Anda di halaman 1dari 16

HAM DAN DEMOKRASI DALAM

ISLAM

Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh : OKTANIA HENDRAYANI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN D3 TLM B

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


TAHUN AJARAN 2020/2021
PEMBAHASAN
A. HAM
a. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh tuhan yang
maha pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). oleh karena itu, tidak ada kekuasaan
apa pun yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan
hak-haknya dapat berbuat semaunya, sebab apabila seseorang melakukan sesuatu
yang dapat dikategorikan memperkosa atau merampas hak asasi orang lain, harus
mempertanggung jawabkan perbuatanya.
Hak asasi yang dimiliki oleh manusia telah dideklarasikan oleh ajaran Islam jauh
sebelum masyarakat (barat) mengenalnya, melalui berbagai ayat Al-Qur’an misalnya
manusia tidak dibedakan berdasarkan warna kulitnya, rasnya tingkat sosialnya. Allah
menjamin dan memberi kebebasan pada manusia untuk hidup dan merasakan
kenikmatan dari kehidupan, bekerja dan menikmati hasil usahanya, memilih agama
yang diyakininya.

1. Musyawarah
Kedaulatan mutlak dan Keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan
peranan manusia yang terkandung dalam konsep kilafah memberikan kerangka yang
dengannya para cendikiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu
yang dapat dianggap demokratis

Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, bayak


perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik.
Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep islami
yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah, konsensus (ijma’) dan ijtihad. Masalah
musyawarah ini dengan jelas telah disebutkan dalam QS. 42:28, yang berisi perintah
kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka
yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan, demikian, tidak akan terjadi
kesewenang-wenangan dari seorang pemimpi terhadap rakyat yang dipimpinnya.

2. Kosensus atau Ijma’


Disamping musyawarah, ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni consensus atau ijma’. Konsep consensus memberikan dasar bagi
penerima system yang mengakui suara mayoritas.
Selain syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi
islam, yaitu ijtihad. Ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Allah,
berkaitan debgan tempat dan waktu.

Dalam pengertian politik murni, Muhammad iqbal dalam tulisanya menegaskan


tentang hubungan anatara consensus, demokratisasi, dan ijtihad, bahwa tumbuhnya
semangat legislatif di Negara – Negara muslim merupakan langkah awal yang besar.
Pengalihan wewenang ijtihad dan individu-individu berbagai madzab kepada
suatu majelis legislatif muslim yang dalam kondisi kemajemukan madzabmerupakan
satu-satunya bentuk ijma’ yang dapat diterima di zaman modern, akan terjamin
kontribusi dalam pembahasan hukum dari kalangan rakyat yang memliki wawasan
yang tajam.

b. Hak-hak Asasi Manusia dan Sejarahnya


Kedatangan Islam di muka bumi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
bertujuan untuk membawa rahmat bagi makhluk seisi bumi termasuk di dalamnya
manusia. Menurut ajaran Islam, manusia tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus
menjadi subjek bagi terciptanya keselamatan dan kedamaian itu. Oleh karena itu,
setiap muslim dituntut pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan lingkungannya.
Seorang muslim harus dapat memberikan rasa aman bagi orang lain baik dari ucapan
maupun tindak-tanduknya.
Berdasarkan ini, maka penghargaan tertinggi kepada manusia dan kemanusiaan
menjadi perhatian yang paling utama dan prinsipil di dalam Islam. Penghargaan yang
tidak dibatasi oleh kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan agama. Misalnya nilai
persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan nilai-nilai universal Islam
yang berlaku pula untuk seluruh umat manusia di jagad raya ini. Hal ini tercermin dari
penegasan Allah didalam kitab suci al-qur’an :
“Sesungguhnya kami telah memuliakan Bani Adam (manusia) dan Kami angkat
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra’/17:70).
Hal itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara hal-
hal yang baik dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan
mudarat dan sebagainya. Kunci dari itu semua adalah manusia dikaruniai akal pikiran
dan hati nurani (qalb).
Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia harus
mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan,
persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan merupakan
pemberian seseorang, organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah dari Allah yang
sudah dibawanya sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian disebut
dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil ia dapat menjalankan tugas serta
kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya, apakah setiap manusia
dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak tersebut? Jawabnya, mungkin belum
setiap orang, termasuk umat Islam menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya
pendidikan atau sistem sosial politik dan budaya disuatu tempat yang tidak kondusif
untuk anak dapat berkembang dengan sempurna.

