Kel.6 - Case Study Psikososial
Kel.6 - Case Study Psikososial
KONSEP DIRI
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikososial dan
Budaya Dalam Keperawatan
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga Makalah
Case Study Konsep Diri untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikososial dan
Budaya Dalam Keperawatan ini dapat selesai tepat dengan waktu. Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Endang
Pertiwiwati, Ns., M.Kes.S pada mata kuliah Psikososial dan Budaya Dalam
Keperawatan.
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I KASUS
Kondisi Andri saat ini sudah mulai stabil dan ia direncanakan menjalani program
rehabilitasi. Dokter juga merencanakan akan memasang kaki prostetik pada Andri.
Anda adalah seorang perawat yang merawat Andri dan hari ini Anda melakukan
tindakan perawatan luka amputasi. Selama tindakan, Andri tidak mau melihat
bagian kakinya yang terluka dan menolak untuk mendiskusikan program
rehabilitasi yang akan ia jalani. Ibu Andri juga mengatakan kepada Anda bahwa
putranya menjadi pemurung dan tidak banyak bicara.
1
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Diri
Konsep diri merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu self schema.
Istilah dalam psikologi memiliki dua arti yaitu sikap dan perasaan seseorang
terhadap dirinya sendiri dan sesuatu keselurhan proses psikologi yang menguasai
tingkah laku dan penyesuaian diri (Suryabrata, 1982).
Konsep diri adalah pemahaman tentang diri sendiri yang timbul akibat
interaksi dengan orang lain. Konsep diri merupakan faktor yang menentukan
(determinan) dalam komunikasi kita dengan orang lain. Konsep diri adalah
pandangan dan perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini bisa bersifat
psikologis, sosial dan fisik (Widiarti, 2017).
Kebanyakan ahli-ahi tentang diri setuju, bahwa konsep diri secara jelas dapat
terdiferensiasikan dan terstruktur, yang merupakan suatu keseluruhan yang stabil.
Sepanjang kehidupan, konsep diri berkembang dan berubah secara berkelanjutan,
meskipun sulit untuk membedakan antara perkembangan dan perubahan konsep
diri. Struktur diri berkembang dan berubah seiring waktu (Widiarti, 2017).
2
Citra tubuh individu berkembang sesuai dengan tahapan usia. Pakaian,
mainan, perkakas, dan barang-barang pribadi mencerminkan cara individu
memandang dan memperlakukan dirinya. Individu mempergunakan hal-hal yang
ada di sekitar tubuhnya untuk memahami dirinya sendiri. Begitu pula dengan
jabatan dan harta kekayaan yang dimiliki oleh individu memiliki fungsi yang
sama, yaitu dipergunakan oleh individu untuk dapat memahami dan menjelaskan
dirinya sendiri. Citra tubuh adalah gambaran mental individu dan penilaian
terhadap tubuhnya sendiri serta merupakan bagian integral dari konsep diri. Citra
tubuh umumnya dibentuk dengan membandingkan nilai fisik dengan standar
keindahan dari suatu kebudayaan. Oleh sebab itu, citra diri yang berkembang
pada suatu masyarakat bisa berbeda dari masyarakat di kebudayaan yang berbeda.
Saat gambaran diri yang sesungguhnya mendekati citra tubuh yang ideal, individu
akan merasakan penerimaan yang positif terhadap dirinya sendiri (Yusuf et al.,
2015).
3
agar hal ini tetap menjadi pendorong dan memungkinkan untuk dicapai
(Yusuf et al., 2015).
Perilaku yang muncul terkait harga diri yang rendah (Yusuf et al., 2015):
a) Kritik (negatif) terhadap diri sendiri dan orang lain
b) Penurunan produktivitas
c) Self-destructive
4
d) Merasa bersalah dan kuatir
e) Menunda-nunda dalam mengambil keputusan
f) Menolak merasakan kepuasan terhadap diri sendiri
g) Hubungan yang tidak stabil dengan orang lain
h) Menghindari/menolak kenyataan
i) Perilaku destruktif lainnya.
5
konsistensi dari seorang individu sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi.
