Anda di halaman 1dari 212

MISSIO ECCLESIAE

Jurnal Institut Injil Indonesia


Edisi No. 3/Th. 4/Maret/2013

Pelindung:
Rektor Institut Injil Indonesia
Dr. Stevri I. Lumintang, DTh, Th.D.

Penasehat:
Dr. Awasuning Manaransyah
Dr. Gunaryo Sudarmanto
Dr. Robert C. Wagey
Dr. Ferdinan S. Manafe
Morris Ph. Takaliuang, Th.D.

Pemimpin Redaksi:
Dr. Erni Takaliuang-Efruan

Dewan Redaksi:
Dr. Maria Hanie E.
Chresty T. Tupamahu, S.Th.

Alamat Redaksi:
Jl. Indragiri No.5 Batu-65301 Jawa Timur
Telp. (0341)591283; Fax. (0341)597974
Email: i3batu@yahoo.co.id
Website: www.i3 batu.ac.id

Diterbitkan
Dep. Multimedia YPPII BATU
Batu – 65312
Jawa Timur
MISSIO ECCLESIAE
Jurnal Institut Injil Indonesia
Edisi No. 4/Th. 4/Juni/2013

TEKNOLOGI DAN TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN ............. 1


Kol. Dr. Drs. Phanny Tandy Kakauhe, M.Si., M.Th.

ALIRAN KEBATINAN DI PULAU JAWA DAN PENDEKATAN IMAN


KRISTEN
..................................................................................................................... 2
6
Cecilia Ilona, M.Th.

KEBANGKITAN TUBUH MENURUT 1 KORINTUS 15:25-58 DAN


IMPLIKASI ETIS
..................................................................................................................... 3
9
Dr. Danik Astuti Lumintang, M.Pd.K.

IBADAH SEBAGAI GAYA HIDUP MENURUT ROMA 12:1 DAN


IMPLIKASINYA BAGI IBADAH MASA KINI
..................................................................................................................... 6
1
Jammes Junaedy Takaliuang, S.S, M.Th.

GEREJA DAN TRANSFORMASI KRISTEN SUATU TINJAUAN


KRITIS TERHADAP MISI GERAKAN TRANSFORMASI .................. 84
Ridwan Henry Simamora, M.Th.

TEOLOGI PAULUS TENTANG KARUNIA-KARUNIA ROH DAN


IMPLIKASINYA BAGI PROBLEMATIKA PNEUMATOLOGIS
GEREJA MASA KINI .............................................................................. 110
Hotman Parulian Simanjuntak, M.Th.
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI DALAM PELAYANAN
PASTORAL KONSELING KRISTEN ..................................................... 133
Sherly Mudak, M.Th.
TOLERANSI AGAMA DAN MOTIF MISI KRISTEN ....................... 150
Dewi Magdalena Rotua, M.Th.

PERAN MANUSIA ALLAH MENURUT 1 TIMOTIUS 6:11-21 ....... 167


Theophylus Doxa Ziraluo, M.Th.

KAJIAN TENTANG PERATURAN DAERAH (PERDA) BERNUANSA


AGAMA DAN MASA DEPAN HARMONISASI UMAT BERAGAMA
DI INDONESIA ..................................................................................... 189
I Gusti Ngurah Oka, M.Th.
Sekapur Sirih
Syalom,

Pembaca yang budiman, segala pujian patut kita hsturksn kepada Tuhan kita
Yesus Kristus yang memungkinkan Jurnal “Missio Ecclesiae,” edisi
No.3/Th.4/Februari/2013 bisa mengunjungi para pembaca. Nampaknya terlalu
dekat jarak terbitan edisi sebelumnya (Oktober 2012), tetapi kami memang
berusaha memacu diri untuk menebus kevakuman yang pernah terjadi.
Dalam edisi ketiga ini, diawali dengan pembahasan menarik yang menyoroti
secara kritis terhadap perkembangan teknologi, baik secara positif maupun
negatife, berlandaskan Firman Allah, serta bagaimana tanggung jawab orang
Kristen. Menurut penulis artikel ini, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil
karya manusia sebagai salah satu wujud amanat budaya, yang telah mempengaruhi
manusi, sehingga berkecenderungan hati selalu menghasilkan yang jahat, termasuk
dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Pokok-pokok bahasan menarik lainnya adalah menyoroti tentang kebatinan,
tentang Peraturan Daerah, berdasarkan Firman Allah, dan bagaimana sikap gereja
pada umumnya, serta orang Kristen pada khususnya. Beberapa penulis lain
membahas tentang pokok-pokok teologis dan etika, serta, pastoral konseling.
Kami berharap bahwa Jurnal “Missio Ecclesiae,” edisi kontribusi yang
signifikan, sehingga pembaca diperkaya dengan pokok-pokok bahasan yang
diuraikan di dalamnya, sehingga memiliki wawasan yang lebih luas dalam
pelayanan.
Dengan pertolongan Tuhan, kami akan berusaha untuk menjumpai para
pembaca dalam edisi berikutnya. Tuhan memberkati.

Redaksi
TEKNOLOGI DAN TANGGUNG JAWAB
ORANG KRISTEN

PHANNY TANDY KAKAUHE

PENDAHULUAN

Kemajuan dunia di segala bidang melalui ilmu pengetahuan dan


teknologi sesungguhnya berakar atau bersumber pada karya Tuhan sendiri
yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang diberikan
kemampuan untuk merekreasi kreasi Tuhan. Itu sesuai dengan amanat
Tuhan sendiri kepada manusia yaitu amanat kebudayaan yang tertulis
dalam Kejadian 1:28. Amanat budaya ini hanya diberikan kepada manusia
sebagai ciptaan Allah yang paling istimewa, karena manusia diciptakan
menurut gambar atau rupa Allah.
Sebagai makhluk ciptaan yang segambar dengan Penciptanya,
manusia diberikan hal yang tidak diberikan kepada ciptaan yang lain.
Manusia memiliki roh, kehendak dan pikiran. Sebagai makhluk yang
memiliki roh, manusia dapat berhubungan atau berkomunikasi dengan
Allah yang adalah Roh adanya. Sebagai makhluk bermoral, manusia
diberikan kemampuan untuk mempertimbangkan dan memutuskan yang
benar atau yang salah. Dan sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki
kemampuan untuk berpikir rasional sehingga menghasilkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang adalah hasil karya manusia,
sebagai salah satu wujud pelaksaan amanat budaya (Kej 1:28), telah
berkembang maju seiring dengan kemajuan manusia. Sayangnya, dosa telah
memengaruhi sehingga kecenderungan hati manusia adalah senantiasa
menghasilkan dosa, tidak terkecuali dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan manusia tidak
semuanya sesuai dengan kebenaran Firman Allah. Manusia memperalat
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan berbagai kejahatan,
bahkan dijadikan senjata untuk melawan Tuhan.
Satu sisi, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah membawa manusia mengalami kemajuan peradabannya.
Ilmu pengetahuan mendukung industri, sehingga masyarakat dunia berubah
dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, kemudian semakin
maju menjadi masyarakat pasca-industri, dan sekarang ini menjadi
masyarakat informatika. Ilmu Pengetahuan semakin memberikan
kemudahan, kenyamanan, kecepatan, dan kemakmuran kepada manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis telah banyak
memberikan kegunaannya bagi manusia. Penyakit-penyakit yang sulit
disembuhkan pada masa lalu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan medis
dan teknologi medis, dapat disembuhkan, sekalipun muncul juga penyakit
lain.
Sayangnya, di sisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
memberikan dampak negatif kepada manusia. Di antaranya kemajuan
teknologi militer menyebabkan jumlah kematian manusia sangat mudah
dan dalam jumlah yang semakin banyak, lebih banyak dari pada perang-
perang sebelumnya. Begitu juga, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
medis, diikuti dengan kemajuan perilaku dan penyimpangan medis, seperti
penyalahgunaan obat-obat. Secara khusus dengan kemajuan teknologi
informatika, menyebabkan semakin bertambahnya kejahatan dan tindak
amoralitas. Banyak berita kejahatan dengan menggunakan teknologi
informatika, khususnya internet dengan cybersex dan pornografi yang
begitu mudah diperoleh dan diakses oleh siapa pun juga.
Sekelumit gambaran mengenai penyalahgunaan teknologi
informatika yang penulis kemukakan di atas membuat sekelompok orang
Kristen bersikap negatif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Mereka bahkan menganggap bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi informatika khususnya merupakan bukti keangkuhan dan
kejahatan manusia melawan Allah dan kebenaran-Nya, karena itu mereka
bersikap antipati terhadapnya. Orang tua yang bersikap demikian sering
berdebat dengan anak-anaknya, bahkan ada juga anak-anak yang memiliki
keinginan dan bakat untuk melanjutkan studi mereka di bidang teknologi
informatika, namun karena sikap orang tua mereka yang anti terhadap
teknologi, maka mereka pun berakhir di bidang studi yang mereka tidak
minati. Yang lain, bersikap pasif dengan teknologi informatika, karena
kebingungan mereka, di mana di satu sisi, mereka memerlukan atau
memakainya setiap hari dan banyak menolong, namun di sisi lain mereka
terpengaruh dengan pendapat orang Kristen yang menakut-nakuti orang
lain mengenai bahaya teknologi informatika.
Sebagian besar orang Kristen, tidak menyikapi teknologi
informatika sebagai sesuatu yang berbahaya, melainkan dianggap sebagai
wujud kemajuan dan perkembangan zaman yang harus dijalani. Mereka
bahkan menjadikan teknologi informatika tidak terpisahkan dengan
kehidupan sehari-hari, secara khusus bagi anak muda, seperti yang nampak
pada penggunaan handphone dan laptop untuk alat komunikasi dan pencari
informasi melalui internet (google). Teknologi informasi sudah menjadi
suatu gaya hidup di kalangan anak-anak muda. Bahkan yang sedang terjadi
sekarang ini, nampaknya ada Gereja yang menempatkan teknologi
informatika sebagai pusat, seolah-olah keberhasilan ibadah mereka sangat
ditentukan oleh peranan teknologi informatika. Pemakaian teknologi
informatika dijadikan daya tarik tersendiri, sehingga pertambahan anggota
sangat banyak dipengaruhi olehnya.
Pro dan kontra masih menjadi pemandangan di kalangan Kristen.
Kenyataanya, banyak gereja yang telah menggunakan kemajuan teknologi
informatika sebagai alat atau instrumen dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Di
sisi lain, ada pengkhotbah yang begitu berapi-api memberikan peringatan
mengenai bahaya teknologi informatika. Ketidakjelasan sikap Gereja
terhadap teknologi informatika, mendorong penulis untuk mengkajinya,
karena penulis mencermati bahwa di kalangan Kristen sendiri masih belum
ada kejelasan sikap terhadap teknologi informatika.

PENGERTIAN TEKNOLOGI

Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani: techne yang berarti:


kepandaian, keahlian, pemahaman, ataupun kelicikan, yang umumnya
dipakai dalam berbagai lapangan pekerjaan. Di dalam pengertian yang
sempit, pengertian teknologi hanya berkenaan dengan proses industri.15
Teknologi kadang-kadang disebut juga: ilmu pengetahuan yang
dipraktekkan (applied science), yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dan pendapat manusia untuk keperluan dan keinginannya.
Teknologi berarti: membekali atau melengkapi kehendak manusia dengan
alat-alat dan pekerjaan mesin-mesin, sebagai ganti dari pada setiap
pekerjaan yang dilaksanakan oleh tangan. Bagaimana bisa membuat jumlah
yang besar dalam waktu yang singkat oleh produksi kelompok besar (mass
production), dan membuat barang-barang yang tidak dapat diperoleh dan
dibuat oleh tangan manusia.16 Dengan teknologi (ilmu teknik) manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan lebih mudah, lebih
kompleks, lebih bermutu, lebih besar, dan lebih sempurna/rampung yang
memusatkan perhatian pada cara menciptakan dan mewujudkan benda-
benda material (yang rill) berdasarkan usaha manusia.

15
Bnd. A.R. Hall. “Art Technology” dalam Encyclopedia Americana, Vol. 26
(New York: American Cooporation, 1972), 357
16
Bnd. T.S.G. Mulia, Encyclopedia Indonesia (Jakarta), 1324
Selain dari pengertian di berbagai bidang pekerjaan, istilah
teknologi dipakai juga dalam berbagai bidang kesenian, yang sering dipakai
dalam arti kemahiran atau kepandaian, misalnya teknik mengarang, teknik
menari, teknik melukis dan sebagainya. Di bidang olahraga dan pertanian,
teknik juga diartikan dengan kemahiran.17 Kegiatan teknologi adalah
kegiatan mental dan fisik pada manusia (perorangan ataupun kolektif)
untuk mengubah ataupun memanipulasi lingkungan (arbes). Teknologi
adalah suatu ilmu pengetahuan yang dipraktekkan dan merupakan jembatan
penghubung antara ilmu pengetahuan dan teknik. Pada dasarnya, ilmu
pengetahuan dan teknik bukanlah sama dan sebangun. Sebagai
perbandingan antara teknik dengan ilmu pengetahuan, sama dengan
perbandingan antara tabu dan dapat. Di dalam ilmu pengetahuan, yang
primer adalah pengertian mendalam secara teori, sedangkan di dalam
teknik, nilai gunanya, efisiensinyalah yang primer.18
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk
menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Sesuatu hal yang
menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui
dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya.
Oleh karena itu pengetahuan selalu menuntut adanya subyek yang
mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu obyek yang
merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya.
Jadi bisa dikatakan bawa pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap
sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami sesuatu objek
yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami objek
tertentu. Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat
penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya
pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham
filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan
ini apakah berfilsafat a priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik
pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan a
posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif.
Perbandingan lain antara teknik dengan ilmu pengetahuan adalah
bahwa pada zaman dahulu, teknik diartikan sebagai pekerjaan tangan kaum
terpelajar, dan ilmu pengetahuan adalah bagi sarjana yang tak kenal

17
Bnd. Ibid., 1326
18
Bnd. E. Lederer, “Art Technology,” dalam E.R.A. Seligman (Ed.),
Encyclopedia of the Social Sciences. Vol. 13-14 (New York. 1957), 553-559
praktek. Akan tetapi sejak permulaan revolusi industri yang pertama
(pemakaian mesin uap) di Inggris terbentuklah persekutuan antara ilmu
pengetahuan dan teknik, sehingga ilmu pengetahuan dan teknik sangat
saling mempengaruhi. Penemuan teknis ternyata sangat memajukan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah dan sebaliknya, berbagai teori-teori
ilmiah menghasilkan penemuan teknis yang baru. Pada teknologi, aliansi
(persekutuan) antara ilmu pengetahuan dan teknik berjalan bersama-sama
dan berkelanjutan. Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir,
merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan
dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan
dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan
jalan menerapkan pengetahuan yang diperoleh. Proses penemuan dan
penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dahulu hingga
teknologi jaringan komputer sebagai teknologi pada dewasa ini.
Menurut seorang penulis tentang teknik, bahwa perbedaan antara
dahulu dan sekarang, dilukiskannya sebagai berikut: Dahulu seribu
pemecahan untuk seribu soal, sekarang satu pemecahan untuk seribu soal. 19
Pesawat terbang, radio, telpon, televisi, dan sebagainya yang
distandarisasikan atau diharmonisasikan dan hasil persekutuan antara ilmu
pengetahuan dan teknik, sehingga teknologi tidaklah timbul secara
kebetulan saja.

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun


pada dasarnya filsafat baik di Barat, India, dan Cina muncul dari yang
sifatnya religious. Di Yunani dengan mitosnya, di India dengan kitabnya
Weda (agama Hindu), dan di Cina dengan Confusiusnya. Di Barat mitos
dapat lenyap sama sekali dan rasio yang menonjol; sedangkan di India,
filsafat tidak pernah bisa lepas dengan induknya, dalam hal ini agama
Hindu. Pembagian secara periodisasi Filsafat Barat adalah zaman Kuno,
zaman Abad Pertengahan, zaman Modern dan Masa Kini. Aliran yang
muncul dan berpengaruh terhadap pemikiran filsafat adalah Positivisme,
Marxisme, Eksistensialisme, Fenomenologi, Fragmatisme, Neo-
Kantianianisme dan Neo-Tomisme. Pembagian secara periodisasi filsafat
Cina adalah Zaman Kuno, Zaman Pembauran, Zaman Neo-Konfusionisme,

19
Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1966), 85-86
dan Zaman Modern. Tema yang pokok filsafat China adalah masalah
perikemanusiaan (jen). Pembagian secara periodisasi filsafat India adalah
periode Weda, Waracarita, Sutra-sutra, dan Skolastik. Dalam filsafat India
yang penting adalah bagimana manusia bisa berteman dengan dunia, bukan
untuk menguasai dunia. Adapun pada filsafat Islam hanya ada dua periode,
yaitu periode Mutakallimin dan periode filsafat Islam. Untuk sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan di sini pembahasan mengacu ke
pemikiran filsafat di Barat.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban, karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir
manusia dari mite-mite menjadi yang lebih rasional. Pola pikir mite-mite
adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk
menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi
tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi dewa bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun ketika filsafat diperkenalkan, fenomena
alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas
alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan pola pikir tersebut
kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana, karena selama
ini alam ditakuti dan dijauhi, tetapi kemudian didekati bahkan dieksploitasi.
Manusia yang dulunya pasif menghadapi fenomena alam menjadi lebih
proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan
pengkajian. Dari proses inilah ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang
akhirnya dalam bentuk teknologi. Karena itu periode perkembangan filsafat
Yunani merupakan poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak
berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif.
Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, mau tidak mau harus
melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap
periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu
kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu di sini dimulai
dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer.

Zaman Pra Yunani Kuno


Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan.
Oleh karena itu, zaman pra Yunani Kuno disebut sebagai Zaman Batu yang
berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun sebelum Masehi. Sisa
peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini,20 antara lain: alat-alat
dari batu; tulang-belulang hewan; sisa beberapa tanaman; tulang-belulang
manusia purba. Antara abad ke-15 sampai 6 SM, manusia telah menemukan
besi, tembaga, dan perak untuk peralatan. Abad ke-15 sebelum Masehi
peralatan besi dipergunakan pertama kali di Irak, bukan di Eropa atau
Tiongkok.21 Pada abad ke-6 SM di Yunani lahirlah Filsafat. Timbulnya
filsafat di tempat itu disebut peristiwa ajaib (the greet miracle). Ada
beberapa faktor yang sudah mendahului dan seakan-akan mempersiapkan
lahirnya filsafat di Yunani. K. Bertens menyebutkan ada tiga faktor, yaitu
sebagai berikut:
Pada bangsa Yunani, seperti juga pada bangsa-bangsa sekitarnya,
terdapat suatu mitologi yang kaya serta luas. Mitologi ini dapat dianggap
sebagai perintis yang mendahului filsafat, karena mite-mite sudah
merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah memberikan
jawaban atas pertanyaan yang hidup dalam hati manusia: Dari mana dunia
kita? Dari mana kejadian dalam alam? Apa sebab matahari terbit? Lalu
terbenam lagi? Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal
usul alam semesta dan tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di
dalamnya. Mite jenis pertama yang mencari keterangan tentang asal usul
alam semesta sendiri biasanya disebut mite kosmogonis, sedangkan mite
jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal-usul serta sifat kejadian
dalam alam semesta disebut mite kosmologis.
Yang khusus pada bangsa Yunani ialah mereka mengadakan
beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceritakan oleh rakyat
menjadi suatu keseluruhan yang sistimatis. Dalam usaha itu sudah tampak
sifat rasional bangsa Yunani. Karena dengan mencari seluruhan yang
sistimatis, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan
mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak cocok dengan
mite lain.
Kesusastraan Yunani. Kedua karya puisi Homeros yang masing-
masing berjudul Ilias dan Odysea mempunyai kedudukan yang istimewa
dalam kesusastraan Yunani. Syair-syair dalam karya tersebut lama sekali
digunakan sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Dalam
dialog yang bernama Politeia, Plato mengatakan Homeros telah mendidik
seluruh Hellas. Karena puisi Homeros pun sangat digemari oleh rakyat
untuk mengisi waktu terluang dan serentak juga mempunyai nilai deduktif.
Pengaruh ilmu pengetahuan yang pada waktu itu terdapat di timur Kuno.

20
Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, 1996
21
Brouwer, (1982), 6
Orang Yunani tentu berhutang budi kepada bangsa-bangsa lain dalam
menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan dari mereka. Demikianlah ilmu
ukur dan ilmu hitung sebagian berasal dari Mesir dan Babilonia, pasti ada
pengaruhnya dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani.
Namun, andil bagi bangsa-bangsa lain dalam perkembangan ilmu
pengetahuan Yunani tidak boleh dilebih-lebihkan. Orang Yunani telah
mengolah unsur-unsur tadi atas cara yang tidak pernah disangka-sangka
oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Baru pada bangsa Yunani, ilmu
pengetahuan mendapat corak yang sungguh-sungguh ilmiah.
Pada abad ke-6 Sebelum Masehi mulai berkembang suatu
pendekatan yang sama sekali berlainan. Sejak saat itu orang mulai mencari
berbagai jawaban rasional tentang problem yang diajukan oleh alam
semesta. Logos akal budi, rasio mengganti mythos. Dengan demikian
filsafat dilahirkan.
Pada zaman Pra Yunani Kuno, di dunia ilmu pengetahuan dicirikan
berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empiris. Di samping itu
kemampuan berhitung ditempuh dengan cara one to one correspondency
atau mapping process. Contoh cara menghitung hewan yang akan masuk
dan ke luar kandang dengan batu kerikil. Namun pada masa kini manusia
sudah mulai memperhatikan keadaan alam semesta sebagai suatu proses
alam. Dengan demikian lama-kelamaan mereka juga memperhatikan dan
menemukan hal-hal berikut ini: Gugusan bintang di langit sebagai suatu
kesatuan. Gugusan ini kemudian diberi nama misalnya, Ursa Minor, Ursa
Mayor, Pisces, Scorpio dan lain-lain yang dikenal dengan nama zodiak.
Kedudukan matahari dan bulan pada waktu terbit dan tenggelam,
bergerak dalam rangka zodiak tersebut. Lambat laun dikenal pula bintang-
bintang bergerak di antara gugusan yang sudah dikenal tadi, sehingga
ditemukan planet Mercurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus, di samping
matahari dan bulan. Akhirnya dapat pula dihitung waktu bulan kembali
pada bentuknya yang sama antara 28-29 hari. Waktu timbul dan
tenggelamnya matahari di cakrawala yang berpindah-pindah dan
memerlukan kurang lebih 365 hari sebelum kembali ke kedudukan semula.
Ketika matahari timbul tenggelam sebanyak 365 kali, bulan juga
mengalami perubahan sebanyak 12 kali. Berdasarkan hal itu kelak
ditemukan perhitungan kalender. Ditemukan pula gejala alam seperti
gerhana, yang pada masa itu masih dihubungkan dengan mitologi-mitologi
tertentu, sehingga menakutkan banyak orang. 22

22
Rizal Mustansyir, (1996), 33
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada zaman ini ditandai oleh
kemampuan: Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada
pengalaman. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman ini diterima
sebagai fakta dengan sikap receptive mind, keterangan masih dihubungkan
dengan kekuatan magis. Kemampuan menemukan abjad dan sistem
bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke
tingkat abstraksi. Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.23

Zaman Yunani Kuno


Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat,
karena pada masa itu orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-
ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap gudang ilmu. Bangsa
Yunani pada waktu itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi; bangsa
Yunani tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap
receptive attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan
sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu
secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya
ilmu pengetahuan modern. Beberapa filsuf pada masa itu antara lain Thales,
Phytagoras, Socrates, Plato, Aristoteles. Zaman kuno meliputi zaman
filsafat pra-Socrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama
filsuf alam. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap sebagai
asal dari segala sesuatu. Menurut Thales, arche itu air, Anaximandros arche
itu yang tak terbatas (to apeiron), Anaximenes arche itu udara, Phytagoras
arche itu bilangan, Heraklitos arche itu api; segala sesuatu itu mengalir
terus (pantarhei). Pharmenendes mengatakan bahwa segala sesuatu itu tetap
tidak bergerak.24

Zaman Keemasan Filsafat Yunani


Pada waktu Athena dipimpin oleh Parikles, kegiatan politik dan
filsafat dapat berkembang dengan baik. Ada segolongan kaum yang pandai
berpidato (rethorika) dinamakan kaum sofis. Kegiatan mereka adalah
mengajarkan pengetahuan pada kaum muda. Yang menjadi objek
penyelidikannya bukan lagi alam tetapi manusia, sebagaimana yang

23
Ibid.
24
Lasiyo dan Yuwono, (1985), 52.
dikatakan oleh Phythagoras, manusia adalah ukuran untuk segala-galanya.
Hal ini ditentang oleh Socrates dengan mengatakan bahwa yang benar dan
yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai yang objektif, yang dijunjung
tinggi oleh semua orang. Akibat ucapannya itu Socrates dihukum mati.
Hasil pemikiran Socrates dapat ditemukan pada muridnya, yaitu Plato.
Plato mengatakan: realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang hanya
terbuka bagi panca indra, dan dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita.
Dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua dunia ide.
Pendapat tersebut dikritik oleh Aristoteles dengan mengatakan
bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret. Ide manusia
manusia tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles adalah filsuf yang
realis, dan sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar
sekali. Sumbangan yang sampai sekarang ini masih dipakai dalam ilmu
pengetahuan adalah mengenai abstraksi, yakni aktivitas rasional di mana
seseorang memperoleh pengetahuan. Ia membagi menjadi tiga abstraksi,
yakni abstraksi fisis (abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan
membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas), abstraksi
matematis (di mana subjek menangkap unsur kuantitatif dengan
menyingkirkan unsur kualitatif), dan metafisis (di mana seseorang
mengadopsi unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-
unsur lain).25 Teori Aristoteles yang cukup terkenal adalah tentang materi
dan bentuk. Keduanya ini merupakan prinsip-prinsip metafisis, materi
adalah prinsip yang tidak ditentukan, sedangkan bentuk adalah prinsip yang
menentukan. Teori ini terkenal dengan sebutan Hylemorfisme. 26

CIRI-CIRI TEKNOLOGI MODERN

Agar dapat menyelami makna dan masalah-masalah etis di sekitar


teknik, maka mula-mula perlu sekali diketahui sejelas-jelasnya apa yang
khas dari teknologi modern itu. Di bawah ini penulis mencoba untuk
mencantumkan ciri-ciri itu, antara lain sebagai berikut.

Gejala Produksi Massa


Dalam abad-abad yang lalu penemuan pada bidang teknologi itu
sangat terbatas penggunaannya, tetapi dewasa ini tingkat teknik dalam

25
Harry Hamersma, (1983)
26
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogjakarta: Kanisius. 1988), 11-16
teknologi modern sudah semakin maju. Penemuan teknis telah dijadikan
hak paten dan dibuat oleh pabrik-pabrik besar dengan mesin secara besar-
besaran dalam jumlah jutaan serta dijual di seluruh dunia, misalnya:
industri-industri besar seperti tekstil, telpon, radio, mobil, makanan yang
diawetkan, dan sebagainya. Masyarakat modern tanpa gejala produksi
massa sebagai hasil dari teknologi modern agak sukar dibayangkan.

Gejala Otomatisasi
Suatu ciri yang khas pada abad teknik ini ialah gejala automation
atau otomatisasi/mekanisasi (membuat mesin-mesin atau pesawat-pesawat
yang berjalan otomatis). Gejala ini berpengaruh besar terhadap kehidupan
manusia di abad modern. Manusia sungguh tidak penyabar lagi. Manusia
selalu menghendaki yang serba cepat, otomatis, supersonic dan seterusnya.
Hal ini tercermin dalam segi moral, manusia ingin cepat kaya, bekerja
seperti robot dan komputer. Untuk itu bila perlu ada jalan pintas, melalui:
korupsi, penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya.
Sikap demikian juga tercermin dalam kehidupan rohaniah. Ada hubungan
yang sangat erat antara proses mekanisasi pada umumnya dan gejala
automation ini pada khususnya. Mekanisasi ialah penggantian tenaga
manusia dengan alat mesin. Otomatisasi ialah penggantian pekerjaan
lainnya daripada manusia, seperti mengukur, mengatur, mengontrol, dan
melayani dengan mesin atau otomatis.27
Jadi, mengotomatisasikan ialah mengemudikan atau mengontrol
jalannya mesin (pesawat) dengan mesin, tidak dengan manusia, misalnya
sentral-sentral atau pusat telpon otomatis, mesin-mesin hitung elektronik,
pilot otomatis (autopilot), penerbangan otomatis tanpa penerbang.

Teknologi dan Ilmu Pengetahuan


Teknologi dan ilmu pengetahuan memiliki hubungan yang semakin
erat dengan teknologi modern, keduanya saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Perbandingan teknik dan ilmu pengetahuan sama dengan
perbandingan tahu dan dapat. Dapat terjadi seorang sarjana menemukan
sesuatu, menyusun suatu teori tertentu, walaupun belum tercipta.

27
Bnd. “Art. Automation” dalam I.J. Gelb dan J.M. Weels, The Work Book
Encyclopedia, Vol. I (USA: 1968), 916-919
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa orang mendapatkan sesuatu penemuan
teknis tanpa mengetahui prinsip-prinsip teoritis.
Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang berasal
dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu
mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan
sistematik, dalam bahasa Jerman wissenchaft.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian
aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistimatis yang
menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.28

Aktivitas

Ilmu

Metode Pengetahuan

Dalam bagan di atas memperlihatkan bahwa ilmu harus diusahakan


dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode
tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan
yang sistematis. Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berupa penelaahan
(study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau
pencarian (search). Oleh karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang
kali, maka dalam dunia ilmu, kini dipergunakan istilah research (penelitian)
untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan
baru.
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang
ada. Metode yang berkaitan dengan pola prosedural meliputi pengamatan,
percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, analisi, dan lain-lain.
Berkaitan dengan tata langkah meliputi penentuan masalah, perumusan
hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Berkaitan dengan berbagai teknik meliputi: pertanyaan,

28
The Liang Gie, Konsepsi Tentang Ilmu (Yogjakarta: Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi, 1987)
wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain. Yang berkaitan sengan
aneka alat, meliputi: timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lain-lain.
Sejak permulaan revolusi industri pertama (mesin uap) terbentuklah
persekutuan antara ilmu pengetahuan dan teknik, sehingga ilmu
pengetahuan dan teknik saling mempengaruhi dan semakin mempunyai
hubungan erat, mempunyai ciri khas teknologi (teknik) modern dewasa ini.
Penemuan-penemuan teknis sangat mempengaruhi dan menakjubkan dalam
penyelidikan ilmiah, dan sebaliknya berbagai teori ilmiah menghasilkan
penemuan-penemuan teknis baru.29 Kombinasi dan kerjasama antara ilmu
pengetahuan dan teknik itulah yang disebut dengan teknologi. Pada
teknologi jelas terlihat aliansi atau persekutuan antara ilmu pengetahuan
dan teknik. Seorang insinyur modern yang terdidik secara ilmiah adalah
individu yang dalam pekerjaannya membuat teknik dan ilmu pengetahuan
berjalan bersama-sama. Terutama dalam bidang kimia dan fisika (Ilmu
alam) dalam teknologi modern, hubungan antara teknik dan ilmu
pengetahuan itu nyata dan semakin erat sekali.
Ilmu pengetahuan adalah suatu disiplin yng menyelidiki secara
rasional dan kenyataan, umpamanya ilmu berhitung, yaitu suatu disiplin
ilmu yang menyelidiki segala yang berhubungan dengan angka-angka. Ilmu
alam ialah suatu disiplin yang menyelidiki tentang alam. Teknologi pada
zaman dahulu masih dalam taraf terbatas dan rendah sekali, di mana seribu
pemecahan untuk seribu soal. Di zaman teknologi modern ini penemuan
insidentil sebagian besar telah lampau. Kini zaman penyelidikan ilmiah
sudah secara sistematis, dan usaha sistematis pula untuk menemukan
pemecahan-pemecahan teknis guna mengaplikasikan atau mempraktekkan
pendapat-pendapat teoritis secara menakjubkan, yang menjadi ciri
teknologi modern dewasa ini. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah
yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan
pengetahuan yang baru, atau pengetahuan yang telah ada disempurnakan,
sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat
kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang
sistematis.
Adapun menurut Bahm, definisi ilmu pengetahuan melibatkan
minimal enam macam komponen, yaitu: masalah (problem), sikap
(attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution),
dan pengaruh (effects).30

29
Bnd. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 85.
30
Bahm dalam Koento Wibisono, (1997).
Masalah (Problem)
Ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi untuk menunjukkan
bahwa suatu masalah bersifat scientific, yaitu: communicability berarti
masalah adalah untuk dikomunikasikan. The scientific attitude paling tidak
memenuhi karakteristik curiosity, speculativeness, willingness to the
objective. The scientific method berarti masalah harus dapat diuji (testable).

Sikap (Attitude)
Karakteristik yang harus dipenuhi antara lain: 1) Curiosity, berarti
adanya rasa ingin tahu tentang bagaimana sesuatu itu ada, bagaimana
sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan sesuatu
yang lain, 2) Speculativeness. Scientist harus mempunyai usaha dan hasrat
untuk mencoba memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang
diusulkan, 3) Willingness to be objective, hasrat dan usaha untuk bersikap
dan bertindak objektif merupakan hal yang penting bagi seorang scientis, 4)
Willingness to suspend judgement, ini berarti bahwa seorang scientist
dituntut untuk bertindak bijaksana dan sabar dalam mengadakan observasi,
serta bersikap bijaksana dalam menentukan kebijakan berdasarkan bukti-
bukti yang dikumpulkan karena apa yang diketemukan masih serba tentatif.

Metode (Method)
Sifat scientific method berkenaan dengan hipotesis yang kemudian
diuji. Esensi science terletak pada metodenya. Science sebagai teori,
merupakan sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode
scientific, para scientist tidak selalu memiliki ide yang (pasti) yang dapat
ditunjukkan sebagai sesuatu yang absolut atau mutlak.

Aktivitas (Activity)
Science adalah suatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist,
melalui apa yang disebut scientific research, terdiri atas dua aspek, yaitu
individual dan sosial. Dari aspek individual, science adalah aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang. Adapun dari aspek sosial, science has become a
vast institutional undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-
orang elite, dan science merupakan a never ending journey, atau a never
ending effort.

Kesimpulan (Conclusions)
Science lebih sering dipahami sebagai a body of knowledge. Body
dari ide-ide ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan merupakan
pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan
dari science, yang diakhiri dengan pembenaran dari sikap, metode, dan
aktivitas.

Pengaruh (Effect)
Sebagaian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gilirannya
memberi berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua
penekanan, yaitu pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, melalui apa
yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap
atau dalam masyarakat, serta membudayakan menjadi berbagai macam
nilai.

Teknologi dan Ekonomi


Ciri yang keempat ialah hubungan yang erat antara teknologi dan
ekonomi di dalam dunia modern di mana melalui peningkatan
perekonomian berupa kekayaan materi harus dengan jalan yang benar, jujur
dengan memuji nama-Nya terhadap teknologi yang ada.31 Penemuan teknis
menyebabkan timbulnya industri-industri yang menghasilkan produksinya,
sejak terdapat hubungan yang sangat erat antara perkembangan teknis dan
ekonomi dunia.32
Telah nyata dengan jelas, betapa besar pengaruh teknik terhadap
ekonomi di dalam masyarakat pada zaman teknologi modern ini melalui
produksi industri. Hasil penemuan itu telah mempengaruhi nasib jutaan
pekerja dan konsumen (pemakai). Penemuan itu juga memainkan peranan
penting yang menentukan di dalam soal upah dan harga, yang merupakan
bahan pertengkaran dan perebutan yang sering bersaingan. Selain itu
merupakan bola yang dipermainkan antara berbagai kekuasaan politik.

31
Bnd. F.H. Sianipar, Satu Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), 76
32
Bnd. M. Sastrapratedja, “System Teknokratis; Cenderung Kepada Peningkatan
Kekayaan Ekonomis serta Kekuasaan Politik,” dalam Kompas, 2 September 1980, 1, 9
Dengan ribuan cara teknik di dunia modern ini terjalin dalam hidup dan
nasib negara-negara, bangsa-bangsa, ideologi, sistem budaya masyarakat,
dan lain-lain.
Kadang-kadang para cendikiawan itu sama sekali tidak tahu betapa
besar pengaruh penemuan mereka pada ekonomi dunia, yang telah menjadi
ciri dan mewarnai teknologi modern dewasa ini. Seringkali mereka itu
adalah orang-orang yang naif, hampir tidak mengetahui pentingnya
penemuan di bidang ekonomi. Pendapat-pendapat lainnya seperti Thomas
Alva Edison dan Henry Ford tahu benar betapa pentingnya pendapat
mereka dalam kehidupan manusia dan pentingnya peranan teknologi
terhadap ekonomi dunia, sebaliknya falsafah ekonomi telah mewarnai atau
mempunyai ciri khas perkembangan teknologi modern dewasa ini.
Mengutip Jacques Ellul dalam bukunya yang terkenal The
Technological Society, M. Sastrapratedja menyebutkan, kini teknik telah
menguasai seluruh ekonomi dan kebudayaan. Teknik berkembang menurut
prinsip-prinsipnya sendiri. Otonomi teknik adalah ciri khas teknologi
modern. Dalam situasi ini, timbul masalah-masalah seperti moralitas yang
terancam oleh pertumbuhan teknik, penindasan hak atau nilai-nilai
manusiawi yang semakin diremehkan. Manusia telah dijadikan atau
menjadi budak-budak teknologi akibat jiwa ekonomi yang telah mewarnai
dan menguasai pikiran manusia yang terlibat dalam pengusahaan teknologi
modern dewasa ini. Kuasa, kekayaan, konsentrasi kerja yang diakibatkan
oleh spesialisasi keahlian yang menjadi ciri khas teknologi modern, juga
menuntut adanya konsentrasi pengawasan dan control di bidang ekonomi,
politik, informasi oleh kelompok-kelompok teknologi tersebut. Maka
hubungan teknologi dan ekonomi dunia dewasa ini tidak dapat lagi
disangkal telah mewarnai dan menguasai pengembangan ilmu dan
teknologi, atau dengan kata lain telah menjadi ciri-ciri teknologi modern.
Ciri-ciri dari teknologi modern cenderung terhadap perimbangan
dan pertentangan yang membinasakan, mengakibatkan manusia semakin
terancam bahaya, resah dan putus asa. Dalam peperangan, ilmu dan
teknologi menyebabkan manusia saling meracuni, membunuh dan saling
menjatuhkan. Dapat dikatakan ciri-ciri teknologi pada zaman modern ini, di
samping hakekatnya yang menguntungkan umat manusia, hal itu tidak
dapat disangkal, namun juga dapat membawa pengaruh yang buruk dan
fatal terhadap hidup manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Ada dua
pengaruh positif yang menentukan dalam pengembangan teknologi pada
media komunikasi, misalnya pada televisi masyarakat membutuhkan
hiburan dan informasi, sedangkan pemerintah membutuhkan informasi
untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam mengembangkan kehidupan
bangsa.
Ciri-ciri teknologi modern memuat tiga ciri filsafat sebagai dasarnya
yang bersifat deskriptif, kritik atau analitik, evaluatik atau normatif,
spekulatif, dan sistematik.

Menyeluruh
Artinya, pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan
hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pandangan kefilsafatan
ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang
lain, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan tujuan hidup.

Mendasar
Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang
fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya sehingga dapat
dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya
berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi tembus sampai ke dalamannya.

Spekulatif
Artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi
pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai
dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun
demikian tidak berarti hasil pemikiran kefisafatan itu meragukan, karena
tidak mencapai keselesaian.

TEKNOLOGI SEBAGAI KUNCI KEMAJUAN SEBUAH NEGARA

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung sepenuhnya


kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional untuk
kemandirian bangsa. Hal itu dikemukakan Presiden saat berpidato
memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang dilaksanakan di
Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30 Agustus 2012). “Saat
bangsa Indonesia memperingati satu abad Kebangkitan Nasional pada
2008, kita bertekad menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Jadi,
menurut saya, sangat masuk akal pada abad ke-21 Indonesia bisa menjadi
negara maju. Untuk menuju ke sana kunci perubahannya terletak pada
ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Presiden.
Sebuah keberhasilan teknologi untuk pembangunan ekonomi akan
terlihat pada arah, strategi, dan agenda yang jelas. Tidak hanya merancang
teknologi, tetapi arahnya harus jelas. Agendanya harus jelas sehubungan
dengan untuk apa sebuah penelitian dilakukan. Strategi pun harus
diperhatikan. Jika teknologi itu bertujuan untuk kemajuan negara, maka
harus dirancang untuk kepentingan negara atau dapat diartikan teknologi
yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sinilah letak
tantangan dari sebuah penelitian yang dilakukan, dapat atau tidak
memenuhi tujuan yang esensial tersebut.
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehubungan dengan
sentuhan IPTEK bagi kemajuan Negara Indonesia adalah menekankan pada
kebutuhan masyarakat yang paling banyak, yakni: pangan, energi dan
lingkungan. Untuk sebuah perencanaan IPTEK, setiap negara harus jeli
melihat kebutuhan masyarakatnya supaya pelaksanaan IPTEK dapat sesuai
dengan sasaran dan tujuannya. Menurut Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dari sisi pangan, para ahli pangan harus bisa menjawab
tantangan dalam hal mengecilkan keran import dan membangun ketahanan
pangan dengan sentuhan inovasi dan teknologi. Dalam bidang pangan,
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan teknik mutasi radiasi
dan membuat bibit unggul tanaman pangan tahan hama, produktivitas
tinggi, enak rasanya, dan tahan terhadap perubahan iklim. Dari sisi energi,
Indonesia memiliki sumber daya energi yang cukup banyak, namun belum
dimaksimalkan. Dari sisi lingkungan, yang terkait dengan perubahan iklim,
para ahli mulai memikirkan masalah perubahan iklim. Dari segi transportasi
yang diupayakan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan atau
green tech, seperti hadirnya mobil listrik. BATAN juga tengah meriset
penggunaan teknologi nuklir untuk bidang diagnosis dan terapi panyakit.
Kegiatan masyarakat IPTEK di negara berkembang seperti
Indonesia, mewakili tiga golongan utama, yakni IPTEK untuk peningkatan
produktivitas, IPTEK untuk peningkatan pelayanan umum, IPTEK untuk
perlindungan masyarakat. Keseluruhan aktivitas itu, ditujukan untuk
mendukung tujuh bidang fokus IPTEK, seperti kesehatan dan obat,
pertahanan dan keamanan, teknologi informasi dan komunikasi,
transportasi, pangan, energi, serta material maju. Kesempatan meriset
IPTEK menjadi harapan masyarakat bersama untuk menjadi titik awal bagi
IPTEK untuk membangun bangsa. Jika persoalan atau masalah masyarakat
dapat diatasi dengan IPTEK yang tepat sasaran, maka kepastian akan
kemajuan sebuah negara dapat terwujud. Seluruh lapisan mayarakat dalam
sebuah bangsa selalu mengharapkan dan menginginkan bahwa IPTEK yang
difokuskan adalah IPTEK yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan
masyarakat, sehingga pada akhirnya menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi bangsanya.

TEKNOLOGI INFORMATIKA SEBAGAI TUGAS DAN


TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN

Alkitab sebagai sumber pengetahuan tentang Allah, Firman dan


kehendak-Nya juga sebagai sumber etika kehidupan umat manusia di dalam
mencari, meningkatkan dan mempergunakan hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kesejahteraan hidup manusia. Di dalam Alkitab, manusia
adalah puncak dari segala ciptaan selama enam hari oleh Allah. Manusia
diciptakan segambar dengan Allah, yang diberi mandat sebagai “mandataris
Allah,” untuk mengelola dan menguasai seluruh bumi dan segala yang ada
di atasnya. Manusia diciptakan dengan mencurahkan roh kehidupan atau
menghembuskan nafas kehidupan atau nephesy (Kej 2:7).33 Berarti manusia
diciptakan secara sempurna tiada memiliki kekurangan, penuh hikmat,
pengetahuan, kuasa dan tanggung jawab kebenaran dan akal budi,
pengetahuan yang baik dan jahat.34 Manusia tidak pernah hidup tanpa
pengetahuan. Allah itu bukanlah Allah kegelapan, kebodohan dan
kepasifan, melainkan Allah Sang Pencipta, yang Mahatahu dan Mahakuasa,
yang daripada-Nya manusia beroleh hikmat, kebijaksanaan, dan ilmu
pengetahuan.
Manusia sebagai mandataris Allah juga mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang agung dari Allah, suatu tugas yang meliputi seluruh
dunia (alam semesta). Allah berfirman: “...penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu dan berkuasalah...” (Kej 1:28). Dalam tugas yang agung
ini manusia diperintahkan untuk memenuhi, menundukkan, menguasai dan
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengelola segala yang ada dalam
alam ciptaan Tuhan ini, termasuk tugas dalam perkembangan kebudayaan
manusia dan teknologi. Mandat itu lebih lanjut diuraikan lagi dalam
Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya
dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
Bumi ini memang bukan milik manusia, melainkan milik Allah, dan
Allah menghendaki supaya manusia, atas nama Tuhan, mengolah,

33
Bnd. W. Lamp, Tafsiran Kejadian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964), 78-86
34
Bnd. Ibid., 54-55, 101-105
mengusahakan, dan mengerjakan bumi ini dengan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Maka tugas itu telah dimulai di taman Eden.
Taman Eden adalah awal daripada suatu keadaan alam. Allah telah
berfirman bahwa manusia akan mengusahakan dan mengerjakan bumi yang
dimulai dari Taman Eden. Terlukislah seakan-akan di dalam angan-angan
manusia sepanjang sejarah atas perintah Allah untuk mengusahakan segala
sesuatu, baik mencangkul, membajak, memalu, memarut, hingga pesawat
radar dan mesin elektronik, bahkan juga alat-alat untuk melukis, alat-alat
musik, laboratorium kimia dan lain-lain.
Di dalam Alkitab sangat ditekankan, bahwa tugas itu suatu tugas
yang langsung dari Allah kepada manusia. Hal itu mempunyai arti yang
sangat penting bagi etika Kristen. Barangsiapa menolak bekerja dalam
tugas ini, adalah orang yang melalaikan kewajiban, orang yang mogok
kerja, pembolos atau desersi dari dinas pengabdian kepada Allah, hamba
yang malas, karena menghindarkan diri tugas panggilannya. 35
Allah yang hidup, yang menyatakan diri dalam Alkitab, adalah
Allah yang memberikan tugas dan yang menciptakan manusia dengan mata
yang dapat melihat, otak yang dapat berpikir, tangan yang dapat
membangun, supaya manusia atas nama Tuhan, menaklukkan dunia dan
segala yang ada di dalamnya dengan batas-batas tertentu.
Allah yang dikenal dalam Alkitab adalah Allah yang menjadi
sumber terang dan pengetahuan. Roh Allah menyelidiki perkara Allah yang
dalam, menerangi juga roh dan akal manusia serta segala yang dijanjikan
oleh Allah. Allah telah memberi roh yang dari Allah kepada manusia, sebab
karena roh itulah manusia dapat menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal
yang tersembunyi di dalam diri Allah sendiri (1Kor 2:10). Dalam menggali
ilmu pengetahuan, manusia harus terlebih dahulu meminta bimbingan Roh
Kudus, dengan demikian dapat bekerja sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia memperoleh tugas utuk memeriksa, menyelidiki, dan
mengelola segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini (Pkh 1:13), sebagai
seorang musafir yang berjuang, memperhatikan, meneliti, dan meneruskan
perjalanannya di atas bumi ini.
Di dalam berbagai mitologi kekafiran, kerapkali digambarkan
tentang dewa-dewi yang hendak mencegah supaya pengetahuan dan
pengertian jangan sampai dimiliki manusia. Di antara dewa-dewi yang
hendak mencegah itu kerapkali digambarkan tokoh seorang dewa yang
sangat licik, bahkan lebih licik dari dewa-dewa lainnya dan membuka

35
Bnd. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 20-21
rahasia dewa-dewa kepada manusia.36 Sehingga tidak ada usaha manusia
untuk menyelidiki segala sesuatu untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dengan cara berpikir animistis itu, banyak orang menyerah terhadap alam
(naturalism, fatalism), takut mendekati, menyelidiki, menguasai, apalagi
bertindak untuk berbuat sesuatu bersifat ilmiah. Lalu merelasikan diri dan
berlindung di bawah kekuatan mistik dan magic. Tetapi Allah di dalam
Yesus Kristus bukanlah seperti dewa-dewa itu, yang hendak
meyembunyikan pengetahuan bagi manusia, bukan pula seperti
kepercayaan animisme yang takut mendekati, menyelidiki, menguasai
bumi, sehingga berserah terhadap kehendak alam, melainkan justru hanya
Dia-lah Allah yang memberikan tugas kepada manusia untuk menyelidiki
segala sesuatu dan menguasainya. Di dalam ringkasan Dasa Titah yang
tercantum dalam Matius 22:37, “Kasihilah Tuhan Allahmu; dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu (bnd. Ul
6:5).” Tuhan tidak meminta kepada manusia untuk menon-aktifkan atau
menyisihkan akal budinya, melainkan harus menggunakannya dengan
penyerahan dan ketekunan sepenuhnya. 37
Di dalam tugas itu sangat erat hubungannya dengan hal mengenal
dan mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Di dalam bahasa Ibrani istilah
itu disebut dengan yada (tahu, kenal); dan daath (pengetahuan); epistame
(tahu, mengerti); theorein (nampak, melihat). Sehingga dengan tepat dalam
Alkitab, segala yang berhubungan dengan tahu selalu dihubungkan dengan
mengaku, percaya kepada Allah adalah khalik langit dan bumi. Dalam
perkataan yada selalu tersimpul hubungan yang diketahui atau dikenal,
yakni mengenal Dia dalam segala yang diciptakan-Nya dalam kasih. Itulah
juga yang dimaksudkan dalam Alkitab: “Pengetahuan tanpa kasih tiada
berguna (1Kor 13:2),” bahwa Allah akan mempermalukan akal orang yang
berakal, yang mengumpulkan pengetahuan dan menyelidiki segala sesuatu
tanpa terang kasih Allah (Pkh 1:18).
Dalam penyelidikan itu, manusia seharusnya tidak hanya mengenal
dan mengakui kekuasaan, kekudusan serta murka Allah, tetapi harus
mengenal dan mengakui kemurahan, belas kasihan, dan anugerah Allah. 38
Segala yang diciptakan Allah adalah untuk manusia, untuk dikenal,
diselidiki, dan dipahami oleh manusia dan seluruh karya dan kerajaan Allah
(bnd. Mzm 2). Hal ini berarti di dalam menyelidiki alam atau dunia ini,
penting bidang ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Kristen, baik ilmu

36
Bnd. Ibid., 64
37
Bnd. J. Verkuyl. Etika Kristen dan..., 64-65
38
Bnd. G. Kittle. Theological Dictionary of The New Testament, Vol.1 (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1977), 689-697
pengetahuan yang hasilnya secara langsung dapat dimanfaatkan (applied
science), selain teknologi misalnya: Biologi, Ekonomi, Kimia, Ilmu
Kedokteran, maupun Ilmu Pengetahuan belum secara langsung hasilnya
dapat dimanfaatkan (Indirect applied scince) seperti: Sosiologi, Filosofi,
Antropologi, Etnologi dan sebagainya. Tidak dapat disangkal bahwa
applied scince terutama teknologi hasilnya lebih langsung menyangkut
hidup manusia, bagaimanapun tingkat peradaban manusia itu tanpa
meniadakan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Walaupun manusia banyak mengalami rintangan dan hambatan, ia
tetap memperjuangkan dan memajukannya sesuai dengan kebenaran yang
dilihat, dipelajari dan dipraktekkan, bahkan ada yang bersedia sampai
kehilangan nyawa (mis. Galileo: 1564-1642) hanya mempertahankan
kebenaran ilmu pengetahuan. Ternyata semua ilmu pengetahuan yang
diperolehnya telah dimanfaatkan oleh, dan untuk manusia itu sendiri.
Memang pekerjaan untuk berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, adalah suatu pekerjaan yang berat, sungguh melelahkan dan akan
sia-sia belaka apabila dilaksanakan tanpa terang yang datang dari Allah.
Sehingga bukan berarti untuk menakut-nakuti manusia terhadap ilmu
pengetahuan, melainkan mendorongnya dengan semangat roh dan
kebenaran yang datang dari Allah.
Orang Kristen tidak patut takut, melainkan hendaknya berusaha
memajukan dan mendorong perkembangan ilmu dan teknologi, demikian
pernah dipesankan oleh Max Scheler.39 Tuhan tidak hanya memberi tugas
kepada manusia supaya menyelidiki segala yang ada dan telah dijadikan
oleh Tuhan, tetapi juga tugas manusia supaya mengakui kekhususan tiap-
tiap lapangan, yang penuh dengan corak ragam dan variasi itu. Barangsiapa
tidak memandang ilmu dan teknologi sebagai mandat, tugas dan tanggung
jawab dari Allah di tengah-tengah alam ciptaan “Bengkel Tuhan” di dunia
ini, maka terancamlah dia oleh suatu bahaya, yakni mempermutlak suatu
bidang dan menjadi buta terhadap keanekaragaman dan kekayaan alam
ciptaan Tuhan. Maka manusia dalam menyelidiki ilmu dan teknologi
haruslah berpangkal pada kepercayaan Sang Khalik dengan penuh hikmat,
dan mengakui kekhususan tiap-tiap bidang dari kekayaan alam ciptaan
Tuhan itu. Allah memerintahkan supaya manusia bekerja, berkembang
biak, memenuhi dan menguasai bumi (bnd. Kej 1:22). Selama manusia
hidup, selama itulah dia terpanggil untuk berkerja, mengembangkan dan
meningkatkan bakat atau talenta yang dianugerahkan Tuhan kepadanya,
sesuai dengan firman, hikmat dan kebenaran Allah dalam kejujuran yang

39
Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 66
datang dari Allah, yaitu untuk kebahagiaan manusia dengan cara
membagikan kecerdasan kepada yang muda, dan kebutuhan kepada yang
tidak berkecukupan (bnd. Ams 1:1-14).
Dalam situasi perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat dewasa
ini, nampak banyak perubahan yang menonjol di kalangan masyarakat,
terutama bila ditinjau dari tingkah laku manusia, di mana seharusnya orang
Kristen tidak boleh berdiam diri, melainkan harus bersuara dan mengambil
peran untuk menempatkan diri dalam melakukan tugas kesaksiannya.
Manusia harus membuka hati kepada suara Tuhan, bukan kepada suara Iblis
dengan kerakusan dan egoisme serta kebenciannya, termasuk di bidang
teknologi. Karena itu dalam kemajuan teknologi dunia sekarang ini,
manusia dituntut untuk belajar keras bergumul dan bersaksi, berjuang dan
bekerja keras, untuk menyatakan kerajaan Allah di dunia ini. Sebagai orang
Kristen di mana pun berada dan bekerja, orang Kristen wajib bertanggung
jawab, mengabdi di dalam kesungguhan dan keberanian untuk
menghancurkan kekuasaan Setan (bnd. 1Yoh 3:8; Kol 1:13). Akibat
perkembangan dunia yang sungguh telah pesat itu, manusia juga harus
memiliki keseimbangan rohani dan jasmani. Peranan orang Kristen semakin
penting, untuk saling membangun maupun bekerja, guna membangun
manusia seutuhnya melalui keseimbangan, keserasian, keselarasan material
dan spiritual dalam memelihara perdamaian dan ketertiban dunia.
Sebagaimana D.H Assegaff mengemukakan, bahwa kemajuan teknologi
dan pengaruhnya terhadap dunia sekarang merupakan kenyataan yang tidak
bisa dihindari dan ditolak, sehingga manusia harus turut berpatisipasi,
mengarahkan, menguasai dan memanfaatkan sesuai dengan kehendak
Tuhan dan kesejahteraan umat manusia.
Untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam menunaikan
tugas usaha pengembangan ilmu dan teknologi, baik bagi para teknokrat,
maupun usahawan, buruh, pemerintah dan juga orang-orang yang turut
ambil bagian dalam ilmu dan teknologi, harus selalu mengingat syarat
pokok keagamaan dan kesusilaan yang dituntut oleh Tuhan dari manusia
dalam mengusahakan dan mengembangkan ilmu dan teknologi itu, antara
lain sebagai berikut.

Sikap Taat dan Tunduk Kepada Tuhan


Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Ams 1:7a).
Dalam Alkitab terjemahan Moffat ayat yang termasyur ini, diterjemahkan:
Reverence for eternal is the first thing in knowledge (Hikmat/Hormat
kepada yang kekal adalah hal yang pertama di dalam segala pengetahuan).
Dalam bahasa Ibrani Choknia dan daath berarti: Ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan yang praktis. Menurut penggubah Amsal ini bahwa titik
pangkal yang pertama (The first thing) pada waktu menginjak lapangan
penyelidikan ilmu pengetahuan ialah irad Yahwe (hikmat yang terhikmat
/hormat kepada Tuhan). Dalam Alkitab Perjanjian Baru hal itu berarti:
bersembah sujud terhadap kemuliaan Allah yang hidup, yang di dalam
Yesus Kristus menyatakan diri sebagai Khalik, Pendamai dan Juruselamat
dunia.
Irad Yahwe ialah: dengan hikmat mendengar sabda-Nya dan
mengarahkan diri kepada kehendak-Nya, sesuai dengan tugas dan
panggilan manusia dalam pemanfaatan, penyelidikan dan pengembangan
ilmu dan teknologi, agar tidak terjerumus kepada kebinasaan yang
menyesatkan, kesia-siaan, ketidak-bergunaan dan kecongkakan rohani.40
Allah bukanlah hipotesa dari segala hipotesa, Dia adalah pokok
pangkal segala ilmu dan pengetahuan. Dengan cahaya yang memancar dari
pada-Nya barulah manusia dapat melihat cahaya yang menerangi segala
lapangan ilmu pengetahuan (bnd. Mzm 36:10). Maka hendaknya dicamkan,
The first thing bukanlah kepandaian dan ketangkasan, kecakapan dan
keahlian, tetapi The first thing yang pertama dan terutama ialah hormat
kepada Allah, Yesus Kristus Tuhan kita.

Sikap Jujur, Adil dan Benar


Jangan mengucapkan saksi dusta (Kel 20:16a), yang penting di
dalam ilmu dan teknologi ialah mengucapkan atau memberi kesaksian.
Seorang ilmuwan dapat mengabdikan diri kepada kebohongan, yang
memutarbalikkan dan memalsukan kebenaran. Sungguh tidak benar, bahwa
ilmu dan teknologi di mana kebenaran, keadilan dan kejujuran dilayani
dengan sendirinya. Seorang ilmuwan harus secara jujur dan benar, bahwa
dia tidak mampu memecahkan soal-soal yang terdalam daripada hidup, asal
mula, tujuan dan akhir dari segala penemuan di dunia ini. Dengan sungguh-
sungguh Tuhan memberi tugas dan tanggung jawab kepada manusia, baik
dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Belilah kebenaran dan jangan
menjualnya, demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian (Ams
23:23), maka teknologi perlu dikembangkan asal nilai kejujuran, keadilan,
kebenaran dan kualitas lingkungan dipertahankan.41

40
Bnd. G.A. Batrick, The Interpretar’s Bible, Vol. IV (New York: 1955), 784-785
41
Bnd. M. Sastrapratedja. Op.Cit, 1, 4
Sikap Rendah Hati dan Menyembah Pencipta
Syarat keagamaan dan kesusilaan yang perlu dipertahankan dalam
bidang ilmu dan teknologi ialah rendah hati, dan tidak sombong. Karena
tidak ada lapangan kegiatan manusia yang lebih mudah diperalat oleh
manusia dengan hybris (kesombongan) seperti pada lapangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal setiap manusia yang berusaha dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus secara sadar dan mengakui
secara jujur dan rendah hati, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
dapat memecahkan soal-soal yang terdalam dari Allah. Dari diri sendiri,
ilmu pengetahuan dan orang berusaha di lapangan itu tidak dapat menjawab
pertanaan: Darimana, sebab apa dan untuk apa ilmu pengetahuan dan
teknologi itu dikembangkan? Karena baik ilmu dan teknologi serta orang
yang berkecimpung di lapangan tersebut, semuanya berasal dan atas kuasa
Tuhan.
Untuk itu para teknokrat dan yang berkecimpung di dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, wajib juga untuk tetap berdoa, meminta
bimbingan dari Tuhan, agar di dalam usaha dan perjuangannya tidak
mengarah kepada kesombongan dan kecongkakan hati, melainkan untuk
sembah puji bagi Allah. Karena tak dapat disangkal banyak orang yang
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpangkal
pada kepercayaan kepada Tuhan, telah membuat ruangan kerjanya atau
laboratorium mereka menjadi ruangan untuk berdoa, di mana tak lupa untuk
memohon pengampunan dan sembah puji kepada Tuhan. Karena itu
tetaplah: Ilmu pengetahuan dan teknologi jika dimulai dengan Allah,
berjalan terus dengan ketaatan kepada Allah, rendah hati, jujur, adil dan
benar, ketekunan dalam doa, yang semuanya dirangkum dalam kasih. Maka
tidak boleh tidak semuanya akan membawa berkat kepada manusia, dan
yang berakhir pada sembah puji kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang
layak dipuji untuk selama-lamanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bersejarah (histories) dianggap sebagai bagian
kesinambungan dan terjemahan penjabaran inti Creation Dei dari dunia ini,
yang sekaligus sebagai tugas dan tanggung jawab orang Kristen atau
manusia dari Allah.
ALIRAN KEBATINAN DI PULAU JAWA DAN
PENDEKATAN IMAN KRISTEN

CECILIA ILONA

PENDAHULUAN

Sejak dahulu mistik mewarnai kebudayaan dan sikap hidup orang


Jawa. Antara keadaan masyarakat yang konkrit dan pandangan hidup yang
bersifat magis-mistis terdapat pertautan yang jelas.
Namun merupakan suatu hal yang menarik perhatian bahwa gejala
mistik mulai tumbuh lagi secara pesat bertepatan dengan sejarah Republik
Indonesia. Seluruh Pulau Jawa diliputi suasana mistik yang merangkum
semua kelompok penduduk, dari tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang
beraneka ragam. Secara mengejutkan Phil Parshall, seorang pakar agama
Islam mengatakan: “bahkan saat ini ada denominasi-denominasi Nasrani
yang seluruh bentuk ibadahnya, baik sumber maupun manisfestasinya
bernuansa mistik.”1
Suasana mistik ini mencapai kristalisasinya dalam macam-macam
aliran kebatinan yang tersebar di mana-mana. Di antara mereka, yang
mempunyai jumlah pengikut yang besar terutama di Pulau Jawa adalah
Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), sedangkan Sapta Dharma (yang
berarti 'tujuh kewajiban') dan Subud (Susila Budi Dharma) yang
menganggap sebagai kewajiban mereka untuk menyembuhkan orang
melalui praktik penyerahan secara mistik dan doa, lebih bersifat nasional,
bahkan menurut Dr. S. De Jong, Subud terdapat sampai di Amerika dan
Eropa.2
Lima aliran kebatinan besar yang terkenal di Pulau Jawa, yaitu:
Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya
berkembang di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dari
Surakarta, Paguyuban Sumarah dan Sapta dari Jogyakarta.

Hardapusara

1
Phil Parshall, Bridges to Islam: A Christian Perspective on Folk Islam (untuk
kalangan sendiri), 16
2
S. De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogjakarta: Yayasan
Kanisius, 1976), 11
Hardapusara adalah yang tertua di antara kelima gerakan yang
terbesar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra,
seorang petani desa Kemanukan dekat Purworejo. Ia konon mendapatkan
ilmu dari menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula yang disebut
kawruh kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula-mula adalah seorang
priyayi dari Purworejo dan beberapa kota lain di daerah Bagelan.
Organisasi ini dahulu pernah berkembang dan mempunyai cabang-
cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Jakarta.
Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberapa ribu orang. Ajaran-
ajarannya termaktub dalam dua buah buku yang oleh para pengikutnya
sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.

Susila Budi (SUBUD)


Susila Budi didirikan pada tahun 1925 di Semarang, sekarang
berpusat di Jakarta. Budaya ini tidak mau disebut budaya kebatinan,
melainkan menamakan dirinya “pusat latihan kejiwaan.” Anggota-
anggotanya berjumlah beberapa ribu dan tersebar di berbagai kota di
seluruh Indonesia dan mempunyai 87 cabang di luar negeri. Banyak dari
para pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia dan Amerika.
Doktrin organisasi ini dimuat dalam buku berjudul Susila Budhi Dharma;
kecuali itu gerakan tersebut juga menerbitkan majalah berkala berjudul
Pewarta Kejiwaan Subud.

