Referat HIV Pada Kehamilan
Referat HIV Pada Kehamilan
Oleh:
Stefanus, S. Ked
030.12.262
Pembimbing:
dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG
1
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................2
2.1 Definisi.............................................................................................................................2
2.2 Etiologi.............................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi....................................................................................................................2
2.4 Patofisiologi.....................................................................................................................3
2.5 Manifestasi klinis.............................................................................................................5
2.6 Transmisi..........................................................................................................................8
2.7 Penatalaksanaan.............................................................................................................13
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Obstetrik dan Ginekologi RSU Kardinah periode 8 Mei – 23 Juli 2017
Disusun oleh :
Stefanus Purnomo
030.12.262
Jakarta, ...................................
Mengetahui,
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus.1
2.2 Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae. HIV terdiri dari
HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A sampai J. Dan
subtype yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus
bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus
ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA
menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV
memerlukan enzim reverse transkriptase.3
2.3 Epidemiologi
Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan
usia reproduksi. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 57.000 ibu hamil terinfeksi HIV di
regional Asia Tenggara. Negara dengan high-burden penularan infeksi HIV dari ibu ke anak
seperti India, Thailand, Myanmar dan Indonesia menunjukan estimasi insidens HIV diantara
ibu hamil cenderung tetap selama lima tahun terakhir. Jumlah anak kurang dari 15 tahun yang
terinfeksi HIV sebesar 87.000 dengan estimasi infeksi HIV baru sebesar 48.000. Data
estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik
terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.4
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah
satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun
2
1987. Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di
33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS
yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008) dan merupakan negara dengan tingkat
epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih
dari 5% pada subpopulasi tertentu dan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum 15-49
tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat (2,4%).4, 5
2.4 Patofisiologi
Untuk dapat terinfeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu
molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang
memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu,
infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi
diskontinuitas dari membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke
dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus
mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase.
Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang
terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase.
DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan
menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai
provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan
replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferensiasi sel pejamu (T-CD4)
yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan mamacu
terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi.6
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus,
yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas,
walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang
mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya
infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin
malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang
umumnya ikut serta mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor
necrosis factor α dan β, interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating
3
factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah
interleukin-4, transforming growth factor β, interferon α dan β.6
Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari
infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus
herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh
kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam
jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus
meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam
jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan
(terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus.6
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid dapat
dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau
melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini terjadi
replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain
(multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.6
Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan
limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang
mengakibatkan limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang
ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel
limfosit T-CD4. Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini
selain akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi
sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi
secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping
itu, sel limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus
memudahkan infeksi sel T-CD4.6
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen
terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada
respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum
germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang
akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-
CD4 dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi
kembali akibat berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi
4
ditemukan partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain
yang dapat diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit
folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang
berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan
penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.6
Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel limfosit T-CD4 tidak
saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan
sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan
penurunan jumlah) sel limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai
berikut:6
Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)
Pembentukan sinsitium
Respon imun spesifik
Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV
Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi
Sel killer alami
Apoptosis (kematian yang terprogram)
Mekanisme autoimun
Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang
diakibatkan oleh interaksi molekul gp 120-CD4
Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super antigen
5
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di
luar daerah inguinal
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terus menerus
2. Gejala Neurologis7
Gejala neurologis yang beranekaragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan
keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis, dan sampai koma (gejala
radang otak)
4. Gejala tumor, yang paling sering ditemukan adalah Sarcoma kaposis dan Limfoma maligna
non-Hodgkin, dimana ditemukan bercak merah coklat, ungu atau biru yang awalnya
beberapa millimeter menjadi beberapa sentimeter (pada Sarkoma kaposis) dan ditemukan
massa yang membesar dan menyebar secara progresif dan melibatkan ektranodal disertai
demam dan penurunan berat badan.7
Menurut klasifikasi HIV/AIDS berdasarkan stadium WHO dapat dibagi menjadi 4 stadium,
yaitu :7
3) Stadium 3
Berat badan turun > 10 %
Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermitten atau konstan), > 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberculosis paru
Infeksi bakteri baru (pneumonia, piomiositis)
4) Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplama serebral
Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
Progressive multifocal leucoencephalopathy
Mikosis endemic diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmoner
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV
7
2.6 Transmisi
Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan
sekitar 10 – 20% dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan
pada masa menyusui terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru
terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan
bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan
terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan maka resiko
terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta.
Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang
dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan
melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri
ataupun parasit pada plasenta atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi,
sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan
berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan
semakin tinggi. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang
lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya, sehingga ibu dengan infeksi HIV
dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi
penularan melalui asi dari ibu ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi.8
B. Faktor Bayi
1. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan
baik.
2. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
3. Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.2
C. Faktor Obstetrik
9
Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan
rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal.
Rekomendasi yang dianjurkan adalah:
No Cara Persalinan Rekomendasi
.
1. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan :
yang datang: Konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi
resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi,
Kehamilan ≥ 36 minggu
anestesi dan resiko operasi lain padanya.
Belum dapat ARV
Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
Sedang menunggu hasil pemeriksaan minggu ke-38.
kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
ada sebelum persalinan. mendapat zidovudin IV yang dimulai 3 jam sebelumnya
dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah
melahirkan atau tidak, tergantung pada hasil
pemeriksaan kadar virus dan CD4.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS Regimen ARV yang digunakan tetap diteruskan.
yang datang: Konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun
Pada kehamilan awal sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan,
Sedang mendapat kombinasi sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea.
antiretrovirus Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang
Kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi dan
pada minggu ke 36 kehamilan operasi.
Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
minggu ke-38 kehamilan.
Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3
jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan
sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan:
yang: Konseling bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV
10
Sedang mendapat kombinasi tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada
antiretrovirus persalinan pervaginam.
Kadar HIV tidak terdeteksi pada Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan
minggu ke 36 kehamilan. keuntungan dan resiko komplikasi seksio.
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah: 10
1. Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan melalui bedah
sesar (sectio caesaria).
2. Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga
dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
11
Berdasarkan tahapan waktu seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan
memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, yaitu:5,9,10
1. Antepartum
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+,
defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi
pelepasan ketergantungan obat, perokok, korionik villus sampling (CVS),
amniosintesis,berat badan ibu.
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama terjadinya
penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih
tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu
terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan
menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma,
serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas
(dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh
>1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS
sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit
sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu
yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga
sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan
hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-
ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.
2. Intrapartum
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah ketuban kasep,
persalinan prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif,
laserasi vagina, korioamnionitis, dan episiotomi.
12
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Bayi
yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum,
penggunaan elektrode pada kepala janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih
tinggi untuk tertular HIV-1.
2.7 Penatalaksanaan
1. Penanganan ante partum
a. Konseling
Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi dua arah dengan memberikan
informasi mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan, dimana
kemudian ibu hamil ini dapat mengambil keputusan mengenai kehamilannya dan
persalinannya. Pada kehamilan trimester pertama, konseling perlu dilakukan dengan intensif
untuk memutuskan apakah kehamilan akan diteruskan atau tidak.10
13
b. Pemberian obat anti virus
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan,
keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.10
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diushakan selaput
amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika
sebelumnya telah diberikan obat HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika
direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan
dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam
1 jam dan dilanjutkan 1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg
harus diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus
dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena alasan obstetrik,
menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.1, 10
Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan.
b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan antibiotik
profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan
14
sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali
pusat harus diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau viral load tidak
diketahui pada minggu ke-36 kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia kehamilan 36 minggu
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin pada wanita
hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat pada penderita untuk
mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.
Persalinan pervaginam Persalinan perabdomen
Syarat : Syarat :
Menurut WHO tahun 2012, pemberian ARV mencakup dua options, yang keduanya
harus mulai lebih awal pada kehamilan, pada usia kehamilan 14 minggu atau segera
mungkin setelah ibu hamil.11
17
a. Opsi A, yaitu dua kali sehari pemberian AZT (zidovudin) untuk ibu dan untuk bayi
dengan pemberian salah satu dari AZT atau NVP selama enam minggu setelah lahir jika
bayi tidak menyusui. Jika bayi sedang menyusui, NVP harian profilaksis bayi harus
dilanjutkan selama satu minggu setelah berakhirnya periode menyusui.
b. Opsi B, yaitu pemberian ketiga jenis obat profilaksis untuk ibu yang dipakai selama
kehamilan dan selama menyusui serta untuk bayi pemberian NVP sekali sehari atau AZT
dua kali sehari selama empat sampai enam minggu setelah lahir.
Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang direkomendasikan
sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan menyusui adalah diberikan sekali sehari,
termasuk wanita hamil pada trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi.
Rekomendasi ini berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk
PMTCT dan kemudian dihentikan.11
2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus mendapatkan terapi
profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu. Jika bayi menerima makanan
pengganti, mereka harus diberikan terapi profilaksis harian selama empat sampai enam
minggu dengan NVP harian (atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada bayi harus
dimulai pada saat lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.11
19
Tabel 5. Pemberian lini pertama ART untuk remaja, dewasa, ibu hamil, ibu yang
menyusui dan anak – anak.11
20
Tabel 6. Dosis rekomendasi pemberian ART.11
Tabel 7. Algoritma rekomendasi untuk wanita hamil dan menyusui WHO 2013.11
21
BAB III
KESIMPULAN
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Penyebab
dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus. Terdiri dari HIV-
1 dan HIV-2.
HIV dapat menular dari ibu ke bayi, namun kebanyakan penularan terjadi saat
persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat
juga tertular HIV. Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi
terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam
darah) ibunya, namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui jalan lahir. Intervensi untuk
membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko.
Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko
penularan HIV melalui menyusui. Tetapi mengingat ASI memiliki banyak manfaat yang
lebih besar, maka sebaiknya bayi dari ibu terinfeksi HIV tetap diberikan ASI ekslusif dengan
pengobatan yang adekuat ataupun dengan susu pengganti ASI disertai pengobatan yang tepat.
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of
the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV,
juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk
memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. Untuk dapat mengurangi penularan
maka rantai utama penularan harus diatasi terlebih dahulu yaitu, penularan secara horizontal
antar remaja ataupun pasangan suami istri agar tidak terjadi penularan secara vertikal dari ibu
ke bayi tersebut.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiawan IM. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV
ke Bayi yang Dilahirkan. Maj Kedokt Indon, Vol : 59, No: 10. 2009. P:489-94
2. CDC. HIV Transmission. 2016. [Cited 3 July 2017]. Available from :
https://www.cdc.gov/hiv/basics/transmission.html
3. Gondo HK. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. 2009. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
4. Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS
di Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. 2011. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian
Kesehatan.
5. World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Woman and
Preventing HIV Infections in Infant 2010 Version. 2010. Austria: Department of
HIV/AIDS WHO.
6. Idris M, Abdulsalami N. The Pathophysiology And Clinical Manifestations Of
Hiv/Aids. Nigeria:Department of Medicine, Federal Medical Centre, Gombe, Gombe
State, Nigeria Federal Ministry of Health Abuja; 2006; p.131-50.
7. Sundaru H, Djauzi S, Mahdi D, Sukmana N, Renggaris I, Karyadi TH. Infeksi
HIV/AIDS. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nazir AU, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer
A (eds). Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. PB PAPDI, Jakarta;2006: 287.
8. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD.
Penyakit menular seksual. Dalam: Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap
LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Obstetri Williams. EGC, Jakarta; 2006: 1680-1681.
9. AVERT. Preventing Mother to Child Transmision of HIV (PMTCT). [online] 2011.
[cited 3 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.avert.org/motherchild.htm.
10. USAIDS. Prevention of Mother to Child Transmision (PMTCT) of HIV. [online]
2011. [cited 2 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.usaid.org.
11. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral
drugs for treating and preventing HIV infection. Departement of HIV/AIDS, WHO.
2013. Avalaible from: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/download/en/
23
24