Anda di halaman 1dari 5

Nama : KHOIRUNNISA HASIBUAN

Nim : 0305183174
Kelas/Semester : PMM-1/IV

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada sejak dahulu
pada zaman Rasulullah SAW. Dalam suatu perkembangannya ijtihad dilakukan oleh para
sahaba-tsahabat Rasulullah dan tabi’in sehingga masih dilakukan hingga saat ini. Secara
etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd yang berarti al-masyaqat yaitu
kesulitan dan kesusahan dan ath-thaqat yaitu kesanggupan dan kemampuan.1 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ijtihad secara etimologi adalah pencurahan atas segenap kesanggupan
untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan yang ingin dicapai.

Pengertian ijtihad sendiri secara terminologi cukup beragam, dimana pengertian ini
dikemukakan oleh para ulama ahli ushul fiqih, antara lain:

1. Al-Baidawi, seorang ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah yang mendefinisikan ijtihad
sebagai “pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum
syara.”

2. Ibnu Abd Al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan ijtihad sebagai suatu
“Pengerahan atas kemampuan untuk menemukan kesimpulan dari hukum-hukum syara’
sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi
berupaya lebih dari itu.” Dalam artian usaha yang dia lakukan adalah yang terbaik atau
sudah mencapai pada tingkat lebih tinggi.

3. Abu Zahra, seorang ahli ushul fiqh yang hidup pada awal abad kedua puluh
mendefinisikan bahwa ijtihad sebagai “pengerahan seorang ahli fikih akan

1. Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh¸Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan, h. 85


kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal
perbuatan dari satu per satu dalilnya.”2

Dari beberapa definisi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ahli fikih yang mempergunakan segala kesanggupan
daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu
masalah atau perkarakan hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Hukum
dari ijtihad sendiri ialah fardhu kifayah.3 Dimana untuk mengetahui hukum tersebut akan
dilakukan melalui dalil-dalil agama yang ada dengan jalan istimbat.

Ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits, dimana
ijtihad diakui mendapatkan legitimasi dari kedua sumber tersebut yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad yang diperoleh, dimana hasil
injtihad tersebut dapat digunakan atau diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ijtihad
hanya bisa dilakukan oleh setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang
mujtahid.4 Tujuan dari ijtihad ini sendiri adalah untuk melakukan upaya dalam pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia yang semakin hari semakin kompleks
dan terus terjadi di mana dari permasalahan tersebut sudah pastilah membutuhkan hukum
islam yang dianggab sebagai solusi terbaik terhadap problematika yang terjadi.

Berdasarkan pemahaman para ahli tersebut ditegaskan sebuah pernyataan bahwa


pihak yang mampu mengerahkan kemampuannya dalam berijtihad ialah seorang ahli fikih,
yaitu para mujtahid. Dalil-dalil yang dihasilkan oleh para mujtahid disebut sebagai tempat
para mujtahid dalam menemukan hukum-hukum tersebut. Pada definisi menurut para ahi
yang pertama dan kedua hal yang seperti ini tidak ditegaskan oleh mereka, karena dianggap
sudah dimaklumi bahwa setiap orang yang akan melakukan ijihad mestilah seorang ahli fikih
atau seorang mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga tidak kembali
ditegaskan bahwa semua kesimpulan-kesimpulan dari ahli fikih tersebut yang ditemukan akan
terikut dalam kegiatan ijtihad. Meskipun kegiatan itu hanya sampai ke tingkat zhanni yaitu
sebuah dugaan kuat, hal ini tetap saja tidak sesuai dengan sebagaimana yang ditegaskan pada
definisi kedua, karena sudah dimaklumi atau dipahami bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya
hanya sampai pada ke tingkat zhanni, yaitu tidak sampai ke tingkat yang lebih menyakinkan.

2 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 97.
3 Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), h.
4 Atang Abs, Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Pesdakarya, 2000), h. 84.
B. Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika Pembentukan Kebudayaan Islam

Dalam hal ini umat Islam dihadapkan pada sebuah laporan tentang kehidupan yang
terjadi pada masa kini yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan. Pemahaman lebih
lanjut mengenai fakta-fakta persoalan yang ada maupun yang sedang terjadi yaitu yang dapat
dilihat pada fase kehidupan berlangsung dimana sangat diperlukannya penyelesaian
permasalahan yang diselesaikan dengan cara yang seksama dan bijak. Kebudayaan baru yang
terus bermunculan dan perubahan zaman yang terus terjadi, mengakibatkan mudahnya sebuah
budaya untuk masuk kedalam wilayah, dan tidak menutup kemungkinan budaya tersebut
untuk tidak mempengaruhi budaya lainnya. Sehingga pada saat inilah pentingnya peran Islam
dalam mempertahankan kebudayaan.

Di samping itu, Rager Graudi berpendapat seperti yang dikutip oleh Jalaludin
Rahmat bahwa tantangan umat Islam saat ini ada dua macam, yaitu Taklid ke barat dan ke
masa lalu. Model taklid pertama terjadi karena ketidakmampuan manusia dalam melakukan
pemilihan antara modernisasi dan cara hidup wilayah lain yang berseberangan atau orang
barat. Sementara model taklid kedua muncul karena keridakmampuan manusia dalam
membedakan antara agama (wahyu) dengan pemikiran ulama pada masa lalu. Melihat
persoalan yang ada bahwa umat Islam saat ini dituntut untuk keluar dari kemelut persoalan
tersebut, yaitu dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting
karena tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. 5

Perlunya dilakukan tindakan tersebut (ijtihad) dikarenakan adanya kepentingan yang


disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:6

1. Syariat yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara lengkap perlu
dilakukannya penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh.

2. Jarak antara kita dengan masa tasyri semakin jauh. Jarak yang jauh ini dapat dilihat
dengan dilupakannya beberapa nas, khususnya dalam Al-Sunnah, yaitu hadits yang
masuk dan hadits palsu serta perubahan pemahaman terhadap nash tersebut. Oleh karena

5 Iyad Hilal, Studi Tentang Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 85.
6 Abdullah Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 108.
itu para mujtahid dituntut sepenuhnya agar bersungguh-sungguh dalam memahami ajaran
Islam yang dilakukan melalui ijtihad.

Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur kreativitas pribadi atau kelopok yang
masuk dalam tangapan yang disetujui sesuai dengan pengalaman mereka. Dimana
pengalaman mereka untuk menjadi seorang mujtahid dianggap bisa menghasilkan sebuah
ijtihad yang baik. Di samping itu, ijtihad memberi tafsiran atas undangan-undangan yang
sifatnya insidental sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperlukan atau diberlakukan
pada masanya yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum, dalil-dalil kulli dan mawahid
alsyari’ah yang terkait dengan kebutuhan hidup.

Ijtihad juga menentang sebagai juru bahasa terhadap dalil-dalil yang dzanni
addalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil ini memerlukan kerja akal fikiran lewat ijtihad.
Dimana ijtihad dibutuhkan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang akan dijamin
menerobos persoalan yang terjadi dan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran
Islam tersebut. Dalam pemecahan Islam untuk masalah-masalah kehidupan yang konteporer,
ijtihad juga akan menjadi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya dalam pembentukan
kebudayaan Islam ini sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf Abdullah Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama.

Abdullah Husain Muhammad. 2007. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka
Thariqul Izzah.

Hilal Iyad. 2005. Studi Tentang Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah.

Hakim Atang Abs dan Jaih Mubarok. 2000. Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja
Pesdakarya.

.Matsum Hasan. Diktat Ushul Fiqh¸ Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan.

Syafe’i Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai