Anda di halaman 1dari 19

PITIRIASIS VERSICOLOR

Pendahuluan
Tinea versikolor atau disebut pitiriasis versikolor disebabkan ragi lipofilik dari genus
Malassezia, yang merupakan infeksi superfisial yang paling sering sering terjadi dan memiliki
angka kejadian kekambuhan yang tinggi setelah selesai pengobatan1. Gejala klinis yang sering
muncul adalah makula hipo atau hiperpigmentasi pada bagian dada, leher dan lengan atas 2-4
Eichstedt pertama menemukan bahwa tinea versikolor adalah infeksi jamur pada tahun
1846. Selama beberapa tahun diyakini bahwa ragi adalah jenis jamur yang normal ada
dipermukaan kulit. Kemudian pada tahun 1889 Baillon memastikan bahwa jamur yang
menyebabkan tinea versikolor adalah jenis ragi dan memiliki nama Malassezia dan dimasukkan
kedalam spesies microsporum dari dermatophytes. Pada tahun 1951 Gordon mendreskripsikan
karakteristik dari M.furfur dan menggantikan namanya menjadi Pityrosporum orbiculare.
Sehingga pada saat ini M.furfur juga sering disebut P. orbiculare, P. ovale, dan M. ovalis3,5,6
Tinea versikolor merupakan infeksi jamur tersering di wilayah khatulistiwa dan nomer
dua tersering di Indonesia5,6. Angka kejadian semakin bertambah pada musim panas. Faktor yang
mempengaruhi tinea versikolor ada yang dari dalam dan luar tubuh3,6.
Gejala klinis utma yang diberikan oleh tinea versikolor cukup bermacam-macam warna
makula yang timbul, yang kadang disertai adalah rasa gatal yang jarang atau bahkan tidak ada.
Sehingga alasan utama pasien untuk datang berobat adalah alasan kosmetik adanya macula yang
mengganggu kosmetik 5-8.
Penegakan diagnosis untuk penyakit ini yang utama adalah secara klinis dan anamnesis
serta dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis penyakit yang
sering disebut panu tersebut2,3,8.
Dalam pengobatan tinea versikolor dapat diterapi secara topikal dan sistemik tergantung
pada tingkat keparahan dari penyakit tersebut. Pilihan obat bermacam-macam untuk terapi
penyakit disebabkan oleh jamur Malassezia furfur ini2,3,9.
Pencegahan penyakit tersebut sangat dibutuhkan karena penyakit tersebit sangat sering
terjadi kekambuhan2.

Pitiriasis Versikolor Page 1


Defenisi
Tinea versikolor atau disebut pitiriasis versikolor disebabkan ragi lipofilik dari genus
Malassezia, yang merupakan infeksi superfisial yang paling sering sering terjadi dan memiliki
angka kejadian kekambuhan yang tinggi setelah selesai pengobatan1. Gejala klinis yang sering
muncul adalah macula hipo atau hiperpigmentasi pada bagian dada, leher dan lengan atas2-4.
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur universal dan paling sering ditemukan di daerah
tropis, istilah berhubungan dengan gejala perubahan warna kulit yang disebabkan oleh infeksi
jamur tersebut. Perubahan warna kulit yang terjadi dapat berwarna putih (hipopigmentasi), coklat
kehitaman (hiperpigmentasi) dan merah muda.3,5,6

Sinonim
Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis versikolor
flava, panu dan panau.2,3

Epidemiology
Spesis Malassezia adalah ragi saprofytik yang tumbuh pada kulit normal pada bagian kepala,
punggung dan leher yang merupakan daerah pada tubuh yang memiliki kandungan lemak yang
banyak10,11. Penyakit ini sering mengenai anak muda terutama pada masa pubertas. Pada masa ini
terjadi peningkatan sebum dalam kelenjar sebasea yang mengakibatkan peningkatan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan jamur tersebut secara berlebihan. Pertumbuhan yang
berlebihan tersebut juga dapat disebabkan oleh perubahan hormonal, malnutrisi, penggunaan
kontrasepsi oral dan hiperhidrosis12. Angka kejadian pitiriasis versikolor di dunia sebesar 20-
25% populasi dunia menderita penyakit ini. Pada daerah tropis angka kejadian pitiriasis
versikolor pada daerah tropis sebesar 30-40% populasi diwilayah tropis menderita penyakit ini
10,13
tetapi hanya 60% dari populasi yang menunjukkan gejala klinis . Angka kejadian pitiriasis
versikolor tertinggi terjadi pada saat musim panas, ini berhubungan dengan sifat dari jamur
penyebab1,7,11,15.

