Anda di halaman 1dari 10

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS PELANGGARAN HAM YANG

DILAKUKAN OLEH CINA KEPADA MUSLIM UIGHUR


BERDASARKAN METODE NEGOSIASI

Rizeki Ainur Rofiq


Jurusan Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAK
Hak Asasi Manusis (HAM), termasuk kedalam sistem hukum internasional
(dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari Negara-negara).Konflik
yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang ini berakar dari kebijakan pemerintah
China. Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik, seperti perbedaan budaya,
ledakan populasi di China darat dan reformasi ekonomi rezim komunisa
memberikan dampak pada pembentukan regulasi yang merugikan etnis Uighur.
Dalam jurnal ini akan dibahas mengenai penyelesaian sengketa kasus pelanggaran
ham yang dilakukan oleh Cina kepada muslim Uighur berdasarkan metode
negosiasi. World Uyghur Congress (WUC) merupakan organisasi non-pemerintah
yang merepresentasikan kepentingan bersama Etnis Uyghur di seluruh dunia
(World Uyghur Congress). Upaya ini selanjutnya menjadi bagian pada taktik
accountability politics. Pada taktik terakhir, WUC berupaya untuk mendesak
Pemerintah Tiongkok agar meratifikasi perjanjian HAM internasional dan
menghentikan segala tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap Etnis Uyghur.

Kata Kunci : Muslim Uighur, Negosiasi, World Uyghur Congress (WUC

ABSTRACT

Human rights (HAM), including into the international legal system (formed
by the international community consisting of countries). The conflict that befell the
Uighurs in Xinjiang is rooted in Chinese policies. The factors that contributed to
the conflict, such as cultural differences, the population explosion in China and the
population explosion in China, and the economic reforms of the Communist regime
had an impact on ordering regulations that were detrimental to the Uighurs. This
journal will solve the problem solving of cases carried out by China to Uighur
Muslims based on the negotiation method. The World Uyghur Congress (WUC) is a
non-governmental organization representing the common interests of Uyghur
ethnic groups around the world (World Uyghur Congress). This effort then became
part of the political accountability tactic. In the final tactic, WUC seeks to get the
Chinese Government closer to ratifying international human rights treaties and
limiting all acts of violence and discrimination against ethnic Uyghurs.
Keywords: Negotiations, Uyghur Muslims,World Uyghur Congress (WUC)
A. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban
tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh
tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi
hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta
keharmonisan lingkungannya. Sebagai bagian dari harkat dan martabat hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia
yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Saragih, 2015) .
Secara internasional Hak Asasi Manusis (HAM), termasuk kedalam sistem
hukum internasional (dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari
Negara-negara). Negara mempunyai peran penting dalam membentuk sistem hukum
tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional atau bentuk lainnya seperti
deklarasi. Kemudian Negara menyatakan pertujuannya dan terikat pada hukum
internasional tersebut. Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa indvidu,
kelompok atau harta benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian dari Negara
mempunyai kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi warga negara
berserta harta bendanya. Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi
penyelewengan terhadap HAM. (Resmayadi, 2018) .
Salah satu contoh kasus diskriminasi rasial ialah kasus diskriminasi yang
dilakukan pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur di China, etnis Uighur
merupakan salah satu etnis minoritas di China. mayoritas etnis Uighur tersebut
mendiami wilayah China yang bernama Xianjiang. Wilayah ini memang sarat akan
konflik etnis dan agama. Pola-pola integratif yang dilakukan pemerintah China
dengan pendidikan politik terbukti tidak berhasil mengintegrasikan etnis Uighur
dengan penduduk China yang lain. Bahkan ekskalasi pemberontakan etnis Uighur
diperuncing dengan adanya migrasi besar-besaran oleh etnis Han ke wilayah
Xianjiang dan juga Urumqi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa migrasi besar-
besaran oleh etnis Han tersebut bertujuan untuk menyingkirkan etnis Uighur secara
perlahan dari wilayah Xianjiang maupun Urumqi. Diketahui bahwa kedua wilayah
ini merupakan salah satu wilayah di China yang tercatat memiliki kandungan gas
alam dan minyak bumi yang besar dan letaknya yang strategis karena berbatasan
langsung dengan Asia Tengah. Sepanjang tahun 2018, isu mengenai diskriminasi
terhadap etnis minoritas di China, seperti Uighur yang dilakukan oleh pemerintah
China sudah giat diberitakan. Hal ini menyangkut tentang persoalan mengenai
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah China yang
dianggap menghalangi kebebasan beragama masyarakat dengan alasan menekan
radikalisme. Isu ini sudah terdengar sejak tahun 2014 yang ditandai dengan adanya
pembatasan kelahiran etnik minoritas muslim di Xinjiang. Hal ini juga yang
menyebabkan terbentuknya kebijakan pemerintah yang dibayangi oleh agenda
memerangi terorisme atau radikalisme. Diantara etnis minoritas yang ada di China,
permasalahan yang menyangkut tentang etnis Uighur banyak diberitakan. Hal ini
dikarenakan adanya dugaan terhadap pemerintah China yang bertujuan untuk
membungkam etnis tersebut dengan cara memasukkan kurang lebih satu juta etnis
Uighur ke dalam kamp khusus yang diperlakukan secara buruk bahkan sebagian
orang yang disiksa. Dengan kejadian tersebut tentunya sudah menjadikan Cina
sebagai negara yang melakukan pelanngaran HAM (Purwanto, 2019) .