Paguyuban Ngesti Tunggal


Paguyuban Ngesti Tunggal atau lebih terkenal dengan nama
Pangestu adalah sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya.
Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933
mengakui menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat,
dan kemudian diterbitkan menjadi buku Sasangka Djati. Pangestu, didirikan
di Surakarta pada bulan Mei 1949, dan anggota-anggotanya yang kini sudah
berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak kota di Jawa, terutama berasal
dari kalangan priyayi. Namun banyak anggota berasal dari daerah pedesaan
yang tinggal di pemukiman transmigrasi di Pulau Sumatera dan
Kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu, Dwijawara,
merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.
Paguyuban Sumarah
Paguyuban Sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai
sebagai suatu gerakan kecil di bawah pimpinan R. Ng. Sukirno Hartono
dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada akhir
tahun 1940-an gerakan tersebut mulai mundur, namun berkembang kembali
tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai
115.000 orang, baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-
kelas masyarakat lain.

Sapta Darma
Sapta Darma merupakan yang termuda dari kelima gerakan
kebatinan yang terbesar di Jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama
Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri
Gutomo. Ia berasal dari desa Keplakan dekat Pare, Jawa Timur. Berbeda
dengan keempat organisasi yang lain, Sapta Darma beranggotakan orang-
orang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di
kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semuanya
priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah Kitab Pewarah Sapta Darma.
Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di Pulau Jawa, namun
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan
tempat di mana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang
terpenting. Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan di sana; lima di
antaranya dengan anggota sebanyak antara 30-70 orang, tetapi ada satu
yang anggotanya sekitar 500 orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya
adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat di kota-kota lain
seperti Jakarta, Yogjakarta, Madiun, Kediri dan sebagainya.3

ASAL MULA DAN TUJUAN KEBATINAN

Kata kebatinan berasal dari kata Arab batin yang berarti: bagian
dalam, dalam hati, tersembunyi dan terahasia. Kebatinan Jawa seperti yang
diajarkan dan dipraktikkan oleh orang Jawa, merupakan pengolahan
terhadap bahan kebatinan yang datang dari luar Jawa yaitu kekayaan-
kekayaan rohani di dalam agama Siwa dan Buddha yang dibawa oleh

3
Jong, Salah Satu Sikap..., 10-12
bangsa India serta agama Islam yang mendapat pengikut di Pulau Jawa
pada abad ke 15 Masehi.
Agama Islam yang datang di Indonesia ini dibawa oleh para
pedagang dari Gujarat sehingga agama itu sudah dipengaruhi oleh aliran
kebatinan di India. Hanya ada dua buku Islam yang berasal dari abad ke-16
M, yaitu:
Pertama, Een Javaansch Geschrift uit de 16de eeuw (sebuah
kesusasteraan Jawa abad ke-16 yang membicarakan tujuan tertinggi dari
kebatinan, yaitu kesatuan dengan Allah, yang juga dihubungkan dengan
cara hidup etis. Diajarkan di sini bahwa ada tiga pangkat hidup keagamaan
yaitu syari’a, tariqa dan haqiqa. Mengenai arti dari ketiga istilah ini akan
dijelaskan dalam bagian lain dari tulisan ini.
Kedua, Het Boek van Bonang (Buku Bonang) yang antara lain
mengajarkan bahwa Allah adalah esa, tanpa ada yang menyamainya.
Ajaran kebatinan Islam yang demikian itu dipertahankan oleh orang
Jawa sampai berabad-abad lamanya. Hal ini mungkin sekali disebabkan
oleh karakteristik orang Jawa yang mempunyai kesadaran kebudayaan yang
besar (cultural self-consciousness), bahkan menurut Anderson, toleransi
orang Jawa yang terkenal itu sebenarnya didasari oleh kebanggaan akan
kesadaran kebudayaan ini, sehingga hampir segala sesuatu ditolerir, asalkan
dapat dijelaskan atau disesuaikan dengan sikap hidup orang Jawa.4
Pada abad ke 19 terdapat dua buah buku pula yaitu Serat Wirid dan
Serat Centini yang mengungkapkan gagasan mengenai kebatinan Jawa.
Rangkuman dari pengajaran tersebut adalah:
Pertama, Allah sebagai Zat yang Mutlak, di dalam keadaannya yang
semula adalah kosong yaitu kosong yang sejati, yang keadaannya pasti
(tidak berubah), tidak dijadikan, tak berawal dan tak berakhir. Penguraian
tentang Allah ini lebih mendekati ajaran agama Buddha tentang sunyata.
Kedua, Allah sebagai Zat yang Mutlak berdiam di dalam diri
manusia, yaitu di bagian terdalam dari manusia, yang disebut atma, sejajar
dengan atman di dalam agama Hindu.
Ketiga, sebagai Zat Mutlak, segala sesuatu mengalir ke luar dari
pada-Nya, jadi proses penjadian manusia dipandang sebagai emanasi dari
sumbernya yaitu Zat Tuhan. Ajaran ini seperti ajaran Srti dalam agama
Hindu, bahwa dari Brahma sebagai sumber, mengalir segala sesuatu.
Keempat, manusia sempurna adalah manusia yang sadar akan
keadaannya yang sebenarnya, manusia yang kenal akan asal-usulnya dan

4
Niels Mulder, Mysticism & Everyday Life in Contemporary Java (Singapore:
University Press, 1983), 11
tujuan hidupnya, manusia yang telah mengalami kesatuan zat dengan Allah,
yang dengannya ia dapat mempersatukan pada dirinya segala kuasa di
dunia yang tampak dan yang tidak tampak. Hasilnya ialah bahwa manusia
mendapatkan kekuatan gaib yang adikodrati (supernatural), yang
dengannya ia dapat melakukan hal-hal yang melebihi orang biasa. Tak ada
senjata yang dapat melukainya, ia dapat menyembuhkan orang sakit, dapat
berhubungan dengan roh dan sebagainya. Segala sesuatu mungkin baginya,
sebab segala sesuatu ditaklukkan kepadanya. Manusia sempurna memiliki
juga sifat Allah.
Penulis teringat bahwa pernah seseorang yang mempelajari
kebatinan mengatakan: “segala sesuatu berpangkal pada batin. Kalau kita
terus menerus di dalam batin menghendaki sesuatu secara sungguh-
sungguh, bahkan misalnya menghendaki kematian seseorang, maka dengan
kekuatan batin kita, keinginan itu dapat terpenuhi.”
Selanjutnya ajaran ini juga mengemukakan bahwa manusia
sempurna sanggup pula menggulung keadaannya sendiri, dengan tujuan
untuk dikembalikan kepada asalnya, yaitu pada saat ia meninggalkan dunia
ini. Ia adalah Juruselamat-nya sendiri, sekalipun ia tak bisa menyelamatkan
manusia lain.
Kelima, jika manusia sempurna sudah kembali kepada asalnya, ia
menjadi sama dengan Allah, yaitu menjadi meliputi serta menyelami segala
sesuatu yang dijelmakan.
Perlu diketahui bahwa para murid yang mempelajari ilmu kebatinan
selalu harus mengucapkan lafal atau dalil yang pada hakekatnya adalah
mantera-mantera, yang jika diucapkan dengan benar menjadi daya
kekuasaan atau kuasa yang bekerja secara tersembunyi, yang bisa
menghasilkan apa yang dikehendaki.
Mereka juga harus menjalankan latihan pernapasan yang tidak
mudah pelaksanaannya, tetapi ada instruksi mengenai cara melakukannya.
Latihan pernapasan ini merupakan dasar untuk meditasi dan di dalam
meditasi inilah mereka menerima kuasa-kuasa yang besar itu. Latihan
pernapasan ini mengingatkan kepada ajaran agama Hindu dan Buddha, di
mana latihan pernapasan juga berperanan penting.

PENGAJARAN DAN PERKEMBANGAN ALIRAN KEBATINAN


Menurut Sumantri Mertodipuro, “Kebatinan adalah cara ala
Indonesia mendapatkan kebahagiaan...” 5 Rakyat Indonesia yang mengalami

5
Mulder, Mysticism & Everyday Life..., 20
penindasan yang pahit pada zaman penjajahan, diberi harapan baru akan
suatu hidup yang lebih baik, sesudah kemerdekaan mereka diproklamirkan
pada tahun 1945. Akan tetapi yang mereka lihat justru kemerosotan moral
yang mengecewakan, dan agama-agama yang ada pada waktu itu, baik
Kristen, Katolik, Islam dan lain-lainnya tidak membuktikan menjadi suatu
benteng kekuatan moral.
Padahal bangsa Indonesia sedang mencari azas hidup yang baru
sebagai landasan untuk membangun struktur kehidupan manusia Indonesia.
Maka timbullah bermacam-macam aliran kebatinan yang selalu menyebut
sebagai tujuannya: untuk menyumbangkan usaha bagi pembangunan negara
dengan mengajukan budi luhur. Hal ini ditegaskan oleh Badan Kongres
Kebatinan Indonesia yang mengemukakan sebagai azas dan tujuannya:
“B.K.K.I. berazaskan KeTuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
berdasarkan pedoman: Menunaikan kewajiban, menjauhkan kepentingan
diri sendiri, untuk kebahagiaan sesama (sepi ing pamrih – rame ing gawe
untuk memayu hayuning bawono) dengan tujuan:
Pertama, membuka jalan Kesunyatan yang menuju ke arah
kesempurnaan dan kebahagiaan hidup lahir batin.
Kedua, dengan rasa cinta kasih hidup damai bergotong-royong
dengan segala golongan, tidak memandang Bangsa, Aliran, Agama
dan/atau Kepercayaan.
Ketiga, untuk kesejahteraan umat manusia, membangkitkan budi
pekerti luhur dan membangunkan jiwa yang suci murni, agar supaya
dengan memakai dasar kebatinan di segala lapangan tercapailah
kesempurnaan.”6
B.K.K.I. juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki
antara agama dan kebatinan. Agama menekankan upacara, sedangkan
kebatinan menekankan pengalaman batin dan kesempurnaan manusia, oleh
karenanya mereka menginginkan agar aliran-aliran kepercayaan/kebatinan
diakui dan mendapat status seperti agama resmi, sebagaimana agama Islam
dan Kristen.
Para ahli kebatinan berpendapat bahwa Allah ada di hati manusia,
dan hidup seharusnya merupakan doa yang tak henti-hentinya kepada yang
Mahakuasa. Jadi mereka tidak merasakan adanya suatu keperluan untuk
berdoa kepada Allah lima kali sehari maupun untuk berdoa di Gereja.
Demikian pula mereka tidak mengerti mengapa doa-doa itu harus
dikumandangkan melalui pengeras suara di mesjid-mesjid. Bagi mereka,
Allah bukannya hakim yang jauh yang tak dapat didekati, justru sebaliknya

6
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 9
Allah lebih dekat kepada manusia dari pada segala sesuatu yang lain,
karena manusia pada hakekatnya adalah bagian dari Yang Kudus.
Jadi, di sini kita dapat melihat bahwa ajaran Kebatinan itu
mempunyai sifat antroposentris, segalanya berkisar pada manusia. Manusia
terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah. Bagian batiniah ialah rohnya,
sukma atau pribadinya, dan bagian inilah yang mempunyai tabiat ilahi
karena keluar dari pada-Nya sebagai bayangan Tuhan. Bagian lahiriah dari
diri manusia ialah badannya dengan segala hawa nafsu. Badan inilah
merupakan wilayah kerajaan rohnya. Itulah dunia kecil atau jagad cilik
yang harus dikuasainya.
Bila manusia dapat menguasai dunia kecil ini, yakni dirinya sendiri,
maka dia telah menjadi seorang ksatrya pinandita, seorang raja pahlawan
merangkap pendeta, seorang pujangga yang maklum akan hal-hal rahasia.
Dalam dirinya telah tercapai kesatuan: seperti batinnya mempunyai asal-
usul ilahi, demikian pun badannya mengalami proses spiritualisasi,
berkembang menjadi rohani.
Manusia yang telah berkembang secara mental, dapat membebaskan
diri dari mencari keuntungan sendiri dan akan bekerja dengan sepi ing
pamrih, ambisi pribadi harus diatasi. Karena sikap hidupnya yang keras,
tanpa mencari keuntungan, manusia itu memajukan dunia, jagad gedhe.

CARA MEMPRAKTIKKAN KEBATINAN

Pertemuan kebatinan biasanya diadakan dalam kelompok yang


berjumlah 5-50 peserta dengan seorang guru. Perlu diperhatikan bahwa
para peserta ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan para
pemeluk agama Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain juga ada.
Pertemuan dibuka dengan “sujud pengheningan” yaitu latihan sujud
untuk memperoleh kejernihan dalam pikiran dan konsentrasi. Kemudian
sang guru berbicara mengenai makna hidup sesuai dengan pandangannya.
Sementara sujud, batin dapat secara intuisi merasakan kehadiran
Allah. Latihan sujud ini berbeda bentuk dan isinya, tergantung pada aliran
kebatinan yang dianut dan guru yang memimpin. Ada yang bersujud
tersungkur sambil berkonsentrasi pada rasa, atau zikir, atau ada juga yang
berdoa secara berdiam diri dan lain-lain.
Pada dasarnya praktik kebatinan adalah usaha individu, yaitu
menginginkan kesatuan dengan asalnya, mengharapkan akan mengalami
pembukaan rahasia dari ke-ada-an dan kelepasan dari segala ikatan dunia.
Niels Mulder mengutip Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa
praktik kebatinan merupakan suatu pengunduran diri dari kesulitan hidup
sehari-hari ke dalam dunia mimpi dan pengalaman-pengalaman batin serta
kerinduan akan masa lampau.7
Dalam mengejar cita-cita ini, seringkali lakon dari cerita wayang
menjadi petunjuk, seperti misalnya ketika Bima (salah seorang dari
Pendawa-lima dalam epik Mahabarata) melakukan perjalanan yang jauh
dan berbahaya untuk mendapatkan air, hal ini dipandang sebagai gambaran
dari perjalanan mistik yang harus ditempuh manusia untuk membawanya
pada pengertian dan wahyu dari “Hakiki Yang Tertinggi (The Highest
Essence).” Perjalanan mistik ini dilaksanakan dalam 4 tingkat, bergerak
dari bagian luar ke bagian dalam, yaitu:
Saréngat : menghormati dan hidup menurut peraturan agama.
Tarékat : persiapan untuk bertemu Allah dalam batin yang terdalam.
Hakékat : konfrontasi dengan kebenaran. Doa yang teratur tidak lagi
memiliki makna yang khusus sebab hidup dan tingkah laku
menjadi doa yang permanen kepada Allah.
Mahrifat : tujuan akan kesatuan yang abadi antara hamba dan tuan telah
tercapai.
Untuk menempuh perjalanan mistik ini, dibutuhkan kerajinan yang
besar dan paham yang kuat akan maksud dan tujuan, bahkan tidak jarang
seseorang harus mengatasi aspek lahirnya dengan bertapa, seperti misalnya
puasa, meditasi, pantang seks, bergadang, kumkum ( = membenamkan diri
berjam-jam lamanya dalam sungai pada malam hari di tempat keramat),
atau mengundurkan diri ke gunung-gunung dan gua-gua. Tapa ini,
sekalipun seringkali disamakan dengan semedi, sebenarnya berbeda.
Semedi ialah persiapan diri dengan cara latihan penyucian supaya menjadi
peka terhadap komunikasi dengan kuasa-kuasa yang lebih tinggi.
Dengan tapa dan semedi, orang dapat menembus dunia dan
memperoleh kuasa dan ilham dari para penguasa yang lebih tinggi; selain
itu dia juga dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk dunia yang lebih
rendah seperti jiwa para nenek moyang, para pahlawan ceritera wayang,
malaikat dan Iblis, dewa-dewa dan sebagainya.8
Dapat dimengerti bahwa perjalanan mistik ini cukup berbahaya
karena ada kemungkinan orang dikuasai oleh roh jahat, menjadi gila atau
tersesat. Maka biasanya orang-orang tidak mau melibatkan diri dalam usia

7
Mulder, Mysticism & Everyday Life..., 11
8
Ini adalah animisme yang diintegrasikan ke dalam sistem meditasi gaya Budha
terlalu muda di mana mereka belum sanggup menguasai disiplin atas tubuh
dan jiwa serta dianjurkan pula bahwa mereka menggabungkan diri pada
seorang guru.
Guru ini berfungsi sebagai perantara antara pengikutnya dan kuasa-
kuasa misterius, antara roh-roh dan Allah. Segala nasihat para guru diterima
sebagai ‘sabda pandita ratu’ (words of a wise king). Guru tidak pernah
boleh meminta upah atas pelayanannya, dia harus mencari sendiri nafkah
hidupnya, tetapi para pengikutnya boleh memberi makanan, rokok, pusaka,
sekedar menunjukkan rasa hormat pada sang guru.

KEBATINAN DAN AGAMA KRISTEN

Semua agama resmi di Indonesia bukanlah agama asli penduduk


Indonesia, melainkan diimpor dari luar. Agama dipandang sebagai sarana
yang memanusiakan masyarakat Indonesia sehingga agama merupakan
bagian integral dalam pembangunan, oleh karena itu agama-agama yang
diakui dengan resmi secara prinsipiil dijamin kebebasan menjalankan
aktivitasnya. Bagi aliran-aliran kebatinan, mereka diawasi oleh badan yang
disebut PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat), karena
dikhawatirkan menjurus ke klenik, suatu praktik ilmu hitam.
Agama Kristen merupakan agama yang relatif muda, baru
memasuki Pulau Jawa pada pertengahan abad ke-19 melalui Zending dari
Gereja Hervormd dan Gereformeerd serta pengiriman beberapa pastor
Gereja Katolik tidak lama sesudah itu. Jadi, kebanyakan kesusasteraan Jawa
belum terpengaruh oleh agama Kristen. Yang memperlihatkan pengaruh
agama Kristen adalah tulisan Ranggawarsita (1803-1873), yang
mengintegrasikan iman kristiani dengan alam pikiran Jawa. Menurut
pandangannya agama Kristen menitikberatkan roh, budi, sebuah ilmu yang
melepaskan diri dari dunia, manusia meninggalkan dunia secara sempurna.
Sayangnya menurut lukisan Ranggawarsita ini agama Kristen tidak
memberikan pandangan baru terhadap dunia. Kesempurnaan agama Kristen
lebih menyangkut saat kematian daripada saat sebelum kematian, yaitu saat
hidup di dunia ini.
Semangat Kristen yang sejati tidak terungkap dalam sastra Jawa.
Agama Kristen hanya dipandang sebagai suatu bentuk baru mengenai
pengetahuan mistik.
Tradisi Jawa yang telah berakar berabad-abad lamanya tidak begitu
mudah dilepaskan dari orang Kristen-Jawa dan mereka akan memberikan
tekanan selalu pada hidup kebatinan, cara hidup dan cara berpikirnya tidak
berbeda dengan orang Jawa biasa, “rila–narima–sabar.”
Doa dan latihan rohani merupakan praktik kuno seperti heneng–
hening. Aspek netepi kewajiban (memenuhi kewajiban), dihayati dalam
agama Kristen dengan menonjolkan harus ini, harus itu.
Demikian juga pendapat dari salah satu aliran kebatinan yang paling
banyak pengikutnya di Jawa yaitu Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal,
yang berarti Perkumpulan mereka yang mencari Yang Tunggal; yaitu
mencari kesatuan baik dengan golongan-golongan lain dalam masyarakat
maupun kesatuan dengan Tuhan).
Sikap hidup Pangestu ialah distansi (mengambil jarak) terhadap
dunia sekitarnya, baik dalam aspek materiil maupun spirituil dengan rela
(rila) menyerahkan segala miliknya, menerima (narima) segala sesuatu
yang menimpa dirinya dan bersikap sabar dalam hidup.

PENDEKATAN IMAN KRISTEN

Pertama, mistik Jawa bersifat antroposentris seperti sudah di


jelaskan di depan. Manusia-lah yang merupakan pusat, titik pangkal segala-
galanya. Pemikiran inilah yang menghasilkan semboyan amemayu ayuning
bawono, manusia merupakan hiasan bagi alam raya. Tetapi Injil
mengajarkan bahwa pusat segala-galanya bukan manusia, melainkan
Kristus. Baik manusia maupun dunia tidak mempunyai arti maupun hari
depan, tanpa Kristus. Kristus yang telah bangkit merupakan pusat
kehidupan orang Kristen dan mengakibatkan suatu sikap hidup yang baru.
Manusia menjadi lebih rendah hati.
Kedua, mengenai penjadian manusia, Alkitab mengajarkan bahwa
manusia bukanlah tokoh yang ada karena dirinya sendiri, melainkan
makhluk yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Manusia bukan mengalir ke luar
dari Allah, hakikat manusia berlainan sekali dari pada hakikat Allah.
Manusia yang dijadikan dari debu tanah terbatas hidupnya, dapat rusak.
Selain itu segi batin dari manusia bukannya bertentangan dengan segi yang
lahir. Lahir dan batin, badan dan jiwa, sama pentingnya. Jiwa bukanlah
bagian manusia yang lebih suci dari pada tubuh.
Manusia dijadikan segambar dan serupa dengan Allah, berarti
bahwa manusia dipanggil untuk mencerminkan hidup ilahi dalam hidupnya
sehari-hari.
Jadi, ungkapan 'segambar dengan Allah' bukan berarti bahwa
manusia adalah bayangan atau sinar cahaya Allah yang keluar dari Allah
dan yang akan kembali lagi kepada Allah seperti air kembali ke laut. Lagi
pula Alkitab tidak menyanjung manusia dengan menjadikannya setara
dengan Tuhan Allah. Hanya Yesus Kristus sebagai Anak Allah, adalah
gambar Allah yang sempurna, Dialah pengejawantahan dari “Allah yang
tidak kelihatan.”
Ketiga, dengan pekerjaan penyelamatan-Nya, Kristus
mengungkapkan keadaan Allah itu. Dari hidup Yesus Kristus kita dapat
mengetahui bagaimana mulianya Allah itu dan dari hidup-Nya pula kita
memperoleh teladan bagaimana menjalankan cara hidup yang sesuai
dengan kehendak Allah.
Sekalipun Kristus hidup dalam hati kita, Dia tetap merupakan
identitas yang berbeda. Dia tidak terserap dan lenyap dalam ciptaannya,
begitu pula kita tidak menjadi saleh karena kehadirannya bersama kita.
Secara logis, sebagai Sang Pencipta dia sempurna tanpa Ciptaan-Nya, dan
Dia tetap sempurna sesudah tindakan penciptaan-Nya. Dia mencipta ex
nihilo, bukan dari Diri-Nya sendiri.
Menurut S. De Jong, yang diusahakan mistik Jawa ialah kebersatuan
dengan Allah, tetapi Alkitab mengajarkan bahwa yang dikehendaki Tuhan
adalah kebersamaan. Kebersatuan kita dengan Allah adalah hal relasi,
bukan penggabungan dua pribadi menjadi satu seperti dalam pernikahan. 9
Keempat, aliran Kebatinan mengajarkan bahwa kelepasan manusia
adalah persekutuan antara jiwa sebagai inti manusia dengan Tuhan. Untuk
mencapai persekutuan itu manusia harus mengenal diri sendiri terlebih
dahulu. Ia harus tahu bahwa ia berasal dari Allah, kemudian ia menyadari
bahwa untuk membebaskan diri dari permainan hawa nafsunya ia harus
mengubah jurusan hidupnya, yaitu tidak lagi mengarahkannya ke luar tetapi
ke dalam. Akunya yang rendah harus diselamkan dari bagian hidupnya
yang sadar ke dalam bagian hidupnya yang tidak sadar. Di situlah ia akan
bertemu dengan intisari hidupnya dan bersekutu dengan Yang Mutlak. Jadi,
akan terjadi peleburan hamba dan Tuhan.
Sebaliknya Alkitab mengajarkan bahwa jalan kelepasan itu tidak
dapat diusahakan oleh manusia sendiri, melainkan hanya tersedia melalui
diri Kristus. Manusia tinggal menerimanya dengan iman. Dengan iman
bukan berarti menyelam ke daerah bawah sadar, tetapi mengarahkan mata
rohani senantiasa pada Tuhan Allah.
Hidup di dalam iman adalah hidup di dalam pertobatan, dari hidup
membelakangi Tuhan menjadi menghadapi-Nya, dari cara hidup lama ke
cara hidup baru. Hidup yang baru ini dalam Kolose 3:12-16 dijelaskan

9
De Jong, Salah Satu Sikap..., 11
sebagai: mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-
lembutan, kesabaran dan sebagainya.
Jadi, menurut arti Kristiani, rila, narima dan sabar bukannya
meninggalkan dunia atau menjauhi dunia melainkan percaya pada
bimbingan Tuhan di tengah-tengah dunia ini, dan juga dalam kehidupan
pribadi. Inilah persekutuan dengan Allah. Di dalam persekutuan dengan
Allah, manusia bukannya dilarutkan dalam zat Allah, tidak terjadi
peleburan hamba dan Tuhan, sebab manusia tetap manusia dan Tuhan tetap
Tuhan. Perlu diingat bahaya didatangi dan dirasuki roh-roh jahat jika
seseorang membuka diri terhadap dunia roh tanpa perlindungan dari Roh
Kudus.
Baik dalam mencari kelepasan, ketenangan ataupun makna hidup,
semuanya dapat tercapai melalui Yesus Kristus karena Dia mengatakan:
“Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).

PENUTUP

Aliran kebatinan yang hanya menekankan soal persekutuan batin


dengan Tuhan, menjadi tantangan bagi kita, orang Kristen. Kita sebaiknya
berdialog dan menunjukkan kepada mereka bahwa persekutuan dengan
Tuhan ini terjadi apabila kita berada dalam Kristus, dan bahwa berbakti
kepada Tuhan tidak dapat hanya ditekankan pada segi batin saja, melainkan
kita harus berbakti kepada-Nya dengan seluruh keadaan manusia, dengan
perbuatan, pikiran serta hati, dengan lahir dan batin sebab Tuhan berfirman:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat 22:37).
Kita juga harus menuntun mereka agar mau menggunakan Alkitab
untuk mencari jawaban bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi,
karena Kitab Suci inilah yang dapat memberi hikmat dan menuntun kepada
keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus (2 Tim 3:15).
Karena segala tulisan dalam Alkitab itu diilhamkan oleh Allah
untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan
dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, sehingga tiap-tiap manusia
kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2Tim 3:16,17).
Terlebih daripada itu kita harus mampu menunjukkan dari teladan
kita bahwa di dalam keresahan dan tekanan sosial, Kristus-lah sumber
pengharapan kita. Jadi, jangan sampai kita menjadi batu sandungan bagi
mereka sehingga mereka lari ke dunia mistik.
Penulis setuju dengan John T. Seamands yang mengatakan bahwa
cara hidup dan perbuatan kita harus benar-benar mencerminkan kasih
Kristus. Kita harus menjadi saksi bahwa Yesus Kristus mempunyai kuasa
untuk mengubah diri kita dan diri mereka juga. Kita uraikan bagaimana
Yesus melayani yang sakit, yang lapar dan yang putus asa dan bukti dari
kasih-Nya ketika sekalipun di kayu salib Dia masih berdoa: “Bapa,
ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (Luk
23:34).”10
Yang terutama harus kita tonjolkan adalah kesucian dan kesalehan,
kasih dan belas kasihan, perhatian dan pertolongan-Nya kepada yang
miskin, yang di dalam keperluan, yang sakit dan yang berdosa.
Pengharapan dari iman Kristen juga perlu ditekankan: damai Allah,
sukacita, penghiburan, pengharapan akan kedatangan-Nya kembali dan
harapan akan mewarisi kerajaan Sorga. Semoga dengan demikian mereka
dapat diyakinkan betapa pentingnya mereka menerima Yesus sebagai
Juruselamat menuju kehidupan kekal.

10
John T. Seamands, Tell it Well: Communicating the Gospel Across Cultures
(Kansas City: Beckon Hill Press of Kansas City, 1981)
KEBANGKITAN TUBUH
MENURUT I KORINTUS 15:25-58 DAN IMPLIKASI ETIS

DANIK ASTUTI LUMINTANG

PENDAHULUAN

Kebangkitan tubuh atau orang mati dalam 1 Korintus 15:25-58


adalah misteri yang menjadi pokok bahasan hangat di sepanjang zaman.
Hal ini dinyatakan sebagai misteri, karena masih menjadi perbincangan
atau pertanyaan bagi banyak orang Kristen sendiri. Tidak sedikit orang
Kristen yang memiliki doktrin yang benar, pengetahuan dan pemahaman
yang cukup, namun doktrin atau pengetahuan dan pemahaman yang benar
tersebut tidak nampak atau tidak tercermin pada sikap yang benar. Bahkan
tidak sedikit orang Kristen yang bertanya, dengan tubuh apakah orang
percaya dibangkitkan. Apakah dengan tubuh yang telah rusak, tubuh yang
tercerai berai karena orang tersebut waktu meninggal mengalami
kecelakaan, apakah benar tubuh itu yang dibangkitkan? dan apakah orang
yang sudah meninggal, pada saat tubuh dibangkitkan, mereka dapat
bertemu dengan keluarganya, seorang suami dapat bertemu dan melihat
istrinya dengan tubuh yang dahulu dia lihat ataukah sebaliknya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga kini masih menjadi misteri bagi
banyak orang, mereka belum mendapatkan jawaban yang benar. Karena
itulah penulis ingin memberikan jawaban yang benar mengenai
kebangkitan tubuh atau orang mati menurut surat 1Korintus 15:25-58.

MISTERI KEBANGKITAN TUBUH (15:25-58)

Bagian pertama dari surat pertama Korintus 15:1-11, telah


dilaporkan mengenai fakta kebangkitan Kristus yang merupakan dasar
kebangkitan orang percaya. Pada bagian kedua, yaitu ayat 12-34, telah
dipaparkan mengenai kebangkitan orang mati yang membahas dua hal
penting yaitu, akibat yang terjadi apabila tidak ada kebangkitan Kristus (ay.
12-19), dan akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang
percaya (ay. 20-34). Sedangkan dalam bagian ini, penulis ingin
menjelaskan satu misteri dari kebangkitan tubuh, yang merupakan
kontinuitas dan perkembangan tentang kebangkitan Kristus. Secara khusus
disini, Paulus ingin menjelaskan kebangkitan tubuh yang masih menjadi
misteri bagi banyak orang.

Pertanyaan Mengenai Kebangkitan Orang Mati (ay. 35)


Pokok pembahasan bagian ini adalah tentang dua pertanyaan yang
diangkat oleh Paulus. Dalam teks Yunani, Paulus memulai dengan frasa
Alla erei tij. Kata erei (verb. indic. fut. act. 3 per. plur) artinya berbicara
atau berkata,1 dalam bentuk future indicatif, maka kata erei berarti akan
menyahut, berkata. Kata itu diikuti oleh kata tij artinya seseorang, seorang
pun,2 dan diawali oleh kata penghubung kontras yaitu Alla yang berarti
tetapi. Dengan demikian, maka kalimat Alla erei tij diterjemahkan: “Tetapi
seseorang akan menyahut atau berkata” Kalimat ini memberikan petunjuk
bahwa, Paulus bukan menjawab pertanyaan yang sudah ada di dalam
jemaat Korintus, namun pertanyaan ini diangkat oleh Paulus untuk
mengantisipasi pertanyaan di sekitar hal kebangkitan tubuh, yang pasti
muncul, sebagai kontinuitas pengajaran Paulus tentang kebangkitan orang
mati (ay. 12-34). Dalam hal ini, kemungkinan besar ada beberapa jemaat
(tidak tertentu) yang masih atau telah dipengaruhi oleh ajaran Saduki dan
Yunani yang akan berkata bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. 3
Keraguan dan atau ketidakpercayaan mengenai kebangkitan dari seseorang
(tidak tertentu) adalah berkisar pada pertanyaan, yaitu Bagaimanakah orang
mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang
kembali?

Jawaban Mengenai Kebangkitan Orang Mati (ay. 36-44)


Sebelum Paulus memberikan suatu penjelasan mengenai dua
pertanyaan yang pasti dipertanyakan oleh seseorang di Korintus, ia

1
Erei artinya reply, say; Aland Kurt, Analytical greek New Testament (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), 544; Horst Balz, Exegetical Dictionary of
the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), 347
2
Tij, someone, anyone… 1 Cor. 15:35; William F. Arndt, A Greek –English
Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The
University of Chicago Press, 1979), 819
3
Konsep Yunani: “sesudah mati, jiwa meninggalkan tubuh dan selanjutnya
keberadaannya di tempat lain, tetapi bagi tubuh tidak ada harapan untuk bangkit”; Denis
Green, Tafsiran Surat I Korintus (Malang: SAAT, 1992), 103; Paulus mengantisipasi
jenis-jenis pertanyaan yang pasti akan diajukan oleh seseorang di Korintus; V.C. Pfitzner,
Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat I Korintus (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), 316
menyebutnya dalam ayat 36: afpwn (adj. pronom. voc. mask. sing. afpwn,
on) artinya bodoh, tolol,4 dalam bentuk kata benda berarti orang bodoh.
Kata ini ditempatkan pada awal kalimat dan dalam bentuk vokatif (kata
seruan) dapat diterjemahkan seperti terjemahan LAI yaitu “Hai orang
bodoh!” Kata bodoh ini, Paulus tujukan kepada orang-orang yang
mempertanyakan kebangkitan orang mati (ay. 35), mereka disebut oleh
Paulus sebagai orang bodoh.5 Kebodohan mereka ternyata adalah bertolak
dari ketidakpercayaan mereka terhadap hal kebangkitan orang mati. Karena
itu, untuk memberikan penjelasan kepada orang yang bodoh (tidak
percaya), maka Paulus menggunakan beberapa perumpamaan (analogi)
yang diambil dari pengalaman dan kenyataan alami yang ada dalam
kehidupan sesehari.

Analogi Biji Menjelaskan Tubuh Kebangkitan (ay. 36-44a)


Pada bagian berikutnya, dalam ayat 36 tertulis: “...su o
sprireij ou zwopoleitai ean mh apoqanh. Istilah zwopoleitai (verb. indic.
prest. pass. 3 pers. sing.) dalam bentuk present indicatif pasif berarti sedang
dihidupkan.6 Terjemahan yang tepat dari kalimat di atas adalah “... apa
yang engkau tabur tidak sedang dihidupkan terkecuali mati.” Kalimat ini
menjelaskan aktivitas Allah yang memberikan kehidupan baru bagi biji
tersebut. Paulus memberikan penjelasan dengan menggunakan
perumpamaan tentang biji dari tumbuh-tumbuhan (ay. 37). Biji (kokkon:
acc. sing. mas.) adalah biji tanpa kulit yang bisa dijadikan benih tanaman. 7
Biji yang ditaburkan orang ke tanah tersebut, tidak akan mendapatkan
kehidupan yang baru, terkecuali biji tersebut mati terlebih dahulu. Karena
biji yang ditanam ke dalam tanah akan mati, dan akan memperoleh
kehidupan yang baru, yang lebih kaya dan lebih baik daripada sebelumnya.
Lebih jelas, bahwa biji yang ditanam ke dalam tanah akan mengalami
kematian terlebih dahulu, kemudian biji tersebut dihidupkan kembali oleh
Allah dengan memberikannya suatu tubuh yang baru, yaitu tubuh dari
tubuhnya sendiri (biji tersebut). Gambaran mengenai benih ini
dipergunakan oleh Paulus untuk menunjuk pada janji kehidupan yang baru
setelah kematian (bnd. Mat 13:31,32). Gambaran tentang benih yang mati

4
Wesley J. Perschbecher, Refresh Your Greek (Chicago: Moody Press, 1989), 660
5
Pfitzner, Ibid., 316
6
Istilah zwopoleitai berasal dari kata zwopolew artinya to make alive, give life;
Perschbacher, Ibid
7
Kata kokkon: seed, grain; Perschbacher, Refresh Your.., 660
terlebih dahulu, kemudian hidup (bertunas) lagi dengan tubuh yang baru
yaitu tubuh yang diberikan kepada benih tersebut. Analogi biji ini dipakai
Paulus untuk memberikan penjelasan tentang tubuh orang mati yang
kepadanya Allah memberi suatu tubuh yang baru. Tubuh yang baru ini,
bukan tidak terkait dengan tubuh yang mati, ada keterkaitannya. Yang jelas,
Allah yang memberikan tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Berkenaan
dengan analogi tubuh tumbuhan dan tubuh manusia, Green berpendapat
sebagai berikut:
Hidup baru, baik bagi tumbuh-tumbuhan maupun bagi manusia,
tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sesuai dengan kehendak Allah
dan ketetapan karya penciptaan-Nya. Tuhanlah yang 'memberikan'
tubuh kepada tiap-tiap ciptaan-Nya, mulai dari tumbuh-tumbuhan
sampai kepada manusia sendiri (lih. ay. 39, dst.). 8
Jadi, jelas bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan
kehidupan yang baru bagi semua yang diciptakan-Nya, baik tubuh
tumbuhan maupun tubuh manusia. Istilah didwsin (verb. indic. prest. act. 3
pers. sing.) artinya memberi.9 Kata ini menjelaskan bahwa Allah-lah yang
secara aktif berkarya dalam hal memberikan tubuh, dan karya-Nya ini
belum berakhir, melainkan terus berlangsung. Dengan kata lain, karya
Allah membangkitkan orang mati, dan memberi tubuh yang baru kepada
mereka yang dibangkitkan, adalah belum berakhir.
Paulus meneruskan perumpamaan dengan menyebutkan
keanekaragaman tubuh dan bentuk-bentuk yang luas darimana suatu
kehidupan di dunia ini diwujudkan. Paulus menggunakan istilah swma
dalam ayat 38. Istilah ini menjelaskan mengenai tubuh secara keseluruhan
dan dapat diterapkan secara luas berkenaan dengan tubuh/badan, jasmani. 10
Dalam bagian ini, Paulus menggunakan istilah lain, yaitu sarx (ay. 39)
artinya daging, yaitu menjelaskan mengenai kepelbagaian daging (sarx,
bahwa tidak semua daging adalah sama. Daging manusia, binatang, burung
dan ikan adalah berbeda.11
Selanjutnya, Paulus menjelaskan perumpamaan lain mengenai
perbedaan antara tubuh sorgawi dan tubuh duniawi. Paulus menggunakan
istilah swmata (noun. nom. neut. pl.) artinya tubuh, yaitu menjelaskan
mengenai keseluruhan tubuh manusia. Dimana antara tubuh sorgawi dan

8
Green, Tafsiran Surat…, 108
9
Kata didwsin artinya gives; Friberg, Analytical Greek New…, 545
10
James Strongs, Strong Exhaustive Concordance of the Bible (New York:
Thomas Nelson Publishers, 1979), 70
11
Ibid., 64
tubuh duniawi memiliki kemuliaannya masing-masing (ay. 40).12 Kata
kemuliaan disini menjelaskan ciri khas yang berbeda dari masing-masing
tubuh, yaitu tubuh sorgawi dan tubuh duniawi. Adapun perbedaan
kemuliaan yang dimaksudkan disini dijelaskan lebih jelas oleh Paulus,
bahwa kemuliaan matahari lain dari kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan
lain dari kemuliaan binatang. Demikian pula kemuliaan binatang yang satu
berbeda dengan kemuliaan binatang yang lainnya (ay. 41). Perbedaan-
perbedaan di atas adalah menerangkan mengenai kemuliaan Pencipta-Nya,
yaitu Allah yang berkuasa membentuk sesuai dengan kehendak-Nya.
Dalam ayat 42-44a, Paulus menjelaskan sesuatu yang bertolak
belakang, yaitu mengenai kebangkitan orang mati, secara khusus mengenai
tubuh kebangkitan. Tubuh untuk kehidupan dalam dunia ini disebut dengan
tubuh alamiah, sedangkan tubuh untuk dunia yang akan datang disebut
dengan tubuh rohaniah. Baik tubuh alamiah maupun tubuh dunia yang akan
datang memiliki sifatnya sendiri-sendiri.
Dalan ayat 36-38, Paulus telah menjelaskan perumpamaan
mengenai biji yang ditanam orang, maka biji tersebut akan mati terlebih
dahulu, kemudian Allah akan menghidupkan kembali dengan tubuh yang
baru. Demikian pula dengan kebangkitan orang mati (ay. 42). Orang yang
telah mati akan ditaburkan (dikuburkan) dalam kebinasaan, maka tubuh
orang mati tersebut akan membusuk dan hancur, karena tubuh tersebut
bersifat alamiah.13 Kemudian tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah
dengan tubuh yang baru, yang tidak akan binasa, tubuh yang mulia, karena
tubuh tersebut bersifat rohaniah. Arti dari tubuh rohani menurut Farrar
ialah: “suatu tubuh yang tidak berada di bawah kekuasaan dari keinginan
jasmani atau dorongan nafsu dan rasio, melainkan sepenuhnya dikontrol
oleh Roh. Karena itu, tidak memiliki keinginan atau kemampuan untuk
memenuhi nafsu daging.”14 Penekanan Paulus dalam teks ini ialah karya
Allah yang membangkitkan tubuh alamiah menjadi tubuh rohani. Lebih

12
Kataswmata berasal dari kata dasar swma artinya the body (as a sound whole),
used in a very wide application, lit. or flg. : bodily, body, slave; Ibid., 70
13
The mortal body, perishable (Gal 6:8), dishonored, humiliated because of sin
(Phil 3:20,21), and weak (Mark 14:38) – a natural body like those of the animal world –
and bring that body that “is sown” in death (John 12:24); W. Harold Mare, “ICorinthians”
in The Expositor’s Bible Commentary. Edited by Frank E. Gaebelein The Expositor’s Bible
Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 290
14
The thing meant is a body which is not under the sway af corporeal desire or of
intellectual and passionate impulses, but is wholly dominated by the Spirit, and therefore
has no desire or capacity to fulfil the lusts of the flesh; F.W. Farrar, “I Corinthians” in The
Pulpit Commentary. Vol. 19, edited by H.D.M. Spence (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1983), 491
jauh lagi, berkenaan dengan itu, Martin berpendapat bahwa: “Allah yang
menciptakan semua tubuh sorgawi yang banyak jumlahnya adalah Allah
yang sama. Allah yang mampu menciptakan tubuh manusia dan
memberikan kepada mereka suatu kemuliaan yang jauh melampaui
imajinasi manusia.”15 Dengan kata lain, tubuh orang mati ditaburkan dalam
kehinaan, namun tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah dengan cara
menciptakan tubuh rohani, yang kepadanya akan diberikan kehormatan
yang tidak tertandingi di dalam dunia ini, karena ia akan menjadi bagian
dari kemuliaan Kristus sendiri (Flp 3:21; Kol 3:4). Tubuh orang mati
ditaburkan dalam kelemahan yang merupakan cirikhas dari semua
keberadaan manusia, tetapi dibangkitkan dalam kekuatan (ay. 43). Dalam
hal ini, Paulus ingin menunjukkan kepada jemaat Korintus, bahwa orang
Kristen akan ikut serta dibangkitkan bersama dengan Kristus, karena Ia pun
disalibkan di dalam kelemahan tetapi dibangkitkan oleh kekuatan Allah
(2Kor 13:4; Rm 1:4). Lebih lanjut dalam ayat 44a, Paulus menuliskan,
bahwa yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah
tubuh rohaniah. Dalam pernyataan ini, Paulus menjelaskan adanya suatu
kekontrasan, yaitu antara tubuh alamiah dan tubuh rohaniah.

Perlunya Tubuh Rohaniah Dibandingkan Dengan Tubuh Jasmaniah


(ay. 44b-49)
Dalam ayat 44b tertulis bahwa “jika ada tubuh alamiah, maka ada
tubuh rohaniah.” Maksud dari tubuh alamiah adalah tubuh yang bedosa dan
tidak hormat. Sedangkan tubuh rohaniah adalah tubuh yang tidak berdosa
dan yang dihormati. Pandangan ini lebih luas diungkapkan oleh Sproul
bahwa, Kekontrasan antara tubuh duniawi dan tubuh yang dibangkitkan
jelas. Kekontrasan itu termasuk unsur-unsur di bawah ini:
Tubuh alamiah Tubuh yang dibangkitkan
Berdosa Tidak berdosa
Tidak hormat Mulia
Kelemahan Kekuatan
Alamiah Spiritual

Berdosa, tidak hormat, dan kelemahan merupakan kualitas dengan


mana kita terbiasa. Semua itu merupakan suatu bagian normal dari

15
The God who made all these vast heavenly bodies is able to recreate human
bodies and to give them a glory far beyond our imagining; Alfred Martin, First
Corinthians (New Jersey: Loizeaux Brothers, 1989), 138-139
pengalaman kita sehari-hari. Semua itu merupakan atribut-atribut
tubuh alamiah kita. Kualitas-kualitas ini akan memberikan jalan
dalam kebangkitan menuju antitesisnya. Tidak berdosa, kemuliaan,
dan kekuatan merupakan sifat-sifat tubuh spiritual.16
Paulus disini telah menjelaskan mengenai perbedaan antara tubuh
alamiah dan tubuh rohaniah. Keadaan tubuh alamiah sangatlah berbeda
dengan tubuh rohaniah. Tubuh rohaniah adalah tubuh yang sudah dirubah
dari pembatasan-pembatasan alamiahnya, yaitu tubuh yang dimuliakan,
tubuh yang dibangkitkan dalam suatu dimensi baru. Sebagai fakta dari
tubuh spiritual atau rohaniah adalah tubuh Tuhan Yesus yang dibangkitkan.
Tubuh yang dimiliki Tuhan Yesus setelah kebangkitan-Nya adalah berbeda
dengan tubuh Tuhan Yesus yang dikubur. Tubuh itu mewujudkan
kesinambungan dan ketidaksinambungan. Kesinambungan dalam
pengertian kesinambungan tubuh alamiah (waktu hidup sebagai manusia di
dunia) dan tubuh sorgawi (tubuh yang telah diubah, yaitu tubuh
kebangkitan, tubuh yang tidak dapat binasa, mulia dan bersifat rohani).
Ketidaksinambungan yaitu sekalipun ada kesinambungan, namun ada juga
perubahan atau perbedaan. Dalam hal ini, Paulus menekankan bahwa
walaupun kita sudah mati, pasti akan mempertahankan kesinambungan
dengan identitas-identitas kita yang sekarang, namun kita akan mengalami
perubahan-perubahan bentuk. Sebagai contoh : Tuhan Yesus sarapan pagi
bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus memperlihatkan tanda-tanda
penyaliban kepada Thomas (Yoh 20:27), Pintu terkunci, Yesus datang dan
berdiri di tengah-tengah mereka (Yoh 20:26).
Paulus dalam ayat-ayat sebelumnya telah menjelaskan adanya
perbedaan mengenai tubuh, yaitu tubuh alamiah dan tubuh rohaniah (ay.
36-44a). Dalam bagian ini (ay. 44b-49), Paulus menjawab pertanyaan
mengenai: “Bagaimana orang mati dibangkitkan?,” sebelum Paulus
menjawab pertanyaan ini, Paulus mengawali jawabannya dengan
memberikan suatu kesimpulan atas jawaban dari pertanyaan “jika ada tubuh
alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah” (ay. 44b). Dalam menjawab
pertanyaan “Bagaimana orang mati dibangkitkan?” Paulus kembali
memberikan suatu bukti yang kontras, yang diungkapkannya dalam ayat 45:
Egeneto o prwtoj anqrwpoj Adam eij yuchn zwsan o escatoj Adam eij
pneuma zwopoioun. NGSB menterjemahkan kalimat ini sebagai berikut:
“Adam manusia pertama menjadi satu makhluk yang hidup, Adam yang

16
R.C. Sproul, Hai Maut Dimanakah Sengatmu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 108
terakhir menjadi satu roh yang menghidupkan.” 17 Berbeda dengan
terjemahan LAI. Dengan mengutip dari Kitab Kejadian 2:7, Paulus
menunjukkan bahwa “Tuhan Allah menciptakan manusia pertama dari debu
tanah” (Adam berasal dari kata adamah dalam bahasa Ibrani artinya tanah)”
dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, maka jadilah
manusia pertama, yaitu Adam menjadi makhluk yang hidup atau jiwa yang
hidup. Adam dengan tubuh jasmani atau alamiahnya “yang diberi jiwa”
adalah kebalikan dari Adam yang terakhir, yaitu Adam yang memberi
kehidupan (zwopoioun. acc. sing. neut. pres. act. part.).18 Adam yang
terakhir (zwpoioun), yang dimaksudkan oleh Paulus adalah Kristus yang
memberi hidup rohani (bnd. Yoh 6:63). Kristus yang memberi hidup pada
diri-Nya sendiri. Lebih lanjut ayat 46, Paulus menjelaskan bahwa yang
mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian
barulah datang yang rohaniah. Dalam hal ini, Paulus menyatakan bahwa
manusia pertama adalah seperti Adam pertama, yaitu bersifat alamiah,
namun setelah manusia menerima atau percaya Kristus secara baru maka
akan diberinya suatu tubuh yang baru yaitu tubuh rohaniah. Selanjutnya
Paulus memberikan penjelasan lebih rinci, bahwa manusia pertama yaitu
Adam yang diciptakan Allah dari debu tanah (Kej 2:7), bersifat jasmani
atau dapat rusak dan binasa. Tetapi manusia kedua adalah berasal dari
sorga, dimana sebelum menjadi manusia, Dia bersifat kekal dan mulia,
yang kemudian diterimanya kembali secara nyata sesudah Dia dibangkitkan
dari antara orang mati (ay. 47). Hal yang sama juga diungkapkan lebih luas
lagi oleh Pfitzner sebagai berikut:
Seluruh manusia adalah dari debu tanah dan bersifat jasmani, seperti
halnya manusia kedua berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani.
Di pihak lain, semua yang tergolong kepada Kristus sebagai manusia
yang berasal dari sorga, setelah kebangkitan pada kedatangan-Nya
yang kedua kali, akan berasal dari sorga; tubuh duniawi yang lama
akan ditukar dengan tubuh sorgawi.19

17
Living being … life-giving spirit. Paul clarifies his meaning by continuiting the
contrast between the first and the last Adam (21,22 note). The Greek word translated
“being” (psyche) is related to the word translated “natural” in v. 44 (psychikos). The
word “life-giving spirit” are most probably a reference to the Holly Spirit. …..., New
Geneva Study Bible …, 1823. “The first man Adam became a living being, the last Adam
became a life giving spirit.”
18
Istilahzwopoiounberasal dari kata zwopoiew artinya to make alive, give life.
Attributive pert dari pneuma; Perschbacher, Refresh Your..., 661
19
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian …, 321
Semua yang pernah hidup, mula-mula memakai rupa yang alamiah.
Dengan kata lain semua keturunan Adam membawa citranya (Kej 5:3).
Setelah orang percaya mengalami kebangkitan, maka orang percaya akan
memakai rupa sorgawi, yaitu tubuh yang mulia, tidak binasa seperti tubuh
Kristus (Flp 3:21). Bagi mereka (orang Kristen) yang memiliki hubungan
dengan Kristus, yang sekarang masih hidup dalam tubuh alamiah, namun
mereka sudah memiliki hidup sorgawi. Oleh karena itu pada akhirnya juga
akan mengenakan rupa sorgawi atau tubuh rohaniah (ay. 48-49).

Alasan Pengubahan Tubuh Saat Kebangkitan (ay. 50-58)


Paulus sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang
berhubungan dengan waktu kebangkitan, ia mengawali jawabannya dengan
menyebutkan dua hal dalam ayat 50, yaitu: Pertama: Darah dan daging
tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Kedua: yang binasa tidak
mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa. Pernyataan Paulus ini adalah
kalimat yang paralel, dimana Paulus menyatakan bahwa orang yang masih
hidup, tidak akan masuk ke surga. Ungkapan “darah dan daging”
diterangkan oleh ungkapan “yang binasa.” Maksudnya ialah tubuh manusia
yang masih hidup adalah tubuh yang dapat binasa, tidak kekal, tidak
mungkin mendapat bagian dalam kekekalan. Paulus menekankan bahwa
manusia sesuai dengan sifat alamiahnya, tidak dapat menjadi bagian dari
kerajaan Allah tanpa karya pembaharuan Roh yang mengubahkan. Lebih
jelas lagi, Pernyataan Paulus yang kedua tadi adalah merupakan pelengkap
namun ada sedikit perbedaan, yang binasa tidak mendapat bagian dalam
apa yang tidak binasa (ay. 42). Yang dimaksudkan oleh Paulus disini adalah
tubuh yang mati tidak mempunyai klaim yang alamiah terhadap Kerajaan
Allah. Dengan kata lain bahwa tubuh jasmani (yang binasa) tidak dapat
mengklaim kekekalan.
Dalam ayat 51-56 Paulus mengemukakan suatu penjelasan untuk
menjawab pertanyaan yang mungkin muncul. Pertanyaan tersebut adalah
berhubungan dengan waktu kebangkitan. Kebangkitan ini terjadi pada
waktu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (Parousia). Inilah yang
dikatakan oleh Paulus “sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu
rahasia” (ay. 51a). Rahasia yang diungkapkan oleh Paulus adalah rahasia
yang diterimanya dari Allah bahwa “kita tidak akan mati semuanya, tetapi
kita semuanya akan diubah. Artinya bahwa, ada orang yang masih hidup,
pada saat kebangkitan orang mati, yang terjadi secara simultan dengan
kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (bnd. 1Tes 4:15), maka orang
yang masih hidup pada waktu Tuhan Yesus datang yang kedua kali akan
mengalami perubahan, yaitu pada saat nafiri terakhir berbunyi, mereka akan
diubah dalam sekejap mata, tanpa harus mengalami kematian terlebih
dahulu (ay. 51b-52). Ungkapan “dalam sekajap mata (en riph ofqalmou)
merupakan ungkapan yang menjelaskan mengenai kejadian yang tidak
dapat dijangkau oleh kasat mata. Karena istilah riph berarti “gerakan yang
cepat, kilasan, kelap-kelip.”20 Istilah tersebut terkait dengan kata ofqalmou
(mata), sehingga yang dimaksud dengan ungkapan sekejap mata ialah
perubahan yang terjadi dalam waktu yang cepat sekali, seperti kedipan
mata, atau kelipan cahaya. Hal ini menekankan tentang hakekat yang
intensitas dari transformasi tubuh manusia pada waktu kebangkitan yang
terjadi pada saat kedatangan Tuhan Yesus kedua kali (parousia).21
Perubahan sekejap yang terjadi pada orang yang masih hidup adalah terjadi
pada saat kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Hal ini dimengerti
dengan ungkapan “pada waktu bunyi nafiri yang terakhir,” yang menandai
pengumuman suatu kejadian tentang kesudahan atau kejadian “yang
terjadi” dalam sejarah dunia (bnd. Mat 24:31; 1Tes 4:16).
Orang Kristen yang sudah mati, pada saat kedatangan Tuhan Yesus
yang kedua kali, yaitu pada saat nafiri berbunyi, mereka akan dibangkitkan
“dalam keadaan yang tidak dapat binasa,” orang Kristen yang masih hidup
akan “diubah dalam sekejap mata” dan mereka bersama-sama akan
berjumpa dengan Tuhan (1Tes 4:17).
Pada ayat 53-57 merupakan alasan yang mendasar mengenai
perubahan yang terjadi pada saat kebangkitan. Dalam ayat 53, Paulus
mengulangi perlunya tubuh alamiah diubah menjadi tubuh rohaniah pada
saat kebangkitan (ay. 50). Orang-orang percaya yang masih hidup dan yang
sudah mati pada waktu Kristus datang kembali “Yang dapat binasa ... harus
mengenakan yang tidak dapat binasa.” Yang dapat binasa berarti tubuh
jasmani, pada saat kebangkitan akan mengenakan (endusasqai: to dress)
citra atau bentuk yang tidak dapat mati (ay. 49). Pfitzner mengungkapkan
mengenai perubahan yang besar ini secara lengkap, bahwa:
Jiwa kita yang tidak dapat binasa” akan mewarisi tubuh yang tidak
dapat binasa. Sebaliknya, tubuh yang dapat binasa ini harus

20
Riphthrowing, rapid movement, e.g. of the eyes; the ‘casting’ of a glance takes
an extremely short time: en riph ofqalmonin the twinkling of an eye I Cor 15; Arndt, A
Greek–English Lexicon..., 736
21
Gk. en riph ofqalmou, the equivalent of the Eng. “the blink of an eye”. It is of
interest that this physical phenomenen was picked up in more that one culture to express
the speed with which something can happen; Gordon D. Fee, The New International
Commentary On The New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1987), 801
mengenakan yang tidak dapat binasa, tubuh yang tidak lagi terancam
oleh maut. Acuan kepada orang-orang percaya yang sudah mati dan
orang-orang percaya yang masih hidup pada waktu kedatangan
Kristus kembali jelas dilanjutkan dalam kata-kata ini. Meskipun
yang masih hidup mempunyai tubuh yang fana, yang telah
ditetapkan untuk mati, ia pun akan diubahkan untuk ikut serta di
dalam kehidupan Allah; Dialah satu-satunya yang memiliki
kekekalan (1Tim 6:16). “Yang fana” akan “ditelan oleh hidup (2Kor
5:4).22
Paulus menjelaskan bahwa, adanya keharusan suatu perubahan
bagi umat Tuhan yang hidup maupun yang sudah mati, yaitu akan
mengalami perubahan dari tubuh yang alamiah menjadi tubuh yang
rohaniah. Peristiwa ini terjadi pada saat kebangkitan, yaitu saat
dimana Tuhan Yesus datang kembali (ay. 53-54a).
Dalam ayat 53-54a Paulus telah menggambarkan istilah-istilah yang
kontras mengenai suatu perubahan di masa depan pada waktu kebangkitan
yaitu pada saat kedatangan Tuhan Yesus kembali. Sedangkan dalam 54-57,
paulus membahas mengenai dua teks dalam PL untuk menyimpulkan
pemikiran sebelumnya, dan untuk membentuk sebuah nyanyiankemenangan
yang menantang maut sebagai sebuah kuasa yang bagi orang Kristen sudah
dikalahkan. Disini Paulus mengutip, pertama: Yesaya 25:8 “Ia akan
meniadakan maut untuk seterusnya”. Kata-kata Paulus “maut telah ditelan
dalam kemenangan (ay. 54b).” Kedua: Hozea 13:14 dalam bahasa Ibrani
menyatakan: “Dimanakah penyakit samparmu, hai maut, dimanakah tenaga
pembinasaanmu, hai dunia orang mati?”, Paulus dalam 1Korintus 15:55
menyatakan: “Hai maut dimanakah kemenanganmu (nikoj: victory)? Hai
maut dimanakah sengatmu (kentron: sting)?” Teks PL di atas, dipakai oleh
Paulus untuk menggaris bawahi hubungan antara kebangkitan dan
pemberian tubuh rohaniah dengan kemenangan terakhir dari maut, artinya
Tuhan Yesus akan membinasakan kematian dan alam maut, dimana
kemenangan-Nya meliputi dua hal, yaitu kebangkitan orang percaya yang
mati di dalam iman kepada Kristus dan perubahan orang-orang percaya
yang masih hidup pada waktu kedatangan Tuhan Yesus. Dalam hal ini
Paulus berkata bahwa yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya dan nabi Hozea
adalah benar dan tidak dapat ditolak lagi. Kemudian Paulus menerangkan
hal itu lebih jelas dalam ayat selanjutnya, yaitu ayat 56-57. Dituliskan
dalam ayat 56 “sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah Hukum
Taurat.” Paulus mau menjelaskan bahwa saat ini maut masih bekerja dan

22
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian …, 325-326
memiliki sengatnya, yaitu dosa yang menyerang manusia melalui
pelanggaran-pelanggaran terhadap Hukum Taurat. Dalam hal ini kalau
manusia percaya kepada Kristus maka dosa dihapuskan, dan akan mendapat
kebebasan dari akibat dosa (maut), dimana tubuh yang binasa diubah
menjadi tubuh yang tidak dapat binasa pada waktu kebangkitan. Dengan
kata lain mereka akan dibangkitkan dengan tubuh yang “tidak dapat
binasa... dan tidak dapat mati.” Dengan demikian “maut telah ditelan dalam
kemenangan” atau maut tidak berkuasa lagi atas manusia yang dosanya
telah dibereskan sehingga ia dibangkitkan untuk dapat menikmati hidup
kekal. Grosheide menjelaskan hubungan antara dosa dan Hukum Taurat
adalah sebagai berikut:
Kuasa dosa adalah hukum Taurat: Bukan hanya kematian tetapi juga
dosa digambarkan sebagai suatu kuasa yang mempertahankan
dirinya sendiri. Dosa menggunakan hukum Taurat yang
mengstimulasi orang yang telah jatuh dalam dosa untuk berbuat dosa
(Rm 5:12, 7:7). Paulus berbicara mengenai kemenangan yang
terbesar, bahwa kemenangan bukanlah pada masa kini, yaitu ketika
orang diselamatkan, melainkan setelah segala sesuatu ditaklukkan
sejak dosa Adam dihapuskan dan setelah setiap kuasa yang
menentang Allah dilenyapkan.23
Dosa menggunakan Hukum Taurat yang mengstimulasi manusia
untuk berbuat dosa, namun bagi orang yang percaya, kuasa dosa tidak
menguasainya lagi, karena orang percaya telah mengalami kemenangan
atas dosa dan maut melalui iman. Selanjutnya dalam ayat 57, Paulus
menjelaskan bahwa oleh karya Kristus telah memuaskan apa yang menjadi
tuntutan Hukum Taurat (bnd. Gal 3:13). Kuasa dosa telah dihancurkan,
sehingga sekarang orang percaya dapat “bersyukur kepada Allah”
Kemenangan orang percaya atas dosa dan maut telah diterima melalui iman
kepada Yesus Kristus. Hal ini pun diungkapkan lebih luas oleh Pfitzner,
sebagai berikut:
Yesus Kristus yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan
mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (2Tim 1:10). Seperti
dalam Roma 7:25, Paulus memisahkan diri dari kisah yang

23
The power of sin is the law : not only death but sin also is described as a power
that seeks to maintain itself. Sin uses the law which stimulates fallen man to sin (cf. Rom.
5:12; 7:7f). Paul speak of the ultimate victory; that victory is not present when some men
are saved, but only after everything that had assumed dominion since Adam’s sin has been
abolished and after every God-opposing power has been annihilated; F.W. Grosheide,
Commentary On The First Epistle To The Corinthians (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1960), 394
menyedihkan tentang perhambaan manusia untuk mengucapkan doa
syukur: Syukur kepada Allah, telah memberikan kepada kita
kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Mereka yang hidup
dengan kasih karunia dan tidak lagi hidup di bawah keputusan
Taurat yang menghukum, bebas dari tirani maut – termasuk rasa
takut akan maut (Rm 6:14; 8:1,2; Ibr 2:14,15). Kematian fisik masih
harus ditanggung, tetapi bahkan itu pun tidak dapat merampas dari
kita kepasti akan kemenangan di dalam Kristus di masa datang (Rm
8:37-39). Mereka yang berada di dalam Kristus telah mati kepada
dosa (dengan ikut serta di dalam kematian-Nya yang sempurna
dalam baptisan); jadi, merekapun ikut serta di dalam kehidupan-Nya
yang baru, kehidupan yang akan disempurnakan pada hari
kebangkitan (Rm 6:1-11). Tetapi kemenangan selalu adalah milik
Kristus, tak pernah milik kita – meskipun Ia dengan kasih karunia-
Nya memungkinkan kita ikut serta di dalam arak-arakan
kemenangan bahkan sejak di dalam kehidupan ini (2Kor 2:14). 24

IMPLIKASI BIBLIOLOGIS, SOTERIOLOGIS, EKKLESIOLOGIS


DAN ESKATOLOGIS
DOKTRIN KEBANGKITAN ORANG MATI/TUBUH

Bertolak dari penelitian teks 1Korintus 15:1-58, paling sedikit


penulis menemukan 4 implikasi. Di bawah ini, akan penulis uraikan satu
persatu implikasi tersebut.

