Anda di halaman 1dari 20

TM-9 – Manajemen Likuiditas Bank

A. Konsep Dasar
• Likuiditas adalah kemampuan bank menyediakan dana dalam jumlah cukup,
tepat waktu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, Dari sudut aktiva,
likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai
(cash), sedangkan Dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank
memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio reliabilitas.
seperti :
– memenuhi ketentuan Bank Sentral atau pemerintah,
– terbinanya hubungan baik dengan bank koresponden agar saldo seimbang,
– memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh Nasabah dan
– membayar kewajiban jangka panjang yang telah jatuh tempo.
• Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh Nasabah
dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan.

B. Tujuan Manajemen Likuiditas


• Menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan
oleh otoritas moneter yaitu Bank Indonesia.
• Mengelola alat-alat likuid agar selalu dapat memenuhi semua kebutuhan cash
flow termasuk kebutuhan yang tidak diperkirakan.
• Memperkecil terjadinya idle fund (dana yang menganggur), artinya bahwa
apabila bank mengalami kelebihan likuiditas, maka bank harus segera
menempatkan dana kelebihan tersebut ke aktiva yang menghasilkan keuntungan
bagi bank.
C. Strategi Memelihara Likuiditas
• Memperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank
• Melakukan diversifikasi sumber dana bank
• Menjaga keseimbangan jangka waktu aktiva dan pasiva
• Memperbaiki posisi likuiditas, antara lain dengan mengalihkan asset yang kurang
marketable menjadi lebih marketable (daya jual).
• Memonitor besaran penarikan dana nasabah melalui kliring/tunai secara harian
• Memonitor besaran dana masuk melalui transfer/setor tunai secara harian
• Analisa sensivitas likuiditas BS terhadap scenario penarikan dana bersih terbesar
(yang pernah terjadi) dan membandingkan dengan penarikan rata-rata saat ini.
Hasilnya adalah tingkat ketahanan likuiditas bank.
• BS menetapkan secondary reserve untuk menjaga likuiditas bank, seperti
menempatkan excess fund pada instrument keuangan yang likuid.
• Menetapkan Cash Holding Limit pada KC Bank Syariah.
• Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk mengatur
tingkat bunga/pricing dalam usahanya dan
• Meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.

D. Alat Likuid
Alat likuid atau Cash Assets adalah aktiva yang dapat digunakan setiap saat untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Aktiva ini merupakan aktiva yang paling likuid
dari keseluruhan aktiva bank. Alat likuid menurut sifatnya
Komponen alat-alat likuid terdiri dari :
 Kas (uang tunai yang dikuasai bank),
 Rekening Giro pada Bank Indonesia, dan
 Rekening Giro pada bank-bank lain (Rekening nostro pada bank koresponden)
 Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA)
 Obligasi Syariah dan Marketable Securities lainnya (bila sudah diatur oleh
Bank Indonesia)

E. Perencaan Likuiditas
1 Klasifikasikan sumber-sumber dana utama bank berdasarkan tingkat kecepatan
berputarnya, tahapannya:
– Golongkan sumber dana yang stabil dan sumber dana yang berfluktuasi
(volatile).
– Modal sendiri, Pinjaman Subordinasi dan Pinjaman jangka panjang
digolongkan sebagai Sumber Dana Tetap.
– Estimasi sumber dana Giro, Tabungan, Deposito, dll.
– Estimasi sumber dana yang berfluktuasi Call Money, Deposit on Call
berdasarkan catatan tahun-tahun yang lalu (Historical record).
– Analisis situasi ekonomi, keuangan, politik, bisnis dan persaingan usaha
bank tahun berjalan dan prediksi ke depan.
2 Kelompokkan jenis aktiva yang likuid dan yang tidak likuid.
Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bank dalam
memenuhi kebutuhan likuiditas dari aktiva lancar yang dimiliki.
3 Bandingkan Total Aktiva Lancar dengan dana yang dianggap berubah-ubah. Jika
hasil perbandingan sama dengan satu (= 1) berarti kebutuhan likuiditas sama
dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank saat itu atau sering disebut match.
Keadaan ini disebut sebagai balance liquidity position.

F. Rasio Likuiditas
1. Cash Ratio
Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar
kembali simpanan nasabah pada saat ditarik dengan menggunakan alat likuid yang
dimilikinya.

Uang Kas + Rek BI + Rek Nostro


-------------------------------------------------------x100%
Simpanan Nasabah yang jatuh tempo

• Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank
tersebut. Semakin baik diatas 100% atau rasio 1:1 lebih.
• Karena Cash Ratio sangat mempengaruhi profitabilitas, umumnya bank
mempertahankan cash ratio secukupnya berdasarkan historical record

2. Reserve Requirement (RR), lebih dikenal dengan nama Giro Wajib Minimum
(GWM).
Giro Wajib Minimum (GWM),adalah simpanan minimum yang harus dipelihara
oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan sebesar persentase tertentu dari DPK. Bank wajib memelihara GWM
dalam rupiah dan valuta asing. GWM dalam rupiah ditentukan 5 % dari DPK
rupiah sedangkan valuta asing 3% dari DPK valas.
 Tambahan GWM
1. Bank yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
dalam rupiah kurang dari 80% (FDR) dan:
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp1 – 10 triliun wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% dari
DPK dalam rupiah;
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp10 – 50 triliun wajib
memelihara tambahan GWM rupiah sebesar 2% (dua
perseratus) dari DPK dalam rupiah;
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp 50 triliun wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga
perseratus) dari DPK dalam rupiah.
2. Bagi Bank:
1. yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap
DPK rupiah sebesar 80% atau lebih; dan/atau
2. yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp1
triliun; tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM

Jumlah Saldo Giro pada BI


--------------------------------------------------x100%
Total Dana Pihak Ketiga

3. Financing to Deposit ratio (FDR).


Seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang
dilakukan nasabah dengan mengandalkan pembiayaan yang diberikan sebagai
sumber likuiditasnya.

Jumlah Pembiayaan Yang Diberikan


-------------------------------------------------------x100%
Total Dana Pihak Ketiga + Modal

• Semakin tinggi rasio tersebut mengindikasikan bahwa semakin


rendahnya kemampuan likuiditas bank, hal ini disebabkan karena
jumlah dana yang digunakan untuk memberikan pembiayaan menjadi
semakin besar

4. Rasio Kewajiban Bersih Call Money.


Menunjukkan besarnya kewajiban bersih Call Money terhadap aktiva lancar atau
aktiva yang paling likuid dari bank.

Kewajiban Bersih Call Money


-------------------------------------------------------x100%
Kas + BI + Nostro + SBIS + SIMA
G. Shariah Guideline
Uang tidak mereproduksi, tetapi tumbuh ketika diinvestasikan dalam kegiatan
ekonomi riil. Uang adalah alat pengukur. Keberhasilan atau kegagalan kegiatan
ekonomi diukur dengan pengembalian investasi. Pengembalian ini dapat diperkirakan
tetapi tidak ditentukan sebelumnya.
Saham dalam perusahaan, kemitraan, kegiatan Mudarabah, kemitraan Musharakah
dapat dibeli atau dijual untuk kegiatan investasi dan bukan untuk spekulasi dan tujuan
perdagangan kertas.

H. Pengelolaan Likuiditas
• Portfolio Likuiditas:
– Primary Reserve:
Primary Reserve dibentuk melalui Giro Wajib Minimum (GWM) yaitu
simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo
rekening giro dalam Rupiah pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana
Pihak Ketiga (DPK), atau alat-alat likuid lainnya yang setiap saat dapat
langsung digunakan seperti uang tunai dalam kas.
– Secondary Reserve:
Secondary Reserve dibentuk melalui alat-alat likuid yang setiap saat
dapat dijadikan uang tunai tanpa mengalami kerugian penurunan nilai
yang berarti, seperti SBIS, IMA dan surat berjangka pendek lainya,
Recap Bond (Obligasi Rekap) atau Obligasi Pemerintah yang tercatat
pada AFS (Available for Sale).

I. Faktor yang mempengaruhi likuiditas


Banyak bergantung pada:
• Tingkat kelabilan (volatility) dari simpanan (deposit) nasabah
• Kepercayaan pada dana-dana non PLS
• Kompetensi teknis yang berhubungan dengan pengaturan struktur liabilitas
• Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas
• Akses kepada dana yang tersedia di pasar antar bank, sumber dana lainnya,
termasuk fasilitas lender of last resort dari bank sentral

J. Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)


• Fatwa DSN No: 37/DSN-MUI/X/2002, tentang PUAS :
– Ketentuan Umum
1. Pasar uang antarbank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu
pasar uang antarbank yang berdasarkan bunga (PUAB).
2. Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar
uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah (PUAS).
3. PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek
antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
4. Peserta PUAS adalah :
a. Bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana
b. Bank konvensional hanya sebagai pemilik dana
– Ketentuan Khusus
1. Akad yang dapat digunakan adalah: (a). Mudharabah; (b).
Musyarakah; (c). Qardh; (d). Wadi’ah; (e). Al-Sharf
2. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang, menggunakan
akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh
dipindahtangankan sekali.
– INSTRUMEN DAN TRANSAKSI PUAS
1. Instrumen PUAS yang dapat digunakan oleh Peserta PUAS adalah
instrumen yang telah diatur oleh Bank Indonesia sebagai Instrumen
PUAS. Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen
PUAS selain yang telah diatur wajib terlebih dahulu mengajukan
permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh
persetujuan
2. Jenis dan tata cara perdagangan Instrumen PUAS diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
– PELAPORAN
1. Peserta PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank
Indonesia.
– SANKSI
1. Bank Syariah atau UUS yang melanggar ketentuan dikenakan
sanksi administratif

K. Instrumen Likuiditas Perbankan Syariah


1. SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH (SBIS)
adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam
mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
KAREKTERISTIK SBIS :
– menggunakan akad ju'alah* ( janji atau komitmen (iltizam) untuk
memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil
(natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan).
– satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
– berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan;
– diterbitkan tanpa warkat (scripless);
– dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan
– tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
*Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia,
SBIS juga dapat diterbitkan dengan menggunakan akad mudharabah,
musyarakah, wadiah, qardh, dan wakalah.
SBIS diterbitkan melalui mekanisme lelang.
PIHAK YANG DAPAT IKUT SERTA DALAM LELANG SBIS
– Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) atau
pialang yang bertindak untuk dan atas nama BUS/UUS; dan
– BUS atau UUS, baik sebagai peserta langsung maupun peserta tidak
langsung, wajib memenuhi persyaratan Financing to Deposit Ratio
(FDR) yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bank Indonesia memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan.
REPO SBIS
– SBIS dapat direpokan kepada Bank Indonesia.
– Repo SBIS berdasarkan prinsip qard yang diikuti dengan rahn.
– BUS atau UUS terlebih dahulu wajib menandatangani Perjanjian
Pengagunan SBIS dalam Rangka Repo SBIS.
– Terhadap Repo SBIS dikenakan biaya Repo.
• PBI tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

2. SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTAR BANK (SIMA)


• Fatwa DSN no: 38/DSN-MUI/X/2002, tentang Sertifikat Investasi
Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) :
– Ketentuan Umum
1. Sertifikat investasi antarbank yang berdasarkan bunga,
tidak dibenarkan menurut syariah.
2. Sertifikat investasi yang berdasarkan pada akad
Mudharabah, yang disebut dengan sertifikat investasi
Mudharabah Antarbank (IMA), dibenarkan menurut
syariah.
3. Sertifikat IMA dapat dipindahtangankan hanya satu kali
setelah dibeli pertama kali.
4. Pelaku transaksi Sertifikat IMA adalah:
a. Bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana.
b. Bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.
– Ketentuan Khusus
Implementasi dari fatwa ini secara rinci diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah pada bank syariah dan oleh Bank Indonesia.

• SURAT EDARAN BI No.9/8/DPM Tgl 30 Maret 2007 Perihal :


Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA)
– UMUM
• Sertifikat IMA adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank
Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana investasi
jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah;
• Penerbit Sertifikat IMA adalah Bank Syariah atau UUS;
Pembeli Sertifikat IMA adalah Bank Syariah, UUS atau
Bank Konvensional.
– KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN
• diterbitkan dengan menggunakan akad Mudharabah, baik
dalam rupiah maupun valuta asing; dengan atau tanpa
warkat (scripless);
• berjangka waktu satu hari (O/N) sampai dengan 365 hari;
dapat diperdagangkan (tradable) sepanjang belum jatuh
waktu.
– MEKANISME TRANSAKSI
• Bank Syariah atau UUS dapat menerbitkan Sertifikat IMA;
Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional dapat
membeli Sertifikat IMA;
• Penerbit menginformasikan kepada Pembeli antara lain: (a).
nilai nominal investasi; (b). nisbah bagi hasil; (c). jangka
waktu investasi; (d). indikasi tingkat imbalan Sertifikat
IMA sebelum didistribusikan pada bulan terakhir;
• bila terjadi pemindahtanganan Sertifikat IMA, Pembeli
terakhir harus memberitahukan kepada Penerbit.
– PENYELESAIAN TRANSAKSI
• saat diterbitkan, Pembeli melakukan transfer dana ke
rekening Penerbit sebesar nominal; saat jatuh waktu,
Penerbit melakukan transfer dana ke rekening Pembeli
sebesar nominal;
• pembayaran imbalan dilakukan pada setiap hari kerja
pertama bulan berikutnya.
– PELAPORAN
• Penerbit dan Pembeli melaporkan transaksi Sertifikat IMA
kepada Bank Indonesia melalui sistem LHBU.

3. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS):


Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan kredit kepada Bank
khususnya Treasury Syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka
pendek. Kesulitan pendanaan jangka pendek adalah keadaan yang dialami
oleh bank syariah yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang
lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). FJPS yang
diterima oleh bank syariah menggunakan prinsip mudharabah. FJPS yang
dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan dan
tidak bertentangan dengan prisnip syariah dan tercatat di Bank Indonesia
berupa SBIS, Surat Utang Negara, dan atau surat berharga dan atau tagihan
lainnya, yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, dengan maksud agar
kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat
terpelihara.

4. Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi bank Umum berdasarkan Prinsip


Syariah (FLIS):
Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
yang selanjutnya disebut FLIS adalah fasilitas pendanaan yang disediakan
Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta Sistem BI-
RTGS dan SKNBI, yang harus dilunasi pada hari yang sama dengan hari
penggunaan.
FLIS adalah fasilitas pendanaan untuk meminimalkan risiko dalam sistem
pembayaran yang dapat timbul sebagai akibat dari kegagalan pembayaran
antar bank selama jam operasional sistem BI-RTGS yang wajib dijamin
dengan agunan milik Bank berupa SBI dan/atau obligasi pemerintah.

Makroprudensial  BI  kebijakan skn  menetapkan gwm dan suku bunga  minimalisir


risiko eksogen (risiko eksternalitas)

Mikroprudensial  ojk  kebijakan individual bank  pengawasan risiko perbankan


(kredit, likuiditas, pasar, imbal hasil, dll)  meminimalisir risiko endogen (risiko internal
bank)

Ada instrumen-instrumen likuiditas yang dapat dijalankan bank syari’ah dalam rangka
memenuhi kewajiban likuiditas, yaitu : Giro Wajib Minimum (GWM), Kliring dan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penjelasan ketiga hal ini sebagai berikut:
1) Giro Wajib Minimum (GWM)
Giro Wajib Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank
Indonesia yang besarnya ditetapkan olah BI berdasarkan persentase tertentu dari Dana Pihak
Ketiga (DPK). Perhitungan ini berlaku baik untuk GWM dalam rupiah maupun valuta asing.
2) Kliring
Kliring adalah sarana perhitungan utang-piutang antar bank dengan cara saling menyerahkan
surat-surat berharga dan surat-surat dagang guna memperlancar lalu lintas pembayaran yang
terdiri dari pengiriman uang, inkaso, dan pembukaan letter of credit. Ketentuan mengenai
kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi bank umum yng
berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan tambahan. Ketentuan yang
berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah antara lain meliputi ukuran besarnya sanksi
pelanggaran saldo giro negatif dan tatacara pengenaan sanksi untuk bank-bank bersaldo
negatif.
3) BLBI
BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat
terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Selain instrumen diatas juga ada Instrumen yang saat ini tersedia untuk melakukan
manajemen likuiditas bank syariah melalui pasar uang antarbank syariah, antara lain (Karim,
2010), yaitu:
1) Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah : menggunakan akad Jua’alah, satuan
unit sebesar Rp.1.000.000,-, berjangka waktu paling kurang 1 bulan dan paling lama 12
bulan, diterbitkan tanpa warkat (scripless), dapat digunakan kepada Bank Indonesia, dan
tidak dapat diperdagangkan di Pasar Sekunder Akad Jua’alah adalah janji atau komitmen
(iltijam) untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/ ju’l) atas pencapaian hasil (Natijah)
yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Dalam hal ini Bank Indonesia menegaskan pada
bankbank Syariah “carikan dana sejumlah sekian untuk jangka waktu sekian lama bila
berhasil maka akan aku beri imbalan atas keberhasilan itu”. 98
2) Deposito Antar Bank Syariah
Sebagai sarana pengelolaan likuiditas, Bank Syariah dapat menggunakan sarana Deposito
Antarbank, bail dalam penempatan dananya maupun dalam memenuhi kebutuhan dananya.
Deposito Antarbank ini menggunakan prinsip Mudharabah. Mudharabah adalah perjanjian
antara penanam dana dan penge-lola dana untuk melakukan kegiatan usaha guna memperoleh
keuntungan, dan keuntungan tersebut akan dibagikan kepada kedua belah pihak berdasarkan
nisbahyang telah disepakati sebelumnya.
3) Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA)
Sertifikat investasi mudharabah antar Bank yang selanjutnya disebut SIMA adalah sertifikat
yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana investasi
jangka pendek di puas dengan akad mudharabah. SIMA diterbitkan oleh Bank pengelola dana
(Bank Syariah atau unit usaha syariah) dengan jangka waktu paling lama 365 hari dan dapat
diperjualbelikan (treadable), sepanjang sebelum jatuh tempo.
4) Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)
Merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan
dananya di Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT). Jangka
waktu FASBIS maksimum 7 hari dengan sistem imbalan berupa fee, dan diterbitkan tanpa
bukti kepemilikan (warkat) melainkan bukti pendebatan atau pengkreditan rekening giro bank
brupa confirmation advice pada sistem BI-RTGS. FASBIS tidak dapat diperdagangkan, tidak
dapat digunakan, dam tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
5) Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (FPJPS)
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syraiah atau sering disebut dengan FPJPS
merupakan instrumen dari Bank Indonesia sebagai The Lender Of Last Resort bagi Bank-
bank Syariah yang mengalami kesulitan likuiditas atau kesulitan pendanaan jangka pendek
yang disebabkan oleh tergantungnya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan
arus dan keluar (mismatch). Tujuan dari diberlakukan FPJPS ini adalah umtuk mebantu bank
Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but solvent).
6) Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (FLIS) Untuk
mengatasi kemacetan dalam sistem pembayaran dalam implementasi BI-RTGS maka Bani
Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan dalam jangka waktu
yang sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional Sistem BI-RTGS
dalam bentuk FLIS-RTGS yang wajib dilunasi oleh bank pada akhir hari yang sama. Selain
itu untuk mengatasi mangantisipasi kemungkinan kegagalan bank dalam memenuhi
kewajibannya sebagai peserta dalam SKNBI, Bank Indonesia 99 juga memandang perlu
untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek berdasarkan
prinsip syariah selama waktu operasional berupa FLIS kliring yang wajib dilunasi pada waktu
akhir yang sama.
TM – 10 Pricing Bank Syariah
Pricing
Kegiatan bank dalam memberikan harga kompetitif untuk produk keuangan syariah.
Manajemen pricing penting dilakukan karena bank syariah akan menerima sumber dana dari
nasabah (sisi debitur) dan akan memberikan pembiayaan (sisi kreditur). Perencanaan pricing
sangat berkaitan dengan likuiditas bank, dimana pricing yang akan menentukan arus dana
perbankan. Pricing pembiayaan yang terlalu murah menyebabkan bank dapat kehilangan
likuiditas secara cepat, namun jika terlalu mahal tidak ada nasabah yang tertarik untuk
membeli. Begitu pula pricing untuk deposan (giro & deposito) yang mahal akan
menyebabkan dana mahal pada bank syariah, sedangkan pricing yang murah tidak akan
menarik minat nasabah untuk menabung. Oleh karena itu, penentuan pricing adalah hal yang
vital bagi bank syariah. Penetapan target profitabilitas bank tidak akan tercapai bila
manajemen pricingnya buruk, Akibatnya portofolio perbankan akan turun dan kepercayaan
investor juga ikut menurun.
Dalam sistem dual banking, benchmark pricing yang digunakan bank syariah adalah suku
bunga bank konvensional. Sistem ini menyebabkan bank syariah harus berkompetisi dengan
bank konvensional dengan menetapkan pricing yang lebih menarik daripada bunga. Produk
berdasarkan profit loss sharing, revenue sharing dan profit based margin seharusnya menjadi
produk “flagship” dari bank syariah dan menjadi keunikan yang tidak dimiliki bank
konvensional. Secara tradisional, pricing ditentukan oleh variasi suku bunfa dasar / suku
bunga bank sentral yang kemudian diturunkan menjadi prime cost (bunga utama) untuk
produk perbankan. Namun 1970, pricing dirubah menjadi sistem penawaran antar bank
seperti yang terjadi di LIBOR (London Interbank Offer). Untuk perbankan syariah ada 3
metode pricing yaitu :
a. Cost-Plus Pricing
Metode penetapan harga dimana markup standar ditambahkan ke estimasi biaya
produk. Metode ini sering dipakai dalam produk murabahah. Cost-plus Pricing
dihitung dengan membagi biaya tetap suatu produk (misalnya, upah dan pajak)
dengan perkiraan jumlah unit yang akan dijual dan kemudian menambahkan biaya
variabel per unit (misalnya, biaya administrasi dan transportasi), atau dengan
menambahkan total biaya variabel dan biaya tetap dan kemudian membaginya
dengan jumlah total unit yang akan dijual.