c. Latar Belakang Pemikiran tentang HAM

Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian
menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa serta
bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut pandangan
Islam adalah umat yang satu “ummatun wahidatun”.
Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya,
manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia bebas dalam kemauan
dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Manusia, menurut islam,
hanya milik Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah) dan tidak boleh menjadi hamba dari
makhluk-Nya, termasuk hamba dari manusia.
Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul manusia
yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan pendapat,
bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua sisi
dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta,
hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, mendapat pekerjaan, hak
memperoleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berkeluarga dan hak
diperlakukan sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan sebagainya.
 HAM dalam pandangan Islam dan Barat
Hukum menurut Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya,
dalam Al-Quran dijelaskan nabi Muhammad saw sebagai rasulnya melalui sunah
beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam al-qur’an dan hadist.[6] HAM terbagi
menjadi 2 HAM Menurut barat dan menurut islam.
HAM barat bersifat anthroposentris: segala sesuatu berpusat pada manusia
sehingga menempatkan manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu. HAM islam
bersifat theosentris: segala sesuatu berpusat pada Allah. Dalam konsep demokrasi
modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi sedang demokrasi islam
meyakini bahwa kedaulatan Allah-lah yang menjadi inti dari demokrasi.

d. Prespektif Islam tentang HAM


A. HAM sebagai tuntutan fitrah manusia
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah
atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan manusia
oleh sesama manusia sendiri mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran kosmis,
menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan kebenaran dan kebaikan universal,
suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.
Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta tanggung jawab
sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak, tanpa kemungkinan untuk
mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya pertanggung jawaban yang dituntut
dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan
itu lantas dituntut dari padanya pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan
ketidakadilan, yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha
adil.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, yang mempunyai hak dianggap
menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya menimbulkan
kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.

B. Perimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat


Untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat, didalam islam
tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak pada manusia. Oleh karena itu, didalam
syariat islam apabila disebut hak Allah, maka yang dimaksud adalah hak masyarakat
atau hak umum. Allah adalah pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta,
termasuk apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh firman-
nya antara lain:
1. “Ketahuilah bahwa milik Allahlah apa-apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S
Yunus/10:55)
2. “Dan Dialah yang menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi” (Q.S Al-
Baqarah/2:29)
3. “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah
dikaruniakan-Nya kepadamu” (Q.S An-Nuur/24:33)
“……..di dalam harta mereka tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang
meminta dan tak punya” (Q.S Al-Ma’arij/70:24:25)

e. Dasar-dasar HAM dalam Al-Qur’an


A. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat
Al-Qur’an menegaskan:
 “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan
merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
 “Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan
dengan penuh kesabaran” (Q.S Al-Ashr/103:3)
 “Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”
(Q.S Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan
pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta
mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi
sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.

B. Hak kebebasan memilih agama


Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan, Al-Qur’an
menyebutkan antara lain:
 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)
 “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
 “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang
dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S. Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau
kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya.
Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah yang bertujuan menyeru,
mengajak dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga
untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar” (menyeru
kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran).

C. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial


Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-Qur’an
menyebutkan sebagai berikut :
“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..”
(Q.S Al-Baqarah/2:29)
Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah dipermukaan
bumi ini. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal
dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :
“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
dibumi…..” (Q.S Al-Baqarah/2:168)
B. DEMOKRASI DALAM ISALM
a. Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-
wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863)
menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang
membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang telah
ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh
dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua
negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-
variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang
dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian
cabang bukan pada prinsip tersebut.

