Anda di halaman 1dari 11

Catatan Singkat Tentang

“MENGENAL ALLAH ‘AZZA WA JALLA”


Oleh: Muhammad Nur Yasin

1. Pembagian Tauhid
Ada sebagian orang yang mempertanyakan tentang pembagian
tauhid menjadi tiga; tauhid Rububiyyah, tauhid Uluhiyyah, dan tauhid
Asma wa Shifat. Menurut mereka hal ini adalah bentuk mengada-
ada, atau kesesatan, atau ….. karena pembagian semacam ini tidak
pernah ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada juga
yang mengatakan pembagian semacam ini rancu, tidak jelas. Bahkan
sebagian mereka mengatakan pembagian semacam ini berarti sama
saja dengan ideologi trinitas dalam Kristen.

Syubhat mereka ini harus diluruskan. Bukankah hukum taklifi yang


lima (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah) tidak pernah ada
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Istilah hukum taklifi
tersebut lahir dari ijtihad para ulama demi untuk kemudahan kaum
muslimin di dalam keberagamaannya. Dan, memang pemahaman
dari dalil-dalil yang ada menunjukkan adanya lima hukum tersebut.

Demikikan pula dengan tauhid. Dalil-dalil yang ada baik ayat-ayat Al-
Qur’an ataupun Hadits menunjukkan adanya tiga macam tauhid,
yaitu:

1. Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dia lah yang menciptakan


alam semesta, mengaturnya, memeliharanya,
menghancurkannya, menerbitkan matahari, membenamkan
matahari, menghidupkan, mematikan, menjadikan sehat,
menjadikan sakit, menjadikan adanya malam dan siang dan
lain-lain. Yang kemudian dikenal dengan sebutan TAUHID
RUBUBIYYAH.
2. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang segala bentuk ibadah
apapun harus ditujukan kepada-Nya. Sebagai konsekwensi dari
tauhid rububiyyah. Yang kemudian dikenal dengan sebutan
TAUHID ULUHIYYAH.
3. Allah adalah satu-satunya Dzat yang Maha Sempurna dalam
Nama dan Sifat-Nya. Yang kemudian dikenal dengan sebutan
TAUHID ASMA’ WA SHIFAT.

Allah Maha Esa atas ketiga perkara tersebut di atas. Dan, tidak ada
siapapun yang menolaknya.

Banyak sekali ayat yang menunjukkan tiga macam tauhid tersebut.


Saya akan menukilkan dua ayat saja.

Disebutkan dalam QS. Marayam:65,

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


65 :‫ مريم‬- ‫ض َو َما َب ْي َن ُه َما َفاعْ ب ُْدهُ َواصْ َط ِبرْ لِ ِع َبا َد ِت ِه َه ْل َتعْ لَ ُم لَ ُه َس ِم ًّيا‬ ِ ‫َربُّ ال َّس َم َاوا‬

Tuhan (Pencipta, Pemilik, Pengatur) langit dan bumi dan apa yang
ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguh hatilah
dalam beribah kepada-Nya. Apakah kamu tahu Dia memiliki Nama?
(Maryam:65)

Mari kita perthatikan!


● Tuhan (Pencipta, Pemilik, Pengatur) langit dan bumi dan apa
yang ada di antara keduanya = TAUHID RUBUBIYYAH
● Maka, sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribah
kepada-Nya = TAUHID ULUHIYYAH.
● Apakah kamu tahu Dia memiliki Nama? = TAUHID ASMA’ WA
SHIFAT.

Sifat Allah selain terkandung di dalam Nama-Nya juga


disebutkan secara tersendiri oleh Allah dan Rasul-Nya.

َ ‫ ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَم‬:


ِ ‫ِين () الرَّ حْ َم ِن الرَّ ح‬
‫ الفاتحة‬- ‫ِيم‬
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang (QS. Al-Fatihah)

Mari kita perthatikan!


● Segala puji bagi Allah = TAUHID ULUHIYYAH.
● Tuhan semesta alam = TAUHID RUBUBIYYAH.
● Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang = TAUHID ASMA’
WA SHIFAT.

2. Ahlussunnah wal Jamaah tentang Asma’ wa Shifat


Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah memiliki Nama yang
baik dan sifat yang Tinggi. Dia bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan. Dia Maha Suci dari sifat kurang.

Ahlussunnah wal Jamaah menetapkan untuk Allah Nama dan


Sifat sebagaimana Dia menetapkan untuk diri-Nya dan
sebagaimana yang Rasul tetapkan untuk Allah.

Di dalam menetapkan sifat, Ahlussunah menetapkannya


sebagaimana zhahirnya nash tanpa melakukan TAKYIF (menanyakan
bagaimana), TAHRIF (mengubah makna), TAMTSIL (menyamakan
dengan makhluk) dan TA’THIL (membatalkan).

● Bagaimana mungkin melakukan TAKYIF (menanyakan


bagaimana) sementara tidak ada satu pun dari kalangan
sahabat yang menanyakan bagaimana istiwa-Nya, yad
(Tangan)-Nya, nuzul (Turun ke langit dunia)-Nya, Wajah-Nya,
Qodam (kaki) dan lain-lain. Mereka membaca Al-Qur’an di
zaman Nabi dan di sisi beliau selama 23 tahun, tetapi tidak ada
satupun yang menanyakan bagaimana tentang sifat-sifat Allah
tersebut kepada Nabi. Oleh karena itu ketika ada orang
bertanya tentang bagaimana istiwa Allah di atas ‘arsy, Imam
Malik menjawab:

‫ والسؤال عنه بدعة‬، ‫ واإليمان به واجب‬، ‫ مجهول‬r‫ والكيف‬، ‫االستواء معلوم‬


22 :‫ ص‬/ ‫اعتقاد أهل السنة شرح أصحاب الحديث‬

“Istiwa’ itu jelas (diketahui maknanya), bagaimananya itu tidak


ada yang tahu, mengimaninya itu hukumnya wajib, dan
mempertanyakannya itu bid’ah”.

Cukuplah kita mengetahui makna sifat-sifat Allah tersebut tanpa


mem-bagaimana-kannya. Adapun tentang “bagaimnanya”
diserahkan kepada Allah. Bukankah Allah telah berfirman:

11 :‫ الشورى‬- ‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah” (QS. Asy-Syura:11)

Kalau kita menanyakan “bagaimana-Nya” atau membagaimanakan


berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Subhanallah.

● Bagaimana mungkin melakukan TAHRIF/ TAKWIL (mengubah


makna). Istiwa ‘alal ‘arsy dimakani berkuasa di atas ‘arsy.

Atas dasar apa mengubah makna istiwa yang maknanya ‘alaa wa-r-
fafa’: bersemayam diubah ke makna berkuasa?
Atas dasar apa Yad yang artinya tangan diubah maknanya menjadi
kekuasaan?
Atas dasar apa Allah turun (‫ينزل ربنا إلى السماء الدنيا‬...) diubah maknanya
bahwa yang turun bukan Allah tapi rahmat-Nya?
Atas dasar apa menyatakan Allah tidak di atas ‘arsy padahal Allah
menetapkan diri-Nya bersifat di atas ‘Arsy?

Apakah kita lebih tahu tentang Allah daripada Allah sendiri?

Kalaulah suatu hal tergambar oleh kita, terbersit dalam benak kita
tentu kita sah-sah saja melakukan takwil. Contoh ada pernyataan:
“Sang singa podium tadi malam sangat memikat audience”. Kita
bisa mentakwil yang dimaksud singa di sini adalah sang orator.
Karena hal ini tergambar dalam benak kita, siapa yang biasanya di
atas podium? Orator, bukan?

Contoh lain: “ Si Kuda dari Timur itu tidak pernah tekalahkan dalam
perlombaan lari sejak tahun 2015” Kita bisa mentakwil yang
dimaksud kuda di sini adalah pelari yang sangat cepat dan tak
mudah lelah”. Kita sah-sah saja mentakwil demikian karena
perlombaan lari itu terbersit dalam benak kita. Siapakah pesertanya?
Bukankah manusia? Jadi, kuda ditakwilkan demikian tentu
dibenarkan.

Lalu, adakah dzat Allah tergambar oleh benak kita? Tentu tidak.
Adakah yang pernah melihat Allah? Tentu tidak ada.
Jadi, atas dasar apa mentakwilkan sifat-sifat yang Allah tetapkan
untuk diri-Nya ke makna lain?