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah pada jurnal ini adalah
“Bagaimana Penyelesaian Sengketa Kasus Pelanggaran HAM Yang Dilakukan Oleh
Cina Kepada Muslim Uighur Berdasarkan Metode Negosiasi?”

C. LANDASAN TEORI
1. Diskriminasi Pemerintah China terhadap Muslim Uighur
Uighur adalah suku minoritas di wilayah Xinjiang, terletak di ujung Barat
dan Barat Laut China. Suku ini memiliki provinsi sendiri dengan status otonomi
bernama Xinjiang-Uighur. Mayoritas suku Uighur adalah Muslim. “Uighur”
sendiri memiliki arti persatuan atau persekutuan. Kaum Muslim Uighur
berbicara dengan bahasa lokal dan Turkmen. Mereka menulis dengan tulisan
bahasa Arab. Menurut Anshari Thayib, dalam buku Islam di China terbitan
Amarpress, awal mula masuknya Islam ke Xinjiang yaitu ketika masyarakat
Uighur berperan sebagai perantara perdagangan antara China dengan Barat.
Dalam sejarahnya, wilayah Xinjiang dulu lebih dikenal sebagai “Turkistan
Timur”. Luas wilayah Turkistan Timur sendiri mencapai 1,6 juta kilometer
persegi atau seperlima dari luas China. Berkat interaksi panjang dengan
pedagang Arab, Persia, dan Turki itulah yang membuat masyarakat Uighur
mulai mengenal dan memeluk agama Islam.
Jumlah Muslim Uighur pada tahun 2011 sekitar 8 juta orang. Sedangkan
jumlah umat Muslim di China pada tahun 2011 sekitar 20 juta orang dari total
penduduk China yang berjumlah 1,3 Milyar. Sejak pengambilalihan pemerintah
Komunis di wilayah Turkistan pada tahun 1949, jumlah orang China Han
penganut komunisme di wilayah itu meningkat dari 6,7% menjadi 40,6%,
menurut angka resmi. Mereka ini yang kemudian muncul menjadi pengendali
seluruh fungsi dan aktivitas politik utama di kawasan Xinjiang. Dengan
dukungan pemerintah China, mereka juga memberlakukan keadaan yang
mengisolasi dan membatasi pelaksanaan ritual keagamaan, dan melarang
Muslim Uighur menggunakan bahasanya di sekolah. Bermula dari kebijakan-
kebijakan diskriminatif itulah mengakibatkan konflik antara Muslim Uighur
dengan pemerintah China sekaligus juga konflik etnis antara suku Uighur
dengan suku Han. Pemarjinalan kaum muslim Uighur oleh pemerintah China
disebabkan salah satunya karena wilayah Xinjiang memiliki sumber daya alam
yang melimpah. Sebelum dijajah oleh pemerintah komunis China, pada tahun
1940-an, telah muncul Republik Turkistan Timur di sebagian wilayah Xinjiang
yang dianggap sebagai bagian dari hak asasi mereka dalam kemerdekaan.
Namun pendirian Republik Turkistan Timur itu tidak diakui oleh pemerintah
komunis China. China menganggap Xinjiang adalah bagian dari wilayahnya.
Bahkan Mao Zedong langsung mengirimkan tentara ke Xinjiang pada tahun
1949 Puncaknya, pada 1 Oktober 1955, secara resmi Xinjiang dijadikan provinsi
dengan status daerah otonomi mengesampingkan fakta bahwa mayoritas
penduduknya saat itu adalah suku Uighur.
Konflik yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang ini berakar dari kebijakan
pemerintah China. Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik, seperti
perbedaan budaya, ledakan populasi di China darat dan reformasi ekonomi
rezim komunisa memberikan dampak pada pembentukan regulasi yang
merugikan etnis Uighur. Setidaknya terdapat tiga regulasi pokok yang menjadi
penyebab terjadinya kekerasan di Xinjiang, yaitu: (1) kebijakan migrasi etnis
Han ke wilayah Xinjiang; (2) pemaksaan identitas dan budaya etnis Han
terhadap yang bukan etnis Han atau disebut juga Sinicization; (3) represi
terhadap etnis Uighur (Cahyadi, 2019). Regulasi pokok pertama mengenai
migrasi terjadi sejak reformasi ekonomi China yang menguat dan menggeser
dominasi ekonomi etnis Uighur. Dalam periode waktu 1959-1960, pemerintah
menggiatkan program transmigrasi massal etnis Han yang sampai pada tahun
1970 berhasil memindahkan tiga juta etnis Han ke Xinjiang dan hal ini juga ikut
merubah peta demografi pada saat itu. Selain itu, etnis Han memiliki lebih
banyak peluang untuk menjadi petinggi birokrasi. Segala pertambangan dan
hasil bumi yang berada Xinjiang didominasi dan dikapitalisasi oleh etnis Han.
Hal ini memunculkan perasaan tereksploitasi yang dirasakan oleh etnis Uighur
(Rosyid, 2012).

