Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM SPEKTROMETRI

UJI INTERFERENSI

Oleh
Nama : Ahmad Rofiki
NIM : 191810301023
Kelas/Kelompok : A/4
Nama Asisten : Nurul A’eni

LABORATORIUM KIMIA ANALITIK


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
I. Tujuan
Tujuan dilaksanakan praktikum percobaan kali ini adalah :
I.1 Mampu melakukan uji interferensi terhadap suatu metode yang digunakan
dalam percobaan
I.2 Mengetahui pengaruh adanya unsur lain pada analisis besi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis

II. Tinjauan Pustaka


2.1 Material Safety Data Sheet (MSDS)
2.1.1 Akuades (H2O)
Akuades mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yaitu berwujud cair, tidak
berwarna dan tidak berbau. Akuades memiliki pH sama dengan 7. Akuades
memiliki titik beku 0oC dan titik didih 100oC. Suhu kritis akuades adalah 374,1oC
dan tekanan kritisnya adalah 218,3 atm. Akuades memiliki massa molekul 18
gram/mol. Akuades adalah senyawa yang tidak berbahaya pada kondisi normal
(LabChem, 2021).
2.1.2 Asam Nitrat (HNO3)
Asam Nitrat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus molekul
HNO3. Sifat fisik dari Asam Nitrat yaitu berupa cairan dan berwarna kekuningan
dalam keadaan standar. Titik didih dari Asam Nitrat yaitu 120,5°C dan titik
lelehnya  yaitu sebesar -41°C. Asam Nitrat merupakan senyawa yang berbahaya
apabila kontak dengan bagian tubuh. Pertolongan pertama yang dilakukan yaitu
dibersihkan dengan air mengalir selama ±15 menit (Labchem, 2021).
2.1.3 Besi (III) Klorida Heksahidrat (FeCl3.6H2O)
Besi (III) klorida Heksahidrat merupakan senyawa kimia yang memiliki
rumus molekul FeCl3.6H2O. Sifat fisik dari Besi (III) klorida Heksahidrat yaitu
berupa kristal, berwarna kuning terang. Titik didih dari Besi (III) klorida
Heksahidrat yaitu 280°C dan titik lelehnya  yaitu sebesar 37°C. Besi (III) klorida
Heksahidrat memiliki berat molekul sebesar 270,3 g/mol. Besi (III) klorida
Heksahidrat apabila kontak dengan bagian tubuh. Pertolongan pertama yang
dilakukan yaitu dibersihkan dengan air mengalir selama ±15 menit
(Labchem, 2021).
2.1.4 Kalium Tiosianat (KSCN)
Kalium tiosianat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus molekul
KSCN. Kalium tiosianat memiliki bentuk fisik berupa padatan dan berwarna
putih. Kalium tiosianat memiliki titik didih 500ᴼC, titik leleh 173ᴼC, dan berat
molekul 97,18 g/mol. Kalium tiosianat mudah larut dalam air dingin. Bahan ini
bersifat iritan sehingga sehingga berbahaya jika terkena kontak fisik dengan
bahan. Penanganan pertama yang harus dilakukan yaitu dengan membasuh bagian
yang terkena bahan tersebut dengan air mengalir selama 15 menit
(LabChem, 2021).
2.1.5 Tembaga (II) Nitrat Trihidrat (Cu(NO3)2.3H2O)
Tembaga(II) nitrat trihidrat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus
molekul Cu(NO3)2.3H2O. Tembaga(II) nitrat trihidrat merupakan memiliki
bentuk fisik berupa padatan kristal, berwarna biru, dan sedikit berbau.
Tembaga(II) nitrat trihidrat memiliki berat molekul 241,6 g/mol, titik didih
170ᴼC, dan titik leleh 114ᴼC. Bahan ini bersifat iritan sehingga sehingga
berbahaya jika terkena kontak fisik dengan bahan. Penanganan pertama yang
harus dilakukan yaitu dengan membasuh bagian yang terkena bahan tersebut
dengan air mengalir selama 15 menit (LabChem, 2021).
2.1.6 Timbal (II) Nitrat (Pb(NO3)2)
Timbal (II) Nitrat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus molekul
Pb(NO3)2. Sifat fisik dari Timbal (II) Nitrat yaitu berupa serbuk dan berwarna
putih. Timbal (II) Nitrat memiliki berat molekul sebesar 331,12 g/mol dan massa
jenis sebesar 4,53 g/cm3. Titik leleh dari Timbal (II) Nitrat yaitu sebesar 270°C.
Timbal (II) Nitrat dapat larut dalam asam nitrat, etanol, dan metanol. Timbal (II)
Nitrat merupakan senyawa yang berbahaya apabila kontak dengan bagian tubuh.
Pertolongan pertama yang dilakukan yaitu dibersihkan dengan air mengalir
selama ±15 menit (Labchem, 2021).
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Analisa Kuantitatif
Kimia analisis merupakan suatu cabang ilmu kimia yang mempelajari
mengenai pemisahan, identifikasi senyawa kimia baik secara kualitatif maupun
kuantitatif menggunakan metode eksperimen. Analisa kualitatif merupakan
analisa untuk mengetahui indikasi dari identitas suatu zat kimia pada suatu
sampel. Analisa kuantitatif adalah analisa untuk mengetahui jumlah dari senyawa
yang diindetifikasi (Vogel, 1989).
Analisis kuantitaitf merupakan suatu analisa yang berhubungan dengan
penetapan banaknya suatu zat dalam suatu sampel. Zat yang ditentukan desebut
sebagai konstituen atau analit yang menyusun sebagian besar atay sebagaian kecil
dari penyusun zat yang dianalisa atau sampel. Sampel sianggap sebagai suatu
konstituen utama bila menyusun lebih dari 1 % dan jika anatara 0,01 sampai 1 %
disebut konstituen minor (Day and Underwood, 2002).
2.2.2 Interferensi
Analisis suatu logam yang dapat diidentifikasi dengan adanya ion logam
lain yang dapat mempengaruhi efisiensi hasil yang diperoleh disebut interferensi.
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan logam dapat memiliki ion-ion yang
memiliki karakter sama dengan ion logam lain yang akan dilakukan analisis.
Interferensi dapat diartikan sebagai efek gangguan yang muncul dan dapat
mengakibatkan ketidakpastian hasil pengukuran ketika analisis dilakukan. Uji
interferensi ini dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. 
Interferensi yang diuji dapat berdampak pada nilai absorbansi dari analisis pada
sampel yang cenderung lebih besar atau lebih kecil. Uji interferensi atau adanya
