Keperawatan Gerontik
OLEH:
ENDAH CAHYANINGSIH
NIRM:
18020
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP DASAR LANSIA
1. DEFINISI
Lansia atau menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang menyebabkan penyakit degenerative misal,
hipertensi, arterioklerosis, diabetes mellitus dan kanker (Nurrahmani,
2012).
WHO dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan
lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun
adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang
komulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar yang berakhir dengan
kematian (Nugroho, 2008).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup,
tidak hanya dimulai dari suatu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan (Kushariyadi, 2010).
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Reny Yuli,
2014).
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit,
namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan
untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
2. BATASAN LANSIA
Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) lanjut
usia meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly), kelompok 60-74 tahun
c. Lanjut usia (old), kelompok usia 74-90 tahun
d. Lanjut sangat tua (very old), kelompok usia >90 tahun
Masa bayi (0-1 tahun), masa prasekolah (1-6 tahun), masa sekolah (6-
10 tahun), masa pubertas (10-20 tahun), masa dewasa (20-40 tahun),
masa setengah umur (40-65 tahun), masa lanjut usia (65 tahun ke atas).
d. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikologi UI) terdapat empat fase yaitu:
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahunn, kedua (fase virilities) ialah
40-55tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia.
e. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia
(geriatric age):
> 65 tahun atau 70 tahun, masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old
(75-80 tahun), dan very old (> 80 tahun).
3. KLASIFIKASI LANSIA
Depkes RI (2003) mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut;
a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berada pada usia antara 45-59
tahun.
b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun lebih
c. Lansia yang beresiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih atau seseorang lansia yang berusia 60 tahun atau lebih yang
memiliki masalah kesehatan.
d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau
melakukan kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa
e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya atau tidak bisa
mencari nafkah sehingga dalam kehidupannya bergantung pada orang
lain.
4. TIPE- TIPE LANJUT USIA
B. HIPERTENSI
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada lanjut usia dikarenakan terjadinya perubahan
perubahan pada; elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal
dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, sehingga kontraksi dan
volumenya pun ikut menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah
karena kurang efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigen,
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Brunner & Suddarth,
2000).
Meskipun hipertensi primer belum diketahui pasti penyebabnya, namun
beberapa data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering
menyebabkan hipertensi, yaitu:
1. Faktor Keturunan
Jika seseorang memiliki orang-tua atau saudara yang memiliki tekanan
darah tinggi, maka kemungkinan ia menderita tekanan darah tinggi
lebih besar. Statistik menunjukkan bahwa masalah tekanan darah
tinggi lebih tinggi pada kembar identik daripada yang kembar tidak
identik. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada bukti gen yang
diturunkan untuk masalah tekanan darah tinggi. Faktor genetik
tampaknya bersifat mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang
berperan pada pengaturan tekanan darah.
2. Ciri Perseorangan
Usia; penelitian menunjukkan bahwa seraya usia seseorang bertambah,
tekanan darah pun akan meningkat. Anda tidak dapat mengharapkan
bahwa tekanan darah anda saat muda akan sama ketika anda
bertambah tua. Namun anda dapat mengendalikan agar jangan
melewati batas atas yang normal. Jenis kelamin; laki - laki lebih
mudah terkena hipertensi dari pada perempuan. Ras; ras kulit hitam
lebih banyak terkena hipertensi daripada ras kulit putih.
3. Kebiasaan Hidup
Konsumsi garam tinggi (lebih dari 30 gram); garam dapat
meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa orang,
khususnya bagi penderita diabetes, penderita hipertensi ringan, orang
dengan usia tua, dan mereka yang berkulit hitam. Makan berlebihan
(kegemukan); orang yang memiliki berat badan di atas 30 persen berat
badan ideal, memiliki kemungkinan lebih besar menderita tekanan
darah tinggi. Kandungan lemak yang berlebih dalam darah Anda,
dapat menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding pembuluh
darah.
