Anda di halaman 1dari 28

1

CLINICAL SCIENCE SESSION


*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A218084/ Desember 2020
**Pembimbing/ dr. Vonna Riasari, Sp.M

STRABISMUS

Oleh:
Khusna Wahyuni, S.Ked*
G1A218084

Pembimbing :
dr. Vonna Riasari, Sp.M**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


KSM/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATAHER JAMBI
PROVINSI JAMBI
2020
2

LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION
STRABISMUS

oleh:
Khusna Wahyuni, S. Ked
G1A218084

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior


KSM/Bagian Mata Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mataher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Jambi, Desember 2020


Pembimbing

dr. Vonna Riasari, Sp.M


3

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Strabismus” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Studi Profesi
Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul
Manap Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Vonna Riasari,Sp.M,
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Program Studi Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manap Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada jurnal ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
referat ini.Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2020

Penulis
4

BAB I
PENDAHULUAN
Organ penglihatan terdiri dari mata kanan dan mata kiri. Pada mata
normal, kedudukan antara kedua bola mata adalah sejajar. Jika terjadi ketidak
seimbangan antara kedudukan kedua bola mata maka hal tersebut disebut
sebagai strabismus. Strabismus dibagi menjadi dua bentuk yaitu tropia (juling
manifes, heterotropia) dan foria (juling laten, heteroforia).1
Strabismus merupakan salah satu masalah mata yang biasa ditemukan.
Prevalensi dan tipe strabismus di dunia berbeda-beda tergantung pada variasi
ras dan letak geografisnya.2,3 Indonesia diperkirakan 2-2,5 juta penduduk
menderita strabismus dengan tipe terbanyak adalah eksotropia. 3. Strabismus
yang menyebabkan posisi kedua mata tidak lurus akan mengakibatkan
penglihatan binokuler tidak normal yang akan berdampak pada berkurangnya
kemampuan orang tersebut dalam batas tertentu. Orang dengan kelainan ini
akan terbatas kesempatan dalam kegiatannya pada bidang-bidang tertentu.3
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata
A. Aspek Motorik
1. Otot Luar Bola Mata
Terdapat enam otot luar bola mata yang berfungsi untuk
menggerakan bola mata pada tiga buah sumbu, yaitu sumbu
anteroposterior, sumbu vertikal dam sumbu horizontal. 1 Pergerakan
otot luar bola mata juga berfungsi untuk memperluas lapang
pandang, mempertahankan kesejajaran antara kedudukan bola mata
dan untuk mendapatkan penglihatan binokular jauh dan dekat. Suatu
proses dimana terjadinya penyesuaian aktivitas otot luar kedua bola
mata untuk mempertahankan kesejajaran kedudukan bola mata agar
terjadi penglihatan binokular disebut dengan fusi motorik. 4 Keenam
otot tersebut adalah1,4:
a. Muskulus rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi
atau tergulirnya bola mata kearah temporal dan otot ini dipersarafi
oleh saraf abdusen.
b. Muskulus rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi
atau tergulirnya bola mata kearah nasal dan otot ini dipersarafi
oleh saraf okulomotor.
c. Muskulus rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan
elevasi, aduksi, dan intorsi bola mata yang dipersarafi oleh saraf
okulomotor.
d. Muskulus rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan
depresi, adduksi, dan ekstorsi yang dipersarafi oleh saraf
okulomotor.
e. Muskulus oblik superior, kontraksinnya akan menghasilkan
intorsi, abduksi, dan depresi yang dipersarafi saraf saraf troklear.
6

f. Muskulus oblik inferior, kontraksinya akan menghasilkan


ekstorsi, abduksi, dan elevasi yang dipersarafi saraf okulomotor.

Gambar 2.1. Otot luar bola mata


Dalam keadaan stasioner, posisi pada bola mata ditentukan oleh
kombinasi dari aktivitas keenam otot luar bola mata. Terdapat
beberapa bentuk kedudukan bola mata yaitu(4):
a. Posisi primer, saat mata melihat lurus ke depan.
b. Posisi sekunder, saat mata melihat lurus ke atas, lurus ke bawah,
lurus ke kanan, dan lurus ke kiri.
c. Posisi tertier, saat mata melihat ke atas kanan, atas kiri, bawah
kanan dan bawah kiri.
B. Aspek Sensorik
Penglihatan binokular terjadi apabila informasi visual dari
kedua mata yang melihat suatu objek secara bersamaan,
dikombinasikan menjadi satu persepsi visual tunggal oleh sistem
saraf pusat.4 Penglihatan binokular dibagi kedalam tiga tingkat
menurut klasifikasi Worth yaitu tingkat pertama adalah persepsi
7

simultan, tingkat kedua adalah fusi, dan tingkat ketiga adalah


stereopsis.5
1) Persepsi simultan adalah kemampuan retina dari kedua mata
untuk menerima dua bayangan yang berbeda secara simultan.
2) Fusi adalah penyatuan stimulasi visual dari bayangan retina
yang berkorespondensi menjadi suatu persepsi visual tunggal.
Terdapat dua jenis fusi yaitu fusi sensorik dan fusi motorik. Fusi
sensorik adalah suatu proses kortikal penyatuan bayangan dari
tiap mata ke dalam gambaran stereopsis binokular tunggal.
Terjadi saat serabut nervus optikus yang berada di retina bagian
nasal menyilang di khiasma untuk menyatu dengan akson dari
retina bagian temporal yang tidak menyilang, menjuju nukleus
genikulatum lateral hingga menuju korteks pusat penglihatan.
Fusi motorik berfungsi sebagai mekanisme untuk
mempertahankan kesejajaran kedua bola mata terhadap target
visual saat bergerak dalam suatu ruang untuk mempertahankan
kesejajaran fovea binokular. Terdapat refleks fusi yang
merupakan usaha mata untuk mempertahankan letak mata
3) Stereoskopis adalah tingkat tertinggi dari kualitas penglihatan
binokular, yaitu persepsi kedalaman 3 dimensi binokular yang
dihasilkan oleh proses neural akibat stimulasi elemen retina
yang berbeda secara horizontal.
C. Perkembangan Penglihatan Binokular
Penglihatan binokular tunggal adalah suatu refleks yang tidak
terdapat sejak lahir, tetapi diperoleh selama 6 bulan pertama
kehidupan dan sempurna selama beberapa tahun pertama kehidupan.
Sistem visual membutuhkan kira-kira 6 minggu untuk menjadi
sensitif terhadap stimulus visual, dan penglihatan binokular pertama
muncul pada usia sekitar 3 bulan. Pada bayi, sering ditemukan
deviasi bola mata pada beberapa bulan pertama kehidupan. Hal ini
8

disebabkan oleh sistem okulomotor pada bayi masih belum


sempurna sehingga dapat mengakibatkan terjadinya deviasi,
terutama deviasi horizontal pada bola mata. Seiring dengan
bertambahnya usia, sistem okulomotor akan berkembang sehingga
membuat kedudukan kedua bola mata menjadi sejajar saat usia 2
sampai 3 bulan. Ketidaksejajaran antara kedua bola mata setelah usia
tersebut harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.6
Penglihatan binokular memerlukan beberapa kondisi untuk
mencapai perkembangan yang normal yaitu: 1) Aspek motorik 2)
Aspek sensorik 3) Kemampuan dari korteks visual untuk
menghasilkan penglihatan binokular tunggal. Oleh karena itu,
kondisi patologis yang mengganggu salah satu mekanisme di atas
sewaktu beberapa tahun pertama kehidupan akan menghambat
perkembangan penglihatan binokular tunggal sehingga dapat
menyebabkan strabismus. Pasien dengan strabismus akan
mengalami mekanisme supresi atau korespondensi retina yang
abnormal. Supresi adalah kondisi dimana otak mengabaikan
bayangan benda salah satu mata untuk mencegah terjadinya
diplopia. Oleh karena itu, kebanyakan pasien strabismus tidak
mengalami diplopia dan kebingungan visual (visual confusion).
2.2. Definisi Strabismus
Strabismus adalah ketidak seimbangan antara kedudukan kedua
bola mata. Pada keadaan penglihatan binokular normal, bayangan suatu
objek akan jatuh tepat pada fovea sentralis kedua mata (bivofeal
fixation), sedangkan pada strabismus bayangan suatu objek yang jatuh
tepat pada fovea sentralis hanya terdapat pada salah satu mata yang
melakukan fiksasi 4 Strabismus dibagi menjadi dua bentuk yaitu tropia
(juling manifes, heterotropia) dan foria (juling laten, heteroforia).1
9