2. Bentuk-Bentuk Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Uighur


Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Muslim Uighur
akan dipaparkan sebagai berikut :
a. Kejahatan Genosida
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang
berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran
HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan Agresi. Menurut Statuta Roma genosida ialah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa. Pemerintah
China telah melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang, diantaranya
pelanggaran kebebasan beragama, dimana seperti yang diberitakan oleh
surat kabar internasional, bahwa otoritas Pemerintah China melarang
etnis Muslim Uighur di Xinjiang untuk melakukan kegiatan dan
kewajiban beribadah menurut agamanya, warga Muslim Uigur juga
dilarang untuk melakukan ritual keagamaan seperti Sholat dan berpuasa
pada saat bulan Ramadhan, Masjid-Masjid dijaga ketat oleh pasukan
keamanan pemerintah PKC, warga muslim Uighur juga
dilarang untuk memasuki Masjid dan berdoa, bahkan para pejabat
membagikan makanan dan minuman ke rumah-rumah warga muslim
Uighur pada saat bulan suci Ramadhan dan memaksa warga muslim
Uighur untuk tidak berpuasa, namun demikian Pemerintah PKC berdalih
hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan dan kestabilan untuk
negaranya
b. Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan
hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa
orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut
penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar
bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada
konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan
perang.
c. Kejahatan kemanusiaan
Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum
internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan
penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan
penyerangan terhadap yang lain. ilaporkan bahawa puluhan Muslim
Uighur di Xinjiang telah meninggal dunia akibat ditembak mati oleh
pihak rejim komunis China dalam beberapa bulan terakhir tahun lalu atas
tuduhan “keganasan” dan digelar sebagai “muslim ekstrimis”, dimana
tuduhan tersebut sama sekali tidak berasas dan tanpa bukti serta
perbicaraan yang kukuh dari mahkamah. Pertubuhan Hak Asasi Manusia
mengecam tindakan yang dilakukan oleh pihak berkuasa China terhadap
Muslim Uighur dengan menuduh kaum minoriti tersebut terlibat dalam
keganasan dan melakukan pemberontakan ke atas kerajaan sehingga isu
tersebut dibesar-besarkan dan menyebabkan penindasan terhadap etnik
minoriti Muslim di Xinjiang semakin berleluasa
d. Kejahatan Agresi
Penderitaan Muslim Uighur semakin bertambah semenjak peristiwa 9/11
Amerika Serikat, untuk pertama kalinya pemerintah China menegaskan
bahwa gerakan separatisme anti pemerintahan di Xinjiang mempunyai
hubungan dengan gerakan yang dipimpin oleh terorois Internasional
Osama bin Laden.18 China juga mengklaim bahwa ETIM (Eastern
Turkestan Islamic Movement) yang merupakan gerakan anti pemerintah
kelompok uighur mendapat pendanaan dan pelatihan secara langsung
dari jaringan teroris pimpinan Osama bin Laden. Xinjiang jugadisebut
tempat dimana kekerasan dan serangan terorisme paling sering yang
terjadi di negara China (Saragih, 2015).