Identitas diri digunakan individu untuk membuat dirinya berbeda dan terpisah
dari orang lain yang bukan dirinya, sekaligus menjadi seseorang yang utuh dan
unik (Yusuf et al., 2015).
Berikut kategori perkembangan identitas diri:
a) Pencapaian identitas (krisis yang mengarah kepada komitmen).
Status identitas yang ditandai dengan komitmen untuk memilih melalui
sebuah krisis pencarian identitas dan merupakan periode yang dihabiskan
untuk mencari alternatif penyelesaian krisis. Sepanjang periode krisis,
remaja yang berada pada level ini mencurahkan banyak pikiran dan
pergulatan emosional terhadap berbagai isu utama dalam kehidupan
mereka. Mereka telah membuat keputusan dan menunjukkan komitmen
yang kuat terhadap keputusan mereka. Orangtua biasanya mendorong anak
untuk membuat keputusan mereka sendiri, mendengarkan idenya, dan
memberikan pandangan tanpa menekan anak untuk mengadopsi
pandangan mereka. Contoh dari kondisi ini adalah seseorang yang
mengetahui minat dan kecocokannya pada bidang kesehatan (krisis sudah
ada) dan mengambil jurusan keperawatan di perguruan tinggi dan
menjalaninya (komitmen telah ada). Riset pada pada sejumlah kultur
menemukan bahwa orang-orang yang berada dalam kategori ini lebih
matang dan kompeten dalam relasi dibandingkan orang-orang yang berada
dalam tiga kategori lainnya (Yusuf et al., 2015).
b) Foreclosure (komitmen tanpa krisis).
Status identitas di mana seseorang tidak banyak menghabiskan banyak
waktu mempertimbangkan berbagai alternatif (karenanya tidak berada di
dalam krisis) dan melaksanakan rencana yang disiapkan orang lain untuk
dirinya. Contohnya seorang remaja yang kuliah di akademi kepolisian
(komitmen ada) karena pilihan dan tuntutan dari orang tuanya yang juga
bekerja sebagai anggota kepolisian (krisis tidak ada). Anak yang berada
pada fase ini merasa bahagia dan percaya diri, bahkan mungkin puas diri,
dan menjadi dogmatis ketika pilihan hidupnya dipertanyakan. Mereka
6
memiliki ikatan keluarga yang kuat, patuh, dan cenderung mengikuti
pemimpin yang kuat (otoriter) dalam keluarga (Yusuf et al., 2015).
c) Penundaan (krisis tanpa komitmen).
Merupakan status identitas di mana seseorang sedang mempertimbangkan
berbagai alternatif (berada dalam krisis) dan tampaknya mengarah kepada
komitmen. Mereka mungkin akan keluar dari krisisnya dengan
kemampuan membuat komitmen dan mendapatkan identitas (Yusuf et al.,
2015).
d) Difusi identitas (tidak ada komitmen, tidak ada krisis).
Status identitas yang ditandai oleh ketiadaan komitmen dan kurangnya
pertimbangan serius terhadap berbagai alternatif yang tersedia. Anak
remaja yang berada pada kategori ini tidak mempertimbangkan pandangan
dan pilihan yang ada dengan serius dan menghindari komitmen. Mereka
tidak yakin akan diri sendiri dan cenderung tidak kooperatif. Orang tua
mereka tidak mendiskusikan masa depan anak dengan dirinya dan
cenderung mengungkapkan bahwa hal tersebut terserah kepada anak.
Orang-orang yang berada dalam kategori ini cenderung tidak bahagia,
biasanya merasa kesepian karena hanya memiliki relasi yang bersifat
dangkal (Yusuf et al., 2015).
Marcia mendeskripsikan krisis sebagai suatu masa perkembangan identitas di
mana remaja memilah-milah alternatif-alternatif yang berarti, dan komitmen
sebagai investasi personal dalam pekerjaan atau sistem keyakinan (ideologi).
