Anda di halaman 1dari 32

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS 1 MATA KULIAH GEOLOGI LINGKUNGAN


“STUDI PENCEMARAN LOGAM BERAT DAN LAND SUBSIDENCE”

MAKALAH

Oleh:
Ajeng Kania W 1706975425
Alfit Taufikoh 1706975431
Della Bella Rochita 1706975444
Fakhri Muhammad H 1706046962
M Farel Bagaskara 1706046975

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI S1 GEOLOGI

DEPOK
OKTOBER, 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Studi
Pencemaran Logam Berat dan Land Subsidence” dengan tepat waktu dan lancar.
Penulisan makalah ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Geologi Lingkungan dengan tema berupa permasalahan lingkungan yang
berkaitan dengan perubahan sistem terutama dari sudut pandang kegeologian.
Melalui penulisan makalah ini kami berharap dapat memberikan wawasan baru
kepada pembaca khususnya mengenai hubungan timbal balik dengan alam semesta agar
lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dengan begitu kerugian yang akan muncul
nantinya dapat diminimalisir dengan baik sehingga tercipta keseimbangan alam dan
peningkatan kualitas lingkungan yang ada di bumi.
Selain itu, kami juga berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran atas
penulisan makalah ini agar kami dapat terus maju dengan belajar dari kekurangan,
kesalahan, dan ketidaksempurnaan. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik lagi
dan bijak dalam memperlakukan lingkungan karena kehidupan merupakan hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan sekitarnya. Terima kasih.

Depok, Oktober 2020

Penulis

2
ABSTRAK

Berbagai macam permasalahan lingkungan dapat muncul karena faktor


manusiawi serta alami, khususnya yang berkaitan dengan aspek geologi. Pencemaran
logam berat dan land subsidence merupakan dua contoh kasus permasalahan
lingkungan yang berkaitan dengan sistem bumi yang harus diidentifikasi dan diberi
solusi pencegahannya.
Pencemaran logam berat diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor alami dan
antropogenik, serta dampak yang dihasilkan dari pencemaran ini meliputi polusi pada
tanah, air dan udara. Unsur-unsur logam seperti merkuri, arsenik, timbal, kadmium, dan
kromium dapat membahayakan kualitas hidup makhluk hidup. land
subsidence disebabkan oleh adanya faktor manusiawi dan geologi yang mengakibatkan
turunnya permukaan tanah sehingga menyebabkan berbagai dampak seperti runtuhnya
bangunan dan juga banjir.
Solusi untuk pencemaran logam berat meliputi teknik imobilisasi, pencucian
tanah, dan fitoremediasi. Sedangkan solusi untuk land subsidence meliputi injeksi air
tanah dan membuat sumur resapan.

Kata Kunci: Geologi, logam berat, land subsidence

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 2


ABSTRAK ................................................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ 4
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 5
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 5
1.4 Batasan Masalah .................................................................................................... 6
BAB 2 LANDASAN TEORI....................................................................................................... 7
2.1 Hubungan Sistem Bumi dengan Proses Geologi ......................................................... 7
2.2 Degradasi Lingkungan ............................................................................................ 8
2.3 Pengertian Logam Berat .......................................................................................... 9
2.4 Permasalahan logam Berat ..................................................................................... 11
2.5 Pengertian Land Subsidence .................................................................................. 11
BAB 3 PEMBAHASAN ............................................................................................................ 13
3.1 Proses Terjadinya Pencemaran Logam Berat............................................................ 13
3.2 Solusi Pencegahan dan Penanganan dalam Pencemaran Logam Berat ......................... 16
3.3 Proses Terjadinya Land Subsidence ........................................................................ 20
3.4 Solusi Pencegahan dan Penanganan Land Subsidence ............................................... 22
BAB 4 PENUTUP ...................................................................................................................... 27
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 27
4.2 Saran .................................................................................................................. 27
DAFTAR REFERENSI ............................................................................................................ 28

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan lingkungan merupakan salah satu tugas yang penting untuk
diselesaikan umat manusia di masa yang akan datang. Pada masa ini, banyak
permasalahan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari perbuatan manusia.
Namun, tidak sedikit pula permasalahan lingkungan yang terjadi secara alami
karena perubahan dari sistem bumi itu sendiri.
Permasalahan lingkungan di masa yang akan datang sangatlah penting untuk
diidentifikasi oleh manusia. Dengan mengetahui serta mengidentifikasi berbagai
macam permasalahan lingkungan, manusia dapat memberikan solusi-solusi yang
logis untuk menghindari dampak negatif yang diakibatkan oleh permasalahan
tersebut. Oleh karena itu, kami membawakan dua kasus pencemaran lingkungan
yang berkaitan dengan sistem bumi, yaitu pencemaran logam berat dan land
subsidence, untuk dapat diidentifikasi proses terjadinya serta mendapatkan solusi
untuk menghadapinya.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang menjadi acuan dalam penulisan makalah
dengan judul “Studi Pencemaran Logam Berat dan Land Subsidence” adalah
sebagai berikut:
● Bagaimana proses pencemaran logam berat terhadap lingkungan?
● Bagaimana solusi untuk mencegah dan mengatasi pencemaran logam berat
terhadap lingkungan?
● Bagaimana proses land subsidence dapat mempengaruhi keseimbangan
lingkungan?
● Bagaimana solusi untuk mencegah dan mengatasi land subsidence?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah yang berjudul “Studi Pencemaran Logam
Berat dan Land Subsidence” adalah sebagai berikut:
● Menjelaskan proses pencemaran logam berat terhadap lingkungan

5
● Mengidentifikasi solusi apa saja yang dapat mencegah dan mengatasi
pencemaran logam berat terhadap lingkungan
● Menjelaskan proses land subsidence dapat mempengaruhi keseimbangan
lingkungan
● Mengidentifikasi solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi land subsidence

1.4 Batasan Masalah


Penulisan makalah ini akan membahas proses apa saja yang dapat
menimbulkan pencemaran logam berat dan land subsidence di lingkungan sekitar
hingga beberapa tahun kedepan beserta solusi apa saja yang dapat dikerjakan untuk
meminimalisir dampak negatif yang muncul dari kedua kasus tersebut. Selain itu,
kedua kasus ini akan dikaitkan dengan proses geologi yang dapat memberi peran
terhadap keberlangsungan pencemaran logam berat dan land subsidence.