2.3. Epidemiologi
Strabismus merupakan salah satu masalah mata yang biasa ditemukan.
Prevalensi dan tipe strabismus di dunia berbeda-beda tergantung pada variasi
ras dan letak geografisnya.2,3 Diperkirakan sekitar 2-5% dari populasi umum
menderita strabismus.7,8 Data menunjukkan prevalensi strabismus pada ras
Caucasia 2-4% lebih tinggi dibandingkan ras non-Caucasia. Data lain
menunjukkan prevalensi strabismus di Hispanic/Latinos 2,4%, Africa-Amerika
2,5% dan Asia Timur 1%.9,10 Prevalensi strabismus di Amerika Serikat
diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 juta penduduk dan 3-5% anak-anak
menderita strabismus dengan 126,400 kasus baru tiap tahunnya. Diduga bahwa
ada sekitar 7,02 juta pasien strabismus per 130 juta orang.
Tipe strabismus yang paling sering terjadi berdasarkan arah terjadinya
adalah esotropia dan eksotropia.3,8 Penelitian yang dilakukan oleh American
Optometric Association melaporkan bahwa strabismus dengan tipe eksotropia
3-5 kali lebih sering terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data The National
Health Survey of United States pada individu usia 4-74 tahun, prevalensi
kejadian eksotropia sebanyak 2,1% dan esotropia sebanyak 1,2%.8 Pada negara
lain, strabismus dengan tipe esotropia sebanyak 80% di Ibadan dan Nigeria
serta rasio perbandingan esotropia dan eksotropia 5:1 di Eropa, sedangkan di
Indonesia diperkirakan 2-2,5 juta penduduk menderita strabismus dengan tipe
terbanyak adalah eksotropia. 11
2.4. Klasifikasi
A. Menurut Manifestasi
1. Heteroforia (Juling Laten)
Heteroforia adalah keadaan kedudukan bola mata yang
normal namun akan timbul deviasi apabila refleks fusi diganggu.
Bentuk-bentuk heteroforia dibagi berdasarkan kedudukan
penyimpangannya yaitu pada bidang horizontal ditemukan
esoforia dan eksoforia, bidang vertikal ditemukan hipoforia dan
10

hiperforia, bidang frontal ditemukan insikloforia dan


eksikloforia.4
2. Heterotropia (Juling Manifes)
Heterotropia adalah suatu keadaan penyimpangan sumbu
bola mata yang nyata dan tetap, dimana kedua sumbu
penglihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi. Bentuk-bentuk
heterotropia dibagi berdasarkan kedudukan penyimpangannya
yaitu pada bidang horizontal ditemukan esotropia dan
eksotropia, bidang vertikal ditemukan hipotropia dan
hipertropia, bidang sagital ditemukan insiklotropia dan
eksiklotropia.4
B. Menurut Jenis Deviasi
1. Horizontal : eksodeviasi dan esodeviasi
2. Vertikal : hiperdeviasi dan hipodeviasi
3. Torsional : insiklodeviasi dan eksiklodeviasi
4. Kombinasi : horizontal, vertikal, torsional
C. Menurut Kemampuan Fiksasi
1. Unilateral : satu mata deviasi secara spontan
2. Alternanting : kedua mata deviasi secara bergantian
D. Menurut Usia
1. Kongenital : usia kurang dari 6 bulan
2. Didapat : usia lebih dari 6 bulan
E. Menurut Sudut Deviasi
1. Konkomitan : bila sudut penyimpangan sama besar pada
semua arah
2. Nonkomitan : bila besarnya sudut penyimpangan berbeda-
beda pada arah pandangan yang berbeda-beda pula
11

2.5. Etiopatogenesis
A. Heteroforia
Heteroforia (juling laten) adalah keadaan kedudukan bola mata
yang normal namun akan timbul deviasi apabila refleks fusi
diganggu. Fusi pasien dapat terganggu apabila pasien letih atau satu
mata tertutup misalnya pada uji tutup mata (cover test). Penyebab
dari heteroforia antara lain5,6:
1. Faktor Anatomis
a. Asimetris ukuran dan bentuk orbital
b. Kelainan struktur atau kelemahan otot luar bola mata
c. Volume jaringan retrobulbar, fascia orbital dan ligamen
2. Faktor Fisiologis
a. Konvergensi yang berlebihan dapat menyebabkan esoforia.
Penurunan penggunaan konvergensi dapat menyebabkan
eksoforia.
b. Peningkatan akomodasi yang berlebihan dapat menyebabkan
esoforia dan penurunan akomodasi dapat menyebabkan
eksoforia
1) Esoforia
Esoforia atau mata berbakat juling ke dalam adalah suatu
penyimpangan sumbu penglihatan ke arah nasal yang
tersembunyi oleh karena masih terdapat refleks fusi. Esoforia
yang mempunyai sudut penyimpangan lebih besar pada saat
melihat jauh dibandingkan saat melihat dekat, hal ini disebabkan
oleh suatu insufisiensi divergen. Esoforia mempunyai sudut
penyimpangan lebih kecil pada waktu melihat dekat, disebabkan
oleh ekses konvergen, biasanya diakibatkan oleh proses
akomodasi yang berlebihan pada hipermetropia yang tidak
dikoreksi.
12