Hal ini dapat membuat pembuluh darah menyempit dan akibatnya
tekanan darah akan meningkat.
a. Stres; stres dan kondisi emosi yang tidak stabil juga dapat memicu
tekanan darah tinggi.
b. Merokok; merokok juga dapat meningkatkan tekanan darah
menjadi tinggi. Kebiasan merokok dapat meningkatkan risiko
diabetes, serangan jantung dan stroke. Karena itu, kebiasaan
merokok yang terus dilanjutkan ketika memiliki tekanan darah
tinggi, merupakan kombinasi yang sangat berbahaya yang akan
memicu penyakitpenyakit yang berkaitan dengan jantung dan
darah.
c. Alkohol; konsumsi alkohol secara berlebihan juga menyebabkan
tekanan darah tinggi.
d. Minum obat - obatan (aphidrine, prednison, epinefrin).
a. Genetic
Hasil penelitian Agnesia (2012), yang mengemukakan bahwa riwayat
keluarga yang menderita hipertensi terbukti merupakan faktor risiko
yang berhubungan dengan terjadinya hipertensi. Faktor genetik pada
keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga tersebut memiliki risiko
menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
natrium intraseluler dan rendahnya rasio antara kalium terhadap
natrium. Didukung pendapat Sutanto (2010), yang mengungkapkan
bahwa adanya faktor genetik atau keturunan pada keluarga tertentu
akan menyebabkan keluarga tersebut mempunyai resiko menderita
hipertensi. individu dengan orangtua menderita hipertensi mempunyai
resiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada
individu yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
b. Obesitas
Menurut Agnesia (2012), yang mengemukakan bahwa obesitas
terbukti sebagai faktor risiko hipertensi yang didapatkan melalui uji
chi-square, menunjukkan bahwa orang dengan obesitas memiliki risiko
terserang hipertensi 9,051 kali lebih besar dibandingkan orang yang
tidak obesitas.
Menurut Sutanto (2010), obesitas merupakan ciri dari populasi
penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah
penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi daripada hipertensi yang
tidak mengalami obesitas. Daya pompa jantung dan sirkulasi volume
darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan
penderita hipertensi dengan berat badan normal.
c. Stress
Stress dapat meningkatkan tekanan darah sewaktu. Hormon adrenalin
akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung
memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat.
d. Jenis kelamin
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rinawang (2011) yang
mengemukakan bahwa orang yang berjenis kelamin perempuan lebih
banyak menderita hipertensi dibandingkan lakilaki terutama pada
penderita hipertensi dewasa tua dan lansia. Sebelum memasuki masa
menopouse, perempuan mulai kehilangan hormon estrogen sedikit
demi sedikit dan sampai masanya hormon estrogen harus mengalami
perubahan sesuai dengan umur perempuan, yaitu dimulai sekitar umur
45-55 tahun.
Hal tersebut didukung oleh Mansjoer Arief (2000), yang
mengemukakan bahwa perempuan menopause memiliki pengaruh
sama pada terjadinya hipertensi. Perempuan menopause mengalami
perubahan hormonal yang menyebabkan kenaikan berat badan dan
tekanan darah menjadi lebih reaktif terhadap konsumsi natrium,
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Menurut Sutanto
(2010), kaum laki- laki lebih banyak mengalami kemungkinan
menderita hipertensi dibandingkan kaum perempuan. Namun, bila
ditinjau dari segi perbandingan antara perempuan dan laki- laki, secara
umum kaum perempuan masih lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan laki-laki. Hipertensi berdasarkan gender ini dapat pula
dipengaruhi oleh faktor psikologis. Perempuan seringkali mengadopsi
perilaku tidak sehat seperti merokok dan pola makan yang tidak
seimbang sehingga menyebabkan kelebihan berat badan, depresi, dan
rendahnya status pekerjaan. Sedangkan pada kaum pria, hipertensi
lebih berkaitan erat dengan pekerjaan seperti perasaan kurang nyaman
terhadap pekerjaan dan pengangguran.
3. PATOFISIOLOGI
Dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
(2000) menjelaskan patofisiologi hipertensi terdapat pada, mekanisme
yang mengatur atau mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasonator. Pada medula otak, dari pusat vasomotor inilah
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis
dan keluar dari kolumna, medula spinalis ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron pre ganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meski tidak diketahui
dengan jelas mengapa bisa terjadi hal tersebut.
Pada saat yang bersamaan, sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang.
Hal ini mengakibatkan tambahan aktifitas vasokontriksi. Medula adrenal
mensekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya untuk memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi mengakibatkan penurunan
aliran ke ginjal dan memicu pelepasan renin. Pelepasan renin inilah yang
merangsang pembentukan angiotensin I yang akan diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat yang nantinya akan merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon aldosteron ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, sehingga terjadi
peningkatan volume intra vaskular. Semua faktor ini dapat mencetus
terjadinya hipertensi.
Pada keadaan gerontologis dengan perubahan struktural dan fungsional
sistem pembuluh perifer bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan
darah usia lanjut. Perubahan itu antara lain aterosklerosis hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah. Akibatnya akan mengurangi kemampuan aorta dan arteri
besar dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume secukupnya) dan curah jantung pun ikut menurun, sedangkan
tahanan perifer meningkat (Darmojo & Hadimartono, 1999).