Di Indonesia yang berada disekitar garis ekuator memiliki suhu sekitar 30 0 sepanjang
tahun dan memiliki kepadatan pendudukan mencapai 70%. pitiriasis versikolor merupakan
dermatomikosis nomer 2 terbanyak di Indonesia 12.

Pitiriasis Versikolor Page 2


Pada sebuah penelitian di Argentina, pasien laki-laki dan perempuan yang menderita
pitiriasis versikolor memiliki jumlah yang sama. Pasien yang menderita pitiriasis versikolor
terbanyak adalah pasien pada rentan umur diantara 20-30 tahun. pitiriasis versikolor paling
banyak di temukan pada bagian punggung pasien.6

Etiology
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia Furfur yang merupakan spesies dari genus
malassezia, Family Filobasidiaceae, Ordo Tremellales, Class Hymenomycetes, Filum
Basidiomycota dan Kingdom Fungi. Malassezia yang memiliki 13 spesies diantaranya M.
Furfur, M. Sympodialisis, M. restricta, M. glabosa, M. Obtusa, M. caprae, M. slooffiae, M.
japonica, M. nana, M. yamatoensis, M. equine, M. pachydermatis. Dari sejumlah spesies diatas,
M. furfur dan M. sympodialis merupakan spesis terbanyak yang ditemukan pada pasien penderita
pitiriasis versikolor di Jakarta14. Pada penelitian lainnya ditemukan M. glabosa pada 955 pasien
yang menderita pitiriasis versikolor di Amerika5,11.

Spesies Malassezia merupakan jamur yang senang hidup didaerah dengan kelembaban
tinggi, temperatur yang tinggi dan daerah yang memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi.11,14

M. furfur dapat di kultur dari daerah lesi yang mengalami kelainan sebagai patogen dan
pada kulit normal sebagai flora normal dapat ditemukan di daerah yang memiliki kelenjar sebum
di tubuh7. M. furfur bersifat lipofilik, dapat tumbuh in vitro hanya pada penambahan olive oil dan
lanolin. Pada kondisi tertentu M. furfur berubah dari bentuk saprofitic menjadi bentuk parasitik
mycelial yang dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis. Faktor yang berperan dalam hal
tersebut adalah suhu yang meningkat, kelembaban yang meningkat, herediter, cushing’s sindrom,
immunosupresan dan malnutrisi8,12,. Pada pasien yang telah sembuh pengobatan dan dilakukan
pemeriksaan kultur, masih dapat di temukan M. furfur pada lesi tersebut. Ini yang mengakibatkan
pitiriasis versikolor merupakan penyakit yang sering terjadi kekambuhan5. Pada penelitian
ditemukan bahwa 80% pasien pitiriasis versikolor akan mengalami kambuhan setelah 2 tahun.
Sehingga membutuhkan pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan. Faktor lain yang
berperan dalam angka kejadian pitiriasis versikolor adalah penggunaan minyak atau lotion pada
pasien meningkatkan angka kejadian.1

Pitiriasis Versikolor Page 3


Spesies Malassezia dapat dibedakan berdasarkan nutrisi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan, morfologi, dan secara molekular biologi. M pachydermatis merupakan genus
malassezia yang dapat tumbuh eksogen tanpa membutuhkan lemak untuk bertumbuh. M.
sympodialis merupakan penyebab kelainan kulit pada bayi dan neonatus.

Cara Penularan
Sebagian besar kasus pitiriasis versikolor terjadi karena aktivasi Malassezia pada tubuh penderita
sendiri (autothocus flora), walaupun dilaporkan adanya penularan dari individu lain. Kondisi
patogen terjadi bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi
sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu malassezia akan berkembang ke bentuk
miselial dan bersifat lebih patogenik.

Patogenesis
Pitiriasis versikolor muncul ketika M. furfur berubah bentuk menjadi bentuk miselia karena
adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun edogen. Faktor eksogen meliputi panas dan
kelembaban. Hal ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak dijumpai di
daerah tropis dan pada musim panas di daerah sub tropis. Faktor eksogen lainnya adalah
penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana mengakibatkan peningkatan konsentrasi
CO2, mikroflora dan pH.