KETAHUILAH! Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan


hakikat.
Contoh: Pernyataan pertama: “.Gedung ini daun pintunya banyak”.
Pernyataan kedua: “Betapa rindangnya daun pohon ini”

Perhatikanlah, ada penamaan yang sama yaitu daun. Apakah


hakikatnya sama daun pada pernyataan pertama dan kedua?
Hakikatnya jauh sekali. Ini perbandingan sesama makhluk,
ternyata nama yang sama tidak melazimkan kesamaan hakikat.
Lalu bagaimana antara Allah Al-Kholiq dan makhluq-Nya? Maka,
tentu lebih gamblang lagi TIDAK MUNGKIN PENAMAAN SIFAT
ALLAH SAMA HAKIKATNYA DENGAN PENAMAAN SIFAT PADA
MANUSIA.

Allah punya dua tangan (QS. Shod: 75) tidak mungkin sama
hakikatnya dengan dua tangan manusia demikian juga sifat-sifat
Allah yang lain.
RENUNGKANLAH! Bukankah kita mengimani sifat-sifat Allah yang
berupa Mendengar, Mengetahui , Maha Penyayang, Maha Adil? Lalu
kenapa kita tidak bisa mengimani bahwa Allah bersifat memiliki dua
tangan, memiliki wajah, bersemayam di atas ‘arsy, qodam (kaki)?
Padahal semua sifat tersebut bersumber dari Allah sendirii. Dia lah
yang menyatakan bersifat dengan semuanya itu. Atas dasar apa
sebagiannya diterima langsung tetapi sebagian yang lainnya baru
bisa diterima setealah ditakwil?

INGAT! Kita tidak mengkin berbicara tentang Allah dan meyakini


tentang-Nya kecuali sebatas apa yang Dia informasikan tentang diri-
Nya. Jadi, tidak tempat bagi kita untuk mentakwil.
Allah berfirman:

‫ِش َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب َط َن َواإْل ِ ْث َم َو ْال َب ْغ َي ِب َغي ِْر ْال َح ِّق َوأَنْ ُت ْش ِر ُكوا ِباهَّلل ِ َما لَ ْم‬
َ ‫قُ ْل إِ َّن َما َحرَّ َم َرب َِّي ْال َف َواح‬
]33 :‫ُون [األعراف‬ َ ‫ُي َن ِّز ْل ِب ِه س ُْل َطا ًنا َوأَنْ َتقُولُوا َعلَى هَّللا ِ َما اَل َتعْ لَم‬

"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang


nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’rof: 33)

● Bagaimana mungkin melakukan TAMTSIL (menyamakan Allah


dengan makhluk). Sungguh orang yang melakukannya telah
berbuat perkara yang sangat bathil, seperti kelompok
mujassimah.
● Bagaimana mungkin melakukan TA’THIL (membatalkan sifat-
sifat Allah), sementara Allah sendiri menetapkan sifat-sifat
untuk diri-Nya.

Mari kita memperhatikan penjelasan para ulama pendahulu kita


tentang sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.
A. Imam Sufyan bin Uyainah
‫ والسكوت عنه ليس ألحد أن يفسره إال‬،‫كل ما وصف هللا به نفسه في كتابه فتفسيره قراءته‬
‫ األلباب السليمة عن والوقوع في األلفاظ‬r‫هللا ورسوله صلى هللا عليه وسلم (تنبيه ذوي‬
54 :‫ ص‬- 1- ‫المبتدعة الوخيمة‬

“Setiap sifat yang Allah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut


di dalam Kitab-Nya, maka tafsirnya adalah (sebagaimana)
bacaannya itu, diam darinya karena tidak ada siapapun yang
berhak mentafsirkannya kecuali hanya Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Tanbiih dzawi-l-albaab as-
salimah ‘ani-l-wuqu’ fi-l- alfaazh al-mubtadi’ah al-
wakhiimah, Hal. 54)

Dia juga mengatakan:


- ‫ الصفات‬. ‫كل ما وصف هللا به نفسه فى القرآن فقراءته تفسيره ال كيف وال مثل‬
41 :‫ ص‬، r‫الدارقطني‬

“Setiap sifat yang Allah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut


di dalam Al-Qur’an, maka tafsirnya adalah (sebagaimana)
bacaannya itu, tanpa BAGAIMANA dan tanpa
MENYERUPAKAN (Ash-Shifat – Ad-Daruquthni, hal. 41)

