Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat pathogen dan

sering menimbulkan infeksi. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan flora

normal yang dapat hidup dipermukaan kulit, hidung dan tenggorokan, tetapi jika

jumlahnya di ambang batas akan menimbulkan infeksi.

Menurut Samuel & Warganegara (2012) bakteri Staphylococcus aureus

resisten terhadap berbagai jenis antibiotik diantaranya adalah Penisilin G,

Ceftazidim, Cefotaksim, Kloramfenikol, Ciprofloksasin, Gentamisin, Eritomisin,

dan Amikasin. Sehingga bakteri ini tergolong sebagai bakteri Multi Drug Resistance

(MDR) karena terbukti resisten terhadap lebih dari 1 jenis antibiotika.

Berbagai alternative sudah dilakukan untuk mengatasi masalah resistensi bakteri

stap

Pisang merupakan tanaman hortikultura dari komoditas buah-buahan yang

memiliki karateristik morfologi seperti berbatang semu, memiliki akar rimpang,

daun berbentuk lanset memanjang dan buah berbentuk buni. Pisang dapat kita

temukan di pekarangan rumah, kebun, dan pegunungan, karena habitat tumbuh

tanaman pisang tidak harus pada lahan khusus.

Pisang merupakan komoditi terbesar di Indonesia. Hampir di seluruh

wilayah Indonesia dapat dijadikan tempat untuk bercocok tanam pisang, termasuk

1
di Gorontalo. Di Gorontalo, pisang merupakan komoditas buah-buahan utama

yang di produksi sebanyak 4.404 ton (Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo, 2016).

Berdasarkan manfaat dan morfologi pisang terbagi menjadi dua bagian,

yaitu liar dan dapat dibudidaya. Pisang liar umumnya memiliki buah pisang yang

berbiji, berkulit keras dan tebal sehingga tidak dapat di konsumsi, sedangkan

pisang budidaya merupakan pisang yang di tanam atau dibudidaya yang memiliki

rasa yang manis, mempunyai biji yang kecil, serta daging buah yang lembut.

Salah satu pisang liar yang terdapat di Gorontalo adalah pisang abati (Musa

balbisiana Colla). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hastuti et al (2019) menunjukkan bahwa ada empat spesies pisang liar yang

ditemukan di Pulau Sulawesi: Musa balbisiana Colla, Musa acuminata var.

zebrina, Musa acuminata var. banksii, Musa acuminata var. lutraensis, Musa

acuminata var. sigiensis, Musa acuminata ssp. microcarpa, Musa borneensis dan

Musa textilis. Dimana terdapat spesies yang paling umum ditemukan di hampir

setiap provinsi adalah Musa acuminata, sedangkan di Gorontalo hanya di

temukan adanya pisang abati (Musa balbisiana Colla).

Salah satu pisang liar atau pisang hutan yang di jadikan sebagai antibakteri

dalam penelitian ini adalah getah pisang abati (Musa balbisiana Colla). Tidak

seperti pisang pada umumnya, pisang abati (batu) merupakan pisang dengan ciri

khas daging buah yang banyak mengandung biji. Kurangnya perhatian masyarakat

Dusun Tumba terhadap pisang abati karena tidak menguntungkan dari segi

ekonomi untuk dibudidaya. Selain itu, kesulitan dalam menanam pisang abati

adalah tidak tahan terhadap angin dan hujan lebat, karena akan membuat daun

2
menjadi robek sehingga menurunkan mutu dan harga jual daun. Menurut

masyarakat di Dusun Tumba, Kecamatan Paguyaman Pantai, getah pisang ini

sering dijadikan sebagai obat untuk mengobati berbagai macam luka, mulai dari

luka goresan, luka bakar, luka dicakar hewan, dll. Sebelum di aplikasikan di

bagian tubuh yang terluka, bonggol pisang tersebut dibakar terlebih dahulu

sehingga didapatkan air dari pisang abati. Sehingga dari persepsi masyarakat

Dusun Tumba, perlu dilakukan penelitian ilmiah tentang kemampuan getah pisang

sebagai senyawa antibakteri khususnya terhadap Staphylococcus aureus penyebab

ulkus diabetic.

Menurut masyarakat Desa Tumba, pembakaran atau pemanasan getah

bonggol pisang abati bertujuan untuk mencegah kontaminasi dengan kuman di

sekitar bonggol pisang. Dikarenakan letak bonggol tersebut berada di pusat

permukaan akar nantinya akan menjadi lokasi tumbuhnya tunas baru dan terletak

di permukaan tanah.

Penelitian ini lebih terfokus pada getah bonggol pisang abati untuk melihat

adanya aktivitas antibakteri. Hal ini dikarenakan senyawa antibakteri yang paling

berpengaruh terdapat pada bonggolnya saja dibandingkan bagian tanaman pisang

lainnya seperti akar, pelepah daun, jantung pisang dan buah. Hal ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan Ningsih et al (2013) yaitu tentang uji aktivitas

antibakteri ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning (Musa paradisiaca L.)

terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli diketahui bahwa pada

bagian bonggol berpengaruh besar sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan

bakteri uji, dibandingkan dengan bagian lain tanaman pisang kepok kuning.

3
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Kusuma et al (2019), untuk melihat

potensi antibakteri ekstrak etanol bonggol pisang klutuk wulung (Musa balbisiana

BB) terhadap bakteri penyebab infeksi pada luka yang diketahui bahwa terdapat

zona hambat pada konsentrasi 100% sebesar 17,05 mm dan 50% sebesar 10,75

mm yang tergolong kuat pada bakteri Staphylococcus epidermidis. Senyawa yang

bersifat antibakteri pada ekstrak etanol bonggol pisang klutuk wulung adalah

flavonoid, saponin, tanin dan kuinon. Masing-masing dari senyawa ini memiliki

aktivitas antibakteri dengan mekanisme yang berbeda.

Dalam penelitian ini getah bonggol pisang abati di lakukan beberapa

variasi perlakuan konsentrasi 25%, 50%, 75%, dan 100% untuk melihat

konsentrasi mana yang lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan

Staphylococcus aureus. Alasan peneliti memberikan konsentrasi 25%, 50%, 75%,

dan 100% dikarenakan pada penelitian sebelumnya diperoleh hasil bahwa ekstrak

batang pisang kepok konsentrasi 10% - 40% belum dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Streptococcus pyogenes, sedangkan konsentrasi 50% - 100%

mampu menghambat pertumbuhan Streptococcus pyogenes (Marhamah & Putri,

2018).

Bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus

aureus yang diketahui menjadi salah satu penyebab terjadinya ulcus diabetic.

Ulkus diabetic merupakan luka yang disebabkan oleh diabetes mellitus tipe II.

Ketika kulit dari pasien penderita Diabetes Mellitus (DM) tergores dan tidak di

tangani dengan benar maka bakteri akan lebih mudah masuk dan membuat luka

tersebut menjadi lebih parah. Hal ini di karenakan kadar glukosa yang tinggi akan

4
menjadi tempat strategis perkembangan bakteri. Hal ini didukung oleh penelitian

yang dilakukan Risnawati R, dkk (2018) yaitu untuk mengidentifikasi jenis

bakteri pada luka kaki diabetik berdasarkan lama penderita luka kaki diabetes

(LKD), ditemukan bakteri yang paling dominan adalah bakteri Staphylococcus

aureus dengan lama waktu >6 bulan. Bakteri Staphylococcus aureus  merupakan

flora normal yang terdapat dipermukaan kulit, dan menjadi pathogen apabila

jumlahnya diambang batas. Luka yang dibiarkan terbuka dan tanpa penanganan

medis akan mudah terinfeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka peneliti

bermaksud melakukan penelitian tentang “Daya Bakteriostatik Air Perasan

Batang Pisang Batu (Musa balbisiana Colla) Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus aureus”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

1.2.1 Apakah terdapat pengaruh air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana

colla) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus?