Difusi identitas dapat berubah ke moratorium jika individu tersebut mulai
mencoba mencari tahu secara serius sejumlah alternatif yang dapat digunkannya
sebagai pilihan untuk membuat komitmen, dapat berubah lagi menjadi status
identitas foreclosure jika individu tersebut berhasil membentuk komitmen
terhadap suatu pekerjaan,adopsi nilai/keyakinan serta seksualitasnya jika tanpa
melalui proses pencarian dan pemilihan alternatif sebelum komitmen tersebut
dibuat , atau akan tetap mengalami difusi identitas jika individu tersebut tidak
pernah berusaha untuk melakukan pancarian alternatif dan membuat komitmen
terhadap suatu pilihan hidup (Yusuf et al., 2015).
7
Seseorang dengan rasa identitas yang kuat akan merasa terintegrasi (utuh) dan
tidak terbelah. Pencapaian identitas diperlukan untuk membangun hubungan yang
intim karena identitas individu diekspresikan dalam berhubungan dengan orang
lain (Yusuf et al., 2015).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat disumpulkan bahwa
komponen konsep diri yang terganggu pada Andri adalah citra tubuh, karena
Amputasi sendiri akan berpengaruh besar pada konsep diri klien, karena amputasi
adalah tindakan memotong anggota tubuh. Kehilangan anggota tubuh dengan cara
amputasi adalah beban dalam kehidupan bermasyarakat. Anggapan tidak
lengkapnya anggota tubuh klien sangat berpengaruh pada citra tubuh Andri.
8
seseorang akan menilai dan memandang dirinya sendiri melalui penilaian ataupun
perlakuan orang lain terhadap dirinya (Setiawan, 2018).
Colley (dalam Bracken, 1996) menggungapkan hal yang serupa dengan
reflected appraisals milik Sulivan yang dinamakan oleh Cooley sebagai looking
glass self. Menurut Cooley, individu memandang dirinya merupakan refleksi dari
perlakuan dan pendapat orang lain mengenai dirinya yang nantinya akan
mempengaruhi tingkah laku individu tersebut. Ada 3 hal elemen utama mengani
konsep diri yaitu: persepsi tentang penampilan individu terhadap orang lain,
persepsi tentang penilaian orang lain terhadap penampilan individu tersebut, dan
perasaan dinilai seperti bangga atau malu.Melalui elemen-elemen inilah konsep
diri akan terbentuk dan konsep diri yang terbentuperk merupakan kesesuaian
antara persepsi individu tentang dirinya dengan persepsi orang lain terhadap
individu itu sendiri (Setiawan, 2018).
Combs dan Snygg (dalam Fitts, 1971) menekankan pentingnya peran
keluarga dalam pembentukan konsep diri, karena keluarga adalah tempat pertama
seseorang menyadari dan berinteraksi. Di dalam keluargalah pertama kali
seseorang menemukan konsep dirinya dan ini akan mempengaruhi perilakunya di
masa depan (Setiawan, 2018).
Terjadinya perkembangan konsep diri menunjukan bahwa konsep diri tidak
terberi dan menetap tetapi merupakan satu proses panjang yang dapat berubah.
Simmons (dalam Fitts,1971) mengatakan bahwa perubahan konsep diri yang
terbesar terjadi pada usia 12 tahun (remaja awal), dimana pada usia ini individu
cenderung menunjukan konsep diri serta persepsi yang kurang baik pada dirinya.
Hal ini disebabkan karena perubahan fisik yang sangat cepat. Tetapi seiring
berjalannya waktu konsep diri menjadi semakin menetap. Dan konsep diri mulai
menetap dan stabil pada usia remaja akhir dan menjelang dewasa (Setiawan,
2018).
9
D. Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri
1. Pola asuh orang tua
Berdasarkan penelitian dan teori, hadirnya orang tua akan mempengaruhi
seorang anak dalam membentuk dan perkembangan konsep dirinya, hal ini sejalan
dengan penelitian bahwa anak-anak jalan cenderung memiliki konsep diri yang
negatif, karena orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dan paling kuat.
Akibatnya, orang tua menjadi sangat penting di mata anak. Apa yang
dikomunikasikan oleh orang tua lebih menancap daripada informasi lain yang
diterima anak sepanjang hidupnya (Saraswatia et al., 2018).