Implikasi Bibliologis (1Kor 15:5,7-10)


Kata bibliologis dari kata biblio yang artinya buku atau Kitab,
sedangkan bibliologis yaitu berhubungan dengan penyelidikan bahasa,
penyelidikan keadaan zaman tertulisnya Kitab-kitab yang membentuk Kitab
Suci yang sedekat-dekatnya dengan yang asli dan tafsiran yang mencari dan
menerangkan Kitab Suci.25
Kebenaran mengenai kebangkitan diawali oleh Paulus dengan
mengemukakan alasan bibliologis, yang dikemukakannya pada ayat 3 dan
4, bahwa baik kematian Tuhan Yesus maupun kebangkitan-Nya adalah
terjadi sesuai dengan Kitab Suci. Paulus menyatakan: “... sesuai dengan
Kitab Suci, ... sesuai dengan Kitab Suci.” Dua kali Paulus menekankan

24
Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian …, 327-328
25
R. Sudarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 18
kebenaran dengan kalimat “Sesuai dengan Kitab Suci”. Inilah implikasi
bibliologis dari kebangkitan Tuhan Yesus. Kebenaran Kitab Suci digenapi
dengan peristiwa Kebangkitan Tuhan Yesus. Selanjutnya kebenaran Kitab
Suci dan peristiwa kebangkitan Yesus diperkuat dengan kesaksian para
murid mengenai penampakan Tuhan Yesus kepada mereka. Penampakkan
Diri Tuhan Yesus kepada para murid merupakan salah satu ketentuan yang
mendasar dimana para murid disebut Rasul. Karena para murid telah
melihat Tuhan Yesus yang telah bangkit dan Rasul-Rasul inilah yang telah
menulis Injil-Injil. Salah satu argumentasi Paulus mengenai kebenaran Injil,
berita kebangkitan Yesus, adalah dengan penampakan Tuhan Yesus yang
bangkit kepada murid-murid. Mereka kemudian disebut rasul karena alasan
telah melihat Tuhan Yesus secara langsung. Paulus mengemukakan
sejumlah laporan tentang penampakan Tuhan Yesus kepada murid-murid.
Dalam ayat 5, 7-10: Pertama: Kristus menampakkan diri-Nya kepada Kefas
atau Petrus dan kepada keduabelas murid (bukan mitos). Kedua: Kristus
menampakkan diri-Nya kepada lebih dari lima ratus saudara. Ketiga:
Kristus menampakkan diri-Nya kepada Yakobus, kemudian kepada semua
rasul. keempat; Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus sendiri,
waktu penglihatan Paulus saat perjalanannya ke Damsyik, dengan maksud
untuk menganiaya orang Kristen (Kis 9).26 Peristiwa inilah yang
digambarkan oleh Paulus ”seperti anak yang lahir sebelum waktunya”,
artinya Paulus mengungkapkan mengenai dirinya yang tidak layak, namun
dilayakan oleh Tuhan Yesus yang datang menampakan Diri-Nya
kepadanya.27 Kesaksian Paulus ini, diperkuat dengan pengalaman dirinya
sendiri. Paulus bersaksi dalam kerendahan hatinya dan ia senantiasa merasa
menyesal karena telah menganiaya jemaat Tuhan (ay. 9-10). Alasan inilah
yang dianggap Paulus bahwa dirinya adalah yang terkecil (paling hina)
diantara semua rasul. Namun, kuasa kebangkitan Kristus telah merubah
Paulus secara total menjadi seorang yang sungguh-sungguh hidup dan

26
Green, Tafsiran Surat I..., 102
27
Ungkapan itu bukan menunjuk kepada saatnya Paulus bertobat, melainkan
kepada tindakan menyela yang mendadak, yang dengannya ia disobek, dari menentang
Tuhan menjadi murid Tuhan atau kepada perasaannya sebagai orang yang tak layak sama
sekali – sama tak layak disebut rasul, sama halnya abortus dipandang sebagai dewasa.
Sekalipun disini Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari semua rasul, ia tidak
bermaksud menunjukkan bahwa pelayanannya lebih rendah daripada pelayanan rasul-rasul
lainnya (bnd. 2Kor 11:5; Gal 2:11), sebab sebenarnya ia bekerja lebih berkelimpahan, tapi
karena ia telah menganiaya jemaat Allah (Kis 26:9 dsb. Gal 1:13) ia tak patut sama sekali
disebut rasul (1Tim 1:15); Donald Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini. 3 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992), 530-531
melayani Tuhan. Pfitzner juga menyatakan hal yang sama. 28 Kuasa yang
mengubah hidup Paulus ini, disadari olehnya sebagai karunia Allah (ay.
10). Semua laporan mengenai penampakan Tuhan Yesus kepada murid-
murid, termasuk kepada Paulus memberikan kesaksian yang kuat bahwa
kebangkitan Yesus adalah berita yang benar, dan historis, bukan mitos.

Implikasi Soteriologis (1Kor 15: 17-19; 21, 24-25, 27-28)


Kata soteriologis dari kata dasar soter artinya selamat. Kata
soteriologis adalah berkaitan dengan berkat keselamatan kepada orang
berdosa dan pembaharuan yang dialaminya untuk hidup dalam persekutuan
yang intim dengan Allah.29 Jadi, yang dimaksud dengan implikasi
soteriologis adalah kebangkitan Kristus menjadi dasar bagi Gereja atau
orang percaya diselamatkan.
Dalam ayat 17, Paulus menekankan suatu akibat apabila Kristus
tidak dibangkitkan. Tanpa kebangkitan Kristus maka kepercayaan mereka
menjadi sia-sia, tidak berguna dan tetap hidup dalam dosa mereka. Ayat
18, Paulus menekankan, jika Kristus tidak mati, maka sebagai akibat yang
berikutnya adalah jemaat Korintus yang percaya dan mati dalam Kristus
mengalami kebinasaan. Lebih dalam lagi Paulus menyatakan bahwa:
“Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja berharap pada Kristus, maka kita
adalah orang-orang yang paling sengsara dari segala manusia (ay. 19).”
Dalam ungkapan ini, Paulus menyatakan betapa malang atau sengsaranya
jemaat Korintus yang telah berharap pada Kristus dalam seluruh
kehidupannya, termasuk kehidupan setelah kematian, Pernyataan Paulus ini
adalah sebagai akibat jikalau Kristus tidak dibangkitkan. Dalam hal ini,
jemaat Korintus berharap pada Allah yang tidak berkuasa untuk
menyelamatkan, karena itulah Paulus menyatakan bahwa mereka adalah
orang yang sengsara atau malang dari segala manusia. Lebih jauh dari itu,
tanpa kebangkitan Kristus, maka, iman jemaat Korintus adalah iman yang
kosong, karena mereka percaya kepada Injil yang tidak benar dan sia-sia.
Maka orang Kristen tidak lebih dari orang-orang bukan Kristen.

28
Tuhan menangkap penganiaya besar ini dan mengubahnya menjadi seorang
misionaris yang besar (Gal 1:13-16). Hal itu, kata Paulus, hanya membuktikan satu hal :
karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang; Pfitzner, Kesatuan
dalam Kepelbagaian..., 295
29
Louis Berkhof, Teologi Sistematika, 4: Doktrin Keselamatan (Surabaya:
Momentum, 2002), 5
Kita telah mengetahui bahwa pengampunan merupakan satu
kebutuhan kita yang paling mendasar, dan satu dari karunia Allah yang
Agung. Menurut Alkitab pengampunan hanya mungkin bila ada darah (Mat
26:28; Rm 6:23). Dan dalam hal ini pengampunan terkait dengan
perjanjian, darah merupakan adanya pengampunan dosa yang disyaratkan
oleh pencurahan. Darah merupakan isi dari perjanjian. Kristus menggenapi
dengan pencurahan di kayu salib bahkan mati di kayu salib. Dan
kebangkitan membuktikan bahwa darah Kristus atau kematian-Nya di kayu
salib adalah sebagai bukti bahwa karya pengampunan dosa itu sempurna
dan berkenan kepada Allah. Karena itu Paulus dalam 1Korintus 15
menekankan mengenai pentingnya kebangkitan bagi pengampunan dosa,
sebagaimana pendapat Stott sebagai berikut:
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati dan melalui
membangkitkan-Nya, Allah telah memberikan jaminan kepada kita
bahwa Ia mengakui kematian yang berkaitan dengan dosanya, bahwa
Ia tidak mati sia-sia dan bahwa mereka yang percaya kepadaNya
menerima suatu pengampunan yang penuh dan bebas. Kebangkitan
mengsyahkan salib Kristus.30
Jadi, kebangkitan memiliki implikasi untuk orang Kristen dan juga
untuk Kristus. Satu sisi kebangkitan memungkinkan kesatuan orang
percaya dengan Kristus. Kristus sebagai kepala orang percaya dan orang
percaya sebagai tubuh Kristus. Hal ini menerangkan mengenai Kristus yang
hidup dalam kehidupan orang percaya. Pemaparan tersebut, dipertegas
dalam ayat 2, yang mengungkapkan bahwa Kristus adalah satu-satunya
jaminan keselamatan. Jadi jelaslah bahwa, Kristus telah dibangkitkan. Dia
adalah sebagai perintis atau buah sulung dari kebangkitan orang mati, yang
mana mengakibatkan kebangkitan bagi orang percaya pada hari
kedatangan-Nya. “Kemudian tiba kesudahannya... (ay. 24).” Sesudah
kedatangan Kristus dan orang percaya yang telah mati dibangkitkan, maka
tibalah kesudahannya, yaitu puncak dari segala zaman. Kedatangan Kristus
adalah untuk meneguhkan kedaulatan-Nya yang penuh dan secara langsung
(2Tes 1:7). Sebelum Kristus meneguhkan kedaulatan-Nya, tiap kuasa yang
menentangNya akan dibinasakan. Setelah semuanya dibinasakan, yaitu

30
The terrible consequences of no resurrection would be that the apostles are
false witnesses, believers are unforgiven, and the Christian dead have been perished. But
in fact, Paul continued, Christ was raised from the dead, and by raising him God has
assured us that he approves of his-bearing death, that he had not died in vain, and that
those who trust in him receive a full and free forgiveness. The resurrection validates the
cross; John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: Inter Versity Press, 1992), 82
tugas yang diberikan Allah Bapa telah dipenuhi (Mat 28:18), maka Kristus
menyerahkan kedaulatan atau kerajaan-Nya kembali kepada Allah Bapa
(1Kor 15:24). Kerajaan yang diserahkan Kristus kepada Allah Bapa
bukanlah pemerintahan atas daerah atau wilayah tertentu secara lahiriah,
melainkan yang diserahkan Kristus adalah kekuasaan penuh atas segala
sesuatu termasuk manusia (bnd. Flp 2:10). Untuk itu, terlebih dahulu Dia
harus membinasakan segala kekuasaan lain. 31 Karena itulah Kristus harus
memegang pemerintahan sebagai Raja (ay. 25), sampai pemerintahan yang
lain dibinasakan dan ditaklukkan, yaitu sebelum kesudahannya tiba. Hal ini
adalah sesuai dengan janji Allah bahwa Kristus akan memperoleh
kemenangan terakhir atas kuasa-kuasa yang menentang-Nya (bnd. Mzm
110:1). Jadi jelas, Paulus mau menjelaskan bahwa kuasa lain yang paling
terakhir dihapuskan atau dibinasakan oleh Kristus adalah maut. Setelah itu
tidak ada lagi yang harus dihapuskan, karena maut merupakan musuh
paling terakhir dari kuasa-kuasa lain yang dibinasakan oleh Kristus. Dalam
ayat 27-28, Paulus berbicara tentang manusia yang sempurna, yaitu Yesus
Kristus. Segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah kaki-Nya, Allah Bapa
yang menyerahkan kekuasaan mutlak itu kepada Kristus. Kalau pekerjaan
yang diberikan Allah Bapa kepada Kristus telah selesai, maka Kristus akan
menyerahkannya kembali segala kekuasaan kepada Bapa-Nya (ay. 24).
Sebagai bukti bahwa kepada-Nya Anak sendiri ditaklukkan, yaitu Anak taat
kepada Bapa-Nya. Tujuannya adalah Allah Bapa menjadi semua di dalam
semua (bnd. Rm 11:3).

Implikasi Ekklesiologis (1Kor 14:26-40; 16:1-4)


Ekklesia merupakan kata dasar dari ekklesiologi. Kata ekklesia
berasal dari dua kata: -ek dan kaleo, yang artinya memanggil keluar.32
Gereja adalah sekumpulan orang-orang yang dipanggil atau orang percaya
dan Tuhan sendiri yang memanggil mereka. 33 Jadi, implikasi ekklesiologis
yang dimaksudkan adalah kebangkitan Kristus menjadi sentral pemberitaan
atau pengajaran dalam Gereja. Sehingga Gereja memiliki pemahaman yang
benar tentang kebangkitan orang mati dan memiliki iman yang hidup serta
Gereja dapat mengaplikasikanya dalam kehidupan bergereja. Ada beberapa
implikasi ekklesiologis dalam 1Korintus 15, di antaranya sebagai berikut.

31
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 532; Green, Tafsiran Surat I…,105
32
R. Soedarmo, Iktisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 172
33
Luois Berkhof, Teologi Sistematika 5 (Surabaya: Momentum, 2003), 7
Didaskalia (1Kor 15:1-2)
Kata didaskalia berasal dari bahasa Yunani didasco yang artinya
mengajar, sedangkan kata didaskalia adalah berhubungan dengan apa yang
diajarkan. Kata didaskalia dapat disebut juga dengan kata doktrin (bahasa
Latin).34 Jadi, yang dimaksudkan dengan implikasi bagi didaskalia Gereja
adalah pengajaran atau doktrin kebangkitan Tuhan Yesus memastikkan atau
menjamin pengajaran Kristen. Dengan kata lain, bahwa kebangkitan Kristus
berimplikasi kepada kebenaran dan kepastian pengajaran Gereja, sehingga
jemaat memiliki pemahaman, pengakuan yang benar tentang imannya dan
memberikan diri dalam pengabdian kepada Kristus yang bangkit.

Komitmen dan Pengabdian (1Kor 15:3, 58)


Komitmen artinya perjanjian, dan kata pengabdian berasal dari kata
dasar abdi yang artinya hamba. Sedangngkan pengabdian artinya proses,
perbuatan atau cara mengabdi. Jadi, yang dimaksud dengan implikasi
komitmen dan pengabdian adalah doktrin kebangkitan orang mati atau
tubuh membuat Gereja atau orang percaya berkomitmen atau mengambil
keputusan atau perjanjian untuk menjadi hamba atau alat di tangan Tuhan.
Setelah Paulus menarik perhatian jemaat Korintus kepada Injil yang telah
mereka terima, ia melanjutkan pembahasannya dengan menekankan
hakekat Injil itu sendiri. Dalam ayat 3, ia menyatakan tentang Injil yang
telah ia terima, yaitu tradisi pengajaran Gereja.35 Bahwa inti Injil adalah
adalah berpusat pada kematian Kristus. “Salib itu merupakan inti dari Injil,”
menurut pernyataan Morris.36 Wilson menyatakan: “Karena dosa-dosa kita
yang merupakan alasan kematian Kristus, ini berarti bahwa Ia mati sebagai
orang berdosa, sebagai kurban penggantian yang oleh-Nya kita menerima
pengampunan dosa-dosa.”37 Makna kematian Kristus disampaikan Paulus,
dengan harapan akan menggugah kesadaran jemaat Korintus, supaya tidak
cepat mengikuti injil lain, yaitu injil yang tidak menghargai kematian dan

34
www.wikipedia.com
35
This is the kerygma, the proclamation the gospel preached by the early church;
Morris, Tyndale New Testament…, 201
36
The cross is at the heart of the Gospel; Ibid.
37
Since ‘our sins’ were the only reason for Christ’s death, this means that he died
for as sinners, as the substitutionary sacrifice through whom we receive the forgiveness of
sins; Geoffrey B. Wilson, I Corinthian (Pennsylvania: The banner of Truth Trust, 1978),
214
kebangkitan Kristus. Sedangkan dalam ayat 58, Paulus menghimbau jemaat
Korintus untuk berdiri teguh, jangan goyah, dan giat dalam pekerjaan
Tuhan. Jadi, kebangkitan Kristus membuat orang percaya mengambil
keputusan atau berjanji mengikut Kristus dan mengabdikan dirinya untuk
dipakai menjadi alat-Nya dalam memberitakan Injil.

Evangelistik atau Pemberitaan Injil (1Kor 15: 57-58)


Paulus dalam ayat 57 menyatakan bahwa kemenangan orang
percaya atas dosa dan maut telah diterima melalui iman kepada Kristus.
Oleh karena itu ayat 58 Paulus menghimbau jemaat Korintus untuk berdiri
teguh, tidak goyah dan giat selalu dalam pekerjaan Tuhan. Ajakan Paulus
ini dari pengalaman dan hidupnya sendiri. Ia giat melayani Tuhan, karena
tahu adanya kebangkitan orang percaya. Ia sungguh-sungguh bekerja keras.
Hal ini ia lakukan karena adanya pengharapan akan kebangkitan orang
percaya dan ia dapat bekerja keras dalam melayani Tuhan, semata-mata
hanyalah oleh kasih karunia Allah. Kebangkitan Kristus merupakan dasar
kebangkitan orang percaya. Injil menyatakan bahwa setelah Kristus bangkit
dari kematian, Dia memberi amanat misi kepada para murid.

Kesalehan Kristen (1Kor 15:20, 58)


Paulus dalam ayat 20 ”...yang benar ialah Kristus telah
dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang
yang telah meninggal.” Kristus telah bangkit, hal ini menjelaskan mengenai
suatu kejadian yang sudah berlangsung. Dengan kebangkitan Kristus ini,
membuat iman jemaat diteguhkan. Jadi, dengan kebangkitan Kristus, Allah
menyatakan pengampunan, dan Allah juga menjamin kehidupan bagi
jemaat selanjutnya. Stott mengungkapkan bahwa: “Kebangkitan Yesus
memberikan jaminan kepada kita mengenai pengampunan Allah. Kita telah
mengetahui bahwa pengampunan adalah salah satu kebutuhan yang paling
mendasar dan salah satu dari karunia Allah yang terbaik.” 38 Kebangkitan
Kristus adalah buah sulung dari orang-orang yang telah mati, sedangkan
ayat 58 menyatakan: ”karena itu ... berdirilah teguh jangan goyah...” Paulus
memberikan dorongan kepada jemaat Korintus untuk senantiasa berdiri

38
The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted
that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts;” Stott, The
Contemporary Christian…, 81
teguh tidak goyah, tentunya hal ini juga memaparkan tentang berdiri teguh
dalam hidup yang saleh, hidup tidak bercacat dihadapan Tuhan. Fakta
kebangkitan Kristus membuat orang percaya hidup dalam kekudusan,
karena adanya pengampunan dosa dan mereka tidak akan mengalami
kebinasaan pada kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Fakta Kebangkitan
Kristus membuat orang percaya memiliki pengharapan hidup kekal.

Kesaksian dan Dorongan (1Kor 15:10-11, 58)


Dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus telah menjelaskan mengenai
Kristus yang telah mati, dikuburkan dan yang telah bangkit dari kematian.
Kebangkitan Kristus adalah merupakan dasar daripada kebangkitan Kristen
atau orang percaya. Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya kepada para
murid dan kepada 500 orang, selain para murid. Sedangkan penampakkan
diri kepada Paulus adalah merupakan penampakan Kristus yang paling
akhir dari semua urutan penampakan Kristus setelah kebangkitan-Nya.
Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus yaitu pada waktu perjalanan
Paulus ke Damsyik. Paulus ke Damsyik dengan tujuan akan menganiaya
jemaat Tuhan disana, namun di dalam perjalanan, Paulus ditangkap
(bertobat) oleh Tuhan. Paulus yang sebelumnya menentang Tuhan, menjadi
murid Tuhan. Karena itulah Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari
semua rasul. Maksud Paulus disini ialah ia yang telah menganiaya jemaat
Tuhan (Kis 8:3; 9:1; 22:4; 26:9-11), namun Tuhan menangkapnya dan
mengubahnya menjadi seorang misionaris yang besar (Gal 1:13-16).
Dalam ayat 10a adalah sebagai bukti bahwa Paulus yang adalah
paling hina di antara orang kudus, namun dia mendapatkan kasih karunia
Allah untuk menjadi alat-Nya, memberitakan kepada orang-orang bukan
Yahudi akan kekayaan Kristus yang tidak terduga (Ef 3:8). Dahulu ia
adalah orang berdosa yang paling celaka, tetapi Allah menjadikannya
contoh hidup yang sempurna tentang bagaimana kasih karunia itu bekerja
(1Tim 1:15-16). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pfitzner, bahwa:
“Kasih karunia tidak pernah cuma sekedar gagasan atau konsep teologis
yang bagus dari Paulus; ia telah mengalami kuasa-Nya di dalam perubahan
hidupnya sendiri. Jadi, ia bahkan dapat menyebut jabatannya sebagai rasul
sebagai sebuah anugerah kasih karunia (Rm 1:5).”39 Jadi, disini Paulus
menjelaskan bahwa oleh karena kasih karunia Allah saja, ia dapat melayani
Tuhan dengan sungguh-sungguh. Paulus bersaksi: “tetapi aku telah bekerja
lebih keras daripada mereka semua.” Paulus disini menjelaskan bahwa ia

39
Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian..., 296
sama sekali tidak lebih rendah dari pada para rasul yang lain, yang suka
menonjolkan diri atau menyombongkan kekuatan-kekuatan rohani mereka
(2Kor 11:5, 23; 12:11). Karena kasih karunia Allah, Paulus berhasil dalam
pelayanan. Bukti keberhasilan Paulus dalam pelayanan yaitu ia telah
membuka daerah-daerah baru kemanapun ia pergi atau melayani. Dalam hal
ini, Paulus tidak membanggakan usaha-usahanya tetapi “bukannya aku,
melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” yang menghasilkan
setiap keberhasilan. Kalimat berikutnya yaitu ayat 11 adalah sebagai kunci
dari kalimat-kalimat sebelumnya “sebab itu, baik aku, maupun mereka,
kami sama-sama mengajar dan kamu menjadi percaya.” Paulus atau para
rasul, para misionaris lainnya, hanyalah seorang hamba, yang dengan penuh
kesetiaan menunaikan tugas yang telah dipercayakan kepadanya (1Kor 3:5-
10). Mereka sama-sama mengajarkan kebenaran yang sama, seperti apa
yang orang-orang Korintus juga percaya. Dalam ayat 58 ini, Paulus
memberikan suatu kesimpulan praktis dari keseluruhan ayat-ayat
sebelumnya (ay.1-57), yang telah dijelaskan bahwa kepastian atau
pengharapan kebangkitan orang percaya adalah didasarkan pada
kebangkitan Kristus sebagai yang sulung dari kebangkitan orang percaya.
Karya Kristus telah memuaskan tuntutan Hukum Taurat (bnd. Gal 3:13),
dimana kuasa dosa telah Ia hancurkan, maut telah Ia kalahkan.
Kesimpulan pembahasan Paulus adalah himbauan bagi seluruh
jemaat Tuhan di Korintus agar berdiri teguh, jangan sampai iman mereka
digoyahkan atau digeser oleh dunia, oleh iman yang merusakkan yaitu iman
yang tidak benar dan giat didalam melayani Tuhan. Karena pekerjaan atau
pelayanan yang sungguh di dalam Tuhan akan menghasilkan buah yaitu
iman yang tidak kosong dan perbuatan-perbuatan yang baik. Pernyataan ini
tidak memberikan kepada mereka pintu masuk ke dalam sorga, tetapi hanya
oleh kasih karunia Allah di dalam Kristus yang memberikannya.

Implikasi Eskatologis (1Kor 15: 20, 42)


Kata eskatologi dalam bahasa Yunani eshatoj yang memiliki
pengertian last; the term refers to the doctrine of the last things.”40 Berkhof
menyatakan bahwa eskatologi didasarkan pada ayat-ayat Alkitab yang

40
Sin. Ferguson, David F. Wright, “New Dictionarry of Theology,” in Lecturer in
New Testament, clair BS.H. Travis (Leicester, England: Universities and Colleges
Christian Felloship, 1988), 228
membicarakan tentang hari-hari terakhir; waktu terakhir atau jam terakhir. 41
Jadi, yang dimaksud dengan implikasi eskatologi adalah doktrin
kebangkitan orang mati membuat Gereja atau orang percaya memiliki
pengharapan kebangkitan pada akhir zaman atau pada saat kedatangan
Tuhan Yesus yang kedua kali (parousia). Paulus dalam ayat 20
menyatakan: “… bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati,
sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” John Stott
menyatakan bahwa: “Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kepada kita
mengenai pengampunan Allah. Kita telah mengetahui bahwa pengampunan
adalah salah satu kebutuhan yang paling mendasar dan salah satu dari
karunia Allah yang terbaik.”42 Paulus dalam hal ini, menekankan bahwa
Kristus benar-benar telah dibangkitkan. Ia mau menjelaskan suatu kejadian
yang sudah berlalu, tetapi berakibat terus menerus. Kristus menjadi jaminan
dari buah yang akan datang, yaitu jemaat-Nya. Kristus bangkit dari
kematian langsung ke sorga, tidak hidup dalam dunia ini lagi. Selain itu,
kebangkitan Kristus adalah dasar bagi kebangkitan orang percaya, dengan
kata lain, kebangkitan Kristus adalah kebangkitan yang menyelamatkan,
yang memungkinkan kebangkitan orang mati. Paulus menyatakan bahwa,
orang yang telah mati akan ditaburkan (dikuburkan) dalam kebinasaan,
maka tubuh orang mati tersebut akan membusuk dan hancur, karena tubuh
tersebut bersifat alamiah (ay. 42).43 Kemudian tubuh itu akan dibangkitkan
oleh Allah dengan tubuh yang baru, yang tidak akan binasa, tubuh yang
mulia, karena tubuh tersebut bersifat rohaniah. Penekanan Paulus dalam
teks ini ialah karya Allah yang membangkitkan tubuh alamiah menjadi
tubuh rohani. Jadi, kebangkitan Kristus adalah menjadi dasar bagi
kebangkitan orang percaya. Kristus sebagai jaminan atau buah sulung bagi
orang percaya atau Gereja. Orang percaya yang telah mati pada akhir
zaman akan dibangkitkan dari kematian dan tubuhnya akan diubahkan
menjadi tubuh yang baru atau rohani, sedangkan yang masih hidup akan
diubahkan dalam sekejap mata (tubuh kemuliaan).
IBADAH SEBAGAI GAYA HIDUP

41
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 6: Doktrin Akhir Zaman (Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1998), 10-11
42
The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted
that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts; Stott, The
Contemporary Christian…, 81
43
The mortal body, perishable (Gal 6:8), dishonored, humiliated because of sin
(Phil. 3:20,21), and weak (Mark 14:38) – a natural body like those of the animal world –
and bring that body that “is sown” in death (John 12:24); W. Harold Mare, The
Expositor’s Bible Commentary, in I Corinthians…, 290
MENURUT ROMA 12:1
DAN IMPLIKASINYA BAGI IBADAH MASA KINI

JAMMES JUNAEDY TAKALIUANG

PENDAHULUAN

Keunikan manusia sebagai ciptaan Allah dibandingkan dengan


ciptaan yang lain, oleh karena manusia diciptakan menurut gambar rupa
Allah dan puncak dari segala ciptaan. Oleh karenanya sebagai ciptaan yang
unik maka manusia menyatakan Allah secara lebih menakjubkan
dibandingkan dengan ciptaan lain. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa
manusia memiliki kedudukan yang sama dengan Allah, manusia adalah
ciptaan dan Allah adalah pencipta. Dalam tanggungjawab untuk
menyatakan Allah maka manusia harus mengalami perjumpaan dengan
Allah. Perjumpaan ini bukan usaha manusia belaka tetapi inisiatif Allah
semata dalam memperkenalkan diri-Nya, bertemu serta menyelamatkan
manusia. Inilah hakekat hidup manusia yaitu mengenal dan berjumpa
dengan Allah karena tanpa hal ini manusia tidak akan pernah mengenal
dirinya sendiri. John Calvin dalam Institutes of Religion menulis: “man
never achieves a clear knowledge of himself unless he has first looked upon
God’s face, and descends from contemplating him to scrutinize himself.”1
Sehubungan dengan hal ini Pratt menulis demikian: “ Calvin dengan baik
mengamati bahwa manusia mengerti siapa dirinya hanya didalam terang Allah itu.
Allah adalah sang pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Tanpa memandang
diri manusia melalui terang ini, manusia tidak akan pernah menangkap apa artinya
manusia.”2 Oleh karena itu pengenalan Allah adalah urat nadi atau hal yang
fundamental untuk manusia. Ferguson menulis demikian :
Hal yang paling penting bagi orang percaya selama berada dalam
dunia ini ialah bertumbuh dalam pengenalan akan Allah. Pengenalan
akan Allah adalah pusat dari keselamatan orang percaya dan dari
semua pengalaman kerohanian yang benar. Pengenalan akan Allah
adalah pusat bagi semua pengertian yang benar dalam kehidupan
keKristenan. Pengenalan akan Allah penting bagi pertumbuhan

1
John T. McNeill (Ed), Calvin: Institutes of Religion (Philadelphia: The
Westminster Press, 1981), 37.
2
Richard L. Pratt, Dirancang bagi Kemuliaan (Surabaya: Penerbit Momentum,
2003 ), 3
orang percaya. Pengenalan akan Allah adalah merupakan hak
istimewa.3
Dari kajian ini jelas bahwa pengenalan akan Allah yang dimaksud
adalah di dalam Yesus Kristus karena iman Kristen memiliki keunikan
dalam hal ini. Iman Kristen memiliki perbedaan yang mendasar dengan
iman dalam agama-agama lain dalam hal isinya atau content. Iman Kristen
menjadi kesatuan integral dengan struktur jiwa manusia dan menghasilkan
nilai-nilai kekekalan dalam hidup manusia.4 Iman yang sejati memberikan
kepastian dalam segala hal yang terjadi sekarang dan dalam segala hal yang
akan terjadi nanti (Eskatologis). Maka keKristenan bukan hanya sebuah
sistem agamawi tetapi sebuah relasi. Allah dalam iman Kristen adalah
Allah yang berpribadi dan Dia menghendaki supaya diri-Nya dikenal oleh
manusia serta umatnya mencari, mendekat dan bersekutu dengan Dia
melalui ibadah (bnd. Kel 7:16, 8:1-9; Luk 11:10; Kis 17:27). Sproul
menulis dua sebab utama mengapa kita beribadah kepada Allah yaitu:
“pertama, Allah menyuruh kita beribadah sebagai suatu kewajiban yang
diberikan oleh pencipta kepada ciptaan-Nya. Kedua, pada hakekatnya Allah
memang patut menerima ibadah kita.” 6 Ini berarti bahwa ibadah adalah
suatu tindakan memuliakan Allah. Searah dengan hal ini Grudem dalam
Systematic Theology mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
Worship is the activity of glorifying God in His presence with our
voices and heart. In this definition we note that worship is an act of
glorifying God. Yet all aspect of our lives are supposed to glorify
God, so this definition spesifies that worship is something we do
especially when we come into God’s presence, when we are
conscious on adoration of him in our hearts and when we praise him
with our voices and speak about Him so others may hear.”7
Carson mengutip apa yang didefinisikan oleh A.P. Gibbs tentang
ibadah yaitu: “ibadah adalah dikuasainya hati oleh Allah, bukan berbagai
kebutuhannya atau oleh berkat-berkatnya.8 Maka ibadah adalah suatu sikap
pengagungan dan rasa hormat yang terdalam bagi Allah di dalam Yesus

3
Sinclair B. Ferguson, Hati yang Dipersembahkan Kepada Allah (Surabaya:
Penerbit Momentum, 2002 ), 1-3
4
Ibid., 5
6
R.C. Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah: Pola Hidup Kristen (Malang:
Gandum Mas, 1990), 350
7
Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
1994), 1003
8
D.A. Carson, Gereja Zaman Perjanjian Baru dan Masa Kini (Malang: Gandum
Mas, 1997), 127
Kristus dan hanya Allah saja yang menjadi fokus utama. Sehingga setiap
ibadah selalu menyatakan Allah. Hoon menulis demikian: “Inti ibadah
Kristen adalah Allah sedang bertindak untuk memberikan hidup-Nya bagi
manusia dan membawa manusia mengambil bagian dalam kehidupan itu.” 9
Teolog Lutheran Peter Brunner menjelaskan ibadah dengan menggunakan
istilah Jerman Gottesdiest yaitu satu kata yang mencakup baik pelayanan
Allah kepada manusia maupun pelayanan manusia kepada Allah.10 Nikos
A. Nissiotis seorang teolog Ortodoks menyatakan bahwa ibadah pertama-
tama bukanlah inisiatif manusia melainkan tindakan pendamaian Allah
dalam Kristus melalui Roh-Nya.11 Selain berbicara tentang tanggapan
terhadap karya agung yang telah Allah kerjakan, sedang dikerjakan, ibadah
juga memberi dampak kekekalan atau makna eskatologis. Dalam
hubungannya dengan hal ini Jean Jaques von Allmen seorang theolog Swiss
mendefiniskan ibadah demikian: “Christian worship is an eschatological
game.” Maksudnya, bahwa keunikan ibadah Kristen adalah pada makna
eskatologinya. Seolah-olah apa yang dilakukan umat Kristen dalam ibadah
menunjuk pada apa yang akan terjadi kelak dalam kerajan Sorga (Why 4:1-
11, 7:9-17).12 Ibadah memiliki sifat kekekalan sehingga ibadah adalah
tujuan tertinggi. Maka ibadah Kristen adalah sesuatu yang unik yang tidak
terdapat dalam ibadah manapun karena semua aspek ada di dalam ibadah
Kristen. Bahkan ibadah adalah tujuan dari kehidupan itu sendiri, oleh
karena semua yang manusia lakukan adalah ibadah. Ini berarti bahwa
kehidupan sama dengan ibadah atau ibadah harus menjadi gaya hidup.
Konsep ibadah sebagai gaya hidup ini harus di implementasikan
dalam ibadah Gereja masa kini. Karena pertumbuhan Gereja baik secara
kualitas maupun kwantitas ditentukan oleh konsep ibadah. Bahkan praktek
ibadah dalam Gereja semua didasarkan pada konsep ibadah. Jika konsep
yang di implementasikan adalah keliru maka akan terjadi penyimpangan
yang berakibat pada pelaku ibadah yaitu jemaat.
Semua orang yang ada dalam Gereja menghendaki kehadiran Gereja
ditengah dunia ini adalah menjadi berkat. Harapan dan cita-cita Gereja ini
sangat mulia. Tetapi dalam kenyataan yang ditemui dilapangan beberapa
Gereja tidak dapat memenuhi cita-cita dan harapan yang mulia ini. Salah
satu faktor penyebab adalah kurang terimplementasinya konsep ibadah
yang benar. Beberapa Gereja telah melupakan bahkan menghilangkan

9
James F.White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 7
10
Ibid.
11
Ibid., 10.
12
Yakub B. Susabda, Mengenal dan Bergaul dengan Allah..., 254
unsur-unsur dasariah ibadah serta penyimpangan tujuan umat yang
beribadah. John Stott menulis sebagai berikut:
Bahwa kita yang menyebut diri 'injili' tidak tahu banyak bagaimana
harus beribadah. Pengabaran injil atau evangelisasi adalah
spesialisasi kita, bukan ibadah. Kita tampaknya hanya punya sedikit
rasa tentang kebesaran dan keagungan Allah yang Mahakuasa. Kita
tidak bersujud dihadapan-Nya dengan kagum dan gentar.
Kecenderungan kita adalah sok jago, kurang ajar dan sombong. Kita
tidak ambil pusing dalam mempersiapkan pelayanan ibadah kita.
Sebagai akibatnya ibadah kita kadang-kadang berjalan begitu saja,
mekanis, asal jadi dan kering. Pada kesempatan lain ibadah kita
gegap gempita sampai benar-benar kehilangan kekhidmatannya. Tak
heran mereka yang mencari kenyataan sejati sering mengabaikan
kita.13
Alan Wolfe, seorang sarjana dan peneliti menerbitkan sebuah studi
yang tajam dari kehidupan keagamaan bahwa yang tampil menyolok adalah
tokoh kaum injili. Ia menuliskan sebagai berikut:
Paham injili sekarang ini memamerkan sebuah keinginan yang
sangat kuat untuk meniru konsep bangunan mewah dan musik
populer yang membuatnya kehilangan perbedaan-perbedaan religius
yang pernah dimilikinya. Kebenarannya ialah terdapat
kecenderungan menguat akan adanya perbedaan tipis antara sebuah
aktivitas duniawi seperti industri hiburan populer dengan upaya dari
banyak mega gereja Injili untuk menarik orang sebanyak mungkin
dengan ongkos berapa pun.”14
Maka George Barna menyimpulkan bahwa setiap hari Gereja justru
lebih seperti dunia yang semestinya diubahkan. 15 Michael Horton seorang
teolog Injili meratap setelah membaca hasil survei dari The Gallup
Organization dan The Barna Group bahwa orang-orang Kristen Injili
nampaknya sedikit demi sedikit hendak memeluk gaya hidup sebagai kaum
hedonis, materialistik, berpusat pada diri sendiri dan berperilaku amoral
dalam hal seksual seperti dunia pada umunya.16 Inikah wajah Gereja masa
kini? masihkah ada ibadah yang sejati dalam Gereja?
Dalam hubungannya dengan perubahan zaman dari modern ke post
modern dimana orang-orang postmodern lebih suka hal-hal yang trans

13
John Stott, The Living Church (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 30
14
Ronald J. Sider, The Scandal of the Evangelical Conscience (Surabaya:
Literatur Perkantas, 2007), 22
15
Ibid., 23
16
Ibid., 22
history atau transenden dan sangat mengabaikan logika, telah memberikan
pengaruh dalam praktek ibadah masa kini, dimana ibadahnya lebih bersifat
mistis bahkan sinkritis. Tradisi-tradisi penyembahan berhala dimasukkan
dalam ibadah Kristen sehingga motivasi beribadah hanya terbatas pada
tanda-tanda ajaib. Selain itu juga tanda-tanda ajaib Allah hanya dibatasi
melalui media-media tertentu. Maka ibadah dengan Allah hanyalah untuk
menikmati berkat-berkat Allah bukan Allah sendiri. Allah hanya menjadi
sarana (tools) bukan sasaran. Jika Allah mampu melakukan tanda-tanda
ajaib maka Allah hadir dan ada dalam ibadah. Jika tidak ada tanda-tanda
ajaib maka Allah tidak ada dalam ibadah (functional God). Salah satu unsur
ibadah Kristen adalah pesta rohani dimana dalam pesta rohani tersebut
menunjuk kepada pengharapan. Itulah sebabnya Tuhan memerintah
melakukan sakramen perjamuan kudus karena hal ini adalah tanda surgawi
dari realita rohani di dalam kerajaan surga. Para reformator menyebut
sakramen sebagai pledge atau janji Allah.17 Susabda mengutip John A
Lasco tentang kebenaran dalam hubungan dengan sakramen demikian: “I
hope that you all, sitting down at this Supper, have perceived by the eye of
your faith that blessed time in the Kingdom of God when you sit at the table
with Abraham, Isaac dan Jacob.”18 Sakramen diubah fungsikan hanya
sebagai sarana utama perjumpaan dengan mujizat Allah bukan Allah
sendiri. Akibatnya sakramen di kultuskan sehingga ukuran untuk melihat
dan merasakan tanda-tanda ajaib hanya ada dalam sakramen. Tuhan
dimasukkan dalam kotak khusus yaitu perjamuan kudus. Ini berarti
membatasi Tuhan dalam karya-Nya.
Dalam praktek ibadah yang lain secara khusus pelaksanaan unsur
ibadah pujian, seringkali dilakukan dengan jiwa yang kosong dan kasih
yang hambar, maka pujian seringkali hanya untuk kemuliaan manusia
bukan Allah. Pujian harus menyentuh perasaan dan ketika perasaan
tersentuh maka kepuasaan batiniah tercapai dan itulah ibadah. Apakah
demikian pujian dalam ibadah? Jika pujian yang dilakukan hanya untuk
mengisi kekosongan perasaan dan hasrat tertinggi adalah pencapaian
kepuasaan batiniah, maka disinilah muncul subjective truth sehingga
kebenaran ini bersifat relativ. Karena pengalaman kepuasaan batiniah
bukan dengan landasan objective truth yaitu firman Allah. Pengabaian
Firman Allah dalam ibadah Kristen berarti sama dengan sebuah
pengkhianatan dalam ibadah, artinya firman hanyalah sampah. 19 Unsur lain
17
Susabda, Mengenal dan Bergaul..., 260
18
Ibid.
19
Hans Maris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita (Surabaya: Penerbit
Momentum, 2008), 34.
yang menjadi sorotan dalam ibadah adalah masalah charismata. Dalam hal
ini charismata dimunculkan dalam ibadah Kristen menjadi suatu
kewajiban. Dengan kata lain, tanpa charismata karya Roh kudus belum
lengkap. Apakah ukuran seseorang dalam beribadah hanya karena memiliki
charismata?
Pertanyaan yang muncul adalah jika semua unsur dalam ibadah
sudah terpenuhi dan bahkan dilaksanakan mengapa Gereja masih belum
maksimal dalam menjalankan cita-citanya yaitu Gereja yang menjadi
berkat? Mengapa masih ada diskriminasi ras dalam Gereja? Mengapa masih
terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di anggota Gereja?
Mengapa masih ada perceraian? Mengapa masih ada ketidak taatan
seksual? Mengapa filsafat materialisme, relativisme dan egoisme
berhembus kencang dalam Gereja? Serta ada banyak bentuk masalah sosial
yang ada yang dalam Gereja.
Semua fakta ini tidak dapat disangkali bahwa dalam tubuh Gereja
masih ada banyak skandal yang terjadi. Apakah Gereja gagal beribadah?
Gereja tidak pernah gagal beribadah hanya Gereja belum menerapkan
ibadah secara holistik. Selama ini Gereja membatasi ibadah hanya dalam
sistem ceremonial. Ini berarti menutup ruang gerak dari pemahaman
ibadah. Karena itu Gereja harus terus maju dan berkembang dalam tugas
dan panggilannya. Menyikapi hal ini maka pengajaran tentang ibadah
sebagai gaya hidup menurut Rasul Paulus dalam Roma 12:1-2, menjadi
pegangan utama dalam Gereja demi terwujudnya ibadah yang sejati dan
menghadapi semua skandal yang akan mengancam Gereja.

ANALISIS EKSEGETIS ROMA 12:1

Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang teologi ibadah


menurut Rasul Paulus dalam Roma 12:1-2, maka dalam bab ini Penulis
akan memaparkan dua pokok pembahasan: (1) Analisis konteks kitab, (2)
analisis eksegetis Roma 12:1.

Analisa Konteks Kitab


Dalam bagian ini penulis akan menguraikan pikiran-pikiran Paulus
dalam surat Roma, menyangkut seluruh konteks dalam kitab ini yang
disebut konteks dekat dan juga dari luar kitab yang disebut konteks jauh.
Konteks Dekat
Rasul Paulus bukanlah pendiri jemaat Roma. Tetapi dia mempunyai
keinginan untuk mengunjungi jemaat Roma. Sebagaimana beberapa surat
yang ditulis, Rasul Paulus memulai dengan pendahuluan atau salam,
dimana dia menjelaskan posisinya sebagai seorang Rasul Kristus (1:1-15),
kemudian dia menguraikan tentang kabar baik yaitu Injil Allah yang
merupakan tema utama dalam kitab ini (1:16-18), menyusul pada bagian
berikut yaitu pasal 1:18-3:20, uraian tentang keberadaan manusia baik
Yahudi maupun non-Yahudi sama-sama berada di bawah murka Allah.
Semua manusia telah berada di bawah murka Allah dan tidak ada
jalan lain selain dibenarkan oleh Allah, inilah anugerah terbesar bagi hidup
manusia dari yang hina menjadi mulia dan dari tidak percaya menjadi
dipercaya. Selanjutnya memasuki pasal 3:21-31, merupakan wujud
pembenaran oleh iman semua yang terjadi adalah anugerah Allah. Tetapi
ada semacam peralihan pada pasal 4 yaitu tentang Abraham. Van den End
menggunakan istilah Midrasy tentang Abraham yang membuktikan isi
pasal 3:21-31.20 Pasal 5-8 adalah merupakan perwujudan pembenaran ilahi
yaitu kehidupan baru berdasarkan pembenaran oleh iman. Berkaitan dengan
hal ini, Van den End mengatakan sebagai berikut:
Dibenarkan oleh iman berarti bahwa orang percaya telah masuk
kedalam lingkungan kasih karunia (ps. 5), menempuh kehidupan
baru bersama Kristus (ps. 6), dibebaskan dari kurungan hukum taurat
(ps. 7), dengan ekskurs mengenai peranan hukum taurat dalam
hubungan dengan dosa dalam diri manusia) dan menjadi tempat
pendiaman Roh yang olehNya mereka mampu memenuhi tuntutan
hukum taurat (8).21
Perbedaan yang mencolok ialah antara pasal 7 dan 8. Pasal 7
berbicara penuh soal hukum taurat sedangkan pasal 8 berbicara soal Roh
Kudus. Fakta lain yang di ungkapkan oleh Paulus bahwa kita adalah anak-
anak Allah (sebagai meterai Roh Kudus) maka kita juga adalah ahli
warisnya dan penderitaan yang kita alami adalah jalan menuju kemuliaan.
Selanjutnya pasal 9-11 merupakan hubungan antara pembenaran
dengan bangsa Yahudi, pilihan atas Israel dan kegagalan Israel. 22 Selain itu
juga pasal 9-11 adalah jawaban terhadap tuduhan yang diajukan kepada
20
Th. Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), 11
21
Ibid.
22
Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1992), 337
Paulus yaitu pemberitaan tentang Allah, dimana Paulus katakan bahwa
Allah telah menolak umat-Nya dan bahwa karena itu Allah yang
diberitakan Paulus adalah Allah yang tidak dapat diandalkan. Penjelasan
lain dari pasal ini yaitu Paulus meletakkan asas Gereja serta kehidupannya.
Akan tetapi kehidupan itu bukan hanya asas saja atau sebuah teori tetapi
bisa dipraktekkan dalam hidup tiap hari, dan penjelasan tentang hal ini pada
pasal 12:1-15:13 yaitu nasehat yang bersifat umum dan menyangkut
problem konkrit di dalam jemaat Roma. Keseluruhan nasehat praktis pada
pasal 12-15 berbicara tentang bagaimana sikap orang Kristen dalam
berhubungan. Hubungan yang paling awal dilakukan adalah hubungan
dengan Allah yaitu pasal 12:1-2, kemudian sesudah itu ayat 3-8
menjelaskan hubungan orang Kristen dengan dirinya sendiri secara khusus
menyadari setiap karunia yang diberikan oleh Allah untuk kemuliaan Allah,
bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Artinya tiap-tiap anggota
jemaat mempunyai tugas yang harus dilakukan untuk tubuh Kristus.
Karunia yang diberikan oleh Tuhan itu untuk saling melengkapi bukan
untuk saling menonjolkan diri diantara sesama anggota jemaat. Setelah
menyadari hubungan dengan diri sendiri Paulus menekankan lagi hubungan
dengan orang lain secara khusus tentang kasih dalam keluarga Allah (ay. 9-
13). Pada bagian berikut tentang sikap terhadap musuh atau hubungan kita
dengan musuh kita. Sikap orang percaya bukan membalas tetapi melayani
jika hal ini dilakukan , maka seperti menumpukan bara api di atas kepala
mereka (ay. 20). Setelah memberikan nasehat tentang bagaimana hubungan
dengan Allah, diri sendiri, sesama dan bahkan musuh kita, Paulus melihat
bukan hal-hal yang hanya dalam lingkup sendiri saja tetapi bergerak maju
dengan melihat bagaimana hubungan kita dengan pemerintah seperti yang
nampak pada pasal 13:1-7. Hal ini perlu dilakukan oleh karena pemerintah
adalah wakil Allah di dunia. Ada tiga hal utama untuk menjelaskan
pengertian Paulus tentang pemerintahan sebagai wakil Allah di dunia yaitu:
Sebab tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah (ay 1b).
Pemerintahan ditetapkan oleh Allah (ay 1c).
Konsekwensinya, barang siapa yang melawan pemerintah, melawan
Allah (ay. 2a).
Tekanan pemikiran Paulus yaitu pemerintahan sebagai wakil Allah
ini menjelaskan kepada orang Kristen tentang ketaatan yaitu bukan rasa
takut karena dorongan batin yang dalam, artinya kita harus memiliki sikap
yang benar terhadap pemerintahan yaitu membantu mereka dalam
melaksanakan tugas bahkan memberikan pengertian bahwa mereka sedang
mengerjakan pekerjaan Allah.
Setelah menjelaskan sikap taat kepada pemerintah (ay. 1-7) dan
perwujudan nilai kristiani (ay. 8-10). Paulus menutup pasal ini dengan
menyajikan alasan yang telah diberikannya tentang dekatnya keselamatan
yaitu kedatangan Kristus kembali (ay. 11-14). Sehingga kita harus
menghindari semua gaya hidup yang tidak sopan artinya gaya hidup serta
nilai-nilai yang diberikan oleh dunia ini. Dalam pasal ini dijelaskan yaitu:
pesta pora, kemabukan, percabulan, hawa nafsu, perselisihan dan iri hati.
Orang Kristen harus memiliki nilai Kristen yaitu kasih yang terus-menerus,
karena kasih akan membawa orang percaya untuk menanti kedatangan-Nya.
Rasul Paulus melanjutkan nasehatnya (ps. 14:1-15:13) dengan
melihat masalah yang terjadi dalam jemaat yaitu adanya golongan orang
kuat dan lemah, yang membawa kepada kebiasaan saling menghakimi,
sehingga hal ini menjadi batu sandungan di antara sesama anggota jemaat
(14:13). Tapi Paulus menekankan kesatuan di antara kedua golongan yang
telah tercipta ini. Akhirnya pasal 15:14-16 : 27, merupakan bagian penutup
yang berisi ucapan selamat untuk berbagai orang dan rumusan doxologi. 23

Konteks Jauh
Dalam memahami konsep tentang ibadah yang sejati, maka tidak
lepas juga dengan kitab-kitab di luar Roma atau disebut konteks jauh atau
dapat dikatakan bahwa topik tentang ibadah ini dibahas juga dalam bagian
surat-surat Rasul Paulus lainnya seperti Galatia dan Korintus. Akan tetapi
dari segi isi surat Roma memiliki perbedaan oleh karena banyak ahli
mengatakan bahwa kitab ini berisi tentang dogma yang sangat jelas sekali.
Ini tidak berarti bahwa surat-surat tulisan yang lain tidak bermakna. Tetapi
perbedaan yang nampak hanyalah dari sisi sistematika penulisan,
penjelasan mengenai isi memiliki kesamaan, misalnya konsep tentang Roh
dan Daging dalam Roma 8, dengan Galatia 5:16-26, selain itu juga konsep
dibenarkan karena iman dalam Roma 3:21-31 memiliki kesejajaran dengan
memiliki kesejajaran dengan Galatia 3:1-14. Mengenai ibadah yang
diungkapkan dalam Roma 12:1-2, sebenarnya juga memiliki kemiripan
dalam surat Korintus 3:16-17 yaitu tentang tubuh adalah Bait Allah yang
perlu dijaga kekudusannya. Dalam Roma 12:1-2 diungkapkan bahwa tubuh
ini adalah persembahan bagi Allah dan yang kudus. Artinya kekudusan
hidup berlaku terus bagi hidup tiap-tiap hari, karena hidup ini adalah bait
Allah, dimana dalam bait Allah ibadah tercipta senantiasa. Wujud dari
ibadah yang sejati dalam Roma 12:1-2 adalah hidup sebagai orang
23
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 11-12
merdeka, yaitu lepas dari kutuk dosa yang mengikat, memiliki gaya hidup
yang berbeda “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,” serta
melayani sesama dalam kasih. Wujud dari pembenaran Allah adalah
munculnya kasih dan jiwa melayani hal ini diungkapkan juga oleh Paulus
dalam Galatia 15:13, memiliki kemerdekaan bukan untuk melakukan dosa
tetapi melakukan melayani sesama dengan dalam kasih.
Dari pemikiran Paulus tentang ibadah dalam semua surat-surat
tulisannya, intinya adalah ibadah merupakan tanda dari orang yang telah
dibenarkan oleh Allah. Pembenaran Allah itu meliputi seluruh aspek hidup
manusia (totalitas hidup) dan totalitas hidup inilah yang dipersembahkan
kepada Allah sebagai ibadah, dan persembahan tubuh ini adalah kudus.

Analisa Eksegetis Teks


Pada bagian ini penulis mempresentasikan pokok-pokok mengenai:
nasehat atas dasar kemurahan Allah, mempersembahkan tubuh sebagai
persembahan yang hidup, kudus dan berkenan, serta ibadah yang sejati.

Nasehat atas dasar kemurahan Allah (ay. 1)


Sebelum melihat istilah-istilah yang ada dalam bagian ini (ay. 1)
maka penulis melihat juga satu istilah penting yaitu kata karena itu di mana
kata ini menunjuk kepada suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
pasal sebelumnya yaitu pasal 1-11. Jadi ada kontinutias yaitu dengan
penggunaan kata ou-n yang berfungsi sebagai kata penghubung. Rasul
Paulus kembali memberikan nasehat-nasehat praktis, dia tidak hanya
berbicara tentang teori saja yaitu pembahasan tentang doktrin-doktrin
Kristen yang sudah dia katakan pada pasal sebelumnya (1-11). Pada bagian
ini Paulus menjelaskan lebih rinci untuk menunjukan bahwa Yesus Kristus
adalah Tuhan untuk seluruh bagian kehidupan ini. Cranfield memberikan
penjelasan tentang kata ou-n serta implikasinya demikian:
Oun is here better understood not as a mere transition-particle, but
as having its full force and indicating that what is going to be said
follows from what has already been said. The implication of this
“therefore” is that Christian ethics are theologically motivated or to
put it in a different way that christian obedience is his response to
what God has done for him in Christ, the expression of his
gratitude.24
Hegelberg menerjemahkan kata ou-n dengan karena itu dan
mengatakan bahwa pemakaian kata ini menyatakan bahwa dorongan ini
mempunyai dasar dalam kemurahan Allah seperti yang diuraikan dalam
pasal 11:23-32, yang merupakan puncak dari seluruh diskusi teologi surat
Roma.25 Jadi, dalam bagian ini ia telah memasuki bagian yang praktis.
Barclay menjelaskan hal ini demikian:
Di sini kita menemukan kembali pola penulisan Paulus yang selalu ia
pakai apabila ia menulis surat kepada teman-temannya. Ia selalu
mengakhiri surat-suratnya dengan nasehat praktis. Jalan pikirannya
memang dapat menyelidiki sampai kepada hal-hal yang tidak
terhingga tetapi ia tidak pernah sesat (ngambang); ia selalu
mengakhiri surat-suratnya dengan menetapkan dasar dimana ia
berpijak. Ia dapat menggumuli masalah-masalah theologia yang
terdalam, tetapi ia selalu mengakhirinya dengan tuntutan etis yang
praktis, yang berlaku bagi tiap-tiap orang.26
Uraian di atas memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana
kita harus hidup. Artinya bagaimana kita berpikir memberi dampak kepada
bagaimana kita hidup. Pemahaman kita yang tepat tentang Allah, manusia,
dosa, anugerah, dan doktrin-doktrin yang lain akan menyanggupkan kita
hidup secara tepat.
Pasal 12 ini dimulai dengan istilah parakale,w (kata kerja, indikatif
present aktif, orang pertama tunggal).27 Kata parakale,w berasal dari dua
kata para dan kale,w. Mengenai dua kata ini storng menguraikan demikian:
“para; a primary prep: prop, near; I.e (with gen) from beside (lit or fig),
(with dat.) at (or in) the vicinity of (object or subject), (with acc) to the
proximity with local (espec, beyond or oppsed to).28 kale,w: to call (prop.
Aloud but used in variety of applications, dir or other wise): bid call
(forth), (whose) name (was called).29 Penggabungan kedua kata ini para
(para) dan kale,w (kaleo) menjadi parakale,w (parakaleo) diterjemahkan to
24
C.E.B. Cranfield, The Epistle to the Romans (Scotland: T&T, Clark LTD,
Edinburgh, 1979), 595
25
Dave Hagelberg, Tafsiran Roma: Dari Bahasa Yunani (Bandung: Yayasan
Kalam Hidup, 1998), 234
26
Barclay, Pemahaman Alkitab..., 232
27
Barbara and Friberg (ed.), Analytical Greek..., 499
28
James Strong, The New Strong’s Complete Dictionary of the Bible Words
(USA: Thomas Nelson Publishers, 1996), 673-674
29
Ibid., 639
call near, i.e invite, invoke (by imploration, hortation or consolation):
beseech, call for (be of good). Comfort, desire, (give), exhort (tation),
intreat, pray.”30 A linguistic Key memberikan pengertian untuk parakale,w
demikian: To admonish, to encourage, to exhort. To word was used in
classical Greek of exhorting troops were about to go in battle. Here it a
request based on apostoloc authority of Paul.31
Sehingga istilah parakale,w diterjemahkan aku menasehatkan
adalah suatu kegiatan yang terjadi secara terus menerus atau berulang-
ulang. Tetapi bukan hanya sebuah nasehat yang bersifat anjuran biasa
sehingga perlu dipertimbangkan tetapi ada semacam dorongan yang kuat
yang penuh kuasa, dimana kuasanya tidak bisa ditolak tetapi harus
dilakukan. Hagelberg menjelaskan bahwa istilah ini (menasehatkan)
menunjuk pada suatu ketaatan yang berakar dalam Injil Kristus sehingga
nasehat yang dimaksudkan mempunyai wibawa yang sangat kuat. 32 Maka
kedua makna dalam kata parakale,w yaitu dorongan yang begitu mendesak
serta wibawa. Hal ini lebih mendasar lagi dari nasehat yang Paulus
ungkapkan disini adalah dasar utama dari nasehat ini adalah pada
kemurahan Allah. Sehingga nasehat yang Paulus berikan ini adalah dasar
motivasi dan dorongan yang bersifat Kristiani. Diluar Kristus orang
mendorong dengan ancaman terutama ancaman hukuman kekal. Yang lain
lagi mendorong para pengikutnya dengan kuasa kebencian, tetapi Allah kita
mendorong kita dengan kuasa kasih.33
Istilah yang berikut ini ialah kemurahan yang diterjemahkan mercy
(NIV & NKJV), yang dalam bahasa Yunaninya oivktirmw/n dalam bentuk
kata benda, genitiv, maskulin, jamak.34 Kata mercy disini menunjuk kepada
Allah tw/ qew/| artinya mercy adalah milik Allah. Maka KJV tepat
menerjemahkan God’s mercy. Istilah lain untuk kata mercy adalah eleos.
Dalam LXX secara normal kata ini digunakan dari bahasa Ibrani “hased.”
Leon Morris dalam Paul Dictionary menjelaskan istilah ini demikian:
“Hased is chieftly used of God’s relationship with his people in which the
notion of grace rather than obligation is prominent. God’s hased issues in
his covenant with Israel and by it He request to abandon Israel when the
nation is faithless.”35 Dalam bagian ini Paulus menggunakan istilah
oivktirmw/n pada kata mercy. Istilah oivktirmw/n, berasal dari bahasa

30
Ibid., 674
31
Reinecker & Roger, Jr (Ed), A Linguistic Key..., 375
32
Hagelberg, Tafsiran Roma..., 235
33
Ibid.
34
Barbara and Friberg (Ed), Analytical Greek..., 499
35
Morris, “Mercy,” Paul Dictionary and His Letter..., 601
Ibrani Rahamim yang diambil LXX, dimana kata ini digunakan sebanyak 6
kali. Kata ini diartikan oleh Leon Morris dalam Paul Dictionary demikian:
“A terms which seems to denote the feeling kinship between those born
from the same womb or the maternal feeling of a mother who has given
birth (rehem, womb).36 Berkenaan hal ini Cranfield menjelaskan demikian:
The use of the plural oivktirmw/n would suggest a number of
different manifestations of compassion; but here (as in 2 Cor 1:3;
Phil 2:1) it probably reflects the influence of the LXX, which
regularly respresent Hebrew plural RAHAMIM by plural of
oivktirmwos. The Vulgate represent Paul’s meaning accurately by
singular misericordiam. What he is appealing to as the basis of
efhortation is the compassion of God revealed in God’s dealing with
men through Jesus Christ.”37
Kemurahan selalu berbicara tentang relasi yaitu adanya pertalian
yang akrab antara dua pribadi yaitu antara Allah dan manusia. Hal ini
dipahami oleh Paulus sehingga dia mendasari nasehat pada kemurahan
Allah yang semua ini tercipta oleh suatu relasi yang akrab dengan Allah.
Oleh karena itu istilah mercy pada bagian ini jelas menunjuk kepada
apa yang Paulus jelaskan pada pasal sebelumnya secara khusus pasal 9-11,
di mana Paulus menjelaskan bahwa keselamatan tidak bergantung kepada
perbuatan baik manusia tetapi anugerah Allah (9:16). Maka hal ini berarti
bahwa anugerah Allah adalah karya agung Allah yang menyelamatkan
manusia berdosa. Disinilah nampak kemurahan Allah bagi manusia.
Thomas Van den End menuliskan: “Kemurahan Allah itu bukan hanya
hiburan. Tetapi dengan menyelamatkan orang berdosa, Tuhan meneguhkan
kembali hak-hak-Nya atas ciptaan-Nya itu.”38 Tanpa anugerah Allah dalam
hidup manusia, maka tidak ada seorangpun yang bisa datang kepada Allah.
Dalam hubungannya dengan nasehat yang didasari oleh anugerah
Allah ini, Cranfield mengutip apa yang ditulis oleh Calvin demikian:
“Calvin comment is apt. Paul here “teaches us,” he says, that men will
never worship God with a sincere heart, or be roused to fear and obey Him
with sufficient zeal, until they properly understand how much they are
indebted to His mercy.”39 Maka Rasul Paulus ingin mengingatkan kepada
seluruh orang percaya agar supaya mereka terus mengingat anugerah Allah
yaitu karya agung penyelamatan Allah bagi manusia berdosa dan tidak

36
Ibid.
37
Cranfield, The Epistle..., 596
38
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 563
39
Cranfield, Ibid.
bermain-main dengan anugerah Allah tetapi sebaliknya semakin serius
dengan Allah. Dan juga Rasul Paulus mengingatkan orang percaya bahwa
perbuatan baik bukanlah jaminan untuk keselamatan kekal tetapi semata-
mata hanya anugerah Allah, sehingga hal ini membawa kita semakin
menyadari status kita dihadapan Allah yang hanyalah ciptaan dan tidak ada
ssattu alasan pun untuk menentang penciptanya. Jadi, semakin mengerti
anugerah Allah membawa kita semakin mengasihi Allah dan mentaati-Nya.

Mempersembahkan Tubuh sebagai Persembahan yang Hidup,


Kudus, dan Berkenan (ay. 1)
Dalam bagian ini ada dua kata yang digunakan untuk persembahan
yaitu to present (KJV) atau to offer (NIV) yang dalam bahasa Yunani
parasth/sai, yang diterjemahkan persembahkanlah. Dan kata yang kedua
Sacrifice, dalam bahasa Yunani qusi,an yang diterjemahkan persembahan.
Kedua istilah ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Rasul Paulus
memberi nasehat dan pada bagian ini dan nasehat ini dikonkritkan lagi yaitu
dengan mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang
kudus dan yang berkenan. Istilah yang digunakan untuk mempersembahkan
yaitu parasth/sai dalam bentuk kata kerja, infinitif, aorist aktif, 40 yaitu
menyatakan suatu perbuatan yang dilakukan hanya satu kali saja. Strong
menjelaskan kata ini dengan akar kata pari,sthmi dan mengalami
perpanjangan menjadi paristano diterjemahkan to stand beside.41 A
Linguistic Key memberi pengertian untuk istilah ini demikian: parasth/sai
aor. Inf. pari,stemi, to present, a technical term to presenting a sacrifice,
literally meaning “to be place beside” for any purpose.42 Istilah parasth/sai
sudah digunakan pada pasal 6:13, 16, 19 dan dalam bagian ini (ps. 6) kata
kerja yang digunakan adalah paristanai. Berkenaan dengan hal ini Thomas
Van den End menjelaskan demikian:
Pemakaian istilah paristanai dalam bagian ini (ps. 6) berkaitan
dengan suasana lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan
kepada raja. Sebaliknya disini (ps. 12), istilah paristanai merupakan
istilah peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan
(kurban). Jadi gagasan dasar disini sama dengan yang terdapat dalam

40
Barbara and Friberg (ed.), Analytical..., 499
41
Strong, Strong’s Dictionary..., 676
42
Reinecker & Roger, A Linguistic..., 375
pasal 6:12-14 (penyembahan diri kepada Allah secara total), namun
penjabarannya berbeda.43
Dalam hubungan dengan hal ini juga Cranfield menjelaskan istilah
parasth/sai yang digunakan dalam bagian ini adalah istilah teknis dari ritual
agama.44 Hal ini diungkapkan juga oleh Loen Morris demikian: “Paul’s
verb 'offer' could be used of offering of various kinds (it is used, e.g., in
6:13, 16, 19), but it was a techinal term for ofering of sacrifice. Maka kata
to offer adalah penjelasan pengantar untuk istilah sw,mata. Yang
dipersembahkan adalah tubuh ini menjadi persembahan yang hidup, kudus
dan berkenan kepada Allah. Istilah tubuh yang digunakan oleh Paulus disini
sw,ma. Istilah ini memiliki beberapa makna karena istilah ini telah
mengalami perkembangan yaitu digunakan oleh beberapa filsuf. Yang
pertama Plato. Ia menuliskan hal ini demikian:
The body is only the abode of pre-existent soul. Death frees the soul
from the body. The picture of the body was also applied to the
cosmos. The latter is ruled and directed by divine soul. Zeus
conceals everything in himself and lets it all proceed from himself.
Similarly may can be represented as a microcosm. 45
Tetapi ada yang kontras mengenai ide ini seperti yang dijelaskan oleh
Aritoteles demikian: “The body is primarily that by which the soul becomes
something particular. The bond between body and soul is thus
indissoluble.”46 Epictetus seorang filsuf juga memberikan pengertian
tentang tubuh yaitu membuat gambaran antara jiwa dan daging lebih
daripada tubuh. Juga Stoa tentang ide dikotomi dari tubuh dan jiwa serta
Marcus Aurelius yang mengatakan tentang tiga bagian manusia demikian:
“there are three parts of which thou art composed: body, pneuma (spirit,
soul) and Nous (mind, reason).” Dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa
istilah sw,ma memiliki hubungan dengan sex.47 Akan tetapi penggunaan
istilah sw,ma di sini bukan atas dasar pemikiran filsafat Yunani yang
cenderung merendahkan tubuh sebagai jahat, penjahat dari akal yang baik.
Secara spesifik lagi dalam tulisan Paulus, istilah sw,ma yang digunakan
adalah menunjuk kepada keseluruhan hidup manusia. Bultman mengatakan
tentang istilah sw,ma dalam Roma 12:1 ini demikian: “Rom 12:1 clearly

43
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 563-564
44
Cranfield, Epistle..., 598
45
Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 232
46
Ibid.
47
Ibid.
show that the 'soma' is not merely an outer form but the whole person.”48
Cranfield mengutip komentar Calvin tentang istilah body demikian: “by
bodies, he means not only our skin and bones, but totality of which we are
composed... in bidding us present our selves...). The Christian is to offer to
God himself entire-himself in the whole of his concrete life.”42 Leon Morris
menjelaskan istilah body di sini demikian: “The use of the term bodies
interesting, for Paul surely expected Christians to offer to God not only
their bodies but their whole selver.”43
Dengan demikian penggunaan istilah tubuh menyangkut totalitas
hidup manusia, tidak hanyak dibatasi pada satu bagian saja. Ini berarti
bahwa seluruh kemampuan dan kegiatan kita harus dipersembahkan kepada
Tuhan. Penyerahan atau persembahan hidup kita bukan merupakan sesuatu
yang dilakukan sekali saja dalam proses pendewasaan. Tetapi yang
dimaksudkan dengan hal ini ialah hidup dalam ketaatan karena iman yang
bertumbuh, dimana anggota-anggota tubuh kita harus menjadi alat-alat
kebenaran, dan kita hidup dalam pembaharuan hidup.44 Tubuh yang
dipersembahkan kepada Allah adalah sebagai persembahan. Istilah yang
digunakan untuk persembahan di sini adalah Sacrifies (KJV, NIV), qusi,an
bentuk dasar dari kata bendanya qusi,a dan didefinisikan oleh Vine:
qusi,a primarly denotes the act of offering; then objectively, that
which is offeres (a) of idolatrous sacrifice (Act 7:4); (b) of animal or
other sacrifices, as offered under the law (Matt 9:13); 12:7; Mark
9:49; Luke 2:24; Act 7:24; ICor 10:18; Heb 5:1; 7:27). (c) of Christ,
in His Sacrifice on the cross (Eph 5:2; Heb 9:23) where the plural
antitypically comprehends the various forms of Levitical sacrifices
in their typical character. (d) Metaphorically, (1) of the body of the
beliver presented to God as a living sacrifice (Rom 12:1); (2) of
faith, (Phil 2:17); (3) of material assistance rendered to servant of
God (Phil 4:18); (4) of Praise (Heb 13:15); (5) of doing good to
others and communicating with their needs, (Heb 13:16). (6) of
spiritual sacrifices in general, offered by believers as a holy
priesthood (1Pet 2:5).45
Istilah sacrifies di sini menunjukan suatu tindakan atau aktifitas
yang memiliki objek atau materi. Oleh karena ibadah selalu identik dengan
kurban. Hal ini sangat jelas dalam PL, bahwa untuk mengadakan

48
Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 234
42
Cranfield, The Epistle..., 598
43
Morris, The Epistle..., 433
44
Hegelberg, Tafsiran Roma..., 235
45
Vine. M.A, Expository Dictionary..., 985
pendamaian dengan Allah perlu adanya kurban. Tetapi konsep Paulus disini
agak berbeda oleh karena bagi Paulus sendiri, Kristus adalah kurban yang
mulia untuk pendamaian dengan Allah dan hal ini adalah sempurna (Ef
5:2). Dan karena Kristus telah menjadi kurban, maka bagi orang yang
percaya kepada Kristus dituntut untuk memberikan persembahan yaitu
melalui hidup seutuhnya, tanpa menyisihkan sebagian untuk orang lain atau
diri sendiri, tetapi totalitas hidup ini dipersembahkan bagi Tuhan, atau
dalam pengertian lain bukan pemberian kita yang Tuhan kehendaki tetapi Ia
menghendaki kita sendiri.46 Dan persembahan yang kita berikan kepada
Allah adalah suatu persembahan yang hidup. Istilah hidup yang digunakan
dalam bagian ini adalah zw/san, living (NIV, KJV). Kata ini bersifat
sebagai objek dari kata qusi,an dan juga memberikan penjelasan tentang
kata qusi,an (sacrifices) itu sendiri, atau living adalah merupakan sifat dari
qusi,an dan hal ini terus menerus terjadi. Istilah zw/san memiliki akar kata
zw/. Kata ini digunakan sebanyak 23 kali secara khusus dalam kitab Roma.
Istilah ini juga berhubungan dengan zoe (life). Seperti dalam agama-agama
kuno yang lain, istilah zoe, digunakan pada masa kekristenan mula-mula
untuk menjelaskan tentang keselamatan.47 Dictionary of Paul and His
Letter menjelaskan zoe, demikian: “Zoe is used in Paul to mean something
other than mere physical existence; it refers to unique quality of life which
comes through faith in union with Christ.”48 Jadi, sesuatu yang hidup tidak
hanya hal fisik saja tetapi lebih dari itu adalah spiritual. Douglas Moo
menjelaskan istilah living demikian: “living, a theological sense,” as those
who have been brought to new spiritual life.”49 Hegelberg memberikan
penjelasan juga tentang persembahan yang hidup dan melihat sisi PL dan
PB tentang Persembahan, demikian:
Dalam ibadah PL tubuh-tubuh binatang yang hidup dimatikan untuk
dipersembahkan di mezbah Allah, sedangkan dalam ibadah kita,
tubuh-tubuh yang mati dipersembahkan sebagai persembahan yang
hidup oleh karena kuasa Roh Allah. Bukankah kontras antara ibadah
dalam Hukum Taurat dan ibadah kita dalam kasih karunia Allah
mencerminkan tema surat Roma, yaitu bahwa orang yang dibenarkan
karena iman akan hidup. Dalam ibadah diluar Kristus, segala macam
persembahan yang mati dipersembahankan kepada Allah. Dalam

46
Van den End, Surat Roma..., 564
47
Balz & Schneider (ed.), Exegetical Dictionary..., 105
48
Gerald F. Hawthorne, Ralph P. Martin & Daniel G. Reid (eds.), Dictionary of
Paul and His Letter (Leicester: Inter Varsity Press, 1993), 554
49
Douglas Moo, The New International Commentary on the New Testament, The
Epistle of Romans (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996), 751
Kristus, tubuh kita yang mati dihidupkanNya, dan itu menjadi
persembahan kita. 50
Oleh karena itu istilah hidup di sini menunjukan suatu kondisi hidup
yang baru, yaitu hidup yang dibaharui oleh Roh Kudus (8:11), karena tanpa
pembaharuan oleh Roh Kudus, maka hidup kita mati yaitu tetap dalam dosa
dan hal ini membawa kita untuk tidak dapat melakukan kehendak Allah,
dalam hal ini memberikan persembahan yang hidup. Selain persembahan
yang hidup, ada juga kriteria lain yang dicatat oleh Paulus dalam bagian ini
yaitu kudus, holy (KJV, NIV) yang digunakan di sini adalah dari kata
a`gi,an dari kata dasar a[gioj yaitu sacred (physically-pure); morally,
blameless or relegious; ceremonially, consecrated: (most) holy (one thing),
saint.51
Maka istilah kudus disini adalah menunjuk kepada sifat Allah yang
kudus dan juga menyangkut perubahan moral dan spiritual orang percaya
yang sudah dibenarkan, yang sudah dilahirkan kembali. Dikaruniai hidup
baru oleh Tuhan, sebagaimana yang Paulus jelaskan dalam pasal 7-8. Istilah
kudus ini juga seringkali Paulus gunakan dalam hubungan dengan
pembenaran artinya seseorang dikatakan kudus karena telah mengalami
pembenaran oleh Allah. Itu sebabnya istilah kudus disini merupakan bagian
yang penting dalam persembahan kepada Allah, karena Dia adalah Allah
yang kudus menerima persembahan yang kudus juga dari umat-Nya. Dalam
pengertian lain Allah hanya menghendaki persembahan yang kudus dengan
demikian persembahan itu adalah menyenangkan hati Tuhan atau berkenan
kepada Allah. Antara kekudusan dan menyenangkan hati Allah merupakan
satu bagian yang tidak dapat terpisahkan. Murray menjelaskan demikian:
Holiness is contrasted with the defilement which characterizes the
body of sin and with all sensual lust. Holiness is the fundamental
character and to be well-pleasing to God the governing principle of
a believer. These qualities have reference to his body as well as to
his spirit and show hoe ethical character belongs up the body and to
its functions. No terms could certify this fact more than “holy and
well-pleasing to God”.52
Sehingga menyenangkan hati Tuhan adalah merupakan sifat dari
persembahan yang kudus. Istilah eureston yang digunakan dalam bagian ini
memiliki bentuk kata yang sama dengan istilah a`gi,an -hagian- (holy) yaitu

50
Hagelberg, Tafsiran Roma..., 235-236
51
Strong, Strong Dictionary..., 566
52
John Murray, The Epistle to the Romans (Great Britain: W & J Makay Limited,
Chathan, n.d.), 112
kata sifat, akusatif, feminim tunggal. Hal ini berarti bahwa menyenangkan
hati Tuhan menandakan persembahan kurban dan persembahan kurban
disini adalah benar dan layak dimana hal ini sesuai dengan keinginan Allah
dan Dia menerimanya.

Ibadah yang Sejati (ay. 1)


Dalam bagian ini ada dua istilah yang akan diteliti yaitu logikh.n
dan latrei,an. Yang pertama adalah kata latrei,an yaitu berasal dari akar kata
latrei,a dalam bentuk kata benda, akusatif, feminim, tunggal, 53
diterjemahkan ibadah. Dalam bahasa Yunani umum istilah latrei,a ini
berarti pengabdian. Akan tetapi kata ini mengalami perkembangan dan
kemudian diterjemahkan ibadah. Barclay menjelaskan hal ini demikian:
Kata latreia itu adalah kata benda dari kata kerjanya, latreuein.
Latreuein berarti, berkerja untuk mendapat upah atau gaji. Kata itu
dipakai untuk pekerja-pekerja yang bekerja bagi seseorang dan
sebagai ganti tenaga dan usahanya, orang itu membayarnya. Itu
merupakan pekerjaan sukarela dan bukannya perbudakan. Kemudian
artinya dipakai dengan melayani; dan akhirnya mengandung arti: apa
yang kepadanya seseorang mengabdikan seluruh hidupnya...
akhirnya kata itu menjadi kata yang khusus mengenai orang yang
mengabdikan dirinya kepada dewa-dewa. Di dalam Alkitab kata itu
tak pernah berarti pelayanan pada sesama; tetapi selalu dipakai untuk
pelayanan kepada Allah dan ibadah kepada Allah. 54
Istilah latreia juga digunakan dalam LXX dengan kata abad yang
diterjemahkan hamba. Kemudian istilah ini digunakan dalam hubungannya
dengan keagamaan. Brown menambahkan lagi penggunaan istilah ini pada
LXX memiliki hubungan dengan istilah leiturgeo demikian: In LXX,
Latreueo is very close to-Leitourgeo in meaning, but the latter is used
exclusively for the service of the priest, while the former means the service
of God by the whole people and by the individual, both outwardly in the
cultus and inwardly the heart.55 Rasul Paulus mengambil istilah ini dari PL,
yang sangat berhubungan dengan kaum Yahudi. Akan tetapi penggunaan
istilah Latreian di sini, dimaksudkan oleh Paulus untuk membedakan antara
ibadah orang Yahudi dengan ibadah orang Kristen. Berkanaan dengan hal
ini Douglas Moo menjelaskan demikian:
53
Barbara & Timothy Friberg (Ed), Analitycal Greek New Testament (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 499
54
Barclay, Pemahaman Alkitab..., 233-234
55
Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 550
Paul probably chooses the term deliberately to create a contrast
between Jewish and Christian form of worship. For Christians, there
is no more “cult” or “sacrifice” in any literal sense. While the Jew
looked to the Jerusalem temple and it’s cult as the center of worship,
the Christian looks back to the once-for –all sacrifice of Christ.
Christians are all priests (1Pet 2:5; Rev 1:6; 5:10; 20:6), forming
together the temple where God now reveals himself in a special
way.56
Jelas bahwa ibadah yang dimaksudkan Paulus bukanlah hanya
sekedar suatu upacara tertentu, pada tempat tertentu, pada waktu tertentu
dan aksi tertentu tetapi ibadah berlaku dimana saja, dalam aktifitas apa saja
karena ibadah itu adalah persembahan hidup ini, setiap saat kepada Allah
dan ibadah yang kita lakukan kepada Allah adalah ibadah yang sejati atau
masuk akal. Dan inilah istilah kedua yang digunakan untuk masuk akal
yaitu logikh.n dalam bentuk kata sifat, akusatif, feminim, tunggal yang
diterjemahkan oleh KJV reasonable. Istilah logikh.n dari akar kata logikos
adalah istilah yang digunakan dalam filsafat Yunani. Berkenaan dengan hal
ini Van den End menjelaskan secara etimologis istilah logikos demikian:
Dalam bahasa Yunani, logikos merupakan istilah filsafat. Artinya
secara harfiah 'sesuai akal budi.' Tetapi khususnya dalam aliran Stoa,
logikos berarti: apa yang sesuai dengan kodrat alam semesta itu,
yaitu sang logos yang menjiwai dan mengatur alam semesta itu.
Logos ilahi itu hadir pula dalam diri manusia. Maka, jika manusia
membiarkan logos itu mengendalikan kehidupan dirinya, ia hidup
secara logikos, yaitu sesuai dengan logos yang menguasai alam
semesta. Dalam mistik Helenistik, logikos mendapat arti 'batiniah,'
‘sesuai dengan kodrat rohani manusia’, sehingga menjadi lawan
‘lahiriah’ (yang lahiriah adalah persembahan kurban, upacara-
upacara, dsb). Dalam lingkungan mistik itu terdapat istilah logike
thusia, ‘persembahan budiman.’ Pengarang Yahudi Philo menerima
arti itu dan mempertentangkan sikap yang logikos dengan sikap
hanya mementingkan penyembahan lahiriah. 57
Istilah logikos ini tidak terdapat dalam PL, maka jelas bahwa Paulus
menggunakan istilah filsafat Yunani ini tetapi memberikan pengertian yang
lain. Berhubungan dengan hal ini Cranfield menjelaskan demikian:
We must beware, however, of understanding ‘rational’ as though
Paul were a Stoic philosopher. For Paul the true worship is rational

56
Moo, The Epistle..., 753-754
57
Van den End, Surat Roma..., 566
not in the sense of being consistent with the natural rationality of
man but in the sense of being consistent with a proper understanding
of the truth of God revealed in Jesus Christ.58
Jadi, istilah logikh.n di sini memiliki makna spiritual bukan dalam
makna filosofis lagi, seperti yang dijelaskan John Stott demikian: Paul is
clear that the presentation of our bodies is our spiritual act of worship. It is
a significant Christian paradox. No worship is pleasing to God which is
purely inward, abstract and mystical; it must express itself in concrete acts
of service performed by our bodies.59 Oleh karena itu ibadah yang kita
lakukan adalah merupakan tindakan spiritual yang masuk akal dimana
adanya keterikatan antara ketiga hal ini yaitu hati, pikiran dan perbuatan,
ketiga hal ini dalam tuntunan Roh Kudus serta sesuai dengan Firman Allah.

PENUTUP: IMPLIKASI

Dalam bagian ini penulis akan membahas ibadah menurut Roma 12:1-2 dan
implikasinya bagi ibadah masa kini, yang meliputi: implikasi teologis, etis,
soteriologis, eklesiologis, dan eskatologis.

Implikasi Teologis
Ibadah yang sejati bukan hanya didasarkan pada pengalaman tetapi
didasarkan pada sebuah pemahaman teologis yang mendasar. Artinya
ibadah harus di dasarkan pada Alkitab yang adalah Firman Allah. Maka
kebenaran dari ibadah bersifat mutlak dan harus dilakukan. Jika ibadah di
dasarkan kepada pengalaman pribadi, maka kebenaran dari ibadah tersebut
tergantung apa kata pribadi sehingga nilai kebenarannya adalah relativ,
manusia sebagai penentu kebenaran. Jika kebenaran ibadah adalah relativ,
maka ibadah dapat di tolak yang berarti perlawanan terhadap Allah.
Ibadah yang didasarkan pada pengalaman semakin jelas tujuannya
yaitu ibadah antropocentris. Karena itu, ibadah harus dikaji secara teologis
dengan melihat beberapa aspek penting yang saling berkaitan satu dengan
yang lain dan berfondasi pada Alkitab. Jika hal ini dilakukan, maka
dipastikan bahwa ibadah tersebut adalah ibadah yang sehat karena memberi
gizi yang tepat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah.

58
Cranfield, The Epistle..., 604-605
59
Stott, The Message of Romans...,
Implikasi Etis
Ibadah adalah sebuah penyembahan yang dilakukan oleh para
penyembah. Karenanya ibadah memberi pengaruh kepada penyembah. Jika
seseorang beribadah tetapi tidak menunjukkan perubahan karakter dalam
hidupnya maka dia tidak memahami dan melakukan ibadah yang
sebenarnya. Karena ibadah yang sejati selalu mengubah hati penyembah.
Ini berarti bahwa ibadah memberi impact dalam perilaku setiap orang yang
melakukan ibadah. Problematika hidup yang seringkali terjadi dalam
kehidupan jemaat Kristen bukan hanya karena di dasarkan pada istilah
“karena kita ini manusia lemah,” tetapi karena pemahaman ibadah yang
hanya dibatasi oleh ritus, sistem ceremonial ataupun tempat tertentu. Ibadah
yang sejati adalah sebuah gaya hidup. Maka semua aktifitas, kreatifitas dan
hal apa saja yang dilakukan adalah ibadah, sehingga semua orang yang
memiliki konsep ini akan semakin bijaksana hidup dan memiliki makna
hidup yang tinggi, yaitu hidup adalah memuliakan Allah sampai selamanya.

Implikasi Soteriologis
Hakekat dari Ibadah yang sejati adalah inisiatif Allah semata. Ini
berarti bahwa jika seseorang mampu melakukan ibadah itu bukan karena
kekuatan atau inisiatif orang tersebut tetapi pekerjaan Allah. mengapa Allah
melakukan hal ini ? Karena Dia adalah Allah yang senang untuk berjumpa
dengan umat-Nya. Dan wadah yang diciptakan oleh Allah ibadah. Tetapi
perjumpaan dengan Allah melalui ibadah harus melalui syarat Allah. Hal
ini dilakukan oleh karena manusia telah jatuh dalam dosa. Syarat mutlak
dari ibadah yang sejati adalah Justification by faith. Karena tanpa
pembenaran oleh Allah tidak ada seorang pun yang mampu menghampiri
tahta Allah yang kudus. Karena itu ibadah Kristen adalah ibadah anugerah
yaitu refleksi dari keselamatan yang telah Allah kerjakan bukan sebagai
sarana untuk mencari keselamatan.

Implikasi Eklesiologi
Ibadah selalu identik dengan Gereja karena tidak ada Gereja yang
tidak beribadah. Selama Gereja ada berarti selama itu pula akan terus ada
ibadah, bukan berarti bahwa ibadah tidak bisa dilakukan tanpa Gereja.
Konsep ibadah sangat berpengaruh dalam maju mundurnya sebuah
Gereja. Jika Gereja salah bahkan tidak memahami konsep ibadah yang
sejati yaitu persembahan totalis hidup manusia kepada Allah yang di
dasarkan pada pembenaran oleh Allah, maka Gereja hanya akan menjadi
sebuah pusat pesta dimana setiap orang yang datang bebas menumpahkan
isi hatinya tanpa melihat aturan-aturan yang ada. Ibadah hanya sebuah alat
pemuasaan kebutuhan emosional, sehingga tidak heran bahwa ibadah hanya
boleh dilakukan di Gereja saja. Maka ibadah menjadi suatu legalisme dan
rutinitas belaka. Ibadah hanya di batasi pada tata cara dan sistem
ceremonial yang dilakukan pada waktu tertentu dan tempat tertentu.
Bukankah ini sebuah pereduksian ibadah ?
Gereja harus mengimplementasikan ibadah sebagai gaya hidup bagi
semua jemaat yang datang beribadah sehingga memberi dampak bagi
kehidupan sendiri, orang lain dan memuliakan Allah. Serta memberi diri
kepada Allah sebagai persembahan yang hidup dan menjalani proses
renewing mind sampai Tuhan datang kedua kali.

Implikasi Eskatologis
Ibadah yang dilakukan adalah sebuah gambaran tentang kehidupan
yang akan datang. Karena ibadah memiliki nilai eskatologis. Ketika Yesus
menyelamatkan kita itu berarti bahwa kerajaan-Nya telah hadir dalam hidup
kita dan kita telah berada dalam kerajaan-Nya. Maka tujuan tertinggi orang
beribadah bukan untuk masuk surga tetapi memuliakan Allah. Sehingga
ibadah mengadung kepastian. Karena sebuah kepastian maka ada banyak
janji yang didengar dan diberikan untuk kekekalan dan itu diterima oleh
banyak orang percaya dan di atas semua ini ada pengharapan yang sejati
dalam Yesus Kristus. Karena itu ibadah yang dilakukan adalah sebuah
refleksi jiwa tentang adanya kepastian hidup di masa yang akan bukan
hanya sebuah propaganda tanpa kepastian.

GEREJA DAN TRANSFORMASI KRISTEN


SUATU TINJAUAN KRITIS TERHADAP MISI
GERAKAN TRANSFORMASI

RIDWAN HENRY SIMAMORA


PENDAHULUAN

Istilah transformasi beberapa tahun belakangan ini menjadi isu yang


menarik dalam konteks kehidupan berbangsa dan Negara pada umumnya
serta relasinya dalam pemikiran kehidupan Kristen atau Gereja khususnya.
Transformasi menjadi tema penting yang tidak hanya dipikirkan, tetapi juga
diusahakan dalam pergerakannya secara serius oleh beberapa kelompok
tertentu. Pada Gereja-gereja tertentu di Indonesia istilah “transformasi”
demikian marak dibicarakan dan dikhotbahkan pada mimbar-mimbar
Gereja, bahkan terkesan upaya tersebut mengkristal sebagai sebuah gerakan
dalam upaya mengubah masyarakat dan Negara, serta upaya yang serius
untuk menjadikan transformasi sebuah tema nasional dalam berbangsa dan
bernegara umumnya dan dalam konteks Gereja khususnya. Satu sisi,
fenomena tersebut adalah positif, karena gerakan tersebut sebagai upaya
memfasilitasi proses upaya persatuan berbagai denominasi Gereja-gereja di
Indonesia, seperti yang terjadi pada helatan akbar National Prayer
Conference (NPC) pada tahun 2003, walaupun pada saat itu NPC tidak
langsung dapat diterima oleh seluruh Gereja-gereja di Indonesia, serta
World Prayer Assembly (WPA) yang telah digelar pada bulan Mei 2012
lalu secara serentak di seluruh Indonesia. Namun pada sisi lain, ada indikasi
gerakan ini bercampurbaur dengan spirit yang beraroma persaingan
“perebutan kekuasaan,” suatu upaya menjadikan orang Kristen sebagai
mayoritas melalui penginjilan atau dengan bahasa yang lebih tepat sebagai
usaha mengkristenkan Indonesia serta mencalonkan tokoh Kristen sebagai
pemimpin negara. Jika asumsi ini tepat, maka transformasi telah diartikan
secara bias.
Istilah transformasi dalam bahasa Kristen dan dalam konteks
Indonesia bukanlah suatu istilah yang asing dan acapkali menjadi bahan
pembicaraan sehari-hari atau bahkan manjadi tema-tema pada khotbah di
Gereja, namun dalam pergerakannya istilah transformasi menjadi bahasa
yang bias dalam pengertian dan perilakunya. Orang Kristen sebagai wakil
Allah di dunia, memiliki panggilan dan tanggungjawabnya kepada Allah
dan sesamanya. Hal itu menempatkan Gereja dalam suatu konteks tertentu
yang meminta suatu kerangka theologis dan praksis. Pada konteks tersebut
panggilan dan tanggungjawab Gereja adalah bermaksud untuk
menumbuhkan dan memfasilitasi kasih Allah kepada manusia dan
sebaliknya serta kepada sesamanya manusia.
Berkaitan dengan masalah yang telah dipaparkan di atas mendorong
penulis untuk meneliti tentang Transformasi Kristen dalam bentuk tulisan,
sebagai upaya memberi kontribusi pemikiran kritis dan dorongan praktis
terhadap respons dan perilaku yang kurang tepat dalam memberi arti
terhadap istilah Transformasi. Tentu materi yang akan dibahas tidak dapat
disebut sebagai upaya penjelasan paling sah dan lengkap mengenai
transformasi. Namun demikian, tulisan ini paling tidak merupakan suatu
upaya alternatif meninjau ulang Gerakan Transformasi serta menawarkan
pendekatan yang utuh dalam memaknai transformasi Kristen. Sangat
mungkin bahwa penelitian tentang transformasi telah pernah dikemukakan
sebelumnya secara lebih rinci.1
Menyadari luasnya cakupan tentang permasalahan dan pembahasan
mengenai materi Gereja dan Transformasi, maka penulis membatasi
pemaparan hanya pada beberapa bagian isu-isu yang berkembang secara
umum dan perspektif Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
Berkaitan dengan hal yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis
berusaha menyajikan materi ini sebagai upaya untuk menyajikan pemikiran
transformasi Kristen yang alkitabiah serta menempatkan transformasi pada
maksud keutuhan peran Gereja/orang Kristen di dalam dunia. Tulisan ini
juga bertujuan dalam kerangka pengembangan teologi sistematika penulis
serta pengembangan khazanah pemikiran misi Kristen pada umumnya.

ISU-ISU DAN PERKEMBANGAN GERAKAN TRANSFORMASI


(TRANSFORMATION MOVEMENT)

Dalam rangka upaya untuk memahami dan mendalami gerakan


transformasi yang berkembang di Indonesia, sejatinya perlu menelusuri
awal kemunculan dan perkembangannya, sehingga menjadi sebuah gerakan
yang mempengaruhi banyak Gereja-gereja di dunia umumnya dan di
Indonesia khususnya. Pada bagian ini, penulis memaparkan hanya beberapa
hal yang menjadi perhatian utama dalam mencermati gerakan transformasi
tersebut.

Sejarah Gerakan Transformasi

1
Lih. beberapa ulasan mengenai transformasi dari beberapa tokoh Gereja dalam
karya bersama dengan tema Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan
yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003).
Pada tahun 1960-an sejalan dengan kebangunan New Age terjadi
kebangunan gerakan Kharismatik. Dasawarasa 1970-an ditandai dengan
pertumbuhan gerakan itu yang menembus ke lima benua dan memasuki
aliran-aliran Gereja, ini disusul dasawarsa 1980-an dimana gerakan ini
mulai mencari bentuk dan terjadi disorientasi dimana dari dalamnya lahir
banyak aliran-aliran yang menekankan ajaran tertentu dan bahkan sering
bersifat sensasional. Salah satu gerakan yang berkembang dan menjadi isu
penting adalah pujian dan penyembahan yang disusul dengan Ajaran
Kemakmuran (Jonggi Cho) yang merupakan evolusi dari Words of Faith
(Kenneth Hagin) yang sarat dengan konsep dan menekankan positive
thinking, visualisasi, dan kekuatan kata-kata doa (doa dimensi ke-empat),
dan bangunnya ajaran Signs & Wonders (John Wimber). Kemudian pada
tahun 1988 sebagai kelanjutan pergerakan sebelumnya, kemudian muncul
sensasi tentang Akhir Zaman yang ramalannya di ulang-ulang di tahun
1992, 1994, 1998 dan 2000. Pada Dasawarsa 1990 gerakan tersebut masih
menekankan ajaran kemakmuran dan pertumbuhan Gereja, dan kemudian
diselingi sensasi Toronto Blessing (1994-1996). Dari tokoh-tokoh yang
umumnya mendukung gerakan kemakmuran, akhir zaman, tanda & mujizat,
dan Toronto Blessing, kemudian diujung milenium ketiga, lahir gerakan
Doa Transformasi yang melanda seluruh dunia.2
Tokoh utama dibalik gerakan Doa Transformasi adalah Peter
Wagner dan George Otis Jr. Wagner adalah orang kedua setelah Donald
McGravan yang mengembangkan School of World Mission di Fuller
Theological Seminary dan gerakan pertumbuhan Gereja, serta John
Wimber, pendiri dari Association of Vineyard Churches and Vineyard
Ministries International yang dikenal luas dengan ajaran Signs &
Wonders.3 Wagner kemudian merintis gerakan Reformasi Kerasulan Baru4

2
Ulasan tentang gerakan words of faith dan signs and wonders dapat dilihat
dalam Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2011.
3
C. Peter Wagner adalah salah seorang pendiri the World Prayer Center (Pusat
Doa Sedunia) di Colorado Springs dan Koordinator dari the United Prayer Track of the
A.D. 2000 and Beyond Movement (Jalur Doa Terpadu dari Gerakan Tahun 2000 dan
sesudahnya. Gerakan ini di Indonesia dikenal dengan istilah Jaringan Doa Nasional.
Mentornya adalah Donald A. McGavran Profesor Pertumbuhan Gereja di Fuller
Theological Seminary dan John Wimber pendiri dari Association of Vineyard Churches
and Vineyard Ministries International.
4
Towns mengemukakan bahwa wagner pernah menyebut gerakan baru ini
(Willow Creek Associates, Calvary Chapels, Vineyard Fellowships) “Gereja-gereja
pascadenoinasi,” namun istilah ini ditolak karena beberapa orang menganggap istilah itu
mengaitkan mereka dengan kegagalan-kegagalan mereka di masa silam, aatau bahkan
lebih buruk, istilah itu memberi implikasi ketidakefektifan beberapa denominsi Injili,
(New Apostolic Reformation) melalui simposium nasional tentang Gereja
pasca-denominasi pada tanggal 21-23 Mei 1996 dimana ia dan beberapa
tokoh lainnya mengklaim diri sebagai rasul-rasul khusus pada akhir zaman
ini untuk penyatuan umat Kristen di luar tembok denominasi … Mereka
juga enyatakan bahwa telah muncul Gerakan Apostolik yang akan
merevolusi Gereja abad ke-21. Gereja generasi akhir akan mengalami
Reformasi Apostolik yang akan sama hebatnya dengan generasi awal
Gerakan Apostolik.5 Dari kubu kedua tokoh tersebut lahirlah konsep
pengajaran mengenai peperangan spiritual (spiritual warfare), pemetaan
spiritual (spiritual mapping), dan roh-roh teritorial (teritorial spirits) yang
pada intinya menekankan peran pendoa syafaat (intercessor) yang memilik
kuasa dalam mengubah negara bila dilakukan bersama dengan ajaran
mengenai peperangan dan pemetaan spiritual. Dalam film itu diceritakan
mengenai empat kota (Cali, Almolonga, Kiambu, dan Hemet) di mana
diklaim bahwa metoda baru doa itu telah berhasil mengubah kota-kota itu
menjadi kota yang diberkati Tuhan.6 Gerakan Doa Transformasi
dipublikasikan secara besar-besaran dengan menghadirkan kesaksian yang
sarat dengan klaim-klaim subjektif dan spektakuler tanpa memperhatikan
keseluruhan peristiwa yang terjadi. Di samping sarat dengan subjektifitas
yang tendensius, ajaran Doa Transformasi Kota juga mengusung dan
mempopulerkan “kuasa doa dan puasa serta pendoa syafaat” yang
memberikan hasil yang spektakuler. Sebagai sebuah mobilisasi massa,
gerakan transformasi tersebut berhasil menarik banyak minat para hamba
Tuhan dan anggota Gereja.

padahal sebenarnya mereka iti efektif. Karena itulh wagner mengubah judul buku ini
menjadi “Reformasi Rasuli Baru”; C. Peter Wagner (ed.), Gereja-Gereja Rasuli yang
Baru. Terj. (Jakarta: YPI 'Immanuel', 2001), 7-10; Lih. jg karya C. Peter Wagner, Gempa
Gereja. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1999), 5; Wagner meyebut perubahan terbesar dalam
Gereja sejak Reformasi Gereja Protestan sedang berlangsugng saat ini. Ia menamakan
fenomena ini sebagai “Reformasi Apostolik Baru.” Reformasi Apostolik Baru adalah
pekerjaan Tuhan yang luar biasa di abad ke dua puluh yang mengubah Kristen Protestan di
seluruh dunia … Sebenarnya, dari setiap bagian dunia ini, Gereja-gereja apostolic baru
telah menciptakan segmen pertumbuhan kekristenan yang paling cepat.
5
Bill Hamon, Apostolic & Prophetic Reformation 1. Terj. (Jakarta: Metanoia,
2002), 13; Melalui symposium tersebut kelompok ini menyakini bahwa telah muncul
Gerakan Apostolik yang akan merevolusi Gereja abad 21. Nabi-nabi dan rasul-rasul Gereja
generasi awal meletakkan fondasi Gereja. Kini, Reformasi Apostolik zaman akhir akan
memberikan sentuhan akhir pada Gereja.
6
Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2012.
Perkembangan Gerakan Transformasi Dalam Konteks Indonesia
Pada tahun 1980-an Gerakan Words of Faith yang dikenal dengan
prosperity gospel dirintis Kenneth Hagin melanda banyak Gereja,
kemudian dikembangkan oleh Benny Hinn, kemudian disusul ajaran Signs
& Wonder dipimpin John Wimbers yang menekankan tanda dan mujizat,
ketiga arus gerakan yang biasa dipopulerkan melalui KKR itu memberi
dasar timbulnya gerakan yang lebih sensasional lagi pada medio 1990-an
yaitu Toronto Blessing. Sekalipun gerakan terakhir ini dirintis salah satu
Gereja Vineyard dari lingkungan Signs & Wonders, John Wimber dan
mayoritas dari 600 Gereja Vineyard menolak kehadiran Toronto Blessing
yang terkenal dengan label tertawa, mabuk dan berjatuhan dalam roh itu
sehingga Gereja Vineyard di Toronto yang dipimpin John Arnott kemudian
dikeluarkan dari persekutuan Vineyard. Gelombang Toronto Blessing
melanda seluruh dunia termasuk dipopulerkan di Indonesia oleh Gereja-
gereja yang sudah lebih dahulu terpengaruh Words of Faith dan Signs &
Wonders.7 Dari Gereja-gereja yang biasa mempopulerkan Words of Faith,
Signs & Wonders, dan Toronto Blessings, kemudian juga dipopulerkan
sensasi Akhir Zaman dan Pengangkatan Jemaat pada tahun 1988, 1992
kemudian 1998, dan lebih-lebih pada tahun terakhir ini dipopulerkan
sensasi Pembangunan Bait Allah ke-III dan Lembu Merah. Dramatisasi
sensasi Akhir Zaman memuncak pada tahun Y2K alias tahun 2000. Morris
Cerullo sendiri mengatakan tak mau membuat rencana pada tahun 2000. 8
Di Indonesia, gerakan tersebut dapat diamat-amati pada jaringan
pelayanan doa di kalangan Gereja-gereja (walaupun tidak mengikuti
keseluruhan arus fenomena yang terjadi pada Gelombang Toronto
Blessing) atau yang lebih dikenal dengan Jaringan Doa Nasional (JDN),
sebagai motor penggerak berkumpulnya Gereja-gereja dalam kegiatan doa,
juga ikut dimotori oleh tokoh-tokoh yang biasa mempopulerkan gerakan-
gerakan Words of Faith, Signs & Wonders, Toronto Blessings, bahkan
Akhir Zaman itu, pada awal milenium ke-III itu ikut menyebarkan gerakan
Doa Transformasi sebagai penerus tangan Gerakan Transformasi yang
dirintis New Prophet & Apostle antara lain oleh: Peter Wagner, George
Ottis, dan Cindy Jacobs. Dalam rangka Jaringan Doa Nasional sendiri
menjadi National Prayer Comittee (NPC) pada tahun 2003 di Indonesia
salah satu pembicara yaitu Hammond mengemukakan bahwa, “pada masa
1997, suatu masa kairos baru di Indonesia telah mulai dan sekarang sedang
berjalan dan sedang menuju suatu klimaks dan ledakan besar bagi seluruh

7
Herlianto, Doa Transformasi, www.sabda.org, diakses tgl 19 Januari 2012.
8
Ibid.
bangsa Indonesia.”9 Bila gerakan-gerakan sebelumnya hanya berurusan
dengan kebangunan rohani, gerakan Doa Transformasi dipengaruhi
semangat transformation, mempopulerkan pembaharuan masyarakat dan
negara-negara melalui penekanan Doa dengan para pendoa syafaat
(intercessor) menuju pembaharuan dan kesatuan, dan dipercaya bahwa
dibawah kepemimpinan tokoh-tokoh New Apostolic di atas yang memuncak
pada tahun 2003, dipersiapkan trasformasi masyarakat yang penuh
kemuliaan dan kemakmuran. Jargon yang diusung oleh Doa Transformasi
adalah, antara lain: doa berjalan (prayer walk), menara doa (prayer tower),
konser & sekolah doa, pemetaan spiritual (spiritual mapping), roh teritorial
(teritorial spirit), peperangan rohani (spiritual warfare), memberkati kota-
kota, dan kemajuan dan kemakmuran negara.10
Film-film Transformations yang memberi penekanan kepada
peperangan rohani dengan pendoa syafaatnya disebarkan secara luar biasa
disertai dengan nubuatan-nubuatan yang menghipnotis mengenai kemajuan
dan kemakmuran negara-negara berkat doa-doa mereka. Orang-orang
Kristen di JDN percaya bahwa doa bersama umat Tuhan akan
mendatangkan kuasa besar bagi terjadinya transformasi di Indonesia
bahkan dalam KKR di Denpasar, Royandi Hutasoit yang merupakan salah
satu tokohnya mengemukakan bahwa pada tahun 2005, 50% penduduk
Indonesia akan menjadi Kristen. Cindy Jacobs malah menubuatkan
Indonesia akan bertobat dan ikan-ikan dari perairan dunia akan mengalir ke
perairan Indonesia dan Indonesia akan diberkati dengan berkelimpahan.
Ruyandi Hutasoit salah satu tokoh gerakan Doa Trasformasi tidak
tanggung-tanggung pada tahun 2001 mendirikan Partai Damai Sejahtera
dan berambisi menjadi Presiden RI. Gerakan yang mengandalkan
penglihatan dan nubuatan, dan bahwa mujizat Allah bisa dihasilkan melalui
doa dan peran pendoa-syafaat itu meyakini bahwa Indonesia juga bisa
dibangun menjadi maju dan makmur melalui gerakan ini. Partai baru itu
memanfaatkan Jaringan Doa Nasional yang ada sebagai jaringan
membangun partainya sehingga lolos verifikasi di 21 propinsi. 11 Sedangkan
Njotorahardjo meyakini bahwa gerakan transformasi suatu bangsa dapat

9
Jeff Hammond, “Transformasi-Kairos Bagi Indonesia,” Di dalam Transformasi
Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh
Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), 27
10
Lih. ulasan yang lebih luas dalam karya C. Peter Wagner, Doa Peperangan:
Strategi untuk Bertempur Melawan Penguasa Kegelapan. Terj. (Jakarta: Metanoia, 1994),
dan karya Jonathan David, Jemaat yang Mengalami Strategi-strategi Apostolik. Terj.
(Jakarta: Nafiri Gabriel, 2001)
11
Herlianto, Doa Transformasi, www.sabda.org, diakses tgl 19 Januari 2012
terjadi oleh dua kunci utama yaitu, kesatuan para pemimpin (unity among
the leaders) dan doa kesatuan (united prayer).12 Ia tidak mengemukakan
sama sekali upaya yang harus dilakukan oleh para pemimpin Gereja dalam
menyejahterakan masyarakat dan bangsa.

Doktrin Gerakan Transformasi


Slogan yang diusung Gerakan Transformasi sarat dengan pemikiran
bahwa dunia ini akan berakhir, sehingga perlu memobilisasi potensi Gereja
untuk mengkristenkan atau mengubahkan seluruh dunia melalui doa dan
peperangan rohani. Usaha tersebut meliputi Negara-negara dan kota-kota
serta daerah-daerah, sehingga makin menjamurnya gerakan-gerakan Doa
yang dinamakan Menara Doa dan Doa Sekota.
Ajaran Signs & Wonder (Wimber) yang lebih mengutamakan dan
bahkan menempatkan mujizat dan tanda-tanda sebagai dasar dalam
kekristenan, dengan menggunakan nama Yesus. Mereka meyakini atas
nama iman bahwa keselamatan dalam penebusan Kristus belum lengkap
dan harus diisi dengan bukti tanda dan mujizat, demikian juga Otis
menyebut bahwa peran Tuhan Yesus di kayu salib tidak berarti kecuali
manusia melalui para rasul barunya mampu memetakan dunia spiritual dan
memerangi roh-roh teritorial dengan kuasa doa syafaat dan puasa
manusiawi. Meyakini bahwa Iblis menguasai daerah-daerah tertentu
sehingga perlu mengadakan peperangan untuk mengalahkan penguasa-
penguasa atau roh-roh teritorial. Dengan dilatarbelakangi pemahaman yang
demikian maka muncullah konsep mengenai “doa peperangan.”
Konsep mengenai Doa Berjalan atau Doa Keliling (prayer-walk)
dengan menara doanya untuk menguduskan suatu kawasan, maupun doa
memberkati suku-suku atau kawasan tertentu. Jelas menekankan ajaran
Word Faith yang menjadikan doa sebagai suatu kekuatan spiritual seperti
mantra dan bukan sebagai alat dialog dengan Tuhan dan Tuhan-lah yang
mendengar yang akan memberikan jawaban-Nya.13 Wagner menggunakan
narasi tentang Yesus berada di padang gurun sebagai dasar dalam
melakukan doa peperangan. Ia memaparkan, bahwa setelah Yesus penuh
dengan Roh Kudus pada saat pembaptisan, Roh Kudus adalah sumber
kuasa Yesus, demikian pula para pengikut-Nya. Mengutip dari Yohanes
16:14, Wagner menjamin bahwa orang-orang percaya akan melakukan

12
Niko Njotorahardjo, “Kesatuan Tubuh Kristus Menuju Transformasi Bangsa,”
DalamTransformasi Indonesia (Jakarta: Metanoia, 2003), 3
13
Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2012
perkara-perkara yang lebih besar daripada yang Yesus sendiri lakukan.
Kemudian ia lebih lanjut memaparkan peristiwa-peristiwa di mana Yesus
menyerang Iblis dan sekaligus pengajaran Yesus tentang perlunya
penyerangan, yang kemudian diakhiri dengan contoh-contoh alkitabiah
tentang penyerangan rohani. Semuanya ini dimaksudkan untuk
mengatakan: Yesus menyerang, demikian pula kita!14

Transformasi Merupakan Dimensi Pertumbuhan Kuantitas


Isu Gereja yang lebih menekankan pertumbuhan Gereja atau
dimensi kualitatif sebagai doktrin Gereja begitu mengemuka dalam
Gerakan Transformasi, dan bahkan bisa jadi merupakan isu sentral bagi
banyak Gereja di Indonesia. Di Indonesia, pengertian peran Gereja yang
identik dengan penginjilan dan pertumbuhan Gereja telah ditanamkan
dengan begitu kuat. Penekanan arti yang kuantitatif Gereja diprakarsai,
diidentifikasi serta dipertajam oleh George W. Peters, dengan merumuskan
pengertian peran Gereja dalam hal misi dengan membedakan antara mission
dan missions. Ia mengemukakan sebagai berikut:
Misi dalam pengertian saya, merujuk pada penugasan Gereja Yesus
Kristus yang bersifat biblikal sepenuhnya. Penugasan tersebut adalah
dalam suatu pengertian yang bersifat menyeluruh, termasuk
pelayanan-pelayanan Gereja yang ke atas, ke dalam dan ke luar.
Itulah Gereja yang diutus ke dalam dunia .... Misi adalah suatu
istilah yang khusus. Saya maksudkan adalah pengutusan pribadi-
pribadi yang berwibawa melampaui batasan-batasan Gereja PB dan
pengaruh Injil yang dibawanya untuk memberitakan Injil Yesus
Kristus di wilayah-wilayah yang sangat miskin dan papa, untuk
memenangkan petobat-petobat dari iman mereka yang lain, tanpa
iman, dan beriman kepada Yesus Kristus, dan memberdayakan,
melipatgandakan Gereja-gereja lokal yang akan menghasilkan buah
kekristenan dalam masyarakat dan negara tersebut. 15
Paradigma Peters tersebut diakui menjadi acuan bagi pengertian misi dalam
hubungannya dengan penginjilan dan pertumbuhan Gereja seperti yang
dikemukakan oleh Yakob Toatmala.16
14
Wagner, Doa Peperangan …, 53-75
15
George W. Peter, A Biblicak Theology of Mission (Chicago: Moody Press,
1974), 11
16
Yakob Tomatala, Teologi Misi: Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika
Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan dan Pertumbuhan Gereja (Jakarta: Institut Filsafat
Theologi dan Kepemimpinan Jaffray, 2003), 20
Isu pertumbuhan Gereja, lima belas tahun terakhir ini berkembang
pesat di Asia serta khususnya Indonesia. Hadirnya Gerakan Transformasi
amat memengaruhi paradigma para pendeta dan para majelis Gereja-gereja,
serta para aktivis Gereja di Indonesia, sehingga memiliki spirit yang kuat
untuk mengembangkan Gereja secara kuantitas. Hal itu mendapat dukungan
dari propaganda Gereja yang mengklaim sebagai Gereja terbesar di dunia
yang berada di Korea, ditambah dengan publikasi tulisan George W. Peter
dan Donal McGavran.17 Pemahaman Gerakan Transformasi juga
dipengaruhi oleh School of World Mission and Institute of Church Growth
dengan tokoh utamanya Donald McGavran. Pertumbuhan Gereja tidak
hanya menjadi tujuan misi, tetapi lebih dari itu, usaha misi harus dijalankan
dengan prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja.18 Seminar-seminar
pertumbuhan Gereja yang diprakarsai dan didanai oleh Gerakan
Transformasi menjadi trend di banyak kota besar di Indonesia. Maka
lahirlah Gereja-gereja lokal yang memiliki ribuan anggota dengan ditandai
gedung Gereja yang besar, mewah dan eksklusif. Wagner mengemukakan
bahwa selama 30 tahun ia menyandang gelar “professor pertumbuhan
Gereja,” ia menyadari bahwa Gereja apostolik baru merupakan kelompok
Gereja yang pertumbuhnnya paling cepat di enam benua di dunia. 19
Pengaruh para tokoh Gereja tersebut amat kuat mempengaruhi
doktrin bagi gerakan misi, sehingga tendensi misi masa kini masih terlihat
hanya menekankan pada satu sisi, yakni penginjilan dan pertumbuhan
Gereja. Misi Gereja kemudian menjadi semacam kompetensi penuh
kecemburuan antardenominasi Gereja yang melancarkan foreign mission
dari Barat. Peran Gereja seperti ini akhirnya menjadi ecclesia gloriae yang
melahirkan dan menumbuhkan Gereja-gereja introvert di Asia.20 Berkaitan
dengan hal itu, David Fisher has pointed this out in blunt terms:
“Theological reflection or, more particularly, integrative theological
thinking about the church, especially the local church, is missing.
Ecclesiology has been marginalized and detheologized.”21

17
Publikasi buku oleh George W. Peter, A Biblical Theology of Mission, Chicago:
Moody Press, 1974; Donald A. McGavran, Contemporary Theologies of Mission (Grand
Rapid, Michigan: Baker Book House, 1983).
18
J. Verkuyl, Contemporary Missiology: An Introduction (Grand Rapids,
Michigan: Eerdmans, 1978), 184, 190
19
C. Peter Wagner, Gempa Gereja. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), 7-8
20
C. S. Song, Christian Mission in Reconstruction: An Asia Analysis (New York:
Orbis Book, 1977), 13
21
David Fisher, The 21st Century Pastor (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
1996), 76
Dengan demikian, pergeseran paradigma dan kultur Gereja dalam
memahami Gereja dan Transformasi adalah lebih merupakan perumusan
bahwa doktrin persepsi dikotomi. Deskripsi yang salah dalam memahami
dan merumuskan doktrin Gereja dan Transformasi akan cenderung dapat
mengakibatkan perilaku yang tidak tepat pula. Kesalahannya bukan terletak
pada doktrin, tetapi pada cara pemahaman dan perumusan doktrin secara
salah, serta terhadap natur dan tujuan doktrin. Gerakan transformasi yang
berkembang di Indonesia dapat diidentikkan dengan gerakan Reformasi
Apostolik Baru yang mengklaim sebagai perwujudan dari akhir masa karya
Allah di dalam dunia yang akan memasuki masa akhir zaman, serta
menekankan kuantitas.

PERSPEKTIF BIBLIKA TENTANG TRANSFORMASI

PL dan PB, tidak hanya berisi narasi sejarah dan aspek moralitas
belaka, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual, pembaruan sosial,
politik, dan ekonomi serta keagamaan. Berkaitan dengan hal itu, maka pada
bagian ini penulis membahas beberapa bagian mengenai dasar-dasar
transformasi sebagai wacana dan pergerakan perubahan dalam Gereja yang
diharapkan dapat menjadi pijakan dalam meneliti dan mengembangkan
tindakan-tindakan yang positif serta konstruktif bagi upaya Gereja dalam
hal transformasi. Penelitian beranjak dari sumber Alkitab mengenai
transformasi secara terbatas. Artinya tidak secara keseluruhan bagian
Alkitab, melainkan beberapa bagian saja yang dikemukakan, termasuk di
dalamnya fungsi mempertahankan dan mengoreksi pergerakan perubahan.

Perjanjian Lama
Allah adalah pencetus dan pemrakarsa serta dinamisator
transformasi yang sesungguhnya. Allah adalah awal dan yang sudah
memulai (originator) transformasi sesungguhnya pada waktu ia
mengadakan penciptaan dan ketika manusia jatuh dalam dosa (Kej 1-3). Ia
menciptakan semuanya menjadi “sungguh amat baik” (Kej 1-2). Ia
memiliki otoritas mutlak sebagai pencipta dunia dan yang mengadakan
transformasi. Otoritas Allah sebagai pencipta tidak hanya berbicara
mengenai teori penciptaan tetapi juga mengungkapkan tindakan Allah yang
agung terhadap alam semesta yang kompleks namun tertata dengan rapi
seperti yang diungkapkan oleh Karman, yaitu: “teologi penciptaan adalah
kepercayaan tentang Allah sebagai Pencipta alam semesta yang kompleks
namun tertata rapi, termasuk juga sebagai penjaga kelangsungan dunia
ciptaan sampai sekarang, menopang segala yang ada dengan firman-Nya
yang penuh kekuasaan (Ibr 1:3).”22 Berkaitan dengan hal itu, Smith
memaparkan bahwa Allah terus-menerus terlibat didalam kelangsungan dan
pergerakan alam semesta, yang di dalamnya termasuk manusia. Di dalam
kedaulatan Allah nyata karya-Nya yang adalah Tuhan atas segala ciptaan,
bukan hanya sebagian. Kerajaan-Nya meliputi seluruh kehidupan. Allah
menciptakan dunia sebagai suatu kesatuan; dunia jatuh ke dalam dosa
secara total, dan akhirnya dunia akan diperbarui secara menyeluruh. 23
Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah tidak hanya berdiam diri
tetapi Ia mencari dan berinisiatif untuk mengembalikan manusia pada relasi
dan tempat yang sepantasnya di hadapan Allah, agar manusia menjadi
manusia yang sesungguhnya sesuai dengan maksud kehendak-Nya, Allah
dalam kedaulatan dan kehendak-Nya sendiri berinisiatif mencari manusia,
bukan manusia yang mencari Allah (Kej 3). Kejadian pasal tiga
menyatakan kebutuhan manusia akan pertolongan, tetapi sekaligus
menyatakan tindakan Allah yang agung di dalam kehendak-Nya, rencana-
Nya dan kedaulatan-Nya serta kasih-Nya dalam melakukan transformasi.
Allah memanggil manusia dan berfirman kepadanya: ”Dimanakah
engkau?” Ini merupakan seruan transformasi, Allah yang memanggil
manusia dari ketakutan dan ketersembunyiannya untuk kembali memiliki
hubungan yang benar dan harmonis dengan Allah seperti sebelumnya.
Kidner menjelaskan, bahwa hanya suara Allah yang menerobos
ketersembunyian manusia, God’s first word to fallen man has all the marks
of grace. It is a question, since to help him He must draw rather than drive
him out of hiding. Only a voice penetrates his concealment.24 Kejatuhan
manusia dalam dosa menyatakan betapa dalamnya kerusakan yang terjadi
sehingga manusia membutuhkan pertolongan yang berasal dari luar dirinya
sendiri. Berkaitan dengan hal itu, Sire memberi komentar bahwa manusia
membutuhkan penataan ulang antara manusia dengan Allah, dengan
mengatakan: “Dan demikian juga kita sebagai umat manusia! Alur

22
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004), 18-19
23
Gary Scott Smith, “Reformasi: Luther, Calvin, dan Kaum Anabaptis,” Dalam
Membangun Wawasan Dunia Kristen. Vol 2. Terj. (Surabaya: Momentum, 2008), 260
24
Derek Kidner, “Genesis,” in Tyndale Old Testament Commentaries (Leicester:
Inter-Varsity Press, 1967), 70
pergerakan dunia terbuka bagi penataan ulang oleh kedua pihak (Allah
maupun manusia). Maka kita menemukannya ditata ulang secara drastis di
dalam kejatuhan. Adam dan Hawa membuat suatu pilihan yang memiliki
signifikansi yang luar biasa besar. Tetapi Allah membuat satu pilihan lain
yang di dalam menebus umat melalui Kristus.” 25 Manusia tidak mampu
menata ulang atau mereformasi dirinya sendiri, hanya oleh anugerah Allah
yang nyata melalui inisiatif dan tindakan Allah, transformasi yang
sesungguhnya dapat terjadi. Urgensitas transformasi ditandai dengan
keadaan manusia yang berada dalam ketakutan dan keterasingan serta
kebutuhan manusia untuk penataan ulang (Kej 3:9-10). Dalam konteks
tersebut seruan Allah bukanlah sekedar seruan belaka, tetapi merupakan
domain pergerakan transformasi dan secara signifikan merupakan seruan
suara transformasi sejati, sarat dengan nilai-nilai pembaruan bagi manusia.
Amos merupakan figur penggerak dan penyuara transformasi yang
menolak disebut sebagai nabi, karena memiliki latarbelakang seorang
awam dari tengah-tengah rakyat biasa, “peternak domba” dan “pemungut
buah ara hutan” (Am 1:1; 7:14). Namun, ia diutus Allah untuk
menyuarakan gerakan transformsi di Kerajaan Utara. Berkaitan dengan hal
itu, Andrew Hill memberi komentar bahwa: “kemurtadan rohani,
keruntuhan baik bidang moral dan sosial, serta kemerosotan politik
Kerajaan Utara menyebabkan Allah mengutus Amos dari Yehuda untuk
menyeberangi perbatasan dan bernubuat di Betel di kawasan Israel.” 26
Inilah yang menjadi latarbelakang dan sekaligus sebagai motivasi Amos
dalam pergerakan pembaruan. Dengan pemberitaannya yang jelas dan
tegas, khususnya dengan penolakannya terhadap sistem masyarakat yang
menindas orang-orang lemah/kecil dengan memakai alasan-alasan rohani.
Pada pasal 2, 3-6, Amos menyampaikan kecaman terhadap umat Allah
yang dikasihi-Nya, mereka justru akan mengalami hukuman yang lebih
berat. “Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang … mereka
menginjak-injak kepala orang lemah dan membelokkan jalan orang
sengsara serta mereka merebahkan diri… di atas pakaian gadaian orang”
(Am 2:6-8). Berkaitan dengan hal itu, Andrew Hill mengemukkan bahwa
berita yang disampaikan Amos meliputi seruan pertobatan dan perubahan
perilaku. Ia memaparkan sebagai berikut:

25
James W. Sire. The Universe Next Door: A Basic Worldview Catalog. Terj.
(Surabaya: Momentum, 2005), 19
26
Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama. Terj. (Malang:
Gandum Mas, 1996), 613
Amos menyalahkan secara khusus perbuatan-perbuatan
ketidakadilan sosial dan kemunafikan rohani. Beberapa tujuan pesan
ini meliputi seruan yang ditujukan pada beberapa orang untuk
bertobat dari dosa pribadi, dorongan untuk kembali pada norma-
norma perilaku yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan
perjanjian Yahweh, dan penolakan gagasan yang meluas bahwa
“hari Tuhan” hanya merupakan hari berkat secara nasional.27
Gagasan tersebut menjadi berita yang mendominasi pemberitaan
Amos agar bangsanya kembali kepada nilai-nilai dan perilaku yang sesuai
dengan kebenaran firman Allah.
Yesaya dikenal sebagai penasihat raja yang aktif melakukan
gerakan pambaruan bagi bangsanya dengan menyuarakan perubahan. Pada
pasal 1-5, Yesaya menyampaikan dan menegaskan kesalahan bangsanya
serta menyatakan kebutuhan akan pembaruan dengan mengatakan
“Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikan orang kejam;
belalah hak anak-anak yatim, perjuangkan perkara janda-janda (Yes 1:17).
Di tengah-tengah bangsa dan pemimpin yang memutar balikkan hukum,
korupsi, menindas orang-orang yang lemah secara sosial dan ekonomi (Yes
1:21-23). Yesaya tampil dalam gelora dan semangat yang tak digentarkan
oleh ancaman dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal itu, Christoph
Barth memberi ulasan tajam mengenai gaya bahasa Yesaya dalam
menyuarakan transformasi, bahwa: “Yesaya terkenal dari gaya bahasanya
yang lancar, indah dan berbobot. Dia pandai menarik perhatian orang, lalu
dengan tiba-tiba melabrak dengan hebatnya, meskipun sebaliknya pula
pandai menghardik dan mengancam, lalu dengan tidak disangka-sangka
membayangkan pengharapan baru.”28 Yesaya menyampaikan suara
transformasi dengan gaya bahasa menarik, ia menyuarakan pertobatan bagi
bangsanya untuk kembali pada tatanan Hukum Allah. Inilah tugas dari
seorang yang diutus oleh Allah, menyampaikan kedaulatan Allah yang
dapat mendatangkan pembaruan dan kelepasan. Andrew Hill memberi
konklusi dengan jelas pada arah berita pembaruan Yesaya, dengan
mengemukakan bahwa: “Tujuan seorang nabi adalah menyampaikan
perkataan yang diberikan Allah kepadanya untuk disampaikan. Sebagian
besar ucapan-ucapan ilahi dibagian pertama kitab Yesaya (1-39) berisi
tuduhan dan hukuman. Pasal 40-66 lebih banyak berhubungan dengan
pengampunan dan kelepasan dari Allah serta pemulihan kembali Israel. 29

27
Ibid., 613-614
28
C. Barth, Theologia Perjanjian Lama. Terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989), 56
29
Hill & Walton, Survei Perjanjian Lama …, 528
Signifikansi berita transformasi Yesaya dapat diamat-amati dalam beberapa
hal yang terjadi, yaitu: Pertama, Yesaya mencela dan mengancam umat
Tuhan yang sudah memperoleh segala jenis berkat tetapi mereka
membalasnya dengan keangkuhan dan pemberontakan. Kedua, Yesaya
memberitakan penolakan dan penghukuman tidak dalam arah
membinasakan, melainkan hukuman Allah dimaksudkan untuk
memperbaiki dan memurnikan (Yes 1:25). Berkaitan dengan hal itu,
Chisholm memberi komentar bahwa, “Divine judgment would not bring
Israel’s history to a screeching, permanent halt. As noted, judgment was
merely a necessary step toward the realization of God’s ideal for the
nation. Even through the smoke of judgment, one could discern a ray
hope.”30 Allah bertindak dengan tegas adalah justru karena kasih-Nya yang
tetap hangat (bnd. 'tanaman kegemaran-Nya,' Yes 5:7) dan senantiasa
memberi pengharapan. Ketiga, Dalam perannya menyuarakan transformasi,
Yesaya harus menggumuli sesuatu yang lebih dahsyat; nubuat dan
nasihatnya bukan hanya diabaikan, melainkan justru “membuat hati
bangsanya lebih keras” (Yes 5, 8, 22). Satu-satunya harapan adalah melalui
penghukuman dan penderitaan, Namun demikian, Tuhan sendiri yang
menyembuhkan umat-Nya. Keempat, pemberitaan Yesaya, dengan tekanan
kepada panggilan umat orang-orang percaya untuk pembangunan
masyarakat yang adil dan perdamaian, serta undangannya agar umat-Nya
tetap percaya di tengah-tengah kemelut bangsa.31
Ezra dan Nehemia dapat dilihat sebagai dua nabi yang memiliki
latar belakang pelayanan dengan isu-isu yang sama dalam pergerakan
mereka sebagai transformator. Dalam arah yang sama Merrill
mengemukakan bahwa, secara historis dan religius Ezra dan Nehemia
memiliki latar belakang yang sama dalam pelayanan. Ia memberi komentar,
“Moreover, as one reads both parts at one sitting he comes to appreciate
their common historical and religious setting, their concern with the same
issues, and their reflection of identifical point of view.”32 Ezra maupun
Nehemia mendapati bahwa umat Allah mengotori diri mereka sendiri
dengan mengawini bangsa-bangsa kafir yang pada akhirnya membahayakan
kelangsungan Israel sebagai kesatua etnik dan kesatuan rohani. Ezra
menghadapi tantangan dalam upaya pembangunan Bait Suci, serta

30
Robert B. Chisholm, Jr, “A Theology Of Isaiah,” in A Biblical Theology of
The Old Testament (Chicago: Moody Press, 1991).
31
Bd. Barth, Theologia Perjanjian…, 58-59; Barth mengulas keempat
signifikansi tersebut dengan lebih luas.
32
Eugene H. Merrill, “A Theology of Ezra-Nehemiah and Esther,” in A Biblical
Theology of The Old Testament (Chicago: Moody Press, 1991), 189
perbaikan tembok Yerusalem pada zaman Nehemia. Dalam pembuangan di
Persia, Nehemia mendengar tentang terbongkarnya tembok-tembok
Yerusalem dan tentang keadaan yang menyedihkan bangsanya. “Bangunlah
aku pada malam hari bersama-sama beberapa orang saja yang menyertai
aku. Aku tidak memberitahukan kepada siapapun rencana yang akan
kulakukan untuk Yerusalem, yang diberikan Allahku dalam hatiku…” (Neh
2:12). “Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem”. Ia menyuarakan
pembaharuan semangat dan motivasi kebersamaan ditengah-tengah
bangsanya yang mengalami kelesuan dan ketidakberdayaan (Neh 2:17-18).
Berkaitan dengan hal itu, Merrill memberi komentar bahwa tindakan
Nehemia dan Ezra tidak hanya bersifat struktur pisik melainkan simbol
keberlangsungan dari masa lalu dan keyakinan akan masa depan. Ia
mengemukakan sebagai berikut:
The final expression of community restoration was the rebuilding of
the physical structures of the city and nation. This was necessery not
only for practical reasons of housing and community resources but
also as a symbol fo continuity with the past and confidence in the
future. Immediately on their return, then, the people under
Zerubbabel and Jhosua commenced their building projects, in
particular the Temple of the Lord (Ezr 3:8-13). Slowly the work
progressed under these leaders and others, including Ezra and
Nehemiah, until it was finished and stood as a monument to the
faithfullness of Yahweh to His people.60
Pada pasal 9-10 di bawah pimpinan Ezra, ia melakukan gerakan
transformasi rohani dan sosial. Ezra prihatin dengan kondisi bangsanya,
karena ”bangsa yang kudus” telah tercemar (9:2). Reaksi Ezra sungguh
mengejutkan: perasaan sedih dan berduka, berpuasa dan mencabut
rambutnya. Kemudian ia berdoa dengan segenap hati mengaku dosa (9:3-
16). Inilah teladan sikap seorang transformator yang sejati. Pembaruan
rohani tersebut dideskripsikan dengan tindakan penyingkiran isteri-isteri
kafir yang telah dinikahi oleh bangsa Israel, pernikahan yang bertentangan
dengan kehendak Allah. Respon yanag dideskripsikan adalah rakyat
bertobat dan mohon pengampunan serta merekonstruksi komitmen baru
kepada Allah. Pada Nehemia pasal 8-10 menjelaskan secara dramatis
transformasi yang dilakukan oleh Ezra dengan mengembalikan bangsanya
kepada Kitab Suci. Ketaatan kepada Kitab Suci merupakan tema penting
dalam gerakan transformasi kitab Ezra maupun Nehemia. Berkaitan dengan
hal itu Howard Jr memberi komentar, bahwa ”banyak perkara dalam kitab

60
Merrill, “A Theology of Ezra-Nehemiah and Esther,” 195
Ezra dan Nehemia memberikan kesan adanya satu perhatian besar untuk
melakukan segala sesuatu sesuai dengan Taurat Musa. Ketaatan yang
sungguh-sungguh kepada Taurat kini merupakan manifestasi yang kelihatan
dari kesetiaan bangsa ini.”61 Peristiwa dramatis tersebut dijelaskan dengan
kesungguhan rakyat yang terharu sampai menangis, serta diikuti adanya
pembaruan komitmen ulang dari bangsa Israel. Inilah gerakan transformasi
yang menghasilkan pembaruan yang mengembalikan komitmen bangsa
Israel. Dengan menarik Howard Jr memberi komentar mengenai reformasi
yang di sajikan kitab Ezra dan Nehemia. Ia mengemukakan bahwa: ” Kitab-
kitab ini dikemas begitu ketat dengan pesan spiritual yang siap digali.
Kedua kitab ini menyampaikan kekayaan rohani pada masa-masa selama
umat Allah diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan.” 62 Pada keseluruhan
struktur narasi yang telas dijelaskan di atas dapat dikemukakan bahwa di
dalam PL, baik Allah dan para nabi dan orang yang diutus Allah melayani
bangsa dan negaranya sarat dengan nilai-nilai pergerakan transformasi.

