Disusun Oleh :
NIM : 1420118093
Semester : V (Lima)
RESIKO BUNUH DIRI (RBD)
A. Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Perilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian. Perilaku destruktif diri langsung mencakup aktivitas bunuh diri. Niatnya
adalah kematian, dan individu menyadari hal ini sebagai hasil yang diinginkan. Perilaku
destruktif diri tak langsung termasuk tiap aktivitas kesejahteraan fisik individu dan dapat
mengarah kepada kematian. Orang tersebut tidak menyadari tentang potensial terjadi
pada kematian akibat perilakunya dan biasanya menyangkal apabila dikonfrontasi (Stuart
& Sundeen, 2006).
Adaptif Maladaptif
B. Etiologi
Banyak penyebab tentang seseorang melakukan bunuh diri:
1. Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak bisa mennghapus stres
2. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan
3. Interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti
4. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukman pidana diri sendiri
5. Cara unuk mengakhiri keputusasaan
Berdasarkan teori, terdapat 3penyebab terjadinya bunuh diri adalah sebagai berikut:
1. Genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya tresiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping
itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi terrjadinya
resiko bunuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu; egoistik (orang yang tidak
terintegrasi pada kelompok sosial, atruistik (melakukan suicide untuk kebaikan masyarakat),
dan anomik (suicide karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi
dengan stresor).
3. Teori psikologi
Sigmund Freud dan karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah
yang diarahkan pada diri sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi RBD
1. Faktor predisposisi
Menurut Stuart Gw & Laraia (2005), faktor predisposisi bunuh diri antara lain:
1. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
a. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
b. Lingkup psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian,
kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko penting untuk prilaku destruktif.
d. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan depominersik
menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.
2. Faktor presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
c. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
d. Cara untuk menngakhiri keputusan.
C. Pohon Masalah
E. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko bunuh diri
2. Isolasi sosial
3. Resiko perilaku kekerasan
F. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk pasien percobaan bunuh diri
a. Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan : Melindungi pasien
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka saudara dapat
melakukan tindakan berikut:
1) Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat yang aman
2) Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali pinggang)
3) Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien mendapatkan
obat
4) Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan melindungi pasien sampai
tidak ada keinginan bunuh diri
PERILAKU KEKERASAN (PK)
2. Defenisi
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive behavior)
yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain, termasuk kepada hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu
bentuk pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu
respon terhadap kemarahan, kekecewaan perasaan dendam atau ancaman yang memancing
amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk
melawan atau menghukum yang berupa tindakan menyerang orang lain (assault), agresivitas
terhadap diri sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse). Untuk
melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi.
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. (Muhith, Abdul, 2015). Berdasarkan defenisi ini,
maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku secara verbal dan fisik. Sedangkan
marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat
perasaan marah (Stuart dan Sudden, 1995).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan
yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Ekspresi marah yang segera karena suatu
penyebab adalah wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi marah
tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering diekspresikan secara tidak langsung. Marah
adalah pengalaman emosi yang kuat dari individu dimana hasil/tujuan yang harus dicapai
terhambat. (Depkes RI, 1996). Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan
mempersulit diri sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan
dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan defenisi ini maka perilaku kekerasan
dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku
kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan
atau riwayat perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden,dkk, 2013).
Adaptif Maladaptif
Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif, dan
agresif/perilaku kekerasan.
a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan atau
mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau menyakiti orang
lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan
perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu
ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi atau
ketakutan (panik).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan
yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah bisa diekspresikan secara
eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstrukstif, menggunakan kata-kata yang
dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan persaan lega,
menurunkan ketegangan sehingga perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan
masalah, bahkan dapat menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan individu seperti
pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga rasa marah tidak
terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu
saat akan menimbulkan perasaan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri. (Dermawan,
Deden, 2013).
ii. Etiologi
A. Faktor Presisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah faktor
biologis, psikologis dan sosiokultural.
a. Faktor biologis
1. Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan Naluri).
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
2. Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system limbic
berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa
marah.
b. Faktor psikologis
1. Frustration Aggression Theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi
frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal
atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku
agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
2. Behavior Theory (Teori Perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas/situasi yang mendukung
3. Eksistensial Theory (Teory Eksistensi)
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka individu akan
memenuhinya melalui berperilaku destruktif.
c. Faktor sosiokultural
1. Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk
merespon asertif dan agresif
2. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialitas.
B. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian dan lain-
lain) maupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta,
takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan. (Dermawan, Deden, 2013).
3.
4. Komplikasi
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan
dapat melukai/membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
i. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri (Stuart dan Sudden, 1998). Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa
cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada
klien marah untuk melindungi diri antara lain:
a. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu dorongan,
penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi: menyalahkan orang lain, mengenal kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu dan mencumbunya
c. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil, membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bisa diekspresikan dengan berlebih-
lebihan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.
Misalnya seorang yang tertarik pada teman-teman suaminya, akan memperlakukan orang
tersebut dengan kasar.
e. Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada objek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya
Timmy berusia 4 tahun yang marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya
karena menggambar di dinding kamarnya, mulai bermain perang-perangan dengan teman-
temannya. (Muhith, Abdul, 2015).
