster, “Toleration” in Webster’s New Collegiate Dictionay (Massachusetts:
Phoenix Press Inc, 1973), 1228
5
J. E. Wood , “Tolerance” in Evangelical Dictionary of Theology, Walter Elwell
(ed)., (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House,1984), 1098
luas bagi setiap penganut agama untuk mengembangkan sikap toleransi,
dalam artian perlunya sikap saling menghormati dan memahami diantara
masing-masing penganut agama. Berkaitan dengan hal itu, Viktor Tanya
menjelaskan bahwa sikap toleransi adalah memberlakukan agama lain
dengan penuh hormat. Ia menyatakan sebagai berikut:
Toleransi berarti endurance atau ketabahan, yang bukan hanya
menunjuk pada sikap membiarkan orang lain hidup di sekitar kita
tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini
khususnya di bidang agama menunjuk pada kerelaan dan kesediaan
untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh
hormat dalam suatu dialog dengan orang lain secara terus-menerus
tanpa perlu dipengaruhi oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. 6
Arah pengertian toleransi yang diutarakan di atas pada dasarnya
lebih mengacu pada suatu sikap hidup yang dilakukan oleh seseorang atau
suatu komunitas dalam suatu kemajemukan. Alister McGrath mengakui hal
ini dengan mengemukakan: Toleration is much more likely to result from
showing respect to other religions, than from forcing them into an artificial
framework.7 Dalam arah yang sama Stevri Lumintang memberi komentar
bahwa, “toleransi agama tidak hanya membutuhkan keterbukaan,
melainkan juga kejujuran untuk mengakui perbedaan, menampilkan
perbedaan dan kelebihan yang satu daripada yang lain. Toleransi agama
juga memerlukan sikap hati yang dewasa, artinya menerima atau mengakui
apabila orang beragama lain lebih kaya dalam pemahaman dan pengalaman
agamanya, lebih indah dan teguh keyakinan agamanya.” 8 Kendatipun
demikian toleransi tidak selalu memiliki asumsi menerima dan mengadopsi
secara utuh keyakinan atau agama orang lain, seperti yang diungkapkan
oleh Efferin, dengan memaparkan, “Jadi dalam memahami toleransi, kita
perlu membedakan antara menerima seseorang yang berbeda pandangan
atau agama dengan menerima isi kepercayaannya sebagai kebenaran.” 9
Toleransi lebih merupakan suatu pemahaman dan praktek hidup yang perlu
dikembangkan dan dipertahankan di tengah-tengah pluralitas bangsa
Indonesia.
6
Tanya, Pluralisme Agama …,13
7
Alister McGrath, A Passion for Truth The Intellectual Coherence Of
Evangelicalism (Illinois: InterVarsity Press, 1996), 240
8
Stevri Indra Lumintan, Re-Indonesianisasi Bangsa (Batu: Departemen Multi-
Media YPPII, 2009), 618-619
9
Henri Efferin, “Konsultasi Teologi,” dalam Pelita Zaman (Jurnal) Vol. 16 no.
1, 2001, 89
Agama merupakan sebuah institusi yang sudah eksis dan
berlangsung sejak lama, bahkan bisa disebut sama tuanya dengan manusia;
ketika manusia diciptakan, manusia dapat berhubungan dengan sang
Pencipta. Hubungan dengan Sang Pencipta inilah yang diyakini sebagai
dasar dari agama. Pengertian dalam arah yang sama juga dikemukakan oleh
W.S. Lasor : Religion may be defined as a relationship to the holy. 10
Sedangkan A.K. Rule menjelaskan agama sebagai berikut: The
acknowledgement of a higher, unseen power, an attitude of reverent
dependence on that power in conduct of life; and special actions,eg., rites,
prayers, and acts of mercy as peculiar expressions and means of cultivation
of the religious attitude.11 Dengan demikian agama tidak dapat dipisahkan
dari Pribadi yang Mahakuasa atau sang Pencipta. Dalam perjalanan waktu,
sejalan dengan pertambahan umat manusia, agama menjadi kian beragam.
Menurut Daniel Pals dari sekian banyak agama ada satu persamaan yang
tidak dapat dipungkiri yakni, “Agama dasar” atau agama manapun terdiri
atas kepercayaan pada Tuhan pencipta yang menjadikan dunia dan
kemudian menyerahkannya pada hukum-hukum dasarnya sendiri. Suatu
kode moral yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan
kehidupan setelah mati jika mereka berbuat baik dan menghindari
kejahatan.12 Pendapat Daniel Pals di atas tentu berbeda dengan doktrin
Kristen di mana keagamaan yang diyakini adalah kehidupan yang
didapatkan karena dan berdasarkan kedaulatan dan kasih Allah di dalam
Kristus, bukan atas hasil suatu kode moral dan usaha sendiri atau sebuah
hasil tindakan moral saja (Yoh 3:16). Manusia menemukan kebenaran yang
telah dinyatakan oleh Pencipta-Nya. Kendatipun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa agama juga memiliki peran yang penting, seperti yang
dikemukakan oleh Victor Tanya bahwa agama adalah “Sebagai sistem
kepercayaan dan peribadatan, agama berperan penting, dalam menciptakan
tatanan kehidupan yang berkeadilan dan beradab bagi seluruh umat
manusia di dunia.”13 Secara umum agama memiliki tujuan agar tidak terjadi
kekacauan bagi setiap pemeluknya.
10
W.S. Lasor, “Religions Of The Biblical World” dalam The International
Standard Bible Encyclopedia, G.W. Bromiley (ed) (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1988), 79
11
A.K. Rule Religion,Religious dalam Evangelical Dictionary of Theology,
Walter Elewll (ed) (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984), 931
12
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religions (Yogyakarta: Penerbit Qalam,
2001), 11
13
Tanya. Pluralisme Agama…, xix.
Dengan demikian jika berbicara mengenai toleransi beragama,
berarti mengulas tentang sikap hidup manusia antar umat beragama, sikap
yang terbuka dan secara dewasa menerima perbedaan agama-agama lain.
Sikap yang ramah kepada sesama manusia tanpa mempersoalkan apa yang
menjadi kepercayaannya. Pluralitas di Indonesia telah menciptakan
kesadaran masyarakat yang toleran terhadap berbagai agama dan berbagai
kepercayaan yang ada. Sikap toleransi sangat diperlukan untuk mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan. Namun demikian, sikap toleransi beragama
seperti apa yang dapat dikembangkan dan dipertahankan dalam konteks
pluralitas di Indonesia menurut keyakinan kristiani.
14
Lumintang, Re-Indonesianisasi…, 502-510
15
Tanya, Pluralisme Agama..., xix.
16
Lumintang, Ibid…, 519
Setiap kelompok agama memang harus dapat menguasai diri, dan
memikirkan usaha-usaha untuk mencapai toleransi dan persatuan sebagai
sesama warga Negara. Konflik antar umat beragama itu dapat terjadi
karena beberapa hal, seperti yang dikemukakan oleh Makmur Halim,
sebagai berikut:
(1) Konflik yang terjadi antar pengikut-pengikut secara individu
dalam lingkup kecil atau sempit lingkungannya yang kemudian
berkembang menjadi konflik antar kelompok; (2) Konflik yang
terjadi antar tokoh-tokoh agama atau antar pemimpin-pemimpin
agama yang berkembang menjadi konflik antar kelompok; (3)
Konflik yang terjadi antar kelompok agama di negara-negara lain
yang kemudian meluas ke konflik di negara sendiri; (4) Konflik
yang terjadi antar kelompok agama dikarenakan adanya pihak ketiga
atau pengadu domba, sehingga terjadi kemarahan satu sama lain
antar kelompok agama; (5) Konflik yang terjadi oleh karena dari
salah satu kelompok salah mengkomunikasikan berita, sehingga
terjadi salah pengertian (miscommunication); (6) Konflik yang
terjadi oleh karena propaganda atau penyiaran-penyiaran yang
berbau keagamaan dan yang terlalu menonjol, dan akhirnya
mengganggu dan menyinggung kelompok lain; (7) konflk yang
terjadi oleh karena tidak ada pertemuan persahabatan antar
kelompok umat beragama; (8) Konflik yang terjadi oleh karena
terdapat konflik masa lalu atau luka lama yang belum selesai
(unfinished business). Konflik ini bisa terjadi karena konflik yang
terjadi dalam sejarah masa lalu; (9) Konflik yang terjadi antar
kelompok agama disebabkan adanya kelompok agama yang salah
dalam menggunakan atau menafsirkan ajaran-ajaran agamanya,
sehingga menyerang kelompok agama lain.17
Konflik dapat terjadi karena berbagai faktor, baik yang bersifat
internal, yakni dari kelompok agama itu sendiri maupun secara eksternal.
Oleh sebab itu kelompok-kelompok umat beragama harus berhati-hati, dan
dengan bijaksana membawa bendera agamanya masing-masing, serta
menyaring informasi-informasi yang berkembang di tengah-tengah
penganut agamanya masing-masing. Kesadaran bertoleransi hendaklah
diupayakan dan diajar-ajarkan bagi seluruh warga Indonesia.
17
Makmur Halim, Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia (Malang:
Penerbit Gandum Mas, t.t.), 269-271
Urgensitas Toleransi Bergama
Toleransi beragama merupakan hal yang amat penting
dikembangkan di Negara Indonesia mengingat kepelbagaian agama yang
ada di negara kita. Cooley memaparkan ada dua dasar serta dorongan dalam
hal hubungan antar umat beragama yaitu:18
18
F.L. Cooley, Panggilan Umat Kristen Dalam Hubungan Antar Umat Beragama
dalam Konteks berteologi di Indonesia. Penyunting Eka Darmaputera (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991), 171-172
Kristen harus berusaha memulihkan serta memperkuat hubungan baik
dengan seluruh elemen umat beragama. Juga harus diusahakan oleh kedua
belah pihak pembebasan dari semua ketidaktahuan (ignorance), paham
serta sikap yang keliru (misunderstanding), polemik, prasangka
(prejudices) serta ketakutan (fear) satu terhadap yang lain yang telah
bertumbuh dan sengaja dipupuk selama masa lalu. Dan usaha tersebut
dalam ukurannya bersifat monumental, raksasa, sangat berat dan
memerlukan waktu yang lama.19 Dengan demikian toleransi beragama
seharusnya bukan sekedar slogan semata-mata, namun menjadi suatu
agenda yang amat penting untuk diperhatikan dan dikembangkan di dalam
tatatan perilaku kehidupan masyrakat Indonesia yang majemuk ini.