2. Teman sebaya
Pengaruh teman sebaya pada pembentukan konsep diri remaja memang sangat
besar, hal ini dikarenakan pada usia remaja, kebutuhan emosional individu beralih
dari orang tua kepada teman sebaya. Masa ini, teman sebaya juga merupakan
sumber informasi. Tidak terkecuali dalam pembentukan konsep diri, sayangnya
informasi yang diberikan oleh teman sebaya cenderung salah. Remaja berusaha
menemukan konsep dirinya di dalam kelompok sebayanya. Di sini remaja dinilai
oleh teman sebayanya tanpa memperdulikan sanksi-sanksi orang dewasa.
Kelompok sebaya memberikan lingkungan, yaitu dunia tempat remaja dapat
melakukan sosialisasi di mana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan
oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya. Inilah letak berbahayanya
bagi teman sebaya memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan remaja
(Saraswatia et al., 2018).
10
4. Peranan harga diri
Intepretasi hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh peranan harga diri
terhadap konsep diri remaja pada siswa SMPN 13 Yogyakarta. Pernyataan ini
didukung teori yang menyatakan bahwa peranan harga diri mempengaruhi konsep
diri seseorang. Harga diri adalah deskripsi secara lebih mendalam mengenai citra
diri, yang merupakan penilaian terhadap diri sendiri. Harga diri akan berpengaruh
terhadap tingkah laku seseorang. Kepuasan hidup dan kebahagiaan mempunyai
korelasi dengan harga diri (Saraswatia et al., 2018).
11
2) Motivasi Pasien untuk melihat/meminta bantuan keluarga dan perawat
untuk melihat dan menyentuh bagian tubuh secara bertahap.
3) Diskusikan aspek positif diri.
4) Bantu Pasien untuk meningkatkan fungsi bagian tubuh yang terganggu
(misalnya menggunakan anus buatan dari hasil kolostomi).
5) Ajarkan Pasien meningkatkan citra tubuh dengan cara:
a. Motivasi Pasien untuk melakukan aktivitas yang mengarah pada
pembentukkan tubuh yang ideal.
b. Gunakan protese sesegera mungkin,gunakan pakaian yang baru.
c. Motivasi pasien untuk melihat bagian yang hilang secara bertahap.
d. Bantu pasien menyentuh bagian tersebut.
6) Lakukan interaksi secara bertahap dengan cara:
a. Susun jadwal kegiatan sehari-hari.
b. Motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan terlibat dalam
aktivitas keluarga dan sosial.
c. Motivasi untuk mengunjungi teman atau orang lain yang berarti
atau mempunyai peran penting baginya.
d. Berikan pujian terhadap keberhasilan Pasien melakukan interaksi
c) Cara perawat membina hubungan saling percaya ketika melakukan
pengkajian dan tindakan keperawatan.
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara:
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non-verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai.
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien.