b. Asal-usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”,
yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem
politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno,
khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana
dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa
Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Di setiap kota tersebut para rakyat
seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun
diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem
pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu
terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan independen. Kota tersebut memiliki
sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga
demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model pemerintahan
baru yaitu demokrasi langsung.
Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair
dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan.
Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang
bangsawan Athena.
Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya
setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih
kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang
dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad
Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan
peran agama dalam kehidupan manusia.
Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap
masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti
idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-
kaidah berdemokrasi.
Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil
menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba
mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang
dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

c. Demokrasi dan Islam


Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan
peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang
dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu
yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban
rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak
perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik.
Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami
yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan
penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi
politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan
mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari
konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan
menyangkut demokratisasi dikalangan masyarakat muslim. Perlunya musyawarah
merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia.
Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama
dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim
yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Allah di
bumi.
Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada
penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.
Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah,
dalam surat Al-syura ayat 3 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,


sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-
Syura : 38).

Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang
menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat
besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih luas,
konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi
demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi
Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci
menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas
dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama
dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan
arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk
seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat
dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi statis.
Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar
untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas. Dalam
pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus
demokratisasi dan ijtihad.
Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia menyatakan
bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap majelis-
majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal yang besar.
Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting
bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.

d. Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam


Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan
yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang
paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih
kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan
tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan
menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk
rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan
bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-
Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya.
Prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan
yang berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,
sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan)
Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa
lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak
bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari hegemoni
penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi
wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar dihadapan rakyat demikian juga
kepada Tuhan.
Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang
dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai
konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang
sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan
seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus
dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang
diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil
seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah
bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Kelima, al-Masuliyyah adalah
tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah
amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa
tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah,
bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan
sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan
masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada
posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-
ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa
menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa,
bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap
warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.
Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-
karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak
ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.
Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi
pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika
sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin
merajalela. Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama demokrasi,
yaitu sebagai berikut:
1) Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi
semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat
jelatah dikenakan hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum dalam islam
tidak berjalan dalam kehidupan.
2) Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya
perkara-perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi
bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan
kesepakatan.
3) Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak
boleh tetap, harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di akhirat.
Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk
memperbaiki kehidupan, kareana itulah islam dikatakan sebagai agama perbaikan
“diinul islam” atau agama inovasi. Untuk itu, islam selau menghendaki demokrasi
yang merupakan salah satu ciri atau jati diri islam sebagai agama hukum.
Hukum, HAM, dan demokrasi adalah tiga konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Hal ini dikarenakan salah satu syarat utama terwujudnya demokrasi ialah adanya
penegakkan hukum dan perlindungan HAM. Demokrasi akan rapuh apabila HAM
setiap masyarakat tidak terpenuhi.
Sedangkan pemenuhan dan perlindungan HAM dapat terwujud apabila hukum
ditegakkan. Dalam ajaran Islam, hukum, HAM dan ddemokrasi disebutkan dengan
jelas di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian manusia sebagai khalifah
Allah dimuka bumi ini dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar apabila ia
seelalu berpegang pada aturan-aturan pada Al-Quran dan As-Sunnah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
a) Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat.
b) Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan
pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai-
nilai keagamaan.
c) HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.
d) HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan
kewajiban bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya

B. Saran
a) Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di
Indonesia dan demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.
b) Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM
dalam kehidupan kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA

Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah

Azra, Azyumardi, dkk.2002. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Jakarta: dir. Perguruan Tinggi Agama Islam
Fanani, Sunan. 2010. Lembar Kerja Mahasiswa Pendidikan Agama Islam. Sidoarjo:
PT. Al Maktabah.
Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Materi instruksional pendidikan agama islam di
perguruan tinggi umum. Jakarta : dir. Pt. Agama Islam

· Husain, syekh syaukat, 1991, Hak asasi – manusia dalam islam, Jakarta. Gema
Insani perss
· Lopa, Baharuddin, 1999. Al Qur’an dan Hak Azasi Manusia, Yogyakarta, PT.
Dana Bakti Prima Yasa.
· Ilyas, Muhtarom, 2009. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
· Pramudya, Willy, Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Jakarta: GagasMedia
2004

Anda mungkin juga menyukai