Anda di halaman 1dari 4

SURAT DARI PENANG

Cerpen: dul abdul rahman

Aku telah tidur bersama malam, di antara himpitan mimpi. Mimpi yang
membawaku ke sebuah titik sketsa Melayu yang kemayu. Aku berbaring dipelukan sunyi.
Bulan menatapku iba dibalik rinai. Amboi! Ada kerlipan bintang-bintang di balik
mendung yang kian menjauh. Lalu musik melayu berdendang merdu. Blurr! Aku tersadar
oleh jeritan HPku yang menghajar kesunyian malam. Aku baru ingat HPku memang telah
kuisi ringtone khusus irama melayu. Sebuah pesan masuk. Agak ragu-ragu aku
membacanya.
“Apakah Abang telah membaca suratku?”
N...Nurfaliza! Aku tergeragap membatin. Pengirim SMS itu adalah Nurfaliza.
Perempuan melayu, yang kini menetap di kota Penang. Surat? Minggu-minggu ini
memang aku tak perduli dengan surat-surat yang mengunjungiku. Biasanya surat-surat
yang datang hanyalah ucapan-ucapan selamat, jadi aku pikir tak begitu mendesak aku
baca. Lagian belakangan ini aku tak begitu bersemangat, aku jenuh dengan pekerjaan
yang kulakoni saat ini. Banyak uang memang. Tapi tak ada kedamaian dan kebahagiaan.
Aku bekerja dalam tetesan keringat kebohongan dan kemunafikan.
Nurfaliza. Nampak jelas bias kecantikan Siti Nurhaliza melekat di wajahnya.
Bermata sendu. Besuara merdu. Memang telah menancapkan gelisah di hatiku. Ia
perempuan luar biasa yang telah membuka mata hatiku tentang arti kecantikan. Sebelum
aku mengenalnya, aku selalu mencari perempuan yang seksi yang selalu memamerkan
lekuk-lekuk tubuhnya. Bahkan aku selalu mengintip gadis tetangga disamping rumah
yang saban pagi hari menyapu di halaman rumahnya yang biasanya cuma bercelana
pendek dan ber-tentop. Ataukah aku suka menunggu ibu muda tetangga depan rumah
yang seksi dan suka tersenyum penuh rahasia kepadaku.
Tapi setelah aku mengenal Nurfaliza. Aku mulai malu bersitatap dengan ibu muda
di depan rumah. Pun aku enggan lagi mengintip gadis tetangga sebelah yang suka
memamerkan keindahan tubuhnya. Kebiasaanku berubah. Aku suka memandangi
perempuan-perempuan yang berjilbab, apalagi bila jilbabnya menyapa tanah dan tak
tampak lagi lekuk tubuhnya. Ya, aku memang hanya bisa memandangi mereka. Aku
sadar tidak bisa memilikinya. Aku terlalu jauh dari mereka.
Pernah aku mencoba mengenal perempuan-perempuan yang sering dipanggil
akhwat itu. Tapi rupanya mereka tak perduli denganku. Mungkin mereka tahu jejak
langkahku selama ini. Ataukah mereka takut, kalau-kalau aku berniat jahat padanya.
Memang selama ini aku sering menggandeng perempuan seksi penghempas birahi,
bahkan aku tak segan-segan memeluk mereka di tempat-tempat umum. Padahal
sesungguhnya aku sangat ingin berubah. Aku sudah muak dengan kehidupanku sendiri.
Dan kehadiran Nurfaliza sedikit demi sedikit membuatku berubah.
Nurfaliza benar-benar mampu mengisi kekosongan kanvas hatiku. Aku benar-
benar jatuh cinta. Aku mengerahkan seluruh sendi-sendi kemampuanku untuk mencuri
hatinya. Padahal biasanya soal menggaet perempuan amat mudahlah buatku, sekali
gombal aku langsung menggaetnya.
“Bang! Aku takut.” Nurfaliza tertunduk malu.
“Mengapa harus takut Nur? Aku mencintaimu.”
“Bang! Aku ke Makassar hanya untuk kuliah. Aku takut bercinta-cintaan.” Ia kian
tertunduk malu. Aku tak bisa menikmati wajah melayunya yang ayu. Aku hanya bisa
menikmati kembang-kembang yang mekar di jilbabnya. Mahasiswa Malaysia memang
selalu memakai baju kurung motif kembang-kembang dengan jilbab warna-warni. Ciri
khas perempuan melayu.
“Tapi Nur, aku benar-benar mencintaimu.” Aku terus mencoba meyakinkannya.
“Bang! Jangan terlalu berharap padaku. Setelah koas dokterku selesai aku harus
kembali ke Malaysia.” Ia masih menunduk tak berani menantang wajahku.
“Nur! Demi cintaku padamu, aku rela tinggal dimana saja. Di Malaysia atau di
Indonesia sama saja.”
Ia diam saja. Aku terus menatap kembang-kembang yang bermekaran di baju
kurungnya. Entah tiba-tiba aku sedikit ragu. Takut. Tapi aku mencoba memberanikan
diri, aku memang berpengalaman menghadapi perempuan. Kutatap Nurfaliza lekat-lekat.
“Masa aku tak bisa menaklukkannya.” Kusemangati diriku sendiri.
Dengan cekatan, karena memang berpengalaman, aku meraih tangan kanannya, ia
menolak. Tapi cengkeraman tanganku terlalu kuat buat perempuan selembut dia. Dan aku
langsung mengecup tangannya berkali-kali plus ucapan “I love you Nurfaliza.” Beberapa
jenak kurasakan begitu syahdu. Tapi kulihat mukanya memerah saga. Aku yakin inilah
pengalaman pertamanya dicium lelaki, meski cuma tangannya saja.
Sementara aku masih dalam buaian selaksa keindahan sambil berharap bukan
hanya sekedar tangannya yang kucium. Ia beranjak pergi. Bergegas. Aku mencoba
menahannya dengan seikat kalimat, “Jangan pergi Nur! Aku sangat mencintaimu.”
Namun ia kian bergegas. Kembang-kembang yang mekar di baju kurungnya menari-nari
samar seirama dengan langkahnya yang kian menjauh.
Hari-hari selanjutnya. Nurfaliza tak mau lagi bertemu denganku. Setiap ia
melihatku ia bergegas menjauh. Aku dilanda badai kegelisahan yang amat dahsyat.
Salahkah aku bila mencintainya? Salahkah aku mencium tangannya? Ataukah karena ia
orang melayu yang menjaga citra budaya melayu? Aku terus mencoba menghubungi dan
menemuinya. Namun sia-sia. Ia tak sudi lagi menemuiku. Tetapi aku terus berusaha,
meski cuma sapaan-sapaan SMS. Tapi setahun berjalan hingga ia kembali ke negaranya,
ia memberiku setetes harapan. Harapan yang tersampul ucapan selamat tinggal. “Selamat
tinggal duhai lelaki yang mencuri dan mencium tanganku. Kalau masih berani cium
tanganku, kutunggu kau di Malaysia.”
...
Meski tubuhku lelah tak bermaya. Aku bergegas meraih surat Nurfaliza. Hatiku
berdebar-debar membungkus rindu pada perempuan melayu, bermata sendu itu. Apakah
gerangan isinya.
Abang Ram yang kurindu di Makassar,
Ketika Abang membaca suratku ini, anggaplah Abang lagi menatap wajahku,
karena aku akan mewujud di surat ini. Abang bolehlah membelai-belai surat ini,
bayangkanlah Abang lagi membelai-belai wajahku yang bersemu merah yang tak
mampu bersitatap dengan Abang. Abang juga boleh lah mencium surat ini, karena
sesungguhnya surat ini kutulis dengan tangan kananku yang sampai saat ini masih terus
bergetar karena dicium oleh Abang dulu. Mungkinkah ini yang namanya getaran cinta?
Melalui surat ini, aku ingin berbicara banyak kepada Abang. Tentang kita.
Tentang masa depa kita. Sebelumnya aku minta maaf bila membuat Abang tersiksa
menunggu kepastian dariku. Sesungguhnya perasaan Abang terhadapku serupa dengan
perasaanku terhadap Abang. Tapi aku perempuan melayu yang sangat malu bila berdua-
duaan dengan lelaki yang bukan muhrim. Aku takut dengan kebiasaan anak-anak muda
di Makassar yang terlalu bebas bermesraan, biar di tempat umum.
Abang Ram sayang! Kaulah lelaki pertama dan kuharap terakhir kali meremas
dan mencium tanganku penuh cinta. Sabar ya Bang! Sesudah kita menikah, kau barulah
bebas berbuat apa saja lah padaku. Sebelum menikah, No Way-lah Bang. Kita menjaga
lah adat melayu(ketimuran) kita.
Abang sayang! Aku tak sabar lagi ingin mengatakan aku jua sangat mencintai
Abang. Kini aku sudah siap lah kalau Abang melamarku untuk jadi isteri Abang. Aku
menantimu sekarang Bang di Malaysia. Setelah kita menikah, kita boleh lah tinggal di
Indonesia atau Malaysia. Terserah Abang saja lah, yang penting kita bisa menjaga citra
melayu kita.
Bang! Sekarang aku bekerja di sebuah hospital kota besar Penang. Setelah
menikah, aku mau saja dibawa ke Makassar, tapi sebelumnya kita tinggal dulu lah di
Penang. Sambil aku bekerja sebagai dokter, Abang boleh lah melanjutkan studi di
Universiti Sains Penang, atau di Universiti Utara Malaysia di Sintok, Kedah.
Abangku sayang! Sekarang aku menunggumu di kota Penang. Sudah dulu ya,
nanti lah kalau Abang dah tiba disini, kita boleh lah cakap banyak tentang masa depan
kita.
Adindamu yang selalu mencintaimu,
Ku Nurfaliza Ku Mahamud

Kuraba. Kucium. Kudekap surat Nurfaliza penuh haru. Nurfaliza! Oh Nurfaliza!


Aku tak bisa berkata-kata selain menyebut namanya. Aku teramat merindunya. Tak
terasa mataku basah. Meski sebenarnya aku telah mengenal beberapa perempuan, namun
inilah kali pertama aku meneteskan airmata kerinduan. Airmata cinta. Kini aku tahu
perasaannya padaku. Ternyata ia juga mencintaiku. Aku merasa malam ini akulah lelaki
yang paling berbahagia di dunia ini.
Aku berjanji untuk mencintai Nurfaliza untuk selamanya. Aku akan berubah. Aku
akan meninggalkan dunia kepalsuan yang penuh pengkhianatan. Bersama Nurfaliza, aku
akan membangun dunia baru yang penuh dengan kejujuran dan kasih sayang. Meski kami
berbeda kewarganegaraan tapi aku kira tak masalah. Biarlah anak-anak kami kelak jadi
orang Indonesia dan Malaysia. Yang penting beradat melayu-lah. Akh Nurfaliza! Aku
merindunya. Kukirim SMS balasan. Mudah-mudahan ia belum tidur disana.
“Nurfaliza sayang! Suratmu telah kubaca. Terima kasih kuucapkan, kau telah
mengakhiri penantian panjangku. Ketahuilah olehmu, kini aku tidur bertemankan
suratmu di atas dadaku. Kuharap kau mewujud di mimpiku.” Klik.
Beberapa jenak kemudian HPku berdering. SMS masuk. Aku yakin pasti dari
Nurfaliza. Tak sabar aku segera membacanya.
“Selamat tidur sayang! Besok malam aku menjemputmu, kita menikmati
indahnya malam di hotel aja ya. Oh ya, suamiku berangkat besok pagi ke luar negeri
bersama anggota dewan lainnya. Ia juga membawa isteri pertamanya. Aku merindukan
gol-gol mautmu, kau memang dahsyat, striker haus gol. Tidak seperti suamiku, meski
kuhadiahi tendangan penalti berkali-kali juga tak gol-gol. Biasalah pemain tua, bisanya
cuma mengoleksi bola.”
Aku tergeragap. Agak lama. Di langit tak ada kerlipan bintang-bintang. Gelap.
Dalam kegelapan yang samar hanya senyuman manis Nurfaliza. Tapi kali ini aku sangat
malu. Aku teramat hina dimatanya. Aku merasa tak pantas bersamanya. Ia adalah
bidadari. Aku? Akh!

Makassar, 14 Februari 2007

Dul abdul rahman. Cerpenis.


Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit
LEBARAN KALI INI HUJAN TURUN.
Staf pengajar MKU Bahasa Inggris UNHAS

Anda mungkin juga menyukai