Oke 1
Oke 1
Staphylococcus aureus
Oleh:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
JUNI 2009
LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH
Staphylococcus aureus
Oleh :
Sri Agung Fitri Kusuma,M.Si., Apt.
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak (Gambar 2.1). Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada
halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.
aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan
2. Patogenisitas
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga
1
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai
abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994).
Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi
kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula
terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan
nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah
bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis,
aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung
pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang
2
ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari
permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-
anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi
dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan
luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai
zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena
adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
3
penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri
3. Hemolisin
sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin,
beta hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang
S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis
pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama
pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat
5. Toksin eksfoliatif
4
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa
4. Pengobatan
antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat,
kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz
et al., 1995).
5
4.1 Kloramfenikol
1947 dari Streptomyces venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan cepat,
karena mempunyai daya antibiotika yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui bahwa
4.1.2 Farmakokinetik
luas ke seluruh tubuh, termasuk ke jaringan otak, cairan serebrospinal, dan mata.
Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, sedangkan
6
pasien gangguan fungsi hati dapat diperpanjang menjadi 24 jam, sekitar 80-90 %
dalam bentuk aktif, sedang sisanya dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain
yang tidak aktif. Pada kasus gagal ginjal, waktu paruh kloramfenikol bentuk aktif
tidak berubah, tetapi terjadi akumulasi metabolitnya yang non toksik. Oleh karena
itu, pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan gagal ginjal, dosis antibiotik ini
sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom. Obat ini berikatan
secara spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari amino asil t-RNA) atau
pada bagian peptidil, yang merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan
Asam amino
7
Kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang efektif
Katzung, 1998).
8
DAFTAR PUSTAKA
Brown, T.A. 1995. Gene Cloning. 3rd Ed. London: Chapman & Hall. p. 234-237.
Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.
Conecticut: Appleton & Lange, Simon & Schuster Company. p.197-202.
Fischetti, A.V., R.P. Novick, J.J. Ferreti, D.A. Portnoy, and J.I. Rood. 2000. Gram
Positif. Washington DC: ASM Press. p.315
Garna, H., N. Sekarwana, dan Azhali. 1989. Result of Salmonella typhi culture in
Patient with Suspected Typhoid Fever. Journal Pediatrica Indonesiana. 29,
hal. 105-111.
Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.
Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa :
Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.
211,213,215.
Karsinah, Lucky H.M., Suharto, dan Mardiastuti H.W. 1994. Batang Negatif
Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta :
Penerbit Binarupa Aksara. hal. 161-162.
Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. USA: Prentice Hall
Inc, Appleton & Lange. p.743-745.
Mycek, M.J., R.A. Harvey, and P.C. Champe, 1997. Inhibitor of Cell Wall
Synthesis In: Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wikins. p.297-310.
Prescott, L.M., J.P. Harley, and D.A. Klein. 2003. Microbiology. 5th ed. New
York : Mc Graw Hill. p.809.
9
Retnoningrum, D.S. 1998. Mekanisme dan Deteksi Molekuler Resistensi
Antibiotika pada Bakteri. Bandung: Farmasi ITB. Hal. 1-5, 16-21.
Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,
and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lange. p.254.
Shanahan, P.M.A., M.V. Jesudason, C.J. Thomson, and S.G.B. Amyes. 1997.
Molecular Analysis of and Identification of Antibiotic Resistance Genes in
Clinical Isolates of Salmonella typhi from India. http://www. OJHAS 2004-
4-1 Shrikala Baliga, Drug Resistance in Salmonella Typhi Tip of the
Iceberg.htmL (diakses November 2005).
Tortora, G.J., B.R. Funke, and C.L. Case. 2001. Microbiology an Introduction. 7th
ed. USA : Addison Wesley Longman, Inc. p.50-51,89,240.
10