19
Cooley, Panggilan Umat Kristen..., 172
20
Theo Kobong, “Iman Kristen dan Pancasila” dalam Teologi Perjumpaan, Phil.
J. Garang & Weinata Sairin (peny.), (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1993), 216
tidak hanya (secara pasif) mengakui kenyataan kemajemukan agama, tetapi
juga (secara aktif) menjamin kebebasan beragama setiap penduduk
Indonesia. Pancasila menjamin kebebasan kelima agama menjalankan
ajaran dan kepercayaan mereka, tanpa campur tangan pemerintah. Namun
demikian, di dalam Negara Pancasila, kebebasan tidak boleh diartikan
kebebasan tanpa batas. Kebebasan harus diletakkan di dalam kerangka dan
batas kesatuan serta persatuan bangsa, yang menjadi salah satu sendi utama
dari jiwa Pancasila itu sendiri. Karena itu, prinsip kebebasan beragama
bukanlah prinsip satu-satunya. Prinsip tersebut berdampingan dan bertalian
erat dengan prinsip kerukunan beragama, atau kerukunan umat beragama. 21
Keunikan Pluralitas
Pluralitas dan Pluralisme merupakan dua hal yang berbeda.
Pluralitas agama merupakan kepelbagaian agama namun pengertian
pluralitas tidak sama dengan kemajemukan. Pluralitas mengacu pada
adanya hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda,
sedang kemajemukan (diversitas) mengacu kepada tidak adanya hubungan
seperti itu diantara hal-hal yang berbeda. Dengan demikian, pluralitas
mengharuskan adanya dialog antar semua umat beragama. Dalam dialog
itu, faktor etika sangat menentukan karena menyangkut masalah bagaimana
seseorang bersikap terhadap sesamanya.22
Dalam perjalanan umat manusia, agama-agama menjadi sumber
motivasi dan inspirasi yang tidak pernah kering. Satu hal yang menjadi
tantangan dalam pluralitas agama ialah pemeluk agama memiliki klaimnya
masing-masing mengenai kebenaran absolut yang diimani dan diamini. Hal
ini tentu sangat berpotensi untuk melahirkan fanatisme terhadap agama
sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk agama lain. 23 Tentu saja
hal ini dapat dicegah jika umat beragama dengan bijaksana bersikap toleran
terhadap semua agama di Indonesia. Sikap toleran menghasilkan kerukunan
umat beragama di bumi pertiwi ini.
21
Eka Darmaputera, Pergumulan Dan Peran Gereja Dalam Masyarakat Dan
Negara Pancasila dalam Gerakan Oikoumene Tegar Mekar Di bumi Pancasila (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1993), 310-311.
22
Tanya, Pluralisme Agama…, 4
23
Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 519
Tantangan Pluralisme
Pluralisme seperti yang telah dikemukakan di atas justru mengakui
semua agama sampai pada tingkat menerima kebenaran dari semua agama
sebagai suatu kebenaran yang saling melengkapi.24 Pluralisme keagamaan
pada pihak lain, adalah kepercayaan bahwa perbedaan-perbedaan antara
agama-agama adalah bukan masalah kebenaran dan ketidakbenaran, tetapi
tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini berarti bahwa
berbicara tentang kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau
salah tidak dapat diperkenakan.25 Dalam arah yang sama Gary Phillips
memberikan tiga hal tentang terminology pluralisme, yakni: (1) the
growing diversity of race, heritage, religion, and value systems within
Western culture; and (2) the value of toleration for this diversity. (3) the
philosophical posture which insists that tolerance must be granted to all
views on the ground that none can claim to be true.26 Dalam terminologi
yang satu ini perlu juga dibedakan antara pluralisme kebudayaan dan
pluralisme keagamaan. Tentu saja benar bahwa kebudayaan dan agama
saling berkaitan erat. Agama dari satu sudut pandang adalah aspek dari
kebudayaan, tetapi kebudayaan ini bukanlah keseluruhan agama itu.
Agama-agama dapat bersifat multikultural, seperti yang nyata dalam
kekristenan.27 Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang
sangat serius bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekedar suatu
konsep sosiologis, antrophologis, melainkan konsep filsafat agama yang
bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan
yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-
politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama; serta
disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme yang
mengiringinya.28
Maka itu bagi kaum pluralis, yang dibutuhkan bukanlah kristologi,
soteriologi dan pneumatologi, melainkan teologi agama-agama atau teologi
abu-abu (pluralisme). Para penganut pluralisme memang tidak meniadakan
doktrin-doktrin Kristen, juga tidak menyatukan semua doktrin yang ada di
semua agama, namun mengembangkan doktrin masing-masing agama
24
Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 519
25
Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung
Mulia 1993), 20
26
Gary Phillips, “Religious Pluralism In A Postmodern World” in The Challenge
of Post Modernism, David S. Dockery (ed.). (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic,
2001), 135
27
Ibid., 19
28
Lumintang, Ibid., 521
dengan cara membuka diri terhadap pengadopsian kebenaran doktrin agama
lain.29 Berkaitan dengan hal itu, Darmaputera mengemukakan bahwa “satu
hal yang patut disadari dan dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama
ialah masing-masing agama berupaya sekuat-kuatnya menahan diri,
bertenggang rasa, peka terhadap perasaan kelompok yang lain, dengan
tanpa menghianati pokok-pokok ajaran agamanya sendiri.”30
Misi Kristen adalah misi yang lahir dari Allah. Allah terlebih
dahulu telah melakukan misi itu sendiri dengan mengutus Yesus Kristus ke
dalam dunia. Tuhan Yesus sebelum naik ke surga memandatkan para
murid-Nya untuk meneruskan misi yang telah dimulai oleh-Nya; seperti
yang dicatat dalam Matius 28:19-20. Untuk itu misi Kristen selayaknya
memiliki motivasi yang selaras dengan maksud Allah yang mula-mula.
Beberapa motif misi Kristen yang harus diperhatikan yakni:
29
Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 522-523
30
Darmaputera, Pergumulan Peran Gereja…, 311
31
Anthony A. Hoekama, Save By Grace (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1994), 94
32
J.I. Packer, Evangelism and The Sovereignty of God (Surabaya: Momentum,
2003), 36
pertobatan orang yang belum percaya, dan menghendaki penyampaian
berita Injil sejelas dan sekuat mungkin. Jika kita tidak peduli apakah
penginjilan kita itu akan menghasilkan sedikit atau banyak petobat baru,
apakah pemberitaan kita tentang Kristus mengenai sasaran atau tidak, maka
ada sesuatu yang salah pada kita. Tetapi sama salahnya jika kita mengambil
tangung jawab lebih dari yang Allah berikan.33 Kedaulatan Allah dalam
anugerah memberikan satu-satunya pengharapan atas keberhasilan dalam
penginjilan. Kedaulatan Allah dalam anugerah merupakan satu-satunya hal
yang mencegah penginjilan menjadi sia-sia dan menciptakan kemungkinan
atau kepastian bahwa penginjilan akan menghasilkan buah. 34 Karena buah
penginjilan, yaitu pertobatan orang berdosa kepada Kristus. Pertobatan itu
adalah pekerjaan Allah yang berdaulat. Efektivitas penginjilan juga
bergantung kepada Injil yang berkuasa, karena Injil adalah kekuatan Allah
yang menyelamatan setiap orang yang percaya (Rm 1:16) melalui pekerjaan
Roh Kudus. Kedua, Kedaulatan Allah dalam pelaksanaan misi dan
penginjilan akan membangkitkan dan memurnikan motif-motif misi dan
penginjilan. Motif-motif misi adalah berakar pada maksud dan tujuan misi.
Jika Gereja mengandalkan kedaulatan Allah dalam pelaksanaan misi, maka
motif misi adalah bersifat theo-sentris. Semua konsep dan praktek misi
berpusat bukan pada kemampuan manusia, dan bukan demi kepentingan
manusia, melainkan berpusat pada Allah dan demi kemuliaan-Nya.35
33
Ibid., 18
34
Ibid., 86
35
Lumintang, Misiologia Kontemporer..., 264
kesombongan manusiawi kita dalam aktivitas-aktivitas kita tidak
menghalangi jalan misi Allah di dalam dunia. 36
36
Cuplikan dari International Missionary Council (Ghana, 28 Desember 1957–7
Januari 1958), Minutes of the Assembly (London dan New York: IMC, 1958), 89
37
Ken Gnanakan, Kingdom Concern: A Biblical Exploration Toward a Theology
of Mission (Banglore: Theological Book Trust, 1997), 23
38
Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 129
penyembahan berhala. Kemuliaan Allah diajarkan oleh Alkitab berkali-kali
sebagai tujuan yang tertinggi.39 Kemuliaan Allah merupakan motif misi,
baik dalam rangka membangkitkan semangat misi maupun dalam rangka
memurnikan semua motif dari pemahaman dan praktek misi dari semua
yang bersifat manipulasi yang tidak memahami toleransi.
39
J.H. Bavinck, An Introduction to the Science of Mission (Phillipsburg, New
Jersey: Presbyterian and Reformd Publishing Co, 1960), 155-156
40
Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 130
41
Joh Stott, Making Christ Known: Historic Mission Document from the
Lausanne Movement 1974-1989 (London: Paternoster Press, 1988), 29
Misi haruslah didasarkan pada misi inkarnasi Yesus Kristus, yaitu
ketika Ia menjadi manusia, Ia datang melintasi dan tinggal dalam
kebudayaan manusia. Inkarnasi Kristus merupakan suatu model bagi misi
Gereja. Allah Bapa mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan sekarang
Yesus mengutus Gereja-Nya ke dalam dunia, dengan model pengutusan
Allah Bapa atas-Nya. Berkaitan dengan hal itu, Stott menjelaskan bahwa
“memang semua misi yang otentik adalah misi inkarnatif. Itu artinya masuk
kedunia orang yang lain, yang berbeda, seperti Ia masuk ke dalam dunia
kita. Misi yang demikian merupakan misi kontekstual yang menuntut
identifikasi diri tanpa kehilangan identitas. Itu berarti masuk ke dalam
dunia manusia, seperti Ia masuk ke dalam dunia kita, walaupun tanpa
mengkompromikan keyakinan, nilai-nilai, dan standar kehidupan
Kristen.”42 Oleh karena itu, Gereja harus kembali kepada Alkitab sebagai
dasar dan sumber serta motif misi Gereja. Teologi misi apapun yang
dihasilkan pada masa kini, harus mencari dan menemukan misi Allah dari
kesaksian Alkitab. Misi di luar data dan pemahaman Alkitab adalah
missing.43
Dengan demikian ada dua motif utama dalam pergerakan misi dan
penginjilan Gereja, yaitu: Pertama adalah motif primer dan fundamental.
Tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah. Hukum kehidupan dalam
Alkitab adalah: “Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor
10:31). Manusia memuliakan Allah dengan menaati Firman-Nya dan
memenuhi kehendak-Nya yang diwahyukan. Begitu juga perintah pertama
dan terutama adalah “kasihilah Tuhan, Allahmu.” Kita menunjukkan kasih
kepada Bapa dan Anak yang telah begitu mengasihi kita dengan cara
menaati perintah-Nya. Motif kedua yang seharusnya mendorong
penginjilan kita adalah kasih kepada sesama manusia dan kerinduan untuk
melihat mereka diselamatkan. Hasrat untuk memenangkan yang terhilang
bagi Kristus seharusnya merupakan ekspresi alamiah dan spontan dari kasih
yang mengalir dalam setiap hati orang yang telah lahir baru.44
42
John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: Inter-Varsity, 1992), 358
43
Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 129
44
Packer, Evangelism and the Soverignty..., 58-59
beberapa kalangan masyarakat. Pengkristenan selalu dihubungkan dengan
imperialisme Barat pada masa lampau, yang sering memanipulsi pelbagai
cara untuk membuat orang menjadi Kristen tanpa mengalami atau memiliki
unsur pertobatan. Sedangkan penginjilan merupakan pemberitaan Injil,
Kabar Baik kepada semua orang. Persoalan antara pengkristenan dan
penginjilan adalah persoalan yang berkaitan dengan metode. Karena itu,
tanpa merusak semangat toleransi, pastinya penginjilan dalam pendekatan-
pendekatan manusiawi dan tanpa memanipulasi segala cara untuk
mendapatkan hasil. Penginjilan seperti itu, tentu bukan lagi penginjilan
yang dimaksud oleh Alkitab. Karena penginjilan manipulatif, yang
bermuatan paksaan, hipnotis, rayuan dan sebagainya, sesungguhnya
bertentangan dengan hakekat Injil yang berkuasa dari Injil itu sendiri.
Sehingga tidak perlu cara-cara yang tidak sehat, yang disadari atau tidak
merendahkan kuasa Injil. Dan orang yang mengalami kuasa Injil, tentu
tidak mungkin berdiam diri, kecuali mereka adalah kaum pluralis, yang
memang tidak mengakui dan percaya kepada Injil lagi. 45
Dialog berarti komunikasi dua arah. Secara teologis dialog dapat
dipahami berdasarkan Missio Dei, Allah mengutus Yesus Kristus untuk
berkomunikasi dengan manusia (dialog). Inkarnasi Yesus Kristus
membuktikan bahwa Allah berkomunikasi dengan dunia (manusia), namun
bukan ini tujuan akhirnya, melainkan menyelamatkan manusia di dalam
dan melalui karya Kristus. Dengan demikian fokus dari dialog antar umat
beragama adalah memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui Injil
yang membaharui. Kerjasama akan membangun masyarakat yang
berbudaya akan terfokus kepada praktik-praktik dari ajaran agama masing-
masing, dan praktik ini bertemu di dalam kehidupan masyarakat secara
langsung. Hasilnya adalah, bahwa dialog yang berdasarkan membawa
sesuatu yang bisa dinikmati oleh masyarakat dan membalut luka-luka lama
yang masih ada.
PENUTUP: KESIMPULAN
45
Henry Effrerin, “Konsultasi Teologi,” Pelita Zaman, Vol 16 no.1, 2001, 90
agama dengan memberikan wawasan Alkitabiah toleransi agama serta
memberi wawasan kebangsaan yang berjiwa Pancasila pada jemaat. Di
samping itu kita juga harus mengagendakan upaya dialog antar umat
beragama.
Kemajemukan agama merupakan fakta keragaman bangsa Indonesia
yang harus diterima dan disyukuri sebagai bagian dari kehendak Tuhan
sendiri. Pluralitas tidak perlu diperdebatkan dan dieksploitasi sebagai
sarana menggugat kelompok-kelompok tertentu atau bahkan disingkirkan
demi supremasi dan kepentingan politik dan agama tertentu. Sebagai
pengikut Kristus kita harus proaktif dalam mengupayakan terjadinya
toleransi beragama di negeri ini. Upaya dan kerja keras sangat dibutuhkan
mengingat ancaman disintegrasi bangsa. Pluralitas agama disatu pihak
merupakan kekayaan dan keunikan bangsa Indonesia yang tidak dapat
dipungkiri. Hal ini harus disikapi dengan bijak, agar masyarakat Indonesia
dapat hidup dengan damai di negeri yang tercinta ini. Hendaknya toleransi
tidak sekedar menjadi suatu wacana saja tetapi harus teraplikasi dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak dapat dipungkiri bahwa misi Kristen merupakan bukti
keberadaan Kekristenan di dunia pada umumnya serta di Indonesia ini.
Penginjilan yang memberi tempat pada kejujuran dan tanpa melukai atau
merendahkan agama lain. Kemajemukan masyarakat di tengah-tengah
pluralitas agama dan kebudayaan adalah perilaku yang harus di responi
dengan sikap toleransi. Semua agama memiliki kedudukan yang sama di
bumi pertiwi ini sesuai dengan dasar Negara Pancasila. Misi Kristen
merupakan satu wujud keunikan iman Kristiani tanpa melupakan fakta
adanya penganut agama lain, serta tanpa kehilangan identitas misi Kristen
yang bersifat Misio Dei, yang turut memberi sumbangsih bagi
kesejahteraan bangsa. Maka tidaklah dapat diragukan lagi misi Kristen
merupakan hal yang sangat penting bagi kekristenan di masa mendatang.
PERAN MANUSIA ALLAH
MENURUT I TIMOTIUS 6:11-21
PENDAHULUAN
1
Mark Labberton, Bahaya Ibadah Sejati (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa
Timur, 2011), 19, 24
2
Ibid., 24
ANALISIS LATARBELAKANG SURAT I TIMOTIUS
3
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006), 1
4
Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII,
1999), 222
5
Henry H. Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian Baru (Surabaya: Yakin, 1965),
253
6
Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII,
1999), 222
7
Henry H. Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian Baru (Surabaya: Yakin, 1965),
253
Pribadi Timotius
Timotius berasal dari Listra (Kis 16:1). Ibunya seorang Yahudi,
ayahnya Yunani. Neneknya bernama Louis dan ibunya Eunike (2Tim 1:5). 8
Ia dididik dalam adat istiadat Yahudi dan diajari Kitab Suci sejak kanak-
kanak.9 Bertobat karena pekabaran Injil yang disampaikan Paulus, 10
nampak dalam istilah yang digunakan, “anakku yang sah di dalam iman”
(1Tim 1:2). Itu berarti Paulus-lah yang pernah melayani Timotius sehingga
bertobat. Mungkin itu terjadi pada waktu Paulus melayani di tempat
Timotius, yaitu di kota Listra, pada perjalanan misi yang pertama (Kis
14:6).11 Paulus menjadikan Timotius sebagai muridnya dalam
perjalanannya yang kedua (Kis 16:1-3) dan sejak itu Timotius selalu
menyertainya ke manapun dia pergi,12 sekitar tahun 51 (Kis 16:3). Selain
itu,
Berkenan di depan Allah (1Tim 1:18). Dipilih oleh para tua-tua dan
Paulus (1Tim 4:14; 2Tim 1:6). Menyertai Paulus ke Troas, Filipi,
Tesalonika dan Berea. Tinggal di Berea hingga dipanggil Paulus
datang kepadanya di Atena (Kis 17:14-15). Lalu diutus lagi ke
Tesalonika (1Tes 3:1-2). Sementara ia kembali, Paulus telah pergi ke
Korintus (Kis 18:5; 1Tes 3:6). Membantu Paulus dengan menulis
surat-surat Tesalonika (1Tes 1:1; 2Tes 1:1). Kemudian ia diutus
Paulus dari Efesus ke Korintus (1Kor 4:17). Paulus berjumpa dengan
dia di Makedonia dan kemudian ia membantu Paulus di dalam
menulis surat 2Korintus (Kis 19:22; 2Kor 1:1). Mengikuti sebagian
perjalanan Paulus ke Yerusalem (Kis 20:4). Kita tidak mengetahui
apakah ia menyertai Paulus sepanjang perjalanan ke Yerusalem dan
Roma, tetapi ia muncul di Roma dengan Paulus (Flp 1:1; 2:19-22;
Kol 1:1; Flm 1). Kemudian hari ia tinggal di Efesus dan surat ini
dikirimkan ke kota itu. Ia diminta datang ke Roma (2Tim 4:9). Tidak
diketahui apakah ia berhasil tiba di Roma sebelum matinya Paulus.
Ibrani 13:23 dikatakan bahwa ia pernah dibebaskan dari penjara. 13
Timotius adalah orang yang dapat dipercaya namun kurang
bersemangat. Ia terkesan sebagai seorang yang belum dewasa meskipun ia
pasti telah berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun ketika Paulus
menugaskan dia untuk memimpin Gereja di Efesus (1Tim 4:12), seorang
8
Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian..., 253
9
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2001), 414
10
Halley, Ibid.
11
Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Dep. Lit. YPPII, 1999), 223
12
Halley, Ibid.
13
Ibid.
penakut (2Tim 1:6,7) dan sering terganggu pencernaannya (1Tim 5:23).
Surat yang memakai namanya ini dimaksudkan untuk membesarkan hati
dan meneguhkan hati mereka untuk menerima tugas berat yang
dilimpahkan Paulus kepadanya.14
14
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2001), 415
15
Tulluan, Introduksi Perjanjian..., 224
16
Ibid.
satu kalimat, tetapi lebih sering digunakan untuk menyatakan adanya suatu
peralihan atau perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang lain, apakah
itu bersifat melawan atau menentang kalimat yang mendahuluinya, atau
bisa juga bersifat menjelaskan lebih lanjut.17 Kata ini memiliki relasi
(hubungan) yang erat dengan kalimat “jauhilah semuanya itu.” Kata kerja
jauhilah dalam bahasa Yunani menggunakan kata pheugo (Verb 2 Singular
Present Active Imperative) yang dapat diartikan to flee, to run or move
hastily from danger because of fear, to escape danger or punishment, run
away from.18
Bentuk present imperative merupakan suatu perintah untuk
melakukan sesuatu secara terus-menerus.19 Sehingga present active
imperative dapat dijelaskan bahwa pada saat seseorang diberikan perintah
untuk melakukan suatu kegiatan, maka orang yang menerima perintah
tersebut tidak boleh tinggal diam (pasif) melainkan harus segera melakukan
apa yang diperintahkan secara terus-menerus (tanpa batasan waktu). Penulis
lebih tertarik menggunakan kata larilah (NIV: flee – melarikan diri,
mengambil langkah seribu) daripada kata jauhilah (TB) karena kata larilah
merupakan cara tercepat bagi seseorang untuk menghindari diri dari
bahaya.
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang diberi perintah
tersebut? Dalam ayat ini dituliskan “hai, engkau manusia Allah.” Siapa
manusia Allah itu? Sebagaimana surat ini ditujukan oleh Rasul Paulus
kepada Timotius, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa yang dimaksud
dengan manusia Allah dalam teks ini yaitu pribadi Timotius (pronoun
personal, second person), anak rohani Paulus yang sah dalam iman dan
yang juga adalah pemimpin jemaat di Efesus.
Frasa “hai manusia Allah” merupakan seruan (manusia – anthrope
– Noun Masculine Singular Vocative) yang tentunya tidak bisa dilepaskan
dari peristiwa pertobatan Timotius. Melalui kalimat “manusia Allah”,
Paulus hendak menyatakan bahwa sejak Timotius bertobat dan dipanggil
menjadi hamba Tuhan, dia adalah milik Allah (Theo – noum masculine
singular genitive). Oleh karena itu, seluruh hidup dan pelayanan Timotius
harus mengungkapkan atau menyatakan kepemilikan Allah atas dirinya.
Manusia Allah merupakan gelar yang paling terhormat. 20 Perdue
berpendapat bahwa, this was a technical term in the Old Testament for
17
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 399
18
Ibid.
19
J.W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, 1977), 56
20
E.M. Blaiklock, Surat-surat Penggembalaan (Malang: Gandum Mas, 1981), 60
prophet who acted in the name of God. The title was given to remind him
that he had been entrusted with a divine message 21 (Ul 33:1; 1Sam 9:6;
1Raj 12:22; 13:122 - Musa, Samuel, Daud, Elia, Elisa dan yang lainnya). 23
Gelar manusia Allah ini diberikan kepada Timotius untuk membedakan
dirinya dengan pengajar-pengajar palsu yang adalah manusia duniawi. 24
Kehormatan gelar manusia Allah ini terletak pada kepemilikan Allah dalam
hidup Timotius sekaligus mengingatkan bahwa Timotius adalah pelayan
Allah bukan pelayan manusia, dipanggil Allah bukan dipanggil manusia.
Sebagai wujud nyata kepemilikan Allah atas dirinya, maka ada beberapa
beberapa tindakan yang harus dilakukan Timotius yang mana tindakan
tersebut nampak dalam beberapa kata kerja yang digunakan yaitu:
Keadilan
Dalam Yunani klasik, istilah dikaiosune (NIV: righteousness)
berasal dari kata dike (hukuman). Dike adalah anak perempuan Dewa Zeus
yang menyatakan atau membagikan pemerintahannya atas dunia. Zeus
membuat perbedaan antara hukum binatang buas dengan manusia. Hukum
binatang buas yaitu saling melahap atau menelan satu dengan yang lain.
Tetapi bagi manusia yaitu supaya manusia membuat kehidupan menjadi
mungkin (diperlakukan dengan tepat).27 Bagi Plato, dikaiosune adalah dasar
struktur pemerintahan dan jiwa manusia. Adalah benar untuk menerima
26
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2.
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 805-806
27
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2.
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 353
keberadaan tingkat sosial yang berbeda-beda dan memberikan kepada
seseorang sebagaimana yang pantas atau layak dia terima.28 Jadi, keadilan
ini perlu dicermati dalam kerangka kehidupan sosial.
Di dalam PB, kata keadilan berbicara dengan kebenaran Tuhan dan
keadilan Tuhan bagi manusia berdosa. Keadilan dan kebenaran Allah
secara esensial berkenaan dengan covenant (perjanjian) antara Allah dan
umat-Nya yang telah dijadikan manusia baru. Baru yang dimaksud adalah
Israel Baru di mana tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan
Yunani. Dengan demikian, batas pemisah harus dihapuskan.29
Kent berpendapat bahwa dikaiosune lebih mengarah kepada
keadilan secara praktis (practical righteousness) dan orang-orang percaya
harus menyatakannya,30 juga mengacu kepada tindakan moral sebagai
integritas orang percaya.31
Mencermati penjelasan di atas, Paulus hendak mengatakan bahwa
sebagai pemimpin jemaat di Efesus, Timotius tidak boleh membeda-
bedakan status, apakah suku bangsa atau pun status sosial. Semuanya harus
diperlakukan secara tepat. Paulus sangat menyadari bahwa batas-batas
pemisah dapat menjadi pemicu perpecahan dalam jemaat sebagai anggota
tubuh Kristus. Perbedaan yang ada di dalam jemaat harus dilebur dalam
kesatuan tubuh Kristus. Covenant (perjanjian) antara Allah dengan umat-
Nya menembus lapisan masyarakat. Tuhan tidak membeda-bedakan umat-
Nya; semuanya masuk di dalam kategori umat perjanjian. Inilah moral
Kristus dan harus juga menjadi moral Timotius.
Ibadah
Dalam Alkitab NIV, kata godliness diterjemahkan kesalehan (TB:
ibadah). Istilah Yunaninya eusebeian yang diterjemahkan devotion, piety
toward God (Acts 3:12; 1 Tim. 2:2; 2 Ptr 1:6-7). Godliness or the whole of
true religion, so named because piety toward God is the foundation and
principal part of it.32 Akar kata seb memiliki pengertian to step back from
28
Ibid.
29
Brown, The New International Dictionary..., 363
30
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 199
31
John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 72
32
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 685-683
someone or something to maintain a distance.33 Ketika eusebeia
diaplikasikan dalam kehidupan Kristen, ini menunjukkan suatu kehidupan
yang menerima Yesus yang ditampilkan dalam sikap atau gaya hidup. 1
Timotius 6:5 melaporkan bahwa ibadah yang bersifat menipu dilakukan
juga oleh guru-guru palsu untuk mendapatkan keuntungan. Surat 1Timotius
6:3 juga melaporkan bahwa pengajar-pengajar sesat tidak memimpin
kepada hidup kudus. Kekudusan hidup merupakan indikator bagi
pengajaran.34 Kent berpendapat bahwa ibadah sangat dekat hubungannya
dengan keadilan. Ibadah selalu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
yang penuh dengan kasih.35
Ibadah itu sebenarnya sama artinya dengan devosi kepada Allah.
Hal ini dikarenakan bahwa ibadah itu dilakukan atas dasar kasih kepada
Allah. Ini merupakan hal prinsip, namun kasih kepada Allah tidak hanya
dilakukan sebatas ajaran-ajaran murni yang keluar dari mulut tetapi juga
kemurnia ajaran tersebut haruslah diimplementasikan dalam kehidupan
sebagai orang Kristen/percaya. Ibadah itu adalah satunya kata dan
perbuatan. Pada waktu Paulus mengatakan kepada Timotius kejarlah
ibadah, maka ini merupakan tantangan kepada Timotius yang perlu
ditanggapi secara serius bahwa ibadah itu berkenaan dengan kekudusan
hidup. Timotius harus memberitakan pengajaran yang benar sebagai wujud
nyata relasinya dengan Tuhan, namun di sisi yang lain Timotius harus
mampu menerapkannya dalam praktis kehidupan sehari-hari, seperti:
menghormati para janda yang benar-benar janda (1Tim 5:3), menghormati
para tua-tua (1Tim 5:17), tidak mencari soal dan bersilat lidah, dengki,
cidera, fitnah, curiga dan percekcokan (1Tim 6: 4-5) dan mencukupkan diri
dengan apa yang ada (1Tim 6:8).
Kesetiaan
Poin yang ketiga yang harus dikejar oleh Timotius yaitu iman (NIV:
faith). Dalam teks Yunaninya menggunakan istilah pistin yang berasal dari
kata pistos yang diterjemahkan kepercayaan, iman, kesetiaan, agama, ajaran
yang diimani, janji dan bukti.36 Iman adalah sikap di mana seseorang
melepaskan andalan pada segala usahanya sendiri untuk mendapat
33
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 91
34
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 683
35
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and
Titus, (Chicago: Moody Press, 1958), 199
36
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 641
keselamatan, apakah itu kebajikan, kebaikan susila atau apa saja, kemudian
mengandalkan Kristus sepenuhnya. Iman mengimplikasikan pengakuan kita
bahwa kita adalah orang berdosa dan dengan demikian tidak dapat
menyelamatkan diri sendiri dari yang jahat dan melakukan yang baik. 37
Walaupun kesetiaan dan iman adalah dua kata yang berbeda, namun
kedua kata ini saling bertalian satu dengan yang lain karena pada
hakikatnya iman memerlukan kesetiaan. Iman tanpa kesetiaan adalah
spekulasi (dusta) sedangkan kesetiaan tanpa iman adalah salah arah.
