Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

MANAJEMEN LIKUIDITAS
TIU : Setelah mempelajari topik ini mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Likuiditas
TIK : Mahasiswa mampu menjelaskan:
1. Likuiditas
2. Strategi Likuiditas
3. Teori Manajemen Likuiditas
4. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
LIKUIDITAS
Istilah likuiditas merupakan salah satu istilah ekonomi yang sering digunakan untuk
menunjukkan posisi keuangan ataupun kekayaan sebuah organisasi perusahaan. Tingkat likuiditas
sebuah organisasi perusahaan biasanya dijadikan sebagai salah satu tolok ukur untuk pengambilan
keputusan orang-orang yang berkaitan dengan perusahaan. Beberapa pihak yang biasanya terkait
dengan tingkat likuiditas suatu perusahaan yaitu pemegang saham, penyuplai bahan baku,
manajemen perusahaan, kreditor, konsumen, pemerintah, lembaga asuransi dan lembaga
keuangan.
Semakin tinggi tingkat likuiditas sebuah organisasi perusahaan, maka semakin baik pula kinerja
perusahaan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tingkat likuiditas sebuah organisasi perusahaan,
maka semakin buruk lah kinerja perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas
yang tinggi biasanya lebih berpeluang mendapatkan berbagai macam dukungan dari pihak-pihak
luar seperti lembaga keuangan, kreditur, dan juga pemasok bahan baku.
Tujuan manajemen likuiditas adalah :
 Menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan bank sentral;
 Mengelola alat-alat likuid agar selalu dapat memenuhi semua kebutuhan cash flow, termasuk
kebutuhan yang tidak diperkirakan, misalnya penarikan yang tiba-tiba terhadap sejumlah giro
atau deposito berjangka yang belum jatuh tempo;
 Sedapat mungkin memperkecil adanya idle funds.
Definisi dan Pengertian Likuiditas
Istilah likuiditas pada dasarnya merupakan istilah yang diserap dari bahasa Inggris yaitu
kata liquid yang artinya cairan. Istilah ini biasanya menunjukkan tingkat kecairan dana ataupun
kekayaan yang dimiliki oleh sebuah organisasi perusahaan.
Menurut KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia) sendiri, pengertian likuiditas adalah
posisi uang ataupun kas suatu perusahaan dan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban yang
jatuh tempo tepat pada waktunya; kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang tepat
waktu.
Tingkat likuiditas perusahaan biasanya ditunjukkan dalam bentuk angka-angka tertentu
seperti angka rasio cepat, angka rasio lancar, dan angka rasio kas. Keseluruhan angka yang ada
dalam tiga rasio ini merupakan perbandingan antara tingkat aset lancar dengan jumlah kewajiban
yang dimiliki oleh perusahaan.
Fungsi Likuiditas
Likuiditas memiliki setidaknya empat fungsi utama bagi perusahaan yaitu :
 Sebagai media untuk menjalankan aktivitas bisnis sehari-hari
 Sebagai antisipator dana – dana yang dibutuhkan secara tiba-tiba atau pun mendesak
 Sebagai pemuas nasabah (khusus lembaga keuangan) yang ingin melakukan pinjaman ataupun
penarikan dana
 Sebagai poin penentu tingkat fleksibelitas perusahaan dalam mendapatkan persetujuan
investasi ataupun usaha yang menguntungkan
Komponen dalam Likuiditas
Menurut Engle dan Lange, Likuiditas memiliki tiga komponen dasar yaitu kerapatan, kedalaman,
dan resiliensi. Ketiga komponen likuiditas ini saling berkaitan antara satu dengan lainnya untuk
menjaga tingkat likuiditas dan kestabilan kondisi ekonomi sebuah organisasi ataupun perusahaan.
1. Kerapatan-Kerapatan merupakan gap yang terjadi dalam harga yang disetujui dengan harga
normal suatu barang.
2. Kedalaman-Kedalaman merupakan jumlah ataupun volume produk yang dijual dan dibeli pada
tingkat harga tertentu.