2) Eksoforia
Eksforia atau strabismus divergen laten adalah
suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan ke arah
temporal. Dimana pada eksforia akan terjadi deviasi ke luar pada
mata yang ditutup atau apabila refleks fusi terganggu. Eksoforia
merupak kelainan yang paling sering dijumpai pada keadaan
kelainan keseimbangan kekuatan otot luar bola mata karena
kedudukan bola mata pada waktu stirahat pada umumnya ada
pada keadaan sedikit menggulir ke arah luar.
Apabila sudut penyimpangan pada waktu melihat jauh
lebih besar daripada waktu melihat dekat, maka hal ini
biasanya disebabkan oleh suatu ekses divergen.
Sedangkan apabila sudut penyimpangan pada waktu melihat
dekat lebih besar dibanding waktu melihat jauh, maka hal ini
disebabkan oleh kelemahan akomodasi. Pada orang miopia
mudah terjadi eksoforia karena jarang berakomodasi, akibatnya
otot-otot untuk berkonvergensi menjadi lebih lemah dibanding
seharusnya. Juga suatu perbaikan yang mendadak pada orang
dengan hipermetropia dan presbiopia yang mendapat koreksi
kaca mata dapat menimbulkan eksoforia karena hilangnya
ketegangan akomodasi yang tiba-tiba.
3) Hiperforia
Hiperforia atau strabismus sursumvergen laten
adalah suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan kearah
atas. Pada hiperforia akan terjadi deviasi ke atas pada mata yang
ditutup. Umumnya keadaan ini disebabkan kerja yang berlebihan
(over action) otot-otot rektus inferior dan obliqus superior atau
kelemahan (under action) otot-otot rektus inferior dan obliqus
superior.(1,2)
13

4) Hipoforia
Hipoforia atau strabismus deorsumvergen laten
adalah suatu tendensi penyimpangan sumbu penglihatan ke
arah bawah. Mata akan berdeviasi ke bawah apabila ditutup.
keadaan ini disebabkan oleh kelemahan (under action) otot-otot
rektus inferior dan obliqus superior atau kontraksi berlebihan
(over action) otot-otot rektus inferior dan obliqus superior.1
5) Insikloforia
Mata akan berdeviasi torsi pada mata yang ditutup.
Insikloforia atau strabismus torsional laten adalah suatu tendensi
penyimpangan sumbu penglihatan berotasi bila kornea jam 12
berputar ke arah nasal.1
6) Eksokloforia
Mata akan berdeviasi torsi pada mata yang ditutup.
Eksokloforia atau strabismus torsional laten adalah suatu tendensi
penyimpangan sumbu penglihatan berotasi bila kornea jam 12
berputar ke arah temporal.(1)
B. Heterotropia
Heterotropia adalah suatu keadaan penyimpangan sumbu bola
mata yang nyata dan tetap, dimana kedua sumbu penglihatan tidak
berpotongan pada titik fiksasi. Kedudukan bola mata tidak normal dan
tetap (juling manifes). Heterotropia dapat disebabkan oleh faktor
herediter, faktor anatomis berupa kelainan struktur dan kekuatan otot
luar bola mata, kelainan rongga orbita, faktor fisiologis berupa kelainan
refraksi, faktor neurologis berupa kelainan fusi sensorik dan atau
motorik.4,6
14

Gambar2.2
Fovea mata kiri (FL) berpotongan pada satu titik fiksasi (A) dengan pseudofovea
(P) mata kanan yang mengalami esodeviasi, sehingga terjadi supresi pada fovea
mata kanan (FR)

Heterotropia dibagi menjadi dua bentuk menurut sudut


penyimpangannya, yaitu heterotropia konkomitan (strabismus
konkomitan/non paralisis) dan heterotropia nonkomitan (strabismus
inkomitan/paralisis). 5,6

1. Heterotropia Konkomitan
Merupakan juling akibat terjadinya gangguan fusi. Pada
keadaan ini besar sudut dari kedua mata tetap walaupun arah gerak
kedua mata berubah. Besar sudut deviasi akan sama pada semua arah
penglihatan. Heterotropia konkomitan dibagi menjadi dua menurut
kemampuan fiksasi, yaitu monokular atau unilateral dimana hanya
salah satu mata deviasi secara spontan. Alternans apabila kedua mata
deviasi secara bergantian juling ke dalam (alternating
esotropia/convergent) atau juling keluar (alternating
exotropia/divergent).1,4,
15

Gambar 2.3. Strabismus Konkomitan (nonparalisis)


2. Heterotropia Nonkomitan
Heterotropia nonkomitan atau strabismus paralitik
terjadi akibat paralisis otot penggerak mata, dimana juling akan
semakin nyata abila mata digerakkan ke arah otot yang
mengalami paralisis. Dalam keadaan ini, besar sudut deviasi
akan berubah-ubah tergantung pada arah penglihatan pasien.
Paresis nervus III dapat menyebabkan gangguan otot rektus
medius, rektus superior, rektus inferior, oblik inferior. Paresis
nervus IV akan menyebabkan gangguan otot oblik superior.
Paresis nervus VI akan menyebabkan gangguan otot rektus
lateral.1,4

1) Esotropia
Esotropia adalah juling kedalam atau strabismus konvergen
manifes dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal.
Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang
nyata, dimana salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi
sedangkan sumbu bola mata menyimpang ke arah medial. Penyebab
16

esotropia antara lain adalah hipertoni otot rectus medial, hipotoni


rektus lateral, akomodatif esotropia. Esotropia dibagi menjadi
beberapa bentuk yaitu1,4
a. Esotropia konkomitan (non paralitik)
Esotropia konkomitan adalah juling ke dalam akibat
terjadinya gangguan fusi. Sudut penyimpangan sama pada semua
arah pandangan. Contoh dari esotropia konkomitan adalah:
 Esotropia kongenital (infantile)
Esotropia yang mulai terlihat pada bayi usia kurang dari 6 bulan
dan menetap. Esotropia kongenital diperkirakan disebabkan oleh
kelainan genetik. Selain itu, prematuritas dan berat badan bayi
lahir rendah juga berhubungan dengan meningkatnya risiko
untuk terjadi esotropia kongenital.
 Esotropia akomodatif refraktif (acquired)
Suatu esodeviasi yang timbul akibat suatu usaha akomodasi
pada hipermetropia tak terkoreksi. Apabila hipermetropia
dikoreksi dengan kacamata sehingga sudut esotropia tersebut
menghilang sempurna maka disebut esotropia akomodatif
refraktif total. Apabila hipermetropia dikoreksi dengan
kacamata, namun sudut esetropia tidak menghilang sempurna
maka disebut esotropia refraktif parsial.
 Esotropia akomodatif nonrefraktif (acquired)
Tidak ditemukan kelainan refraksi pada esotropia akomodatif
non refraktif. Dapat ditemukan esotropia ringan atau ortoforia
saat pasien melihat jauh, namun akan ditemukan esotropia yang
lebih besar untuk jarak dekat. Hal ini dapat disebabkan oleh
AC/A rasio yang tinggi. Akibat meningkatnya AC (convergence
excess) dan menurunnya A (hypoaccommodative).
 Esotropia nonakomodatif (acquired)
17

Esodeviasi yang biasanya didapat pada usia lebih dari 6 bulan,


timbul bukan akibat dari suatu usaha akomodasi. Salah satu
faktor pencetus timbulnya esotropia nonakomodatif adalah
faktor stress.
b. Esotropia nonkomitan (paralitik)
Esotropia yang terjadi akibat paralisis otot penggerak mata,
semakin nyata abila mata digerakkan ke arah otot yang
mengalami paralisis.

2) Eksotropia
Merupakan strabismus divergen manifest dimana sumbu
penglihatan ke arah temporal. Terjadi suatu penyimpangan sumbu
penglihatan yang nyata dimana salah satu sumbu penglihatan menuju
titik fiksasi sedangkan sumbu bola mata menyimpang ke arah lateral.
Eksotropia dapat disebabkan oleh faktor herediter autosomal
dominan dan kelainan anatomi berupa kelainan rongga orbita.4,6
a. Eksotropia konkomitan (non paralitik)
Eksotropia konkomitan adalah juling ke luar akibat terjadinya
gangguan fusi. Sudut penyimpangan sama pada semua arah
pandangan. Contoh dari esotropia konkomitan adalah:
 Eksotropia kongenital (infantile)
Esotropia yang mulai terlihat pada bayi usia kurang dari 6 bulan
dan menetap. Eksotropia kongenital diperkirakan disebabkan
oleh kelainan genetik.
 Eksotropia intermiten (acquired)
Apabila eksotrpia muncul pada satu waktu tertentu kemudian
dapat menghilang sempurna hingga pasien dapat melihat dengan
penglihatan stereoskopis. Didapatkan pada usia sesudah 6 bulan.
3) Hipertropia
18

Hipertropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan


yang nyata dimana salah satusumbu penglihatan menuju titik
fiksasi sedangkan sumbu penglihatan yang lainnya
menyimpang pada bidang vertikal ke arah superior (atas).(1)
4) Hipotropia
Hipotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang
nyata dimana salah satusumbu penglihatan menuju titik fiksasi
sedangkan sumbu penglihatan yang lainnyamenyimpang pada
bidang vertikal ke arah inferior (bawah).(1)
5) Insiklotropia
Sumbu penglihatan berputar dari kornea jam 12 berputar ke arah
nasal.(1)
6) Eksoklotropia

Sumbu penglihatan berputar dari kornea jam 12 ke arah


temporal.(1)
Gambar 2.4
2.6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada strabismus konkomitan (nonparalisis) antara lain:1,4
1. Kedukan kedua mata tidak sejajar atau tidak melihat kepada arah yang
sama (esotropia/ eksotropia, hipertropia/ hipotropia, eksiklotropia/
insiklotropia)
2. Dalam keadaan lelah, salah satu atau kedua bola mata bergulir ke arah
luar/dalam, ke atas/ke bawah, berputar ke arah dalam/luar
3. Kebiasaan memiringkan kepala untuk melihat jelas suatu objek
(hipertropia, hipotropia)
19

4. Pandangan buram/kabur
5. Mata terasa mudah lelah (astenopia)
Gejala klinis pada strabismus inkomitan (paralisis) antara lain:1,4,6
1. Pandangan ganda (diplopia), sakit kepala
2. Keterbatasan/hambatan gerakan bola mata pada arah tertentu
3. Deviasi tampak jelas apabila kedua mata digerakkan ke arah yang sama
dengan otot yang mengalami paralisis bekerja
2.7. Diagnosa
A. ANAMNESIS
1. Onset terjadinya juling/strabismus
2. Mendadak atau perlahan
3. Frekuensi terjadinya deviasi (menetap atau intermiten)
4. Satu mata atau kedua mata bergantian (unilateral/alternating)
5. Terdapat keterbatasan/hambatan pada gerak bola mata pada arah
tertentu
6. Terdapat gangguan penglihatan jarak dekat/jauh
7. Riwayat penggunaan kacamata, riwayat operasi mata, riwayat
trauma mata
8. Riwayat prematuritas, riwayat tumbuh kembang, riwayat penyakit
dahulu
9. Riwayat penyakit sistemik dan neurologis
10. Riwayat strabismus/juling pada keluarga
B. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
1. Ketajaman Penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan berfungsi untuk mengetahui
tajam penglihatan seseorang serta untuk mengetahui apakah terdapat
gangguan penglihatan. Untuk mengetahui tajam penglihatan
seseorang, dapat dilakukan dengan kartu Snellen, dan bila
penglihatan dikukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah
jari, arah lambaian tangan atau proyeksi sinar. Tajam penglihatan
20

normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (20/15 atau 20/20
kaki).1,4
2. Kedudukan Bola Mata (Hirschberg)
Untuk menentukan kedudukan bola mata seseorang, maka
dapat dilakukan uji Hirschberg dengan cara mengarahkan lampu
senter di depan mata pasien pada jarak 30 cm sejajar dengan kedua
pupil pasien, pasien diminta melihat kearah lampu senter dan
pemeriksa melihat pantulan cahaya lampu senter pada kornea pasien.
1,5

 Bila cahaya lampu senter berada di sentral kedua pupil maka


kedudukan matap asien adalah ortoforia.
 Bila pantulan cahaya lampu senter pada salah satu mata berada di
tepi pupil, maka mata pasien menderita 15 eksotropia atau
esotropia
 Bila pantulan cahaya lampu senter pada salah satu mata berada
diantara pupil dan limbus, maka mata pasien menderita 30
eksotropia atau esotropia
 Bila pantulan cahaya lampu senter pada salah satu mata berada di
tepi limbus, maka mata pasien menderita 45 eksotropia atau
esotropia

3. Uji Tutup-Buka Mata (Cover-Uncover Test)


Pasien diminta untuk melihat ke suatu target. Ketika pasien
sudah memfiksasi target tersebut, satu mata ditutup (cover).
Pemeriksa menilai mata yang tidak ditutup. Jika mata yang tidak
ditutup normal, maka tidak akan ada perubahan posisi saat mata lain
ditutup. Jika terdapat tropia, maka posisi mata lain yang tidak ditutup
akan bergulir untuk melihat ke arah target. Apabila penutup dibuka
(uncover), maka akan terlihat mata yang mengalami strabismus akan
bergulir kembali pada posisi semula.1,4
21

Gambar 2.5
Esotropia OD pada cover-uncover test

4. Uji Tutup Berganti (Aternating Cover Test)


Bila satu mata ditutup dan kemudian secara bergantian
menutup satu mata lainnya. Bila kedua mata normal, maka mata
yang dibuka tidak akan bergerak. Mata yang ditutup dan diganggu
fusinya, sehingga mata yang menderita juling laten akan bergulir.
Bila terjadi pergerakan pada mata yang baru dibuka berarti terdapat
foria atau tropia.1,4

Gambar 2.6
5. Uji Krimsky
Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma
ditempatkan di depan mata yang normal, kekuatan prisma yang
diperlukan untuk membuat refleks cahaya berada di tengah kedua
pupil, merupakan ukuran sudut deviasi.(1,2)
22

Gambar 2.7
Uji Krimsky

6. Uji Tutup Mata Berganti Prisma


Pemeriksaan ini dilakukan seperti uji tutup berganti tetapi
dengan penempatan prisma pada mata yang berfiksasi, perlahan-
lahan ditambah kekuatan prisma sampai tidak terjadi lagi pergerakan
mata bila dilakukan uji tutup berganti.(1,2)

