Anda di halaman 1dari 42

LITERATURE REVIEW

HUBUNGAN STRES TERHADAP KEJADIAN TEMPOROMANDIBULAR


DISORDER PADA PENYANDANG DISABILITAS
TUNADAKSA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana


Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :
DINA ANISAWATI
20170340024

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

NASKAH SEMINAR HASIL

HUBUNGAN STRES TERHADAP KEJADIAN TEMPOROMANDIBULAR


DISORDER PADA PENYANDANG DISABILITAS
TUNADAKSA

Disusun oleh :
DINA ANISAWATI
20170340024

Telah disetujui pada tanggal:


10 November 2020
Dosen Pembimbing

drg. Edwyn Saleh, Sp. BMM


NIK. 19731212200410 173 066

Dosen Penguji I Dosen Penguji II

drg. Afina Hasnasari H, MPH drg. Widyapramana Dwi A, MDSc


NIK: 19891030201712 173 264 NIK: 197801122009101 173 11

Mengetahui,
Kaprodi Kedokteran Gigi FKIK
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. drg. Erlina Sih Mahanani, M. Kes


NIK: 197010142004101173067

ii
LEMBAR PERSEMBAHAN

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,


Sembah sujud serta rasa syukur kepada Allah SWT karena berkat limpahan
rahmat, karunia, dan kemudahan yang engkau berikan kepada hamba. Tak lupa
shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
yang telah membawa Penulis dan seluruh umat manusia dari zaman kegelapan
menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan menjadi teladan yang
baik bagi Penulis untuk selalu menuntut ilmu dengan penuh semangat sehingga
penulisan literature review sebagai tugas akhir ini dapat terselesaikan.

Literature review ini saya persembahkan sebagai ungkapan terima kasih


kepada orang-orang tersayang dan terkasih

Kedua Orang Tua


Sebagai tanda bukti rasa terima kasih dan hormat saya yang tak terhingga kepada
ayahanda tercinta (Dr.Waryana, M. Kes) dan ibunda (Amperawati, AMKep) yang
telah membesarkan, mendidik, mendoakan serta memberikan cinta kasihnya dan
memberikan dukungan moril maupun materil sehingga saya dapat menyelesaikan
studi hingga perguruan tinggi.

Kakak dan Keponakan


Sebagai tanda terima kasih kepada kakak tercinta (dr. Yusuf Samsudin dan Umi
Solikhah, AM.Keb) yang telah memberikan semangat dan
dukungannya. Keponakan tersayang Hayfa Khalwa yang selalu menghibur.

Dosen Pembimbing
drg. Edwyn Saleh, Sp.BMM. yang telah membimbing,
memberi nasehat dan mengajari saya dalam menyelesaikan literature review.

iii
Teman bimbingan
Sebagai rasa terima kasih kepada teman seperjuangan penulisan Literature
Review (Nisa Andita dan Widha Rachmada) yang telah berjuang, bekerja sama,
serta membantu satu sama lain selama penulisan Literature Review ini.

Sahabat-sahabat
Sebagai rasa terima kasih kepada sahabat tersayang (Ana, Dea, Alfi, Fani, Eva,
dll) karena sudah memberikan semangat, motivasi, dan bersedia mendengar keluh
kesah saya.

Teman-teman Kedokteran Gigi 2017


Sebagai rasa terima kasih karena sudah saling membantu, menguatkan, dan
menemani di awal studi hingga akhir studi sarjana.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,

Yogyakarta, 10 November 2020

Dina Anisawati

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
NASKAH SEMINAR HASIL.................................................................................ii
LEMBAR PERSEMBAHAN.................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
ABSTRACT.............................................................................................................vii
INTISARI.............................................................................................................viii
LATAR BELAKANG.............................................................................................1
A. Definisi Topik...............................................................................................1
B. Ruang Lingkup..............................................................................................4
C. Eksklusi.........................................................................................................4
D. Temuan Umum.............................................................................................4
E. Ketersediaan Literasi.....................................................................................6
KAJIAN PUSTAKA..............................................................................................20
A. Karakteristik Responden.............................................................................20
B. Instrumen Penelitian...................................................................................24
C. Stres Pada Penyandang Disabilitas Fisik Tunadaksa..................................29
D. Hubungan Stres Terhadap Kejadian Temporomandibular Disorder..........30
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ketersediaan Literasi...............................................................................14

vi
ABSTRACT

Health is a condition of free from disease, weakness, and disability. One form
of physical disability is known as quadriplegic. Person with physical disability
still have not fully received attention in their environment. One of psychological
impacts experienced by person with physical disability is stress. Stress is a
condition resulting from an individual's relationship with their environment
where there is a conflict between the demands and abilities of the individual's
biological, psychological, and social system. Stress has an effect on the body by
activating the hypothalamus-pituitary-adrenal-axis (HPA) through a complex
neural pathway that increases efferent gamma activity which cause the intrafusal
fibers in the spindles in the muscles to contract causing the muscles becomes
tense. If it happens continuously, it can lead to damage the temporomandibular
joint. The aim of this literature is to obtain a theoretical basis for the relationship
of stress with the incidence of temporomandibular disorder in quadriplegic
people. Quadriplegic people is a persons with physical disabilities that have
easily recognized than other types of disability. From the literature review above,
we can get an assumption if the psychological impact of stress experienced by
persons with physical disabilitiy (quadriplegic people) can increase the risk of the
occurance of temporomandibular disorder.

Keywords: Temporomandibular disorder, Stress, Quadriplegic People.

vii
INTISARI

Kesehatan merupakan kondisi terbebas dari adanya penyakit, kelemahan,


serta kecacatan. Salah satu bentuk kecacatan fisik dikenal dengan istilah
tunadaksa. Penyandang disabilitas fisik tunadaksa hingga saat ini masih belum
sepenuhnya mendapat perhatian dalam lingkungan. Salah satu dampak psikologis
yang dialami penyandang tunadaksa yaitu stres. Stres adalah suatu kondisi dari
hasil hubungan individu dengan lingkungannya dimana terjadi pertetentangan
antara tuntutan dan kemampuan biologis, psikologis, dan sistem sosial individu.
Stres memiliki efek pada tubuh dengan mengaktivasi hypothalamus-pituitary-
adrenal-axis (HPA) melalui pathway saraf yang kompleks meningkatkan aktivitas
gamma eferen yang menyebabkan serat intrafusal pada spindel di otot
berkontraksi sehingga otot menjadi tegang. Ketegangan otot jika terjadi terus-
menerus dapat memicu terjadinya gangguan bahkan kerusakan lebih lanjut pada
sendi temporomandibula atau yang dikenal dengan sitilah temporomandibular
disorder. Tujuan penulisan literature review ini adalah untuk mendapatkan
landasan teori tentang hubungan stres terhadap kejadian temporomandibular
disorder pada penyandang disabilitas tunadaksa. Penyandang disabilitas
tunadaksa atau penyandang tuna fisik memiliki ciri ketunaan yang mudah dikenali
daripada jenis ketunaan lainnya. Hasil dari penelaahan literature diatas di
dapatkan sebuah asumsi bahwa adanya dampak psikologis stres yang dialami
penyandang disabilitas tunadaksa dapat meningkatkan risiko terjadinya
temporomandibular disorder.

