Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM SPEKTROMETRI

UJI INTERFERENSI ADANYA UNSUR LAIN PADA ANALISIS BESI(III)


MENGGUNAKAN SPEKTROMETER UV-VIS

Nama : Vida Prasetianingtias


NIM : 181810301038
Kelas :A
Kelompok :4
Asisten : Nurul Afifah Febriani

LABORATORIUM KIMIA ANALITIK


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Besi merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi makhluk hidup,
termasuk manusia dan sebagian besar spesies bakteri. Besi dapat ditemukan pada
bebrbagai macam sumber makanan. Besi juga dapat digunakan pada kegiatan
industri. Analisis suatu logam yang dapat diidentifikasi dengan adanya ion logam
lain yang dapat mempengaruhi efisiensi hasil yang diperoleh disebut interferensi.
Interferensi dapat diartikan sebagai efek gangguan yang muncul dan dapat
mengakibatkan ketidakpastian hasil pengukuran ketika analisis dilakukan. Uji
interferensi ini dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
(Prasetya, 2001).
Uji interferensi adanya unsur lain pada analisis besi(III) dilakukan dengan
metode spektrofotometri UV-Vis. Penerapan uji interferensi besi terhadap unsur
lain pernah dilakukan oleh Steven Wang dan R. Djarot Sugiarso (2015) yang
menguji gangguan Cu2+ pada analisa besi(III) dengan pengompleks 1,10-
Fenantrolin pada pH 3,5 secara spektrofotomeri UV-Vis. Penelitian yang telah
dilakukan olehnya menunjukkan bahwa analisa besi(III) dengan pengompleks
1,10-fenantrolin pada pH 3,5 dapat diganggu oleh ion Cu(II) yaitu menurunkan
nilai absorban. Aplikasi spektrofotometri UV-Vis dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari – hari. Penerapan tersebut dapat diterapkan dalam berbagai
bidang biologis, pertanian, kesehatan. Penerapan dibidang biologis yaitu untuk
mengetahui banyaknya biomassa fitoplankton dilaut sehingga didapat kadar
klorofil didalam fitoplankton tersebut. Penerapan dalam bidang kesehatan yaitu
berguna untuk menetapakan kandungan parasetamol, ibuprofen, dan kafein dalam
sediaan farmasi kapsul (Gandjar, 2007).
Percobaan kali ini membahas tentang uji interferensi adanya unsur lain pada
analisis besi (III) menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Sampel yang
digunakan untuk uji interferensi yaitu besi(III) terhadap gangguan unsur Pb(II)
dan Cu(II). Percobaan ini dilakukan dengan 2 prosedur yaitu pembuatan larutan
dan pengujian interferensi. Pembuatan larutan tersebut berguna untuk membuat
larutan induk Fe(III) 1000 ppm, larutan Fe(III) 10 ppm, larutan induk Cu(II) 1000
ppm, dan larutan induk Pb(II) 1000 ppm. Pengujian interferensi ini dilakukan
menggunakan Cu(II) terhadap Fe(III) dan Pb(II) terhadap Fe(III). Pengujian
interferensi ini dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang
gelombang 450 nm untuk memperoleh nilai absorbansinya. Hasil tersebut
nantinya akan didapat kurva dengan memplotkan antara konsentrasi Cu(II) atau
Pb(II) terhadap absorbansi Fe(III) (Tim Penyusun, 2020).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana melakukan uji interferensi terhadap suatu metode yang
digunakan dalam percobaan?
1.2.2 Bagaimana pengaruh adanya unsur lain pada analisis besi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan percobaan ini adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Mahasiswa mampu melakukan uji interferensi terhadap suatu metode yang
digunakan dalam percobaan.
1.3.2 Mengetahui pengaruh adanya unsur lain pada analisis besi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Safety Data Sheet (MSDS)


2.1.1 Akuades (H2O)
Akuades merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul H2O yang
memiliki bentuk fisik berupa cairan yang tidak berasa, tidak berbau dan tidak
berwarna. Akuades memilki berat molekul sebesar 18,02 g/mol dan PH 7 (netral).
Titik didih akuades adalah 100℃ dan tekanan uapnya sebesar 2,3 kPa (pada suhu
20oC). Akuades memiliki kerapatan 1 g/mL dan kerapatan uapnya 62% dari
kerapatan udara. Akuades tidak bersifat racun dan mudah terbakar, sehingga tidak
membutuhkan perlakuan khusus (LabChem, 2020).
2.1.2 Asam Nitrat (HNO3)
Asam nitrat merupakan senyawa yang memiliki rumus kimia HNO 3.
Senyawa ini berbentuk cairan, tidak berwarna, dan baunya menyengat. Titik leleh
senyawa ini yaiu -42 sampai -38℃. Titik didih senyawa yaitu 38-122℃. Senyawa
ini larut dalam air dan eter dan bersifat higroskopis. Senyawa ini jika terkena kulit
akan menyebabkan iritasi dan menyebabkan korosi pada mata. Pertolongan
pertama yang dilakukan yaitu bilas kulit dan mata dengan air bersih selama 15
menit (Labchem, 2020).
2.1.3 Besi Klorida Heksahidrat (FeCl3.6H2O)
Besi klorida heksahidrat merupakan senyawa yang memiliki eumus kimia
FeCl3.6H2O. Senyawa ini merupakan padatan berbentuk kristal, berwarna abu-
abu sampai kekuningan, dan berbau menyengat. Titik leleh dan titik didih yang
dimiliki berturut-turut yaitu 2,7 dan 37 ℃. Senyawa ini larut dalam air, eter,
etanol, aseton, dan metanol. Senyawa ini jika terkena kulit akan menyebabkan
iritasi dan menyebabkan korosi pada mata. Pertolongan pertama yang dilakukan
yaitu bilas kulit dan mata dengan air bersih selama 15 menit (Labchem, 2020).
2.1.4 Kalium Tiosianat (KSCN)
Kalium tiosianat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus molekul
KSCN. Kalium tiosianat memiliki bentuk fisik berupa padatan dan berwarna
putih. Kalium tiosianat memiliki titik didih 500ᴼC, titik leleh 173ᴼC, dan berat
molekul 97,18 g/mol. Kalium tiosianat mudah larut dalam air dingin. Bahan ini
bersifat iritan sehingga berbahaya jika terkena kontak fisik dengan bahan.
Penanganan pertama yang harus dilakukan yaitu dengan membasuh bagian yang
terkena bahan tersebut dengan air mengalir selama 15 menit (LabChem, 2020).
2.1.5 Tembaga(II) Nitrat Trihidrat (Cu(NO3)2.3H2O)
Tembaga(II) nitrat trihidrat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus
molekul Cu(NO3)2.3H2O. Tembaga(II) nitrat trihidrat merupakan memiliki
bentuk fisik berupa padatan kristal, berwarna biru, dan sedikit berbau.
Tembaga(II) nitrat trihidrat memiliki berat molekul 241,6 g/mol, titik didih
170ᴼC, dan titik leleh 114ᴼC. Bahan ini bersifat iritan sehingga sehingga
berbahaya jika terkena kontak fisik dengan bahan. Penanganan pertama yang
harus dilakukan yaitu dengan membasuh bagian yang terkena bahan tersebut
dengan air mengalir selama 15 menit (LabChem, 2020).
2.1.6 Timbal(II) Nitrat (Pb(NO3)2)
Timbal(II) nitrat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus molekul
Pb(NO3)2. Timbal(II) nitrat memiliki bentuk fisik berupa padatan, berwarna
putih, tidak berasa, dan tidak berbau. Timbal(II) nitrat memiliki berat molekul
331,2 g/mol, titik leleh 470ᴼC, dan berat jenis 4,53 g/cm3. Timbal(II) nitrat larut
dalam air dingin dan metanol. Bahan ini bersifat iritan sehingga sehingga
berbahaya jika terkena kontak fisik dengan bahan. Penanganan pertama yang
harus dilakukan yaitu dengan membasuh bagian yang terkena bahan tersebut
dengan air mengalir selama 15 menit (LabChem, 2020).