Perjanjian Baru
Tuhan Yesus dapat disebutkan sebagai pemberita dan sekaligus
menjadi inti berita transformasi yang memberi dan sekaligus merupakan
teladan seorang transformator yang sesungguhnya. Hal tersebut dapat
diamat-amati dari narasi yang dikemukakn oleh keempat Injil. Yesus
Kristus yang datang ke dunia merupakan berita perubahan yang jauh lebih
radikal dari perubahan-perubahan itu sendiri. Signifikansi perubahan
sejarah abad manusia diperlihatkan dengan kehadiran para malaikat yang
memperlihatkan wujudnya kepada manusia untuk menyampai berita
sukacita besar sebagai suara transformasi (Mat 1-2; Luk 1-2). Berita yang
dicatat oleh penulis Matius menyatakan inti berita transformasi
sesungguhnya yang memberi perubahan pada sejarah besar manusia, “Ia
akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus,
karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat
1:21). Dia tidak hanya menjadi inti berita transformasi, melainkan sekaligus
pada diri-Nya melekat berita itu sendiri, dan menjadi pelaku transformasi.
Hal ini lebih dari cukup untuk sebuah konsepsi, konfesi dan rekonstruksi
transformatoris. Bagi orang-orang pengecut, munafik dan penguasa korup,
serta yang tidak berkenan bagi Allah, berita tersebut pada satu sisi adalah

61
David M. Howard Jr, Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Terj.
(Malang, Gandum Mas, 2002), 380
62
Ibid., 340
api yang menimbulkan kegentaran dan ketakutan tetapi pada sisi lain,
sekaligus menjadi api yang menyulut amarah yang besar (Mat 2:1-18).
Kitab Injil memberikan suatu paradigma yang jelas, bahwa cara
hidup, cara berpikir dan tindakan-tindakan Yesus adalah bingkai seorang
transformator. Ia membersihkan Bait Allah dari konspirasi busuk para
penguasa Bait Allah yang mencari keuntungan ekonomi dan monopoli atas
nama agama (Mat 21:12-13; Mrk 11:15-19; Luk 19:45-48; Yoh 2:13-16).
Suara pembaruan Yesus mengancam status quo yang berkembang dan yang
dipertahankan oleh kebanyakan orang pada masa itu, secara khusus para
imam. Ia menggoncang kehidupan yang tenang dan nyaman dari golongan
Saduki, Romawi, dan Farisi. Berkaitan dengan hal itu, Kraybill
menghubungkan tindakan Yesus tersebut sebagai seorang revolusioner
tanpa kekerasan, dengan mengemukakan sebagai berikut.
Yesus memang seorang revolusioner, ketika Ia menyerang akar
permasalahannya– kejahatan yang sering mengikat niat dan pranata-
pranata manusia. Ia menyerukan pertobatan. Ia mengimbau untuk
mengasihi. Ia mengumumkan bahwa hanya Allah yang harus
disembah... Tetapi revolusi sungsang-Nya menggantikan kekuatan
dengan penderitaan dan kekerasan dengan kasih yang kuat.”63
Yesus menggoncang pranata-pranata sosial dan struktur
kemasyarakatan pada masa itu. Ia melayani dan ada bersama-sama dengan
orang-orang yang diberi stigma oleh masyarakat umum sebagai orang yang
sangat berdosa dan perlu dijatuhi hukuman (pemungut cukai, perempuan
Samaria, perempuan yang berzinah). Namun dengan kasih dan kehangatan-
Nya, Ia bergaul dan berani menerima prasangka-prasangka bahkan
kebencian dari kelompok/golongan masyarakat tertentu atas sikapnya itu.
Apa yang dilihat Yesus adalah lingkaran kekerasan yang menimpa
para petani Galilea. Para petani yang lain tidak hanya miskin, tetapi mereka
juga dieksploitasi dan ditindas tidak hanya oleh orang-orang Romawi tetapi
juga oleh Herodes dan para tuan tanah yang kaya raya. Mereka
menanggung beban pajak yang berat sehingga mereka terus-menerus
terbelit utang. Sementara keadaan mereka semakin buruk, apa yang
berkembang adalah lingkaran kekerasan. Pada konteks pergulatan sosial
politik pada masa-Nya, Yesus merupakan individu yang unik dengan peran
yang Ia mainkan dalam sejarah politik. Yesus sadar penuh (Him self
understanding) akan hal itu. Yesus tidak memandang orang di depannya
hanya sebagai seorang pengemis, atau hanya sekedar sebagai prajurit

63
Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang. Terj. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), 45
Romawi, atau hanya sebagai orang Farisi, atau juga hanya sebagai seorang
pemuda kaya. Yesus mengasihi mereka tanpa memandang label-label yang
melekat pada mereka, tanpa memandang penampilan dan kesalahan
mereka. Dalam kerangka reformasi-Nya, mereka adalah orang-orang yang
menjadi sasaran kasih dan pertolongan Allah. Bahkan para musuh-Nya
mengenali bahwa Yesus sepenuhnya tidak memihak dan bahwa Yesus tidak
peduli pada derajat atau status seseorang (Mrk 12:14). 64 Berkaitan dengan
hal itu, maka dapat disebutkan bahwa ide mengenai transformasi telah
dimulai dari Allah sendiri; Allah adalah pencetus ide dan sekaligus pelaku
transformasi yang sesungguhnya, Allah adalah Allah yang menyuarakan
transformasi, dan Allah adalah Allah yang sungguh-sungguh melakukan
trnasformasi bagi umat-Nya, dan Allah adalah Allah yang menjadi inti
berita transformasi sekaligus memfasilitasi penaataan ulang relasi manusia
dengan Allah, serta memanusiakan manusia pada maksud Allah. Hal itu
nampak ketika Allah mencari manusia yang berdosa dan memanggil
mereka dari ketersembunyiannya dan memfasilitasi manusia untuk
menemukan tempatnya di hadapan Allah (Kej 3:1-21), serta yang
menyatakan kehadiran dan karya penebusan oleh dan di dalam Kristus. Ide
mengenai perubahan-perubahan ada di dalam rencana, kedaulatan dan
otoritas Allah. Hanya di dalam dan melalui pengertian akan kedaulatan,
otoritas, kehendak dan rencana serta kasih Allah sendiri, manusia
menemukan transformasi yang sesungguhnya.
Dengan demikian transformasi yang sesungguhnya tidak dimulai
pada inisiatif manusia maupun lembaga-lembaga yang diciptakan oleh
manusia itu sendiri, melainkan dimulai dan dinyatakan serta digerakkan
oleh Allah Tritunggal. Allah yang telah memulai dan yang akan terus-
menerus melakukan transformasi dan transformasi tersebut juga menyebar
melalui orang-orang yang dipanggil, digerakkan dan dipakai-Nya, dan hal
itu selalu berada pada otoritas-Nya. Jika paradigma di atas kita gunakan
sebagai suatu pendekatan transformasi maka dapat dikemukakan bahwa
transformasi yang mengemuka secara khusus adalah transformasi yang
lebih mengacu pada konteks Gereja. Sebagai orang-orang percaya yang
telah mengalami transformasi tersebut, Allah melalui Gereja atau orang
percaya memiliki peran sebagai alat-Nya untuk memberitakan dan
mewujudnyatakan pengalaman transformasi kepada sesamanya.

KEUTUHAN KONSTRUKSI GEREJA DAN TRANFORMASI

64
Albert Nolan, Jesus Today. Terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 103-110
Sejatinya tidak ada dikotomi dalam hal pemahaman Gereja dengan
praksis kehidupan umat Kristen. Panggilan Gereja dalam merumuskan
doktrin dengan implementasi bukanlah dua ranah yang berbeda, sebab
Gereja atau orang Kristen dengan panggilan perannya sebagai
transformator beranjak pada keyakinan terhadap firman Tuhan sebagai
acuan berpikir dan berperilaku. Pada bagian ini penulis mengadakan
evaluasi serta memberi usulan yang sekiranya dapat menjadi pertimbangan
dalam mengembangkan paradigma Gereja dan Transformasi, yaitu:

Evaluasi Terhadap Doktrin Gerakan Transformasi


Secara teologis adalah sesuatu yang lemah dan tidak memiliki dasar
biblika yang kuat (bukan berarti tidak menggunakan Alkitab) untuk
memberi dukungan kepada Gerakan Transformasi yang membagi-bagi
geografi dunia menjadi teritori yang dihuni kuasa kegelapan dan yang
dihuni oleh Roh Tuhan, apalagi kalau hal itu bisa dipetakan oleh manusia
secara visual (bandingkan dengan perumpamaan Gandum & Lalang yang
dikemukan oleh Tuhan Yesus). Karena pada dasarnya dunia adalah dunia
milik Allah. Hal ini tidak berarti bahwa kita menolak adanya kuasa dan
pengaruh roh-roh jahat di dunia, melainkan menolak pembagian wilayah
atau dunia seperti yang dikemukakan oleh Gerakan Transformasi.
Nabi Yunus yang tidak mendoakan kota Niniwe, namun Niniwe
diberkati karena pertobatan penduduknya sendiri oleh karena mendengar
firman Tuhan. Tidak ada indikasi bahwa ia mengadakan gerakan peperangn
rohani dan gerakan doa seperti yang dimaksud oleh gerakan transformasi.
Sydney Page, telah melakukan penelitian yang ekstensif tentang Iblis dalam
Alkitab, namun ia tidak menyinggung apa pun mengenai penyerangan
Yesus terhadap Iblis di padang gurun. Sebaliknya ia menekankan bahwa
kedatangan Yesus merupakan inisiatif Roh Kudus, atas kehendak Allah.
Dengan demikian pencobaan dari Setan dalam peristiwa di padang gurun
termasuk dalam rencana Allah dan implikasinya adalah Setan berada di
bawah kendali Allah.65 Rasul Paulus mengatakan bahwa kita berperang
bukan dengan darah dan daging melainkan dengan kekuatan-kekuatan di
udara (Ef 6:10-12). Jika teks tersebut diindikasikan sebagai perintah untuk
mengadakan peperangan rohani seperti yang dimaksud oleh gerakan
transformasi, maka hal itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan

65
Sydney Page, Power Of Evil: A Biblical Study of Satan and Demons (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1995), 91
maksud dan tujuan penulis itu sendiri. Teks tersebut tidak mengindikasikan
bahwa Paulus meminta para pembacanya untuk melakukan pemetaan
spiritual melainkan agar bersenjatakan seluruh perlengkapan senjata Allah
(Ef 6:13-20) melawan kuasa-kuasa sijahat. Ada fakta yang menarik ketika
Rasul Paulus mengunjungi kuil di Athena, ia sama sekali tak menceritakan
mengenai berdoa dengan cara mengelilingi kuil tersebut (prayer-walking)
atau melakukan pemetaan spiritual dan mengumpulkan pendoa syafaat,
melainkan ia menginjili mereka dimana mereka berada (Kis 17:16-34).
Ajaran Signs & Wonder (Wimber) yang menyebut bahwa
keselamatan dalam penebusan Kristus belum lengkap dan harus diisi
dengan bukti tanda dan mujizat, demikian juga Otis menyebut bahwa peran
Tuhan Yesus di kayu salib tidak berarti kecuali manusia melalui para rasul
barunya mampu memetakan dunia spiritual dan memerangi roh-roh
teritorial dengan kuasa doa syafaat dan puasa manusiawi. Konsep mengenai
doa berjalan (prayer-walk on sight with insight) dengan menara doanya
untuk menguduskan suatu kawasan seperti yang dilakukan di hari Kenaikan
Yesus di Jakarta beberapa waktu lalu, dan Gerakan Doa Nasional pada
bulan Mei 2012 lalu, maupun doa memberkati suku-suku atau kawasan
tertentu, jelas menekankan ajaran Words of Faith yang menjadikan doa
lebih semacam “mantra” daripada keseriusan dalam memberitakan Injil dan
menyuarakan dan mengupayakan pembaruan sosial, serta bukan sebagai
alat dialog dengan Tuhan dan Tuhan yang mendengar yang akan
memberikan jawaban-Nya.

Rekonstruksi Doktrin Transformasi


Kita harus menghargai usaha-usaha untuk membangkitkan
kerinduan yang mendalam agar terjadinya transformasi bagi masyarakat
dengan melakukan berbagai cara yang telah dipaparkan sebelumnya, namun
perlu di tegaskan bahwa transformasi tidak terjadi karena orang Kristen
hanya sekedar menekankan sikap pragmatis yang dikemas dalam bentuk-
bentuk gerakan doa dan “kumpul-kumpul rohani.” Berkaitan dengan hal itu
Piper memaparkan bahwa: “Jika Injil Kristus yang mulia yang berpusat
pada Allah tidak mempenetrasi suatu kelompok masyarakat dan melahirkan
Gereja-gereja yang menyembah, memelihara iman, dan mengabarkan Injil,
maka tidak ada sedikit pun harapan bagi transformasi.” 66 Yang perlu
ditransformasi adalah dimulai dari Gereja atau umat Kristen (Rm 12:1-2),

66
John Piper, Gairah Allah Bagi Kemuliaan-Nya. Terj. (Surabaya: Momentum,
2008), 109
dan bukannya transformasi Indonesia dengan kekuatan doa semata (bukan
menolak pentingnya doa dalam kehidupan Kristen, doa bukanlah bahasa
klise yang artifisial), serta upaya memobilisasi massa untuk show force dan
pengaruh kekuatan kekristenan, melainkan kebersamaan di doa sekaligus
mewujudkan dalam tindakan kebersamaan mensejahterakan masyarakat.
Doktrin seharusnya mengarahkan dan memotivasi Gereja dalam
upaya menciptakan harmonisasi dalam kehidupan praktis umat. Doktrin
harus langsung berhubungan dengan kehidupan prakatis, penderitaan
manusia, pertanyaan arti hidup, ikut tersinggung terhadap penindasan,
menggali dan menemukan kemungkinan-kemungkinan, serta mencari
jawaban dan jalan keluar dari persoalan-persoalan hidup umat Allah
khususnya dan masyarakat umumnya. Artinya antara memahami Gereja
sebagai karya Allah dengan perannya sebagai agen transformasi adalah
suatu keharmonisan hidup, tidak ada pertentangan pada keduanya.
Berkaitan dengan hal itu, Vanhoozer mengemukakan bahwa, doktrin
membantu Gereja memahami di mana Gereja telah dilemparkan dan peran
apa yang harus dimainkan di sana… Doktrin yang kuat–ajaran yang
berkuasa–vital bagi kehidupan Gereja, teologi itu bagi kehidupan dunia.67
Pada satu sisi, doktrin yang menguatkan peran Gereja harus dirumuskan
dan berakar pada kebenaran penyataan Allah di dalam Alkitab. Namun
pada sisi lain, doktrin harus langsung berhubungan dengan kehidupan
prkatis, penderitaan manusia, pertanyaan arti hidup, ikut tersinggung
terhadap penindasan, menggali dan menemukan kemungkinan-
kemungkinan, serta mencari jawaban dan solusi persoalan-persoalan hidup
umat Allah khususnya dan masyarakat umumnya. Perlu dipahami bersama
bahwa doktrin Gereja bukanlah firman Tuhan yang tidak dapat diubah,
melainkan dalam perannya di dunia Gereja perlu mempertimbangkan
doktrin selaras dan mampu memotivasi kehidupan orang Kristen untuk
menyatakan kasih Allah.

Keutuhan Transformasi Kristen


Transformasi Kristen hendaknya dirumuskan dalam upaya
membangun doktrin di dalam Kristus dengan melibatkan perubahan cara
hidup, bukan hanya sebuah sistem kepercayaan atau mobilisasi massa
Kristen dan bahkan bukanlah merupakan slogan-slogan yang
membangkitkan fanatisme belaka. Hal ini berarti bahwa doktrin

67
Kevin J. Vanhoozer, Drama Doktrin: Suatu pendekatan Kanonik-Linguistik
pada theologi Kristen. Terj. (Surabaya: Momentum, 2011), 4
transformasi merupakan motivasi penting dalam upaya menerangkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan peran Gereja menjadi berkat di dalam dunia,
bagi orang-orang percaya dan yang tidak percaya seperti yang dikemukakan
oleh Roeroe sdebagai berikut:
Jadi pokok-pokok pikiran tentang tugas dan panggilan Gereja/jemaat
itu kita ringkaskan demikian: untuk “menjadi berkat bagi segala
kaum” mulai dari hal: mengolah, memelihara dan membina bumi ini
agar menjadi tempat kehidupan yang layak bagi manusia dan bagi
semua (bnd. Kej 2, 15), menguatkan yang lemah lesu dan
menguatkan lutut yang goyah, memberikan pengharapan bagi yang
takut, menyembuhkan yang sakit hingga membangkitkan yang
mati.68
Berkaitan dengan hal itu, Karman mengemukakan bahwa ada
kesinambungan antara Israel sebagai umat Allah dengan Gereja bahwa,
“kesinambungan itu terlihat sedikitnya dari kesamaan peran keduanya di
dalam dunia sebagai terang dunia dan saksi Allah yang hidup. Umat Israel
menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Yes 42:6) dan umat Kristen juga
berperan sebagai terang dunia (Mat 5:14-16) mengikuti jejak Yesus yang
adalah Terang Dunia (Yoh 8:2; bd 9:5).”69 Dimensi dogma di dalam Gereja
dengan eksistensi kehidupan di dunia bukanlah merupakan dua hal yang
berjalan terpisah satu sama lain, melainkan suatu keutuhan. Kedua wilayah
tersebut terkait amat erat satu dengan lainnya. Berkaitan dengan hal itu,
Roeroe mengemukakan bahwa bahwa di dalam PL peran orang percaya,
khususnya Tua-Tua Israel mencakup aspek rohani, maupun untuk yang
sering dianggap soal-soal duniawi.70
Dalam PB, penulis Injil Matius mengemukakan hal yang sama
(walaupun dengan bahasa yang berbeda) ketika mencatat pernyataan Yesus

68
W.A. Roeroe, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Gereja Untuk Perumusan Tata
Gereja [Ekklesiologi Baru], (Tomohon: GMIM, 2005), 11-12
69
Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004), 120
70
W.A. Roeroe, Peranan Para Tua-Tua dalam Naskah-Naskah Perjanjian Lama,
(Tomohon: UKIT-Press dan LETAK, 2008), 18-19. Para Tua-tua melaksanakan
tanggungjawab dan peranannya merangkumi bidang memimpin kehidupan bersama
sebagai persekutuan dan menjaga agar hubungan-hubungan perorangan lestari;
menanggulangi permasalahan-permasalahan keluarga besar, marga, suku serta pemukiman
dan perkotaan, sebagai penegak hukum dan membela keadilan dalam keputusan-keputusan
pengadilan dan kehakiman, mereka bertanggungjawab atas ketertiban, keamanan dan
pertahanan-keamanan-kemiliteran, atas pembebasan dari penindasan, atas masalah
kecukupan makanan dan minuman, masalah ibadah-persembahan dan doa syafaat, masalah
politik kedalam dan keluar persekutuan umat.
yang mengecam para ahli-ahli Turat dan orang-orang Farisi, “Celakalah
kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui
mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan
menerima hukuman yang lebih berat (Mat 23:14). Artinya, pernyataan
Yesus tidak memisahkan antara kepercayaan seseorang dengan kehidupan
dalam masyarakat. Yesus menghendaki adanya kesatuan antara aspek
ibadah kepada Allah dengan sikap konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada pemisahan antara dogma sebagai formalitas di dalam Gereja
dengan tindakan konkret sebagai peran Gereja di dalam dunia.
Transformasi memberi tempat untuk mengklarifikasi tersendiri isi dari iman
Kristen untuk memampukan Gereja dalam komunitas Kristen menjelaskan
tentang apa yang dipercayai di dalam kesaksian bagi dunia (terkait di
dalamnya mengenai hidup dalam kebenaran dan memperjuangkan keadilan
dan usaha memperbaiki kerusakan sosial). Hal itu juga berarti bahwa
transformasi menyelidiki isi dari teologi Kristen untuk tujuan kehidupan
praktis agar tepat dan efektif dikomunikasikan dalam tiap-tiap keadaan
sosial, bahasa, dan latarbelakang kultur. Hal inilah yang menjadi perhatian
dari Gereja seperti yang dikemukakan oleh Karl Barth bahwa,“dogmatics
as such does not ask what the apostles and prophets said but what we must
say on the basis of the apostles and prophets.”71 Doktrin, jauh dari teori
yang abstrak, sebenarnya merupakan bahan kehidupan nyata. Kehidupan
nyata terletak di jalan Yesus Kristus, dan tujuan doktrin adalah
membimbing kita tepat di jalan ini.72 Gereja sebagai saksi Kerajaan Allah,
harus mendemonstrasikan totalitas Kerajaan tersebut. Totalitas Kerajaan
Allah merupakan mandat Yesus kepada Gereja-Nya. Mandat itu adalah
mandat penginjilan dan sekaligus juga mandat pelayanan sosial. Gereja
hidup dalam dua dimensi: “di dalam Kristus” dan “di dalam dunia” (Yoh
15:1-6; 17:13-18). Gereja perlu menekankan ibadah dan pembangunan
masyarakat, pekabaran Injil dan kepedulian sosial. Gereja perlu
menyatakan kasih dan keadilan Tuhan, dimulai dari konteks Gereja sendiri
serta perbuatannya bagi masyarakat tanpa maksud-maksud tersembunyi.
Pelayanan Gereja dalam masyarakat adalah salah satu cara untuk
menyatakan kasih Tuhan di dalam ketulusan dan kejujuran. Berkaitan
dengan hal itu, Schaeffer mengemukakan bahwa, The point is that it is

71
Karl Barth, Church Dogmatics. Trans. G. W. Bromiley, second edition.
(Edinburgh: T. & T. Clark, 1975), 16
72
Vanhoozer, Drama Doktrin …, 2
possible to be a Christian without showing the mark; but if we expect non-
Christian to know that we are Christians, we must show the mark.73
Keutuhan transformasi seharusnya muncul bukan dari teori-teori
spekulatif tetapi dari praktik-praktik inti berita firman Tuhan serta
pengalaman kehidupan sehari-hari yang membentuk kehidupan dan
identitas Gereja dan orang-orang Kristen secara terus-menerus, sehingga
berupaya sedemikian rupa memengaruhi jemaat dan masyarakat umumnya.

KESIMPULAN

Fenomena Gerakan Transformasi yang berkembang di Indonesia,


satu sisi harus diberi apresiasi. Upaya yang dilakukan dalam beberapa
kegiatan akbar sebagai wujud ingin mempersatukan lembaga-lembaga
Gereja dan gerejawi dalam kegiatan persekutuan dan doa bersama, serta
berkolaborasi antara tokoh-tokoh nasional dengan internasional telah
memberi pengaruh yang cukup signifikan, dan bahkan bisa disebutkan
sebagai suatu kegiatan yang fenomenal di Indonesia. Namun demikian,
harus juga dicermati kemana arah transformasi yang diinginkan. Apakah
sebatas hanya untuk memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga Gereja dan
Gerejawi dapat berkumpul bersama-sama, wujud dari kesatuan, atau untuk
memperlihatkan bahwa Tuhan berkarya meningkatkan jumlah orang-orang
Kristen? Jika bisa disebutkan dengan bahasa iman. Atau hanya sebatas
suatu kegiatan Kristen rohani yang didukung oleh sebagian dari tokoh-
tokoh Kristen internasional atau dengan bahasa “kumpul-kumpul bareng”?
Atau bisa jadi kegiatan tersebut justru tidak rohani (berbagai perspektif
dapat berkembang untuk terminologi istilah rohani, bahkan
penyimpangannya). Kemanakah arah yang mau dibawa oleh tokoh-tokoh
Kristen untuk transformasi di Indonesia? Jika tanpa merumuskan secara
sistematis dan pengakuan bersama akan apa yang dilakukan di dalam
Gereja serta di luar Gereja.
PL dan PB mendorong manusia untuk memperbaiki dunia. Allah,
hakim-hakim, para nabi, raja-raja, dan Yesus melakukan upaya yang terus
menerus dalam memberitakan suara transformasi; keadilan dan kebenaran,
menaati hukum, mengkritisi ketidakadilan dan ketidakbenaran, membela
hak-hak orang yang miskin, lemah, yang ditindas, serta mengupayakan

73
Francis A. Schaeffer, The complete works of Francis A. Schaeffer A Christian
Worldview, Volume Four: A Christian View of the Church (Westchester: Crossway Books,
1982), 184
kesejahteraan bangsa. Keberadaan dunia ini pada dasarnya tidak jahat,
melainkan baik karena diciptakan Tuhan. Tentu ciptaan yang baik itu telah
dinodai oleh dosa. Manusia telah memanipulasi dan merampas kebaikan
dan kasih yang benar. Namun ciptaan itu masih berharga dan perlu
diperbaiki di dalam penebusan Kristus. Gereja atau orang Kristen tidak
berhak menolak keberadaan dunia yang merupakan ciptaan Allah di dalam
Kristus (Kol 1:15-16), melainkan ikut serta memberi solusi terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia. Dunia adalah dunia Allah di
mana Gereja hidup dan tinggal menjadi berkat.
Gerakan Transformasi yang menekankan mobilisasi doa massa bisa
jadi hanya mengarah kepada pencapaian kesatuan Gereja-gereja, dan upaya
damai sejahtera (feel good theology) yang akan dialami secara transformatif
di Indonesia. Hal itu bisa saja menjadi gerakan yang lebih mirip ambisi doa
dan perilaku “nabi-nabi” yang dikritik oleh beberapa nabi dan Tuhan
Yesus. Jika Gereja tidak menyuarakan kebenaran dengan mengingatkan
pemerintah, para politikus, para tokoh agama, para pengusaha secara
khusus pemimpin dan pengusaha Kristen yang sarat dengan prilaku KKN
dan mengabaikan hukum serta tidak adanya upaya yang sistematis dari
pihak Gereja untuk memperbaiki keadaan sosial, maka doa-doa orang
Kristen bisa jadi hanya sebatas artifisial belaka. Artinya doa-doa yang
diungkapkan dan “kumpul-kumpul bareng” tidak menjadi edukasi bagi
orang-orang Kristen, dapat dilepaskan dari prilaku hidup benar, serta
terlepas dari takut akan Tuhan dan mengabaikan hukum yang merupakan
prasyarat kesejahteraan bangsa dan Negara. Jika di dalam Gereja dan
Yayasan Kristen serta partai politik sendiri menyimpan kebusukan dan
mempertontonkan perilaku ketidakadilan dan ketamakan akan kekuasaan
dan harta serta tidak memperdulikan kesejahteraan orang lain, maka
transformasi seperti apa yang dapat kita harapkan?
Pada satu sisi gerakan transformasi yang telah dikemukakan di atas
harus dihargai dalam upaya untuk kesatuan Gereja-gereja Tuhan di
Indonesia, serta upaya mengembangkan spirit kerjasama antar orang-orang
Kristen dalam persekutuan. Namun pada sisi lain, gerakan tersebut
menyisakan persoalan-persoalan yang tidak kalah merisaukan, sebab spirit
transformasi yang ditawarkan adalah dalam rangka mobilisasi masa untuk
menghacurkan kuasa kegelapan bukannya upaya sistematis dalam
menyuarakan pertobatan dan memberlakukan keadilan serta upaya
menanggulangi kemiskinan yang merupakan salah satu isu utama di
Indonesia, demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Gereja dan umat
Tuhan membutuhkan keseriusan dalam upaya transformasi di dalam
Kristus, merumuskan dan mengajar-ajarkan dogma dalam ibadah dan
keharmonisannya dengan kehidupan praktis sebagai tanggungjawab dan
ketaatan kepada Allah dan sesama. Hal itu berarti Gereja akan bergumul
dengan isu-isu yang berkembang dan kompleks pada eranya dan mungkin
sekali sebagai suatu persiapan kedepan dalam kerangka mempersiapkan
yang pada umumnya disebut tanggungjawab pelayan menjadi berkat bagi
bangsa-bangsa.
TEOLOGI PAULUS TENTANG KARUNIA-KARUNIA
ROH DAN IMPLIKASINYA BAGI PROBLEMATIKA
PNEUMATOLOGIS GEREJA MASA KINI

HOTMAN PARULIAN SIMANJUNTAK

PENDAHULUAN

Di sepanjang sejarah perkembangan Gereja yang merupakan sejarah


perkembangan teologi hingga pada era postmodern ini, para teolog telah
banyak melakukan aktivitas atau upaya menafsirkan, merumuskan,
mengajarkan dan memberitakan firman Allah (berteologi).1 Meskipun
aktivitas atau upaya tersebut belum menghasilkan rumusan doktrin teologi
yang signifikan dan berlaku bagi semua kalangan Gereja. 2 Salah satunya
adalah doktrin Pneumatologi yang kembali hangat dibicarakan dan
dimonopoli oleh sekelompok Gereja tertentu, sehingga menjadi topik utama
yang dibahas oleh hampir seluruh Gereja di dunia ini, termasuk Gereja-
gereja di Indonesia.3 Misalnya, di kalangan Gereja-gereja Injili, terdapat
banyak pandangan yang bukan hanya berbeda dan bertentangan dengan
bermuara pada dua kubu polarisasi, yakni kubu neo-Pentakosta dan non-
Pentakosta.4 Inilah isu Pneumatologis yang sangat menonjol baik yang pro
dan kontra yaitu isu doktrin karunia-karunia Roh yang mengarah kepada
perpecahan jemaat.5
Karunia-karunia Roh merupakan topik diskusi teologi yang
diperdebatkan, antara aliran yang memiliki pandangan bahwa karunia-
karunia Roh adalah tanda bukti yang menyertai babtisan Roh Kudus yang
harus dimiliki oleh semua orang percaya, dengan aliran yang memiliki
pandangan bahwa karunia-karunia merupakan salah satu pemberian Tuhan
kepada orang percaya.6 Hal ini dimulai dari inteprestasi terhadap karunia-

1
Lotnatigor Sihombing, Persfektif Teologi Injili Dalam Panggilan Membangun
(Batu: Sekolah Tinggi Theologia “I-3,” 1995), 4
2
Ibid.
3
Stevri I. Lumintang, Keunikan Thelogia Kristen Di Tengah Kepalsuan (Batu:
Departemen Multimedia Bidang Literatur, 2009), 248-249
4
Ibid.
5
K.S. Lotourette, A History of Christianity. Chapter 2 (New York: Harper &
Row, 1975), 725
6
D. Bridge & D. Phypers, Karunia-Karunia Roh Dan Jemaat (Bandung: Kalam
Hidup, 1993), 27
karunia Roh dan pengalaman rohani oleh orang percaya sejak dulu hingga
saat ini. Artinya perbedaan penafsiran dan pengalaman rohani terhadap
karunia-karunia Roh Kudus kenyataannya tidak pernah selesai
diperdebatkan dikalangan orang-orang percaya, inilah yang disebut
problematika, meskipun para teolog Kristen berupaya untuk menyelesaikan
masalah ini dengan cara mengkaji lebih dalam dan mendisuksikan bersama,
namun dari upaya-upaya ini belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi
orang percaya sampai hari ini dan masih tetap menjadi problematika. 7
Tendesi orang Kristen memahami karunia-karunia Roh Kudus hanya
sebagai karunia yang dibutuhkan untuk menolong dan melengkapi hidup
orang percaya.8 Perdebatan terjadi antara aliran yang memiliki pandangan
dan mengatakan bahwa karunia-karunia Roh masih dilimpahkan oleh
Tuhan kepada orang percaya pada masa kini, dengan aliran yang memiliki
pandangan bahwa karunia-karunia Roh telah berhenti pada zaman Rasuli,
yakni ketika PB lengkap ditulis.9 Pada akhirnya banyak orang percaya
dipengaruhi pandangan yang terakhir, bahwa orang percaya masa kini tidak
lagi menerima karunia-karunia Roh sebagai salah satu karya Allah
Tritunggal, sehingga pemahamannya terhadap semua karunia Roh menjadi
lain daripada yang sebenarnya dimaksudkan dalam Akitab itu sendiri.
Permasalahan berikutnya juga terjadi dalam sejarah perkembangan
teologi, ditemukan adanya gerakan-gerakan rohani yang terus-menerus
berkembang, yakni pelayanan karunia karunia Roh Kudus menjadi dasar
atau norma untuk menilai dan mengukur kerohanian seseorang. Dengan
kata lain, karunia-karunia Roh Kudus menjadi tolak ukur mengenai
dipenuhinya seseorang dengan Roh Kudus, bahkan dipakai sebagai dasar
keselamatan seseorang.10 Ironisnya ada Gereja yang hanya menekankan
pengalaman rohani disertai dengan karunia-karunia Rohani saja dalam
kehidupan kekristenannya sebagai bukti bahwa ia sungguh-sungguh rohani
dan dipenuhi oleh Roh Kudus, serta memiliki kepastian keselamatan.
Bahkan tidak jarang orang percaya atau jemaat menghakimi hamba Tuhan
atau jemat yang tidak nampak karunia-karunia rohaninya, dengan
perkataan-perkataan yang menjatuhkan iman hamba Tuhan atau jemaat,

7
H. Berkhof & L.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1976), 34
8
Stanley M. Burgess, Kebutuhan Gereja Saat Ini (Malang: Gandum Mas, 2011),
339
9
Ibid., 28
10
Gorden Lindsay, Bagaimana Menerima Babtisan Roh Kudus (Jakarta: Imanuel,
1979), 24.
sehingga hal ini dapat memecahkan kesatuan serta persatuan sesama orang
percaya.11
Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya secara eksplisit telah banyak
memberikan way out secara theologis sebagai solusi terhadap semua
permasalahan Pneumatologi yang terjadi di Gereja masa kini. Dari fakta
realita problematika karunia-karunia Roh di atas, menstimulir penulis untuk
mengkaji dan menganalisa lebih lanjut dan lebih dalam melalui studi
theologis secara khusus tentang karunia-karunia Roh dalam konstruksi
theologia Rasul Paulus, dimana dalam tulisan Paulus yang mengajarkan
tentang konsep, dogma dan prinsip karunia-karunia Roh Kudus secara
Alkitabiah. Oleh sebab itu, penulis bermaksud untuk mengangkat hal ini
dalam sebuah jurnal “Missio Ecclesio” dengan judul: “Theologia Paulus
tentang Karunia-Karunia Roh dan Implikasinya Bagi Problematika
Pneumatologis di Gereja Pada Masa Kini.”

KAJIAN BIBLIKA

Dalam bagian ini penulis akan menguraikan mengenai theologia


Paulus secara esensial tentang pengertian karunia-Karunia Roh, maksud
karunia Roh, tujuan, asal-mula, banyaknya dan tetap tidaknya karunia-
karunia Roh.

Pengertian Karunia-Karunia Roh Menurut Paulus


Istilah karunia dalam bahasa Yunani ca,risma (kharisma) akar
katanya adalah ca,rij (kharis) yang artinya anugerah. Hubungan erat antara
dua istilah ini ditekankan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di
Roma, bahwa: “Demikianlah kita mempunyai karunia (kharisma) yang
berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika
karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai
dengan iman kita” (Rm.12:6). Frasa kasih karunia dalam bahasa Yunani
ca,rin (kharin) adalah sikap Tuhan terhadap kita, bahwa Dia yang memberi
pengampunan kepada manusia, yaitu kepada yang percaya kepada darah
Tuhan Yesus. Istilah karunia juga dapat dipakai dengan arti anugerah
seperti yang dijelaskan oleh Paulus (Rm 6:23, bnd. 5:15-16) bahwa: “…
tetapi karunia (kharisma) Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita.” Paulus juga mengatakan: “Sebab Allah tidak menyesali
11
Ibid.
kasih karunia (kharisma) dan panggilanNya” (Rm 11:29). Konteks dari ayat
terakhir ini tidak berbicara mengenai karunia-karunia tertentu, tetapi
panggilan dan kasih karunia yang diberikan kepada bangsa Israel supaya
mereka diselamatkan. Karunia merupakan hasil dari anugerah, artinya
bahwa karunia tidak bisa dilihat terpisah dari perbuatan dan karya Allah. 12
Jadi, apa yang disebut dengan karunia adalah karya Allah lewat seseorang
dan bukan kemampuan yang dimiliki dan dikuasai sendiri. Karunia dapat
disebut juga karya ajaib dan tidak dapat dipisahkan dari pelayanan.

Maksud Karunia-Karunia Roh


Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat di Korintus
mengenai maksud karunia-karunia Roh. Dalam 1Korintus 12:4-6, Paulus
menjelaskan bahwa: “Ada rupa-rupa karunia tetapi satu Roh, dan ada rupa-
rupa pelayanan tetapi satu Tuhan, dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib,
tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.”
Dalam bagian firman Tuhan ini kita bertemu dengan karya Allah
Tritunggal. Tidak ada karunia yang tidak diberikan untuk pelayanan dan
tidak ada karunia yang kuasanya tidak berasal dari Allah. Paulus memakai
tiga kata ucapan yang hampir sama untuk menjelaskan satu hal hal yang
sama, yaitu: karunia, carisma,twn (kharismaton), pelayanan, diakoniw/n
(diakonion) dan karya ajaib, evnerghma,twn (energematon).13 Paulus juga
menjelaskan bahwa karunia tertentu diberikan “untuk melengkapi orang-
orang kudus bagi pekerjaan pelayanan” (Ef 4:12). Kalimat ini berbicara
mengenai karunia-karunia yang diberikan dengan tujuan pelayanan.
Masing-masing karunia dan masing-masing perbuatan yang ajaib dilakukan
oleh Allah. Hal ini nampak dalam kesimpulan Paulus (1Kor 12:5), bahwa:
“tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.”
Kalimat ini sangat jelas sekali mengajarkan bahwa karunia-karunia Roh
bukan karya manusia, tetapi karya Allah secara terus-menerus. Dengan
demikian, Allah yang bekerja dan Roh Kudus terlibat dalam pekerjaan ini,
seperti yang dijelaskan oleh Paulus (1Kor 12:11) bahwa: “Tetapi semuanya
ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan

12
T.G.R. Boeker, Apa Kata Alkitab Tentang Roh Kudus (Malang: Institut Injil
Indonesia, 1991), 42
13
View from one angle they appar as charismata, form another as misnitrations,
and from a third as energies. Maksudnya adalah, jika dilihat dari satu arah ternyata sebagai
karunia, dari arah yang lain sebagai pelayanan, dan dari arah ketiga sebagai kuasa; R.C.H.
Lenski, The Interpretations of 1 and 2Chorinthians (Minnesota: Augsburg, 1963), 495
karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-
Nya.”14

Tujuan Karunia-Karunia Roh


Dalam Roma 12:4-5 Paulus menggambarkan jemaat sebagai tubuh
Kristus dan jemaat adalah anggota tubuh itu. Setelah itu barulah ia
mengemukakan karunia-karunia yang berlainan dan yang dimiliki oleh
orang-orang Kristen (Rm 12:6-8). Paulus dalam pembahasan yang lebih
panjang lebar tentang karunia-karunia Roh dalam 1Korintus 12:27-28:
“Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah
anggotanya. Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam jemaat,
pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi ...” Demikian juga dalam Efesus
4:1-8, Paulus menyatakan bahwa justru karena orang-orang Kristen adalah
anggota-anggota satu tubuh, maka kasih karunia telah dianugerahkan
kepada mereka masing-masing menurut ukuran pemberian Kristus.15 Pada
ketiga bagian teks ini dijelaskan bahwa karunia-karunia Roh mempunyai
dua tujuan vital dalam kehidupan jemaat.
Pertama, karunia-karunia roh memperkuat persekutuan jemaat.
Kehendak Allah bagi jemaat ialah, “supaya jangan terjadi perpecahan
dalam tubuh, tetapi supaya angota-anggota yang berbeda itu saling
memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, maka semua
anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, maka semua anggota
tubuh turut bersukacita” (1Kor 12:25-26). Berbagai karunia dibagikan di
antara anggota-anggota jemaat supaya tujuan itu dapat dicapai (1Kor 12:27-
30). Dalam kerinduan mereka untuk memperoleh karunia-karunia Roh dan
untuk menggunakan karunia-karunia itu, orang-orang Kristen “hendaknya
berusaha mempergunakannya untuk membangun jemaat” (1Kor 14:12).
Demikian pula dalam Efesus 4:12,16, Paulus mengemukakan bahwa
karunia-karunia Kristus adalah “bagi pembangunan tubuh Kristus,” dan
apabila orang-orang Kristen menggunakan karunia-karuia itu dengan benar,
maka jemaat “menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam
kasih.”16
Kedua, selain menguatkan persekutuan jemaat, karunia-karunia Roh
juga dimaksudkan untuk memperluas kesaksian dan pelayanan jemaat. Di

14
Ibid.
15
Donald Bridge & David Phypers, Karunia-Karunia Roh dan Jemaat (Bandung:
Penerbit Kalam Hidup, 1973), 17
16
Ibid., 18
dalam ayat-ayat yang memang sukar untuk dipahami, yaitu 1Korintus
14:20-25, rupanya Paulus mengemukakan bahwa manifestasi karunia-
karunia Roh yang dapat dipahami, orang akan menyadarkan orang sesat
akan dosanya, “sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku,
sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu” (1Kor 14:25). Bahkan lebih
jelas dalam Efesus 4:11-12, Paulus mengatakan bahwa karunia-karunia itu
untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi perkerjaan pelayanan. Yang
juga penting dalam ayat ini ialah bahwa Paulus secara khusus mengakui
jabatan Rasul dan pemberita Injil.17

Sifat Karunia-Karunia Roh


Rasul Paulus secara mendalam membahas sifat karunia-karunia Roh
dengan menggunakan beberapa kata Yunani untuk menggambarkan
karunia-karunia roh, yakni: kata pneumatikoi (pneumatikoi) “perkara-
perkara rohani.” Kata itu berasal dari kata pneuma (pneuma), dan
pengunaan kata pneumatikoi (pneumatikoi) menunjukkan bahwa karunia-
karunia itu adalah milik Roh Kudus dan digerakkan oleh Roh Kudus atau
semua karunia itu “dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama” (1Kor
12:11). Karunia-karunia itu bersifat supranatural, karena digerakkan
Allah.18
Dalam menggambarkan karunia-karunia Roh, Paulus beralih dari
kata pneumatikoi (pneumatikoi) dalam ayat 1 ke kata ca,rismata
(kharismata) dalam Roma 12:4. Walaupun sering diterjemahkan menjadi
karunia-karunia saja, kata kharismata sebenarnya berarti karunia-karunia
yang diberikan karena kemurahan hati pemberinya. Penggunaan kata ini
menekankan kenyataan bahwa karunia-karunia itu berasal dari kasih dan
rahmat Allah yang melimpah-limpah. Kata ketiga yang digunakan oleh
Paulus dalam 1Korintus 12:5 untuk menggambarkan karunia-karunia Roh
ialah kata diakonia (diakonia) artinya pelayanan, digunakan dalam PB
untuk menggambarkan jabatan dan pekerjaan seorang diaken atau pelayan
dalam jemaat. Hal ini mengindikasikan bahwa karunia-karunia itu
hendaknya dipergunakan bagi kepentingan bersama. Orang Kristen yang
mempergunakan karunia-karunia Roh hendaknya meneladani Juruselamat
dalam hal kematian-Nya di atas kayu salib.19 Paulus juga menggunakan
kata energema diterjemahkan menjadi “perbuatan ajaib” untuk

17
Ibid.
18
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia..., 20, 21
19
Ibid., 22
menggambarkan karunia-karunia Roh yang berasal dari kata energeo yang
dalam bentuk pasifnya berarti didorong atau digerakkan dan di dalam PB
selalu dipakai untuk menyatakan suatu prinsip atau kuasa yang sedang
bekerja. Hal ini menggambarkan berbagai karunia itu sebagai “berbagai-
bagai perbuatan ajaib.” Apabila karunia-karunia Roh dipergunakan, maka
kuasa Allah sedang bekerja di dalam diri orang Kristen bagi kepentingan
orang lain. Kata terakhir yang dipakai oleh Paulus untuk menggambarkan
sifat karunia-karunia Roh ialah phanerosis. Kata itu berasal dari kata kerja
phaneroein yang berarti menjadikan kelihatan, jelas atau diketahui.
Karunia-karunia adalah “penyataan Roh.”

Asal Mula Karunia-Karunia Roh


Dalam 1Korintus 12 Paulus menghubungkan asal mula dan
distribusi karunia-karunia Roh dengan setiap pribadi dari Allah Tritunggal.
Paulus menulis “ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa
pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib,
tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua
orang.” Yang sangat mengesankan ialah cara setiap Pribadi dalam Allah
Tritunggal dihubungkan dengan berbagai segi daripada karunia-karunia itu.
Dengan demikian, karena kegiatan khusus daripada Roh Kudus ialah
membagi-bagikan, maka Paulus berbicara tentang “karunia-karunia-Nya.”
Karena Yesus datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani,
maka Paulus berbicara tentang “rupa-rupa pelayanan-Nya.” Karena Allah
Bapa adalah sumber segala kuasa, maka Paulus berbicara tentang
“berbagai-bagai perbuatan ajaib-Nya.”20 Karena itu, dapat disimpulkan
bahwa ada kegiatan yang maha hebat didalam penggunaan karunia-karunia
Roh. Pada waktu karunia-karunia itu dipergunakan oleh seseorang anggota
tubuh Kristus, maka Allah Tritunggal bekerja di dalam satu pribadi bagi
kepentingan dan kebaikan orang-orang lain. Inilah asal mula atau sumber
utama dari banyaknya karunia Roh.

Banyaknya Karunia-Karunia Roh


Dalam 1Korintus 12:8-19 memang hanya sembilan karunia yang
dikemukakan, tetapi Paulus memberikan serangkaian karunia yang lain di
dalam pasal yang sama. Demikian juga dalam Roma 12 dan Efesus 4 dan

20
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 24
ayat-ayat yang lainpun Paulus menyinggung beberapa karunia lain. Dalam
Roma 12 tercantum karunia-karunia untuk bernubuat, untuk melayani,
untuk mengajar, untuk menasehati, untuk membagi-bagkan sesuatu, untuk
memberi pimpinan dan untuk menunjukkan kemurahan. Dalam 1Korintus
12 tercantum karunia-karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, untuk
berkata-kata dengan pengetahuan, karunia iman, karunia untuk
menyembuhkan, untuk mengadakan mujizat, untuk bernubuat, untuk
membeda-bedakan roh, untuk berkata-kata dengan bahasa Roh, untuk
menafsirkan bahasa Roh, karunia untuk menjadi Rasul dan pengajar,
karunia untuk melayani dan karunia untuk memimpin. Efesus 4
mengemukakan jabatan dan bukan pekerjaan, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi,
pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar. Selain
itu, karunia membujang secara sukarela (1Kor 7), kemiskinan dan
kesahidan secara sukarela (1Kor 13:3) adalah karunia-karunia dalam arti
yang sama seperti karunia-karunia yang lain dan harus dimasukkan ke
dalam golongan karunia.21 Apabila suatu jemaat atau kelompok Kristen
memusatkan perhatian hanya pada beberapa karunia saja dan melupakan
adanya berbagai karunia lain yang dikemukakan dalam PB, maka mereka
hanya setengah-setengah dan tidak lengkap; mereka akan kehilangan
berkat, baik di dalam dan di luar persekutuan.

Tetap Tidaknya Karunia-Karunia Roh


Beberapa karunia Roh jelas lebih supernatural dan lebih ajaib
daripada yang lainnya, dan dalam sejarah jemaat karunia-karunia itu
kadang-kadang tidak dipergunakan lagi untuk jangka waktu yang lama.
Paulus memang mengatakan bahwa “nubuat akan berakhir, bahasa Roh
akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1Kor 13:8), dan ayat ini sering
dikutip orang untuk menekankan bahwa karunia-karunia yang dramatis
hanya bersifat sementara. Tetapi kita harus memperhatikan juga
konteksnya. Paulus sedang berbicara tentang masa depan, yaitu pada waktu
“yang sempurna tiba; pada waktu itulah yang tidak sempurna itu akan
lenyap (1Kor 13:10). Demikian juga Paulus mengatakan bahwa “Sekarang
kita melihat secara samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka
dengan muka. Sekarang kita hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi
nanti kita akan mengenal dengan sempurna” (1Kor 13:12). Dari pernyataan
ini sangat jelas bahwa Paulus sedang melihat ke masa depan pada waktu
bukan saja karunia-karunia Roh yang menakjubkan, tetapi segala sesuatu

21
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 25
yang mencakup kehidupan manusia sehari-hari akan lenyap pada waktu
Allah menggenapkan janji-Nya dalam kemuliaan-Nya.22

Pandangan Rasul Paulus Tentang Karunia-Karunia Roh


Dalam semua tulisan Rasul Paulus mengenai karunia-karunia Roh
terdapat suatu hakikat yang benar untuk dapat memahami dengan benar
semua karunia Roh yang diberikan Allah kepada umat-Nya, yaitu:

Karunia Sebagai Rasul


Dalam tulisan Paulus, istilah rasul dipakai mengenai Epafroditus
dan beberapa orang lain. Mereka disebut sebagai “utusan Gereja-gereja,”
avpo,stoloi evkklhsiw/n (apostoloi ekklesion) yang juga terdapat dalam
2Korintus 8:23, dan utusan kamu, u`mw/n de. avpo,stolon (humon de
apostolon) terdapat dalam Filipi 2:25. Istilah utusan dalam konteks ini
sama dengan istilah rasul, avpo,stoloi (apostoloi). Dua ayat ini berbicara
tentang “utusan-utusan dari jemaat-jemaat,” bukan “Rasul Kristus Yesus
oleh kehendak Allah” (Ef 1:1). Dalan surat Korintus mereka yang disebut
“utusan-utusan” adalah beberapa orang yang dipilih oleh jemaat-jemaat di
Asia untuk mengkuti Paulus dan Titus, sewaktu mereka membawa suatu
persembahan dari jemaat-jemaat yang baru beridiri kepada jemaat induk di
Yerusalem (2Kor 8:19). Sebetulnya mereka diikutsertakan sebagai saksi
(2Kor 8:20). Hal ini didukung argumentasi Donald Guthrie sebagai berikut:
Apostolic ministry was distinguished from all other ministry;
Apostolic ministry has not localized but universal; The apostles was
in no sense appointed by the church, but rather were foundation to it
(cf. Eph.2:20); Their task has not only to lay foundation, but also to
contribute to the upbilding of the church.23
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pelayanan kerasulan
dibedakan dari pelayanan lain, wewenang para Rasul tidak hanya
berpengaruh pada suatu daerah setempat tetapi bagi semua orang, para
Rasul tidak diangkat oleh jemaat, malah merekalah pendiri jemaat (bnd. Ef
7:20) dan tugas mereka bukan hanya meletakkan dasar, tetapi juga berperan

22
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 29, 30
23
Donald Guthrie, Tafsiran Aliktab Masa Kini. Jilid III (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982), 82
untuk menegakkan jemaat. Oleh sebab itu, para rasul adalah dasar Gereja
yang terutama, karena pengajaran mereka yang ada di dalam Perjanjian
Baru menjadi dasar dan patokan bagi Gereja universal dalam segala zaman.

Karunia Sebagai Nabi


Dalam tulisan Paulus, dijelaskan bahwa istilah nabi mempunyai arti
ganda, yaitu nabi PL (Rm 1:22; 3:21) dan nabi PB (1Kor 12:28). Dalam
Efesus 3:5 artinya mungkin “nabi PB.” Hal ini nampak karena dikatakan
bahwa rahasia ini “pada angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-
anak manusia,” berarti ditutup sampai PB. Paulus di sini memakai frasa
dinyatakan dalam Roh, avpekalu,fqh evn Pneu,mati (apekaluphte en
Pneumati) tentang pengalaman para rasul, berarti mereka mendapat wahyu
dari Allah sebagainana seorang pelihat (ro'eh). Boleh dikatakan juga
bahwa, arti istilah rasul dan istilah nabi tidak terlalu berbeda. Dua-duanya
adalah utusan Allah.
Dalam surat Efesus para nabi dan rasul dilihat sebagai dasar jemaat
(Ef 2:20) yang sewaktu-waktu disatukan, seperti yang dijelaskan Paulus
dalam Efesus 3:5, di mana dalam konteks ini istilah Rasul (apostolois)
memakai kata sandang tertentu, tetapi istilah nabi (prophetais) tidak
memakai kata sandang tertentu, berarti dua kelompok ini disatukan oleh
istilah dan, kai (kai). Menurut Robertson: sometimes groups more or less
distinct are treated as one for the purpose in hand, and hence use only one
article.24 Jadi, Paulus dan duabelas rasul diberi nama nabi dalam teks ini.
Dalam struktur teks Efesus 2:20 bahwa frasa tw/n avposto,lwn kai.
profhtw/n (ton apostolon kai propheton) sama dengan struktur teks Efesus
3:5.25 Para rasul dan para nabi adalah satu kelompok, yaitu rasul-rasul yang
mempunyai karunia nabi. Sedangkan dalam surat Ef.4:11, nabi dan rasul
tidak satu kelompok, tetapi Paulus berbicara mengenai dua kelompok yang
berbeda, seperti penginjil, pengajar dan gembala merupakan kelompok
yang terpisah.26 Meskipun demikian kesimpulan penulis adalah bahwa

24
A.T. Robertson, A Grammar of the Greek New Testament in the Light of
Historical Research (Tennessee: Broadman, 1994), 787
25
E. Waaler, Exposition of the Letter to the Ephesians (Unplublished Manuscript,
1994), 51
26
tou.j me.n tou.j de. (tous men tois de) dengan arti yang kontras; bnd. Robertson,
A Grammar of the…, 1152
Paulus dalam surat Efesus pasal dua dan tiga berbicara mengenai rasul dan
nabi dalam arti satu kelompok, yaitu rasul yang memiliki karunia nubuat.27

Karunia Bernubuat
Pembahasan tentang karunia nabi sebagai salah satu karunia tidak
dapat lepas dari istilah nubuat. Paulus membahas tentang tugas seorang
nabi (1Kor 14:29), profh/tai (prophetai), Paulus juga berbicara mengenai
nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Tuhan mewahyukan sesuatu
kepada sesuatu kepada mereka (1Kor 14:30) avpokalufqh/ (apokaluphte),
yang kemudian mereka sampaikan (1Kor 14:31) profhteu,ein
(propheteuein). Seluruh fenomena ini diberi nama propheteia (1Kor 14:22)
artinya aktivitas seorang nabi. Sebenanya harus diperhatikan bahwa ada
perbedaan antara istilah “menerima wahyu atau nubuat” (apokaluphte) dan
istilah bernubuat (propheteuein). Istilah wahyu sering dipakai tentang
pengalaman Paulus sendiri, secara khusus wahyu sebagai dasar jabatan
Rasul (Rm 18:25; 1Kor 14:8; 2Kor 1:1-7; Gal 1:12, 15, 2:22; Ef 3:3).
Tetapl istilah wahyu juga dapat dipakai mengenai orang Kristen secara
umum (Ef 1:17; Flp 3:15) dan tentang karunia nubuat secara khusus (1Kor
14:28,30; bnd. 1Kor 14:6). Menurut Ridderboes, Prophecy is a special form
of the Spirit given to through the church. For this speaking of the prophets
can also be called relevation.28 Jadi, dapat dikatakan bahwa, nubuat artinya
“suatu pemberian Roh kepada dan melalui jemaat.” Oleh karena itu, apa
yang dikatakan para nabi dapat disebut nubuat. Meskipun karunia nubuat
juga ada di dalam jemaat pertama, tetapi otoritas nubuat dalam jemaat lebih
rendah daripada otoritas seorang rasul, seperti yang dijelaskan dalam
1Korintus 14:37-38.
Secara positif Paulus mengarahkan supaya nubuat dipakai sesuai
dengan iman dalam bahasa Yunani kata. th.n avnalogi,an th/j pi,stewj (kata
ten analogian tes pisteos) Roma 12:6. Maksudnya di sini bukan iman
pribadi seseorang, tetapi inti dari iman Kristen. Dengan demikian, iman
yang dimaksud oleh Paulus adalah iman sesuai dengan isinya, atau secara
umum doktrin Kristen. Karena nubuat yang dibuat oleh seorang rasul atau
nabi mempunyai otoritas yang jauh lebih tinggi daripada nubuat yang

27
The apostles are also prophets in the New Testament sense. Graham Huston,
Prophecy Now, (U.K.: Inter-Varsity, n.d.), 80
28
H. Ridderbos, Paul, An Outline of His Theology (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1990), 451
dibuat oleh seseorang yang berkarunia nubuat. Hal ini tidak terlepas dari
karunia mengajar.

Karunia Mengajar
Dalam surat Paulus istilah pengajar tidak berdiri sendiri, tetapi
berhubungan dengan istilah penatua, presbuteroj (presbuteros), “Penatua-
penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama
mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1Tim 5:17).
Tugas yang kedua yang dihubungkan dengan tugas penatua adalah
gembala, poimenoj (poimenos). Paulus memanggil penatua-penatua dari
Efesus (Kis 20:17). Kepada kelompok ini Paulus mengatakan: “karena
kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk
menggembalakan jemaat Allah” (Kis 20:28). Dalam surat Petrus juga
nampak bahwa, para penatua harus menggembalakan umat Tuhan (1Ptr
5:1-4). Demikian juga para pengajar dan gembala dilihat bersama dalam
surat Efesus: “maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar” (Ef 4:11).
Paulus menyebutkan lima gelar, yaitu: rasul, nabi, penginjil, guru dan
gembala. Setiap empat istilah pertama masing-masing didahului oleh artikel
tertentu, tetapi yang terakhir tidak tou.j de.( poime,naj kai. didaska,louj
(tous de poimenas kai didaskalous). Dari hal ini, maka dapat disimpukan
bahwa, dua kelompok ini dekat dan dilihat sebagai kesatuan dalam konteks
ini.
Selanjutnya, dalam tulisan Paulus dijelaskan adanya hubungan
antara seorang penilik dan seorang penatua. Dari segi tugas dua-duanya
disebut tenaga yang mengajar (1Tim 3:2; Tit 1:9) dan juga sebagai orang
yang menjaga jemaat (1Tim 5:17; Tit 1:9). Paulus dalam suratnya kepada
Titus, memakai istilah penilik (Tit 1:7) dan penatua (Tit 1:5) tentang orang-
orang yang sama. Juga dalam konteks ini khotbah Paulus kepada para
penatua dari Efesus sangat cocok, karena mereka disebut: “Penatua (Kis
20:17) dan Penilik (Kis 20:28) yang menggembalakan (Kis 20:28).” 29
Bahkan dalan surat pastoral Paulus kepada Timotius, terdapat istilah
pengajar dilihat dalam konteks pemerintahan jemaat: “mengajar atau
memerintah” (1Tim 2:12, terjemahan lama). Sepertinya para pengajar
diberi kuasa untuk memerintah di dalam jemaat. Memang seorang guru

29
“Eph. 4:11 qualifies ‘pastors and teachers’ more as an activity than as an
office, though the office of overseer can wall be aluded to (cf. Phil. 1:1).” Ridderboes,
Paul, An Outline…, 455
selalu menggurui muridnya, tetapi kuasa ini kemungkinan besar
mempunyai hubungan dengan tugas penatua yang juga memimpin jemaat.
Tugas utama seorang pengajar tentunya untuk membagikan
pengetahuan seperti yang dijelaskan oleh Paulus dalam 1Korintus 14:6,
bahwa: “jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan, avpokalu,yei:
(apokaluphei) Allah atau pengetahuan, gnw,sei: (gnosei) atau nubuat,
profhtei,a| (propheteia) atau pengajaran, didach (didakhe).” Dalam hal ini,
berarti bahwa pengajaran sama dengan pengetahuan, seperti nubuat sama
dengan penyataan. Frasa kata pengetahuan juga muncul di dalam konteks
karunia-karunia (1Kor 12:8), dimana dalam konteks yang sama istilah kata
hikmat, sofi,aj (sophia) juga muncul, bahkan terlihat juga dalam surat
Kolose bahwa, pengajaran juga berisi kata hikmat (Kol 3:16). Dengan
demikian, baik kata hikmat maupun pengetahuan adalah isi dari pengajaran.

Karunia Berbahasa Lidah


Paulus secara eksplisit (1Kor 14:14) menjelaskan bahwa kalau dia
berdoa dengan bahasa lidah, maka: rohku, to. pneu/ma, mou (to pneuma
mou) yang berdoa. Kalau roh Paulus yang berdoa, maka roh itu bukanlah
Roh Kudus. Jelas sekali bahwa Paulus membedakan antara roh manusia dan
Roh Kudus: “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita
adalah anak-anak Allah” (Rm 8:16).30 Paulus juga menekankan bahwa
bahasa lidah tidak dimengerti oleh manusia, kecuali mereka diberikan
karunia untuk menafsirkan bahasa lidah (bnd. 1Kor 14:28). Menurut
Ridderboes bahwa: Bahasa lidah tidak ada hubungannya dengan akal, tetapi
keluar dari roh manusia: “rohku yang berdoa tetapi akal budiku tidak turut
berdoa” (1Kor 14:14). Dalam bahasa asli dipakai istilah a;karpo,j (akarpos)
artinya tanpa buah. Yang dimaksudkan oleh Paulus ialah bahwa, akal budi
tidak berbuah dalam hal berbicara dengan bahasa lidah. Dikatakan
mengenai akal budi bahwa di dalam bahasa lidah akal tidak berbuah (1Kor
14:14), maka akal budi tidak terlibat di dalamnya. 31 Jadi, bahasa lidah tidak
berasal dari akal budi manusia, tetapi dari roh manusia.
Istilah bahasa lidah yang dibicarakan Paulus dalam surat 1Korintus
14:2 adalah doa dan pujian kepada Tuhan: “Siapa yang berkata-kata dengan
bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah.” Istilah
berkata-kata (lalei, lalaei) dilengkapi dengan istilah Allah dalam kasus

30
Lenski, Interpretation of Romans …, 524
31
“It is said of the understanding therefore that with glossolia it is unfruitful (v.
14), that is to say, it is not involved in it;” Ridderboes, Paul, an Outline of…, 465
datif Qew (Theo) kasus datif menjelaskan bahwa, orang yang kepadanya
kami berbicara.32 Hal ini berarti bahwa bahasa lidah ditujukan bukan
kepada manusia melainkan kepada Allah. Istilah berdoa dengan bahasa
lidah dan berdoa dengan rohku (1Kor 14:14), sama maknanya dengan
“menyanyi dan memuji dengan rohku” (1Kor 14:15), “mengucapkan
syukur dengan rohmu” (1Kor 14:16). Maka jelaslah dari konteks ini bahwa
apa yang dilakukan adalah doa dan pujian kepada Allah. Dalam jemaat
hanya dibutuhkan doa yang dapat diaminkan oleh saudara-saudara seiman:
“bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat
mengatakan “amin” atas pengucapan syukurmu?” (1Kor 14:16). Hal ini
disebabkan bahwa bahasa lidah selalu harus diterjemahkan, kecuali kalau
orang berdoa seorang diri. Bahasa lidah juga harus membangun orang yang
berbicara: “hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada
Allah“ (1Kor 14:28), “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia
membangun dirinya sendiri” (1Kor 14:28). Persekutuan dengan Allah
dalam bentuk ini menolong seseorang dalam kehidupannya dengan Tuhan.
Dalam beberapa golongan Kristen tertentu, bahasa lidah menjadi
ukuran terhadap iman dan kerohanian seseorang. Bahasa lidah menjadi
tanda mutlak untuk pertobatan atau tanda berkat kedua (second blessing).
Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Alkitab. Paulus menjelaskan dalam
suratnya kepada jemaat di Korintus, seperti berikut: “Adakah mereka
semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat
karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk
berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” (1Kor
12:29-30). Pada bagian ini Paulus ingin lebih menekankan bahwa meskipun
masing-masing orang diberikan karunia yang berbeda, tetapi kita semua
satu dalam Kristus. Sama sekali tidak ada satu ayat Firman Tuhan yang
mengatakan bahwa bahasa lidah adalah tanda bagi suatu tingkatan
kerohanian ataupun syarat untuk selamat. Karunia bahasa lidah adalah
karunia yang terkecil. Paulus dengan tegas menolak segala pikiran bahwa
satu anggota tubuh tidak berharga, karena dia tidak memiliki satu karunia
tertentu (1Kor 12:12-20).