6
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Hubungan Sistem Bumi dengan Proses Geologi


Bumi bersifat dinamis dan berubah sebagai bentuk respon dari proses yang
terjadi di permukaan dan bawah permukaan bumi. Hasil dari interaksi dan proses
tersebut berupa bentang alam dan lanskap yang menjadi tempat berlangsungnya
kehidupan manusia (Foley dkk, 2009).
Menurut Foley dkk (2009) terdapat dua proses geologi yang dapat
mempengaruhi sistem bumi diantaranya yaitu proses eksternal dan internal. Hal
utama yang mempengaruhi proses geologi eksternal adalah energi matahari dan
gravitasi. Presipitasi dan komponen lainnya dalam siklus hidrologi bekerja pada
material bumi untuk membentuk tanah. Prosesnya meliputi pelapukan batuan dan
sedimen, mass wasting (biasanya digambarkan sebagai tanah longsor), erosi dan
sedimentasi oleh sungai, danau, samudra, angin, dan gletser. Proses biologis juga
dapat menghasilkan suatu bentukan lahan, misalnya terumbu organik. Pada
kenyataannya manusia merupakan agen utama dalam sistem geomorfik. Aktivitas
manusia dapat membentuk suatu bentang alam antropogenik, modifikasi iklim, dan
mengontrol beberapa proses geologi lainnya.
Bumi menjadi lebih dingin dan lebih hangat dalam 130.000 tahun terakhir,
mekanisme tersebut dapat menyebabkan peningkatan suhu global dan
menyebabkan adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca. Uap air
menyumbang 80 persen dari efek rumah kaca yang merupakan proses penting
untuk pemeliharaan suhu kehidupan di bumi (Jacobsen dan Price, 1990 dalam
Foley dkk, 2009). Selain itu, kegiatan industri yang semakin besar juga
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dimana limbah gas industri dapat
menimbulkan adanya peningkatan suhu permukaan bumi.
Sedangkan proses geologi internal dapat dipengaruhi oleh panas bumi yang
dihasilkan melalui peluruhan elemen radioaktif yang terdapat di bawah permukaan
bumi. Rotasi tata surya dapat menyebabkan pasang surut bumi dan lautan. Hasil
dari proses geologi internal berupa deformasi kerak bumi yang disebabkan oleh
proses tektonik seperti subduksi dan kolisi dapat menimbulkan dampak negatif

7
apabila laju pergerakannya terbilang cepat. Contoh dampak yang ditimbulkan
berupa gempa bumi dan bencana geologi lainnya.

Gambar 2.1. Proses geologi internal dan eksternal yang berhubungan dengan sistem bumi
(After Bloom, 1998 & Selby, 1985 dalam Foley dkk, 2009)

2.2 Degradasi Lingkungan


Degradasi lingkungan dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor,
diantaranya yaitu peningkatan area industri, peningkatan jumlah populasi manusia,
urbanisasi, serta ketidakdisiplinan masyarakat dalam menjaga lingkungan (Foley
dkk, 2009).
Menurut Erickson (2002), degradasi lingkungan pada masa ini sangat terlihat
jelas dan dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh umat manusia.
Degradasi lingkungan pada sebagian besar wilayah di bumi sudah melampaui
batasnya dan bersifat irreversible. Selain itu, banyak permasalahan lingkungan
yang dapat mengubah biosfer lebih cepat daripada kapan pun dalam sejarah
manusia. Bencana yang diakibatkan oleh degradasi lingkungan menjadi lebih
umum karena populasi dunia terus bertambah.
Oleh sebab itu, harus dilaksanakannya kerjasama dalam skala global dalam
menangani konsekuensi dari degradasi lingkungan ini. Selain itu, perlu juga
dilakukan juga kerjasama dari berbagai macam disiplin ilmu, seperti geologi

8
lingkungan, untuk dapat menghasilkan berbagai macam solusi yang efektif dalam
menangani segala macam bentuk permasalahan lingkungan.

2.3 Pengertian Logam Berat


Logam berat didefinisikan sebagai unsur logam yang memiliki massa jenis
relatif tinggi dibandingkan dengan air (Fergusson, 1990) dengan asumsi bahwa
berat dan toksisitas yang saling berkaitan. Logam berat juga termasuk dalam
metaloid seperti arsenik yang dapat menyebabkan toksisitas pada tingkat paparan
yang rendah (Duffus, 2002). Sumber logam berat yang mengganggu lingkungan
berasal dari aktivitas geologis, industri, pertanian, farmasi, limbah rumah tangga,
dan sumber atmosfer (He dkk, 2005). Pencemaran lingkungan akibat logam berat
sangat menonjol di daerah pertambangan, pengecoran dan peleburan logam, serta
operasi industri berbasis logam lainnya.
Selain itu, logam berat juga dianggap sebagai elemen jejak karena
keberadaannya dalam konsentrasi jejak (kisaran ppb hingga kurang dari 10 ppm) di
berbagai matriks lingkungan (Kabata, 2001). Ketersedian logam tersebut
dipengaruhi oleh faktor fisik seperti suhu, asosiasi fasa, adsorpsi, dan sekuestrasi.
Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor kimia seperti kesetimbangan termodinamika,
kinetika kompleksasi, kelarutan lipid, dan koefisien partisi oktanol/air (Hamelink
dkk, 1994). Faktor biologis seperti karakteristik spesies, interaksi trofik, dan
adaptasi biokimia/fisiologis juga memainkan peran penting (Varkleji, 1993).
Beberapa unsur logam berat yang sangat berpengaruh terhadap pencemaran
lingkungan adalah sebagai berikut:
a) Arsenik
Arsenik adalah elemen yang ditemukan dengan konsentrasi rendah di
hampir semua matriks lingkungan. Bentuk utama arsenik anorganik yang
ditemukan di alam berupa arsenit trivalen dan arsenat pentavalen. Sedangkan
bentuk organiknya berupa metabolit termetilasi - asam monometilarsonat
(MMA), asam dimetilarsinat (DMA), dan oksida trimetilarsin. Pencemaran
lingkungan oleh arsenik terjadi sebagai akibat dari fenomena alam seperti
letusan gunung berapi, erosi tanah, dan aktivitas antropogenik (ATSDR, 2000).

9
b) Kadmium
Kadmium adalah logam berat yang menyumbang masalah lingkungan
dengan intensitas yang cukup besar. Unsur kadmium tersebar luas di kerak bumi
dengan konsentrasi rata-rata sekitar 0,1 mg / kg. Tingkat tertinggi senyawa
kadmium di lingkungan terakumulasi dalam batuan sedimen dan fosfat laut yang
mengandung sekitar 15 mg kadmium / kg (Gesamp, 1987). Penggunaan
kadmium sering dipakai dalam berbagai kegiatan industri seperti produksi
tembaga, pigmen, dan baterai (Wilson, 1988).
c) Kromium
Kromium (Cr) adalah unsur yang terbentuk secara alami di kerak bumi
dengan tingkat oksidasi (atau tingkat valensi) mulai dari kromium (II) hingga
kromium (VI) (Jacobs dkk, 2005). Kromium masuk ke dalam berbagai matriks
lingkungan (udara, air, dan tanah) dari berbagai sumber alam dan antropogenik
dengan pelepasan terbesar berasal dari perusahaan industri. Industri dengan
kontribusi terbesar dalam pencemaran kromium meliputi pemrosesan logam,
produksi kromat, pengelasan baja tahan karat, dan produksi ferrokrom serta
pigmen krom. Peningkatan konsentrasi kromium di lingkungan telah dikaitkan
dengan pelepasan kromium dari udara dan air limbah, terutama dari industri
metalurgi, refraktori, dan kimia. Kromium yang dilepaskan ke lingkungan dari
aktivitas antropogenik terjadi terutama dalam bentuk heksavalen [Cr (VI)].
d) Lead (Timbal)
Timbal adalah logam berwarna abu-abu kebiruan yang terbentuk secara
alami dalam jumlah kecil di kerak bumi. Meskipun timbal terbentuk secara
alami di lingkungan, aktivitas antropogenik seperti penggunaan bahan bakar
fosil, penambangan, dan manufaktur berkontribusi pada pelepasan timbal
dengan konsentrasi tinggi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam aktivitas
industri, pertanian, dan domestik. Saat ini, timbal banyak digunakan produksi
baterai timbal-asam, amunisi, produk logam, dan perangkat untuk melindungi
sinar-X. Diperkirakan sekitar 1,52 juta metrik ton timbal digunakan untuk
berbagai aplikasi industri di Amerika Serikat pada tahun 2004. Dari jumlah itu,
produksi baterai timbal-asam menyumbang 83 persen dan sisa penggunaan
mencakup berbagai produk seperti amunisi (3,5 persen ), oksida untuk cat, kaca,

10
pigmen dan bahan kimia (2,6 persen), dan timbal lembaran (1,7 persen) (Gabby,
2006).
e) Merkuri
Merkuri adalah logam berat yang termasuk dalam rangkaian elemen
transisi dalam tabel periodik. Unsur ini terbilang unik karena ada atau ditemukan
di alam dalam tiga bentuk (elemental, anorganik, dan organik) dengan masing-
masing memiliki profil toksisitasnya sendiri (Clarkson dkk, 2003). Pada suhu
kamar, unsur merkuri hadir sebagai cairan yang memiliki tekanan uap tinggi dan
dilepaskan ke lingkungan sebagai uap merkuri. Merkuri juga ada sebagai kation
dengan bilangan oksidasi +1 (merkuri) atau +2 (merkuri) (Guzzi, 2008).
Methylmercury adalah senyawa bentuk organik yang paling sering ditemui di
lingkungan dan terbentuk sebagai hasil dari metilasi merkuri anorganik
(merkuri) oleh mikroorganisme yang ditemukan di tanah dan air (Dopp dkk,
2004).
Unsur merkuri adalah racun dan polutan lingkungan yang tersebar luas
serta menyebabkan perubahan parah pada jaringan tubuh dan menyebabkan
berbagai efek kesehatan yang merugikan (Sarkar, 2005). Sebagian besar merkuri
digunakan dalam industri kelistrikan (saklar, termostat, baterai), kedokteran gigi
(amalgam gigi), dan berbagai proses industri termasuk produksi soda kaustik,
reaktor nuklir, agen anti jamur untuk pengolahan kayu, pelarut logam, dan
pengawet produk farmasi (Tchounwou dkk, 2003).

2.4 Permasalahan logam Berat


Logam berat dalam tanah terdiri atas berbagai bentuk, yaitu bentuk yang
terikat pada partikel organik, bentuk tereduksi atau hidroksida, bentuk karbonat,
bentuk sulfida dan bentuk larutan dalam tanah. (Yaron et al., 1996). Logam berat
ini memiliki sifat yang stabil dan sulit untuk diuraikan yang membuatnya termasuk
kedalam zat pencemar, salah satu logam berat dalam tanah yang membahayakan
pada organisme dan lingkungan adalah dalam bentuk terlarut.

2.5 Pengertian Land Subsidence


Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan
penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu dimana terdapat

11
berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai, 2006). Penurunan muka tanah ini
diakibatkan oleh banyak hal seperti pembebanan di atas permukaan, hilangnya air
tanah akibat eksploitasi berlebihan, gempa yang mengakibatkan rusaknya struktur
tanah, ketidakstabilan bidang tanah akibat proses tertentu, dan sebagainya.
Land subsidence terjadi karena beberapa faktor, menurut beberapa penelitian
(Murdohardono dan Mark 1993; Harsolumakso 2001; Hutasoit, 2001) terdapat 4 faktor
yang menyebabkan terjadinya penurunan tanah, yaitu: adanya ekstraksi air tanah yang
berlebih, beban konstruksi, konsolidasi alami tanah aluvium, dan subsidensi tektonik.
Dampak yang ditimbulkan saat beban konstruksi bangunan berlebih hingga sampai pada
lapisan akuifer adalah terjadinya land subsidence secara permanen (USGS, n.d). Hal ini
dikarenakan adanya kompaksi pada tanah sehingga porositas yang dekat dengan lapisan
akuifer menjadi menurun secara drastis dibandingkan dengan lapisan di bawahnya.
Tekanan dari konstruksi bangunan tersebut dinamakan sebagai tekanan artesian.

1 2

Gambar 2.2 Fase penurunan muka tanah (http://sml.sipil.ft.unand.ac.id)

12
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Proses Terjadinya Pencemaran Logam Berat


Menurut Masindi & Muedi (2018) logam berat dapat menjadi racun
apabila tidak dimetabolisme oleh tubuh dan terakumulasi di jaringan lunak.
Biasanya logam berat tersebut masuk ke dalam tubuh melalui makanan, air, udara,
atau kontak secara langsung dalam kegiatan pertanian, manufaktur, farmasi, dan
industri. Pencemaran logam berat disebabkan oleh proses alami dan kegiatan
manusia dimana proses discharging lebih besar daripada apa yang dapat ditangani
oleh lingkungan secara natural (Masindi & Muedi, 2018).

Gambar 3.1 Sumber dan penyerapan logam berat dalam sistem air tawar (Garbarino dkk, 1995)

3.1.1 Proses Pencemaran Logam Berat


Proses pencemaran logam berat dapat dibedakan menjadi 2 (Masindi &
Muedi, 2018) yaitu melalui proses alami dan antropogenik dimana proses tersebut
akan berakhir di kompartemen lingkungan yang berbeda seperti tanah, air, dan
udara.

13
a. Proses Alami
Emisi logam berat secara natural dipengaruhi oleh kondisi dan fenomena
tertentu seperti erupsi gunungapi, sea-salt spray, kebakaran hutan, pelapukan
batuan, tertransportasi oleh angin, dan proses biogenik (Masindi & Muedi,
2018). Proses pelapukan menyebabkan adanya pelepasan logam dari lingkungan
endemik ke kompartemen lingkungan yang berbeda. Menurut Herawati dkk
(2000) pencemaran logam berat melalui proses ini dapat berupa hidroksida,
oksida, sulfida, sulfat, fosfat, silikat, dan senyawa organik dengan jenis unsur
berupa timbal (Pb), nikel (Ni), kromium (Cr), kadmium (Cd), arsenik (As),
merkuri (Hg), seng (Zn), dan tembaga (Cu).
b. Proses Antropogenik
Beberapa proses antropogenik yang menyumbang pencemaran logam
berat berupa aktivitas industri, pertanian, pertambangan dan proses metalurgi,
serta limpasan yang menyebabkan adanya pelepasan polutan ke kompartemen
lingkungan yang berbeda. Polusi logam berat melalui proses antropogenik telah
melampaui fluks alami untuk beberapa logam (Masindi & Muedi, 2018).
Terdapat banyak unsur logam berat yang tertransportasi oleh angin sebagian
besar berasal dari industri. Contoh unsur yang muncul melalui proses
antropogenik adalah timah yang dikeluarkan knalpot mobil, arsenik dari
insektisida, nikel,vanadium, merkuri, dan selenium yang berasal dari bahan
bakar fosil (He ZL dkk, 2005). Aktivitas manusia terbukti sangat berkontribusi
terhadap pencemaran lingkungan karena laju permintaan barang dan kebutuhan
industri yang semakin meningkat. Hal ini juga terjadi akibat adanya revolusi
industri yang menyebabkan produksi heavy metal menjadi sektor yang penting
(Nriagu, 1996).