Kata kunci : Temporomandibular disorder, Stres, Penyandang Tunadaksa.

viii
LATAR BELAKANG

A. Definisi Topik

Kesehatan merupakan penggabungan dari komponen biomedis,

personal, dan sosiokultural. Aspek mental dan sosial adalah salah satu

aspek yang terkandung dalam definisi kesehatan secara luas serta tidak

hanya suatu keadaan terbebas dari adanya penyakit, kelemahan, dan

kecacatan (1). Bentuk kecacatan fisik yang paling banyak dialami dan

ditemui yaitu tunadaksa. Tunadaksa merujuk pada kata tuna yang berarti

kurang atau rugi dan daksa yang berarti tubuh (2). Penyandang disabilitas

fisik atau tunadaksa masih belum sepenuhnya mendapat perhatian di

lingkungan karena berbagai diskriminasi seperti hinaan dan celaan masih

sering mereka diterima. Konsidi tersebut dapat menyebabkan mereka

menjadi lebih menarik diri dari pergaulannya (3).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan

bahwa proporsi disabilitas pada anak berusia 5-17 tahun di Indonesia

mencapai 3,3%, pada orang dewasa berusia 18-59 tahun mencapai 22%,

dan disabilitas pada lansia berusia lebih dari 60 tahun mencapai 1,6%.

Estimasi disabilitas penyandang tunadaksa berdasarkan Pusdatin dan

Direktorat Orang dengan Kecacatan di Indonesia menurut data Kementrian

Sosial Indonesia pada tahun 2012 mencapai 717,312 jiwa atau sekitar

33,74%. Penyandang disabilitas tunadaksa dibandingkan dengan jenis

ketunaan yang lain lebih mudah dikenali karena ketunaannya yang tampak

1
2

jelas secara fisik serta penyandang menyadari hal tersebut. Akibat jenis

ketunaan tersebut, terdapat beberapa dampak psikologis yang dialami

penyandang tunadaksa seperti depresi, trauma, marah, shock, tidak dapat

menerima keadaan, keinginan untuk bunuh diri, dan stres (4).

Stres merupakan kondisi hubungan individu dengan lingkungannya

dimana terjadi pertentangan antara tuntutan dan kemampuan biologis,

psikologis, dan sistem sosial individu (5). Stres memiliki efek pada tubuh

dengan mengaktivasi hypothalamus-pituitary-adrenal-axis (HPA) melalui

pathway saraf yang kompleks meningkatkan aktivitas gamma eferen yang

menyebabkan serat intrafusal pada spindel di otot berkontraksi sehingga

otot menjadi tegang (6). Keadaan hiperaktifitas ini jika berlangsung terus-

menerus dalam kurun waktu yang lama akan memicu kelelahan otot yang

kemudian diikuti terjadinya kekejangan otot. Kondisi tersebut berdampak

pada terjadinya perubahan pada pola pengunyahan, disharmoni hubungan

gigi rahang atas dan rahang bawah, dan ketidakseimbangan distribusi

beban. Apabila kondisi ini terjadi terus-menerus dapat memicu terjadinya

gangguan dan kerusakan lebih lanjut pada sendi temporomandibula (7).

Sendi temporomandibula adalah sendi dengan struktur yang cukup

kompleks dari tubuh manusia yang berperan penting dalam proses

pengunyahan (6).
3

Seperti yang tertera pada Al-Qur’an Surat Al-Infitar ayat 8 tentang

penciptaan bagian tubuh manusia

Artinya : Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun

tubuhmu Potongan ayat tersebut menunjukkan salah satu kebesaran Allah

SWT yang telah menciptakan tubuh manusia sedemikian rupa dan

menyempurnakannya guna mempermudah manusia untuk beraktivitas juga

menunaikan segala kewajibannya.

Temporomandibular disorder (TMD) adalah kumpulan istilah yang

merujuk pada adanya rasa sakit serta gangguan pada sistem pengunyahan

dan sendi temporomandibula (8). Tanda paling umum dari

temporomandibular disorder yaitu adanya rasa sakit kronis yang dapat

menganggu kondisi psikologis seseorang seperti cemas, stres, depresi,

ketidakmampuan sosial, berkurangnya kapasitas dalam bekerja, dan

ketidakmampuan secara fisik (9). Insidensi tanda dan gejala

temporomandibuar disorder lebih tinggi terjadi pada populasi umum yaitu

sebesar (20-75%) daripada proporsi populasi yang datang untuk mencari

pengobatan (2%-4%). Gangguan sendi ini empat kali lebih umum terjadi

pada wanita (8%-15%) daripada pria (3%-10%) sedangkan rentang usia

bervariasi dan biasanya terjadi pada dekade kedua hingga keempat(10).

Prevalensi kejadian temproromandibular disorder berdasarkan beberapa

hasil studi cross sectional secara signifikan ditemukan lebih tinggi pada
4

usia 20-40 tahun (11). Penelitian sebelumnya oleh Hasanah dan

Chairunnisa di Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan bahawa

prevalensi terjadinya temporomandibular disorder paling banyak dialami

oleh perempuan dengan tingkat keparahan ringan dan sedang pada usia 17-

25 tahun dan keparahan berat pada usia 36-45 tahun dan 46-55 tahun (12).

Tujuan penulisan literature review ini adalah untuk mendapatkan

landasan teori tentang hubungan stres terhadap kejadian

temporomandibular disorder pada penyandang disabilitas fisik tunadaksa.

B. Ruang Lingkup

1. Pertanyaan penelitian

Bagaiamana hubungan antara stres dengan kejadian

temporomandibular disorder pada penyandang disabilitas fisik

(tunadaksa)?

2. Kriteria

a. Jurnal yang memiliki desain penelitian analitik

b. Jurnal yang memiliki desain penelitian kualitatif

c. Jurnal yang memiliki output berupa hubungan stres dengan

kejadian temporomandibular disorder

d. Jurnal yang memiliki output kejadian stres pada penyandang

disabilitas fisik (tunadaksa)

C. Eksklusi

1. Jurnal dengan desain penelitian literature review


5

2. Penelitian yang dilakukan secara in vivo dan in vitro

D. Temuan Umum

Penelitian oleh Mushtaq dan Akhouri pada 2016 yang dilakukan di

India dengan judul “Self Esteem, Anxiety, Depression, and Stress Among

Physically Disabled People”. Hasil statistik menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara level depresi, kecemasan, dan stres

dengan tingkat harga diri yang rendah pada orang dengan kondisi

disabilitas fisik dengan orang yang memiliki kondisi fisik normal. Nilai

rata-rata dari skor stres didapatkan 26,8 lebih tinggi pada orang dengan

kondisi disabilitas fisik daripada orang yang memiliki kondisi fisik

normal. Skor ini dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan stres antara

orang dengan kondisi disabilitas fisik dengan populasi dengan kondisi

fisik normal. Kondisi disabilitas fisik membuat seseorang menjadi lebih

ketergantungan yang dapat berakibat pada munculnya perasaan frustasi,

stres, dan kecemasan sehingga dapat mengarah pada tingkat harga diri

seseorang yang rendah (13).

Penelitian oleh Husada, dkk. (2019) di Indonesia dengan judul

penelitian “Hubungan antara Stres dengan Gangguan Sendi

Temporomandibula pada Mahasiswa Program Profesi Kedokteran Gigi”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya hubungan antara

stres dengan kejadian temporomandibular disorder yang cukup signifikan.