32
“The pers. To whom for with whom one is speaking.” Bauer, A greek English
Lexicon of the Greek New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago:
University of Chicago Press, 1975), 464
Karunia Iman, Penyembuhan dan Karya Ajaib

Dalam surat-suratnya, Paulus memiliki tiga karunia yang sering


disambung dengan karya ajaib, yaitu iman, pi,stij (pistis), karunia-karunia
penyembuhan, cari.smata i.amaton (kharismata iamaton) dan karya ajaib,
evnergemata duna.mewn (energemata dunameon). Ketiga istilah ini akan
diuraikan oleh penulis dalam pemaparan berikut ini.

Karunia Iman dan Kuasa Allah


Dalam surat 1Korintus 13 dibicarakan tentang apa yang dapat
disebut dengan karunia iman, pistij (pistis). Iman yang dibicarakan dalam
ayat ini tidak cukup untuk seseorang selamat, meskipun ada tanda ajaibnya.
Apa yang ingin disampaikan oleh rasul Paulus ialah bahwa “tanda ajaib”
tidak boleh menjadi ukuran iman. Orang Kristen tidak boleh begitu terkesan
oleh keberanian seorang martir atau pengorbanan atau mujizat ‘yang besar,’
agar jangan tanda semacam itu dijadikan bukti bahwa Allah yang bekerja.
Sebenarnya dalam surat 1Korintus 13 “iman yang memindahkan gunung”
dinyatakan tidak berguna kalau tidak disertai oleh kasih. Sebaliknya iman
yang dicari dan iman yang menjadi contoh terdapat dalam ayat 13: Iman,
pengharapan dan kasih. Istilah karunia iman paralel dengan istilah
pengharapan yang merupakan istilah eskatologis. Hal ini dapat
dihubungkan dengan masalah kekuatiran. Dalam Injil Matius jelas bahwa
semua orang Kristen, tanpa terkecuali, tidak perlu kuatir tentang hari esok
(Mat 6:25-34). Hal itu dibuat sebagian dari jemaat Tesalonika, dan Paulus
cukup tegas menegur mereka (2Tes 3:11-12). Apa yang disampaikan oleh
Yesus berlaku bagi orang-orang sederhana. Mereka tidak perlu kuatir akan
hasil dari tanahnya, karena Tuhan tahu pergumulan mereka. Jadi, iman
sebagai keyakinan akan kemahakuasaan Allah yang membuat mujizat tidak
hanya diberikan kepada sebagian orang percaya, tetapi sebagaimana dalam
Roma 4:17-20, hal yang sama juga adalah esensi dari perbedaan antara
orang percaya sebagai anaknya Abraham dan orang yang tidak percaya.33

33
“For the faith as trust in the wonderworking omnipotence of God is not only
given to some, but, as appears from Romans 4:17-20, also defines the essence of that
which distinguishes every believer as a child of Abraham from unbelievers;” Ridderbos,
Paul an Outline if …, 464
Karunia atau Hasil Anugerah
Paulus mengatakan bahwa satu karunia dapat dimiliki, namun “kita
mempunyai karunia yang berlainan” (Rm 12:6). Istilah mempunyai,
e;contej (ekhontes) berbicara tentang sesuatu yang diberikan Allah untuk
dimiliki dan dipakai. Hal yang sama nampak juga, ketika Paulus
memberikan nasihat kepada Timotius: “Oleh karena itu kuperingatkanan
engkau untuk mengobarkan karunia yang ada padamu oleh penumpangan
tangan atasmu” (2Tim 1:7). Paulus memakai frasa o[ evstin evn soi (ho
estin en soi) artinya yang ada didalam kamu, yang berarti karunia itu dilihat
sebagai milik Timotius, meskipun sedang tidak (atau kurang) dipakai.
Dua jalur ini dapat disatukan dalam istilah yang berhubungan
dengan tiga istilah, yaitu: “karunia, pelayanan dan hasil kuasa” (1Kor 12:4-
6). Karunia yang dimiliki diberikan untuk pelayanan dan berfungsi demi
kuasa Tuhan, dan setiap orang memiliki paling tidak satu karunia (1Ptr
4:10). Kedua teks ini berbicara mengenai sesuatu yang diberi kepada setiap,
e/kastoj (ekastos) orang (1Kor 12:7; 1Ptr 4:10). Jadi, karunia iman bukan
merupakan kepintaran atau keahlian yang dikuasai sendiri oleh orang
percaya. Karena pendapat ini dekat dengan masalah synergisme, yakni
bahwa keselamatan merupakan hasil kerjasama Allah dan manusia. Oleh
sebab itu, “iman bukanlah karya manusia, karena iman merupakan karya
Allah di dalam dan bagi orang percaya.”

Karunia Penyembuhan dan Karunia Karya Ajaib


Kedua karunia ini sebagaimana dengan semua karunia yang lain,
berhubungan dengan iman. Dan dua karunia ini sifatnya sama, hanya
obyeknya yang berbeda. Penyembuhan adalah salah satu macam karya
ajaib. Kata penyembuhan memakai istilah i/ama (iama), dan perbuatan
ajaib memakai kata e,ne.rgema (energema), kedua kata ini memakai
akhiran ma (ma). Sama seperti istilah kharisma (anugerah), dua istilah ini
menekankan karya Allah dalam karunia ini, yakni bahwa “penyembuhan
dan mujizat merupakan hasil dari karya Allah.” Dua istilah tersebut hanya
dipakai dalam pasal ini, dan tidak terdapat dalam bagian lain dari PB.
Paulus sesudah mendaftarkan semua karunia, selanjutnya ia berkata:
“Tetapi semua ini dikerjakan e[nergei (energei) oleh Roh yang satu dan
sama yang membagikan kepada tiap-tiap orang sesuai apa yang
dikehendaki-Nya.” Dari hal ini, maka nampaklah bahwa Allah yang bekerja
dalam dua karunia ajaib ini. Harus ditekankan di sini bahwa masalah sakit
penyakit tidak selalu terikat dengan dosa. Juga tidak mungkin untuk
mengatakan bahwa orang yang sakit kurang beriman. Hal ini tidak sesuai
dengan Firman Tuhan.

Karunia Untuk Membedakan Roh


Dalam 1Korintus 12:10 Paulus menjelaskan: “karunia untuk
membedakan barmacam-macam roh.” Untuk menguji para roh adalah
merupakan kehendak Roh Kudus: “dan yang lain menanggapi apa yang
mereka katakan” (1Kor 14:28). Dalam terjemahan lama memakai kata ”dan
yang lain-lain mengimbangkan kata-katanya.” Hal ini sesuai dengan apa
yang dikatakan rasul Paulus dalau surat 1Tesalonika 5:20-21 yaitu:
“Janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan
peganglah yang baik.” Dalam ayat ini jelas bahwa alamatnya umum, artinya
bahwa semua orang Kristen diundang untuk menguji roh. Lenski
menjelaskan: “Tentang ujian terhadap kata nubuat (bnd. 1Kor 14:29).
Beberapa orang memiliki karunia bagi hal ini. Dasar yang harus dipakai
terdapat dalam Roma 12:7, yakni analogi iman.” 34 Terutama dalam konteks
pengajaran dan nubuat, bahwa roh harus dibedakan.
Firman Tuhan memberikan banyak tanda yang menolong jemaat
untuk membedakan Roh, yaitu pertama, kata “tanda ajaib” dan “nubuat,”
meskipun dilakukan dalam nama Tuhan Yesus, tetapi tidak boleh dilihat
sebagai bukti mutlak bahwa seseorang diutus oleh Allah (Mat 7:21-23; Mrk
13:22-23). Kedua, pengajaran yang sesuai dengan Firman Tuhan menjadi
bukti seseorang diutus oleh Allah (Gal 1:6-8; 1Kor 14:37; 2Kor 11:4, bnd.
2Kor 11:13-14). Ketiga, setiap roh harus diuji apakah dia berasal dari Yesus.
Tandanya pengakuan terhadap pribadi Yesus (2Kor 11:4; 1Yoh 2:22-23,
4:1-2). Keempat, seseorang yang sudah lahir baru, dapat berbalik dari
kebenaran dan mengikuti setan (1Tim 4:1-2;35 Kol 2:18).36 Kelima, hidup
seorang nabi atau seorang pengajar harus sesuai dengan pengajaranya (Tit
3:10-11; 1Tim 8:3-5, bnd. 4:2; Mat 7:15-17; 2Ptr 2:1-2). Dan keenam, kalau
kita menemukan pengajar atau nabi palsu, tindakan yang diarahkan oleh

34
“For the idea of testing prophesyings compare I Cor. 14:29. Some had a special
gift for this, I Cor. 12:10. The rule to be applied is indicated in Rom. 12:7, the analogy of
faith;” Lenski, Interpretation of First…, 361
35
“Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada
orang yang akan meninggalkan imannya (avposth,sontai, tinej th/j pi,stewj), lalu mengikuti
roh-roh penyesat (terjemahan langsung dari bahasa asli).
36
“Jangan kamu biarkan orang merampas kemenangmu daripadamu” (terjemahan
langsung dari bahasa asli). Kata “merampas kemenanganmu” dari kata katabrabeue,tw,
artinya mengambil dari seseorang keselamatannya;” Lenski, Interpretation of First…, 361
Paulus jelas sekali. Lebih dulu orang tersebut dinasihati tiga kali, kemudian
dia diusir dari jemaat sampai dia bertobat (Rm 16:6,17; 1Kor 5:11; 2Tes
3:6,14; Tit 3:10; 2Tim 3:5, bnd. Mat 18:15-17; Yak 5:18-20; 1Yoh 4:1,6).

Karunia-Karunia Lain
Masih banyak karunia yang dapat dibahas sebenarnya. Penulis tidak
memberi tempat untuk pembahasan yang begitu dalam kepada semuanya,
ada beberapa yang masih belum dibahas antara lain: karunia Melayani (Rm
12:7); karunia Menasehati (Rm 12:8); karunia Memimpin (1Kor 12:28);
karunia Penginjilan (Ef 4:4); karunia membagikan (Rm 12:8); karunia
Menunjukkan Kemurahan (Rm 12:8). Kebanyakan karunia ini adalah
karunia yang bersifat praktis, yang sebetulnya kelihatan sederhana. Sering
orang tidak mau memperhatikan karunia seperti itu. Jarang ada orang yang
minta kepada Tuhan supaya diberikan karunia melayani orang lain (1Kor
12:28; Rm 12:7). Kalau orang meminta karunia memimpin (1Kor 12:28) itu
masih dapat dimengerti. Hal ini didasarkan kepada contoh dari Tuhan
Yesus sendiri. Dia merelakan diri untuk melayani murid-murid-Nya secara
jasmaniah. Melayani orang lain tidak dipuji dan tidak dilihat orang, tetapi
Tuhan melihat apa yang dilakukan secara tersembunyi.
Demikian juga karunia membagikan dan menunjukkan kemurahan
(Rm 12:8). Karunia ini tidak tergantung kepada kekayaan dan kemiskinan
seseorang. Sebetulnya bagi yang suka memberi yang menyenangkan Tuhan
dan bukan apa yang diberikan. Sebab “Allah menyukai orang yang
memberi dengan sukacita” (2Kor 9:7).

PENUTUP
Pada bagian penutup ini menyajikan implikasi teologi Paulus
tentang karunia-karunia roh bagi problematika pneumatologis di Gereja
masa kini, yang meliputi: problematika pneumatologis yang terjadi di
Gereja masa kini, implikasi teologi Paulus tentang karunia-karunia Roh
baik secara teologis, ekklesiologis dan missiologis.

Problematika Pneumatologis Di Gereja Masa Kini


Doktrin tentang Pneumatologi kembali hangat dibicarakan, bukan
hanya dimonopoli oleh sekelompok Gereja tertentu, melainkan telah
menjadi topik yang hangat dibahas oleh hampir seluruh Gereja di dunia ini,
termasuk Gereja-gereja di Indonesia. Menurut Lumintang, di kalangan
Gereja-gereja Injili, terdapat banyak pandangan yang bukan hanya berbeda,
melainkan bertentangan dengan, bermuara pada dua kutup polarisasi, yakni
kutub neo Pentakosta dan kutub non-Pentakosta. Kutub neo-Pentakosta
mengklaim, bahwa pemahaman dan pengalaman Pneumatologi mereka
adalah: “Chirst centeredness, spirit-emppwered living, emotion finding
expression, prayerfulness, joyfullness, every-heart involvement in the
worship, every-member ministry in the body of Christ, missionary zeal,
small group ministry, attitude toward church structures, communal living,
generous giving.”37 Sedangkan kutub non Pentakosta memberikan
tanggapan berupa keberatan-keberatan terhadap neo-pentakosta, dengan
komentar: “elistism, sectarianism, emotionalism, anti-intelectualism,
illuminism, charismania, super-supernaturalism, eudaemonism
38
(happiness), demon obsession, conformism.”
Dari sekian banyaknya isu Pneumatologis yang dipermasalahkan,
ada dua topik yang sangat menonjol baik yang pro maupun yang kontra
yaitu isu baptisan Roh Kudus dan kepenuhan Roh Kudus. Bagi kubu non
Pentakosta, isu baptisan Roh Kudus masih menjadi tanda tanya besar,
sedangkan bagi kubu Neo Pentakosta dan aliran yang sejenis memiliki
penafsiran dan konsep serta praktek yang berbeda berkenaan dengan
baptisan Roh Kudus. Gerakan ini telah mempengaruhi banyak Gereja atau
orang percaya karena tawaran yang menyentuh perasaan dan pembaharuan
rohani disertai dengan adanya penemuan-penemuan baru mengenai
kehadiran dan pekerjaan Roh Kudus seperti “jatuh atau rebah dalam roh,
tertawa dalam roh, menangis dalam roh, tidur dalam roh dan lain-lain. Neo
Pentakosta telah berusaha merumuskan arti baptisan Roh Kudus
berdasarkan pengalaman orang dan mencari ayat-ayat Firman Tuhan untuk
meneguhkan dan menjadikannya doktrin.39
Motivasi dari semua fenomena dan isu pneumatologis yang sedang
hangat dibicarakan menjadi problematika Gereja masa kini adalah: “supaya
menjadi orang rohani dengan karunia Roh Kudus, supaya masuk surga
(second blessing), supaya hidup diberkati dengan berkelimpahan, supaya
mengalami kesembuhan dan supaya luput dari bencana, sakit dan
kerugian.”40 Lumintang juga menambahkan bahwa: Dalam penerapan
ajaran ini, sebagian besar dari penganut Neo-Pentakosta mengharuskan
dengan “memprogramkan” penerimaan Roh Kudus dalam suatu ibadah

37
Lumintang, Keunikan Thelogia Kristen..., 198
38
Ibid.
39
Ibid., 199
40
Ibid.
khusus dengan penumpangan tangan seorang pendeta, menjadi syarat
karunia Roh Kudus, karunia bahasa lidah dianggap sebagai senjant untuk
mengusir setan, serta dianggap sebagai syarat atau tanda penerimaan Roh
Kudus. Oleh sebab itu, dalam upaya menyikapi problematika
Pneumatologis di atas, penulis mengajak seluruh pembaca untuk “back to
the Bible.”41 Alkitab adalah sumber berotoritas bagi orang percaya
memahami pribadi dan karya Roh Kudus.

Implikasi Teologis
Rasul Paulus menyatakan bahwa kepada setiap anggota jemaat,
Allah telah memberikan karunia-karunia Roh Kudus; dimana masing-
masing anggota jemaat menerima karunia Roh Kudus yang berbeda-beda,
sesuai dengan kehendak-Nya. Dari segala karunia-karunia Roh Kudus
yang Paulus sebutkan dalam bagian Firman Tuhan tersebut, di dalamnya
tercantum juga karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat spektakuler.
Meskipun rasul Paulus tidak mengelompokkan semua karunia Roh Kudus
yang bersifat spektakuler dalam satu kelompok tersendiri dan
menyatakannya sebagai karunia-karunia yang hanya diberikan khusus
untuk orang tertentu atau untuk para rasul. Melainkan rasul Paulus
menyatakan bahwa semua karunia Roh Kudus tersebut diberikan kepada
jemaat dan dibagi-bagikan kepada tiap-tiap anggota jemaat, sesuai dengan
kehendak-Nya. Rasul Paulus juga menyatakan bahwa Allah sudah
menetapkan beberapa orang dalam jemaat: Pertama sebagai rasul, kedua
sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat
karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani,
untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh.
Rasul Paulus menjelaskan bahwa nubuat akan berakhir, bahasa roh
akan berhenti dan pengetahuan akan lenyap. Karena pengetahuan kita tidak
lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi maksud Paulus
mengungkapkan hal tersebut, sebenarnya bukan untuk menyatakan bahwa
karunia-karunia tersebut akan berakhir pada waktu berakhirnya zaman para
rasul, tetapi untuk menunjukkan ketidaksempurnaannya karunia-karunia
tersebut.42
Menurut Calvin: It begins, indeed, at death, for then we put off,
along with the body, many infirmities; but it will not be completely

41
Lumintang, Keunikan Thelogia..., 200
G.A. Buttrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Vol. A (Nashville:
42

Abingdon Press, 1978), 189


manifested until the day of judgment, as we shall hear presently.43 Yang
Paulus maksudkan dengan “yang sempurna” adalah berkaitan dengan
kedatangan Kristus kedua kali, dimana setiap orang percaya akan melihat
Dia muka dengan muka dan mengenal-Nya sebagaimana keadaan-Nya
yang sebenarnya. Pada saat itu segala karunia-karunia Roh Kudus akan
berakhir dan tidak dibutuhkan lagi. Sebab apa yang menjadi tujuan atau
sasaran dari karunia-karunia Roh Kudus, telah menjadi suatu kenyataan dan
disempurnakan di dalam persekutuan yang nyata muka dengan muka antara
orang percaya atau jemaat dengan Kristus, pada waktu kedatangan-Nya
kedua kali.44 Dengan demikian secara teologis karunia-karunia Roh Kudus
yang Paulus sebutkan tetap berlangsung sampai saat ini.

Implikasi Ekklesiologis
Alkitab memandang jemaat sebagai suatu badan yang tiap
anggotanya penting untuk melaksanakan fungsi jemaat, dan yang
mempunyai peranan yang penting demi kepentingan semua. Jika Gereja
menyadari hakikat jemaat masa kini dan kewajiban semua orang Kristen
untuk menggunakan berbagai karunia, maka jemaat-jemaat yang stagnan
dapat dihidupkan kembali sementara setiap anggota berusaha memainkan
peranannya dalam menguatkan persekutuan jemaat. 45 Penggunaan karunia-
karunia Roh untuk menyembuhkan terhadap orang lumpuh mengakibatkan
rangkaian persitiwa, yaitu meningkatkan jumlah keanggotaan orang Kristen
di Yerusalem menjadi lima ribu orang dan membungkam perlawanan dari
para pemimpin Yahudi. Karunia untuk membagi-bagikan dengan murah
hati bertepatan dengan kuasa besar yang memungkinkan para rasul bersaksi
tentang kebaktian. Penggunaan karunia berkata-kata dengan pengetahuan
dalam menghadapi penipuan juga menimbulkan serangkaian peristiwa yang
mencapai puncaknya dalam bertambahnya jumlah orang percaya, yang
memperoleh berkat dari pelayanan jemaat.46
Penggunaan karunia-karunia roh hendaknya juga menghasilkan
kesatuan yang lebih mendalam di dalam jemaat dan di antara semua
kelompok Kristen. Perjanjian Baru berkali-kali menekankan bahwa inilah

43
Johanes Calvin, Calvin’s Commentaries, Vol. XX, I & II – Corinthians (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979), 428
44
F.E. Gaebelein (Gen.ed), The Expositor’s Bible Commentary. Vol. X (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 269
45
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 170
46
Ibid..., 170
salah satu tujuan karunia-karunia Roh, yaitu bahwa orang-orang percaya
yang memiliki karunia hendaknya bekerja dan bereaksi bersama-sama
seperti halnya berbagai anggota tubuh kita (1Kor 12:12). Apabila anggota-
naggota jemaat menyadari bahwa mereka saling bergantung, maka jemaat
diikat menjadi kesatuan yang erat dalam persekutuan dan kasih. Apabila
jemaat mengerti bahwa karunia mereka yang berbeda-beda mempunyai
nilai yang sama di mata Allah, maka dengan lebih bergairah mereka bekerja
sama demi kepentingan bersama. Penggunaan karunia-karunia Roh di
dalam umat Kristen juga hendaknya membawa banyak orang untuk
memasuki pengalaman kebaktian yang lebih mendalam. Dengan demikian
jemaat-jemaat yang mengakui karunia-karunia Roh tidak perlu meniadakan
bentuk-bentuk liturgi atau doa-doa tertentu yang menjadi kesukaan mereka,
agar dapat menggunakan karunia karunia itu. Jemaat dapat menggunakan
bentuk-bentuk kebaktian yang sudah ditetapkan maupun bentuk kebaktian
yang spontan dan pertemuan mereka dapat diperkaya karenanya. Tetapi
pada masa sekarang di Gereja-gereja yang tidak biasa dengan penggunaan
karunia-karunia roh di dalam acara kebaktian, asalkan pertemuan semacam
itu diadakan secara terbuka dan orang-orang yang menghadirinya tidak
membentuk suatu kelompok suci atau menganggap diri mereka berada pada
tingkat kerohanian yang lebih tinggi daripada kelompok lain, maka
pertemuan itu tidak perlu menimbulkan kerugian. Dengan sendirinya
kebaktian rumah tangga seperti itu hendaknya selalu diumumkan sebagai
bagian dari program jemaat yang lazim dan dihadiri oleh gembala sidang. 47

Implikasi Misiologis
Bagaimanapun penggunaan karunia menimbulkan minat terhadap
berita Injil dan sangat memperkuat tuntunan-tuntutan Injil. Dalam
1Korintus 2:9-10 menyatakan bahwa “Tetapi seperti ada tertulis: “Apa yang
tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan
yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan
Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”
Seringkali tantangan yang harus dihadapi adalah ketidakpercayaan
yang militan. Seperti halnya di jemaat Korintus, masa kini juga pengikut-
pengikut Kristus dikelilingi oleh orang-orang bukan Kristen yang
dibingungkan oleh perpecahan di antara umat Kristen dan yang tidak
terkesan oleh pengakuan mereka bahwa kasih Allah telah dicurahkan di
dalam hati mereka (Rm 5:5). Di dalam jemaat sendiri terdapat orang-orang

47
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 174
yang meniadakan unsur-unsur supranatural dari dalam Injil. Kabar baik
dirumuskan sehubungan dengan perbuatan sosial. Persekutuan dengan
Allah hanya sekedar ungkapan untuk menyatakan kerukunan hidup di
antara manusia. Doa adalah semata-mata pembicaraan tentang kenyataan.
Seolah-olah tujuan jemaat ialah supaya tidak kelihatan.74
Di banyak bagian belahan dunia dewasa ini penganiayaan besar-
besaran secara teroganisir dilancarkan terhadap Gereja. Jumlah orang
Kristen yang mati syahid selama abad ke-21 sama besarnya dengan jumlah
para syahid yang mati selama konflik dengan kekaisaran Romawi selama
tiga ratus tahun. Kekuatan-kekuatan animisme yang dinyatakan secara
menonjol dan agama-gama lama yang muncul kembali diwarnai daya
pesona duniawi yang sifatnya melawan. Maka pertanyaannya adalah: pada
masa yang penuh tuntutan seperti sekarang ini, apakah Allah sedang
menanggulangi keadaan dengan menguatkan umat-Nya akan warisan
rohani yang mereka miliki? Mungkinkah kebanyakan orang Kristen tidak
mempertimbangkan kesediaan Kristus yang adalah kepala Gereja untuk
memberikan karunia-karunia Roh kepada orang demi penguatan,
pembinaan dan perluasan umat-Nya?
Jika memang demikian halnya, dan munculnya kembali karunia-
karunia Roh yang sudah lama diabaikan itu merupakan bagian daripada
rencana Allah dan pertimbangan semacam itu, maka jelaslah bahwa
karunia-karunia Roh sangat relevan untuk masa kini. Ada keperluan yang
mendesak akan adanya Gereja yang dikerahkan untuk memberitakan Injil
selagi masih ada waktu dan kesempatan. Ada keperluan yang mendesak
akan adanya kesaksian yang kuat untuk meyakinkan yang bimbang dan
membungkam yang bersifat memusuhi. Kelompok-kelompok Kristen harus
diikat bersama oleh kasih dan bekerja sama saling mempercayai, Gereja
harus menggunakan segala karunia yang telah diberikan Allah kepada
jemaat-Nya dengan tertib dan teratur.

74
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 175
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI DALAM
PELAYANAN PASTORAL KONSELING KRISTEN

SHERLY MUDAK

PENDAHULUAN

Dalam sejarah integrasi teologi dan psikologi, beberapa teolog


Kristen menolak upaya ini. Alasan penolakan mereka antara lain: pertama,
ada yang menganggap bahwa sistem nilai Kristen dan non-Kristen berbeda.
Kedua, ilmu psikologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu
teologi dianggap sebagai filosofi sistem keagamaan. Jadi, dua bidang yang
sangat berbeda ini tidak mungkin diintegrasikan. Anggapan yang lebih
radikal adalah psikologi ditemukan oleh orang-orang non-Kristen bahkan
anti-Tuhan, oleh karena itu, menurut psikologi tidak layak diintegrasikan
dengan teologi. Asumsi lainnya adalah psikologi didasarkan pada pikiran
manusia dan bertentangan dengan Alkitab. Jadi, orang Kristen cukup
menyelesaikan masalah emosinya dengan berdoa dan baca Alkitab saja.
Topik Integrasi Teologi dan Psikologi, mempresentasikan bagaimana
membawa kebenaran Allah, dari segala bidang yang diciptakan-Nya, untuk
menunjang karya-Nya atas umat manusia yang dikasihi-Nya.

PENGERTIAN ISTILAH

Sebelum membahas lebih jauh, maka penulis terlebih dahulu akan


menjelaskan apa yang dimaksud dengan integrasi teologi dan psikologi.
Integrasi, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pengertian
pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.1 James Widodo
mendefinisikan integrasi sebagai suatu sinergi antara beberapa disiplin ilmu
yang berlainan tanpa menghilangkan ciri ilmu masing-masing. Beberapa
disiplin ilmu yang berlainan tersebut bersifat saling melengkapi untuk

1
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 335
memberikan world view yang lebih luas sehingga dapat memberikan
pemahaman yang lebih utuh dalam melihat suatu fenomena. 2 Jadi, dalam
konteks konseling, integrasi diartikan sebagai pembauran antara theologia
dan psikologi hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat tanpa
menghilangkan ciri ilmu masing-masing.
Theologia, dari kata Yunani, yaitu theos yang berarti “Tuhan”, dan
logos, berarti “kata, wejangan, ajaran.”3 Webster mengartikan kata theology
sebagai, “Studi tentang doktrin-doktrin agama dan hal-hal keilahian: lebih
spesifik, studi tentang Tuhan dan hubungan antara Tuhan, umat manusia,
dan alam semesta.”4 Sedangkan menurut Lorens Bagus, Theologia berarti
“ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah)
dengan dunia fisik.”5 Jadi, istilah theologia artinya suatu pernyataan atau
interpretasi kebenaran tentang Allah dan ciptaan-Nya.
Psikologi, berasal dari kata psyche yang berarti pikiran dan logos
yang memiliki arti ilmu yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
yang dapat diamati (observerable).5 Istilah perilaku atau tingkah laku
digunakan dalam arti luas untuk memasukkan segala sesuatu yang manusia
atau hewan bisa melakukannya.6 Tingkah laku ini kadangkala sifatnya
terbuka atau umum, kadangkala tersembunyi, samar-samar.7 Dari
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Psikologi merupakan
sebuah bidang ilmu yang mempelajari dan mengamati tingkah laku manusia
yang terbuka maupun tersembunyi.
Usaha untuk mengintegrasikan theologia Kristen dengan ilmu
psikologi banyak mendapat kecaman atau tantangan. Orang Kristen telah
bereaksi dalam berbagai cara untuk munculnya psikologi modern, namun
beberapa telah menyambut dengan tangan terentang. Bagi mereka,
wawasan psikologi adalah sekutu besar untuk Gereja karena membawa
misinya di dunia. Lainnya menolak psikologi karena mereka melihat di

2
James Widodo, Konseling Dalam Pelayanan Geraja Masa Kini,
http://www.mail.archive.com/, (diakses, 25 Spetember 2007)
3
Henry C. Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2000), 2
4
Agnes (Ed), Webster’s New World, College Dictionary. Four Edition (Foster
City: IDG Books Worldwide, Inc, 2000), 1651
5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1996),
1090
6
Semua ilmu psikologi yang murni lahir dari pengamatan dan pengujian (riset
empiris) atas tingkah laku manusia yang memang dapat diamati; (Yakub Susabda, Menjadi
Konselor Yang Profesional (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2007), 10
7
Ronald E. Smith, Irwin G. Sarason, Psychology The frontier Of Behavior (New
York: Harper & Row Publisher, 1986), 4
dalamnya ancaman implisit untuk Gereja dan otoritas Alkitab. 8 Hal ini
mengindikasikan bahwa ada pihak yang menerima integrasi theologia dan
psikologi dengan tangan terbuka, namun ada juga yang tidak menerima
integrasi ini dengan anggapan bahwa keberadaan psikologi akan
mengancam Gereja dan otoritas Firman Tuhan. MacArthur dan Mack
mengutip pernyataan Bobgan yang menyatakan bahwa psikologi tidak lagi
berbicara tentang mempelajari jiwa manusia; melainkan merupakan
sekumpulan terapi dan teori yang berlainan, yang pada dasarnya bersifat
manusiawi. Semua persangkaan dan sebagian besar doktrin psikologi tidak
berhasil disatukan dengan kebenaran Kristen.9
Jadi, menurut MacArthur dan Mack, masuknya psikologi ke dalam
ajaran Gereja telah mengaburkan garis yang membatasi pengubahan
tingkah laku dengan pengudusan. Dengan tegas ditulis dalam buku
Pengantar Konseling Alkitabiah bahwa “jalan menuju keutuhan adalah
jalan pengudusan spiritual. Apakah kita akan berlaku dungu dengan
berpaling dari Tuhan sebagai sumber air kehidupan itu, dan beralih pada
hikmat dunia yang sensual dengan menggenangnya air behaviorisme?” 10 Di
dalam artikel yang berjudul The Bible and Psychology-Oil and Water That
Don’t Mix yang ditulis oleh G. Harry Leafe, psikologi dianggap sebagai
suatu system berpikir yang jika diintegrasikan dengan Firman Allah
merupakan penghinaan.11 Jay E. Adams adalah seorang konselor yang
dengan sangat berapi-api menentang integrasi. Dengan sangat serius,
Adams mempertanyakan legitimasi terhadap psikiatris, 12 yang merampas
pekerjaan para pengkhotbah dan dalam kesibukannya mencoba untuk
mengubah sikap dan nilai manusia ke dalam cara atau tingkah laku yang
tidak baik.13 Menurut Adams, seperti yang dikutip oleh Gary A. Collins,
“dengan mempelajari firman Allah dengan hati-hati dan mengamati
bagaimana prinsip-prinsip Alkitab menggambarkan orang yang Anda
nasihat ... Anda dapat memperoleh semua informasi dan pengalaman yang
Anda butuhkan untuk menjadi kompeten, percaya diri konselor Kristen

8
Carter & Narramore, The Integration..., 11
9
John F. MacArthur, Jr., Wayne A. Meck, Pengantar Konseling Alkitabiah
(Malang: Gandum Mas, 2002), 27
10
Ibid.
11
Are we to suggest that such system of thought shoul be integrated” with the
Word of God? The very thought of such an idea is blasphemeous!” G. Harry Leafe, The
Bible and Psychology-Oil and Water That Don’t Mix Internet (diakses 25 Sepetember
2007), 1
12
Bnd. Gary Garner, The Christian Faith and its Relevance to Counseling,
Internet (diakses, 3 Agustus 2007 ), 11
13
Bnd. Collins, Christian Counseling..., 18
tanpa studi psikologi.”14 Jadi, dalam hal ini Adams tidak menyetujui
theologia dan psikologi diintegrasikan dalam pelayanan pastoral konseling
Kristen. Adams berpendapat bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Alkitab
juga kepercayaan diri konselor saja sudah cukup memadai dalam
mengkonseling dan tidak perlu studi psikologi.

KEBERDOSAAN MANUSIA

Gambar Allah dalam diri manusia telah diselewengkan setelah


kejatuhan. Gambar Allah mengalami malfungsi, tetapi tetap ada. Hilangnya
gambar Allah dalam pengertian fungsional mempresaposisikan bertahannya
gambar Allah dalam pengertian struktural.15 Kejatuhan manusia dalam dosa
tidak menghancurkan kemanusiaan seseorang, meskipun kemampuan
manusia untuk merefleksikan kekudusan Allah telah hilang tetapi manusia
tetaplah manusia. H. Bavinck dan E. Brunner menyatakan bahwa, dosa
meniadakan gambar Allah dalam arti yang lebih sempit atau material,
manusia masih memiliki gambar Allah dalam arti yang lebih luas atau yang
formal, yaitu bahwa manusia masih memiliki akal, kehendak, atau masih
memiliki humanitas/peri kemanusiaan.16 Dosa adalah faktor penghalang
yang besar. Menurut Plaisier, “Dosa menempatkan diri manusia di antara
‘ada’ dan ‘menjadi.’ Dosa ialah: manusia mau ‘menjadi’ apa yang ia tidak
‘ada.’”17 Jadi, sebagai orang yang telah berdosa, manusia menjadi makhluk
yang tidak sesuai dengan keasliannya yaitu sebagai gambar Allah yang
sempurna. Manusia yang telah jatuh dalam dosa tetap menyandang gambar
Allah, dan karenanya harus dipahami bahwa gambar Allah merupakan

14
Ibid.
15
Gambar Allah meliputi struktur maupun fungsi karena gambar Allah mencakup
keseluruhan pribadi. Manusia tidak bisa berfungsi tanpa adanya struktur tertentu. Seekor
elang, misalnya, melintasi udara dengan cara terbang ini adalah salah satu fungsinya. Akan
tetapi, elang takkan bisa terbang jika tidak memiliki sayap–salah satu strukturnya. Manusia
juga diciptakan untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu: menyembah Alah, mengasihi
sesama, berkuasa atas alam, dan seterusnya. Tetapi semua fungsi itu takkan bisa kita
lakukan jika Allah tidak mengaruniakan kapasitas-kapasitas struktural tertentu yang
memampukan manusia untuk itu. Jadi, ketika memikirkan manusia sebagai gambar Allah,
struktur dan fungsi sama-sama terlibat. Para theolog awal berkata bahwa gambar Allah di
dalam diri manusia terutama terletak di dalam kapasitas strukturalnya (manusia memiliki
rasio, moralitas, dan sebagainya); bnd. Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut
Gambar Allah (Surabaya: Momentum, 2003), 88-89
16
Bd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2005), 204
17
Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang
Antropologi Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002), 79
aspek yang tak mungkin hilang dari manusia, bagian esensi dan
eksisitensinya tidak hilang, namun gambar Allah harus dipahami sebagai
keserupaan dengan Allah yang telah diselewengkan ketika manusia jatuh ke
dalam dosa. Pengampunan dosa yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus
memungkinkan terjadinya rekonsiliasi antara manusia dengan Allah. Ketika
Kitab Suci menyatakan bahwa kebenaran melalui iman, pandangan manusia
dialihkan dari perbuatannya sendiri supaya manusia bersandar semata-mata
pada kemurahan Allah (Rm 3:23-24). Dosa menyebabkan manusia terpisah
dari Allah, dan akan tetap menjadi musuh Allah sampai ia dipulihkan di
dalam anugerah melalui kebenaran Kristus (1Tim 1:15). Orang tersebut
diterima ke dalam persekutuan dengan-Nya (1Kor 1:9), dibenarkan oleh-
Nya (Rm 5:1), yang terus-menerus dipulihkan dan diperbaharui dalam
proses pengudusan (Kol 3:10).

PANDANGAN PARA AHLI INTEGRASI TEOLOGI DAN


PSIKOLOGI

Manusia sebagai gambar Allah yang telah jatuh ke dalam dosa


mengalami banyak perubahan dari berbagai segi, yang tentunya memiliki
keterpecahan baik di dalam dimensi psikis maupun spiritualnya. 18 Hal
inilah yang memungkinkan pengintegrasian antara teologi dan psikologi
dalam menangani masalah psikhis dan rohani konseli. Karena dengan
mengintegrasikan teologi dan psikologi, konseli dapat ditolong untuk
memperbaiki pengertian akan keberadaan dirinya dan penerimaan diri.
Psikologi melakukan observasi berupa penelitian atau pertanyaan dan
memberikan data yang berkaitan dengan pemahaman teologis tentang
manusia, dan teologi mengungkapkan kebenaran ilahi mengenai psikologi
perkembangan manusia.19 Integrasi adalah proses dimana dua atau lebih
disiplin ilmu dengan tetap mempertahankan identitas mereka sendiri
sekaligus memetik manfaat dari sudut pandang masing-masing dan
mengkomunikasikan kebenaran yang sama.20 Jadi, integrasi teologi dan
psikologi perlu dan dapat digunakan, dimana kedua disiplin ilmu tersebut
dapat mempertahankan identitasnya sambil menarik manfaat dari perspektif

18
Shinichi Tamagi, Fragmentation And Integration: A Thought On Bases For
Artistic Expression; Artikel, 190-191
19
John D. Carter dan Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and
Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1980), 20
20
Kirk E. Farnsworth, Whole Hearted Integration (Grand Rapids, Michigan:
Baker Book House, 1985), 11
masing-masing dalam mengkomunikasikannya demi memperoleh dan
memberikan suatu pandangan atau pengertian yang baru dan komprehensif.
Integrasi antara teologi dan psikologi dalam pelayanan konseling
Kristen adalah sangat baik yakni untuk menolong pribadi yang mengalami
masalah (konseli) guna menghadapi masalah yang dihadapi. Firman Allah
memiliki relevansi besar dan abadi untuk konselor atau konselinya, tetapi
tidak mengklaim untuk menjadi dan juga bukan dimaksudkan untuk
menjadi wahyu Allah satu-satunya dalam menolong manusia. Dalam dunia
kedokteran, juga menolong umat manusia, manusia telah diizinkan untuk
belajar banyak tentang ciptaan Allah melalui ilmu pengetahuan dan studi
akademis. Mengapa, kemudian, psikologi ketika akan dipilih sebagai salah
satu bidang yang memiliki kontribusi pada pekerjaan konselor atau dunia
konseling ditolak?21 Berkenaan dengan ini, dikemukakan oleh Susabda:
“Memang kita tidak perlu terlalu naïf dan percaya bahwa setiap masalah
hidup manusia adalah masalah dosa (spiritual), tetapi kita harus mengakui
bahwa kebutuhan manusia yang terdalam selalu bersangkut paut dengan
penyelesaian masalah dosa (spiritual).” 22 Hal ini mendukung pernyataan
John H. Stoll dalam artikelnya mengenai The Bible and Psychology, bahwa
“psikologi dapat menyediakan alat-alat yang disediakan oleh Tuhan untuk
menembus lebih efisien, dan melarutkan pertahanan yang digunakan orang
untuk mengisolasi diri dari kebenaran Alkitab, dan dari sesama mereka. 23
Untuk mengetahui dan memahami masalah dosa konseli, seorang konselor
perlu memahami permasalahan secara psikis yang dialami oleh konseli. Hal
ini merupakan suatu keistimewaan bagi konselor-konselor Kristen.
Pendekatan Pastoral Konseling mempunyai skop yang jauh lebih luas
jikalau dibandingkan dengan skop pelayanan konseling dari konselor-
konselor lainnya, bukan karena availabilitas dan keunikan posisi hamba
Tuhan di tengah jemaatnya saja tetapi juga disebabkan oleh karena nature
dari pelayanan Pastoral Konseling yang menempatkan dimensi spiritual
sebagai inti dasar pendekatan setiap masalah hidup manusia.

21
Gary R. Collins, Christian counseling A Comprehensive Guide (Waco: Word
Books, 1982), 19
22
Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling. Jilid 2 (Malang: Gandum Mas, 1986), 5
23
John H. Stoll, The Bible and Psychology, http:// leaderu. Com/ offices/ stoll/
psychology.html: (diakses, 25 September 2007), no.pp.
PERBEDAAN MENDASAR ANTARA TEOLOGI DAN PSIKOLOGI
Untuk lebih memudahkan memahami perbedaan yang mendasar
antara teologi dan psikologi dapat dilihat dalam beberapa aspek:24

Berpusat Pada Allah


Fokus teologi Kristen adalah berpusat pada Allah (God-centered),
sedangkan psikologi berpusat pada manusia (man-centered). Alkitab
mengajarkan tentang tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan
Allah. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus ditaklukkan oleh seseorang
untuk mencapai tujuan tersebut. Psikologi yang didasarkan pada man-
centered, mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan individual.

Natur Manusia
Teologi Kristen mengajarkan bahwa natur manusia adalah berdosa.
Alkitab menyatakan bahwa, “karena semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23). Lebih lanjut ditegaskan oleh
Sproul bahwa, “Sebenarnya umat manusia waktu hadir di dalam dunia ini
sudah dalam keadaan berdosa. Semua manusia dilihat sebagai orang
berdosa oleh Allah.”25 Sedangkan psikologi mengajarkan bahwa natur
manusia pada dasarnya adalah baik, atau setidaknya netral. Alasan
sesungguhnya manusia bertingkah laku salah adalah karena tekanan dari
luar dirinya.26 Kebanyakan pemikiran psikologis percaya bahwa pada
dasarnya manusia itu baik dan melalui upayanya sendiri diri manusia dapat
meningkatkan kehidupan tanpa Allah. Psikologi juga mengajarkan bahwa
manusia adalah korban dari masa lalunya dan masalah itu berasal dari
orang-orang dan lingkungan yang negatif mempengaruhi manusia di masa

24
Steven J. Cole, How John Calvin Led Me to Repent of Christian Psychology,
http://www.freerepublic.com, (diakses, 30 Januari 2008)
25
R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: SAAT,
1997), 194
26
Psychology theaches that human nature is basically good, or at least
neutral. The only reason that people misbehave is because of outside forces (such
as society or parents) that harm them. www.svchapel. Org/ assets/ docs/ theologylessons/
christian_and_psychology.pdf, (diakses, 18 Januari 2008)
lalu.27 Dengan kata lain psikologi tidak mengakui natur manusia sebagai
orang berdosa tetapi setiap masalah yang dialami oleh seseorang pada masa
sekarang ini adalah akibat dari kesalahan yang dialaminya pada masa lalu.

Nilai
Mengenai nilai, Alkitab mengajarkan mengenai ke-absolut-an.
Sutjipto Subeno menyatakan, kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri.
Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih
mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan
kebenarannya tidaklah absolut.28 Sedangkan psikologi mengajarkan tentang
relatif.29 Sesuatu yang dipandang baik oleh seseorang, belum tentu dilihat
baik juga oleh orang lain. Dalam mencari kebenaran, haruslah kembali
kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan diri-Nya sendiri
adalah kebenaran (Yoh 14:6).

Sumber Jawaban
Sumber jawaban dalam ilmu psikologi adalah di dalam diri individu
itu sendiri. Tugas dari seorang konselor hanyalah menolong konseli untuk
menemukan jawabannya. Sedangkan orang Kristen percaya bahwa
jawaban-jawaban dalam hidup ini terdapat di dalam Fiman Tuhan yang
telah dinyatakan oleh Allah. Berkaitan dengan ini, Subeno menulis, Allah
mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaran-
Nya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Inilah yang
ditekankan dengan proklamasi: Sola Scriptura (Hanya Alkitab Saja). 30
Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus didasarkan pada Alkitab.

Metode
Sebagaimana pengertian psikologi mengenai natur manusia di atas,
maka psikologi mengajarkan bahwa kunci dari masalah pribadi yang

27
Debbie O’Hara, Christianity Versus Psychology, http://newswithviews/ Ohara/
debbie16.htm, (diakses, 29 Januari 2008)
28
Sutjipto Subeno, Presuposisi Teologi: Sistematika, Edisi: 035/I/2003.
29
Steven J. Cole, How John Calvin Led Me to Repent of Christian Psychology,
http://www.freerepublic.com
30
Subeno, Ibid.
dialami oleh tiap individu terdapat pada masa lampau (past).31
Dibandingkan dengan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, Alkitab selalu
memperhadapkan manusia dengan apa yang terjadi pada masa lampau,
yaitu manusia berdosa, masa sekarang ini, sebagai manusia yang telah
diselamatkan dan juga memperhadapkan manusia pada masa yang akan
datang, yakni kehidupan kekal bersama Kristus di Surga.

ILMU PENGETAHUAN SEBAGAI PENYATAAN UMUM ALLAH

Kedaulatan Allah yang mutlak dan wahyu-Nya yang penuh hikmat


bukan saja menetapkan, tapi juga memberikan inspirasi dan menggerakkan
manusia untuk menyembah-Nya. Dengan inisiatif-Nya sendiri, Allah
memberikan inspirasi yang berdasarkan kedaulatan-Nya untuk menyatakan
hikmat Allah kepada manusia. Wahyu umum diberikan kepada manusia
dan manusia memberikan respon karena manusia adalah satu-satunya
makhluk yang dapat memberi respon kepada Allah. Menurut Stephen Tong,
respon terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga
jenis kewajiban yang harus dipenuhi yaitu transcending nature, mengatur
diri sendiri, dan beribadah kepada Allah.32 Penyataan umum memiliki
pengertian penyataan diri Allah (self-disclosure) melalui ciptaan-Nya
kepada umat manusia di muka bumi ini sepanjang waktu dan sejarah
dengan penuh kuasa dan hikmat ilahi.33 Hal ini juga nyata di dalam
nyanyian Daud di dalam Mazmur 19:2, “Langit menceritakan kemuliaan
Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Manusia dalam
segala keterbatasannya tidak akan dapat menghampiri bahkan mengenal

31
Bd. www.svchapel.org/assets/docs/theologylessons/ (diakses, 29 Januari 2008)
32
Respon terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga jenis
kewajiban yang harus dia penuhi.1) Kewajiban karena keberadaanku, keberadaan
trancending nature, yaitu keberadaan untuk menopang alam. Jadi bukan hanya sekedar
mengontrol alam dan mengatur alam saja, tapi juga memperbaiki alam...2) Respon
terhadap wahyu umum Allah adalah bagaimana mengurus diri kita sendiri. Bagaimana kita
mampu melimitasi dirisehingga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab, baik
terhadap alam, diri sendiri, orang lain dan Allah. Mengatur diri sendiri berada di atas hal
mengatur alam. 3) Karena kuasa mengatur alam dan diri sendiri inilah maka timbullah
respon beribadah dan takut kepada Allah; Stephen Tong, Dosa dan Kebudayaan (Jakarta:
LRII, 1997), 20
33
Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab
Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-
Nya,yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari
karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rm 1:19-20).
Allah pencipta yang kudus, untuk itu Allah sendiri yang berinisiatif untuk
menyatakan diri-Nya kepada manusia. Satu-satunya cara untuk mengenal-
Nya adalah melalui wahyu. Tidak ada manusia yang bisa melihat-Nya
kecuali DIA sendiri menyingkapkan dan menyatakan diri-Nya kepada kita.
Pengertian mengenai penyataan umum diartikan oleh Bruce
Demarest and Gordon Lewis, “Wahyu Umum, dimediasi melalui alam, hati
nurani, dan sejarah, secara tradisional telah dipahami sebagai saksi
universal untuk keberadaan Allah dan karakter-Nya”34 Selanjutnya
dinyatakan bahwa, Pengungkapan Allah nyata di alam semesta, dalam
sejarah, dan hukum moral di dalam hati, dimana semua orang sepanjang
waktu dan tempat mendapatkan pemahaman dasar mengenai Pencipta dan
tuntutan moralnya.35 Dengan demikian, selain melalui perbuatan Allah
dalam alam semesta dan sejarah, Allah menyatakan diri pula kepada
manusia melalui hati nurani atau suara hati manusia seperti yang
dinyatakan oleh rasul Paulus di dalam Roma 2:14-15.36

INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI

Setelah menguraikan mengenai ilmu pengetahuan umum sebagai


penyataan umum Allah kepada manusia, maka di bawah ini penulis akan
memaparkan mengenai integrasi antara teologi dan psikologi.

Perbandingan Teologi dan Psikologi yang Potensial


Menurut Meier dan Minirth, antipati orang-orang Kristen terhadap
psikologi merupakan hasil kesukaran dalam mendefinisikan secara tepat di
mana psikologi secara disiplin ilmu dimulai dan di mana harus berakhir.37

34
B.A. Demarest, General Revelation: Historical Views and Contemporary
Issues, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 14
35
B.A. Demarest and G.R.Lewis, Integrative Theology: Knowing Ultimate
Reality, the Living God. Vol. 3 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987), 61
36
Apabila bangsa-bangsa yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri
sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak
memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab
dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati
mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau
saling membela (Rm 2:14-15), …., Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006)
37
Paul D. Meier, Frank B. Minirth, Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen
(Yogyakarta: ANDI, 2004), 18
Namun, melalui tabel di bawah ini dapat dilihat perbandingan yang
potensial dan dapat dipakai sebagai pendekatan di antara kedua ilmu ini.

Wilayah Perbandingan Yang Potensial dan Kompatibilitas


Teologi Psikologi Contoh

Dosa Psikologi Abnormal Peck 1983

Keselamatan dan Pertumbuhan Psikologi Perkembangan Darling 1969; Benner 1988


Rohani

Gereja Psikologi Sosial Bolt and Myers 1984; Griffin 1982

Malaikat Parapsikologi Koteskey 1980

Kristus dan Roh Kudus Psikologi Konseling McKenna 1977; Gilbert & Brock 1985

Karakter Manusia Personaliti Burke 1967

Hal-hal yang Muncul Psikologi Perilaku Bufford 1981

Sumber: Diadaptasi dari Carter dan Mohline 1976; Collins 1981; Meier dan Minirth 2004

Cakupan ilmu teologi dan psikologi yang luas membuat sulit untuk
memfokuskan diri pada satu titik temu tetapi melalui tabel tersebut di atas
dapat dilihat bahwa baik teologi maupun psikologi dapat diintegrasikan
demi mengembangkan pelayanan konseling Kristen.

Cara Penerapan Integrasi


Carter dan Narramore menyarankan empat cara penerapan integrasi 38
untuk menghubungkan teologi Kristen dan psikologi. Adapun keempat
model integrasi tersebut adalah sebagai berikut.

The Against Model

38
John D. Carter and Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and
Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1978),73
Model ini merupakan posisi kekristenan melawan posisi psikologi 39
dan dibangun berdasarkan asumsi bahwa ada konflik yang tak dapat
diselesaikan antara psikologi dan kekristenan.40 Yang berpihak pada posisi
kekristenan melawan psikologi tidak melihat nilai psikologi sehingga
mengurangi semua masalah hanya dalam arena rohani. 41 Mendukung hal
ini, Benner menyatakan bahwa, pengurangan nilai rohani semacam ini
membuat psikoterapi bertentangan dengan tujuan Allah. 42

The Of Model
Pada bagian ini psikologi dianggap memiliki jawaban-jawaban
sementara kekristenan dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting atau
bahkan merusak kehidupan yang sehat.43 Freud menekankan bahwa
kekristenan bersifat patologis (penyakit).44 Menurut Minirth dan Meier,
baik The Against Model maupun The Of Model sama-sama terlalu
menyerdehanakan masalah dengan mengurangi segala sesuatu pada satu
sudut pandang.45

The Parallels Model


Pada model ini, baik teologi maupun psikologi adalah dua ilmu
yang terpisah namun sejajar untuk menemukan kebenaran. 46 Menurut
Benner, sifat dualistik pemisahan ini berlawanan dengan Alkitab. 47

The Integration Model


Model pendekatan terakhir ini adalah psikologi berintegrasi dengan
kekristenan. Menurut Carter dan Narramore, model integrasi ini berakar
pada asumsi bahwa Allah adalah pencipta seluruh kebenaran.48

39
Meier dan Minirth, Pengantar Psikologi..., 12-13
40
Carter and Narramore, The Integration Of..., 73
41
Meier dan Minirth, Ibid., 12-13
42
D. Benner, Psychotherapy and the Spiritual Quest (Grand Rapids, Michigan:
Baker, 1988), 44
43
Meier dan Minirth, Ibid., 13
44
Benner, Psychotherapy..., 47- 48
45
Meier dan Minirth, Ibid.,13
46
Carter and Narramore, The Integration Of ..., 94
47
Benner, Ibid., 41
Setiap model yang di atas, memiliki kekuatan dan kelemahannya
masing-masing. Model integrasi dari Carter dan Narramore, baik Against
dan Of tidak memiliki keuntungan apa pun karena masing-masing bertahan
dengan prinsipnya, dan model parallels mempunyai beberapa kekuatan
dasar tapi terbatas karena keduanya bergerak pada rel masing-masing tanpa
bersinggungan. Hanya model integration yang cukup lengkap karena kedua
ilmu yang pada dasarnya bertolak belakang ini dapat diintegrasikan,
asalkan tidak bertentangan atau sesuai dengan prinsip Alkitab karena iman
Kristen bukan iman yang self-centered atau human-centered tetapi iman
yang dibangun di atas dasar Alkitab dan Kristus atau Christ-centered.

Cara Mengintegrasikan Iman Kristen dan Ilmu Pengetahuan


Sesudah menguraikan mengenai cara penerapan integrasi, maka
penulis akan memaparkan enam cara pendekatan integrasi teologi dan
psikologi sesuai dengan pendapat para ahli konselor Kristen. 49

Expanded Empiricism
Mengakui bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah.
Kebenaran dalam dunia psikologi adalah kebenaran Allah, asalkan tidak
bertentangan dengan kebenaran Allah yang tertera di dalam Alkitab.
Alkitab adalah kebenaran yang menyelamatkan, sedangkan kebenaran yang
ditemukan di dalam dan melalui ilmu pengetahuan adalah kebenaran-
kebenaran yang melengkapi kebutuhan orang percaya yang kontekstual. 50

Diterminism and Free Will


Alkitab tidak menyembunyikam fakta mengajarkan dengan sangat
jelas bahwa di satu pihak Allah adalah Allah dan yang berdaulat, mahatahu,
dan berencana yang menentukan segala sesuatu, namun di pihak lain, Ia
juga memberikan kebebasan kepada manusia yang terikat pada diri-Nya.51

48
Integration model is rooted in the assumption that God is the author of all
truth; Carter and Narramore, Ibid., 103
49
Bnd. Yakub Susabda, Pastoral Konseling. I (Malang: Gandum Mas, 2006), 94
50
Bnd. Ibid.
51
Ibid., 95
Biblical Absolutism
Alkitab menyediakan dasar/prinsip-pinsip semua kasus.52 Memang
Alkitab bukanlah buku ilmu pengetahuan, karenanya ada fakta di mana
dalam hal-hal tertentu Alkitab “diam.” Misalnya pemakaian shock therapy
atau electro convulsive therapy, yang diberikan pada pasien schzophrenia,53
Alkitab seolah-olah tidak berbicara apa-apa, namun semua ini tidak lepas
dari dasar, tujuan dan motivasi tekhnik terapi.

Modified Reductionism
Bagian ini dijelaskan oleh Gary Collins sebagi suatu usaha dari para
ahli kimia, dokter, bahkan psikolog yang cenderung untuk melakukan
pemotongan-pemotongan, mendekati persoalan di sekitar manusia terlepas
dari keutuhannya sebagai ciptaan Allah yang teristimewa (Mzm 8:5-6).

Christian Supernaturalism
Allah adalah Allah yang berintervensi dalam kehidupan manusia,
dan memelihara manusia sampai pada hal-hal yang detail. Oleh karena itu,
sumbangan psikologi adalah sumbangan yang tidak merusak keyakinan
manusia orang percaya mengenai intervensi dan pemeliharaan Tuhan.

Biblical Anthropology
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang teristimewa karena
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Namun manusia kemudian
jatuh dalam dosa, sehingga hidupnya rusak total di hadapan Allah. Manusia
tidak mampu berkomunikasi lagi dengan pencipta-Nya. Allah menyediakan
pengharapan kepada manusia melalui pengalaman kelahiran kembali dan
percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Jadi, ilmu psikologi yang
disumbangkan dapat diterima apabila sumbangan tersebut tidak merusak
prinsip-prinsip Alkitab.
Untuk mencermati ilmu pengetahuan sebagai penyataan umum
Allah, Larry Crabb menggambarkan di dalam sebuah diagram seperti
berikut.

52
Stevri Lumintang, Integrasi Theologia dan Psikologi, Bahan Seminar.
53
Susabda, Ibid., 95-6
Tuhan

Penyataan Penyataan
Umum Khusus

Alkitab
Alam
Wahyu khusus
Wahyu umum

Studi Exegetis
Kesimpulan
(Hermeneutik)
Psikologis

Kesimpulan
Penelitian
Psikologi
Theologis
(Metode Ilmiah)
Sintesis

Teori Konseling
Kristen

Diadaptasi dari Crabb, 1987

Melalui diagram di atas,54 terlihat jelas bahwa sumber utama


pengetahuan adalah Tuhan saat Dia menyatakan penyataan-Nya. Dasar
utama untuk memahami psikologi adalah Tuhan sendiri dan apapun yang
menjadi kesimpulan akhir sebuah penelitian, baik itu studi teologis maupun
psikologis harus konsisten dengan Alkitab sebagai dasar pijakan baik
penyataan umum maupun penyataan khusus. Masing-masing sumber ini
memiliki suatu metode data analisis tertentu. Teologi, hermeneutika dipakai
untuk mempelajari Alkitab, sementara metode ilmiah dipakai untuk
mempelajarai alam dan manusia. Kesimpulan yang dicapai oleh kedua

54
Larry Crabb, Understanding People (Michigan, Grand Rapids: Zondervan,
1987), 38
sumber ini berbeda karena perbedaan sumber dan metode analisis, namun
pada tingkat analisis akhir akan ditemukan kesamaan, saling mengisi dan
interaktif.55
Jadi, akan terjadi dan terdapat refleksi teologis dan alkitabiah atas
psikologi dan refleksi psikologis atas theologia dan Alkitab. Konflik-
konflik yang terjadi antara theologia dan psikologi merupakan kesalahan
tafsiran alkitabiah atau kesalahan dalam penggunaan metode ilmiah, atau
keduanya. Teologi maupun psikologi diturunkan dari pewahyuan Allah,
penemuan-penemuan yang akurat dari masing-masing metode tidak akan
berkonflik.”56
Psikologi adalah bagian dari hidup dengan Allah, suatu pengesahan
bahwa Allah beserta orang percaya, dan adalah izin yang diberikan oleh
Tuhan, dan realitas tergantung pada Allah saja.”57 Ilmu pengetahuan
psikologi tidak bisa disingkirkan begitu saja hanya karena tidak secara
spesifik tertera di dalam Alkitab, karena psikologi dapat dipergunakan
untuk pelayanan pekerjaan Tuhan asalkan ilmu pengetahuan ini diletakkan
seutuhnya di bawah otoritas Firman Allah. Psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang juga mengandung kebenaran-kebenaran tertentu di
dalamnya. Lebih lanjut dinyatakan oleh Simanjuntak bahwa kebenaran-
kebenaran melalui ilmu pengetahuan ini disebut sebagai God’s law
sedangkan kesimpulan-kesimpulan dari dari kebenaran ilmu pengetahuan
itu disebut God’s truth jikalau hal itu harmonis dengan God’s law lainnya.58
Jadi jika kesimpulan-kesimpulan dari psikologi mengandung kebenaran
Allah, maka dapat dan harus digunakan dalam konseling Kristen.
Menurut Buttrick, keutuhan itulah yang menjadi visi kedatangan,
kehidupan dan pelayanan Yesus hingga memberikan nyawa-Nya, yakni
agar domba-domba-Nya mengalami kelimpahan dalam segala aspek
hidup.59 Hal inilah yang memungkinkan dibangunnya dasar integrasi antara
teologi dan psikologi karena psikologi didasarkan pada penyataan umum
Allah yang dinyatakan kepada manusia.

55
Meier dan Minirth, Pengantar Psikologi..., 18
56
Ibid.
57
Kirk. E. Farnswoth, Psychology and Christianity: A Substantial Integration,
JASA 27 (June 1975): 60-66
58
Julianto Simanjuntak, Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme (Jakarta:
Gramedia, 2008), 125-126
59
George Arthur Buttrick (Ed). The Inerprester’s Dictionary Of The Bible
(Nashville: Abingdon Press, 1991), 546
PENUTUP

Teologi dan psikologi merupakan dua ilmu yang sangat berbeda


sehingga tindakan untuk mengintegrasikan teologi dan psikologi bukan
masalah yang mudah. Meskipun memiliki tujuan yang terbaik untuk tetap
alkitabiah, namun sangatlah tidak mudah untuk mengakui konsep-konsep
psikologi atau pemikiran yang berkompromi dengan isi Alkitab. Akibat
yang biasa dilakukan namun berbahaya adalah kecenderungan melihat
kepada ajaran Alkitab melalui kacamata psikologi sementara kebutuhan
kritis adalah melihat kepada psikologi melalui pandangan atau ajaran
Alkitab. Teologi (dalam hal ini teologi Kristen) atau kekristenan dan
psikologi dapat diintegrasikan, asalkan psikologi berada di bawah otoritas
Alkitab. Dengan berotoritaskan Alkitab, maka apabila ajaran Alkitab
mengalami konflik dengan konsep atau ajaran apapun, ajaran Alkitab akan
tetap diterima sebagai kebenaran karena Alkitab adalah penyataan Allah
yang tidak dapat salah. Sedangkan jika konsep lain, sekalipun didukung
oleh penelitian ilmiah tetapi jika tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab,
maka tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Dengan berlandaskan kepada
Allah dan penyataan-Nya kepada manusia baik itu penyataan khusus
maupun penyataan umum, integrasi teologi dan psikologi sesuai dengan
perspektif Alkitab yaitu melayani dan memandang manusia ciptaan Allah
sebagai satu keutuhan.
Dengan demikian konselor Kristen dapat menerima psikologi hanya
jika aspek-aspeknya selaras dengan kebenaran Alkitab dan juga sebaliknya.
Maka di dalam memformulasikan proses integrasi antara teologi dan
psikologi harus diperhatikan bahwa, sangat tidak beralasan bagi orang
Kristen untuk menolak semua hal tentang psikologi yang dibangun di atas
dasar ilmu pengetahuan, sebaliknya tidak ada alasan untuk menolak
kekristenan hanya karena berlandaskan pada Alkitab. Masalah dalam
integrasi, khususnya dalam bidang theologia dan psikologi adalah
bagaimana membawa kebenaran Allah, dari segala bidang yang diciptakan-
Nya, untuk menunjang karya-Nya atas umat manusia secara utuh.
TOLERANSI AGAMA DAN MOTIF MISI KRISTEN

DEWI MAGDALENA ROTUA

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang amat heterogen


penduduknya. Kondisi tersebut sangat didukung oleh penyebaran penduduk
yang beragam serta letak geografis yang didominasi oleh kepulauan.
Keadaan ini membentuk kristalisasi budaya, agama, bahasa, dan etnis yang
cenderung membangkitkan otonomi kedaerahan yang radikal. Pada sisi
lain, bangsa Indonesia sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Hal
tersebut dapat diamati dengan beragamnya bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku, bahasa, budaya, agama dan beribu-ribu pulau.
Kemajemukan ini membuat bangsa Indonesia amat familiar dengan
kepelbagaian. Kendatipun demikian kemajemukan tersebut acapkali
menimbulkan friksi dan konflik antara sesama anak bangsa, baik yang
kelihatan maupun yang tersembunyi. Berkaitan dengan hal itu, Victor
Tanya memberi komentar dengan menegaskan bahwa konflik ini telah
mengakibatkan bukan saja kehancuran fisik dan kematian dalam jumlah
yang sangat besar, tetapi yang lebih berbahaya ialah telah mengancam
peradaban umat manusia.1 Jika kondisi tersebut menyatakan situasi yang
sesungguhnya, maka sejauh mana Gereja dan orang Krisen dapat
bertoleransi dengan berbagai agama yang ada di tanah air ini? Apakah
toleransi yang kita lakukan hanyalah dalam bidang sosial ataukah
menyangkut berbagai isu-isu penting dalam doktrin Kristen, agar kita dapat
hidup dengan harmonis dalam masyarakat majemuk ini? Bagaimana
seharusnya kita bersikap terhadap berbagai agama yang ada di Indonesia
ini? Hal-hal tersebut merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
oleh Gereja atau orang Kristen.
Permasalahan yang telah dipaparkan di atas mendorong penulis
mencoba untuk meneliti tentang Toleransi Agama dan Motif Misi Kristen
sebagai upaya memberi kontribusi pemikiran kritis dan dorongan praktis
terhadap respons dan perilaku yang kurang tepat dalam memahami peran
Gereja dalam Dunia. Tentu materi yang akan dibahas bukanlah sesuatu

1
Victor I. Tanya, Pluralisme Agama dan Problema Sosial (Jakarta: PT. Pustaka
Cidesindo,1998), XIX.
yang baru, bahkan sangat mungkin bahwa penelitian tentang hal tersebut
telah pernah dikemukakan sebelumnya secara lebih rinci.
Menyadari luasnya cakupan tentang permasalahan dan pembahasan
mengenai materi Toleransi Agama dan Motif Misi Kristen, maka penulis
membatasi pemaparan pada pada beberapa bagian saja. Dalam makalah ini
penulis akan memaparkan toleransi beragama dan motif misi Gereja di
Indonesia. Adapun materi yang akan dipaparkan adalah, Pertama,
penjelasan tentang pengertian toleransi dan agama. Selanjutnya pemaparan
tentang dinamika bertoleransi di Indonesia, urgensi toleransi beragama,
peran Pancasila sebagai dasar negara, keunikan pluralitas, tantangan
pluralisme. Selanjutnya memaparkan mengenai motif misi Kristen serta
dialog Kristen sebagai sarana dalam toleransi agama, serta bagian penutup
adalah kesimpulan.

