A. Konsep Dasar
• Likuiditas adalah kemampuan bank menyediakan dana dalam jumlah cukup,
tepat waktu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, Dari sudut aktiva,
likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai
(cash), sedangkan Dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank
memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio reliabilitas.
seperti :
– memenuhi ketentuan Bank Sentral atau pemerintah,
– terbinanya hubungan baik dengan bank koresponden agar saldo seimbang,
– memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh Nasabah dan
– membayar kewajiban jangka panjang yang telah jatuh tempo.
• Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh Nasabah
dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan.
D. Alat Likuid
Alat likuid atau Cash Assets adalah aktiva yang dapat digunakan setiap saat untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Aktiva ini merupakan aktiva yang paling likuid
dari keseluruhan aktiva bank. Alat likuid menurut sifatnya
Komponen alat-alat likuid terdiri dari :
Kas (uang tunai yang dikuasai bank),
Rekening Giro pada Bank Indonesia, dan
Rekening Giro pada bank-bank lain (Rekening nostro pada bank koresponden)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA)
Obligasi Syariah dan Marketable Securities lainnya (bila sudah diatur oleh
Bank Indonesia)
E. Perencaan Likuiditas
1 Klasifikasikan sumber-sumber dana utama bank berdasarkan tingkat kecepatan
berputarnya, tahapannya:
– Golongkan sumber dana yang stabil dan sumber dana yang berfluktuasi
(volatile).
– Modal sendiri, Pinjaman Subordinasi dan Pinjaman jangka panjang
digolongkan sebagai Sumber Dana Tetap.
– Estimasi sumber dana Giro, Tabungan, Deposito, dll.
– Estimasi sumber dana yang berfluktuasi Call Money, Deposit on Call
berdasarkan catatan tahun-tahun yang lalu (Historical record).
– Analisis situasi ekonomi, keuangan, politik, bisnis dan persaingan usaha
bank tahun berjalan dan prediksi ke depan.
2 Kelompokkan jenis aktiva yang likuid dan yang tidak likuid.
Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bank dalam
memenuhi kebutuhan likuiditas dari aktiva lancar yang dimiliki.
3 Bandingkan Total Aktiva Lancar dengan dana yang dianggap berubah-ubah. Jika
hasil perbandingan sama dengan satu (= 1) berarti kebutuhan likuiditas sama
dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank saat itu atau sering disebut match.
Keadaan ini disebut sebagai balance liquidity position.
F. Rasio Likuiditas
1. Cash Ratio
Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar
kembali simpanan nasabah pada saat ditarik dengan menggunakan alat likuid yang
dimilikinya.
• Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank
tersebut. Semakin baik diatas 100% atau rasio 1:1 lebih.
• Karena Cash Ratio sangat mempengaruhi profitabilitas, umumnya bank
mempertahankan cash ratio secukupnya berdasarkan historical record
2. Reserve Requirement (RR), lebih dikenal dengan nama Giro Wajib Minimum
(GWM).
Giro Wajib Minimum (GWM),adalah simpanan minimum yang harus dipelihara
oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan sebesar persentase tertentu dari DPK. Bank wajib memelihara GWM
dalam rupiah dan valuta asing. GWM dalam rupiah ditentukan 5 % dari DPK
rupiah sedangkan valuta asing 3% dari DPK valas.
Tambahan GWM
1. Bank yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
dalam rupiah kurang dari 80% (FDR) dan:
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp1 – 10 triliun wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% dari
DPK dalam rupiah;
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp10 – 50 triliun wajib
memelihara tambahan GWM rupiah sebesar 2% (dua
perseratus) dari DPK dalam rupiah;
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp 50 triliun wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga
perseratus) dari DPK dalam rupiah.
2. Bagi Bank:
1. yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap
DPK rupiah sebesar 80% atau lebih; dan/atau
2. yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp1
triliun; tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM
H. Pengelolaan Likuiditas
• Portfolio Likuiditas:
– Primary Reserve:
Primary Reserve dibentuk melalui Giro Wajib Minimum (GWM) yaitu
simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo
rekening giro dalam Rupiah pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana
Pihak Ketiga (DPK), atau alat-alat likuid lainnya yang setiap saat dapat
langsung digunakan seperti uang tunai dalam kas.
– Secondary Reserve:
Secondary Reserve dibentuk melalui alat-alat likuid yang setiap saat
dapat dijadikan uang tunai tanpa mengalami kerugian penurunan nilai
yang berarti, seperti SBIS, IMA dan surat berjangka pendek lainya,
Recap Bond (Obligasi Rekap) atau Obligasi Pemerintah yang tercatat
pada AFS (Available for Sale).