2.2 Dasar Teori


2.2.1 Logam Besi
Besi merupakan unsur kimia dengan simbol Fe, dalam sistem periodik
merupakan suatu logam transisi dengan nomor atom 26, nomor massa 55,877 dan
berada pada golongan VIII periode 4 dengan konfigurasi elektron (Ar) 3d 6 4s2.
Besi yang murni berwarna putih perak memiliki titik lebur pada 1535°C (Vogel,
1990). Besi banyak diterapkan dalam bidang industri yaitu dalam pembuatan baja
(alloy). Besi di alam bebas ditemukan sebagai mineral oksida: magnetit (Fe 3O4),
hematite ( Fe2O3), dan limonit/ butir (Fe2O3.x H2O), sebagai karbonat: siderite
(FeCO3) dan sebagian sebagai sulfida: pirit (FeS2) (Retnowati, 1999).
Logam ini dalam keadaan murni bersifat memiliki tekstur yang tidak terlalu
keras tetapi jika dicampur dengan sedikit logam lain dan karbon akan membentuk
alloy baja yang sangat kuat. Senyawa besi mudah larut dalam air dan segera
terurai menjadi ion Fe(II) dan Fe(III). Logam Fe(II) yang terlarut tersebut dapat
berikatan dengan zat organik membentuk suatu kompleks. Kadar besi sekitar 1 - 2
ppm dapat menyebabkan air berwarna kuning. Sifat kimia besi yaitu mudah
teroksidasi oleh oksigen dan oksidator lainnya. Hal tersebut menyebabkan besi
seringkali memiliki electron valensi 3 atau Fe(III) (Laksi, 2000).
Analisa besi umumnya digunakan suatu pengompleks seperti selenit,
batofenantrolin, 1,10-fenantrolin, molibdenum, dan difenil karbonat di mana
warna kompleks yang dihasilkan dapat dIIdentifikasi menggunakan suatu alat
yaitu spektrofotometer UV-Vis. Fenantrolin termasuk salah satu ligan tipe feroin
yang mengandung dua cincin piridin yang mengapit cincin benzena. Penentuan
Fe2+ menggunakan pengompleks yang berbeda yaitu 1,10-fenantrolin, sedangkan
Fe3+ direduksi terlebih dahulu menjadi Fe 2+. Pereduksi yang digunakan adalah
hidroksilamin hidroklorida. Senyawa ini memiliki kelemahan yaitu harus diberi
perlakuan khusus harus dalam keadaan baru dan dibutuhkan pemanasan sebelum
pengompleksan. Kelemahan lainnya yaitu dibutuhkan konsentrasi yang besar
untuk mereduksi besi tersebut (Wang dan Djarot, 2015).
2.2.2 Interferensi
Analisis suatu logam yang dapat dilakukan dengan identifikasi adanya ion
logam lain yang dapat mempengaruhi efisiensi hasil yang diperoleh, hal ini
disebut dengan interferensi. Logam dapat memiliki ion-ion yang memiliki
karakter sama dengan ion logam lain yang akan dilakukan analisis. Interferensi
dapat diartikan sebagai efek gangguan yang muncul dan dapat mengakibatkan
ketidakpastian hasil pengukuran ketika analisis dilakukan. Uji interferensi ini
dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Interferensi yang diuji
berdampak pada nilai absorbansi analisis pada sampel yang cenderung lebih besar
atau lebih kecil. Uji intervensi atau adanya unsur lain pada analisis logam dapat
dilakukan pada salah satu logam transisi yaitu besi. Reagen yang biasanya
digunakan pada uji intetferensi adalah Cu(II) dan Pb(II) karena tembaga dan
timbal adalah logam yang mengganggu dalam analisis Fe(III) (Prasetya, 2001).
2.2.3 Spektroskopi
Spektroskopi merupakan ilmu dengan prinsip dasar suatu interaksi antara
materi dengan cahaya atau partikel yang dipancarakan, diserap, dan dipantulkan oleh
materi tersebut. Berdasarkan catatan sejarah, spektroskopi berpacu terhadap cahaya
tampak yang digunakan dalam analisa kualitatif dan kuantitatif. Spektroskopi
dulunya juga digunakan dalam teori struktur suatu materi. Zaman yang semakin
berkembang, maka definisi spektroskopi juga berkembang pula. Modern ini,
spektroskopi menggunakan teknik baru yaitu dengan memanfaatkan cahaya tampak,
radiasi elektromagnetik, dan radiasi non elektromagnetik (Suarsa, 2015).
Spektroskopi dibagi menjadi spektroskopi atom atau emisi dan spektroskopi
molekul atau absorpsi. Prinsip dasar spektroskopi atom yaitu tingkatan energi
elektron terluar dari atom atau unsur melibatkan energi elektronik, vibrasi dan rotasi.
Prinsip dasar spektroskopi molekul yaitu tengkatan energi dari molekul radiasi yang
terabsorpsi. Spektroskopi atomik dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:
a. Spektrofotometri serapan atom, memiliki prinsip dasar analisis suatu unsur
dengan interaksi yang terjadi antara suatu sampel dengan radiasi
elektromagnetik. Metode ini cocok untuk analisis suatu zat yang memiliki
konsentrasi rendah.
b. Spektrofotometri Emisi Atom (AES), merupakan metode analisis untuk
menentukan jumlah suatu unsur dalam dengan prinsip intensitas cahaya yang
terpancar dari api, plasma, maupun percikan pada panjang gelombang tertentu.
c. Atomic Flourescene Spectroscopy (AFS), merupakan metode analisis
flourescene dari atom suatu sampel menggunakan sinar ultraviolet yang
mengeksitasi elektron di dalam atom yang menyebabkannya dapat memancarkan
sinar (Khopkar, 2010).
Spektroskopi molekul, dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Spektrofotometri UV-Vis, merupakan metode pengukuran panjang gelombang
dengan intensitas sinar ultraviolet dan sinar tampak yang diabsorbsi oleh suatu
sampel.
b. Spektroskopi Infra Merah, merupakan metode analisa interaksi molekul dengan
radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang 0,75-1000 µm
(Day dan Underwood, 2002).
2.2.4 Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis kimia yang
didasarkan pada pengukuran serapan sinar mikroanalisis pada larutan berwarna
dengan menggunakan panjang gelombang tertentu. Larutan blank merupakan
larutan yang digunakan pada proses spektrofotometri yang berfungsi sebagai
kontrol dengan nilai 100% transmitan. Metode pengukuran spektrofotometri
didasarkan pada absorbsi cahaya pada panjang gelombang tertentu melalui
suatu larutan yang mengandung kontaminan yang akan ditentukan
konsentrasinya. Spektrofotometri tidak hanya menggunakan panjang
gelombang cahaya tampak, tetapi juga menggunakan panjang gelombang
ultraviolet dan inframerah. Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan
untuk mengukur suatu absorbasni dengan cara melewatkan cahaya dengan
panjang gelombang tertentu pada suatu kuvet. Cahaya tersebut sebagian besar
akan diserap dan sisanya dilewatkan. Prinsip kerja spektrofotometri yaitu nilai
absorbansi cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi larutan di dalam kuvet
(Keenan, 1984).
2.2.5 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis merupakan metode pengukuran panjang gelombang
dengan intensitas sinar ultraviolet dan sinar tampak yang diabsorbsi oleh suatu
sampel. Bentuk spektrum UV-Vis yaitu lebar dan hanya didapatkan sedikit informasi
yang berguna untuk pengukuran kuantitatif. Bentuk spektrum UV-Vis adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.1 Spektrum UV-Vis
(Sumber: Suarsa, 2015)
Alat untuk mengukur spektrofotometri UV-Vis adalah spektrofotometer UV-Vis.
Alat ini spektrofotometer UV-Vis berfungsi untuk:
- Menentukan jenis kromofor dari suatu senyawa organik
- Memberi informasi suatu struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum
dari suatu senyawa.
- Menerapkan hukum Lambert Beer untuk menganalisis senyawa organik secara
kuantitatif (Day dan Underwood, 2002).
Absorbsi cahaya UV-Vis menyebabkan terjadinya transisi elektronik. Transisi
elektronik merupkan promosi elektron dari orbital keadaan dasar (ground state)
berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi (excited state) yang memiliki energi
lebih tinggi. Energi yang terserap, terbuang sebagai cahaya. Absorbsi cahaya tampak
dan radiasi ultraviolet dapat meningkatkan energi. Hal tersebut karena energi yang
disumbangkan oleh foton menyebabkan elektron pindah ke orbital baru yang
memiliki energi lebih tinggi. Setiap molekul mengandung elektron yang dapat
tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi sehingga dapat menyerap radiasi dalam
daerah UV-tampak (Emilia, 2019).
2.2.6 Hukum Lambert Beer
Metode spektrofotometri didasarkan pada Hukum Lambert-Beer. Hukum
Lambert Beer merupakan hukum yang menjelaskan hubungan antara absorban
dengan konsentrasi larutan sampel. Persamaan hukum Lambert-Beer adalah:
. . . (2.1)