PENGERTIAN TOLERANSI DAN AGAMA

Toleransi merupakan satu sikap yang sangat diperlukan ketika kita


hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan secara khusus dalam
kemajemukan agama. Berkaitan dengan hal itu, Breward menyatakan
bahwa toleransi dapat memperkaya agama-agama yang ada. Ia
mengemukakan bahwa, “Toleransi ialah bukan hanya pengakuan suatu
komunitas mengenai keberadaan agama yang pluralis, melainkan juga
menyakini agama yang pluralitas dapat memperkaya satu dengan yang
lain.”2 Toleransi diartikan oleh Peter Salim sebagai tenggang rasa, sikap
membiarkan, sikap mentolelir.3 Webster mengemukakan toleransi sebagai
berikut: a sympathy or indulgence for beliefs or practices differing from or
conflicting with one’s own or the act of allowing something.4 Sedangkan
J.E. Wood menjelaskan toleransi: Indulgence of belief or conduct other
than one’s own.5 Dari pengertian toleransi yang telah dikemukakan di atas
toleransi merupakan satu sikap menerima atau menghargai kepelbagaian.
Dengan kata lain dapat digambarkan toleransi memberi kesempatan yang

2
I.Breward, “Toleration” in New Dictionary of Theology, Sinclair B. Ferguson
(ed.) (Leicester: Inter Varsity Press, 1988), 689
3
Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary (Jakarta:
Modern English Press,1985), 2073
4
Webster, “Toleration” in Webster’s New Collegiate Dictionay (Massachusetts:
Phoenix Press Inc, 1973), 1228
5
J. E. Wood , “Tolerance” in Evangelical Dictionary of Theology, Walter Elwell
(ed)., (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House,1984), 1098
luas bagi setiap penganut agama untuk mengembangkan sikap toleransi,
dalam artian perlunya sikap saling menghormati dan memahami diantara
masing-masing penganut agama. Berkaitan dengan hal itu, Viktor Tanya
menjelaskan bahwa sikap toleransi adalah memberlakukan agama lain
dengan penuh hormat. Ia menyatakan sebagai berikut:
Toleransi berarti endurance atau ketabahan, yang bukan hanya
menunjuk pada sikap membiarkan orang lain hidup di sekitar kita
tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini
khususnya di bidang agama menunjuk pada kerelaan dan kesediaan
untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh
hormat dalam suatu dialog dengan orang lain secara terus-menerus
tanpa perlu dipengaruhi oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. 6
Arah pengertian toleransi yang diutarakan di atas pada dasarnya
lebih mengacu pada suatu sikap hidup yang dilakukan oleh seseorang atau
suatu komunitas dalam suatu kemajemukan. Alister McGrath mengakui hal
ini dengan mengemukakan: Toleration is much more likely to result from
showing respect to other religions, than from forcing them into an artificial
framework.7 Dalam arah yang sama Stevri Lumintang memberi komentar
bahwa, “toleransi agama tidak hanya membutuhkan keterbukaan,
melainkan juga kejujuran untuk mengakui perbedaan, menampilkan
perbedaan dan kelebihan yang satu daripada yang lain. Toleransi agama
juga memerlukan sikap hati yang dewasa, artinya menerima atau mengakui
apabila orang beragama lain lebih kaya dalam pemahaman dan pengalaman
agamanya, lebih indah dan teguh keyakinan agamanya.” 8 Kendatipun
demikian toleransi tidak selalu memiliki asumsi menerima dan mengadopsi
secara utuh keyakinan atau agama orang lain, seperti yang diungkapkan
oleh Efferin, dengan memaparkan, “Jadi dalam memahami toleransi, kita
perlu membedakan antara menerima seseorang yang berbeda pandangan
atau agama dengan menerima isi kepercayaannya sebagai kebenaran.” 9
Toleransi lebih merupakan suatu pemahaman dan praktek hidup yang perlu
dikembangkan dan dipertahankan di tengah-tengah pluralitas bangsa
Indonesia.

6
Tanya, Pluralisme Agama …,13
7
Alister McGrath, A Passion for Truth The Intellectual Coherence Of
Evangelicalism (Illinois: InterVarsity Press, 1996), 240
8
Stevri Indra Lumintan, Re-Indonesianisasi Bangsa (Batu: Departemen Multi-
Media YPPII, 2009), 618-619
9
Henri Efferin, “Konsultasi Teologi,” dalam Pelita Zaman (Jurnal) Vol. 16 no.
1, 2001, 89
Agama merupakan sebuah institusi yang sudah eksis dan
berlangsung sejak lama, bahkan bisa disebut sama tuanya dengan manusia;
ketika manusia diciptakan, manusia dapat berhubungan dengan sang
Pencipta. Hubungan dengan Sang Pencipta inilah yang diyakini sebagai
dasar dari agama. Pengertian dalam arah yang sama juga dikemukakan oleh
W.S. Lasor : Religion may be defined as a relationship to the holy. 10
Sedangkan A.K. Rule menjelaskan agama sebagai berikut: The
acknowledgement of a higher, unseen power, an attitude of reverent
dependence on that power in conduct of life; and special actions,eg., rites,
prayers, and acts of mercy as peculiar expressions and means of cultivation
of the religious attitude.11 Dengan demikian agama tidak dapat dipisahkan
dari Pribadi yang Mahakuasa atau sang Pencipta. Dalam perjalanan waktu,
sejalan dengan pertambahan umat manusia, agama menjadi kian beragam.
Menurut Daniel Pals dari sekian banyak agama ada satu persamaan yang
tidak dapat dipungkiri yakni, “Agama dasar” atau agama manapun terdiri
atas kepercayaan pada Tuhan pencipta yang menjadikan dunia dan
kemudian menyerahkannya pada hukum-hukum dasarnya sendiri. Suatu
kode moral yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan
kehidupan setelah mati jika mereka berbuat baik dan menghindari
kejahatan.12 Pendapat Daniel Pals di atas tentu berbeda dengan doktrin
Kristen di mana keagamaan yang diyakini adalah kehidupan yang
didapatkan karena dan berdasarkan kedaulatan dan kasih Allah di dalam
Kristus, bukan atas hasil suatu kode moral dan usaha sendiri atau sebuah
hasil tindakan moral saja (Yoh 3:16). Manusia menemukan kebenaran yang
telah dinyatakan oleh Pencipta-Nya. Kendatipun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa agama juga memiliki peran yang penting, seperti yang
dikemukakan oleh Victor Tanya bahwa agama adalah “Sebagai sistem
kepercayaan dan peribadatan, agama berperan penting, dalam menciptakan
tatanan kehidupan yang berkeadilan dan beradab bagi seluruh umat
manusia di dunia.”13 Secara umum agama memiliki tujuan agar tidak terjadi
kekacauan bagi setiap pemeluknya.

10
W.S. Lasor, “Religions Of The Biblical World” dalam The International
Standard Bible Encyclopedia, G.W. Bromiley (ed) (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1988), 79
11
A.K. Rule Religion,Religious dalam Evangelical Dictionary of Theology,
Walter Elewll (ed) (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984), 931
12
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religions (Yogyakarta: Penerbit Qalam,
2001), 11
13
Tanya. Pluralisme Agama…, xix.
Dengan demikian jika berbicara mengenai toleransi beragama,
berarti mengulas tentang sikap hidup manusia antar umat beragama, sikap
yang terbuka dan secara dewasa menerima perbedaan agama-agama lain.
Sikap yang ramah kepada sesama manusia tanpa mempersoalkan apa yang
menjadi kepercayaannya. Pluralitas di Indonesia telah menciptakan
kesadaran masyarakat yang toleran terhadap berbagai agama dan berbagai
kepercayaan yang ada. Sikap toleransi sangat diperlukan untuk mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan. Namun demikian, sikap toleransi beragama
seperti apa yang dapat dikembangkan dan dipertahankan dalam konteks
pluralitas di Indonesia menurut keyakinan kristiani.

DINAMIKA TOLERANSI BERAGAMA

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralitas dan telah


terbiasa hidup dalam ke pelbagaian, sehingga masyarakat telah memiliki
benih saling pengertian diantara penganut agama yang berbeda. Kendatipun
demikian, tidak dapat disangkali bahwa toleransi beragama melahirkan dua
kelompok, yaitu: Pertama, kaum fundamentalis, yakni orang atau
kelompok yang memiliki visi untuk memulihkan dan/atau mempertahankan
keyakinan agama, etnis, budaya, politik dan hukum sesuai dengan ajaran
yang semula. Kelompok ini cenderung bersifat ekslusif, tidak terbuka
dengan sesuatu di luar kelompok mereka, apalagi dengan kelompok di luar
agama Islam.14 Sikap seperti itu dapat seringkali menimbulkan ketegangan
diantara penganut agama. Adalah wajar jika penganut suatu agama
menganggap ajaran agamanya adalah yang paling benar atau paling baik,
Namun seiring dengan itu, harus pula disadari oleh setiap pemeluk agama
bahwa penerapan sikap ini secara tidak proposional justru akan
menimbulkan disharmoni bahkan konflik yang merugikan semua pihak,
termasuk kelompok penganut agama tersebut.15 Kedua, ialah kelompok
cinta damai di dalam semua agama, melakukan hal yang berbeda bahkan
bertolak belakang, dengan yang dilakukan oleh kaum fundamental. Kaum
pluralis justru mengakui semua agama sampai pada tingkat menerima
kebenaran dari semua agama sebagai suatu kebenaran yang saling
melengkapi.16

14
Lumintang, Re-Indonesianisasi…, 502-510
15
Tanya, Pluralisme Agama..., xix.
16
Lumintang, Ibid…, 519
Setiap kelompok agama memang harus dapat menguasai diri, dan
memikirkan usaha-usaha untuk mencapai toleransi dan persatuan sebagai
sesama warga Negara. Konflik antar umat beragama itu dapat terjadi
karena beberapa hal, seperti yang dikemukakan oleh Makmur Halim,
sebagai berikut:
(1) Konflik yang terjadi antar pengikut-pengikut secara individu
dalam lingkup kecil atau sempit lingkungannya yang kemudian
berkembang menjadi konflik antar kelompok; (2) Konflik yang
terjadi antar tokoh-tokoh agama atau antar pemimpin-pemimpin
agama yang berkembang menjadi konflik antar kelompok; (3)
Konflik yang terjadi antar kelompok agama di negara-negara lain
yang kemudian meluas ke konflik di negara sendiri; (4) Konflik
yang terjadi antar kelompok agama dikarenakan adanya pihak ketiga
atau pengadu domba, sehingga terjadi kemarahan satu sama lain
antar kelompok agama; (5) Konflik yang terjadi oleh karena dari
salah satu kelompok salah mengkomunikasikan berita, sehingga
terjadi salah pengertian (miscommunication); (6) Konflik yang
terjadi oleh karena propaganda atau penyiaran-penyiaran yang
berbau keagamaan dan yang terlalu menonjol, dan akhirnya
mengganggu dan menyinggung kelompok lain; (7) konflk yang
terjadi oleh karena tidak ada pertemuan persahabatan antar
kelompok umat beragama; (8) Konflik yang terjadi oleh karena
terdapat konflik masa lalu atau luka lama yang belum selesai
(unfinished business). Konflik ini bisa terjadi karena konflik yang
terjadi dalam sejarah masa lalu; (9) Konflik yang terjadi antar
kelompok agama disebabkan adanya kelompok agama yang salah
dalam menggunakan atau menafsirkan ajaran-ajaran agamanya,
sehingga menyerang kelompok agama lain.17
Konflik dapat terjadi karena berbagai faktor, baik yang bersifat
internal, yakni dari kelompok agama itu sendiri maupun secara eksternal.
Oleh sebab itu kelompok-kelompok umat beragama harus berhati-hati, dan
dengan bijaksana membawa bendera agamanya masing-masing, serta
menyaring informasi-informasi yang berkembang di tengah-tengah
penganut agamanya masing-masing. Kesadaran bertoleransi hendaklah
diupayakan dan diajar-ajarkan bagi seluruh warga Indonesia.

17
Makmur Halim, Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia (Malang:
Penerbit Gandum Mas, t.t.), 269-271
Urgensitas Toleransi Bergama
Toleransi beragama merupakan hal yang amat penting
dikembangkan di Negara Indonesia mengingat kepelbagaian agama yang
ada di negara kita. Cooley memaparkan ada dua dasar serta dorongan dalam
hal hubungan antar umat beragama yaitu:18

Dorongan-dorongan Kuat Dari Luar


Satu dorongan ialah adanya hubungan-hubungan tidak sehat, yakni
hubungan antar umat beragama yang tidak menunjang perdamaian,
keadilan serta pembangunan suatu dunia yang aman, makmur dan lestari itu
yang sangat dirindukan oleh banyak orang di mana-mana di enam benua
masa kini, khususnya mereka yang menderita. Dunia modern di mana-mana
menampakkan adanya roh materialisme dan konsumerisme yang tidak
kenal batas bersama dengan spekulasi beserta ketergantungan yang
membahayakan pada super tekhnologi, baik dalam bidang produksi maupun
bidang informasi. Roh-roh kemodernan tersebut dapat mengancam sifat-
sifat dasar dari kemanusiaan manuia. Manusia dijadikan barang, alat atau
obyek belaka demi usaha mengumpulkan kekayaan materi atau kekuasaan
tanpa batas. Kemodernan yang demikian, lebih jauh akan merusak nilai-
nilai keagamaan/rohaniah bahkan eksistensi sendiri dari agama dalam
kehidupan manusia pada masa mendatang. Oleh karena itu sangat
diperlukan hubungan baik serta kerjasama yang erat dan aktif dari semua
umat serta golongan beragama melawan arus keduniawian tersebut dan
menyalurkan kearah yang dikehendaki Tuhan Yang maha Esa.

Dorongan Dari Dalam Keagamaan Itu Sendiri


Kendatipun penganut masing-masing agama cenderung memandang
agamanya benar ataupun yang paling benar, namun akibat kenyataan bahwa
semua agama dunia menganjurkan hubungan serasi dan baik antar umat
beragama, pun sikap saling menghormati antar penganut agama-agama.
Dalam Kitab suci agama Kristen terdapat ajaran-ajaran untuk berusaha
membina hubungan baik dengan semua orang termasuk pemeluk agama
lain. Misalnya hukum kasih (Mat 22:37-39 dan Yoh 15:12,17). Umat

18
F.L. Cooley, Panggilan Umat Kristen Dalam Hubungan Antar Umat Beragama
dalam Konteks berteologi di Indonesia. Penyunting Eka Darmaputera (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991), 171-172
Kristen harus berusaha memulihkan serta memperkuat hubungan baik
dengan seluruh elemen umat beragama. Juga harus diusahakan oleh kedua
belah pihak pembebasan dari semua ketidaktahuan (ignorance), paham
serta sikap yang keliru (misunderstanding), polemik, prasangka
(prejudices) serta ketakutan (fear) satu terhadap yang lain yang telah
bertumbuh dan sengaja dipupuk selama masa lalu. Dan usaha tersebut
dalam ukurannya bersifat monumental, raksasa, sangat berat dan
memerlukan waktu yang lama.19 Dengan demikian toleransi beragama
seharusnya bukan sekedar slogan semata-mata, namun menjadi suatu
agenda yang amat penting untuk diperhatikan dan dikembangkan di dalam
tatatan perilaku kehidupan masyrakat Indonesia yang majemuk ini.

Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia


Sudah menjadi konsesus bangsa Indonesia menerima Pancasila
sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara. Itu berarti bahwa Pancasila-lah yang merupakan kaidah etika
kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjadi paradigma
perilaku warga Negara Indonesia. Artinya Pancasila adalah design for
living untuk bangsa Indonesia dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Untuk kita orang Kristen, Pancasila adalah norma untuk
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi kita mengamalkannya di
dalam ketaatan kita kepada norma agama, norma Injil yang mutlak. Itulah
implikasi mengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. 20 Pancasila
telah memberi identitas kepada Indonesia, Pancasila merupakan ciri khas
bangsa yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat, bangsa lain.
Sebagai dasar Negara, Pancasila tercantum dalam UUD 45. Bahkan dalam
UUD pasal 29: 1 dijelaskan “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa.” Walaupun demikian Negara Pancasila bukanlah negara agama dan
bukan pula negara sekuler. Negara Pancasila tidak mengenal “negara
agama,” maupun “agama Negara.” Tidak ada agama, paling sedikit secara
konstitusional, yang mempunyai “status lebih” atau “status kurang”
dibandingkan dengan yang lain. Tidak ada mayoritas maupun minoritas di
dalam hak dan kewajiban. Dengan demikian, maka kenyataan
kemajemukan agama diakui keabsahan eksistensinya. UUD pasal 29 : 2

19
Cooley, Panggilan Umat Kristen..., 172
20
Theo Kobong, “Iman Kristen dan Pancasila” dalam Teologi Perjumpaan, Phil.
J. Garang & Weinata Sairin (peny.), (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1993), 216
tidak hanya (secara pasif) mengakui kenyataan kemajemukan agama, tetapi
juga (secara aktif) menjamin kebebasan beragama setiap penduduk
Indonesia. Pancasila menjamin kebebasan kelima agama menjalankan
ajaran dan kepercayaan mereka, tanpa campur tangan pemerintah. Namun
demikian, di dalam Negara Pancasila, kebebasan tidak boleh diartikan
kebebasan tanpa batas. Kebebasan harus diletakkan di dalam kerangka dan
batas kesatuan serta persatuan bangsa, yang menjadi salah satu sendi utama
dari jiwa Pancasila itu sendiri. Karena itu, prinsip kebebasan beragama
bukanlah prinsip satu-satunya. Prinsip tersebut berdampingan dan bertalian
erat dengan prinsip kerukunan beragama, atau kerukunan umat beragama. 21

Keunikan Pluralitas
Pluralitas dan Pluralisme merupakan dua hal yang berbeda.
Pluralitas agama merupakan kepelbagaian agama namun pengertian
pluralitas tidak sama dengan kemajemukan. Pluralitas mengacu pada
adanya hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda,
sedang kemajemukan (diversitas) mengacu kepada tidak adanya hubungan
seperti itu diantara hal-hal yang berbeda. Dengan demikian, pluralitas
mengharuskan adanya dialog antar semua umat beragama. Dalam dialog
itu, faktor etika sangat menentukan karena menyangkut masalah bagaimana
seseorang bersikap terhadap sesamanya.22
Dalam perjalanan umat manusia, agama-agama menjadi sumber
motivasi dan inspirasi yang tidak pernah kering. Satu hal yang menjadi
tantangan dalam pluralitas agama ialah pemeluk agama memiliki klaimnya
masing-masing mengenai kebenaran absolut yang diimani dan diamini. Hal
ini tentu sangat berpotensi untuk melahirkan fanatisme terhadap agama
sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk agama lain. 23 Tentu saja
hal ini dapat dicegah jika umat beragama dengan bijaksana bersikap toleran
terhadap semua agama di Indonesia. Sikap toleran menghasilkan kerukunan
umat beragama di bumi pertiwi ini.

21
Eka Darmaputera, Pergumulan Dan Peran Gereja Dalam Masyarakat Dan
Negara Pancasila dalam Gerakan Oikoumene Tegar Mekar Di bumi Pancasila (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1993), 310-311.
22
Tanya, Pluralisme Agama…, 4
23
Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 519
Tantangan Pluralisme
Pluralisme seperti yang telah dikemukakan di atas justru mengakui
semua agama sampai pada tingkat menerima kebenaran dari semua agama
sebagai suatu kebenaran yang saling melengkapi.24 Pluralisme keagamaan
pada pihak lain, adalah kepercayaan bahwa perbedaan-perbedaan antara
agama-agama adalah bukan masalah kebenaran dan ketidakbenaran, tetapi
tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini berarti bahwa
berbicara tentang kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau
salah tidak dapat diperkenakan.25 Dalam arah yang sama Gary Phillips
memberikan tiga hal tentang terminology pluralisme, yakni: (1) the
growing diversity of race, heritage, religion, and value systems within
Western culture; and (2) the value of toleration for this diversity. (3) the
philosophical posture which insists that tolerance must be granted to all
views on the ground that none can claim to be true.26 Dalam terminologi
yang satu ini perlu juga dibedakan antara pluralisme kebudayaan dan
pluralisme keagamaan. Tentu saja benar bahwa kebudayaan dan agama
saling berkaitan erat. Agama dari satu sudut pandang adalah aspek dari
kebudayaan, tetapi kebudayaan ini bukanlah keseluruhan agama itu.
Agama-agama dapat bersifat multikultural, seperti yang nyata dalam
kekristenan.27 Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang
sangat serius bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekedar suatu
konsep sosiologis, antrophologis, melainkan konsep filsafat agama yang
bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan
yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-
politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama; serta
disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme yang
mengiringinya.28
Maka itu bagi kaum pluralis, yang dibutuhkan bukanlah kristologi,
soteriologi dan pneumatologi, melainkan teologi agama-agama atau teologi
abu-abu (pluralisme). Para penganut pluralisme memang tidak meniadakan
doktrin-doktrin Kristen, juga tidak menyatukan semua doktrin yang ada di
semua agama, namun mengembangkan doktrin masing-masing agama

24
Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 519
25
Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung
Mulia 1993), 20
26
Gary Phillips, “Religious Pluralism In A Postmodern World” in The Challenge
of Post Modernism, David S. Dockery (ed.). (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic,
2001), 135
27
Ibid., 19
28
Lumintang, Ibid., 521
dengan cara membuka diri terhadap pengadopsian kebenaran doktrin agama
lain.29 Berkaitan dengan hal itu, Darmaputera mengemukakan bahwa “satu
hal yang patut disadari dan dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama
ialah masing-masing agama berupaya sekuat-kuatnya menahan diri,
bertenggang rasa, peka terhadap perasaan kelompok yang lain, dengan
tanpa menghianati pokok-pokok ajaran agamanya sendiri.”30

MOTIF MISI KRISTEN

Misi Kristen adalah misi yang lahir dari Allah. Allah terlebih
dahulu telah melakukan misi itu sendiri dengan mengutus Yesus Kristus ke
dalam dunia. Tuhan Yesus sebelum naik ke surga memandatkan para
murid-Nya untuk meneruskan misi yang telah dimulai oleh-Nya; seperti
yang dicatat dalam Matius 28:19-20. Untuk itu misi Kristen selayaknya
memiliki motivasi yang selaras dengan maksud Allah yang mula-mula.
Beberapa motif misi Kristen yang harus diperhatikan yakni:

Motif Kedaulatan Allah


Kedaulatan Allah tidak meniadakan peran dan tanggungjawab
manusia, tidak ada pertentangan diantaranya. Kedaulatan Allah memberi
nilai bagi tanggungjawab manusia. Manusia bertanggung jawab karena
telah terlebih dahulu mengalami pembaruan oleh Roh Kudus,
menghidupkan dan memberdayakan manusia secara total. Buah kelahiran
kembali memungkinkan manusia mengalami pertobatan, iman,
pembenaran, pengudusan dan ketaatan.31 Karya Roh Kudus yang
memampukan orang percaya untuk taat. Ada beberapa motif yang
digerakkan oleh kedaulatan Allah, yaitu: Pertama, kedaulatan Allah dalam
misi membuat orang percaya menjadi lebih agresif dalam melaksanakan
misi. Atas dasar, bahwa tujuan penginjilan adalah untuk mempertobatkan
pendengar kepada Kristus.32 Adalah hal yang benar ketika kita mengakui
tanggungjawab kita untuk menginjili secara agresif, menginginkan

29
Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 522-523
30
Darmaputera, Pergumulan Peran Gereja…, 311
31
Anthony A. Hoekama, Save By Grace (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
1994), 94
32
J.I. Packer, Evangelism and The Sovereignty of God (Surabaya: Momentum,
2003), 36
pertobatan orang yang belum percaya, dan menghendaki penyampaian
berita Injil sejelas dan sekuat mungkin. Jika kita tidak peduli apakah
penginjilan kita itu akan menghasilkan sedikit atau banyak petobat baru,
apakah pemberitaan kita tentang Kristus mengenai sasaran atau tidak, maka
ada sesuatu yang salah pada kita. Tetapi sama salahnya jika kita mengambil
tangung jawab lebih dari yang Allah berikan.33 Kedaulatan Allah dalam
anugerah memberikan satu-satunya pengharapan atas keberhasilan dalam
penginjilan. Kedaulatan Allah dalam anugerah merupakan satu-satunya hal
yang mencegah penginjilan menjadi sia-sia dan menciptakan kemungkinan
atau kepastian bahwa penginjilan akan menghasilkan buah. 34 Karena buah
penginjilan, yaitu pertobatan orang berdosa kepada Kristus. Pertobatan itu
adalah pekerjaan Allah yang berdaulat. Efektivitas penginjilan juga
bergantung kepada Injil yang berkuasa, karena Injil adalah kekuatan Allah
yang menyelamatan setiap orang yang percaya (Rm 1:16) melalui pekerjaan
Roh Kudus. Kedua, Kedaulatan Allah dalam pelaksanaan misi dan
penginjilan akan membangkitkan dan memurnikan motif-motif misi dan
penginjilan. Motif-motif misi adalah berakar pada maksud dan tujuan misi.
Jika Gereja mengandalkan kedaulatan Allah dalam pelaksanaan misi, maka
motif misi adalah bersifat theo-sentris. Semua konsep dan praktek misi
berpusat bukan pada kemampuan manusia, dan bukan demi kepentingan
manusia, melainkan berpusat pada Allah dan demi kemuliaan-Nya.35

Motif Kristus (Salib)


Misi Kristen di seluruh dunia adalah milik Kristus, bukan milik
Gereja. Sebelum segala usaha dan aktivitas Gereja, sebelum semua
persembahan berupa pelayanan dan pengabdian, Allah mengirim Anak-Nya
ke dalam dunia, dan Ia datang dalam diri seorang hamba yang menderita
bahkan sampai mati pada Salib. Keyakinan ini merupakan satu-satunya
motif sejati dari misi Kristen serta satu-satunya standar yang dengannya
semangat, metode, dan cara-cara organisasi misi Kristen harus dinilai.
Adalah merupakan tugas yang mendesak bahwa firman tentang
penghakiman dan belas kasih ini harus diberi kebebasan penuh untuk
membersihkan dan menebus aktivitas-aktivitas Gereja sekarang ini, agar

33
Ibid., 18
34
Ibid., 86
35
Lumintang, Misiologia Kontemporer..., 264
kesombongan manusiawi kita dalam aktivitas-aktivitas kita tidak
menghalangi jalan misi Allah di dalam dunia. 36

Motif Kemuliaan Allah


Misi Gereja adalah dimulai dari hati Allah yang terdalam (Missio
Dei). Karena semua aktivitas misi adalah dari Allah, oleh Allah dan untuk
Allah saja. Misi Gereja bukanlah milik Gereja, melainkan milik Allah.
Karena itu, kepada Allah jugalah kemuliaan misi yang dilaksanakan oleh
Gereja dalam dunia. Namun, pada masa kini fokus misi telah bergeser,
sehingga misi dipandang sebagai milik Gereja.
Kaum Pluralis menyuarakan dan mencari misi Allah di luar tradisi
Kristen, yaitu di luar Alkitab. Mereka berusaha mencari misi Allah yang
ada dalam kebudayaan dan agama-agama lain, melalui dialog. Dengan
meninggalkan Alkitab sebagai sumber utama teologi misi. Ken Gnanakan
mengungkapkan beberapa pertanyaan yang esensial mengeni misi, untuk
mengevaluasi misi Gereja masa kini, diantaranya ialah: Apakah dan
bagaimanakah misi yang alkitabiah? Apakah misi Allah itu? Apakah
keunikan berita Injil? Apa bedanya misi Gereja masa lalu dan masa kini? 37
Jawaban atas pertanyaan ini adalah misi bersumber pada misi Allah
Tritunggal di dalam dan melalui Gereja, dan hakekat Gereja itu sendiri.
Kristus adalah kepala Gereja, karena itu misi Gereja (missio ecclesiae)
haruslah dievaluasi oleh misi Kristus (missio Kristie). Misi Gereja
bersumber dan berpusat serta bermuara pada misi Kristus. 38 Misi berpusat
bukan kepada kemampuan manusia, melainkan berpusat pada Allah dan
kemuliaan-Nya. Berkaitan dengan hal itu Bavinck mengatakan, bahwa
Kedatangan kerajaan itu adalah berkenaan dengan Allah, dengan
kebesaran-Nya, kehormatan dan anugerah-Nya. Kedatangan kerajaan Allah
termasuk dengan perluasan Gereja di seluruh wilayah di dunia ini. Dan
kedatangan kerajaan Allah merealisasikan diri-Nya dalam pertobatan
orang-orang berdosa. Ada tiga tujuan yang terpisah, namun ada satu tujuan
yang terbesar dan final, itu disingkapkan kepada kita dalam berkat,
pertama: pemuliaan Allah merupakan tujuan terutama; kedua ialah
penanaman Gereja; dan yang ketiga ialah pertobatan orang-orang

36
Cuplikan dari International Missionary Council (Ghana, 28 Desember 1957–7
Januari 1958), Minutes of the Assembly (London dan New York: IMC, 1958), 89
37
Ken Gnanakan, Kingdom Concern: A Biblical Exploration Toward a Theology
of Mission (Banglore: Theological Book Trust, 1997), 23
38
Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 129
penyembahan berhala. Kemuliaan Allah diajarkan oleh Alkitab berkali-kali
sebagai tujuan yang tertinggi.39 Kemuliaan Allah merupakan motif misi,
baik dalam rangka membangkitkan semangat misi maupun dalam rangka
memurnikan semua motif dari pemahaman dan praktek misi dari semua
yang bersifat manipulasi yang tidak memahami toleransi.

Motif Misi Kristus Menjadi Model Misi Gereja


Tuhan Yesus berkata: “Damai sejahtera bagimu! Seperti Bapa telah
mengutus Aku, demikian Aku mengutus kamu.” Dan kemudian Ia
mengembusi mereka dan berkata: “terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:21-22).
Ada tiga hal yang menjadi inti berita, yaitu: Pertama, bahwa misi Allah
Bapa juga merupakan misi Allah Anak. Hal ini tentu bertentangan dengan
konsep Pluralisme yang menolak Kristus sebagai pusat Kerajaan Allah,
dan membedakan Kerajaan Allah Bapa dengan Kerajaan Allah Anak. Ini
tentu merupakan kesalahan dan kelemahan yang fatal dari konsep theo-
centric kaum Pluralis dalam penafsiran Injil. Kedua, Allah Tritunggal yang
mengutus Gereja ke dalam dunia ini dengan otoritas Allah sendiri (Yoh
20:21-22). Ketiga, bahwa misi Allah adalah misi Allah Bapa, Allah Anak,
dan Allah Roh Kudus. Hal ini juga memberikan pola bagi Gereja, bahwa
misi Allah Tritunggal merupakan model misi Gereja dalam dunia. 40
Berkaitan dengan misi Gereja tersebut Stott memberi komentar, bahwa:
“Ketika Anak Allah diutus ke dalam dunia, Ia tidak tinggal jauh dari
penderitaan dan kesaksian, melainkan, Ia masuk ke dalam dunia manusia
melalui menjadi menusia atau berinkarnasi. Dengan Ia menjadi manusia, Ia
menjadi manusia yang dapat mengalami pencobaan dan penderitaan.”
Bertolak dari pengertian tersebut, Stott kemudian menjelaskan tugas Gereja
menurut penjelasan Rlph Winter mengenai tiga jenis penginjilan, yaitu: “E-
1 (dalam kebudayaan dan bahasa kita sendiri), E-2 (mencapai orang yang
bahasa dan budayanya adalah sama), dan E-3 (penginjilan lintas budaya).”41
Tugas Gereja adalah melintasi kebudayaan apapun yang ada dalam dunia
dan hadir di dalamnya, sebagaimana Kristus datang dan tinggal dalam
dunia. Inilah model misi inkarnatif.

39
J.H. Bavinck, An Introduction to the Science of Mission (Phillipsburg, New
Jersey: Presbyterian and Reformd Publishing Co, 1960), 155-156
40
Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 130
41
Joh Stott, Making Christ Known: Historic Mission Document from the
Lausanne Movement 1974-1989 (London: Paternoster Press, 1988), 29
Misi haruslah didasarkan pada misi inkarnasi Yesus Kristus, yaitu
ketika Ia menjadi manusia, Ia datang melintasi dan tinggal dalam
kebudayaan manusia. Inkarnasi Kristus merupakan suatu model bagi misi
Gereja. Allah Bapa mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan sekarang
Yesus mengutus Gereja-Nya ke dalam dunia, dengan model pengutusan
Allah Bapa atas-Nya. Berkaitan dengan hal itu, Stott menjelaskan bahwa
“memang semua misi yang otentik adalah misi inkarnatif. Itu artinya masuk
kedunia orang yang lain, yang berbeda, seperti Ia masuk ke dalam dunia
kita. Misi yang demikian merupakan misi kontekstual yang menuntut
identifikasi diri tanpa kehilangan identitas. Itu berarti masuk ke dalam
dunia manusia, seperti Ia masuk ke dalam dunia kita, walaupun tanpa
mengkompromikan keyakinan, nilai-nilai, dan standar kehidupan
Kristen.”42 Oleh karena itu, Gereja harus kembali kepada Alkitab sebagai
dasar dan sumber serta motif misi Gereja. Teologi misi apapun yang
dihasilkan pada masa kini, harus mencari dan menemukan misi Allah dari
kesaksian Alkitab. Misi di luar data dan pemahaman Alkitab adalah
missing.43
Dengan demikian ada dua motif utama dalam pergerakan misi dan
penginjilan Gereja, yaitu: Pertama adalah motif primer dan fundamental.
Tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah. Hukum kehidupan dalam
Alkitab adalah: “Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor
10:31). Manusia memuliakan Allah dengan menaati Firman-Nya dan
memenuhi kehendak-Nya yang diwahyukan. Begitu juga perintah pertama
dan terutama adalah “kasihilah Tuhan, Allahmu.” Kita menunjukkan kasih
kepada Bapa dan Anak yang telah begitu mengasihi kita dengan cara
menaati perintah-Nya. Motif kedua yang seharusnya mendorong
penginjilan kita adalah kasih kepada sesama manusia dan kerinduan untuk
melihat mereka diselamatkan. Hasrat untuk memenangkan yang terhilang
bagi Kristus seharusnya merupakan ekspresi alamiah dan spontan dari kasih
yang mengalir dalam setiap hati orang yang telah lahir baru.44

Toleransi Agama dan Misi Dialogis Kristen


Apakah toleransi bertentangan dengan amanat penginjilan? Tentu
penginjilan bukanlah pengkristenan seperti yang dipraktekkan oleh
sebagian orang Kristen dan seperti yang dianggap dan dituduhkan oleh

42
John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: Inter-Varsity, 1992), 358
43
Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 129
44
Packer, Evangelism and the Soverignty..., 58-59
beberapa kalangan masyarakat. Pengkristenan selalu dihubungkan dengan
imperialisme Barat pada masa lampau, yang sering memanipulsi pelbagai
cara untuk membuat orang menjadi Kristen tanpa mengalami atau memiliki
unsur pertobatan. Sedangkan penginjilan merupakan pemberitaan Injil,
Kabar Baik kepada semua orang. Persoalan antara pengkristenan dan
penginjilan adalah persoalan yang berkaitan dengan metode. Karena itu,
tanpa merusak semangat toleransi, pastinya penginjilan dalam pendekatan-
pendekatan manusiawi dan tanpa memanipulasi segala cara untuk
mendapatkan hasil. Penginjilan seperti itu, tentu bukan lagi penginjilan
yang dimaksud oleh Alkitab. Karena penginjilan manipulatif, yang
bermuatan paksaan, hipnotis, rayuan dan sebagainya, sesungguhnya
bertentangan dengan hakekat Injil yang berkuasa dari Injil itu sendiri.
Sehingga tidak perlu cara-cara yang tidak sehat, yang disadari atau tidak
merendahkan kuasa Injil. Dan orang yang mengalami kuasa Injil, tentu
tidak mungkin berdiam diri, kecuali mereka adalah kaum pluralis, yang
memang tidak mengakui dan percaya kepada Injil lagi. 45
Dialog berarti komunikasi dua arah. Secara teologis dialog dapat
dipahami berdasarkan Missio Dei, Allah mengutus Yesus Kristus untuk
berkomunikasi dengan manusia (dialog). Inkarnasi Yesus Kristus
membuktikan bahwa Allah berkomunikasi dengan dunia (manusia), namun
bukan ini tujuan akhirnya, melainkan menyelamatkan manusia di dalam
dan melalui karya Kristus. Dengan demikian fokus dari dialog antar umat
beragama adalah memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui Injil
yang membaharui. Kerjasama akan membangun masyarakat yang
berbudaya akan terfokus kepada praktik-praktik dari ajaran agama masing-
masing, dan praktik ini bertemu di dalam kehidupan masyarakat secara
langsung. Hasilnya adalah, bahwa dialog yang berdasarkan membawa
sesuatu yang bisa dinikmati oleh masyarakat dan membalut luka-luka lama
yang masih ada.

PENUTUP: KESIMPULAN

Indonesia adalah negara yang kaya. Ada beribu-ribu pulau, banyak


budaya dan bahasa, bahkan terdapat berbagai agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan yang Mahaesa di bumi pertiwi ini. Toleransi beragama
merupakan suatu agenda yang penting mengingat pluralitas agama yang ada
di negara kita. Sebagai kaum Injili kita juga turut andil dalam toleransi

45
Henry Effrerin, “Konsultasi Teologi,” Pelita Zaman, Vol 16 no.1, 2001, 90
agama dengan memberikan wawasan Alkitabiah toleransi agama serta
memberi wawasan kebangsaan yang berjiwa Pancasila pada jemaat. Di
samping itu kita juga harus mengagendakan upaya dialog antar umat
beragama.
Kemajemukan agama merupakan fakta keragaman bangsa Indonesia
yang harus diterima dan disyukuri sebagai bagian dari kehendak Tuhan
sendiri. Pluralitas tidak perlu diperdebatkan dan dieksploitasi sebagai
sarana menggugat kelompok-kelompok tertentu atau bahkan disingkirkan
demi supremasi dan kepentingan politik dan agama tertentu. Sebagai
pengikut Kristus kita harus proaktif dalam mengupayakan terjadinya
toleransi beragama di negeri ini. Upaya dan kerja keras sangat dibutuhkan
mengingat ancaman disintegrasi bangsa. Pluralitas agama disatu pihak
merupakan kekayaan dan keunikan bangsa Indonesia yang tidak dapat
dipungkiri. Hal ini harus disikapi dengan bijak, agar masyarakat Indonesia
dapat hidup dengan damai di negeri yang tercinta ini. Hendaknya toleransi
tidak sekedar menjadi suatu wacana saja tetapi harus teraplikasi dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak dapat dipungkiri bahwa misi Kristen merupakan bukti
keberadaan Kekristenan di dunia pada umumnya serta di Indonesia ini.
Penginjilan yang memberi tempat pada kejujuran dan tanpa melukai atau
merendahkan agama lain. Kemajemukan masyarakat di tengah-tengah
pluralitas agama dan kebudayaan adalah perilaku yang harus di responi
dengan sikap toleransi. Semua agama memiliki kedudukan yang sama di
bumi pertiwi ini sesuai dengan dasar Negara Pancasila. Misi Kristen
merupakan satu wujud keunikan iman Kristiani tanpa melupakan fakta
adanya penganut agama lain, serta tanpa kehilangan identitas misi Kristen
yang bersifat Misio Dei, yang turut memberi sumbangsih bagi
kesejahteraan bangsa. Maka tidaklah dapat diragukan lagi misi Kristen
merupakan hal yang sangat penting bagi kekristenan di masa mendatang.
PERAN MANUSIA ALLAH
MENURUT I TIMOTIUS 6:11-21

THEOPHYLUS DOXA ZIRALUO

PENDAHULUAN

Labberton berpendapat bahwa Gereja saat ini sedang berada dalam


masalah yang besar yaitu bahwa Gereja sedang tertidur. Tidak mati atau
kesulitan bernafas, tetapi sedang terlelap. Gereja di seluruh pelosok negeri
bahkan di seluruh dunia telah tertidur pulas terhadap hati Allah bagi dunia
yang penuh dengan ketidakadilan. Gereja atau kita lebih asyik dengan
pergumulan batin sendiri, berputar-putar dengan mimpi-mimpi dan trauma
yang terasa nyata bagi kita. Padahal fakta yang begitu gamblang di tengah-
tengah kita menunjukkan bahwa semakin punah dan sekaratnya rasa
kemanusiaan, makin maraknya pelacuran anak, perbudakan yang
mencengkeram, epidemi malaria; HIV/AIDS dan harga diri manusia
ditelanjangi.1
Yang mengherankan bahwa para pendeta (hamba-hamba Tuhan)
turut mempertahankan gaya hidup terlelap ini dengan khotbah yang
menghindari teguran dan suara kenabian2 (khotbah bermental kerupuk)
sehingga dapat dipastikan bahwa kualitas jemaat akan semakin merosot
dikarenakan khotbah-khotbah para pendeta yang lebih ingin menyenangkan
telinga jemaat.
Bertitik tolak dari masalah di atas, maka sangat penting ditegaskan
kembali mengenai peran manusia Allah yang tertulis di dalam 1Timotius
6:11-21. Sebelum masuk dalam bagian pembahasan, maka ada baiknya
apabila terlebih dahulu dipaparkan mengenai penulis kitab 1Timotius,
pribadi Timotius, alamat surat 1Timotius ditujukan dan latar belakang
penulisan kitab 1Timotius.

1
Mark Labberton, Bahaya Ibadah Sejati (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa
Timur, 2011), 19, 24
2
Ibid., 24
ANALISIS LATARBELAKANG SURAT I TIMOTIUS

Pada bagian ini penulis meneliti dan mempresentasikan


latarbelakang teks yang meliputi: penulis surat 1Timotius, figur Timotius,
dan latarbelakang surat.

Penulis Surat 1Timotius


Kitab 1Timotius merupakan salah satu dari surat-surat Perjanjian
Baru yang disebut dengan surat penggembalaan. Surat ini tetap relevan
sampai sekarang mulai dari sejak tulisan itu ditulis.3 Tulluan berpendapat
bahwa 1Timotius ini ditulis di Makedonia sekitar satu tahun setelah Paulus
dibebaskan yaitu tahun 63 dengan pertimbangan bahwa Paulus terlebih
dahulu melayani di Asia Kecil sebelum ke Spanyol. Kalau kita mengikuti
pandangan bahwa Paulus ke Spayol terlebih dahulu, maka angka-angka
tahun harus digeser satu sampai dua tahun4 yaitu tahun 645 atau tahun 65.6
Berkenaan dengan penulis Surat 1Timotius, ada pengritik-pengritik
modern yang berpendapat bahwa kitab ini merupakan karya seorang
pengarang yang tidak dikenal yang mengarangnya dengan nama Paulus
sekitar 40 tahun setelah Paulus mati untuk menitikberatkan beberapa ajaran
tertentu. Tetapi perkiraan ini tidak mempunyai alasan yang berdasarkan
sejarah karena sejak dulu ketiga surat ini diterima baik sebagai buah pena
Paulus yang sejati. Teori ini tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, sebab apabila surat-surat tersebut bukan buah karya Paulus
yang sejati, melainkan hasil pemalsuan belaka, maka tidak mungkin surat
tersebut dihisabkan ke dalam Alkitab dan dianggap sebagai firman Allah. 7

3
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006), 1
4
Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII,
1999), 222
5
Henry H. Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian Baru (Surabaya: Yakin, 1965),
253
6
Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII,
1999), 222
7
Henry H. Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian Baru (Surabaya: Yakin, 1965),
253
Pribadi Timotius
Timotius berasal dari Listra (Kis 16:1). Ibunya seorang Yahudi,
ayahnya Yunani. Neneknya bernama Louis dan ibunya Eunike (2Tim 1:5). 8
Ia dididik dalam adat istiadat Yahudi dan diajari Kitab Suci sejak kanak-
kanak.9 Bertobat karena pekabaran Injil yang disampaikan Paulus, 10
nampak dalam istilah yang digunakan, “anakku yang sah di dalam iman”
(1Tim 1:2). Itu berarti Paulus-lah yang pernah melayani Timotius sehingga
bertobat. Mungkin itu terjadi pada waktu Paulus melayani di tempat
Timotius, yaitu di kota Listra, pada perjalanan misi yang pertama (Kis
14:6).11 Paulus menjadikan Timotius sebagai muridnya dalam
perjalanannya yang kedua (Kis 16:1-3) dan sejak itu Timotius selalu
menyertainya ke manapun dia pergi,12 sekitar tahun 51 (Kis 16:3). Selain
itu,
Berkenan di depan Allah (1Tim 1:18). Dipilih oleh para tua-tua dan
Paulus (1Tim 4:14; 2Tim 1:6). Menyertai Paulus ke Troas, Filipi,
Tesalonika dan Berea. Tinggal di Berea hingga dipanggil Paulus
datang kepadanya di Atena (Kis 17:14-15). Lalu diutus lagi ke
Tesalonika (1Tes 3:1-2). Sementara ia kembali, Paulus telah pergi ke
Korintus (Kis 18:5; 1Tes 3:6). Membantu Paulus dengan menulis
surat-surat Tesalonika (1Tes 1:1; 2Tes 1:1). Kemudian ia diutus
Paulus dari Efesus ke Korintus (1Kor 4:17). Paulus berjumpa dengan
dia di Makedonia dan kemudian ia membantu Paulus di dalam
menulis surat 2Korintus (Kis 19:22; 2Kor 1:1). Mengikuti sebagian
perjalanan Paulus ke Yerusalem (Kis 20:4). Kita tidak mengetahui
apakah ia menyertai Paulus sepanjang perjalanan ke Yerusalem dan
Roma, tetapi ia muncul di Roma dengan Paulus (Flp 1:1; 2:19-22;
Kol 1:1; Flm 1). Kemudian hari ia tinggal di Efesus dan surat ini
dikirimkan ke kota itu. Ia diminta datang ke Roma (2Tim 4:9). Tidak
diketahui apakah ia berhasil tiba di Roma sebelum matinya Paulus.
Ibrani 13:23 dikatakan bahwa ia pernah dibebaskan dari penjara. 13
Timotius adalah orang yang dapat dipercaya namun kurang
bersemangat. Ia terkesan sebagai seorang yang belum dewasa meskipun ia
pasti telah berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun ketika Paulus
menugaskan dia untuk memimpin Gereja di Efesus (1Tim 4:12), seorang

8
Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian..., 253
9
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2001), 414
10
Halley, Ibid.
11
Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Dep. Lit. YPPII, 1999), 223
12
Halley, Ibid.
13
Ibid.
penakut (2Tim 1:6,7) dan sering terganggu pencernaannya (1Tim 5:23).
Surat yang memakai namanya ini dimaksudkan untuk membesarkan hati
dan meneguhkan hati mereka untuk menerima tugas berat yang
dilimpahkan Paulus kepadanya.14

Latarbelakang Surat 1Timotius


Surat ini bersifat nasihat kepada Timotius untuk menolong Timotius
dalam tugas menggembalakan jemaat di Efesus (1Tim 3:15) karena ada
beberapa orang dalam jemaat itu yang mengajarkan ajaran lain dan sibuk
dengan dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya, yang hanya
menghasilkan persoalan belaka dan bukan tertib hidup keselamatan yang
diberikan Allah dalam iman (1Tim 1:4). Mereka hendak menjadi pengajar
Hukum Taurat tanpa mengerti perkataan mereka sendiri (1Tim 1:7). 15
Surat ini juga bertujuan untuk menolong Timotius baik secara
pribadi maupun dalam pelayanannya, agar dia sampai pada tingkat
sebagaimana yang ditulis dalam 1Timotius 4:12, “jangan seorangpun
menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi
orang-orang percaya, dalam perkataan, dalam tingkah lakumu, dalam
kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” 16 Dengan kata lain,
bahwa Kitab 1 Timotius merupakan petunjuk-petunjuk mengenai apa saja
yang harus dilakukan dalam pelayanan terhadap jemaat Efesus.
Surat 1Timotius 6:11-21 merupakan desakan Paulus kepada
Timotius mengenai gaya atau cara hidup atau peran manusia Allah yang
harus dilaksanakan (ay. 11-16), kemudian instruksi mengenai apa yang
harus Timotius katakan kepada orang-orang percaya yang kaya (ay. 17-19)
dan pada akhirnya Paulus memerintahkan kepada Timotius untuk tetap setia
kepada Injil dalam berhadapan dengan guru-guru palsu yang disertai
dengan doa mengenai kesatuan jemaat (ay. 20-21).

ANALISIS EKSEGETIS TEKS ITIMOTIUS 6:11-12

Kata tetapi (Yunani: de) dalam permulaan kalimat ayat 11 bukan


hanya suatu partikel yang ditempatkan sesudah satu atau dua kata dalam

14
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2001), 415
15
Tulluan, Introduksi Perjanjian..., 224
16
Ibid.
satu kalimat, tetapi lebih sering digunakan untuk menyatakan adanya suatu
peralihan atau perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang lain, apakah
itu bersifat melawan atau menentang kalimat yang mendahuluinya, atau
bisa juga bersifat menjelaskan lebih lanjut.17 Kata ini memiliki relasi
(hubungan) yang erat dengan kalimat “jauhilah semuanya itu.” Kata kerja
jauhilah dalam bahasa Yunani menggunakan kata pheugo (Verb 2 Singular
Present Active Imperative) yang dapat diartikan to flee, to run or move
hastily from danger because of fear, to escape danger or punishment, run
away from.18
Bentuk present imperative merupakan suatu perintah untuk
melakukan sesuatu secara terus-menerus.19 Sehingga present active
imperative dapat dijelaskan bahwa pada saat seseorang diberikan perintah
untuk melakukan suatu kegiatan, maka orang yang menerima perintah
tersebut tidak boleh tinggal diam (pasif) melainkan harus segera melakukan
apa yang diperintahkan secara terus-menerus (tanpa batasan waktu). Penulis
lebih tertarik menggunakan kata larilah (NIV: flee – melarikan diri,
mengambil langkah seribu) daripada kata jauhilah (TB) karena kata larilah
merupakan cara tercepat bagi seseorang untuk menghindari diri dari
bahaya.
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang diberi perintah
tersebut? Dalam ayat ini dituliskan “hai, engkau manusia Allah.” Siapa
manusia Allah itu? Sebagaimana surat ini ditujukan oleh Rasul Paulus
kepada Timotius, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa yang dimaksud
dengan manusia Allah dalam teks ini yaitu pribadi Timotius (pronoun
personal, second person), anak rohani Paulus yang sah dalam iman dan
yang juga adalah pemimpin jemaat di Efesus.
Frasa “hai manusia Allah” merupakan seruan (manusia – anthrope
– Noun Masculine Singular Vocative) yang tentunya tidak bisa dilepaskan
dari peristiwa pertobatan Timotius. Melalui kalimat “manusia Allah”,
Paulus hendak menyatakan bahwa sejak Timotius bertobat dan dipanggil
menjadi hamba Tuhan, dia adalah milik Allah (Theo – noum masculine
singular genitive). Oleh karena itu, seluruh hidup dan pelayanan Timotius
harus mengungkapkan atau menyatakan kepemilikan Allah atas dirinya.
Manusia Allah merupakan gelar yang paling terhormat. 20 Perdue
berpendapat bahwa, this was a technical term in the Old Testament for

17
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 399
18
Ibid.
19
J.W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, 1977), 56
20
E.M. Blaiklock, Surat-surat Penggembalaan (Malang: Gandum Mas, 1981), 60
prophet who acted in the name of God. The title was given to remind him
that he had been entrusted with a divine message 21 (Ul 33:1; 1Sam 9:6;
1Raj 12:22; 13:122 - Musa, Samuel, Daud, Elia, Elisa dan yang lainnya). 23
Gelar manusia Allah ini diberikan kepada Timotius untuk membedakan
dirinya dengan pengajar-pengajar palsu yang adalah manusia duniawi. 24
Kehormatan gelar manusia Allah ini terletak pada kepemilikan Allah dalam
hidup Timotius sekaligus mengingatkan bahwa Timotius adalah pelayan
Allah bukan pelayan manusia, dipanggil Allah bukan dipanggil manusia.
Sebagai wujud nyata kepemilikan Allah atas dirinya, maka ada beberapa
beberapa tindakan yang harus dilakukan Timotius yang mana tindakan
tersebut nampak dalam beberapa kata kerja yang digunakan yaitu:

Jauhilah Semuanya Itu (ay. 11)


Penulis tidak perlu memaparkan kembali apa pengertian yang
terkandung dibalik kata “menjauhi” karena sudah dibahas di atas. Namun
yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang perlu dijauhi oleh
manusia Allah? Jawabannya dapat kita perhatikan dari ayat-ayat
sebelumnya, yaitu bersilat kata yang menyebabkan dengki, fitnah, cidera,
curiga dan percekcokan serta cinta akan uang yang adalah akar dari segala
kejahatan (1Tim 6:2b-10). Perdue berpendapat bahwa semua tindakan
tersebut adalah karakteristik atau sifat jahat yang dimiliki oleh guru-guru
palsu.25 Timotius dituntut untuk menjauhi atau menghindari hal-hal yang
bersifat jahat tersebut selain bertentangan dengan kehendak Allah juga
untuk menjaga reputasinya sebagai manusia Allah karena untuk itulah
Timotius dipanggil. Kehendak Allah harus menyatu dalam dirinya
(kehendak pribadinya harus ditenggelamkan dalam kehendak Allah – tidak
berbuat sesuka hati). Hal ini senada dengan apa yang dituliskan Paulus
dalam Galatia 2:20, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Kejarlah yang Baik (ay. 11)


21
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87
22
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 63
23
John R.W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 154
24
Stott, The Massage of Timothy..., 154
25
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87
Sesudah Timotius didesak untuk menjauhi semua hal yang jahat,
maka selanjutnya Paulus memberikan komando untuk melakukan apa yang
sebaliknya yaitu kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan
kelembutan.
Kata kejarlah dalam bahasa Yunani yaitu dieoke (verb 2, singular,
present, active, imperative) yang berasal dari kata dasar dioko yang secara
khusus digunakan oleh tentara-tentara untuk mengejar musuh (Kel 15:9;
Kej 31:23). Kata ini juga mengandung suatu desakan berusaha sekuat
tenaga untuk mencapai suatu sasaran. 26 Spiros berpendapat bahwa kata ini
dapat dipahami sebagai to follow after (Luk 17:23). To follow or press hard
after, to pursue with earnestness and diligence in order to obtain, to go
after with the desire of obtaining (Rom. 9:30-31; 12:13; 14:19; 1 Cor.
14:1). Kata ini merupakan antithesis dari kata flee (larilah; TB – jauhilah)
yang menggambarkan karakter pribadi Paulus. Kata ini diulang kembali
dalam 2Timotius 2:22 yang menyatakan watak orang saleh.
Berdasarkan uraian di atas, maka Paulus mengatakan kepada
Timotius bahwa sasaran yang harus dicapainya yaitu sasaran yang mulia
dan untuk mencpai sasaran tersebut diperlukan adanya usaha sekuat tenaga
bagaikan tentara-tentara yang secara intens mengejar musuh. Selain itu,
Paulus berharap supaya Timotius mengikuti jejak Paulus sebagaimana yang
disaksikan oleh Timotius dalam perjalanan misi Paulus. Usaha yang
dilakukan dengan sekuat tenaga merupakan amunisi untuk mendukung
keefektifan Timotius dalam pelayanannya. Teks mencatat bahwa ada
beberapa tindakan yang baik yang harus dicapai Timotius.

Keadilan
Dalam Yunani klasik, istilah dikaiosune (NIV: righteousness)
berasal dari kata dike (hukuman). Dike adalah anak perempuan Dewa Zeus
yang menyatakan atau membagikan pemerintahannya atas dunia. Zeus
membuat perbedaan antara hukum binatang buas dengan manusia. Hukum
binatang buas yaitu saling melahap atau menelan satu dengan yang lain.
Tetapi bagi manusia yaitu supaya manusia membuat kehidupan menjadi
mungkin (diperlakukan dengan tepat).27 Bagi Plato, dikaiosune adalah dasar
struktur pemerintahan dan jiwa manusia. Adalah benar untuk menerima

26
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2.
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 805-806
27
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2.
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 353
keberadaan tingkat sosial yang berbeda-beda dan memberikan kepada
seseorang sebagaimana yang pantas atau layak dia terima.28 Jadi, keadilan
ini perlu dicermati dalam kerangka kehidupan sosial.
Di dalam PB, kata keadilan berbicara dengan kebenaran Tuhan dan
keadilan Tuhan bagi manusia berdosa. Keadilan dan kebenaran Allah
secara esensial berkenaan dengan covenant (perjanjian) antara Allah dan
umat-Nya yang telah dijadikan manusia baru. Baru yang dimaksud adalah
Israel Baru di mana tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan
Yunani. Dengan demikian, batas pemisah harus dihapuskan.29
Kent berpendapat bahwa dikaiosune lebih mengarah kepada
keadilan secara praktis (practical righteousness) dan orang-orang percaya
harus menyatakannya,30 juga mengacu kepada tindakan moral sebagai
integritas orang percaya.31
Mencermati penjelasan di atas, Paulus hendak mengatakan bahwa
sebagai pemimpin jemaat di Efesus, Timotius tidak boleh membeda-
bedakan status, apakah suku bangsa atau pun status sosial. Semuanya harus
diperlakukan secara tepat. Paulus sangat menyadari bahwa batas-batas
pemisah dapat menjadi pemicu perpecahan dalam jemaat sebagai anggota
tubuh Kristus. Perbedaan yang ada di dalam jemaat harus dilebur dalam
kesatuan tubuh Kristus. Covenant (perjanjian) antara Allah dengan umat-
Nya menembus lapisan masyarakat. Tuhan tidak membeda-bedakan umat-
Nya; semuanya masuk di dalam kategori umat perjanjian. Inilah moral
Kristus dan harus juga menjadi moral Timotius.

Ibadah
Dalam Alkitab NIV, kata godliness diterjemahkan kesalehan (TB:
ibadah). Istilah Yunaninya eusebeian yang diterjemahkan devotion, piety
toward God (Acts 3:12; 1 Tim. 2:2; 2 Ptr 1:6-7). Godliness or the whole of
true religion, so named because piety toward God is the foundation and
principal part of it.32 Akar kata seb memiliki pengertian to step back from

28
Ibid.
29
Brown, The New International Dictionary..., 363
30
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 199
31
John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 72
32
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 685-683
someone or something to maintain a distance.33 Ketika eusebeia
diaplikasikan dalam kehidupan Kristen, ini menunjukkan suatu kehidupan
yang menerima Yesus yang ditampilkan dalam sikap atau gaya hidup. 1
Timotius 6:5 melaporkan bahwa ibadah yang bersifat menipu dilakukan
juga oleh guru-guru palsu untuk mendapatkan keuntungan. Surat 1Timotius
6:3 juga melaporkan bahwa pengajar-pengajar sesat tidak memimpin
kepada hidup kudus. Kekudusan hidup merupakan indikator bagi
pengajaran.34 Kent berpendapat bahwa ibadah sangat dekat hubungannya
dengan keadilan. Ibadah selalu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
yang penuh dengan kasih.35
Ibadah itu sebenarnya sama artinya dengan devosi kepada Allah.
Hal ini dikarenakan bahwa ibadah itu dilakukan atas dasar kasih kepada
Allah. Ini merupakan hal prinsip, namun kasih kepada Allah tidak hanya
dilakukan sebatas ajaran-ajaran murni yang keluar dari mulut tetapi juga
kemurnia ajaran tersebut haruslah diimplementasikan dalam kehidupan
sebagai orang Kristen/percaya. Ibadah itu adalah satunya kata dan
perbuatan. Pada waktu Paulus mengatakan kepada Timotius kejarlah
ibadah, maka ini merupakan tantangan kepada Timotius yang perlu
ditanggapi secara serius bahwa ibadah itu berkenaan dengan kekudusan
hidup. Timotius harus memberitakan pengajaran yang benar sebagai wujud
nyata relasinya dengan Tuhan, namun di sisi yang lain Timotius harus
mampu menerapkannya dalam praktis kehidupan sehari-hari, seperti:
menghormati para janda yang benar-benar janda (1Tim 5:3), menghormati
para tua-tua (1Tim 5:17), tidak mencari soal dan bersilat lidah, dengki,
cidera, fitnah, curiga dan percekcokan (1Tim 6: 4-5) dan mencukupkan diri
dengan apa yang ada (1Tim 6:8).
Kesetiaan
Poin yang ketiga yang harus dikejar oleh Timotius yaitu iman (NIV:
faith). Dalam teks Yunaninya menggunakan istilah pistin yang berasal dari
kata pistos yang diterjemahkan kepercayaan, iman, kesetiaan, agama, ajaran
yang diimani, janji dan bukti.36 Iman adalah sikap di mana seseorang
melepaskan andalan pada segala usahanya sendiri untuk mendapat

33
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 91
34
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 683
35
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and
Titus, (Chicago: Moody Press, 1958), 199
36
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 641
keselamatan, apakah itu kebajikan, kebaikan susila atau apa saja, kemudian
mengandalkan Kristus sepenuhnya. Iman mengimplikasikan pengakuan kita
bahwa kita adalah orang berdosa dan dengan demikian tidak dapat
menyelamatkan diri sendiri dari yang jahat dan melakukan yang baik. 37
Walaupun kesetiaan dan iman adalah dua kata yang berbeda, namun
kedua kata ini saling bertalian satu dengan yang lain karena pada
hakikatnya iman memerlukan kesetiaan. Iman tanpa kesetiaan adalah
spekulasi (dusta) sedangkan kesetiaan tanpa iman adalah salah arah.
Timotius dituntut untuk senantiasa bersandar kepada Tuhan. Motivasinya
dalam melayani haruslah menyenangkan hati Tuhan. Tidak boleh ikut-
ikutan dengan pengajar-pengajar palsu yang hanya bersandar pada manusia
dan motivasi pelayanannya pun menyenangkan perut mereka (hanya
berorientasi pada uang).

Kasih
Blue perpendapat bahwa berkenaan dengan sumbernya, kasih itu
berasal dari hubungan pribadi dengan Yesus Kristus (1Tim 1:14; 2Tim
1:13), yang diberikan oleh Roh Kudus (bnd. 2Tim 1:7). Natur kasih yaitu
orang-orang Kristen tidak boleh hidup untuk dirinya sendiri tetapi bagi
orang lain juga, karena fokus kasih tersebut adalah Gereja yang adalah
komunitas orang-orang percaya.38 Brown melanjutkan, bahwa kata ini
sangat dekat dengan iman, keadilan dan anugerah, yang mana semuanya
merupakan poin utama dalam pribadi Allah. Kasih agape itu selalu
berhubungan dengan dua hal yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada
manusia. Kasih berdiri tegak melampaui otoritas dan kekuasaan yang
dimiliki manusia. Melalui kasih ini, kemuliaan Allah secara terus-menerus
dinyatakan.39 Kasih merupakan motivasi seseorang pada saat seluruh
kegiatan di lakukan di dalam iman, lebih tepatnya lagi kasih menyebabkan
iman bekerja.40 Pernyataan tersebut didasarkan karena adanya hubungan
erat antara iman dan kasih. Kepercayaan kepada Tuhan harus direfleksikan
dalam kasih kepada sesama. Oswald berpendapat bahwa, pure love does
seek its own good but the good of others. Therefore lust and love are

37
L. Morris, Dictionary of Paul and His Letters (Leicester: InterVarsity Press,
1993), 285
38
B.B. Blue, Dictionary of Paul and His Letters (Leicester: InterVarsity Press,
1993), 576-577
39
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 545-546
40
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87
different. The love which has to do with lust seeks its own advantages in all
things. Christian love seeks the advantages of others in itself. That which
the father has he shares in turn with his children.41
Paulus sangat berharap supaya Timotius selalu menjalankan
pelayanan yang dipercayakan tuhan kepadanya dalam kasih sebagaimana
Tuhan adalah kasih adanya. Kesanggupan Timotius dalam melayani jemaat
Efesus bergantung pada sejauhmana kasihnya kepada Tuhan. Ada indikasi
bahwa segala persoalan yang terjadi di dalam jemaat kendatipun berat,
jangan pernah berpikir untuk melarikan diri dari pelayanan (ini yang
disebut mencari keuntunga diri sendiri). Timotius harus mengabdikan
dirinya kepada jemaat yang dilayani sebagai implementasi pengabdiannya
kepada Tuhan. Melarikan diri dari pelayanan sama halnya dengan
menyangkal otoritas Tuhan sebagai pemilik hidup dan pemberi kesempatan
untuk melayani. Hamba Tuhan yang melarikan diri dari pelayanan adalah
hamba Tuhan yang jahat.

