Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

I
slami
cFami
lyCl
ass
Ke
ranc
uanI
sti
la
h‘To
xicPa
rent
ing

Us
tad
zAnt
onI
smuna
ntoS
.Pd
.I.
,M.
Pd.
Ket
uaYay
asanBent
alaTamaddunNusant
ara

Sabt
u,1
9Se
pte
mbe
r20
20
ZOOMMe
eti
ng

@s
aki
naha
cad
emy@ma
sji
dka
mpus
ugm ma
sji
dka
mpus
.ug
m.a
c.i
d
KERANCUAN ISTILAH TOXIC PARENTING

Anton Ismunanto

Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara

Pendahuluan

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa materi ini (lisan maupun tulisan) tidaklah
disampaikan oleh orang yang memiliki kepakaran dalam bidang Psikologi maupun Parenting.
Materi ini disampaikan oleh orang yang menekuni Kajian Islam dan Pendidikan, yang karena
menjalankan tugas pengasuhan terhadap para santri di asrama serta kepada kedua anaknya,
harus belajar hal tersebut, baik secara teoritik maupun praktik.Akan tetapi dalam prosesnya,
ditemukan beberapa kejanggalan di dalam berbagai peristilahan yang dipakai dalam bahasan
parenting tersebut. Hal itu tidak lepas karena istilah yang bermasalah tersebut berasal dari
bahasa, bahkan lebih jauh, budaya, yang mengandung sistem nilai yang berbeda dari Islam.

Selain itu, sesuai permintaan panitia yang menghubungi, materi ini tidak akan
membahas istilah Toxic Parenting secara mendalam. Yang akan dilakukan adalah menjadikan
istilah tersebut sebagai salah satu contoh di antara berbagai kejanggalan yang ada dalam
bahasan parenting, tentunya ditinjau dari pandangan Islam. Hal demikian sangatlah penting
untuk dilakukan karena penggunaan istilah asing semacam itu, meski seringkali hanya secara
populer,bisa menggambarkan bahwa ada pergeseran dalam pemahaman dan cara pandang
seseorang.

Pandangan Islam dan Barat Kontemporer

Salah satu aspek paling asasi di dalam keislaman seseorang tidaklah terletak pada hal
yang lahir. Sebaliknya, keislaman paling awal dan pondasional berada di dalam batin seseorang.
Ketika berdakwah kepada orang Arab Jahiliyah Nabi Muhammad shallallâh ‘alaihi wa sallam
menyeru agar mereka mengucapkan persaksian bahwa tiada sesembahan yang Haqq selain
Allah dan beliau sebagai utusan Allah. Respon yang kemudian diterima Rasulullah adalah
penolakan.

Penolakan tersebut menunjukkan bahwa menjadi muslim tidak sesederhana berucap


dua kalimat syahadat. Ada satu cara pandang yang harus mereka tinggalkan sebagai
konsekuensi persaksian tersebut. Bahkan mereka harus mengakhiri berbagai pilar kebudayaan
mereka: penyembahan berhala, perzinahan, praktik ribawi, konsumsi minuman keras, serta
perbudakan. Mereka merasa berat untuk meninggalkan semua itu salah satunya karena semua
praktik jahiliyah tersebut berkaitan erat dengan roda perekonomian.

Setelah bersyahadat, seorang muslim harus memandang dunia dan kehidupan dengan
kerangka yang berasal dari apa yang menjadi turunan dari syahadat tersebut: al-Qur`an sebagai
kalamullah serta hadits yang berisi sunnah Rasulullah. Karena keduanya telah selesai dan tidak
berkembang di satu sisi,serta mengandung kekayaan pesan untuk menghadapi berbagai realitas
yang berubah di sisi yang lain, maka aspek ketiga dari pondasi pandangan Islam adalah ijtihad
para otoritas: ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, serta imam dari kalangan mufassirîn,
muhadditsîn, fuqahâ`, mutakallimîn dan mutashawwifîn.

Apa yang dimaksud ijtihad di sini adalah proses penggunaan nalar secara kreatif
berpedoman kepada kedua sumber tersebut. Ijtihad yang tidak hanya berkaitan dengan
persoalan hukum tersebutlah yang menjadi asas perkembangan tradisi intelektual Islam.
Tradisi intelektual Islam inilah yang pada gilirannya mematangkan pandangan Islam sehingga
bisa menjadi pegangan muslim, bahkan ketika menghadapi realitas kontemporer seperti saat ini.

Kemampuan pandangan Islam dalam menghadapi realitas kontemporer yang senantiasa


berubah tersebut tidak bisa dipisahkan dari karakteristik pandangan Islam itu sendiri, di
antaranya: Pertama, pandangan Islam berpusat pada Allah sebagai realitas tertinggi sekaligus
sumber dan muara dari berbagai realitas yang diciptakan-Nya. Kedua, pandangan Islam
menerima keberadaan realitas metafisik, membersamai, namun dengan kedudukan lebih tinggi,
realitas fisik.

Ketiga, pandangan Islam menegaskan keberadaan realitas yang bersifat permanen dan
tak berubah (tsawâbit), di samping keberadaan realitas yang senantiasa berganti
(mutaghayyirât). Keempat, pandangan Islam menegaskan kebertingkatan dari berbagai realitas
tersebut, berikut keberagaman cara untuk mencapainya: wahyu, intuisi, akal dan indera. Semua
itu membuat umat Islam memiliki jangkar kejiwaan sehingga tidak jatuh dalam kebingungan
ketika menatap berbagai perubahan (fisik) yang kasat mata.

Semua prinsip itu berlaku dalam memandang berbagai persoalan kehidupan. Rukun
iman misalkan, memberikan pokok persoalan yang melekat pada pandangan Islam: tentang
keberadaan, kenyataan, kebenaran, kebahagiaan, pertanggung-jawaban, serta hubungan sebab-
akibat dalam kehidupan. Darinya muncul berbagai persoalan turunan: Tuhan, alam, manusia,
ilmu, dan sebagainya. Semua hal itu pada gilirannya turut mendasari berbagai tindakan seorang
muslim.

Meski begitu, pergantian generasi berikut kondisi yang mengitarinya, pada gilirannya
mempengaruhi kondisi muslim berikut pandangan mereka, khususnya hari ini. Kondisi
eksternal dan internal umat yang mempengaruhi sepertiPerang Salib yang berkepanjangan,
penghancuran Baghdad oleh Mongol, pengusiran muslimin dari Andalusia, hingga penjajahan
dunia Islam selama beberapa abad, semua itu mempengaruhi performa umat Islam. Salah satu
yang paling dasar adalah menyempitnya kesempatan mereka untuk mempelajari agama Islam
secara mendalam berikut sistem pandangannya yang komplek.

Hal ini diperparah dengan wajah lain dari kenyataan tersebut, yaitu berpindahnya
pendulum kemajuan ilmu pengetahuan ke dunia Barat, diikuti dengan mentalitas mereka yang
hegemonik terhadap kebudayaan dan peradaban lainnya. Hal ini pada gilirannya membuat
generasi muslim terpapar pandangan Barat kontemporer dalam skala besar dan menggeser
kesadarannya yang berasal dari agamanya sendiri. Salah satu penanda paling sederhada dari hal
itu ada pada cara mereka berbahasa.

Pandangan Barat kontemporer dibentuk oleh berbagai sistem filsafat yang berkembang
sekurangnya lima ratus tahun terakhir. Dimulai dengan rasionalisme yang membuka gerbang
modernitas dan membelah dua realitas dengan pemisahan yang ketat (dikotomi), disusul
empirisisme berikut positivisme yang memberi penekanan berlebih pada pengalaman material
dan inderawi, termasuk belakangan pascamodernisme yang bertingkah seolah menafikan
kenyataan dan kebenaran, sekurangnya menolak kepastian akan ketercapaiannya (relativisme).

Pandangan Barat yang demikian mengangkat manusia pada kedudukan yang tinggi,
bahkan mensubordinasikan Tuhan. Humanisme yang seringkali dipersangkai baik sebagai
kemanusiaan, menjadikan manusia sebagai ukuran atas berbagai hal, termasuk kebenaran.
Akibat akhirnya, dinamika perubahan yang terjadi pada diri dan masyarakat-lah, yang tidak ada
habisnya, dianggap sebagai pokok kenyataan yang mempengaruhi kebenaran. Jika pribadi dan
masyarakat bergolak dengan satu fenomena tertentu, maka nilai yang ada di dalam diri mereka
akan turut mengalami pergeseran. Hal demikian sejatinya hanya akan menggiring mereka pada
kenestapaan akibat tidak dicapainya satu ukuran tertentu yang bersifat selesai1.

Soal Pendidikan, Khususnya Terhadap Anak

Hampir bisa dikatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mendudukkan tinggi
pendidikan. Hal itu karena manusia dan pendidikan adalah dua sisi dari satu keping mata uang
yang sama. Karena manusia mengalami pertumbuhan secara fisik, hal itu menuntut adanya
pematangan secara kejiwaan, dan itu memerlukan pendidikan. Pendidikan berkaitan erat
dengan perkembangan aspek internal manusia: kejiwaannya.

Pendidikan paling alamiah dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, maupun
kepada generasi mudanya, secara khusus kepada anaknya. Hal ini berkaitan erat dengan
penguatan dan pewarisan nilai, serta pengembangan potensi diri maupun orang lainnya. Semua
itu berjalan secara alamiah sebagai bagian dari hidup keseharian.

Belakangan pendidikan mengalami formalisasi. Formalisasi secara sederhana adalah


sistematisasi berkaitan dengan waktu, tempat, materi, penjenjangan, serta kriteria subjek dan
objek. Akan tetapi pergeseran kesadaran menuju masyarakat yang industrialistik dan
materialistik menggeser pula makna pendidikan menuruti orientasi ekonomi dan profesional.
Hal ini berguna secara signifikan bagi sebagian aspek dari kehidupan manusia, tapi tidak
dengan aspek lainnya.

Semakin banyaknya materi dan penjenjangan pendidikan mengandaikan telah


terpenuhinya berbagai hal yang perlu dipelajari manusia. Namun orientasi yang telah bergeser
ternyata membuat berbagai materi yang diperlukan dalam kehidupan, yang tidak berkaitan
dengan dunia industri dan ekonomi tidak diajarkan. Sedihnya, materi yang demikian luput
ditangkap oleh pendidikan formal, dan di sisi yang lain, telah terlupakan oleh orang tua dan
keluarga. Akhirnya ada kesenjangan yang terjadi, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan
anak.

Konsekuensi yang berlaku akibat kesenjangan tersebut, khususnya berkaitan dengan


pendidikan anak, belakangan disadari oleh berbagai pihak. Meski situasi demikian, tetap saja
materi berkaitan dengan hal alamiah yang harus dijalani manusia, tidak diajarkan di lembaga
pendidikan formal. Umumnya orang akan menikah, punya anak dan menjadi orang tua, tapi

1
Seluruh uraian pada bagian ini sangat dipengaruhi oleh penjelasan Hamid Fahmy Zarkasyi, khususnya yang
telah didokumentasikan dalam Anton Ismunanto, Pemikiran Hamid Fahmy Zarkasyi dan Kontribusinya
Terhadap Pengembangan Pendidikan Tinggi Gontor, Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2018.
wawasan pengasuhan tidak disiapkan secara khusus, meskipun tantangan kehidupan
kontemporer semakin berat.

Salah satu respon yang cukup baik di masyarakat adalah dengan munculnya
perbincangan mengenai pendidikan anak atau parenting. Keterbatasan dalam wawasan
pengasuhan dalam diri banyak orang, coba diselesaikan melalui berbagai hal bertema parenting:
buku, seminar, diskusi. Bahkan orang yang telah menjalani pengalaman bertahunan sebagai
orang tua, turut merasakan kebutuhan akan materi tersebut. Sementara di kalangan pasangan
muda, hal tersebut semakin semarak seiring berjalannya waktu, meski masih didominasi oleh
kelas sosial tertentu, khususnya kalangan menengah-atas dalam arti luas.

Dalam kondisi kesadaran akan pentingnya pendidikan anak yang semakin tinggi,
keterbatasan akses terhadap turats sebagai warisan tradisi intelektual Islam yang begitu
berharga, sangatlah terbatas. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat telah
membawa mereka untuk menata bahasan parenting ini secara seksama dan
mengartikulasikannya dengan ungkapan yang kaya. Akan tetapi kalau ditelisik lebih dalam,
terdapat sistem nilai yang berbeda di dalam persoalan pendidikan anak tersebut, yang
kemudian terekspresikan juga di dalam kekata kunci dan konsep-konsepnya.

Doktrin humanisme yang menjadi dasaran bagi pandangan hidup Barat kontemporer
berdampak sistemik terhadap falsafah pendidikan anak (the philosophy of parenting ?) yang
menjelma menjadi rumusan teoritik maupun panduan pratik. Asumsi dasar tentang manusia
yang sangat (maha?) berkuasa, menekankan pada satu atau dua aspek kedirian manusia semata,
serta penghargaan berlebih pada jiwa hewani (hayawâniyah atau animal soul) baik sisi
ghadhabiyah maupun syahwaniyah, pada gilirannya membawa muslim menjalankan fungsi
pengasuhan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki Islam.

Orang Tua dan Keluarga Beracun?

Sekurangnya terdapat dua kata yang kami temukan2berhubungan dengan hal ini: toxic
dan poisonous, yang secara sederhana berarti “racun” dan “beracun”. Adapun penggunaannya
disandingkan dengan people, parents, parenting, dan sebagainya. Istilah yang demikian
mengandaikan bahwa terdapat pribadi, orang, orang tua, serta pengasuhan yang mengandung
racun, sehingga konsekuensinya berbahaya bagi orang yang berinteraksi dengan itu.

Lillian Glass sebagai orang yang mencetuskan penggunaan istilah tersebut melalui
bukunya Toxic People3mendefiniskan toxic relationship sebagai “any relationship (between
people who) don’t support each other, where there`s conflict and one seeks to undermine the other,
where there’s competition, where there’s disrespect and lack of cohesiveness”4.

Sementara itu Kristen Fuller, spesialis kesehatan mental dari California menambahkan
bahwa toxic relationship:mentally, emotionally and possibly even physically damaging to one or
both participants. Dari kedua pernyataan tersebut bisa disimpulkan sementara bahwa sesuatu

2
Terima kasih kepada saudara Rakhman Satrio, panitia acara yang telah memberikan tiga buku berformat pdf
mengenai persoalan ini.
3
Lillian Glass, Toxic People, New York, etc. : Simon & Schuster, 1995. (pdf)
4
https://time.com/55274206/toxic-relationship-signs-help/ diakses pada 18 September 2020, 20.00.
dikatakan “beracun” jika menimbulkan persoalan mental, emosional, bahkan fisik, bagi orang
lain, baik melalui sikap meremehkan, merendahkan, persaingan, tidak hormat dan sebagainya5.

Kesimpulan sementara ini bisa dikuatkan dengan berbagai pertanyaan penguji yang
tersaji di dalam buku yang disebut di atas. Do you feel emotionally numb after talk to this person?
Do you feel angry and irritable around the person? Do you lack respect for the person or does he or
she disrespect you? Do you have the urge to punch or do bodily harm to the person at times? Do
you have difficulty catching your breath? Does the person touch you aggresively? Do you find that
the person makes ugly or snide comments to you? Do you find yourself taking issue with everything
the person says?