3.1.2 Dampak Lingkungan dan Efek Kontaminasi Logam Berat


Keberadaan logam berat di lingkungan menimbulkan beberapa dampak
yang merugikan contohnya adalah polusi tanah dan air. Dampak tersebut
mempengaruhi keseimbangan sebagian besar lingkungan yang terdiri dari hidrosfer,
litosfer, biosfer, dan atmosfer (Masindi & Muedi, 2018). Selain itu, apabila

14
pencemaran logam berat tidak segera ditangani maka dapat mengganggu sistem
rantai makanan dan juga kesehatan makhluk hidup terutama manusia.
a. Efek kontaminasi logam berat dalam tanah
Emisi dari kegiatan industri, tailing tambang, pembuangan limbah logam
dalam jumlah yang besar, pemakaian bensin dan cat yang mengandung timbal,
penggunaan pupuk pada tanah, kotoran hewan, lumpur limbah, pestisida, irigasi
air limbah, sisa pembakaran batu bara, dan tumpahan petrokimia menyebabkan
adanya kontaminasi tanah oleh logam berat. Kebanyakan logam berat tidak
dapat terdegradasi oleh mikroba maupun secara kimiawi sehingga konsentrasi
totalnya dapat bertahan lama setelah dilepaskan ke lingkungan (Lepp, 2012).
Keberadaan logam berat di tanah dapat menjadi masalah serius karena dapat
menghancurkan seluruh ekosistem melalui rantai makanan serta dapat
menurunkan kualitas tanah (Musilova, 2016).
b. Efek kontaminasi logam berat dalam air
Kegiatan industrialisasi dan urbanisasi merupakan penyebab utama
dalam peningkatan polusi air oleh logam berat. Unsur logam berat diangkut oleh
limpasan air yang berasal dari industri di daerah perkotaan. Keberadaan logam
berat dalam air juga dapat mengganggu sistem rantai makanan karena dapat
mengganggu kesehatan makhluk hidup (Lee, 2000). Apabila hal tersebut tidak
diatasi dan ditindaklanjuti lebih jauh maka dapat mengakibatkan kepunahan
makhluk hidup karena hilangnya keseimbangan dalam rantai makanan.
c. Efek kontaminasi logam berat dalam udara
Akibat pesatnya pertumbuhan penduduk dunia dan kegiatan industri
menyebabkan munculnya pencemaran udara yang serius. Perkembangan polusi
udara mengalami percepatan dengan adanya partikulat (PM) sangat halus seperti
PM2.5 dan PM10 yang dilepaskan oleh fenomena alam dan kegiatan manusia.
Proses alami yang dapat melepaskan partikel ke udara adalah erosi tanah, letusan
gunungapi, dan pelapukan batuan sedangkan kegiatan antropogenik contohnya
adalah industri dan transportasi (Soleimani, 2018). Persoalan partikulat dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, kerusakan infrastruktur, korosi,
pembentukan hujan asam, eutrofikasi, dan kabut asap (Herawati, 2000). Menurut
Ventura (2017) unsur yang biasa ditemukan berupa logam golongan 1 (Cu, Cd,

15
Pb), logam golongan 2 (Cr, Mn, Ni, V, Zn), dan logam golongan 3 (Na, K, Ca,
Ti, Al, Mg, Fe).

3.2 Solusi Pencegahan dan Penanganan dalam Pencemaran Logam Berat


Logam berat dalam tanah terdiri atas berbagai bentuk, yaitu bentuk yang terikat
pada partikel organik, bentuk tereduksi atau hidroksida, bentuk karbonat, bentuk
sulfida dan bentuk larutan dalam tanah. (Yaron et al., 1996). Logam berat ini
memiliki sifat yang stabil dan sulit untuk diuraikan yang membuatnya termasuk
kedalam zat pencemar, salah satu logam berat dalam tanah yang membahayakan
organisme dan lingkungan terutama dalam bentuk terlarut. Sumber dan penyebab
pencemaran yang dapat mengakibatkan mundurnya kualitas tanah adalah
penggunaan bahan-bahan agrokimia, limbah industri, kegiatan pertambangan dan
limbah rumah tangga. Semua penyebab pencemaran ini menyebabkan rusaknya
lahan di berbagai sektor.
Logam berat berbahaya dan beracun yang ada dalam tanah mengakibatkan
kerusakan tanah yang dicirikan dengan hilangnya kesuburan tanah dan
terkandungnya unsur-unsur kimia yang tidak dibutuhkan oleh tanaman dan manusia
sebagai pemakan tanaman. (Adji et al., 2008). Kerusakan tanah akibat logam berat
ini biasanya dapat berdampak langsung ke kerusakan lahan atau Degradasi lahan.
Degradasi lahan adalah lahan yang fungsi dan kemampuannya berkurang ataupun
menurun sebagai penyedia jasa lingkungannya, kondisi tersebut diakibatkan
kontaminasi lahan oleh aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan/ekosistem
aktivitas manusia. (Badan et al., 2014).
Remediasi disebut juga dengan proses penyembuhan.Teknologi remediasi tanah
logam berat terkontaminasi dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1) in situ remediasi ringan, Tujuan utama dari in situ remediasi ringan adalah untuk
mengembalikan kesuburan tanah yang aman dan bebas kontaminasi logam,
2) in situ remediasi berat pada tanah dengan pembatasan,
3) in situ atau ex situ berat dengan tindakan destruktif, tujuannya adalah untuk
mencegah bahaya baik bagi manusia, tumbuhan, dan hewan.
Contoh teknologi remediasi untuk tanah logam berat seperti penggalian tanah,
ekstraksi panas untuk logam yang mudah menguap, elektrokinetik, pembekuan atau
stabilisasi, vitrifikasi, oksidasi kimia, dan tanah yang disiram dengan chemical

16
attractants. (Mulligan et al. 2001). Teknologi spesifik yang dipilih tergantung
dengan spesiasi kontaminasi dan karakteristik dari bentuk logam berat dalam tanah,
agar tidak meninggalkan residu.
3.2.1 Teknik Imobilisasi
Teknik Imobilisasi in situ dan ex situ merupakan pendekatan praktis
remediasi logam untuk tanah yang terkontaminasi. Teknologi imobilisasi ini sering
menggunakan amandemen organic dan anorganik untuk mempercepat pelemahan
mobilitas dari logam dan racun yang terkandung dalam tanah. (Erfandi & Juarsah,
2013). Peran utama dari imobilisasi ini adalah untuk mengubah logam tanah asli
lebih stabil melalui fase geokimia melalui penyerapan, curah hujan, dan proses yang
lebih kompleks. Pengendalian pencemaran ini biasanya dilakukan dengan
penambahan tanah liat, semen, zeolite, mineral, fosfat, kompos organic, dan mikroba
kedalam tanah. Teknologi proses in situ lebih disukai karena rendah tenaga kerja dan
kebutuhan energy, tetapi pelaksanaan ini tergantung dari kondisi tempat yang
spesifik.