Kesabaran dan Kelembutan


Istilah hupomone berasal dari kata hupo yang berarti under dan
meno yang berarti remain.42 Istilah ini memiliki beberapa pengertian yaitu
kesabaran, ketekunan, ketabahan, menantikan.43 Hupomone ini disejajarkan
dengan berharap (1Tes 1:3) dan juga berhubungan dengan kualitas atau
karakter yang tidak mengizinkan seseorang untuk menyerah kepada
keadaan atau mengalah di bawah pencobaan. Secara umum, kata ini berarti
bertahan secara konstan dalam iman dan tanggungjawab. Secara spesifik,
hupomone (kesabaran) adalah kualitas pemikiran seseorang dalam
menanggung sengsara (yang jahat) dan sabar dengan pikiran tenang (Rm
5:3,4; 15:4,5),44 is our spirit toward the enemies of the truth.45 Dengan kata
lain, hupomone ini merupakan suatu jaminan supaya bertahan dalam
menjalankan tugas yang sulit.

41
Hilton C. Oswald (ed.), Luther’s Works. Volume 28 (Missouri: Concordia
Publishing House, 1973), 372-373
42
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 200
43
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 782
44
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1425
45
John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 72.
Istilah prautes dapat dijelaskan bahwa marah pada saat yang tepat,
ukuran yang tepat dan alasan yang tepat. Kelembutan adalah suatu kondisi
di mana hati dan pikiran mendemonstrasikan kehalusan, bukan dalam
kelemahan tetapi dalam kekuatan. Ini merupakan kekuatan karakter yang
seimbang.46 Nicholson menambahkan sebagai berikut:
Patience and meekness express the principles that are required in
one who is to successfully resist the antagonism of the world. The
provocations will be great but God’s gracious provision is the
believer’s sufficiency (cf. II Cor. 12:9-10). Lea menambahkan, he
needed gentleness in order to deal effectively with cantankerous
heretics and wavering beleievers.47
Paulus menyadari bahwa tugas dan tanggungjawab Timotius
bukanlah mudah, Timotius harus bersabar, bertahan, tidak mudah putus asa
atau mengalah pada keadaan. Dalam menghadapi situasi pelayanan, sangat
dibutuhkan ketenangan berpikir atau pikiran yang sehat dengan tujuan
supaya Timotius tidak gegabah dalam bertindak (salah dalam melangkah).
Walaupun dalam usia yang muda, Timotius diharapkan dapat
mengendalikan emosinya. Tidak gampang untuk marah. Emosi yang
meledak-ledak menandakan ketidakstabilan karakter. Kematangan hati dan
pikiran diperlukan untuk menghasilkan tindakan yang tepat.

Hidup Dalam Pertandingan Iman (ay. 12-13)


Dalam ayat ini ada dua kata kerja yang saling berkaitan yaitu
bertandinglah dan rebutlah. Kata agonizou (verb 2 singular present middle
imperative) berasal dari kata agonizomai yang berarti bertanding, berjuang,
berupaya dengan sungguh-sungguh. Kata ini sering dipakai dalam bidang
olah raga.48 Sedangkan kata rebutlah menggunakan bahasa Yunani yaitu
epilabou (verb 2 singular aorist middle imperative).
Agonizomai (contend) dan agon (contest) adalah terminologi yang
berasal dari dunia atletik. Dunia atletik sangat disenangi Paulus (Flp 3:13-
14). Kontestannya haruslah orang-orang beriman (tes pisteos) yaitu seorang

46
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1210
47
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2
Timothy Titus (Nashville; Broadman Press, 1992), 172
48
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 17
yang telah menjadi Kristen.75 Kata ini digunakan dalam present tense untuk
menunjukkan perjuangan atau usaha yang terus-menerus (berkelanjutan).76
Pertandingan iman disebut sebagai pertandingan yang benar (baik) karena
ada pertandingan/perjuangan yang tidak baik, misalnya memperjuangkan
laba keji seperti yang dilakukan oleh guru-guru palsu/sesat (1Tim 6:5). 77
Kehidupan Kristen sesungguhnya adalah pertandingan iman yang mana
sangat dibutuhkan kegigihan.
Kemudian Paulus melanjutkan dengan mengatakan, rebutlah
kehidupan kekal. Secara literal, kata rebutlah (NIV: take hold) yaitu grab
the nose. Dalam tense aorist mengindikasikan suatu tindakan yang
meyakinkan/tegas.78 Ola Tulluan berpendapat bahwa penggunaan aorist
menekankan suatu perbuatan yang satu kali selesai dilakukan pada masa
lampau.79 Mencermati kasus dari kedua kata kerja di atas, maka hidup kekal
sebenarnya telah diperoleh oleh Timotius satu kali pada masa lampau,
namun kegiatan bertanding setelah memperoleh hidup kekal tersebut harus
dilakukan terus-menerus selama hidup.
Dalam 1Timotius 1:16 dituliskan bahwa kehidupan kekal adalah
hasil dari percaya kepada Kristus. Dalam pasal 6:12 diajarkan bahwa
kehidupan kekal harus dipegang teguh. Hidup kekal juga merupakan
sesuatu yang diperoleh pada akhirnya. Yang menjadi penekanan di sini
yaitu antara “sudah dan belum”, namun seringkali ditemukan dalam
Perjanjian Baru dalam bentuk present (sekarang). Maksudnya adalah bahwa
sejak seseorang menjadi percaya, dia sudah memiliki hidup yang kekal,
namun penyempurnaan terakhir adalah pada masa yang akan datang yaitu
kedatangan Kristus kedua kali. Paulus juga mengatakan bahwa Timtius
dipanggil kepada hidup yang kekal (1Kor. 1:9; 7:17-24; 2Tes. 2:14). Allah
bertindak terlebih dahulu tetapi juga dibutuhkan respon manusia. 80 Hidup
kekal yang dimiliki sekarang diperoleh melalui kematian yang penuh (mati
dari dosa).81 Hidup kekal tersebut nampak dalam gelar yang diserukan oleh

75
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 200-20
76
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88.
77
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 63-64
78
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88
79
Ola Tulluan, Bahasa Yunani. I (Batu: Dept. Literatur YPPII, 1992), 40
80
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
184-185
81
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88
Paulus kepada Timotius yaitu manusia Allah. Bagi seorang yang sudah
memiliki hidup kekal, harta benda dunia tidaklah terlihat begitu penting. 82
Stott berpendapat bahwa dalam pertandingan iman diperlukan
kesensitifan roh. Kebenaran adalah yang terutama, berharga dan sakral
karena berasal dari Allah. Hidup yang kekal juga bukan hanya berkenaan
dengan durasi waktu tetapi juga kualitas. Bertanding dalam kebenaran tidak
boleh mengabaikan kekudusan. Demikian juga sebaliknya, kekudusan tidak
boleh lepas dari kebenaran.83
Dalam ayat 12b dituliskan bahwa dalam pertandingan iman,
Timotius memiliki banyak saksi. Istilah martus (TB: saksi) mengandung
arti one who has information or knowledge of something, and hence one
who can give information, bring to light or confirm something (Matt.
18:16; 26:65; Mark 14:63; Luke 24:48; Acts 1:22; 5:32; 7:58; 2 Cor. 13:1;
1 Tim. 5:19; Heb. 10:28). Also martus is used as a designation of those
who have suffered death in consequence of confessing Christ (Rev. 17:6).84
Saksi yang pertama adalah Allah sendiri. Hal ini dikarenakan Dialah yang
memberikan hidup dan hidup kekal (hidup baru; Rm 6:4; Ef 2:5) dan juga
menopang Timotius dalam menggenapi rencana-Nya. Allah sendiri yang
menyaksikan kehidupan kekristenan Timotius. Allah juga yang
memberikan semangat kepada Timotius untuk berjalan harmonis sesuai
dengan pengakuannya.85 Oleh karena itu, Timotius tidak perlu bimbang.
Di hadapan Kristus Yesus yang telah mengikrarkan ikrar yang benar
di muka Pontius Pilatus menyatakan akan keberanian Yesus untuk
menyaksikan tentang kebenaran yang sejati dan tidak takut terhadap
konsekuensi-konsekuensinya (Yoh 18:37) bahkan berani menghadapi
kematian.86 Jabatan Pontius Pilatus sebagai petinggi Romawi tidak
mematahkan semangat Yesus dalam bersaksi bahwa Dialah Sang
Juruselamat manusia. Pengalaman Yesus dalam pelayanannya semasa di
dunia dipakai sebagai teladan untuk menguatkan tekad Timotius untuk
bersaksi tentang kebenaran iman di tengah-tengah perlawanan-perlawanan.
Yesus tidak pernah takut untuk memberitakan kebenaran bahwa diri-Nya

82
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus
(Chicago: Moody Press, 1958), 201
83
John R.W. Stott, The Message of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 156
84
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 947
85
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and
Titus, (Chicago: Moody Press, 1958), 201-202
86
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 64
adalah Sang Mesias/Juruselamat. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan
Yesus dalam Matius 10:28 yaitu, “janganlah kamu takut kepada mereka
yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa;
takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa
maupun tubuh di dalam neraka. Paulus juga berkata di dalam 2Timotius
1:7-8, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan… Jadi,
janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku,
seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya
oleh kekuatan Allah. Ada indikasi bahwa identitas Timotius sebagai
manusia Allah bergantung kepada kesaksian dan keberaniannya.

Hidup Sebagai Penurut (ay. 14-16)

Kata “turutilah” dalam bahasa Yunani yaitu teresai dari kata dasar
tereo yang artinya pay attention to, obey, comply with (teaching, custom,
legal demands)87, keep, fulfill a duty.88 Perintah yang dimaksud adalah
doktrin kristiani dan kewajiban-kewajiban (2Ptr 2:21; 3:2). 89 Trebilco
melanjutkan bahwa perintah dalam ayat ini berkenaan dengan instruksi
yang diberikan Paulus dalam keseluruhan suratnya. Ini yang menjadi tujuan
mendasar dari surat ini.90 Kata turutilah nampaknya berpadanan dengan
lakukanlah. Tidak cukup hanya mendengar tetapi harus dikonkritkan
dengan melakukan. Brown berpendapat bahwa pada saat melakukan, yang
diharapkan adalah melakukannya tanpa cacat dan cela atau dengan kata
lain, murni dalam hal moral (Ef 5:27; Yak 1:27; 2Ptr 3:14). 91
Dalam melakukan perintah tersebut maka yang ditekankan adalah
ketekunan yang jelas termuat dalam kalimat lanjutan yaitu “sampai Tuhan
kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Manifestasi memang berkenaan
dengan kedatangan pertama dan kedua Yesus Kristus dalam surat
penggembalaan (2Tim 4:1,8; Tit 2:13; bnd. 2Tes 2:8). Namun yang
dimaksud dalam hal ini yaitu berkenaan dengan kedatangan Yesus yang
kedua kali. Mengenai waktu kedatangan-Nya tidak diketahui secara pasti
87
Colin Brown, The New Intenational Dictionary of New Testament. Vol. 2
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 132
88
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1380
89
Ibid., 594
90
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
186
91
David Brown, A Commentary on the Old and New Testament Volume Three
(Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1978), 499
(tidak dapat dihitung dengan akal manusia) karena itu adalah kedaulatan
(hak prerogatif) Allah. Dukungan terhadap kalimat tersebut nampak dalam
kalimat selanjutnya yang mengatakan bahwa kedatangan Kristus yang
kedua adalah saat yang ditentukan oleh Penguasa satu-satunya (ay. 15).
Surat 1Timotius 2:6 dan Titus 1:3 menggunakan frase “waktu yang tepat.”
Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama adalah waktu Tuhan
sendiri, demikian juga dengan kedatangan yang kedua 92 atau parusia
dimana Tuhan datang sebagai Hakim atas dunia.93 Stott berpendapat bahwa
kedatangan Kristus ditentukan oleh Penguasa mengandung makna bahwa
Allah adalah Pribadi yang tidak terkalahkan, sumber berkat dan pengatur
raja-raja. Dalam PL, Nebukadnezar dari Babilonia dijuluki “raja segala raja,
tetapi Yahwehlah dikenal sebagai Tuhan di atas segala tuhan, Allah di atas
segala allah. Di dalam PB, Kristus diberikan gelar kombinasi yaitu Raja
segala raja dan Tuhan atas segala tuhan. Pengakuan ini diberikan sebagai
perlawanan terhadap pengkultusan terhadap kaisar dan juga pemujaan
terhadap Dewi Artemis. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah otoritas
Tuhan.94
Dalam ayat 16, Allah yang berdaulat dilaporkan sebagai Pribadi
yang tidak takluk kepada maut. Maut yang dimaksud adalah kematian.
Tidak ada satupun manusia yang dapat merubah waktu kehidupan. Manusia
pada akhirnya akan mati. Berbeda halnya dengan Yesus yang pernah mati
tetapi bangkit lagi pada hari ketiga. Calvin berpendapat bahwa
ketidaktaklukkan Allah kepada kematian menegaskan kepada manusia
bahwa hidup manusia hanyalah dipinjamkan oleh Allah. Selain itu,
dinyatakan bahwa hidup ini tidaklah berarti dibandingkan dengan hidup
yang akan datang bersama dengan Tuhan.95 Demikian juga dengan
Timotius. Timotius diingatkan bahwa dia pada akhirnya akan mati. Allah
tidak takluk pada maut karena Dia memiliki hidup dari diri-Nya sendiri dan
Dialah sumber hidup. Oleh karena itu, Timotius diharapakan tidak menyia-
nyiakan hidup yang Tuhan berikan.
Allah yang berdaulat itu bersemayam dalam terang yang tidak
terhampiri. Kalimat tersebut mengacu kepada tempat Allah tinggal yang

92
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
187
93
John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 73
94
John R. W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 159
95
John Calvin, Commentaries on the Epistles of Paul to the Galatians and
Ephesians (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979), 167
digambarkan sebagai yang mulia. Kekudusan tempat tersebut tidak dapat
dipisahkan dari kekudusan Pribadi Allah sendiri. Orang yang masuk ke
dalamnya adalah orang yang sudah dikuduskan oleh Allah dan terus-
menerus hidup dalam kekudusan. Tempat tinggal Allah yang kudus tidak
mungkin didiami oleh manusia yang masih hidup dalam dosa (kegelapan).
Itulah sebabnya, kesadaran Timotius sebagai pribadi yang sudah
dikuduskan oleh Allah dan terus-menerus hidup dalam kekudusan adalah
mutlak. Sebagai pemimpin jemaat, Timotius juga penting untuk mendorong
jemaat Efesus sebagai pribadi-pribadi yang sudah dikuduskan untuk terus-
menerus hidup di dalam kekudusan sehingga layak untuk diam di kediaman
Allah yang Mahakudus. Dikuduskan dan hidup terus-menerus dalam
kekudusan merupakan satu paket kehidupan orang sudah diselamatkan.
Mengacu kepada kedaulatan Allah yang tidak dimiliki oleh manusia
manapun di dunia ini, Paulus berkata, bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang
kekal. Amin. Trebilco berpendapat bahwa selain keunikan Allah yang
nampak di dalam kedaulatan-Nya, doksologi juga disampaikan karena
kerelaan Allah mau menjalin komunikasi dengan manusia.96

Memberi Peringatan Kepada Orang-Orang Kaya (ay. 17-19)


Dalam ayat 17, istilah paranggelo (TB: peringatkanlah; NIV:
command) berasal dari preposisi para dan kata kerja anggelo. Preposisi
para mengekspresikan ide atau gagasan yang sangat dekat dengan suatu
kasus. Sedangkan kata anggelo berarti menyampaikan pesan. Paranggelo
memiliki makna orang yang menyampaikan suatu pesan karena ada kasus
yang terjadi. Paranggelo ini biasanya mengacu kepada perintah yang
diterima dari seorang atasan dan diteruskan kepada orang lain 97 atau dari
seorang raja kepada rakyatnya (1Sam 15:4; 23:8).
Orang-orang kaya dalam teks ini digunakan kata plousiois yang
berarti benda-benda (materi), sumber kekuasaan atau pengaruh (Why 5:12).
Berkenaan dengan kata plousiois ini, maka yang dimaksud dengan orang-
orang kaya yaitu tidak hanya kaya secara materi tetapi juga orang yang
memiliki kekuasaan atau pengaruh di dalam masyarakat atau dunia kerja
karena mencermati kota Efesus yang makmur sebagai kota perdagangan
sehingga ada kemungkinan bahwa jemaat Efesus juga ada yang kaya.

96
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
188
97
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1100
Inti atau tujuan dari peringatan tersebut yaitu jangan tinggi hati dan
jangan berharap kepada kekayaan. Istilah hupselophronein (tinggi hati)
mengandung arti terlalu bangga. 98 Nampaknya orang-orang kaya di Efesus
memiliki mental atau watak yang membanggkan kekayaannya. Ini nampak
dalam kasus Verb Present Active Infinitive yang digunakan yang berarti
terus-menerus tinggi hati. Kemudian dilanjutkan dengan kata “berharap”
menggunakan istilah helpikemai yang artinya berharap.99 Walaupun kedua
kata tersebut berbeda, namun spirit yang terkandung di dalamnya bahwa
kekayaan yang mereka miliki telah berurat akar (memiliki pengaruh yang
kuat) dalam hidup mereka sehingga kekayaan itu menjadi suatu andalan
atau hati dan pikiran pemiliknya telah melekat pada harta kekayaannya
(dikuasai oleh hartanya – terikat kepada mamon). Pfeiffer berpendapat
bahwa orang-orang kaya ini telah jatuh ke dalam dosa kesombongan. 100
Yang menjadi penekanan mengapa tidak boleh tinggi hati dan
berharap pada kekayaan karena merupakan sesuatu yang tidak tentu.
Kalimat tidak tentu ini mengandung arti tidak tetap/tidak kekal/ bersifat
sementara. Ini senada dengan apa yang tertulis dalam Matius 6:20 bahwa
harta kekayaan adalah benda yang dapat dirusak oleh ngengat dan karat
bahkan dapat dicuri orang lain. Fee menuliskan bahwa meletakkan
pengharapan dalam kekayaan yang tidak tentu adalah dicela oleh para nabi
(Yer 9:23) dan melihat kekayaan sebagai sesuatu yang melebihi yang lain
dapat menutup pintu kerajaan sorga sebagaimana yang dikatakan Tuhan
Yesus (Mrk 10:17-27; Luk 12:15-21).101
Setelah memberikan teguran kepada orang-orang kaya yang
sombong, Timotius memberikan arahan mengenai apa yang harus
dilakukan dengan kekayaan yang dimiliki. Dalam ayat 18 dilaporkan bahwa
orang-orang kaya tersebut haruslah berbuat baik yang diwujudnyatakan
dalam suka memberi dan membagi. Berbuat baik merupakan suatu tindakan
yang menguntungkan/ menyenangkan sesama. Berbuat baik merupakan
hasil dari karakter yang baik. Kata ini juga berhubungan dengan kebebasan
mengasihi yang diharapkan dari orang-orang kaya.102

98
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament
(Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1454
99
Ibid., 570
100
Charles F. Pfeiffer and Everet F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe (Malang:
Gandum Mas, 2001), 883
101
Gordon D. Fee, 1 and 2 Timothy, Titus (San Fransico: Harper & Row, 1984),
115
102
Gerhard Kittel and Gerhard Friederich (eds), Theological Dictionary of the
New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1985), 3
Suka membagi dan memberi merupakan dua kata yang sederajat.
Tindakan ini menunjukkan adanya ikatan persaudaraan dalam kehidupan
ke-Kristenan sebagai perwujudan iman seseorang kepada Kristus. Membagi
dan memberi juga merupakan ekspresi kehidupan yang bersosialisasi.
Orang-orang Kristen yang kaya memiliki tanggungjawab yang besar untuk
melakukan kebajikan. Adalah tepat apabila dikatakan bahwa orang yang
suka memberi dan membagi kekayaannya kepada orang lain yaitu orang
yang menggunakan kekayaannya dengan bijaksana. Lea menambahkan
bahwa Paulus menyarankan bahwa kekayaan yang sejati bergantung pada
apa yang kita beri, bukan apa yang kita miliki.103 Orang yang melakukan
kebajikan dapat disebut sebagai orang yang murah hati. Dalam Matius 5:7
dikatakan, “berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan
beroleh kemurahan.” Mazmur 23:6 berkata, “kebajikan dan kebenaran akan
mengikuti aku seumur hidupku.”
“Dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar
yang baik bagi dirinya diwaktu yang akan datang untuk mencapai hidup
yang sebenarnya” mengacu kepada ucapan Yesus dalam Matius 6:20 yaitu,
kumpulkanlah bagimu harta di surga. Harta yang dimaksud bukanlah harta
secara materi, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh Stott bahwa, he
used his influence in the present to secure his future, and Jesus commended
him for his prudence, thought not far his dishonesty.104 Tidak juga
dikatakan bahwa dengan perbuatan-perbuatan baik orang bisa memperoleh
hidup kekal. Manusia diselamatkan oleh karena kasih karunia Allah bukan
oleh perbuatan baik. Tetapi bagi Paulus iman bukan sekedar teoritis
melainkan suatu kebenaran yang dihayati dengan sikap hidup dan didukung
oleh perbuatan-perbuatannya.105 Paulus hendak mencegah orang-orang
Kristen yang kaya di Efesus supaya tidak terjerumus ke dalam dosa cinta
uang karena merupakan akar segala kejahatan dan potensi untuk
menyimpang dari iman sangat besar (1Tim 6:10). Orang yang sudah
diselamatkan harus nampak dalam perbuatan yang tidak berorientasi pada
harta kekayaan di dunia ini, melainkan harta surgawi yang berkualitas dan
tidak fana. Bukan berarti seseorang tidak boleh kaya, namun kekayaan yang
dimiliki tidak digunakan untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk
menyatakan kasih kepada sesama.

103
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2
Timothy Titus (Nashville; Broadman Press, 1992), 176
104
John R. W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity
Press, 1997), 162
105
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 68
Peliharalah Apa yang Dipercayakan (ay. 20-21)
Beberapa abad yang lalu pengajar-pengajar sesat yang dikenal
dengan Gnostik masuk dan menyesatkan beberapa jemaat Kristen. Para
pengajar Gnostik mengatakan bahwa keselamatan diperolah dengan
menguasai “pengetahuan” bahwa jiwa terpisah dari dunia. Dengan
demikian, Paulus memberikan dua perintah terakhir kepada Timotius.
Pertama, memelihara/menjaga apa yang telah dipercayakan kepadanya.
Kata deposit (paratheke) is a banking term denoting a sum deposited to the
responsibility of a bank (cf. the same word in 2 Tim. 1:12, 14). This also
included keeping his life pure and faithfully proclaiming the truth. Kedua,
berbalilk dari perkataan omong kosong dan menghindari ajaran sesat
mengenai intelektual yang baru. Ajaran Gnostik tersebut adalah ajaran yang
tidak berguna (sia-sia). Paulus tidak ingin Timotius membuang waktunya
untuk memikirkan ajaran tersebut (diabaikan saja). Diskusi yang dilakukan
mereka adalah diskusi omong kosong mengenai dongeng-dongeng, silsilah
dan asketisme. Pengajaran yang disampaikan Paulus adalah pengajaran
yang sejati.106 Adapun wujud dari apa yang dipercayakan kepada Timotius
yaitu Injil dan pemberitaannya serta pembinaan kepada jemaat untuk
menghayati imannya kepada Yesus, baik dalam ajaran maupun dalam
kelakuan. Timotius merupakan generasi penerus Paulus untuk menjaga
kemurnian Injil. Ilmu teologi memang berkewajiban menerapkan Injil
secara secara baru untuk tiap zaman. Tetapi sekalipun cara
pengungkapannya untuk tiap zaman dapat berubah, inti kebenaran Injil
harus senantiasa dijaga kemurniannya. Ajaran gnostik adalah ajaran yang
tidak suci, sekalipun mereka menggunakan kata-kata yang suci, namun
isinya melawan Injil. Ingatlah bahwa kekuatan Injil tidak terletak di dalam
kata-kata yang indah, melainkan di dalam kuasa Roh Kudus (bnd. 1Kor
2:4,5; 4:20).107
KESIMPULAN

Kendatipun Timotius masih muda dalam memimpin jemaat di


Efesus, namun Paulus tidak ragu akan hal itu. Bahkan Paulus menyebut
Timotius dengan sebutan “manusia Allah.” Sebutan tersebut merupakan

106
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2
Timothy Titus, (Nashville; Broadman Press, 1992), 176-177
107
R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1984), 68-69
gelar yang paling terhormat yang menyatakan akan kepemilikan Allah atas
dirinya. Gelar ini diberikan Paulus untuk membedakan Timotius dari
pengajar-pengajar palsu. Sebagai pribadi yang dimiliki Allah tidak bisa
dilepaskan dari pertobatan Timotius sebagai hasil pelayanan Paulus.
Sebagai milik Allah, Paulus memberikan rambu-rambu mengenai apa yang
tidak perlu dilakukan (dihindari) dan mana yang perlu dilakukan.
Bersilat kata, dengki, fitnah, curiga, percekcokan dan cinta uang
harus dijauhi karena akan menghancurkan reputasi Timotius dan
pelayanannya. Sebaliknya yang harus dilakukan dengan sekuat tenaga yaitu
hidup dalam keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan.
Hal-hal tersebut tidak hanya mencerminkan karakter Paulus tetapi juga
merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam memenuhi semuanya itu, Paulus
berkata bahwa hidup itu bagaikan pertandingan yang menuntut ketahanan,
bukan hanya fisik tetapi juga spiritual.
Dalam pertandingan tersebut Paulus berkata bahwa Timotius tidak
berjuang sendiri. Tuhan yang adalah Sumber hidup akan menopang dan
memberikan semangat kepada Timotius untuk dapat memenangkan
pertandingan. Oleh karena itu, tidak perlu bimbang dan ragu untuk
menyaksikan kebenaran kendatipun konsekuensi yang dihadapi tidaklah
mudah. Paulus memberikan referensi mengenai bagaimana Kristus berani
mengikrarkan ikrar yang benar di hadapan Pontius Pilatus yang adalah
petinggi Romawi pada waktu itu. Paulus mengarahkan pandangan Timotius
bukan kepada kesulitan pelayanan yang dialami tetapi kepada kemuliaan
yang sudah disediakan Allah baginya. Lakukanlah tugas panggilanmu,
jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan.
Demikian juga dalam relasi dengan jemaat-jemaat yang kaya,
jangan takut untuk berpesan kepada mereka supaya tidak sombong dan
mengandalkan kekayaan mereka melainkan hidup dalam kebajikan/
kemurahan hati. Kekayaan yang dimiliki sekarang adalah bersifat
sementara dimana ngengat dan karat dapat merusaknya dan pencuri dapat
mencurinya. Ingatlah harta surgawi yang tidak fana. Kualitas kekayaan
seseorang tidaklah bergantung pada seberapa banyak kekayaan yang dapat
ditimbun (dimiliki) melainkan pada apa yang dapat dia berikan. Orang kaya
yang hanya menimbun kekayaannya adalah orang kaya yang miskin. Tetapi
orang kaya yang kaya adalah orang yang dengan kekayaannya dapat
memperkaya orang lain (mendukung orang yang lemah dari segi finansial).
Orang kaya yang demikian adalah orang kaya yang menyenangkan hati
Tuhan.
Pada akhirnya, Timotius dituntut untuk memelihara apa yang telah
dia terima dari Paulus. Tidak perlu sibuk dengan perdebatan-perdebatan
yang sia-sia (dalam hal ini pengajaran gnostik) atau omong kosong yang
mengatasnamakan kebenaran sejati namun isinya penuh dengan racun.
KAJIAN TENTANG PERATURAN DAERAH (PERDA)
BERNUANSA AGAMA DAN MASA DEPAN
HARMONISASI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

I GUSTI NGURAH OKA

PENDAHULUAN

Keputusan politik pemerintah Indonesia dalam memberlakukan


Otonomi Daerah (Otda) yang dimulai sejak tahun 2001 telah
memungkinkan lahirnya produk-produk hukum lokal dengan nuansa
syariah Islam. Sebagian kalangan mengkhawatirkan munculnya Peraturan
Daerah, seperti tentang kewajiban mengenakan busana Muslim atau
kewajiban membaca Al-Qur'an, berpotensi membunuh keberagaman dan
bersifat diskriminatif. Namun beberapa penguasa daerah mengaku Perda-
perda itu mampu menekan angka kejahatan dan meningkatkan moralitas
Keinginan tersebut semakin kuat ketika secara yuridis formal
melalui undang-undang nomor 44 tahun 1999 dan undang-undang nomor
18 tahun 2001, pemerintah memperkenankan pelaksanaan syari’at Islam di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sikap ini kemudian dibalas
dengan Raperda berdasarkan Injil di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Di antara pasal-pasal yang kontroversial adalah Pasal 26 yang mengatur
bahwa “pemerintah dapat memasang simbol agama di tempat umum dan
perkantoran.” Pasal 30 melarang “pembangunan rumah ibadah agama lain
jika sudah ada Gereja.” Juga larangan penggunaan jilbab dan
mengumandangkan azan keras-keras.

POKOK PERMASALAHAN

Perda-perda bernuansa agama secara de facto telah diberlakukan di


58 kabupaten/kota. Jika isi dari Perda-perda tersebut kita cermati, maka
dapat memunculkan benih-benih perpecahan bangsa yang menjadi ancaman
bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendekatan
Perda-perda tersebut lebih bernuansa sektarian, tidak mengedepankan
pendekatan kebangsaan. Selain itu setiap Perda yang dibuat harus sesuai
dengan undang-undang di atasnya, yaitu harus bersifat Bhineka Tunggal
Ika, tidak memisah-misahkan agama, suku, ras, dan gender. Di samping itu
beberapa kebijakan yang tidak bisa diatur oleh peraturan daerah, mengenai
keamanan, tentang fiskal atau keuangan, tentang pelabuhan, dan tentang
agama yang merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun Perda-perda
itu justru mengatur hal-hal tersebut, misalnya soal agama.
Perda syariat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat
luas, para alim ulama, dan para pejabat pemerintah (eksekutif, legislatif,
yudikatif). Perda ini menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan
masyarakat luas, khususnya pada kelompok masyarakat minoritas dan
kelompok yang rentan terhadap dampak dari penerapan Perda tersebut
seperti golongan masyarakat miskin. Adanya golongan pro-kontra
mengindikasikan penyusunan Perda syariat belum melibatkan publik
seluas-luasnya. Sebagian orang menilai para pembuat Perda cenderung
bersikap arogan dan elitis (tertutup).
Pemerintah daerah semestinya berfungsi sebagai fasilitator dalam
pelayanan publik sehingga kepentingan publik harus lebih diutamakan.
Pemda dan DPRD dalam membuat Perda seharusnya mendengarkan
sebanyak mungkin aspirasi dan pendapat serta keinginan masyarakat.
Dengan melibatkan partisipasi publik ini, Perda-perda yang disusun ketika
disahkan tidak mengundang reaksi atau penolakan dari elemen masyarakat.
Di sini diperlukan kepekaan dalam mengakomodir aspirasi rakyat, sehingga
pada saat Perda diberlakukan tidak mendapat reaksi yang tajam dari
masyarakat. Beberapa pokok permasalahan Perda syariat yang diterapkan di
berbagai daerah, di antaranya sebagai berikut.

Segi Tertib Hukum di Indonesia


Perda syariat tidak sesuai dengan UU No. 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena dari segi penjaringan
aspirasi tidak utuh. Proses penjaringan mengandung “manipulasi” karena
mendatangkan orang luar untuk membawa aspirasi yang kemudian diklaim
sebagai aspirasi masyarakat. UU No. 10 secara jelas menyebutkan hirarki
peraturan berdasar UU itu. Perda jelas ada di bawah UU No.32/2004, yang
mengatakan bahwa masalah keagamaan adalah masalah pusat. Jika masalah
keagamaan diatur dalam Perda, berarti bisa diintepretasikan kewenangan
pusat diambil alih oleh daerah.

Segi Legal Drafting


Perda ini bersumber dari hukum Islam. Karena tidak ada dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-undang (UU) yang
menyebutkan Al-Quran dan Hadits menjadi pertimbangan Perda. Dengan
demikian Perda melecehkan Al-Quran dan Hadits, karena sesungguhnya
Perda ada di hirarki peraturan paling bawah menurut UU No. 10/2004.
Apalagi, Perda sejenis hanya menyalin dari daerah lain dan hanya diganti
judulnya.

Segi Moral-Politis
Pembuatan Perda syariat terkesan hanya untuk menarik simpati
masyarakat menjelang pilkada. Karena dari segi substansi, jelas tidak
signifikan di dalam masyarakat Indonesia yang kenyataannya beragam,
tidak prioritas dan sangat prosedural. Seperti Propinsi Kalimantan Selatan
yang membuat Perda Jumat Khusu’, Raperda Larangan Mandi di Sungai
dan Perda Ramadhan, lain halnya jika Perda ditujukan untuk memberantas
korupsi pejabat yang tentu lebih bernuansa syariat, menyeluruh dan
mendesak.

Segi Stabilitas Keamanan


Perda syariat jika tidak disosialisasikan secara transparan dapat
memperuncing perbedaan pandangan atau persepsi masyarakat, khususnya
pada kelompok pro-kontra serta menimbulkan kecurigaan di antara dua
kelompok tersebut dengan berbagai tuduhan motif yang melatarbelakangi.

Segi Rasa Keadilan Masyarakat


Perda syariat bila dalam implementasinya tidak mengakomodir
suara-suara dari kelompok yang merasa dirugikan atau mencari solusi
secara komprehensif, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak
negatif dan merugikan kehidupan dan penghidupan kelompok-kelompok
tertentu, seperti: kaum perempuan, para pelajar, pegawai atau karyawan,
serta kelompok-kelompok yang rentan secara ekonomis.

PENGERTIAN PERDA BERNUANSA AGAMA


Secara umum Perda bernuansa agama dapat dipahami dalam
beberapa pengertian sebagai berikut.
Pertama, peraturan daerah yang diberlakukan khusus untuk agama
tertentu saja, misalnya untuk umat Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau
Kong Hu Chu.
Kedua, peraturan daerah yang bersifat eksklusif yang merupakan
peraturan yang cenderung kepada aturan salah satu agama saja.
Ketiga, segala Perda yang berkaitan dengan ajaran agama. Misalkan
agama Islam melarang pelacuran maka segala Perda yang melarang
pelacuran adalah Perda syariat. Karena agama Kristen mengajarkan
monogami tulen, maka setiap Perda yang menyuruh pegawai negeri untuk
hanya mempunyai satu istri saja adalah Perda bernuansa syariat Kristen.
Keempat, segala Peraturan Daerah yang disepakati antar ulama
(Islam) dan umara dengan DPRD setempat yang menjurus kepada
mayoritas, bukan partai.
Kelima, segala Peraturan Daerah yang diajukan oleh partai
berasaskan Pancasila (seperti Golkar) tetapi mayoritasnya muslim
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perda
bernuansa agama adalah Peraturan Daerah yang isinya cenderung
memberlakukan aturan-aturan yang berasal dari ajaran salah satu agama
tertentu.

PERDA BENUANSA AGAMA DITINJAU DARI


PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

Ratifikasi Perda bernuansa agama di sejumlah daerah menjadi


sorotan publik karena tidak menyentuh masalah yang substansial, tapi lebih
bersifat simbolistik. Perda ini dianggap bertentangan dengan sistem Hukum
Nasional. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sudah
diatur peraturan mengenai pelacuran, minuman keras dan perjudian,
sehingga Perda bernuansa agama dipandang hanya pengulangan yang tidak
perlu dari KUHP.
Di tingkat nasional, argumen yang sering dikemukakan para
pembela syariat adalah bahwa hukum nasional kita merupakan warisan
penjajah sehingga perlu diganti dengan hukum yang lebih berakar pada
nilai-nilai Islami. Tidak dipungkiri bahwa KUHP kita adalah warisan
kolonial Belanda, dan banyak titik lemah dalam hukum nasional kita,
termasuk KUHP-nya. Maka sejak tahun 1980-an dibentuk badan untuk
melakukan revisi KUHP tersebut. Namun peraturan undang-undang yang
berlaku adalah selama hukum yang baru belum jadi dan belum
diberlakukan, maka peraturan yang lama tetap berlaku secara sah.
Perlu dipahami bahwa konstitusi, hukum nasional, maupun Perda
tidak boleh didasarkan pada nilai-nilai komunal yang tunggal. Hukum
seharusnya dibangun di atas semua sendi kemajemukan bangsa yang
mengedepankan nilai keadilan sosial. Jika proses lahirnya Perda syariat
sesuai dengan koridor dan prosedural demokrasi di Indonesia karena
diputuskan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat, namun dalam UUD’ 45
bahkan setelah diamandemen, telah menegaskan bahwa Pembukaan UUD’
45, di mana Pancasila termaktub di dalamnya tidak akan dirubah. Artinya,
seharusnya proses demokrasi yang berlangsung di tingkat DPRD harus juga
taat dengan asas dan konstitusi Indonesia. Tetapi, dalam konteks kelahiran
Perda syariat, nampaknya hal ini diabaikan. Adalah tugas negara untuk
meluruskan kekeliruan ini, sesuai dengan amandemen UUD’ 45 pasal 24a,
soal MA melakukan judicial review terhadap perundangan di bawah UU.
Atau, juga sesuai UU No 32/2004 mengenai pemerintah daerah, pasal 145,
Departemen Dalam Negeri juga punya kewenangan menguji Perda
(executive review). Bunyi pasal itu adalah: “Pemerintah (DEPDAGRI)
dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan perundangan yang lebih tinggi.”
Nampaknya, kehadiran Perda syariat, pada satu sisi merefleksikan
kegagalan pemerintah dalam mengimplementasi hukum di Indonesia.
Kegagalan ini berdampak pada sisi lain, di mana kemudian banyak orang
merasa berhak untuk membuat atau mencari aturan alternatif karena
menunjuk ketidakmampuan hukum dalam mengatasi banyak persoalan.
Meskipun sebenarnya, kegagalan lebih pada aparat pelaksananya, bukannya
pada hukum itu sendiri. Karena itu, Perda syariat lebih banyak
merefleksikan kegagalan negara dalam penegakkan hukum.

MAYORITAS MASYARAKAT INDONESIA MASIH


MENGIDEALKAN PANCASILA

Mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih penerapan hukum


nasional dibandingkan aturan hukum yang mengacu pada suatu ajaran
agama tertentu. Sebagai contoh, mayoritas masyarakat Islam sendiri lebih
memilih penerapan hukum nasional dibanding aturan hukum lain, seperti
peraturan daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. 1 Contohnya survei yang

1
Paparan 'Respon Publik Atas Perda Bernuansa Syariat Islam' di Jakarta, oleh
Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.
dilakukan oleh LSI (Lembaga Survei Indonesia) 2 di 33 provinsi pada
tanggal 28 Juli s.d. 3 Agustus 2006, mencatat 66,7% responden lebih
mengidealkan Pancasila daripada sistem ideologi ketatanegaraan lain
(Demokrasi Barat atau Negara Islam Timur Tengah). Pasalnya, Pancasila
terbukti berhasil menjadi ideologi di tengah keberagaman yang ada, baik
dari sisi adat, agama, suku, dan sebagainya. Dalam paparannya, dari 700
orang sebagai sampel survei, 64,3% responden menyatakan hukum nasional
sebaiknya tetap diterapkan di Indonesia karena menjamin adanya
keberagaman. Hal ini diperkuat oleh temuan di mana responden yang
beragama Islam sendiri (61,7%) lebih memilih hukum nasional.
Mayoritas muslim Indonesia sejak lama lebih berorientasi pada
keberagaman dan kebangsaan. Dalam tiga kali pemilu bebas (1955, 1999,
2004), partai yang menang adalah yang berbasis kebangsaan. Apalagi dua
ormas Islam besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), sejak awal
telah menyatakan Pancasila sebagai dasar Negara. Mayoritas responden
sebanyak 61,4% menyatakan kekhawatirannya bahwa Perda yang
bernuansa syariat agama dapat mendorong perpecahan. Dan terdapat 59,7%
responden yang beragama Islam juga menyatakan kekhawatiran yang sama.
Hasil survei ini memperkuat dugaan bahwa mayoritas muslim Indonesia
memang moderat, berbeda dengan mayoritas muslim di Timur Tengah.
Negara ini selalu dipimpin oleh presiden yang memiliki komitmen yang
kuat dengan keberagaman, yang disimbolkan oleh Pancasila.
Mayoritas Muslim Indonesia lebih memilih bersikap moderat lebih
disebabkan oleh penetrasi panjang dan masif atas asas tunggal Pancasila di
masa orde baru. Selain itu, pemihakan oleh Muhamadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU) berpihak pada Pancasila. Tokoh intelektual Islam seperti
Abdurrachman Wahid (alm.) dan Nurcholis Madjid (alm.) yang moderat
juga mendukungnya.
Responden lebih memilih penegakkan hukum yang ada dibanding
membuat Perda berdasarkan syariat Islam. Aturan hukum yang diatur oleh
KUHP juga sudah mengatur soal anti kemaksiatan. 61,4% responden justru
sangat khawatir jika Perda bernuansa syariat diberlakukan.

ARGUMEN PRO – KONTRA TERHADAP PERDA SYARIAH

2
Suara Merdeka Cybernews, 24 Agustus 2006 dengan topik : Masyarakat pilih
hukum Nasional.
Bagi pihak yang menolak diberlakukannya Perda syariah memiliki
sejumlah argumentasi berikut.

Perda Syariah Dapat Menggeser Ideologi Pancasila


Perda-perda bernuansa agama dianggap sebagai bentuk gerilya lain
dari kelompok Islam fundamental yang ingin menegakkan syariat Islam di
Indonesia. Setelah gagal mengubah Dasar Negara dari Pancasila versi
Pembukaan UUD tanggal 18 Agustus 1945 ke Pancasila versi Piagam
Jakarta, kalangan gerakan Islam Politik berjuang membuat Perda-perda
syariat.

Mengancam Integrasi Bangsa


Peraturan Daerah bernuansa primordial keagamaan dapat
mengancam pluralitas masyarakat Indonesia, meresahkan dan dapat
mengancam integrasi bangsa.

Bertentangan Dengan Konstitusi Negara


Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun
bangunan hukum di Indonesia adalah negara Pancasila. Jika Perda syariat
diterapkan akan bertentangan dengan konstitusi negara. Karena dalam
negara Pancasila tidak bisa memuat ketentuan atau menjadikan hukum
agama menjadi hukum negara yang diangkat melalui Perda. 3

Tidak Bisa Menjawab Persoalan Substansi Bangsa


Ada realitas sosial di balik pemberlakukan Perda syariat Islam di
berbagai daerah. Ternyata Perda syariat tidak dapat menjawab berbagai
persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan,
dan korupsi yang merajalela. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut
cenderung menghukum para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil)
seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Perda syariat tidak punya
taring menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat
HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi

3
Pendapat Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Indonesia Bivitri Susanti dan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi (MK) Refly Harun.
pendukung Perda syariat. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya,
hanya mampu menghukum pencuri, penjudi dan penzinah kelas kecil.

Kebenaran Moral Dipegang Hanya Oleh Kelompok Tertentu


Perda syariat juga memiliki dimensi pembalikan terhadap nilai
moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para
pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang
dekat dengan kekuasaan.

Masyarakat Mengalami Tekanan Politik


Perda syariat secara realitas, seperti tampak dan dirasakan
masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada
masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak.
Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral
syariat agama.

Tidak Memberdayakan Masyarakat


Perda syariat boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan
penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite
politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang
mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan
hak rakyat, dan prestasi IPTEK-nya sangat rendah. Afghanistan, Somalia,
dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang
menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam,
Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam
ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang
menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih
maju.

Bertentangan Dengan Birokrasi Modern


Perda berbasis syariat tidak memiliki paradigma birokrasi modern.
Birokrasi pemerintahan yang modern seharusnya lebih berfungsi sebagai
katalis yang tidak perlu mengatur bidang-bidang yang seharusnya dapat
dikerjakan sendiri oleh masyarakat. Birokrasi seharusnya memberdayakan
masyarakat agar tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah, bukan
sebaliknya mempersulit masyarakat dengan atural detail.
Sementara pihak lain yang setuju adanya Perda Syariah
beragumentasi sebagai berikut.

Perda Syariah Bukanlah Gerakan Islamisasi


Telah banyak undang-undang yang diambil dari hukum Islam,
misalnya: undang-undang perkawinan, undang-undang mengenai zakat,
undang-undang tentang bank syariah, dan sebagainya. Namun demikian
tidak bisa dikatakan telah terjadi Islamisasi di Indonesia.

Mencegah kerusakan moral dalam masyarakat


Masyarakat seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan akan
terjadinya desintegrasi bangsa, karena Rancangan Undang-Undang Anti
Pelacuran dan Perjudian (RUU APP) telah mengakomodasi seni tradisional
dan budaya daerah. RUU APP justru diperlukan untuk melindungi bangsa
ini, terutama generasi muda, dari berbagai kerusakan moral akibat pengaruh
pornografi dan pornoaksi yang kini merebak di mana-mana. Adanya Perda
tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit
masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh
masyarakat kecil.

Agama Lain Juga Melawan Hal yang Sama


Materi yang diatur mengenai minuman keras, kemaksiatan dan
pelacuran yang coba diatasi melalui Perda syariat juga adalah sesuatu yang
sama harus dilawan oleh agama-agama non-Muslim lainnya.

Kelahirannya Prosedural dan Demokratis


Proses dilahirkannya Perda syariat berlangsung secara prosedural
dan demokratis, dan bersesuaian dengan mekanisme kerja DPRD
Kabupaten dan kota.
PENDEKATAN SOSIOLOGIS HARMONISASI
UMAT BERAGAMA

Pendekatan sosiologis diperlukan dalam upaya menciptakan


harmonisasi antar umat beragama di Indonesia. Beberapa pendekatan
sosiologis yang dapat dilakukan seperti di bawah ini.

Tri-Kerukunan Umat Beragama


Frasa “kerukunan hidup” bagi umat beragama mencakup hubungan
dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan sesama
manusia dan hubungan dengan lingkungan alam sekitar. Secara garis besar
terdapat dua macam hubungan sosial keagamaan yaitu hubungan intern
umat beragama dan hubungan antar umat beragama. Perilaku menyangkut
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri serta hubungan
dengan alam sekitar dinamakan sebagai “hubungan non-sosial.” Bagi umat
beragama yang sungguh-sungguh dalam keberagamannya, seluruh
hubungan dimaksud bersifat utuh terpadu (integrated), mengacu kepada
ajaran agama yang dianut.
Konsep Tri-Kerukunan umat beragama pernah dirumuskan dan
ditetapkan pada masa pemerintahan Orde Baru dengan melibatkan semua
tokoh agama. Keberhasilan Orde baru dalam menciptakan kerukunan umat
beragama tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politis penguasa saat itu,
yakni terciptanya stabilitas Nasional demi berlangsungnya proses
pembangunan nasional yang lebih menekankan pendekatan keamanan
(security approach). Orde baru mengembangkan konsep Tri-Kerukunan
yang mencakup Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antar umat
beragama, dan Kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah.
Apabila dicermati lebih dalam konsep “Kerukunan antara umat beragama
dengan Pemerintah” mengandung penyimpangan logis, sebab Pemerintah
mengandung konsep yang tumpang tindih dengan “umat beragama.”
Penerapan konsep ini pada masa yang lalu juga bermasalah, karena
memposisikan Pemerintah sebagai “pembina” umat beragama, dan umat
beragama sebagai “yang dibina.” Maka terjadilah pola pembinaan
kerukunan hidup umat beragama yang bersifat top-down (dari atas ke
bawah), yang hasilnya kurang mencapai harapan.
Penjelasan tentang ruang lingkup di atas adalah sesuai dengan
definisi yang dikemukakan oleh Departemen Agama RI sebagai berikut:
“Kerukunan hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup rukun yaitu hidup
dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati dan
bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat
dalam satu agama.”4 Namun agar terhindar dari masalah “pencampuran
agama” (sinkretisme) yang melanggar ajaran agama yang diyakini suci dan
absolut oleh masing-masing pemeluknya, maka perlu ditegaskan bahwa
konsep kerukunan dimaksud tidak menyangkut aspek iman (kepercayaan)
dan ibadah (ritual), yang diatur secara khusus dalam masing-masing agama,
melainkan menyangkut aspek hubungan sosial-kemanusiaan. Jadi tidak
boleh terjadi kesepakatan untuk mencampurkan iman dan mencampurkan
ibadah, di antara satu agama dengan agama lainnya.
Beberapa faktor pemicu yang dapat menimbulkan konflik antar
agama yang patut diwaspadai adalah: menghakimi agama lain dalam
derajad keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri; konsep kebenaran
dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan dipakai
sebagai alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan; klaim kebenaran
(truth claim) dan watak misioner setiap agama. Karena itu perlu pengkajian
ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama yang selama ini
diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal dari
kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi harus menjadi motivator
bagi terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. 5
Tujuannya adalah agar umat beragama memperoleh pemahaman dan
wawasan yang luas dan cerah tentang kerukunan hidup umat beragama
sehingga tumbuh dan berkembang penghayatan dan penyikapan yang
positif untuk hidup rukun sesama umat beragama. Selanjutnya diharapkan
muncul dan berkembang pula kegiatan dan kerjasama konkrit dalam rangka
kerukunan hidup umat beragama.

Dialog Antaragama
Secara resmi semangat dialog kerukunan beragama dirintis oleh
Menteri Agama RI, yaitu H.A. Mukti Ali yang menjabat menteri pada
tahun 1971-1978. Sebagai seorang pakar yang mempelajari Perbandingan
Agama di Pakistan, Mukti Ali mencanangkan dialog sebagai bagian
kebijakannya pada tahun 1972. Rintisan ini tidaklah mudah karena banyak
yang menolak, tetapi tidak dapat disangkal bahwa usaha Menteri Agama
kala itu disambut tokoh-tokoh agama dan sudah meletakkan dasar yang

4
Lih. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan hidup Umat
Beragama, Departemen Agama RI, Edisi Keenam (Jakarta, 1997/1998), 6
5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),
175
baik bagi usaha kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Namun usaha
itu agak tidak mulus di bawah penggantinya Alamsyah Ratu Prawiranegara.
Usaha itu agak terganggu dengan dikeluarkannya dua Keputusan Menteri
Agama: Kepmenag no.70/1978 tentang “Pedoman Penyiaran Agama” dan
Kepmenag no. 78/1978 tentang “Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia.” Kedua Kepmenag yang agak membatasi agama
Kristen ini kemudian diperbaharui dalam: Kepmenag & Mendagri no.1/
1979 tentang “Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar
Negeri.”
Sekalipun demikian dua tahun kemudian diterbitkan Kepmenag
no.35/1980 tentang '”Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” dan
sejak itu berbagai pertemuan antar umat beragama diadakan lebih sering.
H.A. Mukti Ali menyebut “Dialog antar-umat beragama adalah pertemuan
hati dan pikiran antara pelbagai macam agama merupakan komunikasi
antara dua atau lebih orang yang beragama dalam tingkatan agamis. Dialog
merupakan jalan bersama menuju ke arah kebenaran.” Mukti Ali menyebut
bahwa ada beberapa bentuk dialog yang bisa ditempuh, sebagai berikut.
Pertama, Dialog Kehidupan, yang ditunjukkan melalui kehidupan
keseharian yang bisa dilihat oleh pemeluk agama lain.
Kedua, Dialog Kerja Sosial, melalui kerjasama dalam berbagai
program kerja/aksi sosial demi kesejahteraan rakyat banyak.
Ketiga, Dialog Antar-Monastik, melalui komunikasi pengamalan
agama, saling berkunjung atau belajar di asrama sekolah agama yang lain.
Keempat, Dialog untuk Doa Bersama, melalui pertemuan doa
bersama di mana masing-masing pemeluk agama berdoa sesuai keyakinan
masing-masing.
Kelima, Dialog Diskusi Teologis, melalui pertemuan/seminar antar
para tokoh agama membicarakan beberapa aspek dari agama masing-
masing.
Dialog antar umat beragama sangat diperlukan dalam konteks
Indonesia yang bersifat plural untuk meminimalisir konflik agama-agama
maupun antar pemeluk seagama. Dalam dialog antar agama, maka ada
kebebasan hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinannya dan
menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar agama adalah
pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan
mencapai kebenaran dan kerjasama dalam masalah-masalah yang dihadapi
bersama.
Menurut Ignas Kleden, dialog antar agama tampaknya hanya bisa
dimulai dengan adanya keterbukaan suatu agama terhadap agama lainnya.
Keterbukaan ini bisa dilihat dari beberapa sisi. Pertama, segi-segi mana
dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang
lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolelir, dan juga dalam
modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Kedua,
bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok
orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain. 6
Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non-diskriminatif,
yang memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam
masyarakat tanpa memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup
bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama yang
lebih baik, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap
orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah pemikiran yang
mengakomodasi, memberi tempat, menghargai kelompok lain dan sebab itu
jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan.
Pengembangan sikap inklusif sama sekali tidak berarti dan tidak boleh
memperlemah iman dan atau mengingkari nilai eksklusif dan spesifik yang
ada dalam setiap agama. Pengembangan sikap inklusif di kalangan umat
Kristen perlu dilakukan secara terarah, berkesinambungan dan mencakup
seluruh lapisan umat. Dalam konteks ini problem dan kendala yang amat
jelas dihadapi adalah: keragaman denominasi, keragaman latar belakang
pendidikan, persepsi teologis yang tidak sama, pola pembinaan umat
beragama yang belum merata, dan persepsi tentang kerukunan.

Kerjasama Antar Lembaga Agama


Pada tanggal 22-24 Agustus 2006, para tokoh agama se-Indonesia
berkumpul pada Kongres I Pemuka Agama yang diprakarsai oleh
Departemen Agama guna mendiskusikan berbagai persoalan umat
beragama. Kongres dibuka oleh Menko Kesra saat itu, Aburizal Bakri, di
Hotel Acacia, Jakarta, dan diikuti 225 orang pemuka agama seluruh
Indonesia, terdiri dari: Utusan Provinsi, masing-masing 6 orang berupa
wakil dari majelis-majelis Agama tingkat pusat dan propinsi (MUI, PGI,
KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN) atau Ormas Keagamaan dan Kepala
Kanwil Agama setempat.
Tiga Agenda Kongres yang bertema “Membangun Kerjasama,
Mengatasi Berbagai Problema, Meningkatkan Kontribusi umat Bagi
Kemajuan Bangsa,” antara lain membahas 3 agenda: Pertama, merancang
keberagaman umat ke depan supaya beragama secara dewasa; Kedua,
Pancasila sebagai etika bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

6
Kahmad, Sosiologi Agama..., 178
Ketiga, merumuskan aksi bersama umat beragama menghadapi tantangan
global dan tantangan internal bangsa.
Keinginan untuk menyelenggarakan kongres ini didasarkan pada
pemikiran, bahwa umat beragama dewasa ini tengah dihadapkan pada
berbagai persoalan yang menyangkut isu-isu global yang turut
mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan masyarakat di tingkat
lokal. Pengaruh tersebut pada tingkat tertentu dapat dilihat sebagai problem
kultural dan sosial, persoalan hak asasi manusia (HAM), harmonisasi
sosial, demokrasi beragama dan tidak kalah pentingnya adalah persoalan-
persoalan yang menyangkut absolutisme dan relativisme pada tingkat
kesadaran teologis umat beragama yang sedikitnya turut mempengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam melakukan pelayanan terhadap para
penganut agama-agama.
Para tokoh berbagai agama yang tergabung dalam Kongres I ini
menyerukan pentingnya revitalisasi peran ideologi Pancasila dalam
membina kerukunan hidup bermasyarakat karena berbagai konflik suku,
agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang terjadi selama ini ditengarai
sebagai dampak dari merosotnya penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam
masyarakat. Saat menyampaikan sambutan pada penutupan kongres,
Menteri Agama saat itu, Maftuh Basyuni menegaskan kembali posisi
Pancasila sebagai dasar negara. “Pancasila harus menjadi acuan dari
seluruh sistem hukum dan sistem politik negara.”
Kongres ini menghasilkan tiga rekomendasi, yaitu: Pertama, negara
diminta menjamin kebebasan beribadah dan mendorong peningkatan
penghayatan serta pengamalan nilai agama yang dianut oleh masing-masing
pemeluknya. Kedua, perlu ada rencana aksi sebagai tindak lanjut kongres
tokoh agama. Ketiga, memberdayakan forum kerukunan umat beragama
(FKUB) dalam meningkatkan kesejahteraan dan kerukunan umat beragama.
Kerjasama antar lembaga-lembaga keagamaan sangat diperlukan
dalam konteks saling menghargai dan saling melengkapi, demi kemajuan
bersama. Ada banyak kegiatan yang sebenarnya dapat dilakukan bersama
antara lembaga-lembaga keagamaan demi meningkatkan suasana
kehidupan keagamaan yang kondusif bagi pembinaan kerukunan intern dan
antarumat beragama di Indonesia, antara lain: Melakukan forum dialog dan
temu ilmiah, Membuka sekretariat bersama antar umat beragama di seluruh
propinsi, Melakukan silaturahmi/safari kerukunan umat beragama baik
nasional maupun di tingkat daerah/regional, Membentuk forum komunikasi
kerukunan antar umat beragama di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan, Melanjutkan pembentukan jaringan komunikasi kerukunan
antar umat beragama dan meningkatkan peran jaringan kerjasama antar
umat beragama, Melakukan rekonsiliasi tokoh-tokoh agama di daerah pasca
konflik, Menyediakan data kerukunan umat beragama, Pembinaan umat
beragama di daerah pasca konflik, Sosialisasi wawasan multikultural bagi
umat beragama, Pengembangan wawasan multikultural bagi guru-guru
agama, Meningkatkan potensi kerukunan hidup umat beragama melalui
pemanfaatan budaya setempat dan partisipasi masyarakat, Mendorong
tumbuh kembangnya wadah-wadah kerukunan sebagai penggerak
pembangunan, Melakukan silaturahmi antara pemuda agama dan
cendekiawan agama serta tokoh agama, Menyelenggarakan lomba kegiatan
keagamaan bernuansa kerukunan di daerah potensi konflik, Meningkatkan
kualitas tenaga penyuluh kerukunan umat beragama.

MASA DEPAN HARMONISASI UMAT BERAGAMA


DI INDONESIA

Masyarakat majemuk (plural) dapat dipahami sebagai masyarakat


yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku,
bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat
bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan
yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok
atau bergabung dengan kelompok tertentu.
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling
percaya antara sesama (social-trust). Hal itu merupakan prasyarat untuk
terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat, yaitu masyarakat
yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif,
menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa
sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta
kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran,
niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak
sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk maksud tersebut
diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama.
Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan
martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah
budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan
kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa
mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama
beradab dan bermartabat.
Diperlukan pula kesadaran mendalam ke arah revitalisasi dan
reaktualisasi pemberdayaan agama sebagai standard moral bagi umat
beragama, bukan sekedar simbol identitas tanpa makna substansial. Di sisi
lain, dunia saat ini tengah membangun peradaban multikulturalis yang
menerima realitas pluralitas agama dan budaya sebagai kesadaran global
untuk menghadapi problematika universal yang tidak bisa ditanggulangi
secara komunal parsial. Konstruksi ini meniscayakan harmonisasi,
sinergisitas, dan integralitas antar umat beragama. Elit agama harus
mentransformasikan paradigma ini kepada masing-masing komunitasnya,
serta tidak dinodai semangat penyebaran agama yang agresif dan ekspansif.
Para tokoh nasional khususnya tokoh agama dituntut mampu
memberi jalan keluar bagi persoalan umat beragama. Semua upaya itu akan
berarti jika para elit politik maupun elit agama memberi contoh sikap hidup
yang harmonis. Keteladanan para pemimpin akan memberi pengaruh yang
berarti bagi masyarakat di tingkat akar rumput. Sebab, konflik yang selama
ini terjadi di antara warga daerah sebagiannya lebih banyak dipicu oleh
perilaku elit di tingkat pusat. Mereka yang menjadi korban hanyalah tumbal
dari provokasi elit.
Untuk masa depan harmonisasi umat beragama di Indonesia perlu
dikembangkan pemahaman pluralisme bangsa sebagai upaya untuk
membangun tidak saja kesadaran normatif teologis, tetapi juga kesadaran
sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi
agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Karena itu,
pluralisme bukanlah konsep teologis semata, melainkan juga konsep
sosiologis. Franz Magnis Suseno memberikan catatan yang patut dikaji oleh
masyarakat agama-agama, bahwa tantangan agama-agama di masa
mendatang adalah merebaknya konflik, baik antar-umat agama maupun
inter-umat agama itu sendiri. Di sinilah arti penting pluralisme sebagai
jembatan untuk meminimalisasi dan mengakhiri konflik tersebut. Maka,
kita perlu mengubah kerangka berpikir (mindset) yang masih keliru. Kita
perlu belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran,
baik dengan sesama muslim maupun non-muslim.
Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa
dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan
multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan adalah media
yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Untuk itu,
diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengubah paradigma pendidikan
yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan
inklusif. Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran
agamanya sendiri mau tidak mau harus ‘dibongkar ulang.’ Sebab cara
pemahaman teologi yang ekslusif dan intoleran pada gilirannya akan dapat
merusak harmonisasi agama-agama dan menghilangkan sikap untuk saling
menghargai kebenaran dari agama lain. Pluralisme adalah simbol bagi
suksesnya kehidupan masyarakat majemuk.
Menganggap agama yang satu lebih baik dari agama lain adalah
ofensif, berpandangan sempit. Saat ini masih belum banyak dijumpai buku-
buku agama mengenai pluralisme. Penulisan ulang buku agama dan
memasukkannya dalam kurikulum berbasis pluralisme harus sering
dilakukan. Untuk selanjutnya, dapat dipakai buku ajar dan menjadi panduan
guru-guru.
Untuk menghadapi realitas dunia yang plural ini, umat beragama
dituntut untuk mampu menempatkan diri dan memahami konteks
pluralisme yang dilandasi semangat saling menghormati dan menghargai
keberadaan umat beragama lain. Karena itu, ada beberapa pengertian
pluralisme yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama.
Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah “keterlibatan aktif”
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama
adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja untuk mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami
perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan.
Kedua, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu
agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen
ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru
tersebut.
Pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, pluralisme lebih
dari sekadar majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada
kemajemukan tadi. Pluralisme lebih dari sekadar toleransi dengan usaha
yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti
merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak
mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain.
Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, tetapi tidak untuk
memahami. Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang stereotip dan
kekhawatiran yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama
mengenai orang lain. Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah
masyarakat yang kompleks secara religius. Pluralisme harus berkembang
melebihi toleransi untuk mencapai pemahaman yang konstruktif. Namun,
tidak sekadar berhenti pada wacana pentingnya pluralisme dan
multikulturalisme, tetapi lebih diwujudkan pada tataran praksis melalui
jalur pendidikan dan pelatihan-pelatihan bersama dengan melibatkan
berbagai komunitas lintas agama dan etnis untuk saling mengenal,
memahami, dan membangun sikap saling menghargai berdasarkan
pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.

PENUTUP

Kehadiran Perda syariat, pada satu sisi merefleksikan kegagalan


pemerintah dalam mengimplementasi hukum di Indonesia. Kegagalan ini
berdampak pada sisi lain, di mana kemudian banyak orang merasa berhak
untuk membuat atau mencari aturan alternatif karena menunjuk
ketidakmampuan hukum dalam mengatasi berbagai persoalan.
Untuk itu saat ini perlu dikaji ulang konsep kerukunan antar umat
beragama tidak hanya sebagai bungkus formal semata, tetapi menjadi
pemicu dan pemacu terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di
Indonesia. Tujuannya agar umat beragama memperoleh pemahaman dan
wawasan yang luas dan cerah tentang kerukunan hidup umat beragama
sehingga tumbuh dan berkembang penghayatan dan penyikapan yang
positif untuk hidup rukun sesama umat beragama.

Anda mungkin juga menyukai