Berbagai pertanyaan tersebut adalah tujuh sampel bernomor 1, 11, 21, 31, 41, 51, 61, 71,
dari 78 pertanyaan yang tersedia untuk menguji apakah kita berhubungan dengan orang
bermasalah. Berbagai pertanyaan tersebut meliputi dimensi emotional, behavioral, physical,
communication symtomps. Artinya, cukup banyak aspek kedirian manusia yang
dipertimbangkan, namun mengabaikan aspek yang lebih tinggi dari manusia: kognisi dan
rasionalitasnya.

Dari kesemuanya itu bisa ditemukan kesimpulan lanjutan bahwa ukuran yang dibuat
sangat personal, psikologis dan individualistik, yang tidak merujuk kepada satu ukuran atau
kriteria kebenaran tertentu. Apa yang disebut doktrin humanisme yang menggambarkan
kedudukan manusia sebagai penentu nilai benar-benar berlaku. Manusia dengan animal
soulatau hayawâniyah yang terletak di dalam dirinya menjadi standar penilaian dari toxicity
seseorang, hubungan, keluarga dan sebagainya.

Sementara itu, di bagian awal buku Toxic Parents6tertera secara singkat sebagai
panduan ringkas, enam jenis “orang tua beracun”. Pertama, the inadequate parents yang fokus
pada diri sendiri dan memaksa anak cepat matang untuk kepentingan orang tua itu sendiri.
Kedua, the controllers yang memanfaatkan rasa bersalah anak dan beberapa manipulasi lain
untuk mengendalikan hidup anak. Ketiga, the alcoholics yang terjebak dengan permasalahan
emosionalnya sendiri sehingga hampir tak punya waktu untuk menjadi orang tua.

Keempat, the verbal abusers yang dengan kekatanya melemahkan kepercayaan diri anak
dan menghancurkan kondisi kejiwaan mereka. Kelima, the physical abusers yang tak cakap
menata amarahnya serta suka menyalahkan anak atas perilakunya sendiri yang tak terkendali.
Keenam, the sexual abusers yang suka menggoda diam-diam ataupun menampakkan dorongan
seksual secara mencolok serta menghancurkan kepolosan anak dan kedalaman batin mereka.

Kalau dari yang berbagai ukuran tersebut, memang tidak jadi soal untuk menyebut yang
bersangkutan sebagai “racun”. Bahwa yang demikian ada di masyarakat muslim kita, namun
harus disadari bahwa itu adalah persoalan sosial yang berkaitan erat dengan kebudayaan
manusia Barat kontemporer. Lagi-lagi, bahwa gejala demikian mulai tampak di masyarakat
muslim, namun kita memiliki kondisi sosial yang berbeda dengan mereka. Sebagai contoh,
silahkan lihat acara tivi yang menarik, Nanny 911, yang secara apa adanya menggambarkan
problem pendidikan anak di kalangan masyarakat Barat kontemporer. Dengannya akan disadari
betul bahwa ada sesuatu yang secara esensial berbeda di dalam relung kebudayaan mereka.

Ibid.
5
6
Susan Forward & Craig Buck, Toxic Parents, New York, etc.: Bantam Books, 2014. (pdf)
Yang menyedihkan, sebagai konsekuensi dari menyebarnya istilah ini di masyarakat kita
adalah seringnya anak muda dan dewasa yang menggunakan istilah ini secara gampang untuk
kasus yang tingkat persoalannya jauh berada di bawah kondisi tersebut di atas. Sekali-dua kali
itu dilakukan, mungkin bisa dimaklumi. Tapi membiarkan hal itu terus menerus akan
menyebabkan pergeseran kesadaran yang signifikan. Di antara yang hampir pasti terjadi dalam
kasus anak yang “men-toksifikasi” orang tuanya adalah keengganan mereka untuk memahami
persoalan secara benar, menyelesaikannya, ataupun menyelesaikannya dengan cara yang benar.

Sementara itu, dalam buku Poisonous Parenting7dibuka dengan pertanyaan yang


mengindikasikan problem kepengasuhan seperti: “Apakah kamu merasa tidak pernah bisa
menyenangkan hati orang tuamu?”, “Apakah orang tuamu mengolokmu baik di depan maupun
di belakangmu?”, “Apakah kamu sebagai orang dewasa pernah merasa perlu membuat drama
untuk menguji apakah orang tuamu akan membantumu pada situasi sulit, meski kamu tahu
mereka takkan melakukannya?”, “Apakah kamu tidak suka pada orang tuamu dan juga kepada
caramu berinteraksi dengan mereka, namun tidak mampu berbuat apapun untuk mengubah
kondisi tersebut?”.8 Itu di antara penanda bahwa ada satu pola hubungan orang tua dan anak
yang memang bermasalah, namun, meski ada di sekitar kita, itu sangat sedikit, dan terdengar
aneh jika terjadi di masyarakat kita.

Agaknya benar jika kita mencoba memahami fenomena ini dari perspektif Syed
Muhammad Naquib al-Attas yang menegaskan tentang adanya generation gap yang terjadi
akibat perbedaan sistem nilai yang berbeda antara generasi tua, muda, dan anak-anak yang
sedang bertumbuh. Hal itu sebagai konsekuensi sistem pandangan hidup mereka yang memang
mengandaikan adanya perubahan berkelanjutan tanpa henti karena tidak adanya jangkar bagi
persoalan demikian.

Pengasuhan Dalam Islam

Kalau membahas pengasuhan atau pendidikan anak dalam Islam, maka kedudukan
persoalannya pasti menginduk pada ajaran Islam itu sendiri. Pengasuhan adalah bagian dari
pendidikan, sedang pendidikan adalah cabang dari ilmu-ilmu Islam dan praktiknya. Jika
demikian, maka pengasuhan dalam Islam pastilah merujuk kepada dua sumber utama Islam,
yaitu al-Qur`an dan as-Sunnah, berikut penjelasan dari para otoritas.

Terdapat cukup banyak ayat di dalam al-Qur`an yang menyinggung tentang pendidikan
anak, seperti beberapa yang akan disebutkan berikut. Pertama, pesan Nabi Ibrahim dan Nabi
Yaqub kepada anak cucu mereka agar tidak mati kecuali sebagai muslim9. Pesan agar tidak mati,
terlebih dengan gaya bahasa penekanan, menunjukkan bahwa hal ini bukan persoalan yang
main-main. Berarti, mati sebagai muslim bukanlah hal yang mudah didapatkan, dan karenanya
harus diperjuangkan. Secara lahir mungkin mudah, tapi tidak secara hakikat.

Hal itu berarti pula bahwa orang tua harus membina anak mereka untuk berserah diri
kepada Allah menuruti cara Rasulullah sepanjang hidupnya yang dengannya anak-anak mereka
tersebut memiliki pegangan untuk hidup di dunia dan menyelamatkan di akhirat. Jangan sampai

7
Shea M. Dunham, etc. (ed), Poisonous Parenting, New York & London: Routledge, 2011. (pdf)
8
Ibid, xvii. Bunyi pertanyaan disesuaikan menjadi bentuk kepada orang ke-dua.
9
Q.S. al-Baqarah (2) ayat 132.
pengawalan terhadap anak hanya sekedar menyekolahkan mereka di lembaga islami agar shalih
di usia belia, namun target lanjutannya sebagai manusia dewasa hanya sekedar menjadi
pengumpul harta, tahta dan dunia, sehingga ketika mati tidak diketahui lagi status
keislamannya secara hakiki.

Kedua, wasiat Nabi Yaqub menjelang kematian kepada anak-anaknya10. Ia bertanya


kepada mereka, apa dan siapa yang akan mereka sembah selepas dirinya mati. Ini menunjukkan
bahwa warisan terpenting orang tua, secara khusus bapak, adalah orientasi hidup yang benar.
Nabi Yaqub bertanya, “kalian nyembah apa setelah aku mati?”. Ia tidak bertanya, “kalian makan
apa kalau aku mati?” ataupun “kalian kerja apa kalau aku mati?”. Yang dipikirkan orang tua
bukan tentang materi seperti makanan dan pekerjaan, tapi iman dan keyakinan.

Ketiga, nasihat Luqman Yang Bijak (al-hakîm) kepada anaknya agar tidak menyekutukan
Allah, karena itu adalah kejahatan terbesar yang dilakukan manusia11. Setelah mengesakan
Allah, kewajiban kedua manusia adalah berbakti pada orang tua, sehingga kejahatan terbesar
setelah kesyirikan adalah kedurhakaan kepada orang tua. Meski begitu, jika orang tua berjuang
keras (jâhadâka, dari kata jihâd) agar anak melakukan kesyirikan, maka tidak boleh patuh,
namun tetap berinteraksi dengan mereka secara baik12.

Dalam rangkaian ayat tersebut terdapat pelajaran tentang kedurhakaan kepada Allah,
kedurhakaan orang tua pada Allah dan kepada anak (orang tua toxic ?), serta bakti pada orang
tua meskipun menolak penyimpangan mereka. Persoalan bakti pada Allah dan pada orang tua
adalah dua hal yang berlaku permanen. Mengenai tauhid kedudukannya jelas dan tegas. Adapun
bakti pada orang tua merupakan persoalan yang ditegaskan Islam sebagai kewajiban agama dan
harus dilakukan, bukan semata karena faktor biologis dan psikologis-emosional, tapi peritah
Allah sendiri.

Keempat, disebutkan di dalam hadits bahwa semua orang terlahir dalam fithrah, lalu
orang tuanyalah yang menjedikannya Yahudi, Nashrani, Majusi (fa abawâhu yuhawwidânihi au
yunashshirânihi au yumajjisânihi)13. Dari hadits tersebut tampak jelas bahwa fithrah adalah
tauhid. Adapun orang tua (dan lingkungan) bertanggung jawab untuk memastikan anak tetap
berada di dalam fithrah tersebut dan tidak keluar darinya, baik menuju Yahudi, Nashrani,
Majusi, ataupun selainnya.

Kelima, kisah Umar bin Khaththab yang mendapat aduan dari seorang lelaki mengenai
kedurhakaan anaknya14.Ketika dihadirkan, anaknya bertanya kepada Umar mengenai
kewajiban orang tua kepada anak. Umar lantas menyebutkan tiga hal: memilihkan ibu yang baik,
memberi nama yang baik, serta mengajarkan al-Qur`an. Anak tersebut kemudian
menyampaikan kepada Umar bahwa bapaknya tidak melakukannya: memilih ibu yang
merupakan budak Majusi, memberi nama yang buruk, serta tidak sedikitpun mengajarkan al—
Qur`an. Ketika itu Umar mengatakan kepada pengadu asa`tahu qabla an yusî`aka, kamu telah
lebih dulu berbuat buruk kepadanya sebelum dia berbuat buruk padamu.

10
Q.S. al-Baqarah (2) ayat 133.
11
Q.S. Luqman (31) ayat 13.
12
Ibid, ayat 14-15.
13
H.R. Muslim nomor 4932.
14
https://www.islamweb.net/ar/article/12615/%D8%AD%D9%82-%D8%A7%D9%84%D9%88%D9%84%D8%AF-
%D8%B9%D9%84%D9%89-%D9%88%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%87 diakses 18 September 2020,
pukul 20.00.
Dari kelima teks yang dihadirkan, bisa disimpulkan bahwa Islam memiliki konsep
pengasuhan yang berbeda. Sementara toxic parenting berpijak kepada asas pemenuhan
kebutuhan mental, emosional dan psikologis, Islammemiliki penekanan yang berbeda. Tentu
saja Islam mengafirmasi kebutuhan anak akan pemenuhan mental, emosional dan psikologis.
Namun Islam menjadikan faktor yang lebih dalam yang harus dipenuhi orang tua kepada anak.

Hak dan kebutuhan anak sebagai manusia ciptaan Allah yang harus dipenuhi orang tua
adalah tauhid, iman, aqidah. Tauhid adalah fithrah manusia yang merupakan kunci menuju
iman kepada malaikat, kitab, rasul, kiamat dan takdir, sebagai bangunan aqidah yang dengannya
manusia memandang kebenaran dan kenyataan. Hal itu adalah bekalnya menjalani hidup yang
harus dirawat sampai mati, dan harus dipastikan bahwa itu juga menjadi pegangan generasi
selanjutnya. Menyelesihi hal itu adalah kejahatan yang sangat besar dan orang tua yang abai
untuk mendidik anak dengan hal itu merupakan bentuk kedurhakaan yang sangat serius kepada
anak.

Dalam prosesnya orang tua memang harus memperhatikan tujuan dan cara yang tepat.
Tujuan yang tepat merupakan bagian dari keikhlasan yang membuat proses pengasuhan
mendapatkan tuntunan Tuhan. Sedangkan cara yang tepat adalah penyempurnaan dari tujuan
tersebut. Jika tauhid, iman, aqidah tertanam dengan benar, apa yang disebut sebagai “luka
pengasuhan” akan selesai dengan sendirinya. Dinyatakan demikian karena kekuatan tauhid,
iman dan aqidah, melampaui problem emosional dan psikologis yang terbentuk dalam proses
pengasuhan yang panjang. Orang yang tertanam tauhid, iman, aqidah yang kokoh, akan
mengelola psikologinya untuk tunduk pada asas kebenaran, bukan sebaliknya, mengalahkan
kebenaran di hadapan selera pribadi. Hal demikian bisa dibuktikan secara historis
dalamperjalanan sejarah umat Islam. Wallâhu a’lam wahuwal-musta’an.

Penutup

Zaman yang terus berkembang rupanya tidak berjalan seiring dengan kematangan
dalam pengasuhan. Kesadaran akan pentingnya mendidik anak, khususnya dengan pendekatan
yang lebih kaya dibanding apa yang didapatkan dari pengalaman pribadi, tentu harus disambut
baik. Namun hal ini tidak berarti bahwa orang tua bisa menyerap begitu saja berbagai konsep
asing yang disajikan oleh psikologi kontemporer yang berasal dari pandangan hidup Barat.
Tanpa sedikitpun menganggap bahwa itu tidak berguna sama sekali, muslim harus menyadari
bahwa di dalam tradisinya sendiri tersimpan berbagai konsep pokok mengenai manusia dan
kebahagiaannya yang tidak disentuh oleh ilmu jiwa kiwari. Mencoba mencocokkan kembali
konsep dan praktik pengasuhan kepada apa yang telah menjadi landasan bagi pendidikan
generasi awal umat Islam sangatlah penting. Hal itu juga berkaitan dengan kemampuan untuk
menggunakan berbagai konsep, menuruti kerangka yang dimiliki Islam, yang bermuara pada
hakikat manusia yang berdimensi jasadi dan ruhani, serta duniawi dan ukhrawi.
Pertanyaan

1. Isnan Hidayat_Solo
Bagaimana cara kita menghadapi isu seputar kerancuan istilah apapun, termasuk
seperti kasus toxic parenting, di mana, di satu sisi ada kondisi riil yang tertangkap
secara ilmiah terkait masalah parenting yang ada, namun di sisi lain ulasan ini
dimanfaatkan oleh beberapa aktivis, khususnya pegiat anti-keluarga untuk
menjalankan kampanyenya?