1.2.2 Apakah terdapat konsentrasi terbaik dari air perasan batang pisang batu

(Musa balbisiana colla) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

5
1.3.1 Untuk mengetahui pengaruh air perasan batang pisang batu (Musa

balbisiana colla) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.3.2 Untuk mengetahui konsentrasi terbaik air perasan batang pisang batu (Musa

balbisiana colla) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan, maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1.4.1 Bagi Peneliti

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat menambah wawasan,

pengetahuan serta memberikan pengalaman langsung pada peneliti dalam bidang

ilmu mikrobiologi kesehatan serta dapat dijadikan sebagai pedoman untuk

penelitian selanjutnya.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber informasi

bahwa air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana Colla) dapat dijadikan

sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus”.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Pisang abati

2.1.1 Morfologi pisang abati

Pisang abati (batu) merupakan jenis tanaman pisang yang banyak terdapat

batu dalam daging buahnya. Pisang abati (batu) termasuk famili Musaceae dari

ordo Scitaminae yang memiliki karateristik morfologi berdaun tebal, memiliki

lapisan lilin yang cukup tebal, terdapat biji pada buahnya, mempunyai kulit buah

yang keras dan tebal serta buahnya tidak dapat langsung dimakan dalam bentuk

segar. Pisang abati (batu) mempunyai rasa yang manis dan bau yang harum ketika

buahnya masak (Margono, 2000 dalam Prayogi, et al, 2014). Keuntungan

tanaman pisang abati (batu) adalah pada daunnya, karena seringkali digunakan

sebagai pembungkus makanan karena tidak mudah sobek (Irbi’ati, 2002 dalam

Prayogi, et al, 2014).

7
Gambar 2.1 Foto morfologi Musa balbisiana. A. Pangkal daun, B.Petiole, C.

Jantung Pisang, D. Bunga jantan, E. Sisir pisang, F. Potongan membujur buah

pisang (Sumber: Sunandar dan Kahar, 2018).

2.1.2 Senyawa Yang Terkandung Dalam Air Perasan Pisang Batu

Getah pohon pisang abati (batu) merupakan salah satu tanaman yang

sering digunakan masyarakat untuk mengobati berbagai macam luka. Getah

pohon pisang mengandung senyawa metabolit sekunder seperti saponin, asam

askorbat, flavonoid, antrakuinon dan tanin. Saponin berfungsi sebagai pemacu

dalam pembentukan fibroblas untuk sintesis kolagen serta dapat meningkatkan

pembentukan pembuluh darah baru pada luka dan mengencerkan dahak. Selain

itu, getah pisang juga mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan

dan antiflamasi sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka /

memperpendek waktu peradangan dan menghambat kerusakan sel. Antrakuinon

berfungsi sebagai antibakteri yang dapat membunuh atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada permukaan

kulit dan membran mukosa. Serta mengandung asam askorbat yang berperan

8
dalam memperkuat dam mempercepat pertumbuhan jaringan ikat (Wakkary, et al,

2017).

1. Flavonoid

2. Safonin

3. Tannin

4.

2.2 Tinjauan tentang Bakteri Staphylococcus aureus

2.2.1 Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat

(kokus) yang terlihat seperti sekumpulan anggur dan hidup secara fakultatif

anaerob. Bakteri ini mempunyai diameter 0,5-1,0 µm, tidak berkapsul, serta tidak

membentuk spora dan tidak bergerak (motil) (Karimela, et al, 2017).

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus (sumber: Ora, 2015).

Staphylococcus aureus termasuk dalam family Micrococcaceae yang

membutuhkan suhu optimum yaitu 35-380C untuk tumbuh. Tetapi, bakteri ini juga

masih bisa tumbuh pada aw 0,86 dan aw mempunyai optimum pada 0,990-0,995.

9
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan flora normal yang dapat hidup

dipermukaan kulit, hidung dan tenggorokan. Bakteri ini memproduksi toksin yang

disebut enterotoksin yang terdiri atas 6 macam yaitu: enterotoksin A, B, C1, C2, D,

dan E. Bakteri ini bersifat pathogen karena mudah mengkontaminasi makanan dan

menyebabkan keracunan (sebabkan Enterotoksin A). Efek dari keracunan

makanan yaitu akibat terjadinya inflamasi pada kelenjar usus dan gastroenterititis.

Gejala keracunan ini biasanya tampak pada 8 jam (biasanya 2-4 jam) setelah

orang tersebut mengonsumsi bahan pangan yang terkontaminasi bakteri

Staphylococcus aureus (Ora, 2015).

Bakteri gram positif mempunyai dinding sel yang terdiri atas 60-100

persen peptidoglikan sehingga peptidoglikannya lebih tebal dibandingkan pada

bakteri gram negative. Bakteri gram positif juga memiliki polimer iurus asam N-

asetil muramat dan N-asetil glukosamin. Beberapa bakteri gram positif

mempunyai dinding sel yang mengandung substansi asam teikoat yang dikaitkan

pada asam muramat dari lapisan peptidoglikan. Fungsi utama dari asam teikoat ini

adalah untuk mengatur pembelahan sel normal. Asam teikoat mempunyai 2 wujud

bentuk utama yaitu asam teikoat ribitoi dan asam teikoat gliserol (Ismail, 2019).