 P adalah harga
 TVC adalah total biaya variabel
 FC adalah biaya tetap
 Q adalah total penjualan,
 MK adalah mark-up persentase.
Misalnya, biaya tetap untuk menjual barang adalah RM300.000, biaya variabel
RM100.000, dan perkiraan jumlah unit yang akan dijual adalah 50.000. Tambahkan
100.000 hingga 300.000, bagi 50.000, dan biaya satuan sebenarnya sama dengan
RM8. Jika laba atas penjualan yang diinginkan adalah 20%, bagi RM8 dengan 1
minus 0,20, dan harga costplus untuk item ini adalah RM10.
Ada beberapa cara untuk menentukan biaya, dan keuntungan dapat ditambahkan
sebagai mark-up persentase atau jumlah absolut. Salah satu contohnya adalah:

di mana AVC adalah biaya variabel rata-rata. Misalnya: jika biaya variabel 30 sen,
biaya tetap adalah 10 sen, dan markup sebesar 50% markup maka harganya 60 sen.

beberapa bank syariah mungkin mengabaikan biaya tetap dan hanya


menggunakan harga pembelian yang dibayarkan kepada pemasok mereka
sebagai jangka waktu biaya. Bank secara tidak langsung memasukkan alokasi biaya
tetap ke dalam persentase markup.

b. Price leadership model


Masalah dengan pendekatan cost-plus sederhana adalah bahwa bank syariah
dapat menentukan harga suatu produk tanpa memperhatikan persaingan dari
bank syariah lain. Persaingan mempengaruhi margin keuntungan yang ditargetkan
bank syariah pada produk. Dampaknya bank Syariah lebih menggunakan bentuk Price
leadership model dalam menetapkan biaya produk. Rate utama atau dasar ditetapkan
oleh bank-bank besar dan merupakan tingkat keuntungan yang dibebankan kepada
pelanggan bank syariah yang paling layak diberi kredit pada pembiayaan modal kerja
jangka pendek.
Tingkat "price leadership model" ini penting karena menetapkan patokan untuk
banyak jenis pembiayaan lainnya. Pendekatan ini cocok untuk model volume
tinggi yang menciptakan efisiensi skala dan menjaga basis biaya rendah. Untuk
mempertahankan pengembalian bisnis yang memadai dalam price leadership model,
seorang bankir harus menjaga pendanaan dan biaya operasional serta premi
risiko sekompetitif mungkin.