3. Pelanggaran HAM Cina Terhadap Uighur Dilihat Dari Prepektif


Hubungan Internasional
Dalam konflik ini dapat dilihat melalui perspektif yang ada didalam studi
ilmu Hubungan Internasional khususnya perspektif konstruktivisme. Perspektif
konstruktivisme sendiri hadir akibat dari perdebatan besar yang terjadi pada
akhir tahun 1980-an yang kemudian memunculkan suatu perspektif yang
menjadi terobosan baru pada akhir Perang Dingin Perspektif konstruktivisme
memandang realitas sosial bukan merupakan hal yang muncul dengan
sendirinya serta tidak berhubungan dengan interaksi rasionalis. Selain
konstruktivisme juga berfokus pada bagaimana suatu negara mempersepsikan
kepentingan keamanan dan ekonomi. Disamping itu, konstruktivisme meyakini
bahwa identitas, budaya, dan norma merupakan elemen yang berperan penting
dalam politik internasional. Dalam konflik ini dapat dihubungkan bahwa China,
khususnya etnis Han, meyakini apa yang dicita-citakannya dapat terwujud dari
apa yang diperbuat oleh negaranya. Untuk mencapai tujuan keamanan serta
ekonominya, China meyakini harus mengkonstruksi tujuan keamanan serta
ekonominya tersebut. China juga meyakini bahwa identitas, budaya, dan norma
sebagai elemen penting dalam politik internasional. Oleh karena itu, didalam
konflik ini China, khusunya etnis Han sebagai etnis mayoritas, berusaha untuk
menyingkirkan etnis Uighur karena dianggap tidak memiliki latar belakang
identitas dan budaya yang sama sehingga dikhawatirkan menjadi hambatan
dalam mencapai tujuan keamanan dan ekonomi dari China sendiri (Resmayadi,
2018).
D. PEMBAHASAN
Untuk meninjau lebih dalam tentang konflik dan upaya menyelesaikannya.
Negosiasi merupakan salah satu pendekatan untuk mengelola konflik dalam setting
antarpribadi, kelompok, organisasi, sosial, dan internasional. Negosiasi dibedakan
secara tipikal dari bentuk manajemen konflik melalui penekanannya pada tujuan-
tujuan yang tidak sesuai diantara orang-orang dan pertukaran usul yang bertujuan
untuk mengurangi perbedaan antara dalam ketidaksesuaian dan menciptakan
kesepakatan. Dalam konteks ini konflik dan negosiasi menjadi penting untuk dikaji.
Konflik dan negosiasi adalah dua hal saling terkait secara dinamis, interaksi yang
berulang antara sumber dan target yang secara simultan bergantian menjadi
pengirim dan penerima pesan, usaha saling mempengaruhi. Menurut penulis,
konflik muncul karena adanya perbedaan pandangan dalam mencapai tujuan.
Sementara negosiasi digunakan untuk menyelesaikan konflik. Dalam dinamika
konflik dan negosiasi ada upaya untuk saling mempengaruhi. Salah satu cara
mempengaruhi adalah dengan persuasi yang diartikan sebagai aktivitas
menciptakan, menguatkan, atau memodifikasi kepercayaan, sikap, atau perilaku
Negosiasi memegang peranan yang sangat penting bagi para pembuat kebijakan
untuk mendapatkan atau memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang berbagai
permasalahan yang kompleks, faktor-faktor serta dinamika manusia dibalik
pentingnya permasalahan kebijakan (Inayah, 2012).
World Uyghur Congress (WUC) merupakan organisasi non-pemerintah
yang merepresentasikan kepentingan bersama Etnis Uyghur di seluruh dunia
(World Uyghur Congress). Sebagai organisasi yang mewakili Etnis Uyghur, WUC
berperan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Terbentuknya WUC
dilatarbelakangi oleh keadaan Etnis Uyghur di Xinjiang yang mengalami