10
Gambar 2.3 Sel Staphylococcus aureus hasil pewarnaan Gram pembesaran lensa

okuler 10x dan lensa objektif 100x (sumber: Karimela, et al, 2017).

Bakteri gram positif mempunyai dinding sel terluar yang terdiri dari

peptodoglikan tebal tanpa lapisan lipoprotein atau lipopolisakarida sedangkan

pada bakteri gram negatif mempunyai dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan

tipis yang dibungkus oleh lapisan lipoprotein atau lipoposakarida. Sehingga pada

saat pewarnaan gram, bakteri gram positif berwarna ungu disebabkan kompleks

zat warna kristal violet-yodium tetap dipertahankan meskipun diberi larutan

pemucat, sedangkan pada bakteri gram akan berwarna merah. Hal ini disebabkan

karena perbedaan struktur luar dinding sel bakteri gram positif dan negative (Lay,

1994).

2.2.2 Kurva Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus

Kurva pertumbuhan bakteri dapat dibagi dalam empat fase yaitu fase adaptasi,

fase logaritmik, fase stasioner, dan fase kematian.

2.2.3 Resistensi Bakteri Staphylococcus aureus Terhadap Antibiotik

Resistensi antibiotik adalah proses mutasi mikroorganisme (bakteri, jamur,

virus, parasit) yang terpapar obat antibiotic, sehingga menyebabkan infeksi terus

berlanjut dan meningkatkan resiko penyebaran penyakit ke orang lain (WHO

dalam Pusporini, 2019). Jadi kesimpulannya, resistensi antibiotic merupakan

kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dari paparan antibiotic. Bakteri tersebut

melakukan mutasi kemungkinan disebabkan karena seringnya antibiotik tersebut

diberikan atau sering digunakan.

11
Beberapa antibiotik yang sering menyebabkan resistensi terhadap bakteri

Staphylococcus aureus adalah Penisilin G, Ceftazidim, Cefotaksim,

Kloramfenikol, Ciprofloksasin, Gentamisin, Eritomisin, dan Amikasin (Samuel &

Warganegara, 2012).

Perubahan dalam resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik dapat

disebabkan oleh beberapa hal. Peningkatan resistensi dapat disebabkan oleh : 1)

penggunaan antibiotik yang terlalu sering, tidak rasional, tidak adekuat, dan tidak

didahului oleh uji sensitivitas, 2) terapi antibiotik yang lama, akan memudahkan

timbulnya kolonisasi bakteri yang resisten antibiotik akibat mekanisme selective

pressure, 3) perawatan inap yang cukup lama juga dapat mempengaruhi

peningkatan resistensi karena resiko untuk terinfeksi strain bakteri resisten makin

tinggi (Adisasmito, A.W & Tumbelaka, A.R, 2006)

2.3 Antibakteri

Antibakteri merupakan zat-zat kimia yang dapat menghambat dan bahkan

membunuh bakteri dengan cara mengganggu metabolisme atau reproduksi bakteri.

Antibakteri dapat berupa bahan kimia alami atau sintetik. Berdasarkan mekanisme

kerjanya, antibakteri terbagi atas dua, yaitu bakteriostatistika dan bakterisida.

Bakteriostatistika merupakan antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan

bakteri sedangkan bakterisida merupakan antibakteri yang bersifat membunuh

bakteri (Rollando, 2019).

Target mekanisme antibakteri adalah sebagai berikut:

1. Perusakan dinding sel

12
Pengrusakan struktur sel oleh senyawa yang bersifat antimikroba dengan

cara menghambat pada saat pembentukan atau setelah proses pembentukan

dinding sel. Contohnya: antibiotika penisilin yang menghambat pembentukan

mukopeptida yang diperlukan untuk mensintesis dinding sel mikroba (Rollando,

2019).

2. Pengubahan permeabilitas sel

Pertumbuhan sel mikroba akan terhambat jika membran sitoplasma rusak,

karena fungsi membran sitoplasma adalah mempertahankan bagian-bagian

tertentu dalam sel serta mengatur aktivitas difusi bahan-bahan penting, dan

membentuk integritas komponen seluler (Rollando, 2019).