Faktor endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi


immunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu diabetes
melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan dan penyakit berat memudahkan
timbulnya pitiriasis versikolor. Pada pasien dengan cushing sindrom mengalami penigkatan
kortisol dalam darah juga berarti terjadi peningkatan lemak dalam tubuh yang berperan dalam
mendukung pertumbuhan M. furfur. Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh adanya toksin
yang langsung menghambat pembentukan melanin dan adanya C9 dan C11 asam decarbosilat
yang dihasilkan oleh Pityrosporum yang merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase.
Tirosinase adalah enzim yang berpran dalam pembentukan melanin. Mekanisme lainnya adalah
M. furfur menghambat pertumbuhan stratum korneum. Mekanisme dari macula hiperpigmentasi
adalah terjadi penipisan stratum korneum oleh M. furfur yang mengakibatkan munculnya reaksi

Pitiriasis Versikolor Page 4


radang sehingga muncul macula tersebut dan juga karena ada penimpisan stratum korneum
mengakibatkan meningkatnya kemungkinan infeksi sekunder15.

Gejala Klinis
Pitiriasis versikolor paling sering mengenai usia belasan walaupun pada beberapa penelitian
ditemukan paling banyak terjadi pada rentan usia 20-30 tahun2,12.
Pada penderita umunya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula atau berupa plak
berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) yang berbatas tegas dan rasa
gatal yang ringan pada umunya muncul saat berkeringat 1,3,4,16,. Pada pasien dengan kulit terang
akan muncul bercak hiperpigmentasi atau eritama sedangkan pasien dengan kulit gelap atau
hitam bercak muncul berupa bercak hipopigmentasi. Pasien sering mengeluhkan adanya bercak
yang mengganggu kosmetik pasien7. Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama
sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan
pada lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus. Pada
kulit hitam atau kecoklatan umumnya berwarna putih sedang pada kulit putih atau terang
cenderung berwarna coklat atau kemerahan. Makula umunya khas berbentuk bulat atau oval
tersebar pada daerah yang terkena. Pada beberapa lokasi yang selalu lembab, misalnya pada
daerah dada, kadang batas lesi dab skuama menjadi tidak jelas18.

Lesi pitiriasis versikolor terutama dijumpai dibagian atas dada dan meluas ke lengan atas,
leher, tengkuk, perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus dimana lesi hanya
dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapat tekanan pakaian, misalnya pada bagian
yang tertutup pakaian dalam. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan axial, inguinal atau pada kulit
muka dan kepala.1,-5,10

Untuk menunjukkan adanya skuamasi secara sederhana dapat dilakukan garukan dengan
kuku, akan nampak batas yang jelas antara lesi dan kulit normal8.

Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran
seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Lesi yang kecil biasanya berbentuk bulat atau oval.
Beberapa kasus didaerah berhawa dingin dapat sembuh total. Pada sebagian besar kasus
pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi macula hipopigmentasi yang menetap
hingga beberapa bulan tanpa adanya skuama.

Pitiriasis Versikolor Page 5


Berikut adalah beberapa contoh lesi pada pitiriasis versikolor

Pitiriasis Versikolor Page 6


Gamba 1. A. Makula Hiperpigmentasi pada punggung, B. Makula Eritematous pada axial, C. Makula
hipopigmentasi pada lengan atas, D. Makula Hipopigmentasi pada dada 5,16,19

Diagnosis
Diagnosis klinis pitiriasis versikolor ditegakkan berdasarkan adanya makula hipopigmentasi,
hiperpigmentasi atau kemerahan yang berbatas sangat tegas, tertutp skuama halus. Pemeriksaan
dengan lampu wood akan menunjukkan adanya pendaran (florosensi) berwarna kuning muda

Pitiriasis Versikolor Page 7


pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopi sedaian skuama dengan KOH memperlihatkan
kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan misselium kasar, sering terputus-putus (pendek-
pendek), yang akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat tinta Parker blue-black atau biru
laktofenol. Gambaran ragi dan misselium tersebut sering dilukiskan sebagai meat boll and
spaghetti. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokkan menggunakan skapel tumpul
atau menggunakan selotip yang dilekakan pada lesi. Pembuktian dengan biakan malassezia tidak
diagnostik oleh karena Malessezia merupak flora normal kulit2,3,5,8,12,16,20.