dimana Po/ P merupakan absorbans atau disimbolkan dengan A, k merupakan


tetapan atau konstanta, b adalah ketebalan medium penyerap (kuvet), dan c
adalah konsentrasi solut yang menyerap cahaya. Hukum Lambert-Beer terbatas
karena sifat kimia dan faktor instrumen. Penyebab non-linearitas adalah:
a. Deviasi koefisien pada konsentrasi tinggi (>0,01M) yang disebabkan oleh
interaksi elektrostatik antara molekul yang terlalu dekat.
b. Hambatan cahay karena adanya partikel dalam sampel.
c. Florensensi atau fosforensi sampel.
d. Berubahnya indeks bias pada konsentrasi yang tinggi.
e. Pergeseran kesetimbangan kimia sebagai fungsi dari konsentrasi.
f. Kehilangan cahaya (Rudi, 2010).
2.2.7 Spektrofotometer
Spektrofotometer adalah alat atau instrument yang digunakan dan berfungsi
untuk memberikan informasi terkait dengan intensitas sinar yang diserap dan
ditransmisikan sebagai bentuk fungsi gelombang. Komponen penyusun
spektrofotometer adalah:
a. Sumber cahaya.
b. Monokromator, mengubah cahaya menjadi panjang gelombang tertentu
atau disebut dengan monokromatis dan memiliki bagian, yaitu prisma, kisi
difraksi, celah optis, dan filter.
c. Kuvet, tempat cuplikan yang akan dianalisis.
d. Detektor, merespon cahay pada panjang gelombang yang dianalisis
(Christian, 1994).
Berdasarkan komponen penyusun spektrofotometer tersebut, proses yang terjadi
dalam spektrofotometer UV-Vis adalah sumber cahaya pada spektrofotometer
visible adalah lampu tungsten dengan panjang gelombang 350 – 220 nm dan
lampu deuterium dengan panjang gelombang 190 – 380 nm. Sumber cahaya
tersebut akan menuju monokromator. Cahaya setelah melewati monokromator
akan melewati kuvet yang diletakkan pada kompartemen sel. Spektrofotometer
double beam mimiliki dua kuvet, yang digunakan untuk meletakkan sampel dan
satu lagi untuk meletakkan blanko. Detektor akan menangkap cahaya dan
mengihitung cahaya yang diserap sampel (Sembiring, dkk, 2019).
Spektrofotometer dapat menunjukkan warna komplementer dari cahaya
nampak. Warna komplementer adalah warna yang ditransmisikan atau terlihat
pada mata manusia sedangkan warna asli adalah warna yang diserap oleh larutan
atau sampel pada awalnya. Warna larutan asli adalah hijau maka warna
komplementernya atau yang terlihat adalah warna ungu. Warna yang didapatkan
sampel setelah dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer adalah warna
komplementer bukan warna asli (Day dan Underwood, 2002).
Tabel 2.1 Spektrum cahaya tampak dan warna komplementernya
Panjang gelombang (nm) Warna asli Warna komplementer
400 – 435 Violet Kuning – hijau
435 – 480 Biru Kuning
480 – 490 Hijau – biru Orange
490 – 500 Biru – hijau Merah
500 – 560 Hijau Ungu
560 – 580 Kuning – hijau Violet
580 – 595 Kuning Biru
595 – 610 Orange Hijau – biru
610 – 750 Merah Biru – hijau
(Sumber: Day dan Underwood, 2002)

Gambar 2.2 Spektrofotometer UV-Vis


(Sumber: Suarsa, 2015)
BAB 3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu spektrofotometer UV-Vis,
neraca analitik, dan alat-alat gelas.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu FeCl3.6H2O, Pb(NO3)2,
Cu(NO3)2.3H2O, akuades, KSCN 10%, HNO3.

3.2 Diagram Alir


3.2.1 Pembuatan larutan induk Fe(III) 1000 ppm dan 10 ppm

Fe(Cl)3.6H2O Akuades
2,4202 gram
- Dilarutkan sampai volume 500 mL

Larutan Fe(III) 1000 ppm Akuades

- Diambil 1 mL

- Dilarutkan sampai volume 100 mL

Larutan Fe(III) 10 ppm

3.2.2 Pembuatan larutan induk Cu(II) 1000 ppm

Cu(NO3)2.3H2O Akuades
0,3880 gram
- Dilarutkan sampai volume 100 mL

Larutan Cu(II) 1000 ppm


3.2.3 Pembuatan larutan induk Pb(II) 1000 ppm

Pb(NO3)2 0,1599 Akuades


gram
- Dilarutkan sampai volume 100 mL

Larutan Pb(II) 1000 ppm

3.2.4 Pengujian interferensi Cu(II) terhadap Fe(III)

Cu(II) 5 ppm, Fe(III) 10 ppm KSCN 10% 5 mL


volume 0,5; 1; 10 mL
1,5; 2; 2,5; 0 mL

- Diukur absorbansi pada panjang


gelombang 450 nm

Kurva konsentrasi Cu(II)


terhadap absorbansi Fe(III)

3.2.5 Pengujian interferensi Pb(II) terhadap Fe(III)

Pb(II) 5 ppm, Fe(III) 10 ppm KSCN 10% 5 mL


volume 0,5; 1; 10 mL
1,5; 2; 2,5; 0 mL

- Diukur absorbansi pada panjang


gelombang 450 nm

Kurva konsentrasi Pb(II)


terhadap absorbansi Fe(III)

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Pembuatan larutan
Larutan induk Fe (III) 1000 ppm dibuat dengan melarutkan 2,4202 gram
Fe(Cl)3.6H2O dalam aquades hingga volumenya 500 mL. Larutan Fe(III) 10
ppm 14 dapat dibuat dengan mengambil 1 mL larutan Fe(III) 1000 ppm
kemudian ditambah aquades hingga volumenya 100 m L. Larutan induk Cu(II)
1000 ppm Dibuat dengan melarutkan 0,3880 gram Cu(NO3)2.3H2O dalam
aquades hingga volumenya 100 mL. Larutan kerja dapat dilakukan dengan
mengencerkan sesuai kebutuhan. Larutan induk Pb(II) 1000 ppm dibuat
dengan melarutkan 0,1599 gram Pb(NO3)2 dalam aquades hingga volumenya
100 mL. Larutan kerja dapat dilakukan dengan mengencerkan sesuai
kebutuhan.
3.3.2 Pengujian Interferensi
a) Interferensi Cu(II) terhadap Fe(III)
Dicapai kondisi optimum pada point a, b dan c, kemudian dilakukan uji
interferensi Cu(II) terhadap Fe(III) dengan memvariasi konsentrasi Cu(II) 5
ppm berturut turut 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 0 mL. Larutan pembanding masing -
masing ditambah Fe(III) 10 ppm sebanyak 10 mL. Ditambahkan 5 mL KSCN
10% kemudian dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis terhadap masing-masing larutan pada panjang
gelombang 450 nm. Dibuat kurva konsentrasi Cu(II) terhadap absorbansi
Fe(III).
b) Interferensi Pb(II) terhadap Fe(III)
Dicapai kondisi optimum pada point a, b dan c, kemudian dilakukan uji
interferensi Pb(II) terhadap Fe(III) dengan memvariasi konsentrasi Pb(II) 5
ppm berturutturut 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 0 mL. Larutan pembanding masing -
masing ditambah Fe(III) 10 ppm sebanyak 10 mL. Ditambahkan 5 mL KSCN
10% kemudian dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis terhadap masing-masing larutan pada panjang
gelombang 450 nm. Dibuat kurva konsentrasi Pb(II) terhadap absorbansi
Fe(III).
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 4.1 Tabel Hasil Interferensi Pb(II) dan Cu(II) terhadap Fe(III)
No. Ion Pengganggu Volume (Ml) Absorbansi
0 0,799
0,5 0,679
1 0,567
1. Cu (II)
1,5 0,499
2 0,435
2,5 0,331
0 0,801
0,5 0,721
1 0,641
2. Pb(II)
1,5 0,587
2 0,494
2,5 0,401

4.2 Pembahasan

Percobaan ini diawali dengan pembuatan larutan sandar Fe (III) 10 ppm, Cu(II)
5 ppm, dan Pb(II) 5 ppm. Larutan standar merupakan larutan yang telah
diketahui konsentrasinya secara tepat dari suatu zat. Larutan standar berfungsi
untuk memastikan konsentrasi dari suatu larutan tertentu yang konsentrasinya
sulit diperoleh melalui pembuatan secara langsung. Larutan induk merupakan
larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan digunakan untuk
membuat larutan baku atau standar dengan kadar yang lebih rendah. Larutan
standar Fe(III) 10 ppm dibuat dari larutan induk Fe(III) 1000 ppm dengan
pengenceran. Pengenceran pada larutan Fe(III) bertujuan untuk mendapatkan
larutan dengan konsentrasi yang diinginkan yaitu 10 ppm. Larutan induk Fe(III)
1000 ppm dibuat dengan melarutkan Fe(Cl 3)3.6H2O dalam akuades. Larutan
standar Cu(II) 5 ppm, dan Pb(II) 5 ppm dibuat dengan pengenceran larutan
induk Cu(II) 1000 ppm dan Pb(II) 1000 ppm. Pengenceran pada larutan Cu(II)
Pb(II) juga bertujuan untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi yang
diinginkan yaitu 5 ppm. Warna yang dihasilkan dari pengenceran Fe(iii) terbentuk
larutan kuning sedangkan pada Cu(ii) dan Pb(ii) yaitu terbentuk larutan biru dan
tidak berwarna.
Larutan yang bertindak sebagai larutan baku primer pada percobaan ini
yaitu larutan baku Fe(III) 1000 ppm, Cu(II) 1000 ppm, dan Pb(1000) ppm.
Larutan baku sekunder pada percobaan ini adalah larutan Fe(III) 10 ppm, Cu(II) 5
ppm, dan Pb(II) 5 ppm karena dibuat dari pengenceran larutan baku primernya.
Fungsi pengenceran dalam pembutan larutan standar yaitu untuk menurunkan
konsentrasi pada larutan baku primer. Pengenceran juga dilakukan untuk variasi
konsentrasi sehingga dapat dibuat suatu kurva kalibrasi. Pengenceran larutan
mengakibatkan warna larutan semakin pudar karena konsentrasi larutan yang