4. MANIFESTASI KLINIS
Pada hipertensi tanda dan gejala dibedakan menjadi:
a. Tidak Bergejala: maksudnya tidak ada gejala spesifik yang dapat
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan
tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa, jika kelainan arteri tidak
diukur, maka hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa.
b. Gejala yang lazim: gejala yang lazim menyertai hipertensi adalah nyeri
kepala, kelelahan. Namun hal ini menjadi gejala yang terlazim pula
pada kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Menurut
Rokhlaeni (2001), manifestasi klinis pasien hipertensi diantaranya:
mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, gelisah, mual dan
muntah, epistaksis, kesadaran menurun. Gejala lainnya yang sering
ditemukan: marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar
tidur, mata berkunang-kunang.
5. KOMPLIKASI
a. Gagal Jantung
b. Stroke
Percepatan aterosklerosis yang terkait dengan hipertensi
meningkatkan resiko infark cerebral (stroke). Peningkatan tekanan
pada pembuluh serebral dapat menyebabkan perkembangan
mikroneurisme dan peningkatan resiko hemoragi cerebral.
c. Ensefalopati hipertensi
6. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi antihipertensi adalah pengurangan morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskular dan ginjal. Karena sebagian besar pasien dengan
hipertensi, terutama yang berumur sedikitnya 50 tahun, mendapatkan
tekanan darah diastolik yang normal bila tekanan sisitolik normal dapat
diwujudkan, maka tujuan utama terapi hipertensi adalah mempertahankan
tekanan sistolik dalam batas normal. Mempertahankan tekanan darah
sistolik dan diastolik kurang dari 140/90 mmHg berhubungan dengan
menurunnya komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan
hipertensi yang disertai diabetes dan penyakit ginjal, target tekanan
darahnya adalah 130/80 mmHg. Penatalaksanaan medis menurut Sobel
(1999), yaitu:
a. Penatalaksanaan Non- Farmakologis
Penatalaksanaan Non Farmakologis: Adopsis gaya hidup sehat oleh
semua individu penting dalam pencegahan meningkatnya tekanan
darah dan bagian yang tidak terpisahkan dari terapi pasien dengan
hipertensi. Terdapat banyak pilihan terapi non-farmakologis dalam
menangani hipertensi pada lansia, terutama bagi mereka dengan
peningkatan tekanan darah yang ringan. Bukti saat ini menunjukkan
bahwa perubahan gaya hidup cukup efektif dalam menangani
hipertensi ringan pada lansia.
Beberapa cara berikut membantu menurunkan tekanan darah pada
lansia:
Mengurangi berat badan yang berlebihan, mengurangi atau bahkan
menghentikan konsumsi alkohol, mengurangi intake garam pada
makanan, dan melakukan olah raga ringan secara teratur.
Cara lain yang secara independen mengurangi resiko penyakit arteri
terutama adalah berhenti merokok. Pada pasien dengan hipertensi
ringan sampai sedang (tekanan diastolik 90-105 mmHg dan atau
sistolik 160-180mmHg) terapi nonfarmakologi dapat dicoba selama 3
sampai 6 bulan sebelum mempertimbangkan pemberian terapi
farmakologis. Pada hipertensi berat, perubahan gaya hidup dan terapi
farmakologi harus dijalani secara bersama-sama. Pola makan makanan
tinggi kalium dan kalsium serta rendah natrium juga merupakan
metode terapi nonfarmakologis pada lansia penderita hipertensi ringan.
b. Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan Farmakologis: secara garis besar terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti
hipertensi yaitu:
1) Mempunyai efektivitas yang tinggi
2) Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3) Memungkinkan penggunaan obat secara oral
4) Tidak menimbulkan intoleransi
5) Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh klien, dan
6) Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
d. Perubahan pola hidup yang darah selama/ sesudah 5. Rasa takut/ cemas dapat
EKG diinginkan. aktivitas (sistolik meningkatkan toleransi
mencerminkan meningkat 40 mmHg/ aktivitas.
e) Mengintegrasika
iskemia dan
aritmia. n latihan yang diastolik meningkat 20 6. Respon emosional terhadap
diharuskan ke dalam mmHg), dipsneu, intoleransi aktivitas dapat
ADL. keletihan, kelemahan ditangani dengan
berlebihan, diaphoresis, menggunakan strategi koping
pusing/ pingsan. kognitif.