3.2.2 Pencucian Tanah


Pencucian tanah ini adalah proses pengurangan atau penanggulangan limbah
dengan proses minimalisasi volume. Pencucian tanah terkontaminasi adalah
teknologi pengolahan limbah berdasarkan proses fisik dan kimia. Mencuci tanah
secara fisik ini seperti perbedaan ukuran butir, kecepatan menetap, densitas, energi
kimia permukaan, dan sifat magnetik yang dapat memisahkan partikel-partikel.
Mencuci tanah dapat dilakukan pada in situ (on-site) ataupun ex situ (tanah
dipindahkan). Selama pencucian tanah ada beberapa proses yang dilakukan yaitu
diantaranya:
1) Pemisahan fisik atau partikel-partikel tanah yang terkontaminasi dipisahkan
dari masa fraksi tanah,
2) Ekstraksi kimia atau kontaminan dikeluarkan dari tanah oleh bahan kimia cair
dan pulih dari solusi pada substrat padat,
3) Kombinasi keduanya (Dermon et al, 2008).
Peralatan yang digunakan adalah peralatan standar pengolahan mineral yang
umum digunakan dalam industri pertambangan. Dengan mencuci secara kimia tanah

17
adalah partikel tanah dibersihkan secara selektif mentransfer kontaminan pada tanah
ke dalam larutan, yaitu mencampurkan tanah dengan larutan air asam, alkali,
complexants, pelarut lain, dan surfaktan. (Erfandi & Juarsah, 2013)
Pencucian tanah ini sering kali digunakan terutama dalam remediasi tanah
dalam ex situ, karena pada dasarnya proses pencucian tanah ex situ ini benar-benar
dapat menghilangkan kontaminan dan menjamin pembersihan yang cepat dari site
yang terkontaminasi, memenuhi kriteria tertentu, mengurangi atau menghilangkan
jangka panjang, menjadi solusi yang hemat biaya, dan dapat menghasilkan bahan
daur ulang atau energi.

3.2.3 Fitoremediasi
Fitoremediasi disebut juga remediasi hijau, botani remediasi, agro mediasi,
atau perbaikan vegetatif. Penggunaan tanaman pengikat logam atau bioakumulator
mampu menyerap dan mengakumulasikan logam berat di dalam bagian-bagian
tanaman Fitoremediasi ini disebut strategi in situ yang menggunakan vegetasi dan
mikrobiota terkait, perubahan tanah, dan teknik agronomis untuk menghapus
kontaminan lingkungan berbahaya. Metode yang digunakan untuk fitoremediasi
kontaminan logam berbeda dari yang digunakan untuk memulihkan lokasi tercemar
dengan kontaminan organik. Teknologi fitoremediasi berpotensi berguna untuk
remediasi tanah logam berat terkontaminasi yaitu diantaranya teknologi
phytoextraction (phytoaccumulation), phytostabilization, dan phytofiltration.
Spesies tanaman hiperakumulator yang digunakan pada site logam karena
toleransi terhadap kadar polusi relatif tinggi. Hyperaccumulators memiliki beberapa
karakteristik yang menguntungkan tetapi mungkin cenderung lambat tumbuh dan
menghasilkan biomassa rendah, dan tahun atau dekade yang diperlukan untuk
membersihkan lokasi yang terkontaminasi. Logam berat dalam tanah terserap oleh
akar dan selanjutnya akan terakumulasi dalam akar, batang, daun, buah dan biji.
Beberapa vegetasi yang dapat mengikat logam berat antara lain adalah Jasione
montana, Brassica juncea, Thlaspi caerulescens (Hasegawa, 2002). Beberapa
keluarga yang Brassicaceae, Fabaceae, Euphorbiaceae, Asterraceae, Lamiaceae,
dan Scrophulariaceae. Tanaman seperti pennycress alpine, Ipomea alpine,
Haumaniastrum robertii, Astragalus racemosus, Sebertia acuminate masing-masing

18
memiliki potensi bioakumulasi sangat tinggi untuk Cd, Zn, Cu, Co, Se, dan Ni
(Lassat, 2000).
Penelitian tentang penggunaan vegetasi untuk menurunkan kandungan logam
berat dapat dilakukan melalui beberapa tanaman yang toleran terhadap logam berat
(Prasad and Freitas, 2003). Eceng gondok dan mendong dapat digunakan untuk
merehabilitasi tanah sawah tercemar logam berat, vegetasi lainnya seperti akar wangi
dan haramay karena juga dapat mengikat logam berat dari dalam tanah (Dewi, 2004).
Phytoextraction adalah teknologi yang memanfaatkan tanaman dengan
biomassa tinggi yang diinduksi untuk mengambil sejumlah besar logam ketika
mobilitas mereka di tanah ditingkatkan dengan perlakuan kimia dengan chealting
asam organic. (Erfandi & Juarsah, 2013)
Phytofiltration adalah penggunaan akar tanaman atau bibit untuk menuerap
polutan terutama logam dari air tanah dan air limbah tercemar (Garbisu dan Alkorta,
2001). Rizosfir adalah daerah tanah yang mengelilingi permukaan akar tanaman,
biasanya sekitar permukaan akar. Kontaminan yang baik teradsorpsi ke permukaan
akar atau diserap oleh akar tanaman. Tanaman yang digunakan untuk rhizofiltration
tidak ditanam langsung in situ tetapi ditanam untuk polutan yang pertama.

3.2.4 Penggunaan bahan organik


Penggunaan bahan organik dapat membantu menanggulangi kerusakan
tanah, karena bahan organic merupakan campuran senyawa organic dari berbagai
macam unsur. pemberian bahan organik mampu mereduksi/menurunkan logam berat
dalam tanah. Penurunan kandungan logam berat tersedia dalam tanah diduga karena
logam berat tersebut terikat kuat pada liat sehingga sulit terjerap pada akar tanaman.
Hal ini sejalan dengan pendapat Tan (1991) yang menerangkan bahwa adanya bahan
organik menyebabkan logam sulit terekstrak karena logam berat terikat kuat atau
terkhelat dan tersimpan sebagai sentral dari struktur molekul.
Peran penggunaan bahan organic ini adalah adanya gugus fungsional yang
membantu dalam pembentukan komplek dan pertukaran, contohnya yaitu adalah
karboksil, hidroksil, karbonil, metoksil, dan amino, yang merupakan fraksi penting
dalam pertukaran kation pemantapan struktur tanah, penyediaan natrium, metabolism
carbon, dan pengkompleksan logam.

19
3.3 Proses Terjadinya Land Subsidence
Umumnya, kejadian land subsidence ini terjadi akibat proses yang berkaitan
dengan geologi. Kegiatan ekstraksi fluida, pertambangan, sifat batuan, sedimentasi,
dan deformasi tektonik menjadi beberapa penyebab terjadinya land subsidence. Hal
ini akan berpengaruh terhadap laju land subsidence dari suatu daerah (Ortega-
Guerrero dan Carrillo-Rivera, 2012).