Gambar 2.8
Esotropia OS pada Uji Tutup Mata Berganti Prisma

7. Pemeriksaan Gerak Bola Mata


Pemeriksaan gerak bola mata bertujuan untuk melihat apakah
terdapat hambatan, pergerakan yang berlebihan (overmotiliy)
ataupun tidak ada gerakan sama sekali pada pergerakan otot luar
bola mata ke seluruh arah. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat
mendeteksi terjadinya pandangan ganda atau diplopia.1,4
23

2.8. Tatalaksana
A. Medikamentosa
Penatalaksanaan pada strabismus dapat dibagi menjadi dua
tujuan yaitu tujuan fungsional dan tujuan kosmetik. Tujuan fungsional
utama dari pengobatan strabismus adalah untuk mencapai penglihatan
binokular tunggal, dapat dilakukan dengan cara4,5:
1. Koreksi kelainan refraktif untuk mengoptimalkan penglihatan
pasien. Penglihatan yang jelas akan membuat refleks fusi berfungsi
maksimal sehingga dapat mencapai penglihatan binokular tunggal.
2. Manipulasi akomodasi dengan menggunakan lensa plus untuk
mengobati eksoforia. Rasio AC/A yang tinggi juga dapat diatasi
dengan lensa plus.

Gambar 2.9
3. Prisma adalah bentuk lensa di mana terdapat bagian puncak (apex)
dan bagian yang dasar (base) yang dengan perbedaan bentuknya itu
dapat membelokan bayangan, sehingga bayangan dapat jatuh tepat
pada fovea untuk dapat memaksimalkan penglihatan binokular
tunggal.
4. Botulinum toksin tipe A (Botox)
Penyuntikan toksin botulinum tipe A akan menimbulkan efek
paralisis ke dalam otot intraokuler. Toksin berkaitan erat dengan
jaringan otot. Dosis yang digunakan sangat kecil sehingga
24

tidak terjadi toksisitas sistemik. Untuk memperoleh efek menetap,


biasanya diperlukan dua kali injeksi atau lebih.
B. Pembedahan
Reseksi otot penggerak mata, dilakukan untuk memperkuat otot
penggerak mata yang lemah. Resesi otot penggerak untuk
mengurangi kekuatan otot yang terlau kuat.
2.9. Komplikasi
1. Ambliopia
Strabismus dapat mengakibatkan ambliopia, yaitu keadaan tajam
penglihatan tidak mencapai optimal namun tidak ditemukan kelainan
organik pada pemeriksaaan. Ambliopia strabismik biasanya terjadi pada
anak sebelum memiliki penglihatan tetap. Terjadi mekanisme supresi
pada mata yang mengalami deviasi untuk mencegah terjadinya diplopia
sehingga hanya terdapat satu mata dominan yang melihat ke arah benda.\6
2. Korespondensi Retina Abnormal
Terjadi apabila korteks serebri sudah dapat beradaptasi terhadap dua
titik penglihatan yang tidak sekoresponden menjadi satu titik yang
sekoresponden. Juling akan sukar diatasi bila mata sudah menjadi
ambiopia atau sudah terjadi korespondensi retina yang abnormal.1,4
3. Adaptasi Posisi Kepala (Head tilt)
Adaptasi posisi kepala ke arah otot yang mengalami kelemahan untuk
mencapai penglihatan binokuler. Keadaan ini merupakan upaya untuk
menghindari pemakaian otot yang mengalami kelemahan.6
4. Masalah Psikososial
Terdapat hubungan yang signifikan antara strabismus dengan dampak
negatif psikososial pada anak-anak penderita strabismus seperti citra diri
yang buruk, bias sosial negatif, ejekan di sekolah, pengucilan, depresi,
peningkatan kecemasan sosial, hubungan interpersonal yang buruk,
hambatan dan kesempatan kerja yang buruk bagi orang dewasa.
25

2.10. Prognosis
Prognosis pada strabismus dapat dinilai berdasarkan seberapa besar
restorasi penglihatan binokular (fungsional) dan saat mata yang juling menjadi
tidak terlihat sebagai kebutuhan kosmetik. Tindakan pembedahan yang
dilakukan untuk mengembalikan kesejajaran kedua bola mata sebagai tujuan
kosmetik akan membutuhkan 2-3 kali pembedahan untuk memberikan hasil
yang optimal dan prognosis yang baik. Untuk tindakan pembedahan yang
bertujuan untuk restorasi penglihatan binokular, akan memiliki prognosis yang
baik apabila sebelum dilakukan pembedahan, stimulasi dengan memperbaiki
kelainan refraksi dan penggunaan lensa prisma.
26