3. Penghambat kerja enzim

Penghambatan enzim akan menyebabkan aktivitas seluler tidak berjalan

normal. Seperti sulfonamide yang bekerja dengan bersaing dengan PABA,

sehingga dapat menghalangi sintesis asam folat yang merupakan asam amino

yang berfungsi dalam sintesis purin dan pirimidin (Rollando, 2019).

4. Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein

DNA dan RNA mempunnyai peran sangat penting sebagai bahan baku

pembentukan sel bakteri, sehingga jika DNA dan RNA terhambat akan

mengakibatkan rusaknya sel bakteri (Rollando, 2019).

5. Pengubahan molekul protein dan asam nukleat

Mekanisme kerja dari antibakteri adalah dengan mendenaturasi protein

dan nukleat sehingga merusak sel secara permanen (Rollando, 2019).

13
2.5 Kerangka Berpikir

Resistensi Antibiotik Infeksi

Bakteri Staphylococcus aureus

Air perasan batang pisang


batu (Musa balbisiana
Colla)

Mengandung Senyawa Metabolit


Sekunder Seperti Safonin,
Flavonoid dan Tannin

Senyawa Antibakteri

Uji Aktivitas
Antibakteri
14
Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir

2.6 Hipotesis

2.6.1 Terdapat pengaruh air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana colla)

terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

2.6.1 Terdapat konsentrasi terbaik dari air perasan batang pisang batu (Musa

balbisiana colla) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

15
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Universitas Negeri

Gorontalo, selama 2 minggu mulai dari tahapan persiapan sampai dengan

penyusunan laporan hasil penelitian, yaitu pada 21 Desember – 31 Desember

2020.

3.2 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian adalah pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus yang dilihat dari besarnya zona hambat dari kertas cakram (papper disk)

yang direndam dengan air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana Colla).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan jenis penelitian

deskriptif analitik, serta rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

16
Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 6 perlakuan dan 4 kali ulangan,

sehingga unit percobaan 6 x 4 = 24.

Hanafiah (1993) menyatakan bahwa untuk menentukan banyaknya

ulangan dapat menggunakan rumus :

(r-1) (n-1) ≥ 15

Keterangan : r = Banyaknya Perlakuan

n= Banyaknya Ulangan

Berdasarkan rumus tersebut banyaknya ulangan yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah 4 kali ulangan sesuai dengan cara perhitungan berikut ini :

(6 - 1) (n - 1) ≥ 15

5 (n - 1) ≥ 15

5n - 5 ≥ 15

5n ≥ 20

n≥4

Perlakuan dalam penelitian ini sebanyak 8 perlakuan. Adapun perlakuan

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Perlakuan 1 : Aquadest (Kontrol - )

Perlakuan 2 : Air perasan batang pisang batu dengan konsentrasi 25%

Perlakuan 3 : Air perasan batang pisang batu dengan konsentrasi 50%

Perlakuan 4 : Air perasan batang pisang batu dengan konsentrasi 75%

17
Perlakuan 5 : Air perasan batang pisang batu dengan konsentrasi 100%

Perlakuan 8 : Kloramfenikol (Kontrol + )

3.4 Variabel Penelitian

Variable yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas (x) : Konsentrasi air perasan batang pisang batu (Musa

Balbisiana Colla).

2. Variabel terikat (y) : Kemampuan penghambat air perasan batang

pisang batu berdasar pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus yang dilihat dari besarnya

diameter zona hambat yang terbentuk.

3.5 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bakteri uji yang digunakan merupakan stok biakan murni yang diperoleh dari

Universitas Gadjah Mada seksi mikrobiologi. Bakteri yang digunakan adalah

Staphylococcus aureus.

2. Air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana Colla) : air perasan batang

pisang batu di ambil dari batang semu yang berwarna hijau. Selanjutnya

memperas batang pisang sehingga didapatkan air dari pisang tersebut,

kemudian menyimpan hasil perasan tersebut dalam wadah yang bersih dan

steril. Hasil dari perasan tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bahan

antibakteri.