Pitiriasis Versikolor Page 8


Gambar 2. A. M. furfur pada pewarnaan KOH, B. M. furfur pada pewarnaan dengan tinta Parker
Blue5,8

Pada pemeriksaan biopsy menunjukkan stratum korneum yang tipis bersama dengan hifa
dan spora. Pada lesi, terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasias,
tidak ada melanosit dan minimal infiltrate sel radang.

Gambar 3. Gambaran histopatology pada pitiriasis versikolor dengan pewarnaan HE21

Diagnosis Banding

Pitiriasis versikolor sering di diagnosis banding dengan MH tipe TT, vetiligo, pitiriasis alba,
pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, sefilis sekunder. Vetiligo dibedakan dengan adanya total
depigmentasi pada lesi dan ukuran lesi pada vetiligo lebih besar dibanding pitiriasis versikolor
dan kloasma dibedakan dengan tidak dijumpainya skuama. Dermatitis seboroik, pitiriasis rosea,
sufulis sekunder, pinta dan tinea corporis umumnya menunjukkan adanya tingkat inflamasi yang
lebih hebat. Eritrasma umunya menyerupai pitiriasis versikolor bentuk hiperpigmentasi atau
eritematosa, tetapi memberikan floresensi kemerahan pada pemeriksaan dengan lampu wood.
Membedakan pitiriasis versikolor dengan MH tipe TT adalah pada lesi MH terdapat anastesi, dan
anhidrosis, serta pada pemeriksaan fisis lainnya ditemukan tanda-tanda pembesaran saraf dan
lainnya yang mendukung kearah MH.1,3,5,8,10,22,

1. Morbus Hansen

Pitiriasis Versikolor Page 9


Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita Morbus Hansen mempunyai ciri-ciri
yang khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi. Lesi dapat satu atau banyak,
berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini
terjadi karena menurunnya aktivitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah
melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan
mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom.

Gambar 4. Gambar macula hipopigmentasi pada MH tipe BL23

2. Vitiligo
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial
ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas, dan asimtomatis.
Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, bergaris tengah
beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi
berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo
mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang terpajan (muka,
dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium
(sekitar mulut, hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang
menonjol (jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan sel
melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood
makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo
dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya22,24

Pitiriasis Versikolor Page 10


Gambar 4. Vitiligo 22,24.

3. Hipopigmentasi Post Inflamasi


Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi
misalnya Lupus eritematosus diskoid, Dermatitis atopik, Psoriasis, Parapsoriasis gutata
kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai
dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah
menderita psoriasis25.
Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan mulai menghilang
setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar
matahari22,25.
Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari
melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis, hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari
edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika
diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan
gambaran penyakit kulit primernya25.

Pitiriasis Versikolor Page 11


Ganbar 5. Hipopigmentasi Post Inflamasi 25
4. Pitiriasis Alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3 – 16 tahun (30 – 40%). Wanita dan pria
sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau
sesuai warna kulit dengan skuama kulit diatasnya. Setelah eritema menghilang, lesi yang
dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang
berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4 – 20. Pada
anak-anak lokasi kelainan pada muka (50 – 60%), Paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi,
dan dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi
dapat juga terasa gatal dan panas22,26.
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan terdapat
hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan dapat dibedakan dari Vitiligo dengan adanya batas
yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu
Wood.
Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca inflamasi
dan efek penghambatan sinar ultraviolet oleh epidermis yang mengalami hiperkeratosis dan
parakeratosis.

