Sanksi adat merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan
ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat. Sanksi adat mempunyai fungsi sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia gaib dan dunia lahir..Dan daerah sendiri Aceh merupakan daerah yang sangat kental dengan nilai keIslamannya, dikarenakan hampir seluruh penduduk Aceh beragama Islam, sehingga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari selalu berpegangan kepada Hukum Islam. Pada umumnya, para perantau Minang ini atau suku Aneuk Jamee mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya. Hampir tidak pernah terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini berpedoman kepada pepatah bijak Minangkabau: ”Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjung” yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri. Namun, Pada awal merantaunya masyarakat Minangkabau ke Kecamatan Tapaktuan, tidak sedikit dari mereka yang masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi..Dalam masyarakat minang ada beberapa jenis pelanggaran adat yang juga memuat sanksi-sanksi adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat kesatuan sosial tidak hanya satu, sehingga warga masyarakat dapat menjadi bagian dari kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat.Sistem kekerabatan suku Aneuk Jamee yang matrilineal berlangsung sejak lama. Hal itu terjadi secara turun-temurun. Nenek moyangnya orang Minang menurunkannya dari suatu generasi ke generasi berikutnya, hingga kini masih bertahan dan belum mengalami perubahan. Kekerabatan ini dapat bertahan lama karena sangat mengakar dalam kehidupan orang Minang, sehingga ia tertanam di tengah-tengah budaya Minangkabau. Dalam masyarakat Aneuk Jamee yang merupakan perantau suku minang di dalam sukunya yang berhak memberi hukuman kepada seseorang adalah kaum atau sukunya. Jadi setiap suku harus bertanggung jawab terhadap tingkah laku anggotanya. Apabila salah seorang anggota kaum melakukan pelanggaran maka pihak yang pertama memikul hukuman adalah kaum kerabatnya sendiri, sedangkan pelaku kejahatan diberi hukuman oleh kaum kerabatnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan berdasarkan kemufakatan anggota kaum secara bersama. Setiap orang merupakan saudara dari warga sukunya, maka sistem peradilan dalam masyarakat Minang tetap bersifat kekeluargaan. Keputusan yang diambil tetap mempertimbangkan keadilan sehingga tidak menimbulkan persengketaan baru. Dalam pelaksanaan peradilan tetap berpegang pada pola awak samo awak, maksudnya setiap orang yang bersalah tetap dihukum dan dipandang saudara sendiri. Tibo di mato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan (kena mata tidak dipejamkan, kena perut tidak dikempiskan) (Navis, 1984:113). Jenis kesalahan yang diproses secara berkaum disebut bakandang ketek, hanya sebatas pada kesalahan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang sesuku, sedangkan kesalahan yang melibatkan antar suku diproses di balai adat yang dihadari oleh penghulu kedua belah pihak dan juga oleh penghulu dari pihak lain. Perkembangan Hukum Adat Perkembangan hukum adat yang ada di suku Aneuk Jamee terdapat di Tiap perkampungan ditandai oleh adanya meunasah, andaikata takdiketemukan mesjid. Meunasah berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar mengaji(Al-Quran), melakukan shalat berjemaah (kecuali shalat Jumat), tempat tidurpemuda, dan pusat aktifitas perkampungan, di samping itu kadang kaladipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan instruksi-instruksi olehpimpinan kampung. Dengan kata lain meunasah ini mengandung fungsi sosial dankeamanan. Di daerah adat Aneuk Jamee ditemukan pula suatu bangunan yang hampir mirip dengan meunasah disebut surau dan dayah.Beda antara surah dengan meunasah terletak pada si pemakainya, di mana pada lembaga yang terakhirini dipergunakan juga untuk kaum wanita untuk menyelenggarakan shalatberjemaah. Di daerah adat Aceh, AneukJamee dan Tamiang termasuk juga ke dalamnya anak perempuan beserta suaminya,yang belum dipisahkan "dapur" (di daerah adat Aceh disebut "peumeukleh ", didaerah adat Aneuk Jamee disebut "paasieng paasieng pariuk", di daerah adatTamiang disebut "peumeukleh" juga. Kadang kala terdapat juga keluarga batihpoligami. Bentuk keluarga batih yang terakhir hanya terdapat pada seseorang yangmempunyai isteri lebih dari satu. Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi dan kesatuan adat, dalam hal ini laki-laki lebih dititikberatkan tanggung jawabnya dalam usaha perekonomian, hubungan pemerintahan dan kemasyarakatan. Sedangkan kaum wanita di samping bertugas membantu kaum laki-laki dalam berbagai usaha, juga peranannya lebih dituntut untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Semua masyarakat adat di daerah Aceh, anak lelaki peranannya sangat penting, dalam sistem kekerabatannya. Penempatan anak lelaki pada tempat yang penting bisa dipahami, karena anak lelaki sebagai penerus keturunan dan gelar kebangsawan (termasuk "belah" di daerah adat Gayo dan "marge" di daerah adat Alas), di samping erat hubungannya dengan agama Islam. Seperti diketahui agama Islam menempatkananak lelaki pada tempat yang penting seperti tercermin dalam hukum perkawinandan perwalian. Penempatan anak lelaki pada tempat yang penting, toh tidak berarti anak perempuan dikurangi harkatnya. Semua masyarakat adat mengakui eksistensianak pcrempuan sebagai makhluk yang diperlukan perlindungan. Bahkan di daerahAneuk Jamee, anak perempuan mempunyai tempat tersendiri dalam kerangka adatperkawinan. Di daerah tersebut terdapat kecenderungan mewarisi rumah kepadaanak perempuan. Maksud yang tersimpul dalam pewarisan yang semacam itu,disebabkan adanya tertanam suatu anggapan bahwa, rumah yang didiami oleh anakperempuan itu merupakan tempat saudara lelakinya berteduh, apabila terjadipercekcokan dengan isterinya. Masyarakat adat Aceh, Aneuk Jamee, dan Tamiang menganut prinsip kekeluargaan bilateral dan parental. Mengingat demikian maka jarak jauh dekat seseorang anak dengan saudara-saudara lelaki ayahnya dan saudara lelaki ibunya berlangsung berdasarkan sistem parental atau bilateral. Dalam hubungan hukum seperti terlihat dalam segi hukum perkawinan dan per"walian" si anak lebih dekat kepada saudara laki laki pihak ayahnya atau disebut wali. Sebaliknya dalam segi adat dan kanun demikian juga pergaulan si anak lebih dekat dengan saudara laki- laki pihak ibunya yang sering disebut "karong".Masyarakat adat Aceh demikian juga masyarakat adat Aneuk Jamee, Tamiang,Gayo dan Alas mengenal suatu kerangka istilah kekerabatan dalam hubungan antardiri (inter personarrelationship). Kerangka istilah kekerabatan itu mencakupperbedaan jenis kelamin, umur, dan status dalam kekeluargaan yang mencerminkansopan santun dalam interaksi antara anggota kekeluargaan, prinsip-prinsip tersebutdipelihara baik dalam suatu sistem tutur keluarga.