semakin menurun. Reaksi yang terjadi pada proses pelarutan yaitu:
Cu(NO3)2(s) + 2H2O(l) Cu(OH)2(aq) + 2HNO3(aq) . . . (4.1)
Pb(NO3)2(s) + 2H2O(l) Pb(OH)2(aq) + 2HNO3(aq) . . . (4.2)
2Fe(Cl3)3(s) + 6H2O(l) 2Fe(OH)3(aq) + 6HCl3(aq) . . . (4.3)
Perlakuan selanjutnya yaitu uji interferensi Cu(II) terhadap Fe(III). Larutan
standar Cu(II) yang digunakan memiliki konsentrasi 5 ppm yang telah diencerkan
dari larutan induknya. Penambahan larutan standar Cu(II) 5 ppm digunakan
dengan variasi volume untuk setiap analisis Fe(III). Variasi volume yang
digunakan yaitu 0; 0,5; 1,5; 2,5; dan 0 mL. Tujuan dilakukan variasi volume
larutan Cu(II) 5 ppm adalah untuk menunjukkan pengaruh jumlah peambahan
Cu(II) terhadap uji interferensi Fe(III). Variasi konsentrasi larutan standar Cu(II)
juga berfungsi untuk mengetahui pengaruh larutan Cu(II) sebagai zat pengganggu
pada Fe(III) melalui nilai absorbansi yang dihasilkan. Larutan Cu(II) 0 mL hanya
mengandung larutan Fe(III) dan KSCN tanpa adanya Cu(II) sehingga dapat
digunakan sebagai pembanding dan juga sebagai larutan blanko. Nilai absorbansi
yang dihasilkan dapat digunakan sebagai parameter yang menunjukkan adanya
unsur lain yang bertindak sebagai pengganggu terhadap analisis Fe(III).
Gangguang tersebut dapat menurunkan atau meningkatkan nilai absrobansi dari
nilai sebenarnya. Larutan Cu(II) 0,5; 1; 1,5; 2; dan 2,5 mL masing-masing
ditambahkan dengan 10 mL Fe(III) 10 ppm dan 5 mL KSCN 10% untuk diamati
pengaruh penambahan Cu(II) terhadap analisis Fe(III). Penamabahan larutan
standar Fe(III) juga untuk melakukan analisis larutan standar Fe(III) karena
adanya zat pengganggu. Tujuan penambahan KSCN 10% adalah untuk
membentuk senyawa kompleks dengan Fe(III) sehingga larutan akan berubah
warna menjadi jingga hingga kemerahan. Perubahan warna yang dihasilkan
disebabkan oleh adanya transisi elektronik pada orbital d atom pusat yaitu Fe(III)
yang berikatan dengan ligan SCN dari KSCN sehinnga terbentuk senyawa
kompleks. Ligan SCN dapat menggantikan ligan Cl dan FeCl 3. Hal tersebut
dikareanakan kekuatan ligan dari SCN lebih kuat daripada Cl− sehingga ligan
yang lebih kuat akan menggantikan ligan yang lemah. Penambahan KSCN yang
mengakibatkan terbentuknya senyawa kompleks berwarna jingga ini
mempermudah pendeteksian oleh spektrofotometer UV-Vis dan pengamatan
terhadap pengaruh penambahan Cu(II) terhadap Fe(III). Larutan yang tidak
berwarna sulit untuk diidentifikasi melalui spektrofotometri UV-Vis karena
cahaya yang dihasilkan sangat kecil sehingga daya serapnya kurang optimal (Day
dan Underwood, 2002). Reaksi pembentukan kompleks yang terjadi yaitu:
Fe3+(aq) + 6SCN- [Fe(SCN)6]3-(aq) . . . (4.4)
Senyawa kompleks Fe(SCN)6 yang dihasilkan memberikan warna pada
larutan uji yang akan diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 450 nm. Larutan sampel dengan variasi
konsentrasi dan larutan blanko kemudian dimasukkan ke dalam kuvet untuk
dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrometer UV-Vis dengan
panjang gelombang 450 nm. Pengukuran ini menggunakan panjang gelombang
450 nm karena pada daerah panjang gelombang tersebut dapat menyerap cahaya
secara maksimum. Kuvet merupakan wadah untuk meletakkan larutan sampel
dalam pengukuran absorbansi yang berfungsi untuk mengabsorbsi sinar atau
cahaya pada daerah terteentu sehingga nilai absorbansi dapat diketahui.
Pengukuran absorbansi dilakukan berurutan mulai dari larutan blanko, yaitu 0 mL
Cu(II) + Fe(III) + KSCN yang diakhiri dengan penambahan 2,5 mL Cu(II).
Pengukuran absorbansi dari konsentrasi terendah ke konsentrasi tertinggi untuk
menghindari kontaminasi jika dilakukan dari konsentrasi tinggi ke terendah.
Larutan blanko adalah larutan yang diberi perlakuan seperti sampel tetapi tidak
mengandung analit. Larutan balnko digunakan sebagai pembanding atau untuk
kalibrasi spektrofotometer (Handayani, 2018). Hasil yang diperoleh dibuat kurva
dengan memplotkan konsentrasi Cu(II) terhadap nilai absorbansi Fe(III). Berikut
ini kurva yang dihasilkan dari uji interferensi Cu(II) terhadap Fe(III):

Kurva Absorbansi vs Volume Cu(II)


0,9
y = -0,1794x + 0,776
0,8
R² = 0,987
0,7
0,6
Absorbansi

0,5
0,4
0,3
Absorbansi vs Volume
0,2
0,1 Linear (Absorbansi vs Volume)
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Volume (mL)

Gambar 4.1 Grafik Uji Interferensi Cu(II) terhadap Fe(III)


Kurva di atas menunjukkan pengaruh penambahan Cu(II) terhadap analisis Fe(III)
untuk variasi volume. Berdasarkan hasil yang diperoleh, penambahan Cu(II)
mengakibatkan penurunan nilai absrobansi seiring dengan bertambahnya volume
Cu(II). Semakin meningkat volume Cu(II) yang ditambahkan maka semakin
menurun absorbansinya. Larutan Cu(II) tersebut dapat bertindak sebagai zat
pengganggu yang mempengaruhi nilai absorbansi yang dapat memperkecil nilai
absorbansi sebenarnya seiring bertambahnya larutan Cu(II). Nilai absorbansi
berbanding terbalik dengan volume Cu(II), karena adanya interferensi dari unsur
lain berupa Cu(II). Nilai absorbansi yang diperoleh berturut-turut sering dengan
bertambahnya volume Cu(II) yaitu 0,799; 0,679; 0,567; 0,499; 0,435; dan 0,331.
Nilai absorbansi terbesar diperoleh pada 0 mL Cu(II) karena hanya mengandung
Fe(III) dan KSCN, sehingga tidak terdapat larutan Cu(II) yang bertindak sebagai
pengganggu. Hasil percobaan sesuai dengan literatur menurut Handayani (2018)
yang menyatakan bahwa interferensi dapat menyebabkan nilai absorbansi lebih
kecil atau lebih besar. Penurunan nilai absrobansi ini juga dapat diamati pada
perubahan warna larutan sampel pada berbagai variasi volume penambahan Cu(II)
yang semakin pudar sering dengan meningkatnya volume Cu(II) yang
ditambahkan. Volume Cu(II) yang ditambahkan pada larutan sampel jika semakin
banyak akan menyebabkan warna larutan semakin encer atau pudar.
Uji interfernsi yang kedua adalah uji interfernsi Pb(II) terhadap Fe(III).
Prosedur yang dilakukan sama dengan uji interfernsi Cu(II) terhadap Fe(III).
Larutan Pb(II) yang digunakan adalah larutan Pb(II) 5 ppm dengan variasi volume
volume 0; 0,5; 1,5; 2,5; dan 0 mL. Tujuan dilakukan variasi volume larutan Pb(II)
5 ppm adalah untuk menunjukkan pengaruh jumlah penambahan Pb(II) terhadap
uji interferensi Fe(III). Variasi konsentrasi larutan standar Pb(II) juga untuk
mengetahui pengaruh larutan Pb(II) sebagai zat pengganggu pada Fe(III) melalui
nilai absorbansi yang dihasilkan. Larutan Pb(II) 0 hanya mengandung larutan
Fe(III) dan KSCN tanpa adanya Pb(II) sehingga dapat digunakan sebagai
pembanding dan juga sebagai larutan blanko. Nilai absorbansi yang dihasilkan
digunakan sebagai parameter yang menunjukkan adanya gangguan unsur lain
terhadap analisis Fe(III) yang dapat menurunkan atau meningkatkan nilai
absrobansi dari nilai sebenarnya. Larutan Pb(II) 0,5; 1; 1,5; 2; dan 2,5 mL masing-
masing ditambahkan dengan 10 mL Fe(III) 10 ppm dan 5 mL KSCN 10% untuk
diamati pengaruh penambahan Pb(II) terhadap analisis Fe(III). Penamabahan
larutan standar Fe(III) untuk melakukan analisis larutan standar Fe(III) karena
adanya zat pengganggu. Fe dapat menurunkan atau meningkatkan nilai absorbansi
sebenarnya. Sampel tersebut masing – masing ditambakan dengan larutan standar
Fe(III). Tujuan penambahan KSCN 10% adalah untuk membentuk senyawa
kompleks dengan Fe(III) sehingga larutan akan berubah warna menjadi jingga
hingga kemerahan. Perubahan warna ini dikarenakan adanya transisi elektronik
pada orbital d atom pusat yaitu Fe(III) yang berikatan dengan ligan SCN dari
KSCN sehinnga terbentuk senyawa kompleks. Ligan SCN dapat menggantikan
ligan Cl dan FeCl3. Berdasarkan deret spektrometri ligan SCN lebih kuat
dibandingkan ligan Cl-. Penambahan KSCN yang mengakibatkan terbentuknya
senyawa kompleks berwarna jingga ini mempermudah pendeteksian oleh
spektrofotometer UV-Vis dan pengamatan terhadap pengaruh penambahan Pb(II)
terhadap Fe(III). Larutan yang tidak berwarna akan sulit untuk diidentifikasi
melalui spektrofotometri UV-Vis karena cahaya yang dihasilkan sangat kecil
sehingga daya serapnya kurang optimal (Day dan Underwood, 2002).
Senyawa kompleks Fe(SCN)6 ini memberikan warna pada larutan uji yang
akan diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 450 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum
Fe(III). Pengukuran absorbansi dilakukan berurutan mulai dari larutan blanko,
yaitu 0 mL Pb(II) + Fe(III) + KSCN yang dengan penambahan 2,5 mL Pb(II).
Pengukuran absorbansi dilakuakan dari konsentrasi terendah ke konsentrasi
tertinggi adalah untuk menghindari kontaminasi jika dilakukan dari konsentrasi
tinngi ke terendah. Larutan blanko adalah larutan yang diberi perlakuan seperti
sampel tetapi tidak mengandung analit. Larutan blanko digunakan sebagai
pembanding atau untuk kalibrasi spektrofotometer (Handayani, 2018). Hasil yang
diperoleh dibuat kurva dengan memplotkan konsentrasi Pb(II) terhadap nilai
absorbansi Fe(III). Berikut ini kurva yang dihasilkan dari uji interferensi Pb(II)
terhadap Fe(III):

Kurva Absorbansi vs Volume Pb(II)


0,9
0,8
0,7
y = -0,1563x + 0,8029
0,6
Absorbansi

R² = 0,9951
0,5
Absorbansi vs
0,4 Volume
0,3 Linear (Absorbansi vs
0,2 Volume)
0,1
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Volume (mL)

Gambar 4.2 Grafik Uji Interferensi Pb(II) terhadap Fe(III)


Kurva di atas menunjukkan pengaruh penambahan Pb(II) terhadap analisis
Fe(III) untuk variasi volume. Penambahan Pb(II) mengakibatkan penurunan nilai
absrobansi seiring dengan bertambahnya volume Pb(II). Semakin meningkat
volume Pb(II) yang ditambahkan maka semakin menurun absorbansinya. Larutan
Pb(II) tersebut dapat bertindak sebagai zat pengganggu yang mempengaruhi nilai
absorbansi yang dapat memperkecil nilai absorbansi sebenarnya seiring
bertambahnya larutan Pb(ii). Nilai absorbansi berbanding terbalik dengan volume
Pb(II), karena adanya interferensi dari unsur lain berupa Pb(II). Nilai absorbansi
berturut-turut sering dengan bertambahnya volume Pb(II) yaitu 0,801; 0,721;
0,641; 0,587; 0,494; dan 0,401. Nilai absorbansi terbesar diperoleh pada 0 mL
Pb(II) karena hanya mengandung Fe(III) dan KSCN sehingga tidak terdapat Pb(II)
yang bertindak sebagai pengganggu. Hasil percobaan sesuai dengan literatur
menurut Handayani (2018) yang menyatakan bahwa interferensi dapat
menyebabkan nilai absorbansi lebih kecil atau lebih besar. Penurunan nilai
absrobansi ini juga dapat diamati pada perubahan warna larutan sampel pada
berbagai variasi volume penambahan Pb(II) yang semakin pudar sering dengan
meningkatnya volume Pb(II) yang ditambahkan. Volume Pb(II) yang
ditambahkan pada larutan sampel jika semakin banyak akan menyebabkan warna
larutan semakin encer atau pudar.
Interfernsi Cu(II) dan Pb(II) pada Fe(III) keduanya dapat mengakibatkan
penurunan nilai absorbansi. Kedua logam ini dapat dibandingkan dalam
pengaruhnya untuk penurunan nilai absorbansi Fe(III) yaitu logam Cu(II) yang
mengakibtkan penurunan nilai absorbansi lebih tinggi dibandingan Pb(II). Hasil
ini menunjukkan bahwa logam Cu(II) menyebabkan interferensi terhadap Fe(III)
lebih besar dibandingan Pb(II) dalam analisis Fe(III) karena nilai absorbansi
Cu(II) lebih rendah daripada Pb(II). Logam Cu(II) menyebabkan interferensi lebih
besar karena logam Cu(II) lebih reaktif dibandingkan logam Pb(II) terhadap
Fe(III). Hasil percobaan telah sesuai dengan literatur menurut Handayani (2018).
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan uji interferensi adanya unsur lain pada analisis
besi (III) menggunakan spektrofotometri UV-Vis adalah :
5.1.1 Uji interferensi dapat dilakukan dengan cara pengukuran absorbansi larutan
yang berisi Fe(III) dengan unsur lain, yaitu Cu(II) dan Pb(II) sebagai zat
pengganggu. Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu kompleks
[Fe(SCN)6]3- karena reaksi antara Fe(III) dengan KSCN yang berguna untuk
mengukur absorbansi dari sampel karena terbentuk larutan yang berwarna
jingga. Semakin pekat warna larutan maka zat penggangu dalam sampel
semakin sedikit.
5.1.2 Pengaruh adanya unsur lain pada analisis Fe(III) mengakibatkan semakin
turunnya nilai absorbansi yang dihasilkan dari nilai yang sebenarnya.
Volume Cu(II) dan Pb(II) yang semakin banyak, maka nilai absorbansi
larutan standar semakin kecil yang ditandai dengan memudarnya warna
larutan standar. Interferensi Pb (II) terhadap Fe (III) lebih besar daripada
interferensi Cu (II) terhadap Fe (III) karena Cu(II) lebih reaktif daripada
Pb(II).

5.2 Saran
Saran untuk praktikum kedepannya adalah diharapkan praktikan memahami
konsep pada percobaan terlebih dahulu. Praktikan juga harus melakukan
pembuatan larutan standar dengan baik dan benar agar tidak mengalami kesalahan
yang mempengaruhi hasil pengukuran absorbansi. Praktikan sebaiknya
memahami prosedur kerja yang dilakukan sehingga saat mengamati video
praktikum tidak bingung.
LAMPIRAN

1. Pengenceran Fe(III) 10 ppm


Larutan Induk Fe(III) 1000 ppm
M1 . 1 = M2 . V2

V1 =

= 1 mL
2. Pengenceran Cu(II) 5 ppm
Larutan Induk Cu(II) 1000 ppm
M1 . 1 = M2 . V2

V1 =

= 0.5 mL
3. Pengenceran Pb(II) 5 ppm
Larutan Induk Pb(II) 1000 ppm
M1 . 1 = M2 . V2

V1 =

= 0.5 mL
Kurva Absorbansi vs Volume Cu(II)
0,9
y = -0,1794x + 0,776
0,8
R² = 0,987
0,7
0,6 Absorbansi vs Volume
Absorbansi

0,5
Linear (Absorbansi vs
0,4 Volume)
0,3
0,2
0,1
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Volume (mL)

Kurva Absorbansi vs Volume Pb(II)


0,9
0,8
0,7
y = -0,1563x + 0,8029
0,6
Absorbansi

R² = 0,9951
0,5
Absorbansi vs Volume
0,4
0,3 Linear (Absorbansi vs
Volume)
0,2
0,1
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Volume (mL)
DAFTAR PUSTAKA

Christian, M. 1994. Petunjuk Praktikum Instrumen Kimia. Yogyakarta: STTN-


Batan.
Day, R. A. dan Underwood, A. L. 2002. Analsis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Emilia, Ita. 2019. Analisa Kandungan Nitrat dan Nitrit dalam Air Minum Isi
Ulang menggunakan Metode Spektrofotometri UV–Vis. Jurnal
Indobiosains. Vol 1 (1) : 38 – 40.
Gandjar. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Handayani. 2018. Validasi Metode Analisa Logam Fe pada Lahan Mayarakat di
Kawasan Industri Semen. Jurnal Katalisator. Vol. 3 (1) : 36-42.
Keenan, Charles W.1984.Kimia untuk Universitas. Jakarta : Erlangga.
Khopkar, S. M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
LabChem. 2020. MSDS of Aquades . [Serial Online]. www.labchem.com (Diakses
tanggal 23 November 2020).
LabChem. 2020. MSDS of Nitrate Acid . [Serial Online]. www.labchem.com
(Diakses tanggal 23 November 2020).
LabChem. 2020. MSDS Besi(III) Klorida Heksahidrat. [Serial Online].
www.labchem.com (Diakses tanggal 23 November 2020).
LabChem. 2020. MSDS of kalium thiosianat . [Serial Online]. www.labchem.com
(Diakses tanggal 23 November 2020).
LabChem. 2020. MSDS Tembaga (II) Nitrat Trihidrat . [Serial Online].
www.labchem.com (Diakses tanggal 23 November 2020).
LabChem. 2020. MSDS Timbal (II) Nitrat . [Serial Online]. www.labchem.com
(Diakses tanggal 23 November 2020).
Laksi, M. 2000. Kimia Analitik Dasar. Bandung : Gramedia Utama.
Prasetya. 2001. Unsur-Unsur Kimia Logam dan Analisis Senyawa. Yogyakarta :
UGM Press.
Retnowati. 1999. Kimia Untuk Universitas. PT. Grandika Pustaka Jakarta.
Rudi. 2010. Penuntun Dasar-Dasar Pemisahan Analitik. Kendari : Universitas
Haluleo.
Sembiring, Timbangen Indri Dayana, dan Martha Rianna. 2019. Alat Penguji
Material. Jakarta : Gueepedia.
Steven Wang dan R. Djarot Sugiarso. 2015. Studi Gangguan Cu2+ pada Analisa
Besi(III) dengan Pengompleks 1,10-Fenantrolin pada pH 3,5 secara
SpektrofotomeTRI UV-Vis. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol.4(2): 2337-
3520.
Suarsa, I Wayan. 2015. Spektroskopi. Bali : Universitas Udayana.
Tim Penyusun. 2020. Penuntun Praktikum Spektrometri. Jember : Universitas
Jember.
Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Jilid
2. Jakarta : PT. Kalman Media Pustaa.

Anda mungkin juga menyukai