pelanggaran HAMSepanjang tahun 2014 sampai 2019, WUC menjalankan taktik ini
dengan mengadakan dan mengikuti konferensikonferensi internasional. Tiap
tahunnya, WUC mengadakan konferensi internasional bersama dengan beberapa
organisasi nonpemerintah lainnya dan terkadang bekerja sama dengan organisasi
serta badan internasional. Pada periode tahun 2014- 2019 WUC telah mengadakan
konferensikonferenasi internasional yang berkaitan dengan kekerasan dan
pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas di Tiongkok, penggunaan bahasa ibu di
tengah situasi yang dihadapi Etnis Uyghur di Xinjiang, kebijakan anti minoritas
khususnya yang menindas kebebasan beragama, serta ketidakamanan dan
ketegangan politik yang dihadapi Etnis Uyghur di Xinjiang, dan para pengungsi
Uyghur ilegal yang mendatangi beberapa negara (World Uyghur Congress, n.d).
Partisipasi aktif WUC pada forum-forum internasional membawa dampak positif
pada upaya advokasinya. Berbagai pernyataan resmi dan resolusi sebagai bentuk
dukungan terhadap upaya advokasi WUC menambah power WUC untuk
mempermalukan dan menekan PemerintahTiongkok agar dapat mengubah perilaku
dan kebijakannya.
Upaya ini selanjutnya menjadi bagian pada taktik accountability politics.
Pada taktik terakhir, WUC berupaya untuk mendesak Pemerintah Tiongkok agar
meratifikasi perjanjian HAM internasional dan menghentikan segala tindakan
kekerasan dan diskriminasi terhadap Etnis Uyghur (World Uyghur Congress, 2014).
Namun pada taktik ini WUC tidak dapat secara langsung mendesak Pemerintah
Tiongkok, sebab WUC sudah memiliki reputasi yang tidak baik di mata Pemerintah
Tiongkok. Maka dalam menjalankan taktik ini, WUC memerlukan bantuan dari
organisasi internasional yang memiliki power lebih besar. Oleh karenanya,
pernyataan resmi dari PBB terkait situasi Etnis Uyghur di Xinjiang menjadi senjata
bagi WUC untuk dapat mendesak dan menekan Pemerintah Tiongkok. Tidak hanya
itu, resolusi Parlemen Eropa tahun 2019 juga menjadi senjata baru bagi WUC untuk
menekan Pemerintah Tiongkok (Upayon, 2019).
Segala upaya negosiasi pendekatan diplomatik yaitu dengan melakukan
negosiasi G to G atau ‘Track 1 diplomacy’. Kepala negara atau minimal pejabat
setingkat menteri luar negeri bisa menjalankan misi diplomatik membujuk
pemerintah China untuk menghentikan kekerasan. Jika misi diplomatik tidak
memungkinkan, setidaknya kepala negara berkirim surat kepada pemimpin China
sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian yang telah dilakukan oleh WUC secara
perlahan menunjukkan keberhasilannya dalam menyuarakan kasus Etnis Uyghur.
Media internasional dan NGO HAM lainnya ikut serta memberitakan dan
mempublikasikan artikel dan hasil investigasi WUC terkait situasiEtnis Uyghur,
khususnya pelanggaran HAM yang dialaminya. Adanya pemberitaan dari beberapa
media internasional dan artikel yang dirilis oleh beberapa NGO HAM seperti HRW
dan AI kemudian mendorong negara-negara Barat menunjukkan dukungannya
dalam menyuarakan kasus Etnis Uyghur bersama WUC. Tidak berhenti sampai
disitu, pada tahun 2018 UNHRC, CEDAW, dan CERD menanggapi laporan yang
dikirimkan oleh WUC dan membuat pernyataan hasil tinjauannya di Tiongkok.
Hingga kemudian PBB mengumumkan secara resmi hasil peninjauan tersebut dan
memaparkan situasi Etnis Uyghur di Xinjiang (Reuters, 2018). Sejak saat itu,
media-media internasional mulai ramai memberitakan situasi Etnis Uyghur di
Xinjiang dan mencuri perhatian masyarakat internasional.

E. KESIMPULAN
Peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim uighur di China telah mejurus
kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis,
dimulai dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan
keberadaan Muslim Uighur. Pemerintah China telah melakukan pelanggaran HAM
di Xinjiang, diantaranya pelanggaran kebebasan beragama, dimana seperti yang
diberitakan oleh surat kabar internasional, bahwa otoritas Pemeritah China melarang
etnis Muslim Uighur di Xinjiang untuk melakukan kegiatan dan kewajiban
beribadah menurut agamanya, warga etnis Muslim Uigur juga dilarang untuk
melakukan ritual keagamaan seperti Sholat dan berpuasa pada saat bulan
Ramadhan, Masjid-Masjid dijaga ketat oleh pasukan keamanan pemerintah PKC,
warga muslim Uighur juga dilarang untuk memasuki Masjid dan berdoa, bahkan
para pejabat membagikan makanan dan minuman ke rumah-rumah warga muslim
Uighur pada saat bulan suci Ramadhan dan memaksa warga muslim Uighur untuk
tidak berpuasa, namun demikian Pemerintah PKC berdalih hal ini dilakukan untuk
menjaga keamanan dan kestabilan untuk negaranya.
World Uyghur Congress (WUC) merupakan organisasi non-pemerintah
yang merepresentasikan kepentingan bersama Etnis Uyghur di seluruh dunia (World
Uyghur Congress) WUC berupaya untuk mendesak Pemerintah Tiongkok agar
meratifikasi perjanjian HAM internasional dan menghentikan segala tindakan
kekerasan dan diskriminasi terhadap Etnis Uyghur. Segala upaya negosiasi
pendekatan diplomatik yaitu dengan melakukan negosiasi G to G atau ‘Track 1
diplomacy’. Kepala negara atau minimal pejabat setingkat menteri luar negeri bisa
menjalankan misi diplomatik membujuk pemerintah China untuk menghentikan
kekerasan. Sejak saat itu, media-media internasional mulai ramai memberitakan
situasi Etnis Uyghur di Xinjiang dan mencuri perhatian masyarakat internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Inayah, S. S. (2012) ‘Konflik Dan Negosiasi Dalam Perspektif Komunikasi’.Surabaya :
Universitas Airlangga.
Purwanto (2019) ‘Diskriminasi Rasial Terhadap Minoritas Muslim Uighur Di China’.
Univeritas Indonesia.
Resmayadi, R. (2018) ‘Ham internasional’. Semarang: Universitas Diponegoro.
Rosyid, M. (2012) ‘Menggugah peran hukum humaniter internasional Islam dalam
mengurai konflik etnis perspektif sejarah’, Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam
dan Kemanusiaan, p. Hlm 193. doi: doi: 10.18326/ijtihad.v12i2.193-215.
Saragih, M. F. (2015) ‘Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim’, Hukum, Vol
1(No 1), p. Hlm 1–10.
Upayon, N. W. S. (2019) ‘Strategi World Uyghur Congress (Wuc) Dalam Menyuarakan
Kasus Etnis Uyghur Di Xinjiang Tahun 2014 - 2019’. Bali : Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai