Merajut Mimpi Di Kota Mati
Merajut Mimpi Di Kota Mati
Pukul 03.00, Kia bangun lebih awal dari biasanya. Ia segera beranjak dari
tempat tidur,sambil berjalan sempoyongan, mengikat rambut, sembari menyusuri
lantai berwarna putih kearah kamar mandi. “tik-tik-tik” terdegar syahdu rintikan
air yang jatuh menyentu lantai. Di ruangan yang bercat putih dengan kipas angin
yang tepat berdiri di samping kanannya Kia nampak khusyuk menunaikan salat
sunnah tahajjud. Matanya terlihat sembab dengan lelehan air mata dipipi chuby
nya dan sesekali terdegar ia berbisik lirih ketika memanjatkan doa kepada sang
khalik.
“Kalau mau pulang telfon kakak yah?”ujar Darman ketika telah sampai
ditempat Bimbel. Kia menganguk lalu mencium tangan sepupunya. Wajah gadis
yang berusia 18 tahun dangan mata bulat tinggi 167 cm nampak ragu sembari
menaiki 10 anak tangga untuk samapai keruangan tempat Bimbel nya. Kia
mengambil posisi duduk dibagian tengah. Salah seorang peserta Bimbel bernama
Raisa yang mengenakan pakaian berwarna hitam dengan rambut dibiarkan terurai
nampaknya gadis itu beragama kristen, ia memulai perbincangan dengan Kia. “
asal dari mana?tanya Raisa. “Makassar” jawab Kia dengan singkat sambil
melemparkan senyuman. “kenapa jauh-jauh ke Palu dan menyerahkan hidup
dikota mati ini dan bahkan Makassar adalah salah satu kota yang paling maju”
tutur Raisa dengan sedikit heran. “Kia tertawa kecil kemudian menjawab, ini
adalah pilihan saya menggantungkan mimpi saya di kota ini, bukan suatu masalah
kan kalau saya orang Makassar lantas kemudian mendaftar di Palu.” Jawab gadis
berwata bulat itu dan kemabali melemparkan senyuman.