unsur lain pada analisis logam dapat dilakukan pada salah satu logam transisi
yaitu besi. Uji intetferensi ini biasanya digunakan Cu(ii) dan Pb(ii) yang
digunakan sebagai reagen.  Hal tersebut dikarenakan tembaga dan timbal adalah
logam yang mengganggu dalam analisis Fe(iii) (Prasetya, 2001).
2.2.3 Logam Besi (Fe)
Logam besi merupakan salah satu unsur dalam sistem periodik yang
disimbolkan dengan Fe. Besi mempunyai nomor atom sebesar 26. Besi
merupakan logam transisi yang sangat reaktif dan berguna. Besi dalam keadaan
murni tidak terlalu keras, tetapi jika ditambahkan dengan sedikit karbon dan
logam lain akan membentuk alloy baja yang kuat. Besi merupakan elemen
kimiawi yang dapat ditemukan hampir disetiap tempat di bumi pada semua
lapisan-lapisan geologis. Besi dalam air tanah dapat ditemui dalam bentuk besi
(II) dan besi (III) terlarut (Peni, 2009).
Analisa besi umumnya digunakan suatu pengompleks seperti  selenit, 
batofenantrolin, 1,10-fenantrolin, molibdenum, dan difenil karbonat di mana
warna  kompleks yang dihasilkan dapat diidentifikasi menggunakan suatu alat 
yaitu spektrofotometer UV-Vis. Fenantrolin termasuk salah satu ligan tipe feroin
yang mengandung dua cincin piridin yang mengapit cincin  benzena.  Penentuan
Fe2+ menggunakan pengompleks yang berbeda yaitu 1,10-fenantrolin Sedangkan
Fe3+ direduksi terlebih dahulu menjadi Fe2+. Pereduksi yang digunakan adalah
hidroksilamin hidroklorida tetapi memiliki kelemahan yaitu harus diberi
perlakuan khusus yaitu  pereduksi tersebut harus dalam keadaan baru dan
dibutuhkan pemanasan sebelum pengompleksan. Kelemahan yang lainnya yaitu
dibutuhkan konsentrasi yang besar untuk mereduksi besi tersebut
(Wiryawan, 2008).
2.2.4 Hukum Lambert-Beer
Pengukuran absorbansi dengan metode spektofotometri didasarkan pada
hukum Lambert-Beer. Lambert menyatakan hubungan antara ketebalan medium
penyerapan dengan besarnya energi cahaya yang diserap. Persamaan matematis
dari hukum Lambert yaitu
log I0/It = kb (2.1)
Beer menyatakan hubungan antara konsentrasi dari sampel dengan besarnya
energi yang diserap. Hukum Beer secara mmatematis dituliskan sebagai berikut :
log I0/It = kc (2.2)
Kedua hukum tersebut jika disubstitusi akan didapat hukum Lambert-Beer.
Persamaan Lamber-Beer secara matematis yaitu :
log I0/It = kbc (2.3)
Dimana log I0/It = absorbansi
It = sinar yang diteruskan
I0 = sinar yang datang
k = konstanta
b = ketebalan medium
c = konsentrasi
Persamaan ini yang digunakan untuk menentukan konsentrasi kadar zat dalam
sampel (Day dan Underwood, 2002).
2.2.5 Pengenceran
Pengenceran merupakan suatu proses mencampur larutan pekat atau
konsentrasi tinggi dengan cara menambahkan pelarut agar diperoleh volume akhir
yang lebih besar. Pengenceran juga diartikan dengan pencampuran yang bersifat
homogen antara zat terlarut dan pelarut dalam larutan. Zat yang jumlahnya lebih
sedikit didalam larutan disebut zat terlarut atau solut, sedangkan zat yang
jumlahnya lebih banyak daripada zat-zat lain dalam larutan disebut pelarut atau
solven. Pengenceran merupakan suatu cara atau metode yang diterapkan pada
suatu senyawa dengan jalan menambahkan pelarut yang bersifat netral, umumnya
menggunakan aquades dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan larutan dengan
konsentrasi yang diinginkan. Berikut ini merupakan rumus pengenceran :
M1.V1 = M2.V2 (2.4)
(Wahyuni et al, 2012).
2.2.6 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometer sinar tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi cahaya
oleh sistem kimia menggunakan panjang gelombang tertentu. Sinar ultraviolet
mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm dan sinar tampak (visible)
mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Spektrofotometer digunakan untuk
mengukur besarnya energi yang diabsorbsi atau diteruskan. Prinsip kerja
spektrofotometer sinar tampak (UV-Vis) adalah sinar radiasi monokromatik akan
melewati larutan yang mengandung zat yang dapat menyerap sinar radiasi
tersebut. Pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektofotometer yang
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,
sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
dibandingkan kualitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan dapat ditentukan
dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu (Mulja, 2003).
Pengukuran spektrofotometri pada daerah sinar ultraviolet diperlukan kuvet.
Kuvet terbuat dari kaca, plastic, dan kuarsa dengan bentuk jajaran genjang. Kuvet
yang sering digunakan yaitu dengan jenis kuvet gelas dan plastic. Kuvet gelas
adalah kuvet yang terbuat dari kaca dan dapat digunakan berulang-ulang namun
pada pengukuran didaerah UV hanya dapat digunakan kuvet yang terbuat dari
bahan kuarsa. Hal tersebut dikarenakan kuvet yang terbuat dari kaca tidak dapat
mengabsorbsi sinar UV sehingga tidak dapat digunakan pada saat pengukuran di
daerah UV. Kuvet plastik adalah kuvet yang terbuat dari plastik yang bersifat
disposable atau sekali pemakaian. Kuvet yang digunakan dalam pengukuran
spektrofotometri UV-Vis harus memenuhi beberapa syarat yaitu sebagai berikut :
Tidak berwarna sehingga dapat mentrasmisikan semua cahaya. 
a. Permukaan harus sejajar. 
b. Tidak bereaksi terhadap bahan-bahan kimia.
c. Tidak bersifat rapuh. 
d. Mempunyai bentuk yang sederhana.
(Khopkar, 2003). 
III. Metodologi Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
- Batang pengaduk
- Gelas beaker 500 mL
- Gelas ukur
- Botol semprot
- Spatula
- Corong
- Pipet volume
- Pipet tetes
- Spektrofotometer UV-Vis
- Neraca Analitik
- Kuvet