Jawab:
Pertama, mengenai penggunaan istilah asing, kita bisa menggunakan kaidah al-‘ibrah
bil-musammayât lâ bil-asmâ`, penilaian itu berdasarkan kenyataannya bukan pada
namanya. Jadi kalau ada yang menggunakan istilah tertentu, selama secara maksud
masih benar, bisa dimaklumi. Misalkan menggunakan istilah toxic untuk orang yang
suka bermaksiat dan mengajak pada kemaksiatan, atau orang tua yang tidak mendidik
anaknya dengan iman dan kebaikan, bahkan secara sadar menjerumuskan anak pada
berbagai dosa dan kemungkaran. Meski begitu, sembari disampaikan kepada yang
bersangkutan untuk mengurangi penggunaan istilah asing yang mengandung konsep
tertentu, agar kesadaran dan cara pandang kita dalam melihat persoalan tidak bergeser
akibat kerancuan konseptual yang terkandung dalam istilah tersebut.

Kedua, secara khusus mengenai penggunaan istilah toxic parenting oleh orang awam,
bisa dimaklumi penggunaannya. Tetapi sembari mengingatkan bahwa jangan sampai
labelisasi toxic dilakukan terhadap segala hal yang tidak disukai, bukan merujuk
kepada satu neraca kebenaran tertentu, khususnya neraca Islam.

Ketiga, bagi yang menggunakan istilah ini secara ideologis, maka bisa dicek, apakah
yang bersangkutan menggunakan itu karena tidak mengenal sistem pengetahuan Islam,
ataukah sengaja dengan mengabaikan sistem pengetahuan Islam yang telah
difahaminya. Asalnya keduanya perlu dijelaskan dan dibantah dengan argumentasi
yang bagus, seperti perintah Allah, wa jadilhum billatî hiya ahsan, debatlah mereka
dengan cara yang lebih baik. Dalam hal inilah para sarjana muslim dan aktivis yang
berpendidikan tinggi memainkan perannya untuk memberikan bantahan dengan cara
yang ilmiah. Beda antara jenis pertama dengan kedua adalah standing position-nya.
Yang pertama perlu mendapatkan permakluman atas keterbatasannya, yang kedua
perlu lebih tegas dalam proses penyadarannya. Wallâhu a’lam.

Keempat, jika berhadapan dengan aktivis yang membawa misi tertentu, maka
memang perlu strategi khusus. Ketika berbicara dengan diri mereka secara pribadi,
apalagi ketika berbicara secara terbatas, maka pendekatan dakwah perlu dilakukan.
Namun jika berhadapan dengan mereka sebagai lembaga, maka tidak hanya perlu
pendekatan dakwah dan argumen ilmiah, namun juga dihadapi dengan gerakan
sistematis yang menggunakan beberapa tindakan politis yang diperlukan. Namun
dalam hal ini tentu teman-teman di lapangan lebih faham. Wallahu a’lam.
2. Meutia_Surabaya
Saya tertarik dengan pernyataan bahwa “jiwa ditundukkan dan bukan kebenaran yg
dipermasalahkan”, sehingga ketika ada rasa sakit yang dirasakan oleh jiwa manusia,
misalnya dalam istilah psikologi seperti depresi, siapakah yg bertanggungjawab dalam
hal ini? Sebelumnya, pemahaman saya, toxic parenting dianggap sebagai salah satu
penyebab adanya rasa sakit, depresi atau gangguan kejiwaan yang dialami oleh
seseorang.Jika istilah toxic parenting tidak tepat, apakah ada istilah lain untuk
perbuatan orang tua yang "merusak" fitrah anak?

Jawab:
Pertama, memang asalnya dalam Islam, jiwa ditundukkan pada kebenaran, dari
apapun dan siapapun kebenaran itu datang. Jika kebenaran mengikuti hawa nafsu,
maka itulah yang disebut sebagai fenomena pasca-kebenaran atau post-truth. Proses
menundukkan jiwa pada kebenaran itulah yang disebut dengan jihâdun-nafs.

Kedua, setiap manusia bertanggung jawab pada Allah atas pengelolaan terhadap
dirinya dan tindakan terhadap orang lainnya. Pengelolaan orang terhadap dirinya
disebut dengan jihâdun-nafs, sedangkan mengenai tanggung jawab terhadap orang
lainnya, itulah yang dikenal dalam bahasan mengenai Allah yang menjadikan manusia
satu sebagai ujian atas manusia lainnya. Orang tua bertanggung jawab untuk mendidik
anaknya dengan benar, tapi ketika anak telah dewasa, ia bertanggung jawab untuk
menata dirinya agar menepati dan menetapi kebenaran, terlepas dari seperti apapun
orang tuanya telah mendidik dan mengondisikannya, serta berbakti pada orang tua,
bukan semata sebagai bentuk balas budi, tapi lebih dari itu, menjalankan perintah
Allah atas dirinya. Artinya manusia memiliki tanggung jawab atas dirinya dan orang
lainnya menurut perintah Allah subhânahu wa ta’âlâ.

Ketiga, memungkinkan menyebut perbuatan orang tua yang salah dalam mendidik
anak dengan istilah toxic parenting, selama secara konseptual benar menurut Islam,
seperti kasus “merusak fitrah anak”, yang pangkalnya adalah tidak membina anak
dengan tauhid. Itupun dengan tujuan untuk mengidentifikasi kasus dan memudahkan
penyebutan, meskipun telah ada istilah khusus dalam tradisi kita, yaitu “kedurhakaan
orang tua pada anak”. Selain itu tujuannya juga bukan untuk melakukan judgment dan
labelisasi kepada orang tua. Wallahu a’lam.

3. Ayu Marlina_Padang
Jika istilah toxic parenting digunakan oleh anak, maka jelas salah, dikarenakan anak
akan lebih mengedepankan kondisi emosionalnya ketika menghadapi orang tua
ketimbang kebenaran berdasarkan wahyu (patuh kepada orang tua dikarenakan
perintah Allah). Lalu, bagaimana jika istilah toxic parenting diperuntukkan dan
digunakan kepada orang tua itu sendiri, sebagai ikhtiar menyadarkan orang tua untuk
mengevaluasi pola pengasuhannya. Sebagaimana yang sudah saya pelajari
sebelumnya bahwa suatu hal bisa saja tidak ditujukan untuk semua orang, contohnya
ada hadits yang diperuntukkan khusus untuk suami, ada hadits khusus untuk istri.
Lalu, apakah istilah toxic parenting ini bisa disamakan dengan istilah "orang tua yang
durhaka?" Apa ini hanya permasalahan istilah saja?

Jawab:
Sebagian jawaban telah disinggung di atas. Penggunaan istilah toxic parenting masih
memungkinkan selama konsepnya tepat, yaitu memang kesalahan orang tua yang
jelas menurut ukuran Islam. Adapun kesalahan manusiawi yang tidak bisa
dihindarkan, atau sekedar ketidak-sukaan anak terhadap sikap orang tua, tidak tepat
untuk menjadi alasan labelisasi orang tua dengan toxic parenting atau label apapun.
Adapun istilah dalam Islam berkaitan dengan kesalahan orang tua yang fatal seperti
sengaja mendidik anak dengan dunia dan tidak mengajarkan mereka agama, dapat
disebut dengan ‘uqûqu-wâlid ‘alal-walad, durhaka orang tua pada anak. Wallâhu
a’lam.

4. Nurul_Bali
Saya kenal seseorang yang sudah bertahun-tahun disetubuhi secara paksa oleh ayah
kandungnya. Ketika akhirnya ibunya tahu, di awal ibunya marah pada si ayah. Namun
keesokan harinya, ibunya sudah tidak marah lagi, dan membujuk si anak agar tidak
mempolisikan ayahnya dan meminta si anak supaya mau bersikap normal lagi pada
ayahnya. Ibunya menggunakan berbagai dalil agama agar si anak mau memaafkan
ayahnya. Si anak memang betul melakukan itu. Dia merasa sebagai anak dia harus
taat pada ibunya. Jadi ketika ibunya minta ia untuk kembali ke rumah (sebelumnya
sempat diamankan) dan bersikap biasa pada ayahnya, ia betul-betul melakukan itu.
Dengan kasus seperti itu, seperti apa batasan kewajiban si anak pada orang tuanya?

Jawab:
Anak tetap wajib berbakti pada orang tua dan memaafkannya. Akan tetapi kesalahan
bapak tersebut sangat serius. Dalam hukum Islam pasti ia akan dihukum berat karena
menzinahi anaknya sendiri. Kalau masuk dalam delik pemerkosaan, dia layak
dihukum mati. Adapun sang ibu benar jika maksudnya adalah agar anak tidak durhaka
pada bapaknya, namun salah jika bertujuan melindungi bapaknya dari hukuman yang
semestinya. Artinya kewajiban anak satu hal, kewajiban orang tua adalah hal lain.
Wallâhu a’lam.

5. Dhani_DIY
Apakah formalisme pendidikan hari ini serta merta buruk? Mengingat perubahan
corak pendidikan dari tradisional ke formal tidak terlepas dari perkembangan kultur
masyarakat juga (e.g. jam kerja ~8jam/hari, industrialisasi, dsb). Perlukah kita
kembali ke masa lalu?Despite perubahan di sekitar kita yg terjadi?

Jawab:
Formalisme pendidikan dalam makna formasilasi pendidikan tentu saja penting dan
tidak bisa dihindari. Pelembagaan pendidikan, penataan kurikulum, penyusunan buku
ajar, penjejangan proses belajar, hingga pemberian seritifikat atau ijazah sebagai tanda
selesainya proses tentu sesuatu yang baik. Yang jadi masalah jika formal-isme
tersebut mengandung berbagai sisipan cara pandang yang kontraproduktif dengan
pendidikan, apalagi dengan Islam. Ivan Illich, pemikir Kiri dari Amerika saja menyoal
melalui bukunya yang berjudul Deschooling Society. Di antara bentuk-bentuk
problem dalam formalisme pendidikan adalah hilangnya budaya ilmu, orientasi pada
ijazah, tujuan pendidikan untuk kepentingan ekonomi dan industri semata, gelar yang
berguna bagi mobilitas sosial vertikal (naik tahta), hilangnya otoritas dan sebagainya.
Kita tidak perlu kembali ke masa lalu. Yang penting adalah memastikan sesuatu yang
ada di masa lalu, yang menjadi ruh sekaligus pendorong formalisasi pendidikan, yang
kemudian hilang akibat formalisasi itu sendiri, itulah yang harus dipertahankan.

6. Miftachur Rohmah_Tulungagung
Pada banyak kasus, orang tua tidak sadar menerapkan metode pengasuhan yang justru
mendorong kualitas negatif anak seperti: menekankan hasil tanpa memperhatikan
proses sehingga anak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, atau
menekankan kekerasan untuk membentuk kedisiplinan sehingga anak memiliki
kecenderungan berlaku kasar di belakang orang tua, dsb.Bagaimana sebaiknya cara
untuk mendorong orang tua memberikan pengasuhan yang tepat?

Jawab:
Pendidikan (formal) kita menyiapkan orang untuk menjadi pekerja, itupun tidak
maksimal, sembari luput untuk menyiapkan manusia untuk berkeluarga dan menjadi
orang tua, sesuatu yang pasti akan dijalani kebanyakan orang. Sementara zaman
berkembang, “wawasan dan keterampilan untuk berkeluarga dan melakukan
pengasuhan” tidak mendapatkan porsi perhatian yang memadahi. Anggapan bahwa
semua yang dibutuhkan dalam kehidupan disediakan oleh pendidikan formal
membuat khazanah wawasan dan keterampilan tentang berkeluarga dan melakukan
pengasuhan tidak diwariskan secara sistematis. Akibatnya orang menjalani fungsi
keluarga dan pengasuhan hanya bermodal pengalaman yang seringkali terserap sambil
lalu. Akibatnya antara tantangan pengasuhan dan kesiapan menjalaninya berbanding
terbalik. Jurang antara keduanya dari waktu ke waktu semakin jauh. Kenyataan inilah
yang membuat kita harus memaklumi generasi orang tua kita. Yang disedihkan adalah
jika tidak kepedulian akan kondisi tersebut serta tidak adanya keinginan untuk belajar.

Untuk menghadapi hal tersebut memang perlu dilakukan upaya sistematis untuk
meluaskan kesadaran tentang pentingnya pengasuhan, khususnya menurut Islam.
Dalam pandangan tradisional manapun, terlebih Islam, keluarga adalah pilar
pendidikan yang sangat penting bagi masyarakat dan kehidupan, namun hampir
dihancurkan oleh kehidupan modern. Oleh karena itu materi mengenai pengasuhan ini
perlu disebar-luaskan baik secara struktural, formal, maupun kultural, serta bersepadu.
Semua cara yang bisa ditempuh, bisa digunakan. Misalkan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan yang mengurusi dua hal penting, yang itu pendidikan dan kebudayaan,
harus ikut peduli. Materi seperti ini perlu dimasukkan tivi, media sosial, kurikulum
dan sebagainya. Begitupun Kementrian Agama pun perlu menggunakan pada da’i dan
penceramah untuk mengingatkan tentang hal ini. Karena ini bukan hal yang sepele.

Secara khusus mengenai orang tua yang demikian, dengan asumsi di atas, hal itu bisa
difahami sebagai tren masyarakat hari ini: tuna wawasan dan keterampilan dalam
berkeluarga dan pengasuhan. Berangkat dari anggapan tersebut pula, orang tua yang
demikian perlu dibantu untuk menyadari bahwa fungsi orang tua tidak sederhana,
lebih dari itu, sangat berdimensi agama dan akhirat. Jangan sampai orientasinya
sekedar membesarkan anak yang manut pada orang tua dan bisa berkarir cemerlang
secara duniawi, terlebih dengan cara-cara yang tidak benar dan tidak menghargai anak,
seperti mengutamakan hasil dan bukan proses, serta melakukan kekerasan terhadap
anak dan tidak menunjukkan kasih sayang. Fenomena seperti ini perlu direspon
dengan kepedulian dan tindakan sistematis. Wallahu a’lam.

7. Joni_Jakarta
Ayah dan ibu sering bertengkar, ayah menjelekkan ibu dihadapan anak, ibu
menjelekkan ayah dihadapan anak. Hal ini berlangsung dari anak kecil hingga anak
dewasa dan berumah tangga. Baik ayah dan ibu sering curhat tentang kejelekan satu
sama lain dengan intensitas sebulan lebih dari empat kali, dengan masalah yang sama
walau kronologi permasalahan yang berbeda. Sejujurnya saya lelah dengan itu semua
karena menguras ketahanan emosi saya.Menurut saya, orang tua tidak pernah bisa
menyelesaikan masalah dengan hubungannya sendiri. Ketika diberikan solusi, tidak
pernah dilaksanakan baik dari sisi ayah maupun ibu. Kondisinya sekarang, bahkan
masalah rumah tangga kakak saya yang akhirnya dihadapi orang tua saya, akhirnya
harus saya juga yang ikut memikirkan. Pernah saya coba untuk sabar dengan
mengingat Allah sebagai tujuan bakti, namun ternyata intensitas curhatnya semakin
bertambah dan menguras energi saya dalam menghadapi masalah pribadi saya sehari-
hari.Bolehkah saya membatasi hubungan dengan orang tua dalam kondisi tersebut?

Jawab:
Merujuk pada jawaban terhadap beberapa pertanyaan di atas, fenomena demikian
tidak lepas dari minimnya wawasan dan keterampilan dalam hal berkeluarga dan
pengasuhan. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang tua belum selesai dengan dirinya,
bahkan ketika telah berkeluarga bertahun-tahun, sehingga berdampak buruk terhadap
anak. Kemungkinan persoalan keluarga yang menimpa kakak juga berasal dari
pengalaman bertumbuh dari kondisi keluarga yang demikian.