B. Imam Malik dan Imam Al-Awza’i

ِ ‫ (إِيا ُكم‬: ‫ رحمه هللا‬-‫ إِمام دار الهجرة‬- ‫اإلمام مالك بن أنس‬
‫ وما البدع؟‬: ‫والبدَع) قيل‬ ِ ‫وقال‬
ِ ‫يتكلمون في أَسماء‬
‫ وال‬، ‫هللا وصفا ِت ِه وكالمِه وعلمه وقُدرتِه‬ َ ‫الذين‬
َ ‫َع هُم‬ ِ ‫ (أَه ُل‬: ‫قال‬
ِ ‫البد‬
‫والتابعون لهم بإِحسان‬
rَ ‫تون ع َما َس َكت َعن ُه الصحاب ُة‬
َ ‫َيسْ ُك‬
(51 :‫ ص‬، ‫ في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة‬r‫)الوجيز‬

Imam Malik bin Anas – Imam Darul Hijrah—rahimahullah


mengatakan: Jauhilah oleh kalian bid’ah. Beliau ditanya bid’ah
itu apa? Beliau menjawab: Ahlu bid’ah adalah mereka yang
berbicara tentang nama dan sifat Allah, kalam-Nya, ilmu-Nya
dan qudroh-Nya tetapi mereka tidak diam darinya sebagaimana
para Sahabat dan para Tabi’in diam darinya (Al-Wajiz fi
‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l- Jama’ah,
hal.51)

ٍ َ‫ ومالك بن أ‬، ‫وسفيان بن عُيينة‬


‫نس عن هذه‬ َ ، ‫ سأَلت األَوزاعي‬: ‫وقال الوليد بن مُسلم‬
ْ
‫جاءت بال َكيْف‬ ‫ أَمِروها كما‬- : ‫ فقالوا‬، ‫األَحاديث في الصِّفات والرؤية‬
(51 :‫ ص‬، ‫ في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة‬r‫)الوجيز‬

Al-Walid bin Muslim berkata: Saya bertanya kepada Al-Awza’i,


Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang Hadits-Hadits
tentang sifat dan ru’yah (melihat Allah di Surga). Mereka
menjawab: Biarkanlah ia (Hadits-Hadits tersebut) sebagaimana
datangnya (apa adanya) tanpa MEM-BAGAIMANA-KAN (Al-
Wajiz fi ‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l-
Jama’ah, hal.51)

C. Imam Abu Hanifah

‫ وال يقول فيه‬، ‫وصف به نفس ُه‬


َ َ
‫ينطق في ذات هللا بشيء ؛ بل يصف ُه بما‬ ‫ال ينبغي ألَحد أَن‬
، ‫ عن صفة النزول‬-‫ رحمه هللا‬-‫ سُئل‬. ‫ ولما‬،‫برأيه شيئا ؛ تبارك هللا تعالى َربُّ العالمين‬
)52 :‫ ص‬- ‫ (ينز ُل بال كيف) (الوجيز في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة‬: ‫فقال‬

Tidak sepatutnya bagi seseorang untuk berbicara apapun


berkenaan dzat Allah. Tetapi ia harus mensifati-Nya
sebagaimana Dia mensifati untuk diri-Nya. Dan janganlah
sedikitpun berbicara tentang dzat-Nya dengan akalnya. Maha
Suci Allah Tuhan semesta alam. Ketika ditanya tentang sifat
nuzul (turun ke langit dunia), beliau menjawab: Dia ‘Azza wa
Jalla turun tanpa ditanyakan bagaimana-nya (Al-Wajiz fi
‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l- Jama’ah,
hal.51)

D. Imam Asy-Syafi’i

‫هللا‬
ِ ‫رسول‬
ِ ُ
‫وآمنت برسول هللا وبما جاء عن‬ ، ‫هللا‬
ِ ‫هللا على مرا ِد‬
ِ ‫ وبما جا َء عن‬، ‫هلل‬ ُ
ِ ‫آمنت با‬
)51 :‫ ص‬- ‫ُول هللا (الوجيز في عقيدة السلف الصالح أهل السنة والجماعة‬
rِ ‫على مُراد َرس‬
Saya beriman kepada Allah dan terhadap apa yang datang dari
Allah sebagaimana yang dimaksudkan Allah. Saya beriman
kepada Rasulullah dan terhadap apa yang datang dari
Rasulullah sebagaimana yang dimaksudkan Rasulullah (Al-
Wajiz fi ‘aqidati-s- salafi-sh-sholih Ahli-s- Sunnah wa-l-
Jama’ah, hal.51)