Timotius dituntut untuk senantiasa bersandar kepada Tuhan. Motivasinya
dalam melayani haruslah menyenangkan hati Tuhan. Tidak boleh ikut-
ikutan dengan pengajar-pengajar palsu yang hanya bersandar pada manusia
dan motivasi pelayanannya pun menyenangkan perut mereka (hanya
berorientasi pada uang).
Kasih
Blue perpendapat bahwa berkenaan dengan sumbernya, kasih itu
berasal dari hubungan pribadi dengan Yesus Kristus (1Tim 1:14; 2Tim
1:13), yang diberikan oleh Roh Kudus (bnd. 2Tim 1:7). Natur kasih yaitu
orang-orang Kristen tidak boleh hidup untuk dirinya sendiri tetapi bagi
orang lain juga, karena fokus kasih tersebut adalah Gereja yang adalah
komunitas orang-orang percaya.38 Brown melanjutkan, bahwa kata ini
sangat dekat dengan iman, keadilan dan anugerah, yang mana semuanya
merupakan poin utama dalam pribadi Allah. Kasih agape itu selalu
berhubungan dengan dua hal yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada
manusia. Kasih berdiri tegak melampaui otoritas dan kekuasaan yang
dimiliki manusia. Melalui kasih ini, kemuliaan Allah secara terus-menerus
dinyatakan.39 Kasih merupakan motivasi seseorang pada saat seluruh
kegiatan di lakukan di dalam iman, lebih tepatnya lagi kasih menyebabkan
iman bekerja.40 Pernyataan tersebut didasarkan karena adanya hubungan
erat antara iman dan kasih. Kepercayaan kepada Tuhan harus direfleksikan
dalam kasih kepada sesama. Oswald berpendapat bahwa, pure love does
seek its own good but the good of others. Therefore lust and love are
37
L. Morris, Dictionary of Paul and His Letters (Leicester: InterVarsity Press,
1993), 285
38
B.B. Blue, Dictionary of Paul and His Letters (Leicester: InterVarsity Press,
1993), 576-577
39
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 545-546
40
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87
different. The love which has to do with lust seeks its own advantages in all
things. Christian love seeks the advantages of others in itself. That which
the father has he shares in turn with his children.41
Paulus sangat berharap supaya Timotius selalu menjalankan
pelayanan yang dipercayakan tuhan kepadanya dalam kasih sebagaimana
Tuhan adalah kasih adanya. Kesanggupan Timotius dalam melayani jemaat
Efesus bergantung pada sejauhmana kasihnya kepada Tuhan. Ada indikasi
bahwa segala persoalan yang terjadi di dalam jemaat kendatipun berat,
jangan pernah berpikir untuk melarikan diri dari pelayanan (ini yang
disebut mencari keuntunga diri sendiri). Timotius harus mengabdikan
dirinya kepada jemaat yang dilayani sebagai implementasi pengabdiannya
kepada Tuhan. Melarikan diri dari pelayanan sama halnya dengan
menyangkal otoritas Tuhan sebagai pemilik hidup dan pemberi kesempatan
untuk melayani. Hamba Tuhan yang melarikan diri dari pelayanan adalah
hamba Tuhan yang jahat.
41
Hilton C. Oswald (ed.), Luther’s Works. Volume 28 (Missouri: Concordia
Publishing House, 1973), 372-373
42
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 200
43
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 782
44
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1425
45
John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 72.
Istilah prautes dapat dijelaskan bahwa marah pada saat yang tepat,
ukuran yang tepat dan alasan yang tepat. Kelembutan adalah suatu kondisi
di mana hati dan pikiran mendemonstrasikan kehalusan, bukan dalam
kelemahan tetapi dalam kekuatan. Ini merupakan kekuatan karakter yang
seimbang.46 Nicholson menambahkan sebagai berikut:
Patience and meekness express the principles that are required in
one who is to successfully resist the antagonism of the world. The
provocations will be great but God’s gracious provision is the
believer’s sufficiency (cf. II Cor. 12:9-10). Lea menambahkan, he
needed gentleness in order to deal effectively with cantankerous
heretics and wavering beleievers.47
Paulus menyadari bahwa tugas dan tanggungjawab Timotius
bukanlah mudah, Timotius harus bersabar, bertahan, tidak mudah putus asa
atau mengalah pada keadaan. Dalam menghadapi situasi pelayanan, sangat
dibutuhkan ketenangan berpikir atau pikiran yang sehat dengan tujuan
supaya Timotius tidak gegabah dalam bertindak (salah dalam melangkah).
Walaupun dalam usia yang muda, Timotius diharapkan dapat
mengendalikan emosinya. Tidak gampang untuk marah. Emosi yang
meledak-ledak menandakan ketidakstabilan karakter. Kematangan hati dan
pikiran diperlukan untuk menghasilkan tindakan yang tepat.
46
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1210
47
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2
Timothy Titus (Nashville; Broadman Press, 1992), 172
48
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 17
yang telah menjadi Kristen.75 Kata ini digunakan dalam present tense untuk
menunjukkan perjuangan atau usaha yang terus-menerus (berkelanjutan).76
Pertandingan iman disebut sebagai pertandingan yang benar (baik) karena
ada pertandingan/perjuangan yang tidak baik, misalnya memperjuangkan
laba keji seperti yang dilakukan oleh guru-guru palsu/sesat (1Tim 6:5). 77
Kehidupan Kristen sesungguhnya adalah pertandingan iman yang mana
sangat dibutuhkan kegigihan.
Kemudian Paulus melanjutkan dengan mengatakan, rebutlah
kehidupan kekal. Secara literal, kata rebutlah (NIV: take hold) yaitu grab
the nose. Dalam tense aorist mengindikasikan suatu tindakan yang
meyakinkan/tegas.78 Ola Tulluan berpendapat bahwa penggunaan aorist
menekankan suatu perbuatan yang satu kali selesai dilakukan pada masa
lampau.79 Mencermati kasus dari kedua kata kerja di atas, maka hidup kekal
sebenarnya telah diperoleh oleh Timotius satu kali pada masa lampau,
namun kegiatan bertanding setelah memperoleh hidup kekal tersebut harus
dilakukan terus-menerus selama hidup.
Dalam 1Timotius 1:16 dituliskan bahwa kehidupan kekal adalah
hasil dari percaya kepada Kristus. Dalam pasal 6:12 diajarkan bahwa
kehidupan kekal harus dipegang teguh. Hidup kekal juga merupakan
sesuatu yang diperoleh pada akhirnya. Yang menjadi penekanan di sini
yaitu antara “sudah dan belum”, namun seringkali ditemukan dalam
Perjanjian Baru dalam bentuk present (sekarang). Maksudnya adalah bahwa
sejak seseorang menjadi percaya, dia sudah memiliki hidup yang kekal,
namun penyempurnaan terakhir adalah pada masa yang akan datang yaitu
kedatangan Kristus kedua kali. Paulus juga mengatakan bahwa Timtius
dipanggil kepada hidup yang kekal (1Kor. 1:9; 7:17-24; 2Tes. 2:14). Allah
bertindak terlebih dahulu tetapi juga dibutuhkan respon manusia. 80 Hidup
kekal yang dimiliki sekarang diperoleh melalui kematian yang penuh (mati
dari dosa).81 Hidup kekal tersebut nampak dalam gelar yang diserukan oleh
75
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 200-20
76
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88.
77
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 63-64
78
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88
79
Ola Tulluan, Bahasa Yunani. I (Batu: Dept. Literatur YPPII, 1992), 40
80
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
184-185
81
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88
Paulus kepada Timotius yaitu manusia Allah. Bagi seorang yang sudah
memiliki hidup kekal, harta benda dunia tidaklah terlihat begitu penting. 82
Stott berpendapat bahwa dalam pertandingan iman diperlukan
kesensitifan roh. Kebenaran adalah yang terutama, berharga dan sakral
karena berasal dari Allah. Hidup yang kekal juga bukan hanya berkenaan
dengan durasi waktu tetapi juga kualitas. Bertanding dalam kebenaran tidak
boleh mengabaikan kekudusan. Demikian juga sebaliknya, kekudusan tidak
boleh lepas dari kebenaran.83
Dalam ayat 12b dituliskan bahwa dalam pertandingan iman,
Timotius memiliki banyak saksi. Istilah martus (TB: saksi) mengandung
arti one who has information or knowledge of something, and hence one
who can give information, bring to light or confirm something (Matt.
18:16; 26:65; Mark 14:63; Luke 24:48; Acts 1:22; 5:32; 7:58; 2 Cor. 13:1;
1 Tim. 5:19; Heb. 10:28). Also martus is used as a designation of those
who have suffered death in consequence of confessing Christ (Rev. 17:6).84
Saksi yang pertama adalah Allah sendiri. Hal ini dikarenakan Dialah yang
memberikan hidup dan hidup kekal (hidup baru; Rm 6:4; Ef 2:5) dan juga
menopang Timotius dalam menggenapi rencana-Nya. Allah sendiri yang
menyaksikan kehidupan kekristenan Timotius. Allah juga yang
memberikan semangat kepada Timotius untuk berjalan harmonis sesuai
dengan pengakuannya.85 Oleh karena itu, Timotius tidak perlu bimbang.
Di hadapan Kristus Yesus yang telah mengikrarkan ikrar yang benar
di muka Pontius Pilatus menyatakan akan keberanian Yesus untuk
menyaksikan tentang kebenaran yang sejati dan tidak takut terhadap
konsekuensi-konsekuensinya (Yoh 18:37) bahkan berani menghadapi
kematian.86 Jabatan Pontius Pilatus sebagai petinggi Romawi tidak
mematahkan semangat Yesus dalam bersaksi bahwa Dialah Sang
Juruselamat manusia. Pengalaman Yesus dalam pelayanannya semasa di
dunia dipakai sebagai teladan untuk menguatkan tekad Timotius untuk
bersaksi tentang kebenaran iman di tengah-tengah perlawanan-perlawanan.
Yesus tidak pernah takut untuk memberitakan kebenaran bahwa diri-Nya
82
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 201
83
John R.W. Stott, The Message of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 156
84
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 947
85
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and
Titus, (Chicago: Moody Press, 1958), 201-202
86
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 64
adalah Sang Mesias/Juruselamat. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan
Yesus dalam Matius 10:28 yaitu, “janganlah kamu takut kepada mereka
yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa;
takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa
maupun tubuh di dalam neraka. Paulus juga berkata di dalam 2Timotius
1:7-8, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan… Jadi,
janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku,
seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya
oleh kekuatan Allah. Ada indikasi bahwa identitas Timotius sebagai
manusia Allah bergantung kepada kesaksian dan keberaniannya.
Kata “turutilah” dalam bahasa Yunani yaitu teresai dari kata dasar
tereo yang artinya pay attention to, obey, comply with (teaching, custom,
legal demands)87, keep, fulfill a duty.88 Perintah yang dimaksud adalah
doktrin kristiani dan kewajiban-kewajiban (2Ptr 2:21; 3:2). 89 Trebilco
melanjutkan bahwa perintah dalam ayat ini berkenaan dengan instruksi
yang diberikan Paulus dalam keseluruhan suratnya. Ini yang menjadi tujuan
mendasar dari surat ini.90 Kata turutilah nampaknya berpadanan dengan
lakukanlah. Tidak cukup hanya mendengar tetapi harus dikonkritkan
dengan melakukan. Brown berpendapat bahwa pada saat melakukan, yang
diharapkan adalah melakukannya tanpa cacat dan cela atau dengan kata
lain, murni dalam hal moral (Ef 5:27; Yak 1:27; 2Ptr 3:14). 91
Dalam melakukan perintah tersebut maka yang ditekankan adalah
ketekunan yang jelas termuat dalam kalimat lanjutan yaitu “sampai Tuhan
kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Manifestasi memang berkenaan
dengan kedatangan pertama dan kedua Yesus Kristus dalam surat
penggembalaan (2Tim 4:1,8; Tit 2:13; bnd. 2Tes 2:8). Namun yang
dimaksud dalam hal ini yaitu berkenaan dengan kedatangan Yesus yang
kedua kali. Mengenai waktu kedatangan-Nya tidak diketahui secara pasti
87
Colin Brown, The New Intenational Dictionary of New Testament. Vol. 2
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 132
88
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1380
89
Ibid., 594
90
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
186
91
David Brown, A Commentary on the Old and New Testament Volume Three
(Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1978), 499
(tidak dapat dihitung dengan akal manusia) karena itu adalah kedaulatan
(hak prerogatif) Allah. Dukungan terhadap kalimat tersebut nampak dalam
kalimat selanjutnya yang mengatakan bahwa kedatangan Kristus yang
kedua adalah saat yang ditentukan oleh Penguasa satu-satunya (ay. 15).
Surat 1Timotius 2:6 dan Titus 1:3 menggunakan frase “waktu yang tepat.”
Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama adalah waktu Tuhan
sendiri, demikian juga dengan kedatangan yang kedua 92 atau parusia
dimana Tuhan datang sebagai Hakim atas dunia.93 Stott berpendapat bahwa
kedatangan Kristus ditentukan oleh Penguasa mengandung makna bahwa
Allah adalah Pribadi yang tidak terkalahkan, sumber berkat dan pengatur
raja-raja. Dalam PL, Nebukadnezar dari Babilonia dijuluki “raja segala raja,
tetapi Yahwehlah dikenal sebagai Tuhan di atas segala tuhan, Allah di atas
segala allah. Di dalam PB, Kristus diberikan gelar kombinasi yaitu Raja
segala raja dan Tuhan atas segala tuhan. Pengakuan ini diberikan sebagai
perlawanan terhadap pengkultusan terhadap kaisar dan juga pemujaan
terhadap Dewi Artemis. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah otoritas
Tuhan.94
Dalam ayat 16, Allah yang berdaulat dilaporkan sebagai Pribadi
yang tidak takluk kepada maut. Maut yang dimaksud adalah kematian.
Tidak ada satupun manusia yang dapat merubah waktu kehidupan. Manusia
pada akhirnya akan mati. Berbeda halnya dengan Yesus yang pernah mati
tetapi bangkit lagi pada hari ketiga. Calvin berpendapat bahwa
ketidaktaklukkan Allah kepada kematian menegaskan kepada manusia
bahwa hidup manusia hanyalah dipinjamkan oleh Allah. Selain itu,
dinyatakan bahwa hidup ini tidaklah berarti dibandingkan dengan hidup
yang akan datang bersama dengan Tuhan.95 Demikian juga dengan
Timotius. Timotius diingatkan bahwa dia pada akhirnya akan mati. Allah
tidak takluk pada maut karena Dia memiliki hidup dari diri-Nya sendiri dan
Dialah sumber hidup. Oleh karena itu, Timotius diharapakan tidak menyia-
nyiakan hidup yang Tuhan berikan.
Allah yang berdaulat itu bersemayam dalam terang yang tidak
terhampiri. Kalimat tersebut mengacu kepada tempat Allah tinggal yang
92
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
187
93
John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 73
94
John R. W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 159
95
John Calvin, Commentaries on the Epistles of Paul to the Galatians and
Ephesians (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979), 167
digambarkan sebagai yang mulia. Kekudusan tempat tersebut tidak dapat
dipisahkan dari kekudusan Pribadi Allah sendiri. Orang yang masuk ke
dalamnya adalah orang yang sudah dikuduskan oleh Allah dan terus-
menerus hidup dalam kekudusan. Tempat tinggal Allah yang kudus tidak
mungkin didiami oleh manusia yang masih hidup dalam dosa (kegelapan).
Itulah sebabnya, kesadaran Timotius sebagai pribadi yang sudah
dikuduskan oleh Allah dan terus-menerus hidup dalam kekudusan adalah
mutlak. Sebagai pemimpin jemaat, Timotius juga penting untuk mendorong
jemaat Efesus sebagai pribadi-pribadi yang sudah dikuduskan untuk terus-
menerus hidup di dalam kekudusan sehingga layak untuk diam di kediaman
Allah yang Mahakudus. Dikuduskan dan hidup terus-menerus dalam
kekudusan merupakan satu paket kehidupan orang sudah diselamatkan.
Mengacu kepada kedaulatan Allah yang tidak dimiliki oleh manusia
manapun di dunia ini, Paulus berkata, bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang
kekal. Amin. Trebilco berpendapat bahwa selain keunikan Allah yang
nampak di dalam kedaulatan-Nya, doksologi juga disampaikan karena
kerelaan Allah mau menjalin komunikasi dengan manusia.96
96
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
188
97
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1100
Inti atau tujuan dari peringatan tersebut yaitu jangan tinggi hati dan
jangan berharap kepada kekayaan. Istilah hupselophronein (tinggi hati)
mengandung arti terlalu bangga. 98 Nampaknya orang-orang kaya di Efesus
memiliki mental atau watak yang membanggkan kekayaannya. Ini nampak
dalam kasus Verb Present Active Infinitive yang digunakan yang berarti
terus-menerus tinggi hati. Kemudian dilanjutkan dengan kata “berharap”
menggunakan istilah helpikemai yang artinya berharap.99 Walaupun kedua
kata tersebut berbeda, namun spirit yang terkandung di dalamnya bahwa
kekayaan yang mereka miliki telah berurat akar (memiliki pengaruh yang
kuat) dalam hidup mereka sehingga kekayaan itu menjadi suatu andalan
atau hati dan pikiran pemiliknya telah melekat pada harta kekayaannya
(dikuasai oleh hartanya – terikat kepada mamon). Pfeiffer berpendapat
bahwa orang-orang kaya ini telah jatuh ke dalam dosa kesombongan. 100
Yang menjadi penekanan mengapa tidak boleh tinggi hati dan
berharap pada kekayaan karena merupakan sesuatu yang tidak tentu.
Kalimat tidak tentu ini mengandung arti tidak tetap/tidak kekal/ bersifat
sementara. Ini senada dengan apa yang tertulis dalam Matius 6:20 bahwa
harta kekayaan adalah benda yang dapat dirusak oleh ngengat dan karat
bahkan dapat dicuri orang lain. Fee menuliskan bahwa meletakkan
pengharapan dalam kekayaan yang tidak tentu adalah dicela oleh para nabi
(Yer 9:23) dan melihat kekayaan sebagai sesuatu yang melebihi yang lain
dapat menutup pintu kerajaan sorga sebagaimana yang dikatakan Tuhan
Yesus (Mrk 10:17-27; Luk 12:15-21).101
Setelah memberikan teguran kepada orang-orang kaya yang
sombong, Timotius memberikan arahan mengenai apa yang harus
dilakukan dengan kekayaan yang dimiliki. Dalam ayat 18 dilaporkan bahwa
orang-orang kaya tersebut haruslah berbuat baik yang diwujudnyatakan
dalam suka memberi dan membagi. Berbuat baik merupakan suatu tindakan
yang menguntungkan/ menyenangkan sesama. Berbuat baik merupakan
hasil dari karakter yang baik. Kata ini juga berhubungan dengan kebebasan
mengasihi yang diharapkan dari orang-orang kaya.102
98
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1454
99
Ibid., 570
100
Charles F. Pfeiffer and Everet F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe (Malang:
Gandum Mas, 2001), 883
101
Gordon D. Fee, 1 and 2 Timothy, Titus (San Fransico: Harper & Row, 1984),
115
102
Gerhard Kittel and Gerhard Friederich (eds), Theological Dictionary of the
New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1985), 3
Suka membagi dan memberi merupakan dua kata yang sederajat.
Tindakan ini menunjukkan adanya ikatan persaudaraan dalam kehidupan
ke-Kristenan sebagai perwujudan iman seseorang kepada Kristus. Membagi
dan memberi juga merupakan ekspresi kehidupan yang bersosialisasi.
Orang-orang Kristen yang kaya memiliki tanggungjawab yang besar untuk
melakukan kebajikan. Adalah tepat apabila dikatakan bahwa orang yang
suka memberi dan membagi kekayaannya kepada orang lain yaitu orang
yang menggunakan kekayaannya dengan bijaksana. Lea menambahkan
bahwa Paulus menyarankan bahwa kekayaan yang sejati bergantung pada
apa yang kita beri, bukan apa yang kita miliki.103 Orang yang melakukan
kebajikan dapat disebut sebagai orang yang murah hati. Dalam Matius 5:7
dikatakan, “berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan
beroleh kemurahan.” Mazmur 23:6 berkata, “kebajikan dan kebenaran akan
mengikuti aku seumur hidupku.”
“Dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar
yang baik bagi dirinya diwaktu yang akan datang untuk mencapai hidup
yang sebenarnya” mengacu kepada ucapan Yesus dalam Matius 6:20 yaitu,
kumpulkanlah bagimu harta di surga. Harta yang dimaksud bukanlah harta
secara materi, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh Stott bahwa, he
used his influence in the present to secure his future, and Jesus commended
him for his prudence, thought not far his dishonesty.104 Tidak juga
dikatakan bahwa dengan perbuatan-perbuatan baik orang bisa memperoleh
hidup kekal. Manusia diselamatkan oleh karena kasih karunia Allah bukan
oleh perbuatan baik. Tetapi bagi Paulus iman bukan sekedar teoritis
melainkan suatu kebenaran yang dihayati dengan sikap hidup dan didukung
oleh perbuatan-perbuatannya.105 Paulus hendak mencegah orang-orang
Kristen yang kaya di Efesus supaya tidak terjerumus ke dalam dosa cinta
uang karena merupakan akar segala kejahatan dan potensi untuk
menyimpang dari iman sangat besar (1Tim 6:10). Orang yang sudah
diselamatkan harus nampak dalam perbuatan yang tidak berorientasi pada
harta kekayaan di dunia ini, melainkan harta surgawi yang berkualitas dan
tidak fana. Bukan berarti seseorang tidak boleh kaya, namun kekayaan yang
dimiliki tidak digunakan untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk
menyatakan kasih kepada sesama.
103
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2
Timothy Titus (Nashville; Broadman Press, 1992), 176
104
John R. W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 162
105
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 68
Peliharalah Apa yang Dipercayakan (ay. 20-21)
Beberapa abad yang lalu pengajar-pengajar sesat yang dikenal
dengan Gnostik masuk dan menyesatkan beberapa jemaat Kristen. Para
pengajar Gnostik mengatakan bahwa keselamatan diperolah dengan
menguasai “pengetahuan” bahwa jiwa terpisah dari dunia. Dengan
demikian, Paulus memberikan dua perintah terakhir kepada Timotius.
Pertama, memelihara/menjaga apa yang telah dipercayakan kepadanya.
Kata deposit (paratheke) is a banking term denoting a sum deposited to the
responsibility of a bank (cf. the same word in 2 Tim. 1:12, 14). This also
included keeping his life pure and faithfully proclaiming the truth. Kedua,
berbalilk dari perkataan omong kosong dan menghindari ajaran sesat
mengenai intelektual yang baru. Ajaran Gnostik tersebut adalah ajaran yang
tidak berguna (sia-sia). Paulus tidak ingin Timotius membuang waktunya
untuk memikirkan ajaran tersebut (diabaikan saja). Diskusi yang dilakukan
mereka adalah diskusi omong kosong mengenai dongeng-dongeng, silsilah
dan asketisme. Pengajaran yang disampaikan Paulus adalah pengajaran
yang sejati.106 Adapun wujud dari apa yang dipercayakan kepada Timotius
yaitu Injil dan pemberitaannya serta pembinaan kepada jemaat untuk
menghayati imannya kepada Yesus, baik dalam ajaran maupun dalam
kelakuan. Timotius merupakan generasi penerus Paulus untuk menjaga
kemurnian Injil. Ilmu teologi memang berkewajiban menerapkan Injil
secara secara baru untuk tiap zaman. Tetapi sekalipun cara
pengungkapannya untuk tiap zaman dapat berubah, inti kebenaran Injil
harus senantiasa dijaga kemurniannya. Ajaran gnostik adalah ajaran yang
tidak suci, sekalipun mereka menggunakan kata-kata yang suci, namun
isinya melawan Injil. Ingatlah bahwa kekuatan Injil tidak terletak di dalam
kata-kata yang indah, melainkan di dalam kuasa Roh Kudus (bnd. 1Kor
2:4,5; 4:20).107
KESIMPULAN
106
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2
Timothy Titus, (Nashville; Broadman Press, 1992), 176-177
107
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 68-69
gelar yang paling terhormat yang menyatakan akan kepemilikan Allah atas
dirinya. Gelar ini diberikan Paulus untuk membedakan Timotius dari
pengajar-pengajar palsu. Sebagai pribadi yang dimiliki Allah tidak bisa
dilepaskan dari pertobatan Timotius sebagai hasil pelayanan Paulus.
Sebagai milik Allah, Paulus memberikan rambu-rambu mengenai apa yang
tidak perlu dilakukan (dihindari) dan mana yang perlu dilakukan.
Bersilat kata, dengki, fitnah, curiga, percekcokan dan cinta uang
harus dijauhi karena akan menghancurkan reputasi Timotius dan
pelayanannya. Sebaliknya yang harus dilakukan dengan sekuat tenaga yaitu
hidup dalam keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan.
Hal-hal tersebut tidak hanya mencerminkan karakter Paulus tetapi juga
merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam memenuhi semuanya itu, Paulus
berkata bahwa hidup itu bagaikan pertandingan yang menuntut ketahanan,
bukan hanya fisik tetapi juga spiritual.
Dalam pertandingan tersebut Paulus berkata bahwa Timotius tidak
berjuang sendiri. Tuhan yang adalah Sumber hidup akan menopang dan
memberikan semangat kepada Timotius untuk dapat memenangkan
pertandingan. Oleh karena itu, tidak perlu bimbang dan ragu untuk
menyaksikan kebenaran kendatipun konsekuensi yang dihadapi tidaklah
mudah. Paulus memberikan referensi mengenai bagaimana Kristus berani
mengikrarkan ikrar yang benar di hadapan Pontius Pilatus yang adalah
petinggi Romawi pada waktu itu. Paulus mengarahkan pandangan Timotius
bukan kepada kesulitan pelayanan yang dialami tetapi kepada kemuliaan
yang sudah disediakan Allah baginya. Lakukanlah tugas panggilanmu,
jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan.
Demikian juga dalam relasi dengan jemaat-jemaat yang kaya,
jangan takut untuk berpesan kepada mereka supaya tidak sombong dan
mengandalkan kekayaan mereka melainkan hidup dalam kebajikan/
kemurahan hati. Kekayaan yang dimiliki sekarang adalah bersifat
sementara dimana ngengat dan karat dapat merusaknya dan pencuri dapat
mencurinya. Ingatlah harta surgawi yang tidak fana. Kualitas kekayaan
seseorang tidaklah bergantung pada seberapa banyak kekayaan yang dapat
ditimbun (dimiliki) melainkan pada apa yang dapat dia berikan. Orang kaya
yang hanya menimbun kekayaannya adalah orang kaya yang miskin. Tetapi
orang kaya yang kaya adalah orang yang dengan kekayaannya dapat
memperkaya orang lain (mendukung orang yang lemah dari segi finansial).
Orang kaya yang demikian adalah orang kaya yang menyenangkan hati
Tuhan.
Pada akhirnya, Timotius dituntut untuk memelihara apa yang telah
dia terima dari Paulus. Tidak perlu sibuk dengan perdebatan-perdebatan
yang sia-sia (dalam hal ini pengajaran gnostik) atau omong kosong yang
mengatasnamakan kebenaran sejati namun isinya penuh dengan racun.
KAJIAN TENTANG PERATURAN DAERAH (PERDA)
BERNUANSA AGAMA DAN MASA DEPAN
HARMONISASI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
PENDAHULUAN
POKOK PERMASALAHAN
Segi Moral-Politis
Pembuatan Perda syariat terkesan hanya untuk menarik simpati
masyarakat menjelang pilkada. Karena dari segi substansi, jelas tidak
signifikan di dalam masyarakat Indonesia yang kenyataannya beragam,
tidak prioritas dan sangat prosedural. Seperti Propinsi Kalimantan Selatan
yang membuat Perda Jumat Khusu’, Raperda Larangan Mandi di Sungai
dan Perda Ramadhan, lain halnya jika Perda ditujukan untuk memberantas
korupsi pejabat yang tentu lebih bernuansa syariat, menyeluruh dan
mendesak.
1
Paparan 'Respon Publik Atas Perda Bernuansa Syariat Islam' di Jakarta, oleh
Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.
dilakukan oleh LSI (Lembaga Survei Indonesia) 2 di 33 provinsi pada
tanggal 28 Juli s.d. 3 Agustus 2006, mencatat 66,7% responden lebih
mengidealkan Pancasila daripada sistem ideologi ketatanegaraan lain
(Demokrasi Barat atau Negara Islam Timur Tengah). Pasalnya, Pancasila
terbukti berhasil menjadi ideologi di tengah keberagaman yang ada, baik
dari sisi adat, agama, suku, dan sebagainya. Dalam paparannya, dari 700
orang sebagai sampel survei, 64,3% responden menyatakan hukum nasional
sebaiknya tetap diterapkan di Indonesia karena menjamin adanya
keberagaman. Hal ini diperkuat oleh temuan di mana responden yang
beragama Islam sendiri (61,7%) lebih memilih hukum nasional.
Mayoritas muslim Indonesia sejak lama lebih berorientasi pada
keberagaman dan kebangsaan. Dalam tiga kali pemilu bebas (1955, 1999,
2004), partai yang menang adalah yang berbasis kebangsaan. Apalagi dua
ormas Islam besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), sejak awal
telah menyatakan Pancasila sebagai dasar Negara. Mayoritas responden
sebanyak 61,4% menyatakan kekhawatirannya bahwa Perda yang
bernuansa syariat agama dapat mendorong perpecahan. Dan terdapat 59,7%
responden yang beragama Islam juga menyatakan kekhawatiran yang sama.
Hasil survei ini memperkuat dugaan bahwa mayoritas muslim Indonesia
memang moderat, berbeda dengan mayoritas muslim di Timur Tengah.
Negara ini selalu dipimpin oleh presiden yang memiliki komitmen yang
kuat dengan keberagaman, yang disimbolkan oleh Pancasila.
Mayoritas Muslim Indonesia lebih memilih bersikap moderat lebih
disebabkan oleh penetrasi panjang dan masif atas asas tunggal Pancasila di
masa orde baru. Selain itu, pemihakan oleh Muhamadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU) berpihak pada Pancasila. Tokoh intelektual Islam seperti
Abdurrachman Wahid (alm.) dan Nurcholis Madjid (alm.) yang moderat
juga mendukungnya.
Responden lebih memilih penegakkan hukum yang ada dibanding
membuat Perda berdasarkan syariat Islam. Aturan hukum yang diatur oleh
KUHP juga sudah mengatur soal anti kemaksiatan. 61,4% responden justru
sangat khawatir jika Perda bernuansa syariat diberlakukan.
2
Suara Merdeka Cybernews, 24 Agustus 2006 dengan topik : Masyarakat pilih
hukum Nasional.
Bagi pihak yang menolak diberlakukannya Perda syariah memiliki
sejumlah argumentasi berikut.
3
Pendapat Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Indonesia Bivitri Susanti dan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi (MK) Refly Harun.
pendukung Perda syariat. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya,
hanya mampu menghukum pencuri, penjudi dan penzinah kelas kecil.
Dialog Antaragama
Secara resmi semangat dialog kerukunan beragama dirintis oleh
Menteri Agama RI, yaitu H.A. Mukti Ali yang menjabat menteri pada
tahun 1971-1978. Sebagai seorang pakar yang mempelajari Perbandingan
Agama di Pakistan, Mukti Ali mencanangkan dialog sebagai bagian
kebijakannya pada tahun 1972. Rintisan ini tidaklah mudah karena banyak
yang menolak, tetapi tidak dapat disangkal bahwa usaha Menteri Agama
kala itu disambut tokoh-tokoh agama dan sudah meletakkan dasar yang
4
Lih. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan hidup Umat
Beragama, Departemen Agama RI, Edisi Keenam (Jakarta, 1997/1998), 6
5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),
175
baik bagi usaha kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Namun usaha
itu agak tidak mulus di bawah penggantinya Alamsyah Ratu Prawiranegara.
Usaha itu agak terganggu dengan dikeluarkannya dua Keputusan Menteri
Agama: Kepmenag no.70/1978 tentang “Pedoman Penyiaran Agama” dan
Kepmenag no. 78/1978 tentang “Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia.” Kedua Kepmenag yang agak membatasi agama
Kristen ini kemudian diperbaharui dalam: Kepmenag & Mendagri no.1/
1979 tentang “Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar
Negeri.”
Sekalipun demikian dua tahun kemudian diterbitkan Kepmenag
no.35/1980 tentang '”Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” dan
sejak itu berbagai pertemuan antar umat beragama diadakan lebih sering.
H.A. Mukti Ali menyebut “Dialog antar-umat beragama adalah pertemuan
hati dan pikiran antara pelbagai macam agama merupakan komunikasi
antara dua atau lebih orang yang beragama dalam tingkatan agamis. Dialog
merupakan jalan bersama menuju ke arah kebenaran.” Mukti Ali menyebut
bahwa ada beberapa bentuk dialog yang bisa ditempuh, sebagai berikut.
Pertama, Dialog Kehidupan, yang ditunjukkan melalui kehidupan
keseharian yang bisa dilihat oleh pemeluk agama lain.
Kedua, Dialog Kerja Sosial, melalui kerjasama dalam berbagai
program kerja/aksi sosial demi kesejahteraan rakyat banyak.
Ketiga, Dialog Antar-Monastik, melalui komunikasi pengamalan
agama, saling berkunjung atau belajar di asrama sekolah agama yang lain.
Keempat, Dialog untuk Doa Bersama, melalui pertemuan doa
bersama di mana masing-masing pemeluk agama berdoa sesuai keyakinan
masing-masing.
Kelima, Dialog Diskusi Teologis, melalui pertemuan/seminar antar
para tokoh agama membicarakan beberapa aspek dari agama masing-
masing.
Dialog antar umat beragama sangat diperlukan dalam konteks
Indonesia yang bersifat plural untuk meminimalisir konflik agama-agama
maupun antar pemeluk seagama. Dalam dialog antar agama, maka ada
kebebasan hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinannya dan
menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar agama adalah
pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan
mencapai kebenaran dan kerjasama dalam masalah-masalah yang dihadapi
bersama.
Menurut Ignas Kleden, dialog antar agama tampaknya hanya bisa
dimulai dengan adanya keterbukaan suatu agama terhadap agama lainnya.
Keterbukaan ini bisa dilihat dari beberapa sisi. Pertama, segi-segi mana
dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang
lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolelir, dan juga dalam
modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Kedua,
bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok
orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain. 6
Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non-diskriminatif,
yang memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam
masyarakat tanpa memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup
bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama yang
lebih baik, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap
orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah pemikiran yang
mengakomodasi, memberi tempat, menghargai kelompok lain dan sebab itu
jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan.
Pengembangan sikap inklusif sama sekali tidak berarti dan tidak boleh
memperlemah iman dan atau mengingkari nilai eksklusif dan spesifik yang
ada dalam setiap agama. Pengembangan sikap inklusif di kalangan umat
Kristen perlu dilakukan secara terarah, berkesinambungan dan mencakup
seluruh lapisan umat. Dalam konteks ini problem dan kendala yang amat
jelas dihadapi adalah: keragaman denominasi, keragaman latar belakang
pendidikan, persepsi teologis yang tidak sama, pola pembinaan umat
beragama yang belum merata, dan persepsi tentang kerukunan.
6
Kahmad, Sosiologi Agama..., 178
Ketiga, merumuskan aksi bersama umat beragama menghadapi tantangan
global dan tantangan internal bangsa.
Keinginan untuk menyelenggarakan kongres ini didasarkan pada
pemikiran, bahwa umat beragama dewasa ini tengah dihadapkan pada
berbagai persoalan yang menyangkut isu-isu global yang turut
mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan masyarakat di tingkat
lokal. Pengaruh tersebut pada tingkat tertentu dapat dilihat sebagai problem
kultural dan sosial, persoalan hak asasi manusia (HAM), harmonisasi
sosial, demokrasi beragama dan tidak kalah pentingnya adalah persoalan-
persoalan yang menyangkut absolutisme dan relativisme pada tingkat
kesadaran teologis umat beragama yang sedikitnya turut mempengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam melakukan pelayanan terhadap para
penganut agama-agama.
Para tokoh berbagai agama yang tergabung dalam Kongres I ini
menyerukan pentingnya revitalisasi peran ideologi Pancasila dalam
membina kerukunan hidup bermasyarakat karena berbagai konflik suku,
agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang terjadi selama ini ditengarai
sebagai dampak dari merosotnya penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam
masyarakat. Saat menyampaikan sambutan pada penutupan kongres,
Menteri Agama saat itu, Maftuh Basyuni menegaskan kembali posisi
Pancasila sebagai dasar negara. “Pancasila harus menjadi acuan dari
seluruh sistem hukum dan sistem politik negara.”
Kongres ini menghasilkan tiga rekomendasi, yaitu: Pertama, negara
diminta menjamin kebebasan beribadah dan mendorong peningkatan
penghayatan serta pengamalan nilai agama yang dianut oleh masing-masing
pemeluknya. Kedua, perlu ada rencana aksi sebagai tindak lanjut kongres
tokoh agama. Ketiga, memberdayakan forum kerukunan umat beragama
(FKUB) dalam meningkatkan kesejahteraan dan kerukunan umat beragama.
Kerjasama antar lembaga-lembaga keagamaan sangat diperlukan
dalam konteks saling menghargai dan saling melengkapi, demi kemajuan
bersama. Ada banyak kegiatan yang sebenarnya dapat dilakukan bersama
antara lembaga-lembaga keagamaan demi meningkatkan suasana
kehidupan keagamaan yang kondusif bagi pembinaan kerukunan intern dan
antarumat beragama di Indonesia, antara lain: Melakukan forum dialog dan
temu ilmiah, Membuka sekretariat bersama antar umat beragama di seluruh
propinsi, Melakukan silaturahmi/safari kerukunan umat beragama baik
nasional maupun di tingkat daerah/regional, Membentuk forum komunikasi
kerukunan antar umat beragama di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan, Melanjutkan pembentukan jaringan komunikasi kerukunan
antar umat beragama dan meningkatkan peran jaringan kerjasama antar
umat beragama, Melakukan rekonsiliasi tokoh-tokoh agama di daerah pasca
konflik, Menyediakan data kerukunan umat beragama, Pembinaan umat
beragama di daerah pasca konflik, Sosialisasi wawasan multikultural bagi
umat beragama, Pengembangan wawasan multikultural bagi guru-guru
agama, Meningkatkan potensi kerukunan hidup umat beragama melalui
pemanfaatan budaya setempat dan partisipasi masyarakat, Mendorong
tumbuh kembangnya wadah-wadah kerukunan sebagai penggerak
pembangunan, Melakukan silaturahmi antara pemuda agama dan
cendekiawan agama serta tokoh agama, Menyelenggarakan lomba kegiatan
keagamaan bernuansa kerukunan di daerah potensi konflik, Meningkatkan
kualitas tenaga penyuluh kerukunan umat beragama.
PENUTUP