3.6 Alat Dan Bahan

3.6.1 Alat Penelitian

18
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, oven, pisau, incubator, almari

pendingin, cawan petri, tabung reaksi, pipet, kaca objek, kaca penutup, batang

pengaduk, erlenmeyer, gelas ukur, gelas kimia, neraca analitik, kaca arloji,

mikroskop, spatula, penggaris, jarum ose, labu erlenmeyer, sheker incubator,

spektrofotometer UV-Visible, laminar airflow, bunsen atau pembakar spiritus,

kertas, korek api dan kaca pembesar.

3.6.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan adalah aquadest, media NA, media NB, media

MHA (Mueller Hinton Agar), larutan NaCl 0,9 %, aquadest, alcohol 70%, tissue,

kertas cakram, biakan murni bakteri Staphylococcus aureus, air perasan pisang

batu (Musa balbisiana Colla).

3.7 Prosedur Kerja

3.7.1 Sterilisasi Alat

Hal yang paling utama dalam melakukan penelitian dalam bidang

mikrobiologi adalah dengan melakukan sterilisasi dimana alat yang digunakan

terlebih dulu dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan air suling, untuk alat-alat

yang tahan pemanasan tinggi seperti terbuat dari gelas dan besi yaitu: cawan petri,

jarum ose, erlenmeyer, tabung reaksi, gelas kimia, pinset, spatula dan batang

pengaduk disterilkan dengan menggunakan oven (panas kering) pada suhu 180 0C

selama 2 jam. Sedangkan alat-alat dan bahan yang tidak tahan pemanasan tinggi

seperti terbuat dari plastik (contoh mikropipet) disterilkan dengan menggunakan

autoklaf (panas kering) pada tekanan 1 atm dengan suhu 1210C selama 15 menit.

19
Alat logam disterilkan dengan cara dipijarkan dengan meggunakan lampu spiritus

(Syamsuddin, 2018).

3.7.2 Determinasi Tanaman

Tanaman pisang batu diambil dari Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa

Tengah dikarenakan mengingat tanaman pisang abati/batu (Musa balbisiana

Colla) tersebar di Provinsi Gorontalo. Sampel yang digunakan adalah air perasan

abati/batu (Musa balbisiana Colla) (Teknik sampling yang digunakan adalah

sampling secara acak (random sampling) (Wibowo dan Prasetyaningrum, 2015).

3.7.3 Pengambilan Air Perasan Pisang Batu (Musa balbisiana Colla)

Memilih tanaman pisang abati, mengambil batang bagian bawah tanaman

pisang abati/batu 10 cm dari bonggol akar dan memotong kira-kira dengan ukuran

0,5 x 0,5 cm. Dalam penelitian ini digunakan bonggol pisang tersebut sebelumnya

di bakar selama 30 menit selanjutnya diperas untuk mendapatkan air dari getah

pisang abati. Hasil perasan getah bonggol pisang abati tersebut, kemudian

diencerkan dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% menggunakan aquadest

steril.

3.7.4 Uji Sensitifitas Antibakteri

3.7.4.1 Pembuatan Larutan NaCl 0,9 %

Melakukan pembuatan NaCl 0,9 % dengan menimbang bahan NaCl sesuai

dengan volume media yang yang akan dibuat. Melarutkan bahan yang telah

ditimbang tadi dengan akuades di dalam bekerglass. Memasukkan kedalam labu

ukur (sesuai dengan volume yang ingin dibuat). Lalu cukupkan dengan akuades

hingga garis batas. Memasukkan ke dalam tabung masing-masing 5 ml, lalu

20
disterilkan dalam autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah disterilkan,

siap untuk dipakai (Syamsuddin, 2018).

3.7.4.2 Pembuatan Media uji MHA (Mueller Hinton Agar)

Media untuk uji antibakteri yang digunakan adalah MHA (Mueller Hinton

Agar). Pembuatan media MHA dilakukan dengan membuat komposisi media

MHA yaitu pepton (6 g), kasein (17,5 g), pati (1,5 g) dan agar (10 g). Semua

kandungan tersebut (38 g) dilarutkan dalam 1 liter (1000 ml) aquadest. Cara

membuatnya dengan menimbang bahan sebanyak 38,0 g dan melarutkan dalam

akuades sampai volume 1000 ml, kemudian mengatur pH-nya. Mensterilkan

dalam autoklaf 1210c selama 15 menit. Dan membiarkan dingin sampai mencapai

suhu 45-500C (dapat pula disimpan di lemari es) (Syamsuddin, 2018).