E. Imam Ahmad bin Hanbal

‫ سألت أحمد بن حنبل عن األحاديث التي تردها الجهمية في‬:‫ قال‬r‫عن أبي بكر المروذي‬
r‫ تلقتها األمة بالقبول وتمر‬:‫ وقال‬،‫الصفات والرؤية واإلسراء وقصة العرش فصححها‬
‫األخبار كما جاءت‬.
[182‫ البن أبي حاتم ص‬r‫]مناقب الشافعي‬

Dari Abu Bakar al-Mawardzi, dia berkata: Saya bertanya


kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang Hadits-Hadits yang
ditolak oleh Jahmiyyah, yaitu tentang sifat-sifat Alla, ru’yah
(melihat Allah di Surga), Isra’, dan kisah ‘Arsy. Beliau
membenarkan semuanya itu lalu mengatakan: Ummat harus
menerimanya dan membiarkan Hadits-Hadits tersebut
sebagaimana datangnya (apa adanya) (Manaqib asy-Syafi’I li-
b-ni Abi Hatim, hal. 182)

‫ أن من وصف هللا بشي ٍء مما وصف به نفسه‬- ‫ جهم بن صفوان‬- ‫ وزعم‬:‫قال اإلمام أحمد‬
221‫ مناقب اإلمام أحمد ص‬.‫ أو ح َّدث عنه رسوله كان كافراً وكان من المشبِّهة‬،‫في كتابه‬

Imam Ahmad mengatakan: Jahm bin Shofwan (pendiri paham


Jahmiyyah) memandang bahwa barangsiapa yang mensifati
Allah dengan sifat yang Dia sifati untuk diri-Nya di dalam Al-
Qur’an. Atau mensifati Allah sebagaimana Rasulullah tetapkan
untuk Allah, maka orang tersebut kafir dan termasuk
musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya) (Manaqib Al-Imam Ahmad, hal. 221)
‫ وال صفة‬،‫ بال حد‬،‫ وكما شاء‬،‫ كيف شاء‬،‫ نحن نؤمن بأن هللا على العرش‬:‫قال اإلمام أحمد‬
‫ ال تدركه‬،‫ وهو كما وصف نفسه‬،‫هللا منه وله‬
ِ ‫يبلغها واصف أو يحده أحد؛ فصفات‬
‫األبصار‬.
[30‫ ص‬2‫]درء تعارض العقل والنقل البن تيمية ج‬

Imam Ahmad mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah


berada di atas Arsy, sesuai kehendak-Nya, seperti yang
dikehendaki-Nya, dengan tanpa batasan dan sifat dari
siapapun. Karena sifat Allah adalah dari-Nya dan untuk-
Nya, Dia itu sebagaimana disifati oleh-Nya, dan Dia tidak
bisa dilihat oleh indra mata (ketika di dunia)”. (Dar’u
Ta’arudhil Aqli wan Naql libni Taimiyah 2/30)

3. Penutup
Tulisan singkat ini saya tutup dengan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:

.‫ وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية‬...... :‫عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال‬
‫ آسف كما‬.‫ وأنا رجل من بني آدم‬.‫فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها‬
‫ يا رسول‬:‫ قلت‬.‫ ذلك علي‬r‫ فأتيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فعظم‬.‫ صكة‬r‫ لكني صككتها‬.‫يأسفون‬
"‫ قال "من أنا؟‬.‫ في السماء‬:‫ فقال لها "أين هللا؟" قالت‬.‫هللا! أفال أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها‬
‫ فإنها مؤمنة‬.‫ قال "أعتقها‬.‫ أنت رسول هللا‬:‫قالت‬

". Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata : “…..Aku


mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan
kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu
hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa
lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku
sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain
marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku
mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun
menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata :
‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau
menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun
membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak
wanita itu :‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau
bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah
utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda :‘Bebaskanlah,
sesungguhnya ia seorang wanita beriman” (H.R Muslim dalam
Shahih-nya, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dan
Al-Musnad)

Renungkanlah! Ketika ditanya, sang budak menjawab bahwa


Muhammad sebagai Rasul dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, lalu
Nabi pun menyatakan dia sebagai wanita beriman.

Jadi, orang beriman adalah yang mengimani keberadaan Allah di


atas ‘Arsy.

Anda mungkin juga menyukai