Pertama, tentu saya, antum, kita semua berdoa agar Allah memudahkan urusan antum,
orang tua dan keluarga. Lebih dari itu, antum harus menggunakan doa sebagai senjata.
Kebanyakan kita selama ini tidak benar-benar menjadikan doa sebagai alat yang
berguna, bahkan masih lemah keyakinan kita bahwa doa memiliki dampak yang besar
pada sesuatu. Atau kadang kita terburu-buru mengatakan bahwa doa tidak dijawab.
Tentu hal ini tidak tepat.
Kedua, tentu antum merasakan berat luar biasa ketika menghadapi hal tersebut,
terlebih ketika mengingat bahwa antum juga memiliki persoalan tersendiri, serta harus
menata masa depan antum sendiri. Untuk itu maka perlu melatih keterampilan menata
hati dan fikiran sehingga tidak terserap jauh ke dalam persoalan, namun juga tidak
mengabaikan tugas antum untuk membantu orang tua sejauh kemampuan antum.
Bahkan bisa saja, jika diperlukan, antum mengambil jarak dahulu dari rumah dan
tinggal di lain tempat, untuk fokus pada perkembangan diri antum sehingga ketika
telah lebih siap akan bisa membantu orang tua untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Hal itu juga berguna bagi orang tua untuk melakukan penilian ke dalam diri dan ke
masa lalu mereka. Itu yang kami temukan pada beberapa kasus serupa yang dihadapi
oleh orang yang kami kenal. Selain itu, jangan pernah menganggap bahwa Allah
menguji antum di luar kemampuan, serta jangan pernah kekurangan orang tua tersebut
membuat kesadaran bahwa bakti kepada mereka adalah perintah Allah berkurang.
Semoga dimudahkan, dan silakan berkonsultasi kepada orang yang lebih kompeten
karena penekanan kajian ini lebih kepada konsep daripada praktis lapangan.

8. Adi Junaidi_Lampung
Tadi dikatakan bahwa pernyataan "harus seimbang antara dunia dan akhirat" cocok
untuk masyarakat awam, namun fatal untuk yang sudah sarjana. Jika dikaitkan dengan
konsep tawazun dalam Islam jadinya seperti apa, tawazun yang tepat seperti apa?
Kemudian,bagaimana dengan pernyataan populer yang sering dianggap sebagai hadits
nabi, "bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, beramallah
untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok". Bagaimana kita meluruskan
hal ini?

Jawab:
Keseimbangan atau tawâzun berlaku untuk dua hal atau lebih yang memiliki
hubungan kesetaraan atau kurang lebih sama. Misal untuk hal ini adalah pekerjaan
dengan pendidikan dan hubungan pertemanan. Mengenai hal itu orang bisa
menyeimbangkan atau memilih mana yang prioritas. Namun hubungan dunia akhirat
tidaklah demikian. Akhirat adalah muara dari dunia, seperti pipa, lubang masuk
adalah dunia, lubang keluar adalah akhirat. Jika demikian, maka semua hal duniawi
harus diukur dengan neraca akhirat. Adapun ungkapan tentang kerja dunia dan amal
akhirat tersebut, hal itu tidak bertentangan dengan pandangan tadi. Bekerja untuk
dunia tentu perlu maksimal demi mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun
orientasi akhirat akan membuat pekerjaan tersebut bernilai pahala. Sebaliknya, amal
akhirat harus dilakukan maksimal juga. Namun jika orientasinya dunia, maka
pelakunya akan binasa. Wallâhu a’lam.

9. Ayya_Jogja
Apakah dalam Islam benar-benar tidak ada istilah atau labeltoxic, jika dibahasakan
sesuai bahasa populer saat ini ? Karena jaman kenabian atau sekarang pun banyak
orang yang melakukan hal-halyang tidak sesuai aturan Allah. Misal jaman Rasul ada
Abu Lahab dll.Apakah mereka tidak bisa disebut toxic people? Lalu, saya merasa
penilaian terhadap oranglain yang toxic ini berbau “nafsu”. Bagaimana membedakan
penilaian kita bukan berdasarkan nafsu semata?

Jawab:
Pertama, seperti telah disinggung di atas, pelabelan toxic atas sesuatu tidak
sepenuhnya salah, selama kerangka dan neracanya menuruti Islam. Jangan sampai
sikap orang tua yang tidak tepat, karena keterbatasan manusiawinya, disebut toxic,
padahal keduanya telah mendidik agama dengan seksama. Ataupun sebaliknya,
misalkan orang tua sangat sayang dan pengertian, mendukung anak maksimal, tapi
yang didengungkan sejak kecil hingga dewasa hanya dunia, lantas yang demikian
tidak disebut toxic. Padahal jelas dalam tradisi Islam bahwa hal demikian adalah
keduhakaan orang tua yang sangat serius kepada anak, yang akan dihukumi berat oleh
Allah di akhirat.

Kedua, orang seperti Abu Lahab, Abu Jahal, kalau perlu Abu Janda, memang layak
disebut toxic, karena memang ukurannya adalah kebenaran. Na’udzubillâh.

Ketiga, salah satu tanda sederhana bahwa seseorang menggunakan nafsunya ketika
mengidentifikasi toksisitas orang lain adalah selera atau rasa suka-tidak suka. Sebenci
apapun pada seseorang, yang benar harus dikatakan benar. Sebaliknya, sesuka apapun
pada seseorang, yang salah harus dinyatakan salah. Ukurannya adalah kebenaran dan
kebenaran dikenali melalui ilmu. Wallâhu a’lam.

10. Farhan_Bandung
Saya ingin meng-clear-kan bagaimana kita sebagai muslim seharusnya menanggapi
emosi atau dimensi pengalaman subjektif seseorang.Bagaimana kita tahu bahwa
perasaan itu patut diperhitungkan atau tidak, tanpa terjatuh pada cara berpikir ala
posmodern?

Jawab:
Seseorang ketika men-jihadi dirinya dengan ilmu yang benar, amal shalih, ibadah
yang tekun, mengasah akhlaq dengan telaten, akan sampai pada tingkatan bahwa suka
tidak sukanya dituntun ketat oleh ilmunya akan kebenaran. Jika ada selipan rasa tidak
suka, akan mudah digugurkan dengan ilmunya akan kebenaran. Sebaliknya, sekuat
apapun rasa cinta, akan mudah ditahlukkan dengan pengenalannya akan kebenaran.
Inilah yang disebut dalam perkataan Rasulullah, hatta takûna hawâhu taba’an limâ
ji`tu bihi, sampai hawa nafsunya menuruti ajaran yang aku bawa. Wallâhu a’lam.

11. Ayu Susanti_Purwakarta


Apakah didalam Islam ada pembahasan khusus tentang komunikasi yg tepat antara
orang tua dan anak sehingga orang tua tidak terkesan toxic (menekan dll). Jika ada
pembahasan khusus, bagaimana seharusnya orang tua berkomunikasi dengan anak
sesuai usianya dengan tepat sehingga kebenaran bisa tersampaikan dengan baik dan
bisa menanamkan keimanan kepada anak?
Jawab:
Prinsip-prinsip umumnya ada, seperti disebutkan dalam al-Qur`an tentang qaulan
layyinan, perkataan yang lembut, serta cara Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, ‘alaihimas-
salâm, dan juga Luqman, ketika berbicara dengan anak turun mereka. Atapun dalam
al-Hadits tentang cara Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berinteraksi dengan
anak-anak. Adapun hal yang lebih tehnis bisa diambil tulisan ulama, dari budaya lokal,
maupun dari ilmu psikologi modern, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip umum
di atas. Wallâhu a’lam.