BAB III
KESIMPULAN

Mata normal akan memiliki kedudukan antara kedua bola mata yang
sejajar. Ortoforia adalah kedudukan kedua bola mata yang sejajar oleh karena
otot-otot luar bola mata bekerja seimbang. Kedudukan bola mata tidak akan
berubah apabila refleks fusi terganggu. Strabismus adalah ketidakseimbangan
antara kedudukan kedua bola mata. Secara garis besar, terdapat dua bentuk
strabismus yaitu tropia (juling manifes, heterotropia) dan foria (juling laten,
heteroforia).
Penglihatan binokular terjadi apabila informasi visual dari kedua mata
yang melihat suatu objek secara bersamaan, dikombinasikan menjadi satu
persepsi visual tunggal oleh sistem saraf pusat. Penglihatan binokular
memerlukan beberapa kondisi untuk mencapai perkembangan yang normal
yaitu: 1)Aspek motorik berupa keseimbangan dari seluruh otot luar bola mata
2)Aspek sensorik yang dibagi ke dalam tiga tingkat yaitu persepsi simultan,
fusi, dan penglihatan yang terbaik yaitu stereopsis. 3)Kemampuan dari korteks
visual untuk menghasilkan penglihatan binokular tunggal.
Strabismus dapat disebabkan oleh faktor anatomis seperti asimetris
ukuran dan bentuk orbital, kelainan struktur atau kelemahan otot luar bola
mata. Faktor fisiologis seperti peningkatan atau penurunan konvergensi,
peningkatan daya akomodasi juga dapat menyebabkan strabismus. Selain itu,
prevalensi strabismus dijumpai lebih tinggi pada anak-anak yang lahir dengan
prematuritas dan anak-anak dengan berat badan lahir rendah.
Penatalaksanaan pada strabismus dapat dibagi menjadi dua tujuan yaitu
tujuan fungsional dan tujuan kosmetik. Tujuan fungsional utama dari
pengobatan strabismus adalah untuk mencapai penglihatan binokular tunggal
dapat dilakukan dengan melakukan koreksi refraksi, penggunaan kacamata
prisma ataupun dapat dilakukan pembedahan. Komplikasi yang dapat terjadi
akibat strabismus adalah ambliopia, korespondensi retina abnormal, adaptasi
posisi kepala dan timbulnya masalah psikososial. Prognosis pada strabismus
27

dapat dinilai berdasarkan tujuan pengobatan, yaitu seberapa besar restorasi


penglihatan binokular (fungsional) dan saat mata yang juling menjadi tidak
terlihat sebagai kebutuhan kosmetik.
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta, Yulianti. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2012.
2. Giorgis AT, Bejiga A. Prevalence of strabismus among pre-school
children community in Butajira Town. Ethiop J Health Develop. 2017;
15(2).
3. Khorrami-Nejad M, Akabari MR, Khosravi B. The prevalence of
strabismus types in strabismic Iranian patients. Clinical Optometry.
2018; 10: 19-24.
4. Eva PR, Augsburger J. Vaughan & Asbury’s. General Ophtalmology.
Edisi 19. Penerbit : Mc.Graw Hill ; 2018
5. Rustein RP, Cogen MS, Cotter SA. Strabismus: Esotropia and
Exotropia. USA: American Optometric Association 2010
6. Louwagie CR, Diehl NN, Greenberg AE, Mohney BG. Is the incidence
of infantile esotropia declining?: a population-based study from
Olmsted County, Minnesota, 1965 to 1994. Arch Ophthalmol.
2009;127(2):200–203. doi:10.1001/archophthalmol.2008.568
7. Friedman DS, Repka MX, Katz J, et al. Prevalence of decreased visual
acuity among preschool-aged children in an American urban
population: the Baltimore Pediatric Eye Disease Study, methods, and
results. Ophthalmology. 2008; 115: 1786-95.
8. American Optometric Assosiation. Care of the Patient with Strabismus:
Esotropia and Exotropia. 2010. Diakses pada desember 2020.
9. Chia A, Dirani M, Chan Y-H et al. Prevalence of amblyopia and
strabismus in young Singaporean Chinese children. Invest Ophthalmol
Vis Sci. 2010; 51: 3411–7.
10. Ye XC, Pegado V, Patel MS, Wasserman WW. Strabismus genetics
across a spectrum of eye misalignment disorders. Clinical Genetics.
2014; 86: 103-111.
11. Muslim H. Akibat Strabismus Pada Anak dan Penatalaksanaannya. In:
Pertemuan Ilmiah Tahunan Regional Sumatera; 2010.
ttp://repository.unand.ac.id/id/eprint/225-Diakses desember 2020

Anda mungkin juga menyukai