3. Resiliensi-Resiliensi merupakan kecepatan perubahan harga menuju harga efisien setelah
berlangsungnya penyimpangan ataupun ketidaktabilan harga.
STRATEGI LIKUIDITAS
Dalam rangka menjaga posisi likuiditas dan proyeksi cashflow agar selalu berada dalam posisi
aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga berfluktuasi, beberapa strategi yang dapat
dikembangkan oleh bank sbb (Raflus Rax, 1996):
 Memperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank, kecuali bila tingkat bunga cenderung
mengalami penurunan;
 Melakukan diversifikasi sumber dana bank;
 Menjaga keseimbangan jangka waktu aset dan kewajiban
 Memperbaiki posisi likuidias antara lain mengalihkan aset yang kurang marketable menjadi
lebih marketable.
Bank dianggap likuid apabila:
 Memiliki sejumlah likuiditas / memegang alat-alat likuid, cash assets (uang kas, rekening pada
bank sentral dan bank lainnya) sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
 Memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi bank memiliki surat-surat berharga yang
segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa mengalami kerugian baik sebelum / sesudah jatuh
tempo.
 Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya
penggunaan fasilitas diskonto, call money, penjualan surat berharga dengan repurchase
agreement (repo)
Likuiditas Rupiah
Ketentuan mengenai Likuiditas Rupiah sebagai berikut :
Likuiditas minimum yang wajib dipelihara. Berikut rumus untuk mengukur likuiditas minimum
yang wajib dipelihara, dengan standar ketentuan 2%:
= 2%
 Bank dalam menghimpun dana diwajibkan memelihara sejumlah likuiditas tertentu dari total
DPK yang dihimpun oleh bank dlm periode tertentu.
 Jumlah likuiditas wajib minimum tsb harus ditempatkan dalam rekening giro bank ybs pada
bank sentral. Oki/ disebut Giro Wajib Minimum (GWM)
 Ketentuan BI: GWM Rupiah adalah 5% dari total DPK Rupiah yang dihitung rata-rata harian
dalam satu minggu dan harus dilaporkan ke BI
 GWM dibedakan dalam 2 kategori: GWM rupiah (5%) dan GWM valas (3%)
 Pelaporan GWM valas dilakukan oleh bank devisa, sedangkan pelaporan GWM rupiah
dilakukan oleh bank devisa dan bukan bank devisa termasuk pula BPR
 Perhitungan GWM: Jumlah Saldo Giro pada BI / Jumlah DPK X 100% = > 5%
 Komponen – komponen alat likuid. Terdiri dari kas dan giro pada BI
 Komponen dana pihak ketiga. Giro, Deposito berjangka, Sertifikat deposito, deposito on call,
Tabungan, serta Kewajiban jangka pendek lainnya.
 Laporan likuiditas
Likuiditas valuta asing
Ketentuan umum mengenai likuiditas valuta asing, yaitu :
Likuiditas minimum yang wajib dipelihara. Berikut rumus mengukur likuiditas minimum yang
wajib dipelihara, dengan standar ketentuan 2%:
= 2%
 Komponen – komponen alat likuid. Terdiri dari kas dan giro pada BI
 Komponen dana pihak ketiga. Giro, Deposito berjangka, Sertifikat deposito, deposito on call,
Tabungan, serta Kewajiban jangka pendek lainnya.
 Masa laporan dan masa pengisian laporan
 Kewajiban penyampaian laporan
 Batas waktu penyampaian laporan:
 Dalam efek emitmen atau perusahaan Publik tercatat di Bursa Efek di Indonesia dan Bursa
Efek di negara lain, dimana ketentuan batas waktu penyampaian laporan tahunan yang
ditetapkan Bapepam dan LK berbeda dengan ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas pasar
modal di negara lain tersebut, maka:
 Batas waktu penyampaian laporan tahunan kepada Bapepam dan LK dapat dilakukan
mengikuti batas waktu penyampaian laporan tahunan kepada otoritas pasar modal di negara
lain
 Penyampaian laporan tahunan kepada Bapepam dan LK dilakukan pada tanggal yang sama
dengan penyampaian laporan kepada otoritas pasar modaldi negar lain
 Laporan tahunan yang disampaikan kepada Bapepam dan LK dan disampaikan kepada otoritas
pasar modal di negara lain wajib memuat informasi yang sama
 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan tahunan jatuh pada hari libur, maka laporan
tahunan wajib disampaikan pada satu hari kerja berikutnya.