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan dengan
respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi berhubungan dengan masalah proses
informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas, proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan
kerancuan persepsi, menarik diri, pada keluarga: mengingkari.
G. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik maupun
psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan
ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada
juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan
selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai
seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya.
Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat
dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal
dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi
sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan
sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan
tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang melebihi
lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi,
pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia katakan
adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi
menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk
diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar,
tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga
perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan klien
merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai
suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol
diri dan tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan
dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai
halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering
menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik
masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya
keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada
konsekuensi sosial.
H. Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus yang
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di
separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka
iri dengan kesuksesan saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara berlebihan
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau saya mau masuk
surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya,
“Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-
tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya,
sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f) Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke dalam
pikirannya.
g) Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun
ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h) Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di luar dirinya.
I. Rentang Respon
A. DEFINISI
1. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya
penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara
bisikan itu (Hawari, 2001).
2. Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002).
3. Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan
dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran
individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon
terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat
dibuktikan (Nasution, 2003).
4. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu
yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar.
Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:
persepsi palsu (Maramis, 2005).
5. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,
mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang
tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
6. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
7. Kesimpulannya bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan
tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.
B. MACAM-MACAM HALUSINASI
1. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang
kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana
klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar kartun,bayangan yang
rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3. Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak
menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau
pembentukan urine.
7. Kinisthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
C. FAKTOR PREDIPOSISI
Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan
dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-
masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang
signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan
pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum).
Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis
klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik
sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
D. FAKTOR PRESIPITASI
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang
bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian
individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan
(Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta
abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Fase Pertama / comforting / menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien mungkin
melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan
kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol
kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa bersuara,
pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan
suka menyendiri.
2. Fase Kedua / comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal, klien
berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol,
gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila
orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak
antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari
orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan
dengan realitas.
3. Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak berdaya
pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol
klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit
atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi
perintah.
4. Fase Keempat / conquering/ panik
merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang
sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien
tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien
berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya.
Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan
tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku
dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara
tiba-tiba marah atau menyerang oranglain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang
menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya ( apa
yangdilihat, didengar atau dirasakan).
Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :)
1. Tahap I : halusinasi bersifat menyenangkan
Gejala klinis :
a. Menyeringai/ tertawa tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa bicara
c. Gerakan mata cepat
d. Bicara lambat
e. Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
2. Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis :
a. Cemas
b. Konsentrasi menurun
c. Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
3. Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan
Gejala klinis :
a. Cenderung mengikuti halusinasi
b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk)
4. Tahap 4 : halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis :
a. Pasien mengikuti halusinasi
b. Tidak mampu mengendalikan diri
c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata
d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
F. AKIBAT YANG DITIMBULKAN
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan. Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman.
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai
Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan control dirinya sehingga bisa membahayakan
diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (resiko mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan). Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai fase ke IV, dimana klien mengalami
panic dan perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan
kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan
bunuh diri, membunuh orang lain bahkan merusak lingkungan. Tanda dan gejalanya adalah muka
merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat dan sering pula tampak klien
memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak senang.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat halusinasi,
sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi
kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik
atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati klien, bicaralah dengan klien.
Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu tindakan
yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya disediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding,
gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang
diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati
agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat yang diberikan.
3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien yang
merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau orang lain yang dekat
dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien
Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain
atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan klien ke kehidupan nyata
dan memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih
kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada kesatuan
pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan
klien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada
orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar klien
jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan
ini hendaknya diberitahukan pada keluarga klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien
sendirian dan saran yang diberikan tidak bertentangan.
Farmako:
1. Anti psikotik:
a. Chlorpromazine (Promactile, Largactile)
b. Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
c. Stelazine
d. Clozapine (Clozaril)
e. Risperidone (Risperdal)
2. Anti parkinson:
a. Trihexyphenidile
b. Arthan
H. POHON MASALAH
LAPORAN PENDAHULUAN
I. MASALAH UTAMA
Defisit perawatan diri
II. PROSES TERJADINYA
A. Definisi
Perawatan Diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya. (Depkes, 2000 dalam Wibowo, 2009).
Poter, Perry (2005), dalam Anonim (2009), mengemukakan bahwa Personal Higiene
adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis. Wahit Iqbal Mubarak (2007), juga mengemukakan bahwa
higiene personal atau kebersihan diri adalah upaya seseorang dalam memelihara
kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperolah kesejahteraan fisik dan psikologis.
Seseorang yang tidak dapat melakukan perawatan diri dinyatakan mengalami defisit
perawatan diri. Nurjannah (2004), dalam Wibowo (2009), mengemukakan bahwa Defisit
Perawatan Diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), Kurang Perawatan
Diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan
untuk dirinya.
