Anda di halaman 1dari 2

Merajut Mimpi di Kota Mati

Oleh Nurul Waqiah Mustaming

Pukul 03.00, Kia bangun lebih awal dari biasanya. Ia segera beranjak dari
tempat tidur,sambil berjalan sempoyongan, mengikat rambut, sembari menyusuri
lantai berwarna putih kearah kamar mandi. “tik-tik-tik” terdegar syahdu rintikan
air yang jatuh menyentu lantai. Di ruangan yang bercat putih dengan kipas angin
yang tepat berdiri di samping kanannya Kia nampak khusyuk menunaikan salat
sunnah tahajjud. Matanya terlihat sembab dengan lelehan air mata dipipi chuby
nya dan sesekali terdegar ia berbisik lirih ketika memanjatkan doa kepada sang
khalik.

Setelah salat tahajjud Kia kemabali ketempat tidur dan melanjutkan


tidurnya. Pukul 05.15, Kia bangun dan bergegas melakanakan salat subuh dengan
menggunakan mukenah batik hitam favoritnya. Sarapan telah tersedia diatas meja,
nasi goreng, telur dadar, dan secangkir teh beraroma melati. Saat Kia makan
ponselnya berdering. Itu telfon dari ibunya, “nak, jam berapa berangkat ketempat
bimbingan belajar nya?”tanya wanita paruh baya yang ia panggil dengan sebutan
mammi. “ jam 07.30 mammi”jawab Kia. “ belajar yang baik yah nak!”
menasehati. “siap mammi” ujar Kia dengan penuh semangat.

Setelah makan dan mengakhiri perbincangannya, Kia bersiap-siap


berangakat ke tempat Bimbelnya dengan mengenakan celana hitam berbahan
kain dengan baju berwarna abu-abu serta dengan balutan jilbab yang senada
dengan bajunya dan diperindah dengan polesan liptin merah merona di bibirnya
yang menambah keanggunan nya.

Kia berangkat diantar oleh Darman sepupunya. Dengan mengendarai


mobil avansa, berplat merah, berwarna abu-abu. Mobil itu ialah mobil dinas milik
sepupunya. Disepanjang jalan mata Kia tak pernah lelah menatap kearah luar kaca
mobil. Melihat deretan pepohonan yang mengering dan tak lagi memiliki daun,
reruntuhan bangunan yang berserakan menungu untuk dibersihkan, tumpukan
tanah yang bercampur dengan puing-puing bangunan dan beberapa aspal yang
retak. Wajah Kia nampak pucat melihat potret kota Palu setelah gunjangan 7,7
dan tragedi liquivaksi yang menerjangnya, wajar saja jika orang menyebutnya
dengan sebutan kota mati.

“Kalau mau pulang telfon kakak yah?”ujar Darman ketika telah sampai
ditempat Bimbel. Kia menganguk lalu mencium tangan sepupunya. Wajah gadis
yang berusia 18 tahun dangan mata bulat tinggi 167 cm nampak ragu sembari
menaiki 10 anak tangga untuk samapai keruangan tempat Bimbel nya. Kia
mengambil posisi duduk dibagian tengah. Salah seorang peserta Bimbel bernama
Raisa yang mengenakan pakaian berwarna hitam dengan rambut dibiarkan terurai
nampaknya gadis itu beragama kristen, ia memulai perbincangan dengan Kia. “
asal dari mana?tanya Raisa. “Makassar” jawab Kia dengan singkat sambil
melemparkan senyuman. “kenapa jauh-jauh ke Palu dan menyerahkan hidup
dikota mati ini dan bahkan Makassar adalah salah satu kota yang paling maju”
tutur Raisa dengan sedikit heran. “Kia tertawa kecil kemudian menjawab, ini
adalah pilihan saya menggantungkan mimpi saya di kota ini, bukan suatu masalah
kan kalau saya orang Makassar lantas kemudian mendaftar di Palu.” Jawab gadis
berwata bulat itu dan kemabali melemparkan senyuman.

Anda mungkin juga menyukai