Ada instrumen-instrumen likuiditas yang dapat dijalankan bank syari’ah dalam rangka
memenuhi kewajiban likuiditas, yaitu : Giro Wajib Minimum (GWM), Kliring dan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penjelasan ketiga hal ini sebagai berikut:
1) Giro Wajib Minimum (GWM)
Giro Wajib Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank
Indonesia yang besarnya ditetapkan olah BI berdasarkan persentase tertentu dari Dana Pihak
Ketiga (DPK). Perhitungan ini berlaku baik untuk GWM dalam rupiah maupun valuta asing.
2) Kliring
Kliring adalah sarana perhitungan utang-piutang antar bank dengan cara saling menyerahkan
surat-surat berharga dan surat-surat dagang guna memperlancar lalu lintas pembayaran yang
terdiri dari pengiriman uang, inkaso, dan pembukaan letter of credit. Ketentuan mengenai
kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi bank umum yng
berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan tambahan. Ketentuan yang
berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah antara lain meliputi ukuran besarnya sanksi
pelanggaran saldo giro negatif dan tatacara pengenaan sanksi untuk bank-bank bersaldo
negatif.
3) BLBI
BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat
terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Selain instrumen diatas juga ada Instrumen yang saat ini tersedia untuk melakukan
manajemen likuiditas bank syariah melalui pasar uang antarbank syariah, antara lain (Karim,
2010), yaitu:
1) Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah : menggunakan akad Jua’alah, satuan
unit sebesar Rp.1.000.000,-, berjangka waktu paling kurang 1 bulan dan paling lama 12
bulan, diterbitkan tanpa warkat (scripless), dapat digunakan kepada Bank Indonesia, dan
tidak dapat diperdagangkan di Pasar Sekunder Akad Jua’alah adalah janji atau komitmen
(iltijam) untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/ ju’l) atas pencapaian hasil (Natijah)
yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Dalam hal ini Bank Indonesia menegaskan pada
bankbank Syariah “carikan dana sejumlah sekian untuk jangka waktu sekian lama bila
berhasil maka akan aku beri imbalan atas keberhasilan itu”. 98
2) Deposito Antar Bank Syariah
Sebagai sarana pengelolaan likuiditas, Bank Syariah dapat menggunakan sarana Deposito
Antarbank, bail dalam penempatan dananya maupun dalam memenuhi kebutuhan dananya.
Deposito Antarbank ini menggunakan prinsip Mudharabah. Mudharabah adalah perjanjian
antara penanam dana dan penge-lola dana untuk melakukan kegiatan usaha guna memperoleh
keuntungan, dan keuntungan tersebut akan dibagikan kepada kedua belah pihak berdasarkan
nisbahyang telah disepakati sebelumnya.
3) Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA)
Sertifikat investasi mudharabah antar Bank yang selanjutnya disebut SIMA adalah sertifikat
yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana investasi
jangka pendek di puas dengan akad mudharabah. SIMA diterbitkan oleh Bank pengelola dana
(Bank Syariah atau unit usaha syariah) dengan jangka waktu paling lama 365 hari dan dapat
diperjualbelikan (treadable), sepanjang sebelum jatuh tempo.
4) Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)
Merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan
dananya di Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT). Jangka
waktu FASBIS maksimum 7 hari dengan sistem imbalan berupa fee, dan diterbitkan tanpa
bukti kepemilikan (warkat) melainkan bukti pendebatan atau pengkreditan rekening giro bank
brupa confirmation advice pada sistem BI-RTGS. FASBIS tidak dapat diperdagangkan, tidak
dapat digunakan, dam tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
5) Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (FPJPS)
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syraiah atau sering disebut dengan FPJPS
merupakan instrumen dari Bank Indonesia sebagai The Lender Of Last Resort bagi Bank-
bank Syariah yang mengalami kesulitan likuiditas atau kesulitan pendanaan jangka pendek
yang disebabkan oleh tergantungnya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan
arus dan keluar (mismatch). Tujuan dari diberlakukan FPJPS ini adalah umtuk mebantu bank
Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but solvent).
6) Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (FLIS) Untuk
mengatasi kemacetan dalam sistem pembayaran dalam implementasi BI-RTGS maka Bani
Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan dalam jangka waktu
yang sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional Sistem BI-RTGS
dalam bentuk FLIS-RTGS yang wajib dilunasi oleh bank pada akhir hari yang sama. Selain
itu untuk mengatasi mangantisipasi kemungkinan kegagalan bank dalam memenuhi
kewajibannya sebagai peserta dalam SKNBI, Bank Indonesia 99 juga memandang perlu
untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek berdasarkan
prinsip syariah selama waktu operasional berupa FLIS kliring yang wajib dilunasi pada waktu
akhir yang sama.
TM – 10 Pricing Bank Syariah
Pricing
Kegiatan bank dalam memberikan harga kompetitif untuk produk keuangan syariah.
Manajemen pricing penting dilakukan karena bank syariah akan menerima sumber dana dari
nasabah (sisi debitur) dan akan memberikan pembiayaan (sisi kreditur). Perencanaan pricing
sangat berkaitan dengan likuiditas bank, dimana pricing yang akan menentukan arus dana
perbankan. Pricing pembiayaan yang terlalu murah menyebabkan bank dapat kehilangan
likuiditas secara cepat, namun jika terlalu mahal tidak ada nasabah yang tertarik untuk
membeli. Begitu pula pricing untuk deposan (giro & deposito) yang mahal akan
menyebabkan dana mahal pada bank syariah, sedangkan pricing yang murah tidak akan
menarik minat nasabah untuk menabung. Oleh karena itu, penentuan pricing adalah hal yang
vital bagi bank syariah. Penetapan target profitabilitas bank tidak akan tercapai bila
manajemen pricingnya buruk, Akibatnya portofolio perbankan akan turun dan kepercayaan
investor juga ikut menurun.
Dalam sistem dual banking, benchmark pricing yang digunakan bank syariah adalah suku
bunga bank konvensional. Sistem ini menyebabkan bank syariah harus berkompetisi dengan
bank konvensional dengan menetapkan pricing yang lebih menarik daripada bunga. Produk
berdasarkan profit loss sharing, revenue sharing dan profit based margin seharusnya menjadi
produk “flagship” dari bank syariah dan menjadi keunikan yang tidak dimiliki bank
konvensional. Secara tradisional, pricing ditentukan oleh variasi suku bunfa dasar / suku
bunga bank sentral yang kemudian diturunkan menjadi prime cost (bunga utama) untuk
produk perbankan. Namun 1970, pricing dirubah menjadi sistem penawaran antar bank
seperti yang terjadi di LIBOR (London Interbank Offer). Untuk perbankan syariah ada 3
metode pricing yaitu :
a. Cost-Plus Pricing
Metode penetapan harga dimana markup standar ditambahkan ke estimasi biaya
produk. Metode ini sering dipakai dalam produk murabahah. Cost-plus Pricing
dihitung dengan membagi biaya tetap suatu produk (misalnya, upah dan pajak)
dengan perkiraan jumlah unit yang akan dijual dan kemudian menambahkan biaya
variabel per unit (misalnya, biaya administrasi dan transportasi), atau dengan
menambahkan total biaya variabel dan biaya tetap dan kemudian membaginya
dengan jumlah total unit yang akan dijual.
P adalah harga
TVC adalah total biaya variabel
FC adalah biaya tetap
Q adalah total penjualan,
MK adalah mark-up persentase.
Misalnya, biaya tetap untuk menjual barang adalah RM300.000, biaya variabel
RM100.000, dan perkiraan jumlah unit yang akan dijual adalah 50.000. Tambahkan
100.000 hingga 300.000, bagi 50.000, dan biaya satuan sebenarnya sama dengan
RM8. Jika laba atas penjualan yang diinginkan adalah 20%, bagi RM8 dengan 1
minus 0,20, dan harga costplus untuk item ini adalah RM10.
Ada beberapa cara untuk menentukan biaya, dan keuntungan dapat ditambahkan
sebagai mark-up persentase atau jumlah absolut. Salah satu contohnya adalah:
di mana AVC adalah biaya variabel rata-rata. Misalnya: jika biaya variabel 30 sen,
biaya tetap adalah 10 sen, dan markup sebesar 50% markup maka harganya 60 sen.
Financing Pricing
o Expected profit rate diperoleh berdasarkan:
b. Profit Sharing
Perhitungan Nisbah (Profit Sharing):
• Overhead Cost = 10% p.a.
• Profit : (30%) – (10%) = 20% p.a.
• EPR Bank = 15% p.a.
• Nisbah Bank : (15%) / (20%) x 100% = 75%
• Nisbah untuk Nasabah: 100% - 75% = 25%
• Rasio Nisbah Bank dengan Nasabah = 75 : 25