12. Nadia_Jogja
Tadi disebutkan bahwa emosi adalah bagian dari animal soul dalam jiwa manusia. Itu
sumbernya dari buku apa, atau adakah dalilnya?

Jawab:
Bahasan lebih luas mengenai hal demikian bisa diambil dari ulama dan falasifah atau
filosof muslim yang membahas tentang jiwa seperti al-Ghazali, Fakhruddin ar-Razi,
Ibnu Sina, dll. Kalau yang lebih kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib al-
Attas dengan karangan beliau tentang Psychology of Human Soul. Sila membaca
karya tersebut.

13. Bunda Hasan_Karanganyar


Apa yang menyebabkan anak zaman sekarang mudah sekali menuntut orang
tua?Terlebih sekarang sudah umum sekali istilah "luka batin" dan “inner child" yang
terkadang disalahgunakan untuk menyerang orang tua? Padahal zaman dahulu pun
banyak sekali orang tua yang keras dengan anak, namun anak tetap berbuat baik
terhadap orang tua.

Jawab:
Seperti telah disinggung di atas, tampaknya semua itu bermuara pada miskinnya
wawasan dan keterampilan pengasuhan orang tua zaman sekarang yang membuat
pengondisian dan sikap orang tua terhadap anak sejak awal tidak tepat. Hal lainnya
adalah masuknya konsep asing yang bermasalah seperti “luka batin” dan “inner child”
yang merujuk kepada pemikiran Barat yang mengonsepsikan manusia menurut aspek
materi dan emosi yang sangat sekular tersebut. Memang tidak semua cara lama itu
tepat, tapi berbagai asumsi modern tentang manusia, dan secara khusus mengenai
anak, betul-betul mendudukkan manusia sebagai makhluq yang harus menuruti hawa
nafsunya, bukan menuruti ilmu dan kebenaran. Ilmu-ilmu Barat sekular kuat dalam
hal metodologi dan riset, tapi pijakannya hanya asumsi serta miskin konten kebenaran.
Wallâhu a’lam.

14. Mahbub_Solo
Saya seringkali terdiam lama ketika membaca surat 19:46-47 yang mengisahkan
ketika nabi Ibrahim diancam akan dirajam ayahnya karena teguh pada tauhid.
Pertanyaan saya, apa saja faktor yang dapat membentuk karakter seperti nabi Ibrahim
'alaihissalam?

Jawab:
Tentu yang pertama dan paling utama adalah hidayah dan tuntutan Allah. Kedua,
manusia zaman itu memang terbiasa bersikap teguh, bahkan jika harus bertaruh
nyawa, tidak seperti zaman sekarang. Ketiga, tentu karena pengenalan Nabi Ibrahim
yang kuat terhadap kebenaran. Keempat, situasi sekeliling yang memang serba berat
tentu menguatkan sikap beliau. Wallâhu a’lam.

15. Susan_Kupang
Kita tahu ada hadits Bukhari-Muslim mengenai kepada siapa bakti anak pertama kali,
yaitu ibumu ibumu ibumu. Dalam beberapa penjelasan yg saya dapat, ini berarti
literally ibu tiga kali lebih utama dibanding ayah. Lalu dalam kehidupan
berumahtangga, sebaliknya, seorang istri harus mengutamakan suami dibanding
orangtuanya sendiri. Ada beberapa kasus dimana akhirnya para feminis melihat hal ini
sebagai celah ketika ada KDRT yang dilakukan suami kepada istri, mereka menuding
hadits tentang suami yang perlu mengutamakan ibunya dibanding istri (ketika ada
permasalahan istri dan mertua). Bagaimana tanggapannya?

Jawab:
Pertama, feminis yang ideologis biasanya tendensius. Orang begini biasanya gagal
bersikap adil dan menilai sesuatu secara jernih. Seperti orang ideologis lainnya,
banyak data yang dibaca secara semena-mena oleh mereka. Termasuk mengenai
persoalan hadits tersebut. Jangan-jangan tindakan seseorang tidak terbukti berasal dari
hadits tersebut, tetapi feminis yang memang ideologinya sejak awal sinis terhadap
agama, meski sebenarnya berasal kesalahan pemeluk dan pemuka agama Kristen, lalu
menjadikan momen tersebut untuk menyerang Islam. Faktanya perilaku feminis
memang diskriminatif terhadap agama, Islam khususnya.

Kedua, seharusnya ketika terjadi kekurang-tepatan sikap suami berkaitan dengan


hubungan ibu dan istri, maka perlu dikonfirmasikan dahulu, apakah memang berasal
dari hadits tersebut. Jika memang mengatasnamakan hadits tersebut, maka masih bisa
dipastikan, apakah pemahamannya yang salah, atau karena pribadi yang memang
berkecenderungan zalim, tetapi menjadikan hadits tersebut sebagai alat justifikasi.
Saya pesimis jika ada pemeluk Islam yang shalih, yang melakukan tindak ketidak-
adilan berkaitan dengan hubungan ibu dan istri, yang berangkat dari hadits tersebut.

Kedua, tidak bisa dipungkiri adanya muslim yang salah dalam kaitannya
mendudukkan relasi ibu dan istri. Namun ketika feminis bertingkah, yang bisa kita
tanyakan kepada mereka adalah: ketika mereka menyoal perilaku yang menurut
mereka salah mengenai sikap suami kepada ibunya yang membuat hak istrinya
berkurang, maka pertanyaannya adalah: perempuan yang mana yang mau mereka bela?
Ibu adalah perempuan, istri adalah perempuan. Biasanya mereka akan bersikap
ambigu, di satu waktu begini dan di satu waktu begitu, karena pijakan mereka sejak
awal berdasarkan kepada kecenderungan emosional dan bukan asas-asas kebenaran
yang jelas. Atau jangan-jangan mereka hanya ingin menyerang sosok lelaki, atau
malah agama dari lelaki tersebut. Tendesius sekali kalau seperti ini.

16. Jannah_Jogja
Tadi sempat disampaikan bahwa dalam Islam-pun sudah mengatur dengan sempurna
terkait kewajiban atau kedurhakaan dari sisi orang tua dan anak. Adakah dalam Islam
keringanan dalam proses healing anak ketika memang orang tua tidak menunaikan
kewajibannya kepada anak? Semisal Ibu yang membuang anaknya ketika lahir; ayah
yang memperkosa anaknya; orang tua hanya menuntut kewajiban anak dalam hal
nafkah, padahal orang tua melakukan kekerasan dan tidak menafkahi anaknya. Mohon
pencerahannya

Jawab:
Proses healing terhadap kondisi emosi dan kejiwaan seseorang memang tidak mudah.
Namun tidak boleh dengan alasan tersebut maka ada hal yang menyelisihi syariat
yang sengaja dilanggar. Kekurangan dalam kemampuan seseorang, khususnya yang
memiliki problem emosional dan kejiwaan, untuk menjalankan sebagian hal yang
diperintahkan agama, adalah hal yang sangat bisa dimaklumi. Khususnya jika
situasinya memang complicated. Tetapi yang penting jangan dengan sengaja
melegalisasi pelanggaran. Adapun pelanggaran yang terjadi, maka lâ yukallifullâhu
nafsan illâ wus’aha, Allah tidak membebani seseorang di luar kapasitasnya.
Termasuk yang harus dibedakan adalah, ketidak-mampuan, atau kebelum-mampuan,
untuk melakukan sesuatu, bakti pada orang tua misalnya, berbeda dengan kesengajaan
untuk durhaka. Yang pertama sangat dimaklumi, yang kedua tidak bisa dibenarkan.
Wallâhu a’lam bish-shawâb...
Inst
agra
m:
@s
ak i
nahac
ade
my
@masji
dkampus
ugm

Web
sit
e:
ma
sji
dka
mpus.
ugm.
ac.
i
d

Anda mungkin juga menyukai