Nilai koefisien korelasi antara gejala stres dan gangguan sendi

temporomandibula (Dysfunction Index) sebesar 0,541. Berdasarkan pada


6

kriteria klasifikasi korelasi yang didapatkan, nilai 0,541 menunjukkan

adanya hubungan yang cukup kuat antara gejala stres dengan kejadian

temporomandibular disorder. Gejala yang paling sering dikeluhkan dokter

gigi muda pada penelitian tersebut adalah bunyi sendi dan nyeri atau rasa

sakit pada sendi temporomandibula. Bunyi sendi disebabkan karena pada

bagian posterior kondilus berada tidak tepat dengan meniskus saat

keduanya saling bergerak. Nyeri sendi disebabkan karena aktivitas otot

yang berlebihan dalam jangka waktu lama dan disfungsi otot selama

pengunyahan. Stres pada dokter gigi muda dapat dilihat dari hasil

pekerjaan klinis yang buruk dan tingkat kepuasan pasien yang rendah (7).

E. Ketersediaan Literasi

1. Urbayatun (2015) dengan judul penelitian “Stres Pada Penyintas

Gempa yang Mengalami Cacat Fisik” yang dilakukan di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kejadian stres

pada penyintas yang mengalami cacat fisik (tunadaksa). Jenis penelitian

ini merupakan penelitian dengan desain kualitatif. Responden pada

penelitian ini adalah penyintas disabilitas fisik korban gempa bumi

2006 di Bantul, Yogyakarta sebanyak 7 orang. Metode pengumpulan

data yaitu melalui wawancara, observasi, dan Foccus Group Discussion

(FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden mengalami

stres fisik seperti badan yang masih terasa sakit dan nyeri. Responden

mengalami stres emosional seperti sedih, jengkel, belum bisa menerima

kondisi kecacatan fisik yang dialami karena kesulitan dalam melakukan


7

pergerakan. Faktor lain yang dapat memicu adanya stres yaitu masalah

pekerjaan dan ketidakmampuan mereka dalam mengembalikan modal.

Kecacatan menjadi suatu stresor baru bagi mereka karena kesulitan

dalam melakukan pergerakan dan interaksi dengan orang yang memiliki

kondisi fisik normal (14).

2. Mushtaq dan Akhouri (2016) dengan judul penelitian “Self Esteem,

Anxiety, Depression, and Stress Among Physically Disabled People”

yang dilakukan di India. Penelitian ini memiliki tujuan untuk

mengetahui tingkat kepercayaan diri, depresi, kecemasan, dan stres

pada orang yang memiliki kemampuan yang berbeda (disabilitas

fisik). Responden yang terlibat sebanyak 50 orang dengan kondisi

disabilitas fisik dan 50 orang laki-laki dan perempuan dengan kondisi

fisik normal. Instrumen yang digunakan yaitu Depression Anxiety

Stress Scale (DASS) untuk mengukur tingkat depresi, kecemasan, dan

stres. Tingkat harga diri diukur menggunakan instumen Rosenberg

Self Esteem Scale. Hasil statistik menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara level depresi, kecemasan, dan stres dengan tingkat

harga diri yang rendah pada penyandang disabilitas fisik dengan orang

yang memiliki kondisi fisik normal. Nilai rata-rata dari skor stres

didapatkan 26,8 lebih tinggi pada orang dengan kondisi disabilitas

fisik daripada orang yang memiliki kondisi fisik normal. Skor ini

dengan jelas menunjukkan perbedaan stres antara orang dengan

kondisi disabilitas fisik dengan populasi orang dengan kondisi fisik


8

normal. Kondisi disabilitas fisik membuat seseorang menjadi lebih

ketergantungan yang dapat berakibat pada munculnya perasaan

frustasi, stres, dan kecemasan yang dapat mengarah pada tingkat harga

diri yang rendah (13).

3. Hughes, dkk. (2005) dengan judul penelitian “Stress And Women

With Physical Disabilities : Identifying Correlates” yang dilakukan di

Texas. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa hubungan stres yang

dirasakan penderita disabilitas fisik perempuan untuk mengidentifikasi

variabel yang dapat diterima sebagai intervensi psikososial yang akan

diberikan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan

kepada penyandang disabilitas fisik perempuan sebanyak 415

responden melalui wawancara secara tatap muka. Variabel penelitian

dikelompokkan pada 3 kelompok kategori yaitu variabel demografi,

variabel yang berkaitan dengan disabilitas, dan variabel yang yang

berpotensi terkait respon kondisi psikologi. Variabel disabilitas dan

keterbatasan fungsional dinilai menggunakan instrumen Medical

Outcomes Study Short Form-36 (SF-36). Mobilitas dinilai

menggunakan Craig Handicap Assesment And Reporting Techinque

(CHART). Variabel yang berkaitan dengan respon kondisi psikologi

dinilai dengan instrumen Perceived Stress Scale (PSS), dukungan

sosial diukur menggunakan instrumen Study Social Support Scale.

Isolasi sosial dinilai berdasarkan riwayat kontak dengan teman dan

saudara, informasi terkait pengalaman pelecehan dikumpulkan melalui


9

Abuse Assessment Screen-Disability (AAS-D), dan pengalaman rasa

sakit diukur menggunakan bodiliy pain subscale. Hasil penelitian

menunjukkan skor stres yang dirasakan rata-rata untuk sampel adalah

19,7 (SD 7,0) yang secara signifikan lebih tinggi (13,7, SD 6.6; t

15.96, p .001) daripada yang dilaporkan dalam sampel perempuan

dengan kondisi fisik normal secara umum. Kesimpulan penelitian ini

yaitu perempuan penyandang disabilitas fisik memiliki tingkat stres

yang dirasakan tinggi terutama mereka yang dibatasi oleh rasa sakit,

kurangnya dukungan sosial, dan yang memiliki pengalaman dengan

pelecehan (15).

4. Husada, dkk. (2019) dengan judul penelitian “Hubungan antara Stres

dengan Gangguan Sendi Temporomandibula pada Mahasiswa

Program Profesi Kedokteran Gigi” yang dilakukan di Indonesia.

Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis hubungan antara stres

dengan gangguan sendi temporomandibula (TMD) pada mahssiwa

program profesi kedokteran gigi. Penelitian dilakukan dengan metode

analitik dan pengambilan subjek dilakukan secara stratifikasi random

sampling terhadap 107 subjek yang diambil secara acak. Penilaian

gangguan sendi temporomandibula dengan menggunakan index

helkimo yang terdiri dari indek anamnesis dan disfungsi serta untuk

mengukur tingkat stres dilakukan melalui kuisioner. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat adanya hubungan antara stres dengan

kejadian temporomandibular disorder yang cukup signifikan dengan


10

nilai koefisien korelasi antara gejala stres dan gangguan sendi

temporomandibula (DI) sebesar 0,541 menunjukkan adanya hubungan

yang cukup kuat antara gejala stres dengan gangguan sendi

temporomandibula. Gejala yang paling sering dikeluhkan dokter gigi

muda pada penelitian tersebut adalah bunyi sendi dan nyeri atau rasa

sakit sendi. Bunyi sendi disebabkan karena bagian posterior kondilus

berada tidak tepat dengan meniskus saat keduanya saling bergerak.

Nyeri sendi yang dirasakan karena adanya aktivitas otot berlebih

dalam jangka waktu lama dan disfungsi otot selama pengunyahan.

Stres yang dialami dokter gigi muda dapat dinilai dari hasil pekerjaan

yang buruk serta rendahnya tingkat kepuasan pasien (7).

5. Penelitian oleh Augusto, dkk. (2016) dengan judul

“Temporomandibular Dysfunction, Stress, And Common Mental

Disorder in University Students” yang dilakukan pada mahasiswa

kedokteran gigi di Brazil. Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk

mengevaluasi prevalensi temporomandibular dysfunction dan

hubungannya dengan stres yang dirasakan serta gangguan mental

lainnya pada mahasiswa kedokteran gigi pada 586 subjek. Metode

penelitian yang digunakan adalah observasional transversal sedangkan

instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuisioner anamnesis

Fonseca untuk mendiagnosis temporomandibular disorder dan

Perceived Stress Scale digunakan untuk mengukur tingkat stres. Hasil

penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan secara


11

statistik antara temporomandibular disorder dengan kebiasaan

parafungsional, stres, dan ganguan mental umum lainnya. Kebiasaan

parafungsional yang umum dilakukan yaitu seperti menopang dagu

dan mengunyah permen karet. Kebiasaan parafungsional merupakan

suatu bentuk ketidaksadaran yang dapat terjadi selama tidur ataupun

saat terjaga dan dapat berkontribusi terkait dengan onset

temporomandibular disorder (16).

6. Penelitian oleh Fellbyan, dkk. (2020) di Indonesia dengan judul

“Correlation Between Stress and Temporomandibular Disorder in

Orphaned Adolescent in Banjarmasin”. Penelitian observasional

analitik ini bertujuan untuk menganalisa hubungan antara stres degan

kejadian temporomandibular disorder pada remaja yatim piatu di

Banjarmasin. Instrumen yang digunakan untuk menilai gangguan

sendi temporomandibula yaitu Research Diagnostic Criteria for

Temporomandibular Disorder (RDC/TMD) dan tingkat stres diukur

menggunakan instrumen Perceived Stress Scale. Subjek penelitian ini

yaitu remaja yatim piatu di Banjarmasin sebanyak 41 anak. Hasil

penelitian menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan

kejadian gangguan sendi temporomandibula atau temporomandibular

disorder pada remaja yatim piatu di Banjarmasin (p, 0,05) (17).

7. Penelitian oleh Riffel, dkk. (2015) dengan judul “Association of

Temporomandibular Dysfunction and Stress in University Students”

yang dilakukan di Brazil dengan tujuan untuk mengevaluasi pengaruh


12

stres emosional dengan temporomandibular disorder pada 696

mahasiswa. Instrumen Fonseca digunakan untuk menilai kejadian

temporomandibular disorder serta Readjustment Rating Scale untuk

mengetahui derajat stres. Hasil penelitian menunjukkan adanya

korelasi yang lemah antara stres dengan kejadian temporomandibular

disorder (r= 0,217). Korelasi antara temporomandibular disorder dan

stres lemah di semua kelompok yang diteliti, terlepas dari bidang

pengetahuan, masa pendidikan, dan nilai akademik (18).

8. Penelitian oleh Yanti, dkk. (2019) yang dilakukan di Indoensia dengan

judul “Association of Stress with Temporomandibular Disorder in

Indonesian Air Force Pilots” tujuan penelitian yaitu untuk menganalisa

hubungan antara stres, bruxism, dan keausan gigi yang dilakukan pada

responden pilot sebanyak 50 pilot yang bertugas dalam pesawat

transportasi dan 50 pilot yang bertugas dalam pesawat tempur.

Penilaian temporomandibular disorder menggunakan Axis 1 DC/TMD

dan penilaian adanya bruxism menggunakan kuisioner yang diadaptasi

dari American Academy of Sleep Medicine. Tingkat stres dievaluasi

menggunakan kuisioner dari index etiolgi temporomandibular disorder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya korelasi positif

antara stres, bruxism, dan keausan gigi dengan kejadian

temporomandibular disorder pada pilot trasnportasi dengan pilot

pesawat tempur. Nilai p untuk pilot transportasi adalah 0,018 dan untuk

pilot pesawat tempur adalah 0,010, menunjukkan perbedaan yang


13

signifikan secara statistik (p <0,05) dalam hubungan stres dengan TMD

di antara pilot (19).

9. Penelitian cross sectional dengan judul “Study of Stress-Induced

Temporomandibular Disorders Among Dental Students : An

Institutional Study” dilakukan oleh Ahuja, dkk. (2018) pada mahasiswa

kedokteran gigi di India. Sebanyak 450 responden dipilih dan dibagi

menjadi 2 kelompok kemudian dilakukan pemeriksaan klinis sendi

temporomandibula. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan suara

sendi, otot pengunyahan, pembukaan mulut, dan rentang pergerakan

mandibula. Tingkat stres diukur dengan menggunakan instrumen

Perceived Stress Scale dan Dental Environment Stress. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa stres merupakan faktor etiologi yang dapat

menginisiasi dan mengganggu proses penyembuhan

temporomandibular disorder. Kliking ditemukan sebagai tanda dari

temporomandibular disorder (24,9%) diantara mahasiswa Kedokteran

Gigi diikuti deviasi (16,3%), nyeri otot (14,3%), dan nyeri pada sendi

temporomandibula (5,7%). Temporomandibular disorder ditemukan

lebih tinggi pada siswa perempuan pre-klinik dengan kelompok usia 21-

25 tahun, skor skala stres lingkungan kedokteran gigi dan skor

Perceived Stress Scale menunjukkan hasil yang signifikan secara

statistik. Stres yang berkaitan pada kehidupan mahasiswa kedokteran

gigi berhubungan dengan jadwal kuliah yang padat, tekanan

lingkungan, manajemen pasien, dan sifat pekerjaan di kedokteran gigi


14

yang cukup sensitif dapat memicu adanya stres yang dialami mahasiswa

(20).

10. Penelitian oleh Saputra, dkk. (2016) di Indonesia dengan judul “A Study

of The Relationship Between Job Related Stress and

Temporomandibular Disorders in Accountans Working in Jakarta”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

intensitas dan frekuensi pekerjaan terkait stres dengan kejadian

temporomandibular disorder pada populasi produktif. Penelitian ini

merupakan penelitian analitik yang melibatkan 116 pekerja akuntan

sebagai subjek penelitian. Instrumen yang digunakan untuk mengukur

tingkat stres yang berkaitan dengan instensitas dan frekuensi bekerja

yaitu Job Stres Survey (JSS) dan untuk menilai adanya

temporomandibular disorder digunakan Temporomandibular Disorder

Diagnostic Index (TMD-DI). Hasil penelitian menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara intensitas stres terkait pekerjaan

dengan terjadinya temporomandibular disorder pada akuntan (p =

0,003). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara intensitas dan tingkat frekuensi stres terkait

pekerjaan dengan kejadian temporomandibular disorder pada usia

produktif. (21).
15

Tabel 1. Ketersediaan Literasi

No Nama peneliti Instrumen Jumlah Karakteristik Hasil


responden
1. Urbayatun (2015) - 7 Penyandang  Responden mengalami stres fisik yaitu pada
disabilitas fisik anggota tubuh yang masih terasa sakit dan nyeri.
(tuandaksa)
 Responden mengalami stres emosional seperti
sedih, jengkel, belum bisa menerima kondisi
kecacatan fisik yang dialami, serta karena
kesulitan dalam melakukan pergerakan.
2. Mushtaq dan  Depression 50 Penyandang  Nilai rata-rata dari skor stres didapatkan 26,8
Akhouri (2016) Anxiety disabilitas fisik lebih tinggi pada orang dengan kondisi disabilitas
Stress (tuandaksa) fisik daripada orang yang memiliki kondisi fisik
Scale normal.
(DASS) Bukan
penyandang
 Rosenberg 50 disabilitas fisik
Self Esteem (kondisi fisik
Scale normal)