3.3.1 Ekstraksi Fluida


Kegiatan ekstraksi fluida marak dilakukan. Fluida yang diekstrak adalah air,
gas, minyak bumi, panas bumi, dan air asin (brine). Ekstraksi ini dilakukan dengan
mengambil fluida dari pori batuan. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, baik dalam hal yang mendasar maupun hal yang lebih kompleks lagi,
seperti industri, bahan bakar, dan lain-lain (Ortega-Guerrero dan Carrillo-Rivera,
2012).
Ekstraksi fluida yang berlebih akan menyebabkan land subsidence. Hal ini
dikarenakan ketika fluida diambil dari pori, pori tersebut akan kehilangan tekanan
porinya. Selain itu, hal tersebut akan meningkatkan tegasan efektif pada sedimen
yang belum terkonsolidasi. Kedua hal ini akan mengakibatkan terjadinya kompresi
yang berujung pada land subsidence (Feng dkk., 2008).

3.3.2 Pertambangan
Kegiatan pertambangan dapat menyebabkan land subsidence. Hal ini dapat
terjadi jika proses pertambangan dilakukan di bawah permukaan. Ekstraksi bahan
tambang dari bawah permukaan akan menyebabkan perubahan orientasi dan
besaran nilai dari tegasan in-situ secara signifikan. Perubahan ini akan
menyebabkan deformasi batuan di sekitar rongga kosong, yang berakibat pada
batuan di sisi atas rongga akan cenderung tertarik ke bawah, batuan di sisi bawah
rongga akan cenderung tertarik ke atas, dan batuan di sisi rongga akan tertarik ke
dalam rongga (Lee dan Abel, Jr., 1983).
Deformasi yang terjadi, dapat bersifat elastis maupun non-elastis. Deformasi
elastis terjadi ketika batuan telah mengalami deformasi tetapi tingkat ketahanan
maksimum batuan belum tercapai. Deformasi non-elastis terjadi ketika batuan telah

20
mengalami deformasi dan tingkat ketahanan maksimum batuan telah terlampaui.
Deformasi non-elastis akan berakibat pada runtuhnya batuan pada area tambang
bawah tanah dan berujung pada land subsidence (Lee dan Abel, Jr., 1983).

3.3.3 Sifat Batuan


Sifat batuan dapat mempengaruhi terjadinya land subsidence. Batugamping
dan endapan vulkanik merupakan dua jenis batuan yang umumnya menjadi
penyebab land subsidence. Hal ini diakibatkan karena batugamping memiliki sifat
yang mudah larut, sedangkan endapan vulkanik bersifat kurang terkonsolidasi
dengan baik. Sifat ini dipengaruhi oleh air (Ortega-Guerrero dan Carrillo-Rivera,
2012).
Proses pelarutan pada batugamping, akan menciptakan ruang kosong pada
lapisan batuan. Ruang kosong ini akan menyebabkan ketidakstabilan pada lapisan
batuan di atasnya. Hal ini dapat berujung pada terjadinya land subsidence (Ortega-
Guerrero dan Carrillo-Rivera, 2012).
Endapan vulkanik sangat rentan terhadap aliran air. Hal ini akan membuat
endapan yang tidak terkonsolidasi dengan baik menjadi jenuh akan air. Kejenuhan
ini akan membuat endapan tersebut tidak stabil sehingga membuat lapisan batuan di
atasnya menjadi tidak stabil pula. Hal ini dapat berujung pada terjadinya land
subsidence (Kameda dkk., 2019).

3.3.4 Sedimentasi
Proses sedimentasi nyatanya dapat menyebabkan land subsidence. Hal ini
dapat terjadi karena sedimen yang diendapkan di atas suatu lapisan batuan akan
memiliki suatu nilai beban. Beban ini akan menekan lapisan yang di bawahnya,
sehingga terjadi proses pemendaman. Proses pemendaman ini merupakan salah satu
contoh land subsidence. Proses ini umumnya berlangsung dalam waktu yang lama,
namun hal ini tetap bergantung pada laju pengendapan sedimen (Chen dkk., 2019).

3.3.5 Deformasi Tektonik


Deformasi tektonik dapat menciptakan berbagai macam land subsidence.
Deformasi ini akan menciptakan zona lemah. Zona lemah ini sangat rentan dengan

21
land subsidence (Fossen, 2010). Selain zona lemah, deformasi tektonik juga dapat
menghasilkan gempa bumi yang mempengaruhi kestabilan tanah. Hal ini dapat
berujung pada land subsidence dalam rupa likuifaksi (Kameda dkk., 2019).

3.4 Solusi Pencegahan dan Penanganan Land Subsidence


Dalam menanggulangi penurunan muka tanah akibat pengambilan air
tanah dapat dilakukan dengan beberapa hal, yaitu:
1) Pembuatan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Air Tanah
Tokyo Metropolitan Gonverment (TMG) membuat beberapa peraturan
Undang-Undang Air Industri, Undang-Undang Mengenai Peraturan Pemompaan
Air Tanah untuk Penggunaan Bangunan. Berikut rangkuman Undang-undang
yang berada di Jepang menurut Sato (2006) bedasarkan tabel dibawah ini:

Tabel 3.1 Rangkuman peraturan tentang pemompaan. Sumber : Sato (2006)

2) Rainwater Infiltration
Fasilitas infiltrasi air hujan adalah perangkat yang dirancang untuk
infiltrasi air hujan dan mempercepatnya menuju tanah (Sato,2006). Prinsip dasar
secepat mungkin untuk mengalihkan air hujan ke zona infiltrasi dan di alirkan ke
dalam tanah di sekitarnya (Markovič dkk, 2015). Rainwater infiltration sudah
banyak digunakan pada beberapa Gedung, rumah dan tempat-tempat terbuka di
Tokyo (Sato, 2006).

22
Gambar 3.2 Skema rainwater infiltration ( http://www.asiapacificadapt.net/)

3) Permeable Pavement
Trotoar permeabel adalah permukaan perkotaan berpori yang terdiri dari
pavers pori terbuka, beton, atau aspal dengan reservoir batu yang mendasarinya.
Trotoar permeabel menangkap presipitasi air hujan dan limpasan air hujan
dipermukaan, menyimpannya di reservoir sambil perlahan-lahan
membiarkannya menyusup ke tanah di bawahnya. Penggunaan paling umum
dari perkerasan permeabel adalah tempat parkir, jalan dengan lalu lintas rendah,
trotoar, dan jalan masuk.