5. Ajarkan tentang rasa 7. Teknik menghemat energi
takut/ cemas. mengurangi penggunaan
6. Ajarkan strategi koping energi, membantu
kognitif (perbandingan, keseimbangan antara suplai
relaksasi, pengendalian dan kebutuhan O2.
bernafas). 8. Dukungan sosial
7. Ajarkan teknik meningkatkan pelaksaan
penghematan energy aktivitas.
(menggunakan kursi 9. Mencapai dan
saat mandi, duduk saat mempertahankan pola hidup
menyisir, menyikat produktif sesuai kemampuan
gigi, dan melakukan jantung dalam berespon
aktivitas dengan terhadap peningkatan
perlahan. aktivitas dan stress.
8. Ajarkan keluarga untuk 10. Kemajuan aktivitas
membantu klien untuk bertahap mencegah
melakukan aktivitas. peningkatan kerja jantung
9. Kolaborasi dengan tiba-tiba.
keluarga/ klien untuk 11. Membantu sebatas
menetapkan rencana kebutuhan mendorong
ADL yang konsisten kemandirian dalam
dengan pola hidup. beraktifitas.
10. Berikan dukungan 12. Dukungan sosial
melakukan aktivitas/ meningkatkan
perawatan diri penyembuhan dan
bertahap. mempertahankan pola
11. Berikan bantuan sesuai hidup yang diharapkan.
kebutuhan.
12. Berikan semangat klien
untuk mencari bantuan
dalam
mempertahankan
aktivitas
masalah. efek samping obat dan darah, ginjal dan otak. kardiovaskuler dan ginjal.
kemungkinan 3. Bantu klien dalam 4. Faktor resiko meningkatkan
b. Meminta
komplikasi. mengidentifikasi faktor proses penyakit. Dengan
informasi.
c. Mempertahankan resiko kardiovaskuler mengubah perilaku,
c. Menyatakan
tekanan darah. yang dapat diubah, dukungan, petunjuk, dan
miskonsepsi.
misal; obesitas, diet empati, dapat meningkatkan
d. Mengikuti
tinggi lemak jenuh dan keberhasilan klien.
intruksi
kolestrol, pola hidup 5. Nikotin meningkatkan
inadekuat,
monoton, merokok, pelepasan katekolamin,
kinerja prosedur
minum alkoho, serta mengakibatkan peningkatan
inakurat,
pola hidup penuh frekuensi jantung, tekanan
perilaku tidak
stress. darah, dan vasokontriksi,
tepat.
4. Atasi maslaah bersama mengrangi oksigenasi
ditandai dengan :
klien dengan jaringan, serta
a. menyatakan
mengidentifikasi cara meningkatkan beban kerja
masalah.
gaya hidup tepat dapat miokardium.
b. Meminta
dibuat untuk
informasi.
mengurangi faktor
c. Menyatakan
resiko kardiovaskuler.
miskonsepsi.
5. Bahaya pentingnya
d. Mengikuti
menghentikan dan
intruksi
bantu klien untuk
inadekuat,
berhenti merokok.
kinerja prosedur
inakurat,
perilaku tidak
tepat.
7. Hambatan mobilitas Tujuan : Mandiri : 1.) Mengeidentifikasi kekuatan
fisik berhubungan Hambatan mobilitas fisik 1. Kaji kemampuan otot, kelmahan motoric.
dengan kelemahan dapat teratasi klien dalam 2.) Mengetahui kerusakan yang
fisik pada Kriteria Hasil : mobilisasi, menghambat mobilisasi.
ekstremitas kanan a. Mempertahankan kemampuan motorik. 3.) Latihan ROM
bagian bawah di keutuhan tubuh secara 2. Kaji luasnya meningkatkan massa otot,
tandai dengan: optimal seperti tidak kerusakan secara kekuatan otot, perbaikan
tangan dan kaki kekuatan fungsi tubuh melakukan ROM 4.) Mencegah kontraktur fleksi
b. Tidak mampu secara optimal minimal 4x perhari bahu, edema, dan fleksi
kebutuhan ADL teknik perilaku 4. Anjurkan pasien 5.) Daerah yang tertekan
b. Ubah posisi
setiap 2 jam.
5. Observasi daerah
yang tertekan,
termasuk warna,
edema atau tanda lain
gangguan sirkulasi.
6. Inspeksi kulit
terutama pada daerah
tertekan, beri bantalan
lunak.
7. Lakukan massage
pada daerah tertekan.
DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, Reny. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Aplikasi NANDA,
NIC, dan NOC Jilid 1. Jakarta : Trans Info Media.
Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Usia Lanjut 2014 : Jakarta vii-ix.
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah edisi 12. Jakarta : EGC.
Irianto, Koes. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular, Panduan
Klinis. Bandung: Alfa Beta.