c. Credit-scoring Systems and Risk-based Pricing


Karena risiko pembiayaan bervariasi sesuai dengan karakteristik dan pelanggannya,
penetapan risiko atau premi default adalah salah satu aspek pembiayaan yang paling
bermasalah.
Credit scoring adalah alat yang berguna dalam menetapkan premi default yang
sesuai ketika menentukan tingkat mark-up yang dibebankan pada suatu
produk. Menetapkan premi default ini dan menemukan tarif optimal serta cut-off
point menghasilkan apa yang biasanya disebut sebagai penetapan harga berbasis
risiko. Bank syariah yang menggunakan penetapan harga berbasis risiko dapat
menawarkan tingkat mark-up kompetitif pada pembiayaan terbaik di semua kelompok
pelanggan dan menetapkan mark-up pada pembiayaan yang mewakili risiko tertinggi.
Lembaga keuangan yang paling umum menggunakan model credit scoring untuk
mendapatkan model peramalan perilaku pelanggan dan untuk membuat keputusan
tentang siapa yang akan memperluas pembiayaan ke dan dengan ketentuan apa. Oleh
karena itu, model ini dapat memprediksi hasil biner sederhana; yaitu, kemungkinan
bahwa seseorang akan menjadi pelanggan yang baik yang membayar kembali
pembiayaan yang diajukan kepada mereka, atau pelanggan yang buruk yang
gagal bayar. Bentuk apresiasi pada nasabah yang tertip adalah dengan pemberian
diskon margin atas credit scoring yang baik.
Dua faktor lain juga mempengaruhi premi risiko yang dibebankan oleh bank syariah:
agunan yang diperlukan dan jangka waktu, atau panjang, dari pembiayaan.
Umumnya, ketika pembiayaan dijamin dengan agunan, risiko gagal bayar oleh
pelanggan berkurang. Misalnya, pembiayaan dijamin oleh mobil biasanya memiliki
tingkat mark-up yang lebih rendah daripada pembiayaan tanpa jaminan, seperti
pembiayaan kartu kredit. Juga, semakin bernilai agunan, semakin rendah risikonya.
Oleh karena itu, pembiayaan yang dijamin oleh rumah pelanggan biasanya memiliki
tingkat mark-up yang lebih rendah daripada pembiayaan yang dijamin oleh mobil.
Namun, mungkin ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Pertama, mobil
mungkin lebih mudah dijual, atau lebih likuid, membuat risiko pembiayaan lebih
rendah. Kedua, jangka waktu atau panjang pembiayaan mobil biasanya periode
pendek, misalnya tiga hingga lima tahun, dibandingkan dengan jangka waktu 15
hingga 30 tahun pembiayaan rumah. Sebagai aturan umum, semakin pendek jangka
waktu, semakin rendah risikonya, karena kemampuan pelanggan untuk membayar
kembali pembiayaan cenderung tidak berubah.

Penetapan Rate Pembiayaan


• Loan Pricing :
– COF (Cost of Fund) : …%
– COLF = COF / (1-RR) :a%
(RR = GWM + Cash Ratio+Penjaminan)
– OHC (Over Head Cost) :b%
– COM (Cost Of Money) : a+b%
– Risiko Kredit : c%
– Margin :d%
BLR (Base Lending Rate) : a+b+c+d
Contoh CoF terpisah

Colf = 8,83 % / (1-5%)


CoM = 9,29 % + 2% = 11,29%
BLR = 11,29% + 1,5 % + 2%

Contoh CoF + CoLF

 Financing Pricing
o Expected profit rate diperoleh berdasarkan:

 tingkat keuntungan rata-rata pada industri sejenis;


 pertumbuhan ekonomi;
 dihitung dari nilai required profit rate (RPR) yang berlaku di bank
yang bersangkutan
o Rumus :
Expected Profit Rate (EPR)
Nisbah Bank = ----------------------------------------------- x 100%
Expected Return Bisnis yang dibiayai (ERB)
Nisbah Nasabah = 100% - Nisbah Bank
Aktual return Bank = nisbah bank x aktual return bisnis
o Contoh EPR

Perusahaan tekstil milik nasabah data-data yang terkait dengan bisnisnya


adalah sebagai berikut:
• Expected yield on Gross Revenue (ERB) = 30% p.a.
• Overhead Cost = 10% p.a
• Bila EPR Bank = eq. 15% p.a
• Berapa Nisbah bagi hasilnya,
– jika Revenue Sharing?
– jika Profit Sharing?
a. Revenue Sharing
Perhitungan Nisbah (Revenue Sharing):
• Revenue = 30% p.a.
• EPR Bank = 15% p.a.
• Nisbah Bank : (15%) / (30%) x 100% = 50%
• Nisbah untuk Nasabah: 100% - 50% = 50%
• Rasio Nisbah Bank dengan Nasabah = 50 : 50

b. Profit Sharing
Perhitungan Nisbah (Profit Sharing):
• Overhead Cost = 10% p.a.
• Profit : (30%) – (10%) = 20% p.a.
• EPR Bank = 15% p.a.
• Nisbah Bank : (15%) / (20%) x 100% = 75%
• Nisbah untuk Nasabah: 100% - 75% = 25%
• Rasio Nisbah Bank dengan Nasabah = 75 : 25

Anda mungkin juga menyukai