3.7.4.3 Regenerasi Bakteri Staphylococcus aureus

Bakteri yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus

aureus. Bakteri tersebut sebelum digunakan untuk uji aktivitas antibakterinya,

terlebih dahulu dilakukan regenerasi. Langkah pertama yang dilakukan adalah

membuat biakan agar miring (media NA), adapun pembuatan media NA

dilakukan dengan komposisi media NA adalah Beef Extract 3,0 g, Pepton 5,0 g

dan Agar 15 g. Semua kandungan tersebut dilarutkan dalam 1 liter (1000 ml)

akuades (Syamsuddin, 2018). Cara membuatnya: mensuspensikan 23,0 g medium

ke dalam satu liter aquades atau deionized. Memanaskan medium sampai

mendidih agar tercampur dengan sempurna selama 1 menit. Mensterilisasikan

dalam autoklaf selama 15 menit, pada suhu 1210C, tekanan 1-2 atm. Menunggu

21
hingga agak dingin sekitar suhu 40- 450C. Menaruh ke cawan petri atau tabung

reaksi untuk membuat agar miring (Syamsuddin, 2018).

Bakteri uji yang digunakan diperoleh dari Universitas Gadjah Mada seksi

mikrobiologi, stok biakan murni. Bakteri tersebut diambil dengan menggunakan

nald kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu diinokulasi secara zig-zag

pada media Nutrient Agar kemudian diinkubasi ke dalam inkubator pada suhu

370C selama 1 × 24 jam (Syamsuddin, 2018).

3.7.4.4 Kulturasi Bakteri Staphylococcus aureus

Medium cair NB (Nutrient Broth) sebanyak 0,4 g dimasukkan ke dalam

erlenmeyer kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 50 ml. Lalu diletakkan di

atas hot plate stirer pada suhu 100 0C dan diaduk hingga mendidih. Setelah itu

media disterilisasi dalam autoclave pada suhu 1210C selama 15-30 menit. Media

yang telah disterilisasi dalam autoclave didinginkan terlebih dahulu dalam

laminary air flow. Selanjutnya biakkan bakteri Staphylococcus aureus dari hasil

peremajaan diinokulasikan ke dalam media sebanyak 1-2 ose, kemudian

dikulturasi menggunakan rotary shaker selama 48 jam (2 hari) pada suhu 370C

dengan kecepatan agitasi 160 rpm (Suduri, 2017; Karim, dkk, 2018).

3.7.4.5 Pengukuran Standar Kekeruhan Bakteri Staphylococcus aureus

Setelah dikulturasi, dilakukan pengukuran nilai absorbansi/kekeruhan pada

suspensi bakteri menggunakan spektrofotometer UV-Visible, dengan cara dituang

0,5 ml suspensi bakteri ke dalam kuvet dan ditambahkan 1,5 ml aquadest.

Selanjutnya kuvet yang berisi suspensi bakteri dimasukkan ke dalam

spektrofotometer UV-Visible, kemudian diukur kekeruhannya dengan panjang

22
gelombang 580 nm, hingga diperoleh nilai absorbansi kekeruhan (optical density)

pada suspensi bakteri uji adalah 0,600. Nilai optical density 0,600 atau nilai

kekeruhan ini akan digunakan sebagai standar kekeruhan suspensi bakteri uji

(Karim, et al, 2018).

3.7.4.6 Pembuatan Larutan Uji Diameter Daerah Hambat (DDH)

Air dari perasan batang pisang batu (Musa balbisiana Colla) masing-

masing dibuat 4 perlakuan dengan konsentrasi yang berbeda yaitu konsentrasi

25%, 50%, 75%, 100% dengan pelarut aquadest steril hingga homogen.

3.7.5 Pengujian Antibakteri Air Perasan Batang Pisang Batu

Sebanyak 60 ml media perbenihan Mueller-Hinton Agar dituang kurang

lebih 18 ml dalam cawan petri steril dan dibiarkan hingga merata dan membeku.

Sebanyak 500 μl inokulum bakteri 106 dipipet dan dituang dalam media yang

telah beku sambil digoyang-goyangkan hingga benar-benar merata. Setelah media

perbenihan rata dengan suspensi bakteri, sisa suspensi bakteri pada media

perbenihan dibuang ditempat yang aman. Cakram yang telah direndam selama 5

menit dalam larutan uji dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100% diletakkan di

atas media tersebut yang dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan (Kusuma, et al,

2019).