 Tempat penyampaian laporan
 Pengenaan bunga pelanggarandan kewajiban karena terlambat menyampaikan laporan
TEORI MANAJEMEN LIKUIDITAS
Ada empat teori likuiditas perbankan yang dikenal yaitu sebagai berikut:
1) Commercial Loan theory
Teori ini dianggap paling kuno, nama lian dari teori ini adalah real bills doctrine. Teori
ini mulai dikenal sekitar 2 abad lalu. Kajian teori ini dilakukan oleh Adam Smith dalam
bukunya yang terkenal The Wealth of Nation yang diterbitkan tahun 1776. teori ini
beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka
pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya(self liquiditing). Self Liquiditing berarti
pemberian pinjaman mengandung makna untuk pembayaran kembali.
2) Shiftability Theory
Shiftability theory teori tentang aktiva yang dapat dipindahkan dan teori ini beranggapan
bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan bank memindahkan aktivanya ke
pada orang lain dengan harga yang dapat diramalkan, misalnya dapat diterima bagi bank utnuk
berinvestasi pada pasar terbuka jangka pendek dalam portofolio aktivanya. Jika dalam keadaan
ini sejumlah depositors harus memutuskan untuk menarik kembali uang mereka, bank hanya
tinggal menjual investasi tersebut, mengambil yang diperoleh (atau dibeli), dan membayarnya
kembali kepada depositornya.
3) Anticipated Income Theory
Sebagai teori yang dikenal tahun 1940 yang menonjol di Amerika Serikat, yaitu teori
pendapatan yang diharapkan (the anticipated income theory) ini berarti semua dana yang
dialokasikan atau setiap upaya mengalokasikan dana ditunjukkan pada sector
yang feasible dan layak akan menguntungkan bagi bank.
4) The Liability Management Theory
Maksud teori ini adalah bagaimana bank dapat mengelola pasivanya sedemikian rupa sehingga
pasiva itu dapat menjadi sumber likuiditas. Likuiditas yang diperlukan bagi bank adalah:
a) untuk menghadapi penarikan oleh nasabah
b) memenuhi kewajiban bank yang jatuh tempo
c) memenuhi permintaan pinjaman dari nasabah.
BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA
Bantuan Likuiditas bank Indonesia (liquidity support), selanjutnya disebut BLBI, adalah bantuan
yang diberikan kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam operasinya sehari-
hari. Bantuan Likuiditas Bukan Subsidi kepada Perbankan Bantuan likuiditas diberikan dengan
persyaratan-persyaratan yang ketat tanpa unsur subsidi. Dalam setiap pemberian bamtuan
likuiditas kepada bankbank, Bank Indonesia bahkan mengenakan suku bunga cukup tinggi yang
umumnya di atas tingkat bunga yang berlaku di pasar

Penerima dana BLBI antara lain


No Nama Penerima Nama Bank Keterangan
1 Agus Anwar Bank Pelita
Bank Papan Sejahtera
2 Hashim Djojohadikusumo Bank Pelita
Istimarat
3 Samadikun Hartono Bank Modern
4 Kaharuddin Ongko Bank Umum Nasional
5 Ulung Bursa Bank Lautan Berlian
6 Atang Latief Bank Indonesia Raya
7 Lidia Muchtar Bank Tamara
8 Omar Putihrai Bank Tamara
9 Adisaputra Januardy Bank Namura Yasonta
10 James Januardy Bank Namura Yasonta
11 Marimutu Sinivasan Bank Putera Multikarsa
Bank Metropolitan
12 Santosa Sumali
Bank Bahari
13 Fadel Muhammad Bank Intan
14 Baringin MH Panggabean Bank Namura Internusa
15 Joseph Januardy Bank Namura Internusa
16 Trijono Gondokusumo Bank Putera Surya Perkasa
17 Hengky Wijaya Bank Tata
18 Tony Tanjung Bank Tata
19 I Gde Dermawan Bank Aken
20 Made Sudiarta Bank Aken
21 Tarunojo Nusa Wijaya Bank Umum Servitia
22 David Nusa Wijaya Bank Umum Servitia

SEJARAH BLBI
Bekas Presiden Soeharto merupakan sosok di balik kebijakan awal penyaluran dana
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997 lalu. Dalam sejumlah analisis dan riset
disebutkan, masalah itu berawal dari sejumlah krisis likuiditas pelbagai bank saat itu karena kredit
macet. Ini juga memperparah krisis terhadap kepercayaan rupiah yang menurun sejak Juli 1997.
Ketika tekanan terhadap perbankan semakin kuat, Sidang Kabinet Terbatas 3 September
1997 yang dipimpin Soeharto, memutuskan sejumlah hal. Di antaranya adalah pemerintah akan
membantu bank nasional yang sulit likuiditas tapi masih sehat; dan bank yang tak sehat segera
dilikuidasi dan digabung.
Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 5 Nomor 1 Februari 2009 menulis bahwa kondisi itu macam
‘buah simalakama.’ Satu sisi, bank yang kesulitan likuiditas harus disetop aktivitas kliringnya,
namun akan berisiko pada perekonomian, di sisi lainnya pemberian bantuan itu juga akan
melibatkan dana yang demikian besar.
Namun, Soeharto akhirnya membuat keputusan dengan meminta Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia untuk menerapkan pelbagai langkah dalam krisis itu.“Kebijakan ini,”
demikian jurnal itu seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (25/4), “Merupakan asal-muasal
dari BLBI.”
Namun, penyaluran dana itu akhirnya ditemukan justru diselewengkan oleh para pemilik
bank.
Pelanggaran Dana BLBI
Audit BPK menemukan pelbagai pelanggaran dari 48 bank penerima BLBI, di antaranya
adalah pelanggaran Undang Undang Perbankan; pelanggaran prinsip kehati-hatian; pelanggaran
yang berkaitan dengan pelaksanaan program penjaminan; serta pelanggaran atas persyaratan
pemberian Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus. Pada Oktober 1997, Soeharto
menandatangani Letter of Intent (LoI) pertama dengan the International Monetary Fund (IMF).
Hal itu menyangkut restrukturisasi perbankan, sehingga ada 16 bank yang akhirnya ditutup pada
November 1997.
Gubernur BI periode 1993-1998 Soedradjad Djiwandono menulis bahwa BI pada akhir
1996-April 1997 sudah mengajukan usul untuk menutup bank. “Tetapi untuk izin pelaksanaannya
tak diperoleh dari Presiden,” kata dia dalam analisisnya.
Namun, kata Soedradjad, penutupan 16 bank itu justru berdampak terbalik dan menghilangkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank dan pemerintah.
Diketahui saat itu justru terjadi penarikan dana nasabah besar-besaran dan nilai mata uang
rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp15.000 pada Desember 1997.
Soeharto akhirnya merilis Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keputusan itu diterbitkan pada Januari 1998.
“Pemerintah memberi jaminan bahwa kewajiban pembayaran bank umum kepada para
pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi,” demikian keputusan Soeharto saat itu.
Keputusan itu menyatakan hal itu perlu dilakukan untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap mata uang dan perbankan nasional.
Soeharto juga mengakui dalam keputusan itu bahwa krisis moneter yang terjadi karena
tercermin pada merosotnya kepercayaan masyarakat di dalam negeri dan luar negeri terhadap
perbankan nasional dan mata uang rupiah.
SURAT KETERANGAN LUNAS
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang menjadi lembaga untuk
mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi para debitur BLBI yang sudah menyelesaikan
kewajibannya“KPK harus mengusut secara tuntas, dari mulai penyaluran, siapa saja yang
menerima, penggunaannya seperti apa, semua harus diungkap,” ujar Pengamat Hukum dari
Universitas Al Azhar, Prof. Suparji Ahmad, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (1/5).Jika
ditelisik lebih jauh, maka penerbitan SKL BLBI bersumber dari UU Propenas No. 25 Tahun 2000.
Di dalam UU itu dikatakan, terkait dengan masalah MSAA (Master Settlement and Acquisition
Agreement- bagi debitur/obligor yang mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-
utangnya), bagi debitur yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA perlu diberikan jaminan
kepastian hukum. UU tersebut diperkuat dengan TAP MPR yang memerintahkan Presiden sebagai
mandataris MPR agar Presiden secara konsisten menangani masalah MSAA.Di dalam TAP MPR
juga diperintahkan kepada Presiden, melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku yang terbukti
secara hukum terlibat dalam kasus penyimpangan BLBI. TAP MPR itu ditindaklanjuti di sidang
kabinet yang menghasilkan keputusan, bagi debitur yang telah melaksanakan kewajibannya, sesuai
dengan UU No. 25 Tahun 2000 diberikan jaminan kepastian hukum (release and discharge, R
&D).Kemudian Presiden mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 2002 yang mengatakan, terhadap
debitur yang kooperatif dalam melaksanakan perjanjian perlu diberikan kepastian hukum. Dan
bagi yang tidak menandatangani atau tidak melaksanakan perjanjian dimaksud perlu diberi
tindakan hukum yang tegas dan konkret. Berdasar Inpres itu, KKSK (Komite Kebijakan Sektor
Keuangan) yang diketuai oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti, mengatakan apabila semua ketentuan
sudah dipenuhi, maka BPPN diminta untuk menyampaikan surat bukti penyelesaian itu kepada
Pemegang Saham dan instansi penegak hukum terkait untuk dapat segera ditindaklanjuti sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Rekomendasi KKSK ini kemudian ditindaklanjuti
oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi yang memerintahkan
kepada BPPN untuk melaksanakan perintah KKSK. Atas dasar Itulah maka BPPN mengeluarkan
SKL kepada para debitur yang sudah menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. BPPN
mengeluarkan Surat Keterangan Lunas kepada 17 bank yang sudah menyelesaikan kewajibannya.
Sedangkan terhadap bank-bank yang tidak kooperatif diserahkan kepada penegak hukum, dalam
hal ini adalah kejaksaan dan kepolisian.
MASALAH BLBI
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir ini untuk mengatasi masalah ini, yaitu
menutupi talangan hutang luarnegeri yang dilakukan para bankir tersebut.
Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan dimasa orde baru
akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang
anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang
berantakan akibat kredit macet.Kredit macet itu saling berkaitan dan tali temali, antara industri
terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga
menambah beban hutang luarnegeri kita total menjadi 1200 trilyun (600 trilyun). Akhirnya banyak
bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali dibursa saham setelah sehat atau
merger (digabungkan). Dan ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya
(begitupula pemiliknya).
Berikut ini adalah Daftar Hitam Kelam Kasus BLBI yang menurutku masalah sangat
unik, kreatif, lucu menggelitik, penuh intrik, tertata rapi, sangat licik, dan yang pasti
PENUH KONSPIRASI.
5 (lima) Bank yang melakukan penyimpangan terbesar hingga 74% dari total BLBI penyimpangan
48 bank penerima yaitu :
 BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul Nursalim
 BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono Salim
 Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik Usman Admadjaya
 .Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik Bob Hasan
 .Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan pemilik Atang Latief
Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII /2000
Tersangka kasus perbankan tersebut, yaitu (dalam miliar) ;
 Sudono Salim (BCA – hutang 52,767)
 The Nin King, (Danahutama – hutang 23)
 Hendra Liem , (Bank Internasional-hutang 16,95)
 Sudwikatmono (Bank Surya – hutang 1,887)
 Ibrahim Risjad (Risyad Salim Internasional – 10,664)
 Nyoo Kok Kiong (Papan Sejahtera, – hutang 108,49)
 Honggo Wendratmo (Papan Sejahtera – hutang 216, 98)
 Andi Hartawan (Badja Internasional-hutang 32, 66)
 Soeparno Adiyanto (Bumi Raya Utama, 24, 81)
 Ganda Eka Handria (Bank Sanho – hutang 4,41)
 Mulianto Tanaga (Bank Indo Trade – hutang 15,31)
 Phillip S Widjaya (Bank Mashill – hutang 14,90)
 Hasyim Joyohadikusumo (Papan Sejahtera – hutang 216,98)
 Siti Hardiyanti Rukmana,(Bank Yama-Yakin Makmur – hutang 155)
 Nirwan Bakri (Nusa Nasional-hutang 3.006, 16 trilyun)
 Husodo Angko Subroto (Sewu Internasional-hutang – 209,20)
 Iwan Suhardiman (Tamara Bank – hutang 35,61)
 The Nin Kong (Baja Internasional – hutang 45,14)
 The Tje Min (Bank Hastin – hutang 139,79)
 Samsul Nursalim (BDNI – hutang 28.408, 00 trilyun)
 Bob Hasan (BUN – hutang 5.341,00 trilyun)
 Usman Admadjaya (Bank Danamon – hutang 12.533, 00 trilyun)
Sumber : Koran Tempo, 15 April 2004 dan Kompas, 1 Mei 2004
Daftar para obligor yang belum melunasi kewajibannya
 Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46
 James Januardy (Bank Namura Internasional–hutang123,04)
 Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian-hutang 615)
 Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80)
 Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17)
 Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa-hutang 1.130,61T)
 Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional – 8.348,00 Trilyun)
 Samadikun (Bank Modern – hutang 2.663, 00 Trilyun)
Sumber: Koran Tempo 15 April 2004, BPPN, Kompas, 1 Mei 2004)
Daftar Banker yang dilimpahkan ke Tim Pemberantasan Korupsi
 Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46)
 James Januardy (Bank Namura Internasional–hutang123,04)
 Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian-hutang 615)
 Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80)
 Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17)
 Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa-hutang 1.130,61T)
Daftar Banker yang diserahkan kekepolisian
 Baringin Panggabean (Bank Namura Internusa-APU- 158,93 )
 Santosa Sumali (B.Metropolitan – APU – 46,55)
 Fadel Muhammad (Bank Intan – APU-93,28 )
 Santosa Sumali (B. Bahari-APU-295,05)
 Trijono Gondokusumo (Bank PSP- APU – 3.3031, 11 trilyun)
 Hengky Widjaya (Bank Tata-APU-461,99 ) Taony Tanjung
 I Gde Dermawan (Bank Aken-APU-680,89)
 Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336, 44 trilyun) David Nusa Widjaya
 Kaharuddin Ongko (BUN – MRNIA-8.348.00 trilyun)
 Samadikun H. (Bank Modern – MRNIA-2.663, 0 Trilyun)
Sumber : Koran Tempo tanggal 18 Oktober 2004
Hebat bukan, bahkan sungguh fantastis. Total kotornya ada dana Rp. 600 trilyun yang diberikan
pada perbankan pasca krisis moneter sampai oktober 2003. Dari 600 trilyun itu BPPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) sudah mengembalikan Rp. 152, 4 trilyun. Terdiri dari setoran
tunai Rp. 107,167 trilyun, obligasi Rp.14,994 trilyun, tunai non Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) Rp. 9,7 trilyun, dan obligasi daur ulang (reclyed bonds) Rp. 20, 541 trilyun. Lalu,
sisanya +/- 400 trilyun lagi kemana ?

Anda mungkin juga menyukai