12
2. Diagnosis Keperawatan
Data Kemungkinan Penyebab Masalah
DS: Tidak ada Kerusakan atau Gangguan citra tubuh
kehilangan bagian tubuh, berhubungan dengan cedera
DO: Pasien terlihat tidak ingin perubahan ukuran,
melihat bagian kakinya yang bentuk dan penampilan
terluka tubuh, dan tindakan
pembedahan
DS: Ibu pasien mengatakan -Tidak komunikatif, Isolasi sosial: berhubungan
anaknya menjadi pemurung dan menarik diri dengan perubahan penampilan
tidak banyak bicara -Efek sedih, ingin fisik
menyendiri
DO: Menolak mendiskusikan
program rehabilitasi yang akan
pasien jalani
13
penampilan tubuh tubuh pasien
- Penyesuaian terhadap - Bantu pasien memisahkan
perubahan tampilan fisik penampilan fisik dari
- Penyesuaian terhadap perasaan berharga secara
perubahan fungsi tubuh pribadi, dengan cara yang
- Penyesuaian terhadap tepat
perubahan tubuh akibat - Bantu pasien
cedera mendiskusikan stressor
- Penyesuaian terhadap yang mempengaruhi citra
perubahan tubuh akibat tubuh terkait dengan
pembedahan kondisi kongenital,
cedera, penyakit atau
pembedahan
- Identifikasi dampak dari
budaya pasien, agama, ras,
jenis kelamin terkait
dengan citra tubuh
- Monitor frekuensi dari
pernyataan mengkritis diri
- Monitor apakah pasien
bisa melihat bagian tubuh
mana yang berubah
- Tentukan persepsi pasien
dan keluarga terkait
dengan perubahan citra
tubuh
- Tentukan apakah
perubahan citra tubuh
berkontribusi pada
peningkatan isolasi sosial
- Bantu pasien untuk
14
mengidentifikasi bagian
tubuhnya yang memiliki
persepsi positif terkait
dengan tubuhnya
- Bantu pasien untuk
mengidentifikasi tindakan
yang akan meningkatkan
penampilan
Isolasi sosial: berhubungan NOC: NIC:
dengan perubahan -Social Support Socialization Increase
penampilan fisik Indikator: - Anjurkan kesabaran dalam
- Kemauan untuk pengembangan hubungan
menghubungi orang lain - Berikan umpan balik
untuk meminta bantuan mengenai perbaikan
- Dukungan emosi yang dalam perawatan
disediakan oleh orang penampilan pribadi atau
lain kegiatan lainnya
- Koneksi dukungan sosial - Anjurkan kejujuran dalam
- Jaringan sosial yang mempresentasikan diri
stabil sendiri ke orang lain
- Tingkatkan berbagai
masalah umum dengan
orang lain
- Fasilitasi masukan pasien
dan perencanaan kegiatan
di masa depan
- Anjurkan perencanaan
kelompok kecil untuk
kegiatan khusus
15
4. Implementasi
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi keperawatan.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi kembali apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan
pasien saat ini (Prabowo, 2015).
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan mengharuskan perawat melakukan pemeriksaan secara
kritikal dan menyatakan respon pasien terhadap intervensi yang telah diberikan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP yaitu sebagai
berikut:
a) S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dan dapat diukur misalnya dengan menanyakan “bagaimana
perasaan mas Andri setelah kita mendiskusikan aspek positif dalam diri
mas Andri?”
b) O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dan dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada
saat komunikasi dan tindakan dilakukan.
c) A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
masalah tersebut masih muncul atau muncul masalah baru atau ada data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
d) P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respons
pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh
perawat.
Pasien dan keluarga perlu dilibatkan dalam evaluasi agar perawat dapat
melihat perubahan yang terjadi pada pasien. Pada tahap evaluasi sangat diperlukan
adanya reinforcement untuk menguatkan perubahan yang positif. Pasien dan
keluarga juga harus diberikan motivasi untuk melakukan self reinforcement
(Prabowo, 2015).
16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep diri adalah pemahaman tentang diri sendiri yang timbul akibat
interaksi dengan orang lain. Konsep diri merupakan faktor yang menentukan
(determinan) dalam komunikasi kita dengan orang lain. Konsep diri adalah
pandangan dan perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini bisa bersifat
psikologis, sosial dan fisik. Faktor yang memengaruhi konsep diri adalah pola
asuh orang tua, teman sebaya, peranan penampilan fisik, dan peranan harga diri.
Komponen konsep diri terdiri dari citra tubuh, ideal diri, harga diri, performa
peran, dan identitas personal.
B. Saran
Masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini oleh karena itu kami
mengharapkan agar para pembaca mengkritisi makalah yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
Saraswatia, Gita Kania, Zulpahiyana Zulpahiyana, and Siti Arifah. 2018. Faktor
Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja di SMPN 13 Yogyakarta.
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia. 3.1: 33-38
Widiarti, P.W., 2017. Konsep diri (self concept) dan komunikasi interpersonal
dalam pendampingan pada siswa SMP se kota Yogyakarta. INFORMASI
Kajian Ilmu Komunikasi, 47(1), pp.135-148.
Yusuf, A., P.K., R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa Yogyakarta (Issue May 2015). Salemba Medika.
18