3.1.2 Bahan
- Akuades (H2O)
- Asam Nitrat (HNO3)
- Besi (III) Klorida Heksahidrat (FeCl3.6H2O)
- Kalium Tiosianat (KSCN)
- Tembaga (II) Nitrat Trihidrat (Cu(NO3)2).3H2O)
- Timbal (II) Nitrat (Pb(NO3)2)
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pembuatan larutan induk Fe (III) 1000 ppm dan 10 ppm

Fe(Cl)3.6H2O 2,4202 Akuades


gram
- Dilarutkan sampai volume 500 mL

Larutan Fe(III) 1000 ppm Akuades

- Diambil 1 mL

- Dilarutkan sampai volume


- 100 mL

Larutan Fe(III) 10 ppm

3.2.2 Pembuatan larutan induk Cu (II) 1000 ppm

Cu(NO3)2.3H2O Akuades
0,3880 gram
- Dilarutkan sampai volume 100 mL

Larutan Cu(II) 1000 ppm

3.2.3 Pembuatan larutan induk Pb (II) 1000 ppm

Pb(NO3)2 0,1599 Akuades


gram
- Dilarutkan sampai volume 100 mL

Larutan Pb(II) 1000 ppm


3.2.4 Pengujian interferensi Cu (II) terhadap Fe (III)

Cu(II) 5 ppm, Fe(III) 10 ppm 10 KSCN 10% 5 mL


volume 0,5; 1; mL
1,5; 2; 2,5; 0 mL

- Diukur absorbansi pada panjang


gelombang 450 nm

Kurva konsentrasi Cu(II)


terhadap absorbansi Fe(III)