Gambar 3.3. Beberapa skema permeable pavement (https://www.usgs.gov/science/)

4) Aquifer Storage and Recovery (ASR)


Aquifer storage and recovery (ASR) adalah subset dari resapan akuifer
terkelola (Managed Aquifer Recharge (MAR)), yang kadang-kadang juga
disebut imbuhan buatan, imbuhan akuifer buatan, atau pengisian dan pemulihan
buatan (Smith, 2017). Untuk sebagian besar tujuan, sistem penyimpanan dan
pemulihan akuifer terdiri dari empat subsistem utama: ruang penyimpanan
(akuifer), fasilitas injeksi atau pengisian ulang (sumur, bak resapan, dll.),
Fasilitas ekstraksi atau pemulihan (sumur), dan sumber air. Keempat subsistem

23
ini harus bekerja dalam koordinasi satu sama lain agar sistem ASR berhasil
menyimpan air untuk digunakan nanti (Smith, 2017).
ASR memiliki banyak keunggulan dibandingkan reservoir permukaan:
sedikit atau tidak ada kerugian penguapan, meminimalkan gangguan lingkungan
dan konsumsi lahan, dan biaya yang lebih rendah (Bouwer, 2002). Menurut
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ada beberapa
aspek penting sebelum membangun ASR yaitu : ketersediaan air permukaan dan
pasokan curah hujan di suatu wilayah cukup dan kondisi geologi serta
hidrogeologinya perlu diperhitungkan mulai dari porositas, konduktivitas
hidrolik, debit mata air dll.

Gambar 3.4 Komponen ASR. Sumber : Kementrian PUPR

5) Rain Water Harvesting (Sebagai Sumber Air Alternatif)


Rain water harvesting atau yang dikenal memanen air hujan merupakan
alternative sumber air yang sudah dipraktekkan selama berabad-abad di berbagai
negara yang sering mengalami kekurangan air (Chao-Hsien Liaw & Yao-Lung
Tsai, 2004). Air hujan yang dipanen dapat digunakan untuk multi tujuan seperti
menyiram tanaman, mencuci, mandi dan bahkan dapat digunakan untuk
memasak jika kualitas air tersebut memenuhi standar kesehatan (Sharpe,
William E., & Swistock, Bryan, 2008; Worm, Janette & van Hattum, Tim,
2006). Secara ekologis ada empat alasan mengapa memanen air hujan penting
untuk konservasi air (Worm, Janette & Hattum, Tim van, 2006), yaitu:

24
a) Peningkatan kebutuhan terhadap air berakibat meningkatnya
pengambilan air bawah tanah sehingga mengurangi cadangan air bawah
tanah. Sistem pemanenan air hujan merupakan alternatif yang
bermanfaat.
b) Keberadaan air dari sumber air seperti danau, sungai, dan air bawah
tanah sangat fluktuatif. Mengumpulkan dan menyimpan air hujan dapat
menjadi solusi saat kualitas air permukaan, seperti air danau atau sungai,
menjadi rendah selama musim hujan, sebagaimana sering terjadi di
Bangladesh.
c) Sumber air lain biasanya terletak jauh dari rumah atau komunitas
pemakai. Mengumpulkan dan menyimpan air di dekat rumah akan
meningkatkan akses terhadap persediaan air dan berdampak positif pada
kesehatan serta memperkuat rasa kepemilikan pemakai terhadap sumber
air alternatif ini.
d) Persediaan air dapat tercemar oleh kegiatan industri mupun limbah
kegiatan manusia misalnya masuknya mineral seperti arsenic, garam atau
fluoride. Sedangkan kualitas air hujan secara umum relatif baik.

Gambar 3.5 Distribusi air bersih dari atap banguan ke sumur PAH
(Sumber : KELAIR, 2016)

25
6) Penerapan Ruang Terbuka Hijau
Penerapan ruang terbuka hijau ini diharapkan dapat mencegah terjadinya
banjir dan dapat meningkatkan efisiensi dari air tanah. Selain itu diharapkan
dapat memberikan ruang interaksi sosial bagi masyarakat.

7) Penggunaan ABT
Mengatasi penurunan permukaan tanah sebisa mungkin memanfaatkan
penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) secara efisien. Jangan pernah
mengeksploitasi berlebihan agar tidak terjadi kekurangan air bersih yang akan
menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah.

26
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Proses pencemaran logam berat dibedakan menjadi dua, yaitu proses alami
dan proses antropogenik. Proses pencemaran logam berat alami disebabkan oleh
fenomena-fenomena yang bersifat natural seperti erupsi gunungapi, sea-salt spray,
kebakaran hutan, pelapukan batuan, tertransportasi oleh angin, dan proses biogenik.
Sedangkan proses antropogenik berupa aktivitas industri, pertanian, pertambangan
dan proses metalurgi, serta limpasan yang menyebabkan adanya pelepasan polutan
ke kompartemen lingkungan yang berbeda. Efek pencemaran logam berat dapat
mengakibatkan dampak-dampak negatif seperti polusi pada air, tanah, serta udara.
Ada beberapa solusi untuk pencegahan dan penanganan pencemaran logam berat,
yaitu teknik imobilisasi, fitoremediasi, pencucian tanah, dan penggunaan bahan
organik.
Proses land subsidence terjadi karena proses yang berkaitan dengan geologi
dan juga proses dalam industri, seperti ekstraksi fluida, pertambangan, sifat batuan,
sedimentasi, dan deformasi tektonik. Jika tidak ditangani, proses land subsidence
ini dapat memberikan dampak negatif seperti runtuhnya bangunan serta banjir.
Solusi untuk pencegahan dan penanganan land subsidence ini yaitu, penerapan
injeksi air tanah, membuat sumur resapan, menerapkan prinsip rainwater
harvesting, dan memperketat regulasi.

4.2 Saran
● Solusi untuk pencegahan dan penanganan pencemaran logam berat dan land
subsidence harus dilakukan segera agar dapat menghindari kerugian di masa
depan.
● Pemerintah harus memberikan kesadaran pada masyarakat, terutama pada orang-
orang yang bekerja di industri, tentang dampak-dampak dari permasalahan
lingkungan agar dapat dengan mudah dicegah.

27
DAFTAR REFERENSI

Adji, S. S., Sunarsih, D., & Hamda, S. (2008). Pencemaran Logam Berat dalam Tanah
dan Tanaman serta Upaya Menguranginya. Seminar Nasional Kimia XVIII, 1–19.
http://repository.ut.ac.id/id/eprint/7289

Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). (2000). Toxicological
Profile for Arsenic TP-92/09. Georgia: Center for Disease Control, Atlanta.

Badan, P., Pertanian, L., Litbang, B., Lahan, S., Tentara, J., & No, P. (2014). Degradasi
Lahan di Indonesia: Kondisi Existing, Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi
Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta. Degradasi Lahan Di Indonesia: Kondisi
Existing, Karakteristik, Dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju
Satu Peta, 8(2), 81–93. https://doi.org/10.2018/jsdl.v8i2.6470

Bouwer, H. (2002). Artificial recharge of groundwater: hydrogeology and engineering.


Hydrogeol. J. 10, 121-142 http://dx.doi.org/10.1007/s10040-001-0182-4

Chao-Hsien Liaw and Yao-Lung Tsai. (2004). Optimum Storage Volume of Rooftop
Rain Water Harvesting System for Domestic Use, Journal of the American Water
Resources Association; Aug 2004; 40, 4; Proquest Agriculture Journals pg. 901.

Clarkson TW, Magos L, Myers GJ. (2003). The toxicology of mercury-current


exposures and clinical manifestations. New Engl J Med. 349:1731–1737.

Dopp E, Hartmann LM, Florea AM, Rettenmier AW, Hirner AV. (2004) Environmental
distribution, analysis, and toxicity of organometal (loid) compounds. Crit Rev
Toxicol. 34:301–333.