3. Hughes, dkk. (2005)  Medical 415 Penyandang  Skor stres yang dirasakan rata-rata untuk sampel
Outcomes disabilitas fisik adalah 19,7 (SD 7,0) yang secara signifikan
Study Short (tunadaksa) lebih tinggi (13,7, SD 6.6; t 15.96, p .001)
Form-36 perempuan daripada yang dilaporkan dalam sampel
(SF-36) perempuan dengan kondisi fisik normal.
16

 Craig
Handicap
Assesment
And
Reporting
Techinque
(CHART)

 Perceived
Stress
Scale (PSS)

 Study
Social
Support
Scale.

 Abuse
Assessment
Screen-
Disability
(AAS-D)

 Bodiliy
pain
subscale.
4. Husada, dkk. (2019)  Index 107 Mahasiswa  TMD ringan 6,8%
helkimo profesi  TMD sedang 44,4%
17

kedokteran  TMD berat 49,2%


 Kuisioner gigi
stres
5. Augusto, dkk.  Fonseca 586 Mahasiswa  TMD ringan 50%
(2016) anamnestic kedokteran  TMD sedang 16,4%
index gigi  TMD berat 5,5%

 Perceived
stress scale
(PSS)
6. Fellbyan, dkk.  Research 41 Remaja yatim  Subjek dengan tingkat stres sedang (61%)
(2020) Diagnostic piatu mengalami TMD sebesar 68,3%.
Criteria for  Prosentase subjek sebanyak 58,5% mengalami
Temporoman nyeri miofascial.
dibular  Prosentase subjek sebanyak 9,8% mengalami
Disorder gangguan disk displacement.
(RDC/TMD)

 Perceived
Stress Scale
(PSS)
7. Riffel, dkk. (2015)  Fonseca 696 Mahasiswa  Dari total 489 responden mahasiswa
anamnestic (70,25%) subjek memiliki beberapa derajat
index. kejadian TMD dan TMD ringan paling umum
(309) di semua jurusan mahasiswa.
 Readjustmen
t Rating
Scale
18

8. Yanti, dkk. (2019)  Axis 1 50 Pilot  Uji Mann Whitney menunjukkan adanya
DC/TMD transportasi perbedaan yang signifikan antara stres dengan
kejadian TMD dengan nilai p= 0.018 vs. p=
 American Pilot pesawat 0.010. bruksisme dengan TMD sebesar p= 0.000
Academy of 50 tempur vs. p= 0.000, keausan gigi dengan TMD sebesar
Sleep p= 0.000 vs. p= 0.000 yang terjadi diantara pilot
Medicine transportasi dengan pilot pesawat tempur.

 Kuisioner
index etiolgi
temporomandi
bular
disorder.
9. Ahuja, dkk. (2018)  Perceives 450 Mahasiswa  Kliking ditemukan sebagai tanda dari
stress scale kedokteran temporomandibular disorder (24,9%) diantara
(PSS) gigi mahasiswa Kedokteran Gigi diikuti deviasi
(16,3%), nyeri otot (14,3%), dan nyeri pada
 Dental sendi temporomandibula (5,7%).
environment
Stress
10. Saputra, dkk. (2016)  Job Stres 116 Akuntan  Terdapat presentase yang lebih tinggi pada
Survey (JSS) pasien yang di diagnosis TMD (67,9%) pada
kelompok yang mengalami stres level sedang
 Temporomand terkait intensitas pekerjaan.
ibular  Kelompok yang memiliki skor stres tinggi
Disorder terkait intensitas pekerjaan, semua subjek
Diagnostic terdiagnosis TMD.
Index (TMD-  Kelompok yang memiliki skor stres rendah
19

DI). (49,2%) terkait frekuensi bekerja terdapat


beberapa subjek yang terdiagnosis TMD.
 Kelompok dengan skor stres sedang dan
tinggi terkait frekuensi bekerja memiliki
subjek yang terdiagnosis TMD sebesar 54,5%
dan 57,8%.
Total responden sebanyak 2.618
KAJIAN PUSTAKA

A. Karakteristik Responden

Responden pada penulisan literature review ini beragam. Responden

dibagi menjadi 2 yaitu responden pada penelitian stres yang dialami

penyandang disabilitas fisik (tunadaksa) dan responden penelitian terkait

hubungan stres dengan kejadian temporomandibular disorder.

a) Responden stres pada penyandang disabilitas fisik (tunadaksa)

Responden penyandang disabilitas fisik atau tunadaksa dibedakan

berdasarkan karakteristik persamaan latar belakang penyebab

kecacatan dan kondisi fisik responden. Karakteristik berdasarkan

persamaan latar belakang yaitu sebagai korban gempa bumi di

Yogyakarta pada tahun 2006. Saat dilakukan observasi melalui

wawancara mendalam terdapat perbedaan respon dalam

mengemukakan perasaannya secara verbal. Terdapat subjek yang

nampak semangat dan tersenyum dan ada juga yang merespon dengan

nada lirih dengan kata-kata secukupnya. Saat dilakukan Foccus Group

Discussion (FGD) subjek cenderung masih teringat dengan kejadian

gempa bumi, cenderung menangis dan menunjukkan mimik sedih saat

menceritakan kejadian (14).

Karakteristik responden berdasarkan kondisi fisik tubuh

ditemukan bahwa stres pada penyandang disabilitas fisik (tunadaksa)

perempuan lebih tinggi daripada perempuan dengan kondisi fisik tubuh


21

yang normal pada populasi umum. Kondisi tersebut terjadi karena

mereka lebih sering terisolasi, memiliki keterbatasan mobilitas dan

fungsi tubuh, membutuhkan bantuan atau asisten yang lebih dalam

menjalankan aktivitasnya, dan memiliki pegalaman terkait pelecehan

(15).

Level stres menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada subjek

dengan kondisi disabilitas fisik daripada subjek dengan kondisi fisik

normal. Nilai skor rata-rata stres pada penyandang disabilitas fisik

didapatkan sebesar 26,8 yang lebih tinggi daripada stres pada populasi

normal. (13).

b) Responden stres dengan kejadian temporomandibular disorder

Responden pada penelitian terkait stres dengan kejadian

temporomandibular disorder cukup beragam dan dibedakan

berdasarkan usia, jenis kelamin, dan status sosial responden.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa prevalensi kejadian

temporomandibular disorder terjadi paling banyak pada rentang usia

21-25 tahun pada mahasiswa pre-klinik kedokteran gigi. Tidak

terdapat perbedaan usia secara signifikan dengan tingkat stres yang

dialami mahasiswa kedokteran gigi. Hasil tersebut sejalan dengan

penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa puncak usia terjadinya

temporomandibular disorder pada usia antara 20 dan 40 tahun dengan

prevalensi rendah terjadi pada usia muda dan tua (20).


22

Penelitian yang melibatkan responden remaja berusia 13-18 tahun

didasarkan dari penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa

prevalensi kejadian temporomandibular disorder sebesar 36,9% terjadi

pada remaja berusia 13-18 tahun (17). Rentan usia responden 17-54

tahun karena berdasarkan penelitian sebelumnya dijelaskan jika pada

kelompok usia 20-30 tahun meunjukkan adanya skor level stres yang

cukup tinggi (17). Penelitian yang dilakukan Saputra pada 2016

memiliki responden dengan rentan usia antara 20-50 tahun karena

berdasarkan hasil kesimpulan penelitian terdahulu menyebutkan bahwa

gejala temporomandibular disorder ditemukan pada rentan usia

tersebut (21).

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ditemukan

bahwa kejadian temporomandibular disorder lebih tinggi ditemukan

pada perempuan daripada laki-laki (7, 16, 17, 18, 20). Kondisi tersebut

dapat terjadi karena perempuan memiliki tingkat paparan stres yang

lebih tinggi untuk domain pekerjaan akademik dan klinis daripada

laki-laki sehingga lebih rentan terkena temporomandibular disorder

(20). Fakta ini dikaitkan dengan adanya hormon esterogen pada wanita

yang dapat mempengaruhi ambang rasa sakit. Tingkat hormon

estrogen wanita mungkin menjelaskan lebih tingginya kelenturan

jaringan sendi yang menyebabkan kemampuan menahan tekanan

fungsional menjadi lebih rendah (16). Kejadian temporomandibular

disorder pada remaja yatim piatu putri dapat terjadi karena faktor
23

psikologis dan hormonal. Peningkatan hormon esterogen wanita dapat

memicu tingginya ekspresi IL-6 yang akan menyebabkan remaja putri

yatim piatu lebih sensitif terhadap rasa sakit termasuk rasa sakit pada

area wajah (17).

Terdapat tiga faktor penyebab perbedaan temporomandibular

disorder yang lebih rentan terjadi pada perempuan. Pertama karena

perbedaan biologis dan fisiologis antara perempuan dan laki-laki,

kedua adanya reseptor esterogen yang ditemukan pada kompleks sendi

temporomandibula, dan ketiga karena adanya faktor psikologis (7).

Peran perempuan dalam masyarakat dan berbagai tuntutan yang

mereka hadapi yaitu terkait pekerjaan rumah tangga dan karir

pekerjaannya yang dapat menimbulkan adanya stres dan kelelahan

(18).

Karakteristik responden berdasarkan status sosial terdiri dari

responden mahasiswa, mahasiswa kedokteran gigi, mahasiswa profesi

kedokteran gigi, remaja yatim piatu, pegawai akuntan, dan responden

yang berprofesi sebagai pilot. Stres berdasarkan status sosial sebagai

mahasiswa kedokteran gigi berkaitan dengan padatnya jadwal

akademik, manajemen pasien di klinik, dan sensitivitas pekerjaan di

kedokteran gigi (20). Stres pada mahasiswa profesi kedokteran gigi

dapat terjadi karena tekanan waktu, beban kerja yang berat, masalah

finansial, pasien yang sulit, kecemasan pasien, kondisi kerja yang

buruk, kegawatdaruratan medis kedokteran gigi, dan rasa bosan akibat


24

rutinitas (7). Faktor yang meningkatkan stres pada pegawai akuntan

adalah kebutuhan akan ketepatan waktu, intoleransi untuk kesalahan,

beban kerja yang berat, perubahan berkelanjutan dalam peraturan, dan

kebutuhan tingkat konsentrasi tinggi (21). Pada responden yang

bekerja sebagai pilot disebabkan karena terpapar lingkungan

penerbangan yang terus berubah seperti perubahan tekanan barometrik,

suplai oksigen, suhu, dan percepatan yang mengakibatkan terciptanya

lingkungan berisiko dan berpotensi stres yang tinggi (19).

B. Instrumen Penelitian

a) Instrumen penilaian stres pada penyandang tunadaksa

Instrumen penelitian stres pada penyandang disabilitas fisik

tunadaksa yaitu Depression Anxiety Stress Scale (DASS). DASS yang

dikembangkan oleh Lovibond (1995) adalah kuesioner laporan diri

yang terdiri dari 21 item yang dirancang untuk mengukur tingkat

keparahan berbagai gejala yang umum terjadi pada depresi dan

kecemasan. Setiap item diberi skor dari 0 hingga 3. Fungsi DASS

adalah untuk menilai keparahan gejala utama pada depresi, kecemasan,

dan stres. DASS memungkinkan tidak hanya untuk mengukur tingkat

keparahan gejala pasien, tetapi juga untuk mengukur respon pasien

dengan pengobatan. DASS dalam bahasa Inggris dan non-Inggris

memiliki konsistensi internal yang cukup tinggi (skor alpha Cronbach>

0,7) (13).
25

Pada penelitian yang menggunakan instrumen berupa Perceived

Stress Scale diadaptasi dari versi Cohen dan Williamson (1988),

berfungsi untuk mengevaluasi sejauh mana responden memiliki tingkat

stres dalam kehidupannya selama 1 bulan sebelumnya. Item dalam

PSS dinilai pada skala yang terdiri dari 5 poin (0 tidak pernah sampai 4

sangat sering) dengan skor total berkisar dari 0 hingga 40. Skor yang

lebih tinggi menunjukkan stres yang dirasakan lebih besar. Keandalan

internal (internal reliability) telah terbukti tinggi yaitu nilai alpha 0,78

(15).

b) Instrumen penilaian kejadian temporomandibular disorder

Terdapat beragam instrumen yang digunakan untuk menilai

kejadian temporomandibular disorder dalam peulisan literature

review ini. Instrumen index helkimo digunakan untuk menilai adanya

gangguan sendi temporomandibula. Index helkimo terdiri dari

Anamnestic index (AI) dan Dysfunction index (DI) dengan kategori

hasil pemeriksaan ringan, sedang, dan berat (7). TMD Diagnostic

Index (TMD-DI) yang digunakan telah dikembangkan sebelumnya

oleh Himawan dkk., pada 2006 untuk menilai kemungkinan adanya

temporomandibular disorder. TMD-DI terdiri dari 8 pertanyaan

dengan menggunakan skala frekuensi. Apabila responden tidak pernah

mengalami gejala maka dikategorikan mendapat skor 0, kadang-

kadang dikategorikan pada skor 1, sering dikategorikan pada skor 2,

dan selalu dikategorikan pada skor 3. Subjek dengan skor indeks


26

TMD-DI ≤ 3 dikategorikan sebagai penderita non-TMD, dan subjek

dengan skor indeks TMD-DI > 3 didiagnosis TMD (22).

Instrumen penelitian lain yang digunakan yaitu index Fonseca.

Index fonseca merupakan instrumen yang paling umum digunakan

untuk mendiagnosis nyeri pada daerah orofasial yang berhubungan

dengan faktor emosional, psikologi, tingkah laku, dan faktor kognitif.

Index Fonseca adalah indeks anamnesis sederhana yang berguna untuk

menilai tanda, gejala, serta tingkat keparahan TMD dan derajat

gangguan fungsional. Index fonseca terdiri dari sepuluh pertanyaan

klinis meliputi pemeriksaan subjektif dan pemeriksaan fisik. Setiap

item pertanyaan terdiri dari jawaban "ya", "tidak" dan "kadang-

kadang". Setiap jawaban memiliki penilaian sebagai berikut: ya = 10,

terkadang = 5, tidak = 0. (18).

Indek Fonseca adalah skala penilaian fungsional yang berisi 10

pertanyaan objektif untuk menilai apakah individu memiliki disfungsi

sendi temporomandibula. Instrumen ini mencirikan tingkat keparahan

gejala TMD dengan klasifikasi individu dengan skor tanpa TMD (0-

19), TMD ringan (20-44), TMD sedang (45-69) dan TMD berat (70-

100). Instrumen ini memiliki properti psikometri yang baik (16).

Kelebihan dan keuntungan index ini yaitu kemudahan untuk

mengumpulkan informasi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang

relatif singkat dengan biaya rendah. Instrumen ini juga mudah untuk
27

dimengerti, lebih praktis, dan tidak memiliki pengaruh atau efek

samping terhadap responden(18).

Research Diagnostic Criteria (RDC/TMD)/ RDC/TMD

merupakan instrumen yang terdiri dari kuisioner dan pemeriksan fisik

sendi temporomandibula. Pemeriksan fisik terkait RDC / TMD terdiri

dari pemeriksaan nyeri wajah yang meliputi pemeriksaan suara dan

pemeriksaan fisik pada otot intraoral, ekstraoral mulut dan sendi

temporomandibula. Hasil pemeriksaan RDC / TMD yaitu non-TMD,

TMD grup I (nyeri myofascial), TMD grup II (perpindahan diskus)

dan TMD grup III (penyakit degeneratif sendi) (17).

Instrumen Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders

(DC/TMD) merupakan sumbu ganda untuk pendekatan diagnosis

kejadian TMD. Axis I DC / TMD dan algoritma diagnostik untuk

mendiagnosis TMD. Indeks tersebut telah menjadi referensi standar

internasional untuk diagnosis TMD yang banyak digunakan oleh

dokter serta peneliti di berbagai negara. Axis I menitikberatkan pada

pemeriksaan klinis, dan Axis II pada efek psikososial (22).

c) Instrumen penilaian stres terhadap kejadian temporomandibular

disorder

Beberapa penelitian pada jurnal yang dikaji pada literature review

ini menggunakan instrumen Perceived Stress Scale (PSS) untuk

mengukur tingkat stres responden (20) (16) (17). PSS terdiri dari 10

pertanyaan yang dirancang untuk menilai bagaiamana kehidupan


28

responden berlangsung (tidak terprediksi, tidak terkontrol, dll).

Pertanyaan dalam PSS menanyakan terkait dengan perasaan dan

pikiran selama 1 bulan terakhir. Skor PSS menggunakan skala likert

yaitu (0 = tidak pernah, 1 = hampir tidak pernah, 2 = terkadang, 3 =

cukup sering, dan 4 = sangat sering) (20). Semakin tinggi skor stres

yang didapatkan, maka semakin besar stres yang dirasakan (16). Hasil

akhir PSS adalah berupa stres ringan, sedang, dan berat (17).

Instrumen Social Readjustment Rating Scale (SRRS)

dikembangkan oleh Holmes & Rahe (1967) yang didasarkan pada

premis bahwa saat-saat baik dan buruk kehidupan individu dapat

meningkatkan tingkat stres. Instrumen terdiri dari rangkaian 43

peristiwa kehidupan termasuk peristiwa positif dan negatif yang sering

dan jarang yang terjadi dalam 12 bulan terakhir (18). Pada penelitian

yang dilakukan dengan instrumen Job Stress Survey Quistionare

bertujuan untuk menilai intensitas dan frekuensi stres yang berkaitan

dengan pekerjaan. Instrumen tersebut telah diadaptasi dan

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 1991 oleh Sunarwinto.

Tingkat reliabilitas terjemahan dari instrumen tersebut telah diuji

menggunakan Cronbach's alpha. Skala stres yang berkaitan dengan

intensitas bekerja menunjukkan hasil sama dengan 0,94 dan skala

frekuensi stres terkait pekerjaan menunjukkan hasil sama dengan 0,96.

Stres pekerjaan terkait intensitas kerja mengevaluasi tingkat keparahan

yang dirasakan dari setiap stressor yang diberikan pada skala 1 sampai
29

dengan 9. Skala frekuensi stres terkait pekerjaan berguna untuk

mengevaluasi seberapa sering penyebab stres ditemukan dalam 6

bulan terakhir dengan skala 0 sampai 9 (22). Index Etiologi TMD

digunakan untuk mengukur tingkat stres pada pilot. Pertanyaan dalam

kuesioner tersebut meliputi 18 pertanyaan stres emosional yang

dialami. Kuesioner stres emosional ini dibagi menjadi 3 skala penilaian

yaitu 0 tidak pernah, 1 jarang, dan 2 sering (19).

C. Stres Pada Penyandang Disabilitas Fisik Tunadaksa

Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam dan FGD, ditemukan

bahwa beberapa penyebab stres pada penyandang disabilitas fisik

(tunadaksa) yaitu terkait masalah fisik berupa badan masih sakit dan nyeri,

masalah psikologis seperti sedih dan jengkel, masalah mobilitas yang

terganggu akibat kecacatan fisik, kehilangan pekerjaan, serta kurangnya

sumber modal. Beberapa hal tersebut masih menjadi sumber adanya stres

pada penyandang disabilitas fisik (tunadaksa) hingga saat ini (14).

Level stres menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada subjek

dengan kondisi disabilitas fisik daripada subjek dengan kondisi fisik yang

normal. Nilai skor rata-rata stres pada penyandang disabilitas fisik

didapatkan sebesar 26,8 lebih tinggi daripada stres pada populasi dengan

kondisi fisik normal. Hasil tersebut menunjukkan adanya perasaan

ketidakberdayaan, keputusasaan, frustrasi, rasa ketergantungan,

kehilangan, dan adanya perubahan perilaku orang-orang disekitar mereka

yang dapat memicu terjadinya stres pada penyandang disabilitas fisik


30

(tunadaksa) (13). Penyandang disabilitas perempaun fisik memiliki

tingkat stres yang dirasakan lebih tinggi terutama mereka yang

pergerakannya dibatasi karena rasa sakit, kurangnya dukungan sosial, dan

adanya pengalaman terkait dengan pelecehan (15).

D. Hubungan Stres Terhadap Kejadian Temporomandibular Disorder

Stres adalah suatu kondisi psikologis yang dapat dialami oleh setiap

orang termasuk anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua (17). Stres

didefinisikan sebagai kejadian sistemik pada tubuh yang dapat

mempengaruhi sistem pengunyahan. Adanya stres pada tubuh dapat

menyebabkan terjadinya perubahan yang berfungsi untuk mempersiapkan

otot tubuh termasuk otot pada sendi temporomandibula untuk menghadapi

segala bentuk beban yang melebihi kemampuan normalnya (7).

Stres emosional merupakan salah satu faktor umum yang dapat

mempengaruhi fungsi kerja pada otot pengunyahan (22). Adanya faktor

psikologis dapat memicu otot menjadi hiperaktif dan diikuti oleh

perubahan biomekanik yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit. Kondisi

tersebut juga dapat memproduksi neurotransmiter serotonin dan

ketidakseimbangan katekolamin yang berdampak pada timbulnya rasa

sakit atau nyeri (16). Adanya hiperaktivitas dan disfungsi otot

pengunyahan dapat berakibat pada rasa nyeri pada sendi

temporomandibula. Apabila kondisi hiperaktivitas otot ini berlangsung

lama maka akan menyebabkan kelelahan otot disertai kekejangan otot.

Kekejangan otot akan memicu masalah diantaranya disharmoni gigi geligi


31

rahang atas dan bawah, perubahan pola pengunyahan, dan

ketidakseimbangan distribusi beban yang jika berlangsung secara terus-

menerus akan berakibat adanya gangguan atau kerusakan lebih lanjut pada

sendi temporomandibula yang dikenal dengan istilah temporomandibular

disorder (7).

Stres yang dialami oleh manusia akan mengaktifkan Hipotalamus

Pituitary Adrenal (HPA) yang akan meningkatkan tonisitas otot

pengunyahan. Stres akan merangsang HPA untuk meningkatkan aktivitas

gamma eferen melalui jalur saraf yang kompleks yang dapat memicu

kontraksi pada otot. Kontraksi otot akan meningkatkan tonusitas pada otot

pengunyahan lebih lanjut (17). Akibat meningkatnya tonusitas otot dapat

menimbulkan tekanan pada bagian inter-artikular sendi temporomandibula

yang dapat berakibat adanya disfungsi sendi temporomandibula (19).


KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelaahan literature diatas didapatkan sebuah asumsi bahwa adanya

dampak psikologis stres yang dialami penyandang disabilitas fisik (tunadaksa)

dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan sendi temporomandibula atau

yang dikenal dengan istilah temporomandibular disorder. Temporomandibular

disorder memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada perempuan dan biasanya

menyerang pada dekade usia antara 20-50 tahun. Stres merupakan salah satu

etiologi terjadinya temporomandibular disorder yang sebelumnya telah banyak

diteliti hubungannya pada komunitas yang memiliki resiko dan paparan stres

cukup tinggi (dalam hal ini mahasiswa kedokteran gigi, pekerja akuntan, pilot,

dan remaja yatim piatu).

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak stres pada

penyandang disabilitas tunadaksa agar dapat membuktikan dan mengetahui

hubungan stres dengan kejadian temporomandibular disorder pada penyandang

disabilitas fisik tunadaksa berdasarkan hasil penelaahan kajian literature yang

telah ada. Diharapkan dari hasil penelitian tersebut masyarakat dapat mengetahui

adanya hubungan antara stres dengan gangguan sendi temporomandibula yang

saat ini masih jarang mereka sadari dan ketahui keberadaannya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Maulana HDJ. Promosi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGD; 2009. 3


p.

2. Larasati T, Savira SI. Resiliensi Pada Penyandang Tunadaksa Akibat


Kecelakaan. . Character. 2019;06:8.

3. Virlia S, Wijaya A. Penerimaan Diri pada Penyandang Tunadaksa. Semin


Psikol Dan Kemanusiaaan. 2015;372–7.

4. Adelina F, Akhmad SK, Hadi C. Bagaimana Agar Penyandang Tunadaksa


Mampu Menjadi Pribadi Yang Bahagia? J Sains Psikol. 2018 Dec
12;7(2):119–25.

5. Soedarto J. Eksplorasi Pengalaman Stres Pada Individu Yang Berperilaku


Bruksisme. 2016;5:6.

6. Okeson J. Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion. St


Louis Missouri: Elsevier; 2013. 2, 132, 109, 138 p.

7. Husada LE, Susiana S, Theresia E. Hubungan antara stres dengan gangguan


sendi temporomandibula pada mahasiswa program profesi kedokteran gigiThe
relationship between stress and temporomandibular joint disorders in dental
profession students. Padjadjaran J Dent Res Stud. 2019 Nov 9;3(2):129.

8. List T, Jensen RH. Temporomandibular disorders: Old ideas and new


concepts. Cephalalgia. 2017 Jun;37(7):692–704.

9. Bitiniene D, Zamaliauskiene R, Kubilius R, Leketas M, Gailius T,


Smirnovaite K. Quality of life in patients with temporomandibular disorders.
A systematic review. 2018;20(1):7.

10. Alkhudhairy M, Al Ramel F, Al Jader G, Al Saegh L, Al Hadad A, Alalwan


T, et al. A self-reported association between temporomandibular joint
disorders, headaches, and stress. J Int Soc Prev Community Dent.
2018;8(4):371.

11. Akhter R. Epidemiology of Temporomandibular Disorder in the General


Population: a Systematic Review. Adv Dent Oral Health [Internet]. 2019 Feb
19 [cited 2020 Sep 28];10(3). Available from:
https://juniperpublishers.com/adoh/ADOH.MS.ID.555787.php

12. Hasanah U, Chairunnisa R. Hubungan Jumlah dan Kuadran Kehilangan Gigi


Dengan TIngkat Keparahan Gangguan Sendi Temporomandibula Pasien
RSGM USU. J Ilm PANNMED. 2018;12(3):6.
34

13. Mushtaq S, Akhouri DD. Self Esteem, Anxiety, Depression and Stress among
Physically Disabled People. Int J Indian Psychol. 2016;3(4):9.

14. Urbayatun S. Stres Pada Penyintas Gempa Yang Mengalami Cacat. J Indig.
2015;13(1):102–9.

15. Hughes RB, Taylor HB, Robinson-Whelen S, Nosek MA. Stress and women
with physical disabilities: Identifying correlates. Womens Health Issues. 2005
Jan;15(1):14–20.

16. Augusto VG, Perina KCB, Penha DSG, Santos DCA dos, Oliveira VAS.
Temporomandibular Dysfunction, Stress And Common Mental Disorder In
University Students. Acta Ortopédica Bras. 2016 Dec;24(6):330–3.

17. Fellbyan F, Arifin R, Sari GD. Correlation Between Stress And


Temporomandibular Disorder In Orphaned Adolescent In Banjarmasin.
Dentino J Kedokt Gigi. 2020 Aug 15;5(2):127.

18. Riffel CDT, Flores ME, Scorsatto JT, Ceccon LV, De Conto F, Rovani G.
Association of Temporomandibular Dysfunction and Stress in University
Students. Int J Odontostomatol. 2015 Aug;9(2):191–7.

19. Yunita Y, Tanti I, Dewi RS. Association Of Stress With Temporomandibular


Disorder in Indonesian Air Force Pilot. Journal of International Dental and
Medical Research. 2019;12(3):1100–5.

20. Ahuja V, Ranjan V, Passi D, Jaiswal R. Study of stress-induced


temporomandibular disorders among dental students: An institutional study.
Natl J Maxillofac Surg. 2018;9(2):147.

21. Maura Saputra C, Laura Susanti H, Tanti I. A Study of the Relationship


Between Job Related Stress and Temporomandibular Disorders in
Accountants Working in Jakarta. J Dent Indones [Internet]. 2016 Dec 31
[cited 2020 Oct 12];23(3). Available from:
https://scholarhub.ui.ac.id/jdi/vol23/iss3/3/

22. Maura Saputra C, Tanti I. A Study of the Relationship Between Job Related
Stress and Temporomandibular Disorders in Accountants Working in Jakarta.
J Dent Indones [Internet]. 2016 Dec 31 [cited 2020 Oct 12];23(3). Available
from: https://scholarhub.ui.ac.id/jdi/vol23/iss3/3/

Anda mungkin juga menyukai