Pasien yang mengalami gangguan jiwa kronik seringkali tidak memperdulikan
perawatan diri. Hal ini menyebabkan pasien dikucilkan dalam keluarga dan masyarakat
(Keliat, 2009).
Klien dengan gangguan jiwa hampir semuanya mengalami defisit perawatan diri. Hal
ini disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakberdayaan yang berhubungan dengan
keadaannya sehingga terjadilah defisit perawatan diri (Muslim, 2010).
D. Predisposisi
a. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
c. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri
d. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri
E. Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri. (Depkes, 2000, dalam Anonim, 2009) Sedangkan Tarwoto dan Wartonah (2000),
dalam Anonim(2009), meyatakan bahwa kurangnya perawatan diri disebabkan oleh :
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
F. Rentang Respon
G. Pohon Masalah
H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor
meliputi status sosialekonomi, keluarga, jaringan interpersonal, organisasi yang dinaungi
oleh lingkungan sosial yang lebih luas, juga menggunakan kreativitas untuk
mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and
Sundeen, 1998 dalam Lili Kadir, 2018).
LAPORAN PENDAHULUAN
D. Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang
dihadapi individu dan ia tidak mampu menyesuaikan. Situasi atas stressor dapat
mempengaruhi komponen.
Stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri adalah hilangnya bagian tubuuh,
tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses
tumbuh kembang prosedur tindakan dan pengobatan. Sedangkan stressor yang dapat
mempengaruhi harga diri dan ideal diri adalah penolakan dan kurang penghargaan diri
dari orang tua dan orang yang berarti, pola asuh yang tidak tepat, misalnya selalu
dituntut, dituruti, persaingan dengan saudara, kesalahan dan kegagalan berulang, cita-
cita tidak terpenuhi dan kegagalan bertanggung jawab sendiri. Stressor pencetus dapat
berasal dari internal dan eksternal:
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa
yang mengancam kehidupan.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi.
Ada tiga jenis transisi peran:
E.Rentang Respon
Keterangan:
F. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) :
G. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Gangguan citra tubuh
2. Kesiapan meningkatkan konsep diri
3. Harga diri rendah (kronis, situasional dan resiko situasional)
4. Ketidakefektifan performa peran
5. Gangguan identitas pribadi
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping menurut Deden (2013) :
Jangka pendek :
1. Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian obat-obatan,
kerja keras, nonoton tv terus menerus.
2. Kegiatan mengganti identitas sementara: ikut kelompok sosial, keagamaan, politik.
3. Kegiatan yang memberi dukungan sementara : kompetisi olah raga kontes
popularitas.
4. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara : penyalahgunaan obat-
obatan.
Jangka Panjang :
1. Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari orang-
orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri.
2. Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat.
ISOLASI SOSIAL
I. MASALAH UTAMA
Isolasi Sosial
A. Pengertian
Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari
interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab
dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau
lain, yang dimanifeetasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
Kesimpulan : isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana indifidu tidak mau
untuk berinteraksi yang dikarnakan orang lain atau keadaan disekitar diangap
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
Kurang spontan
Mengisolasi diri
Aktivitas menurun
Rendah diri
Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus / janin ( khususnya pada posisi tidur )
C. Rentang respon
yang berlaku dimana individu tersebut menyelesaikan masalahnya masih dalam batas
normal.
impulsive dan narkisme , prilaku yang brhubungan dengan respon sosial maladaptive,
adalah menipulasi , impulsive dan narkisme prilaku yang berhubungan dengan respon
D. Faktor predisposisi
dari pengalaman selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh kembang
memilki tugas yang harus dilalui indifidu dengan sukses, karna apabila tugas
kurang stimulasi kasih sayang,perhatian dan kehangatan dari ibu (pengasuh)pada bayi
akan membari rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya.
Faktor biologi
Genetic adalah salah satu factor pendukung ganguan jiwa, fakor genetic dapat
menunjang terhadap respon sosial maladaptive ada bukri terdahulu tentang terlibatnya
Factor sosial budaya dapat menjadi factor pendukung terjadinya ganguan dalm
membina hubungan dengan orang lain, misalnya angota keluarga, yang tidak produktif,
E. Faktor presipitasi
Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluar dan berpisah
dengan orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya dirawat di rumah sakit.
Stressor psikologis
untuk mengatasi tuntutan untuk berpisah dangan orang terdekat atau kebanyakan
ansietas tinggi.
F. Pohon Masalah
Halusinasi
Isolisasi Sosial
Intolenransi aktifitas
https://www.academia.edu/36946488/LAPORAN_PENDAHULUAN_KEPERAWATAN_JIWA_ISOLASI_SOSI
AL , diakses pada Selasa, 26 January 2021 pukul 02.31 WIT
https://www.academia.edu/33765463/LAPORAN_PENDAHULUAN_PERILAKU_KEKERASAN , diakses
pada Senin, 26 Januari 2021 pukul 03.37 WIT
https://www.academia.edu/37004528/LAPORAN_PENDAHULUAN_DEFISIT_PERAWATAN_DIRI_docx ,
diakses Pada Senin, 26 Januari pukul 04.09 WIT