Duffus JH. (2002). Heavy metals-a meaningless term? Pure Appl Chem. 74(5):793–807

Erickson, Jon. (2002). Environmental Geology: Facing the Challenges of Our Changing
Earth. USA: Facts on File, Inc.

28
Erfandi, D., & Juarsah, I. (2013). Teknologi Pengendalian Pencemaran Logam Berat
Pada Lahan Pertanian. Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim, 2011,
159.

Fergusson JE, editor. (1990). The Heavy Elements: Chemistry, Environmental Impact
and Health Effects. Oxford: Pergamon Press.

Foley, Duncan; McKenzie, Garry D; Utgard, Russell O. (2009). Investigations in


Environmental Geology 3rd Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Gabby PN. (2006). Lead: in Mineral Commodity Summaries. Reston, VA: U.S.
Geological Survey; available
at http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/lead/lead_mcs05.pdf.

Gesamp. (1987). IMO/FAO/UNESCO/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP Joint Group of


Experts on the Scientific Aspects of Marine Pollution: Report of the seventeenth
session. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1987. (Reports and
Studies No. 31).

Guzzi G, LaPorta CAM. (2008). Molecular mechanisms triggered by mercury. Toxicol.


244:1–12.

Hamelink JL, Landrum PF, Harold BL, William BH, editors. (1994). Bioavailability:
Physical, Chemical, and Biological Interactions. Boca Raton, FL: CRC Press
Inc.

He ZL, Yang XE, Stoffella PJ. (2005). Trace elements in agroecosystems and impacts
on the environment. J Trace Elem Med Biol. 19(2–3):125–140

Herawati N, Suzuki S, Hayashi K, Rivai IF, Koyoma H. (2000). Cadmium, copper and
zinc levels in rice and soil of Japan, Indonesia and China by soil type. Bulletin of
Environmental Contamination and Toxicology. 64:33-39

Jacobs JA, Testa SM. (2005). Overview of chromium(VI) in the environment:


background and history. In: Guertin J, Jacobs JA, Avakian CP,
editors. Chromium (VI) Handbook. Boca Raton, Fl: CRC Press. pp. 1–22

29
Kabata- Pendia A 3rd, editor. (2001). Trace Elements in Soils and Plants. Boca Raton,
FL: CRC Press.

Kameda, J., Kamiya, H., Masumoto, H., Morisaki, T., Hiratsuka, T., & Inaoi, C.
(2019). Fluidized Landslides Triggered by The Liquefaction of Subsurface
Volcanic Deposits During The 2018 Iburi-Tobu Earthquake, Hokkaido. Scientific
Reports 9. DOI: 10.1038/s41598-019-48820-y

Lee, F. T., & Abel, Jr., J. F. (1983). Subsidence from Underground Mining:
Environmental Analysis and Planning Considerations. U. S. Geological Survey:
Alexandria

Lee G, Bigham JM, Faure G. (2002). Removal of trace metals by coprecipitation with
Fe, Al and Mn from natural waters contaminated with acid mine drainage in the
Ducktown Mining District, Tennessee. Applied Geochemistry. 17(5):569-581

Lepp NW. (2012). Effect of heavy metal pollution on plants. Metals in the
Environment, Pollution Monitoring Series, Applied Science Publishers.
Department of Biology. Liverpool, United Kingdom: Liverpool Polytechnic.

Marfai MA, and King, L. (2006). Impact of the escalated tidal inundation due to land
subsidence in a coastal environment. Nat Hazards (2008) 44:93–109.

Markovic, Gabriel., Kaposztasova, Daniela., dan Zelenkova, Martina. (2014). Rainwater


infiltration in the urban areas. DOI: 10.2495/EID140271
Masindi, Vhahangwele dan Muedi, Khathutshelo. (2018). Environmental
Contamination by Heavy Metals. http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.76082

Musilova J, Arvay J, Vollmannova A, Toth T, Tomas J. (2016). Environmental


contamination by heavy metals in region with previous mining activity. Bulletin
of Environmental Contamination and Toxicology. 97:569-575

Nriagu, Jerome O. (1996). A History of Global Metal Pollution. Science 12 Apr 1996:
Vol. 272, Issue 5259, pp. 223. DOI: 10.1126/science.272.5259.223

30
Ortega-Guerrero M.A., Carrillo-Rivera J.J. (2012). Land Subsidence in Urban
Environment. In: Meyers R.A. (eds) Encyclopedia of Sustainability Science and
Technology. New York: Springer.

Qi-yan Feng, Gang-jun Liu, Lei Meng, Er-jiang Fu, Hai-rong Zhang, Ke-fei Zhang.
(2008). Land subsidence induced by groundwater extraction and building damage
level assessment — a case study of Datun, China. Journal of China University of
Mining and Technology, Volume 18. 556-560

Samsuhadi. (2009). Pemanfaatan Air Tanah. JAI, 5 (1), 9-22.

Sato, Chikafusa., Haga, Michiko., dan Nishiro, Jiro. (2006). Land subsidence and
groundwater management in Tokyo. International review for environmental
strategies. Vol. 6, No. 2, pp. 403 – 424

Sarkar, BA. (2005). Mercury in the environment: Effects on health and


reproduction. Rev Environ Health. 20:39–56

Smith, W. Benjamin., Sheng, Zhuping., dan Miller, Gretchen R. (2017). Assessing


aquifer storage and recovery feasibility in the Gulf Coastal Plains of Texas.
Journal of Hydrology. DOI: 10.1016/j.ejrh.2017.10.007
Soleimani M, Amini N, Sadeghian B, Wang D, Fang L. (2018). Heavy metals and their
source identification in particulate matter (PM2.5) in Isfahan City, Iran. Journal
of Environmental Sciences.

Tchounwou PB, Ayensu WK, Ninashvilli N, Sutton D. (2003). Environmental


exposures to mercury and its toxicopathologic implications for public
health. Environ Toxicol. 18:149–175.

Ventura LMB, Mateus VL, de Almeida ACSL, Wanderley KB, Taira FT, Saint’Pierre
TD, Gioda A. (2017). Chemical composition of fine particles (PM2.5): Water-
soluble organic fraction and trace metals. Air Quality, Atmosphere and Health.
10:845-852

31
Verkleji JAS. (1993). The effects of heavy metals stress on higher plants and their use
as biomonitors In Plant as Bioindicators: Indicators of Heavy Metals in the
Terrestrial Environment. Markert B, editor. New York: VCH. pp. 415–424

Wilson DN Association Cadmium. (1998). Cadmium - market trends and influences;


London. Cadmium 87 Proceedings of the 6th International Cadmium
Conference; 1988. pp. 9–16.

Yang Chen, Wen Zhao, Yong Huang, Pengjiao Jia. (2019). Investigation of Land
Subsidence Based on The Column Element Settlement Model in a Soft-Soil Area.
Geofluids Vol. 2019. DOI: https://doi.org/10.1155/2019/9530135

Yaron, B., R. Calvet and R. Prost. (1996). Soil Pollution, Processes and Dynamics.
New York: Springer.

32

Anda mungkin juga menyukai