Media diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37˚C. Setelah 24 jam

dilakukan pengamatan dengan melihat ada tidaknya daerah hambat jernih di

sekitar cakram ditandai dengan adanya daerah hambatan di sekitar cakram

(Kusuma, et al, 2019). Selanjutnya, zona hambat atau zona bening yang terbentuk

diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong analitik.

23
3.7.6 Analisis Penghambatan Air Perasan Batang Pisang Batu (Musa

balbisiana Colla) terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus yang masih mampu tumbuh pada

konsentrasi tertinggi air perasan bonggol pisang abati/batu dilakukan uji lanjut

yaitu analisis pertumbuhan. Analisis penghambatan ditentukan dengan

menghitung kecepatan tumbuh spesifik dan waktu generasi yang ditumbuhkan

pada konsentrasi tertentu dibandingkan kontrol. Mengambil sebanyak 1 ose

bakteri Staphylococcus aureus dan diinokulasikan dalam 10 ml medium NB

selanjutnya diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam sebagai starter. Selanjutnya

10 ml (10%) bakteri diinkubasi pada sheker incubator (200rpm) suhu 37o C

selama 24 jam. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap interval 2 jam dengan

cara mengambil 1 ml suspensi bakteri selanjutnya dilakukan seri pengenceran

pada tingkat pengenceran 10-6. Masing-masing pengenceran ditumbuhkan secara

pour plate dan ditentukan populasi bakteri.

Untuk pengamatan penentuan waktu generasi (G) digunakan rumus:

log 2 (t)
g=
(log Xt-log Xo)

Keterangan :

g = Masa generasi (generasi/jam)

Xt = Jumlah sel bakteri pada waktu akhir (tx)

Xo = Jumlah sel bakteri pada waktu awal (to)

t = Waktu inkubasi dari to-tx

3.8 Tekhnik Pengumpulan Data

24
Tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara

mengukur zona hambat atau zona bening yang terbentuk dengan menggunakan

jangka sorong analitik. Bontjura, dkk (2015) menyatakan bahwa pengukuran

diameter zona hambat dapat dilakukan dengan menggunakan jangka sorong

dengan cara mengukur diameter cakram, diameter vertikal dan diameter

horizontal dengan cara menggunakan rumus dan ilustrasi seperti pada Gambar

3.1.

Gambar 3.1 Cara Pengukuran Diameter Zona Hambat (Bontjura dkk, 2015).

Pengamatan zona hambat atau zona bening dapat dilihat dari luasnya zona

bening yang terbentuk. Setiap luas zona bening yang terbentuk memiliki kategori

yang berbeda-beda dengan mengacu pada tabel kategori kekuatan berdasarkan

zona hambat atau zona bening yang dinyatakan oleh Greenwood dalam

Widyaningtias (2014) tabel 1.

Tabel 3.1 Kategori Kekuatan Aktivitas Antibakteri

No Kode Diameter Zona Hambat (mm)

.
1 Tidak Aktif (-) ≤10
2 Lemah (+) 11 – 15
3 Sedang (++) 16 – 20
4 Kuat (+++) ≥ 20
(Sumber : Widyaningtias, 2014).

25
3.9 Tekhnik Analisis Data

3.9.1 Analisis Deskriptif

Pengaruh air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana colla) terhadap

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dianalisis secara deskriptif. Hasil

pengamatan sensitivitas bakteri Staphylococcus aureus dilihat dari terbentuknya

zona bening dari perlakuan air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana

colla).

3.6.2 Analisis Statistika

Penelitian ini menggunakan analisis One Way Anova dengan menggunakan

uji F untuk mengetahui pengaruh air perasan batang pisang batu (Musa balbisiana

colla) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Tetapi bila sebaran

data tidak normal, maka dilakukan uji alternatif yaitu Kruskal-Wallis. Apabila

pada uji ANOVA didapatkan hasil yang signifikan yaitu p <0,05 maka dilakukan

analisis Post-hoc. Uji Post-hoc untuk ANOVA satu arah adalah bonferroni

sedangkan uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

26

Anda mungkin juga menyukai