3.2.5 Pengujian interferensi Pb (II) terhadap Fe (III)

Pb(II) 5 ppm, Fe(III) 10 ppm 10 KSCN 10% 5 mL


volume 0,5; 1; mL
1,5; 2; 2,5; 0 mL

- Diukur absorbansi pada panjang


gelombang 450 nm

Kurva konsentrasi Pb(II)


terhadap absorbansi Fe(III)
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Uji Interferensi
Sampel Volume (mL) Absorbansi
0 mL 0,547
0,5 mL 0,489
1 mL 0,421
Cu(II)
1,5 mL 0,365
2 mL 0,301
2,5 mL 0,259
0 mL 0,560
0,5 mL 0,503
1 mL 0,439
Pb(II)
1,5 mL 0,388
2 mL 0,324
2,5 mL 0,272

4.2 Pembahasan
Percobaan kali ini membahasa mengenai uji interferensi adanya unsur lain
pada analisis Fe(III) menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Besi merupakan
logam transisi yang mempunyai konfigurasi [Ar] 3d6 4s2. Besi dalam bentuk
padatan merupakan logam yang berwarna abu-abu mengkilap, sedangkan dalam
bentuk cairan dapat terionisasi menjadi Fe2+ atau Fe3+. Besi pada umumnya
ditemukan dalam bentuk Fe3+ karena mempunyai sifat yang lebih stabil daripada.
Fe2+. Besi dapat dilakukan uji interferensi menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
Uji interferensi dilakukan untuk mengetahui adanya unsur pengganggu yang
terdapat dalam larutan sampel (Day and Underwood, 2002).
Perlakuan yang pertama yaitu pembuatan larutan standar Fe(III) 10 ppm,
larutan Cu(II) 5 ppm, dan larutan Pb(II) 5 ppm. Larutan standar atau larutan baku
merupakan larutan yang telah diketahui konsentrasinya secara tepat dari suatu zat.
Larutan standar berfungsi untuk memastikan konsentrasi dari suatu larutan
tertentu yakni larutan yang yang ketetapan konsentrasinya sulit diperoleh melalui
pembuatan langsung. Larutan tersebut dapat dibuat dari larutan induknya
konsentrasi 1000 ppm dengan cara pengenceran. Pengenceran  pada larutan
Fe(III)  bertujuan untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi yang diinginkan
yaitu 10 ppm.  Larutan Fe(III) 10 ppm dapat dibuat dengan mengambil sebanyak
1 ml larutan Fe(III) dari larutan induk lalu diencerkan dengan 100 ml akuades.
Larutan Cu(II) 5 ppm dapat dibuat dengan mengambil sebanyak 0,25 ml larutan
Cu(II) dari larutan induk lalu diencerkan dengan 50 ml akuades. Larutan Pb(II) 5
ppm dapat dibuat dengan mengambil sebanyak 0,25 ml larutan Cu(II) dari larutan
induk lalu diencerkan dengan 50 ml akuades. Warna yang dihasilkan dari
pengenceran Fe(III) terbentuk larutan kuning sedangkan pada Cu(II) dan Pb(II)
yaitu terbentuk larutan biru dan tidak berwarna. 
Larutan Fe(iii) 10 ppm bertindak sebagai larutan baku sekunder karena
larutan ini dibuat dari larutan induk Fe(III) 1000 ppm. Larutan induk Fe(III) 1000
ppm, Cu(II) 1000 ppm, dan Pb(II) 1000 ppm bertindak sebagai larutan baku
primer. Pengenceran larutan standar juga dapat membuat warna larutan semakin
pudar. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi yang semakin kecil yang
menyebabakan larutan semakin encer. Persamaan reaksi kimia yang dapat terjadi
adalah sebagai berikut : 
Cu(NO3)2(s) + 2H2O(l)  Cu(OH)2(aq) + 2HNO3(aq) (4.1)
Pb(NO3)2(s) + 2H2O(l) Pb(OH)2(aq) + 2HNO3(aq) (4.1)
FeCl3(s) + 6H2O(l)  Fe(OH)3(aq)  + 3H2O(l)  + 3HCl(aq) (4.3)
Perlakuan yang kedua yaitu interferensi Cu(II) terhadap Fe(III).  Larutan
standar Cu(II) yang digunakan memiliki konsentrasi 5 ppm yang telah diencerkan
dari larutan induknya. Larutan standar Cu(II) 5 ppm selanjutnya diambil sebanyak
0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 0 ml.  Larutan standar Cu(II) 0 ml tersebut nantinya hanya
mengandung larutan standar Fe(III) dalam proses penguurannya. Hal tersebut
berguna untuk larutan pembanding. Larutan standar  Cu(II) dibuat dengan variasi
kosentrasi. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan
Cu(II) terhadap absorbansi Fe(III) yang dihasilkan. Variasi konsentrasi larutan
standar Cu(II)  juga untuk mengetahui pengaruh larutan Cu(II) sebagai zat
pengganggu pada Fe(III) melalui nilai absorbansi yang dihasilkan. Harga
absorbansi ini akan digunakan sebagai parameter bahwa adanya logam lain dalam
suatu larutan yang mengandung logam Fe dapat menurunkan atau meningkatkan
nilai absorbansi sebenarnya. Sampel tersebut masing-masing ditambakan dengan
larutan standar  Fe(III). Penamabahan larutan standar Fe(III)  untuk melakukan
analisis larutan standar Fe(III) karena adanya zat pengganggu.
Campuran tersebut  masing-masing ditambahkan dengan 5 ml KSCN 10%.
Penambahan larutan KSCN 10% bertujuan untuk membentuk senyawa kompleks
dengan Fe(III) sehingga dapat menghasilkan warna pada larutannya. Proses
pengukuran absorbansi ini diperlukan larutan yang berwarna agar proses
identifikasi dapat berlangsung dengan baik.  Larutan yang tidak berwarna akan
sulit untuk diidentifikasi melalui spektrofotometri uv-vis karena cahaya yang
dihasilkan sangat kecil sehingga daya serapnya kurang optimal. Hasil yang
diperoleh terbentuk warna jingga pekat hingga memudar. Perbedaan warna
tersebut dikarenakan adanya variasi konsentrasi larutan standar Cu(II) pada
larutan sampel. Larutan standar Cu(II) dengan kosentrasi yang semakin kecil
maka warna larutan yang dihasilkan akan semakin pekat. Hal tersebut dikarenakan
adanya transisi elektron  pada orbital d dengan atom pusat Fe(III) yang akan
berikatan dengan ligan SCN dari KSCN sehingga membentuk suatu kompleks.
Ligan SCN- dapat menggantikan ligan Cl dari FeCl3. Hal tersebut dikareanakan
kekuatan ligan dari SCN- lebih kuat daripada Cl- sehingga ligan yang lebih kuat
akan menggantikan ligan yang lemah. Persamaan reaksi kimia pembentukan
kompleks antara Fe(III) dengan KSCN adalah sebagai berikut :
Fe2+(aq) + 6SCN-(aq)  [Fe(SCN)6]3-(aq) (4.4)
( Jingga )
Larutan sampel dengan variasi konsentrasi dan larutan blanko kemudian
dimasukkan kedalam kuvet untuk dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan
spektrometer uv-vis dengan panjang gelombang 450 nm. Kuvet adalah wadah
yang digunakan untuk meletakkan larutan sampel sehingga dapat dilakukan
pengukuran absorbansi. Kuvet ini juga befungsi untuk mengabsorbsi sinar atau
cahaya pada daerah terteentu sehingga nilai absorbansi dapat diketahui.
Pengukuran ini menggunakan panjang gelombang 450 nm. Hal dikarenakan
Fe(III) dapat menyerap cahaya secara maksimum pada daerah panjang
gelombang  tersebut. Larutan blanko tersebut terdiri dari Fe(III) yang ditambah
dengan KSCN. Hasil yang diperoleh dibuat kurva dengan memplotkan
konsentrasi Cu(II) terhadap nilai absorbansi Fe(III). Berikut ini kurva yang
dihasilkan dari konsentrasi Cu(II) terhadap nilai absorbansi Fe(III) adalah :

Kurva Kalibrasi Uji Interferensi Cu(II) terhadap Fe(III)


0.6

0.5 f(x) = − 0.06 x + 0.6


R² = 1

0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 1 2 3 4 5 6 7
Volume Cu(II)

Gambar 4.1 Kurva konsentrasi Cu(II) terhadap absorbansi Fe(III)


Kurva diatas menunjukkan hubungan antara konsentrasi Cu(ii) terhadap
nilai absorbansi Fe(III). Hasil yang diperoleh yaitu sampel dengan variasi
konsentrasi dan larutan blanko memiliki absorbansi yang berbeda-beda. Larutan
blanko memiliki absorbansi paling tinggi dibandingkan sampel dengan variasi
konsentrasi lainnya.  Hal tersebut dikarenakan larutan blanko tidak terdapat
larutan Cu(II) yang merupakan zat pengganggu dari  analisis Fe(III).  Larutan
Cu(II) tersebut dapat bertindak sebagai zat pengganggu yang mempengaruhi nilai
absorbansi yang dapat memperkecil nilai absorbansi sebenarnya seiring
bertambahnya larutan Cu(II). Volume Cu(II) yang semakin banyak akan
memperkecil absorbansinya karena semakin banyak pula partikel Cu(II) yang
mengganggu Fe(III). Nilai absorbansi yang didapat yaitu dari konsentrasi 0; 0,5;
1; 1,5; 2; dan 2,5 ml adalah 0,547; 0,489; 0,421; 0,365; 0,301; dan 0,259. Hasil
yang didapatkan sesuai literatur Khopkar (2003) yang menyatakan bahwa suatu
uji interferensi dapat menyebabkan absorbansi analit yang ditentukan  menjadi
lebih kecil atau lebih besar. Penurunan nilai absorbansi dapat diidentifikasi
melalui warna yang dihasilkan dari larutan uji. Semakin pekat warna larutan uji
yang dihasilkan maka nilai absorbansinya semakin besar karena tidak adanya zat
pengganggu berupa larutan Cu(II). Volume Cu(II) yang ditambahkan pada larutan
sampel jika semakin banyak akan menyebabkan warna larutan semakin encer atau
pudar. 
Perlakuan yang ketiga yaitu uji interferensi Pb(II) terhadap Fe(III). Proses
yang dilakukan sama dengan yang sebelumnya hanya mengganti zat pengganggu 
berupa Cu(II) menjadi Pb(II). Larutan standar Pb(II) yang digunakan memiliki
konsentrasi 5 ppm yang telah diencerkan dari larutan induknya. Larutan standar
Pb(II) 5 ppm selanjutnya  diambil sebanyak 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 0 ml.  Larutan
standar Pb(II) 0 ml tersebut nantinya hanya mengandung larutan standar Fe(III)
dalam proses pengukurannya. Hal tersebut berguna untuk larutan pembanding.
Larutan standar  Pb(II) dibuat dengan variasi kosentrasi. Hal tersebut bertujuan
untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan standar Pb(II) terhadap absorbansi
Fe(III) yang dihasilkan. Variasi konsentrasi larutan standar Pb(II)  juga untuk
mengetahui pengaruh larutan Pb(II) sebagai zat pengganggu pada Fe(III) melalui
nilai absorbansi yang dihasilkan. Harga absorbansi ini akan digunakan sebagai
parameter bahwa adanya logam lain dalam suatu larutan yang mengandung logam
Fe dapat menurunkan atau meningkatkan nilai absorbansi sebenarnya. Sampel
tersebut masing-masing ditambakan dengan larutan standar  Fe(III). Penamabahan
larutan standar Fe(III)  untuk melakukan analisis larutan standar Fe(III) karena
adanya zat pengganggu.
Campuran tersebut  masing-masing ditambahkan dengan 5 ml KSCN 10%.
Penambahan larutan KSCN 10% bertujuan untuk membentuk senyawa kompleks
dengan Fe(III) sehingga dapat menghasilkan warna pada larutannya. Proses
pengukuran absorbansi ini diperlukan larutan yang berwarna agar proses
identifikasi dapat berlangsung dengan baik.  Larutan yang tidak berwarna akan
sulit untuk diidentifikasi melalui spektrofotometri uv-vis karena cahaya yang
dihasilkan sangat kecil sehingga daya serapnya kurang optimal. Hasil yang
diperoleh terbentuk warna jingga pekat hingga memudar. Perbedaan warna
tersebut dikarenakan adanya variasi konsentrasi larutan standar Pb(II) pada larutan
sampel. Larutan sampel dengan variasi konsentrasi dan larutan blanko kemudian
dimasukkan kedalam kuvet untuk dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan
spektrometer uv-vis dengan panjang gelombang 450 nm. Hal dikarenakan Fe(III)
dapat menyerap cahaya secara maksimum pada daerah panjang gelombang 
tersebut. Larutan blanko tersebut terdiri dari Fe(III) yang ditambah dengan KSCN.
Hasil yang diperoleh dibuat kurva dengan memplotkan konsentrasi Pb(II)
terhadap nilai absorbansi Fe(III). Berikut ini kurva yang dihasilkan dari
konsentrasi Pb(II) terhadap nilai absorbansi Fe(III) adalah :

Kurva Kalibrasi Uji Interferensi Pb(II) terhadap Fe(III)


0.6

f(x) = − 0.06 x + 0.62


0.5 R² = 1

0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 1 2 3 4 5 6 7
Volume Pb(II)

Gambar 4.2 Kurva konsentrasi Pb(II) terhadap absorbansi Fe(III)


Kurva diatas menunjukkan hubungan antara konsentrasi Pb(II) terhadap
nilai absorbansi Fe(III). Hasil yang diperoleh yaitu sampel dengan variasi
konsentrasi dan larutan blanko memiliki absorbansi yang berbeda-beda. Larutan
blanko memiliki absorbansi paling tinggi dibandingkan sampel dengan variasi
konsentrasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan larutan blanko tidak terdapat larutan
Pb(II) yang merupakan zat pengganggu dari  analisis Fe(III).  Larutan Pb(II)
tersebut dapat bertindak sebagai zat pengganggu yang mempengaruhi nilai
absorbansi yang dapat memperkecil nilai absorbansi sebenarnya seiring
bertambahnya larutan Pb(II). Volume Pb(II) yang semakin banyak akan
memperkecil absorbansinya karena semakin banyak pula partikel Pb(II) yang
mengganggu Fe(III). Nilai absorbansi yang didapat yaitu dari konsentrasi 0; 0,5;
1; 1,5; 2; dan 2,5 ml adalah 0,560; 0,503; 0,439; 0,388; 0,324 dan 0,272. Hasil
yang didapatkan sesuai literatur Khopkar (2003) yang menyatakan bahwa suatu
uji interferensi dapat menyebabkan absorbansi analit yang ditentukan  menjadi
lebih kecil atau lebih besar. Penurunan nilai absorbansi dapat diidentifikasi
melalui warna yang dihasilkan dari larutan uji. Semakin pekat warna larutan uji
yang dihasilkan maka nilai absorbansinya semakin besar karena tidak adanya zat
pengganggu berupa  larutan Pb(II). Volume Pb(II) yang ditambahkan pada larutan
sampel jika semakin banyak akan menyebabkan warna larutan semakin encer atau
pudar. 
Perbandingan nilai absorbansi Fe(III) dengan adanya gangguan logam
Cu(II) memiliki penurunan yang lebih besar daripada adanya gangguan logam
Pb(II). Hasil tersebut ditunjukan dari nilai basorbansi yang dihasilkan dari
masing-masing zat pengganggu dimana logam Cu(II) memiliki absorbansi yang
lebih rendah. Hal tersebut menujukkan bahwa interferensi logam Cu(II) terhadap
sampel Fe(III) lebih besar daripada interferensi Pb(II) terhadap sampel Fe(III).
Logam Cu(II) lebih reaktif daripada logam Pb(II) terhadap sampel Fe(III). Hal
tersebut mengakibatkan interferensi logam Cu(II) lebih besar daripada interferensi
Pb(II) terhadap  sampel Fe(III). Hasil yang diperoleh sesuai dengan literature
Basset (1994).

V. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan uji interferensi adalah :
5.1 Uji interferensi dapat dilakukan dengan cara pengukuran absorbansi larutan
yang berisi Fe(III) dengan unsur lain seperti Cu(II) dan Pb(II) sebagai zat
pengganggu. Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu kompleks
[Fe(SCN)6]3- karena reaksi antara Fe(III) dengan KSCN yang berguna untuk
mengukur absorbansi dari sampel karena terbentuk larutan yang berwarna
jingga. Semakin pekat warna larutan maka zat penggangu dalam sampel
semakin sedikit.
5.2 Pengaruh adanya unsur lain pada analisis Fe(III) mengakibatkan semakin
turunnya nilai absorbansi yang dihasilkan dari nilai yang sebenarnya.
Volume Cu(II) dan Pb(II) yang semakin banyak akan memperkecil nilai
absorbansi larutan standar yang ditandai dengan memudarnya warna larutan
standar. Interferensi Pb(II) terhadap Fe (III) lebih besar daripada interferensi
Cu (II) terhadap Fe (III) karena Cu(II) lebih reaktif daripada Pb(II).

DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analitik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Day, R. A. & A. L. Underwood. 2002. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
LabChem. 2021. Material Safety Data Sheet of Aquades [serial online].
http://www.labchem.com/tools/msds/msds/. (diakses pada tanggal 18
Oktober 2021).
LabChem. 2021. Material Safety Data Sheet of Asam Nitrat [serial online].
http://www.labchem.com/tools/msds/msds/. (diakses pada tanggal 18
Oktober 2021).
LabChem. 2021. Material Safety Data Sheet of Besi (III) Klorida Heksahidrat
[serial online]. http://www.labchem.com/tools/msds/msds/. (diakses pada
tanggal 18 Oktober 2021).
LabChem. 2021. Material Safety Data Sheet of Kalium Tiosianat [serial online].
http://www.labchem.com/tools/msds/msds/. (diakses pada tanggal 18
Oktober 2021).
LabChem. 2021. Material Safety Data Sheet of Tembaga (II) Nitrat Trihidrat
[serial online]. http://www.labchem.com/tools/msds/msds/. (diakses pada
tanggal 18 Oktober 2021).
LabChem. 2021. Material Safety Data Sheet of Timbal (II) Nitrat [serial online].
http://www.labchem.com/tools/msds/msds/. (diakses pada tanggal 18
Oktober 2021).
Peni, P. 2009. Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Dalam Air Sumur, Air PDAM, dan
Air Instalasi Migas Desa Kampung Baru Cepu Secara Spektrofotometri.
Jurnal Kimia Dan Teknologi, 2(4): 17-25.
Prasetya. 2001. Unsur – Unsur Kimia Logam dan Analisis Senyawa. Yogyakarta :
UGM Press
Vogel. 1989. Kimia Kuantitatif Edisi Ke-4. Jakarta: Erlangga.
Wahyuni, S. dkk. 2012. Model pembelajaran praktikum kimia fisika berorientasi
chemo-enterpreneurship berstrategi react untuk meningkatkan kecakapan
hidup. Jurnal inovasi pendidikan kimia. Vol. 6 No. 1 hal. 918-933
Wiryawan, A. 2008. Kimia Analitik. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Tim Penyusun. 2021. Penuntun Praktikum Spektrometri. Jember : UNEJ.

LEMBAR PERHITUNGAN

1. a. Pembuatan larutan induk Fe(III) 1000 ppm dengan volume 100 mL


1000 mg Ar Fe
=
L Mr FeCl 3 · 6 H 2 O
1000 mg 55,845 g /mol
=
L 270,2864 g /mol
1000 mg
= 0,2066
L
1000 mg
=1L
0,2066
4840,27 mg = 1 L
4840,27 mg x 0,1 = 1 L x 0,1
484,027 mg = 0,1 L
0,1 L = 0,484027 g
b. Pembuatan larutan Fe(III) 10 ppm dari larutan induk Fe(III) 1000 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
1000 ppm x V1 = 10 ppm x 100 mL
10 ppm x 100 mL
V1 =
1000 ppm
V1 = 1 mL

2. a. Pembuatan larutan induk Cu(II) 1000 ppm dengan volume 100 mL


1000 mg Ar Cu
=
L Mr Cu ( NO 3 ) 2· 3 H 2O
1000 mg 63,546 g /mol
=
L 241,6 g /mol
1000 mg
= 0,263
L
1000 mg
=1L
0,263
3802,28 mg = 1 L
3802,28 mg x 0,1 = 1 L x 0,1
380,228 mg = 0,1 L
0,1 L = 0,380228 g
b. Pembuatan larutan Cu(II) 5 ppm dari larutan induk Fe(III) 1000 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
1000 ppm x V1 = 5 ppm x 50 mL
5 ppm x 50 mL
V1 =
1000 ppm
V1 = 0,25 mL

3. a. Pembuatan larutan induk Pb(II) 1000 ppm dengan volume 100 mL


1000 mg Ar Pb
=
L Mr Pb ( NO 3 ) 2
1000 mg 207,2 g /mol
=
L 331,2 g/mol
1000 mg
= 0,6256
L
1000 mg
=1L
0,6256
1598,465 mg = 1 L
1598,465 mg x 0,1 = 1 L x 0,1
159,8465 mg = 0,1 L
0,1 L = 0,1598465 g
b. Pembuatan larutan Pb(II) 5 ppm dari larutan induk Fe(III) 1000 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
1000 ppm x V1 = 5 ppm x 50 mL
5 ppm x 50 mL
V1 =
1000 ppm
V1 = 0,25 mL
4. a. Kurva kalibrasi uji interferensi Cu(II) terhadap Fe(III)

Kurva Kalibrasi Uji Interferensi Cu(II) terhadap Fe(III)


0.6

0.5 f(x) = − 0.06 x + 0.6


R² = 1
0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 1 2 3 4 5 6 7
Volume Cu(II)

b. Kurva kalibrasi uji interferensi Pb(II) terhadap Fe(III)

Kurva Kalibrasi Uji Interferensi Pb(II) terhadap Fe(III)


0.6
f(x) = − 0.06 x + 0.62
0.5 R² = 1

0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 1 2 3 4 5 6 7
Volume Pb(II)

Anda mungkin juga menyukai