Pitiriasis Versikolor Page 12


Gambar 6. Pitiriasis alba pada anak-anak 26

Pengobatan
Pengobatan ini harus dilakukan secara holistik, tekun, serta konsisten. Obat-obatan yang dapat
dipakai yaitu1,2,3,8,9,16,17,18,27,:
1. Topikal: ditujukan untuk lesi yang minimal. Sedian obat topical antara lain solision, sampo,
paint atau cat, cream dan ointment.
 Suspensi selenium sulfide (selsun yellow) yang dapat dipakai sebagai shampoo 2 – 3 kali
seminggu selama 2 – 4 minggu. Obat ini digosokkan pada lesi dan didiamkan 15 – 30
menit sebelum mandi. Obat ini memiliki kekurangan yaitu bau yang kurang sedap dan
kadang bersifat iritatif dan mengakibatkan kulit menjadi kering sehingga menyababkan
pasien kurang taat melakukan pengobatan2,3.
 Salisil spiritus 10%.
 Derivat-derivatazol, misalnya Mikonazol 2%, Klotrimazol 1%, Isokonazol 1%, dan
Ekonazol 1%.Dioleskan 1 – 2 kali sehari selama 2 – 3 minggu. Mikonasol memilliki
struktur yang sama dengan econazole, obat ini melakukan penetrasi sampai ke stratum
korneum dan bertahan selama 4 hari setelah pemakaian. Kurang 1% diserap masuk
kedalam darah. Efek samping dari pengguanaan obat ini adalah rasa terbakar dan muncul
rekasi alergi. Obat ini termasuk aman untuk pasien hamil. Klotrimazol diserap kurang dari
0.5% oleh kulit yang intak. Berefek fungisidal 3 hari setelah pemakaian dan sebagian kecil
dimetabolisme di hati dan keluar melalui empedu. Pada penggunaan secara topikal akan
menimbulkan rasa tersengat, eritema, gatal, deskuamasi dan urtikaria. Ekonazol

Pitiriasis Versikolor Page 13


merupakan derifat dari mikonazol berkerja menembuh stratum korneum bahkan sampai ke
lapisan dermis kulit. Kurang dari 1% diserap oleh darah. Efek samping yang sering
muncul adalah lokal eritema, rasa tersengat, rasa terbakar, dan gatal9,28.29
 Sulfur prespitatum dalam bedak kocok 4 – 20%. Sulfur terbukti baik untuk pengobatan
pitiriasis versikolor,
 Tolsiklat, Tolnaftat,. Tolnaftat sangat efektif untuk pitiriasis versikolor yang disebabkan
oleh M. furfur, hampir tidak ada laporan mengenai rekasi alergi dari obat tersebut.
Tersedia dalam bentuk krim 1%, gel, bedak dan solution. Obat ini digunakan selama 7
sampai 21 hari.
 Haloprogrin.
 Larutan Tiosulfasnatrikus 25%. Larutan ini dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi. Obat ini
digunakan selama 2 minggu3.

2. Sistemik: digunakan pada kondisi tertentu misalnya jika adanya resistensi pada obat topikal,
lesi yang luas, dan sering terjadinya kekambuhan.
 Ketokonazol dengan dosis 1 x 200 mg selama 10 hari atau 400 mg dosis tunggal.
Ketokonazol tersedia dalam bentuk tablet 200 mg, merupakan turunan imidazol dengan
struktur mirip mikonazol dan klotrimazole. Obat ini bersifat lipofiliki dan larut dalam air
dalam kondisi asam. Penyerapan obat berfariasi secara individu, menghasilkan kadar
plasma yang cukup untuk menekan berbagai macam jamur. Penyerapan akan menurun pd
pH lambung yang tinggi, pada pemberian antagonis H2 atau bersama dengan antasida dan
penggunaan bersama dengan antikolinerjik akan menurunkan absorbs dan bioavibilitas
obat tersebut. Dalam waktu 2 jam 90-99% obat tersebut sudah berikatan dengan albumin.
Ketokonazol dimetabolisme di hepar dan 90% diekskresi melalui empedu dan saluran
cerna dalam bentuk tidak aktif. Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal, tidak
berpengaruh terhadap obat tersebut. Obat tersebut berisifat hepatotoksic sehingga
diperlukan pemeriksaan fungsi hepar saat memulai, selama dan setelah pengobatan.
Ketokonazol menurunkan jumlah testoteron dalam serum, namun akan kembali normal
saat obat tersebut dihentikan. Obat tersebut meningkatkan efek dari obat antikoagulan dan
kortikosteroid 2,3,9,28,29.

Pitiriasis Versikolor Page 14


 Itrakonazol dengan dosis 200 mg per hari secara oral selama 5 – 7 hari atau 100mg/hari
selama 15 hari sampai 1 bulan atau 400mg dosis tunggal. Obat ini bersifat keratinofilik
dan lipofilik. Cara kerja dari obat ini adalah dengan menghambat C-demethylation pada
sintesis ergosterol yang sangat berperan dalam pembentukan membrane jamur. Obat ini
merupakan anti jamur derivate Trazol dengan spectrum luas dan lebih kuat dari pada
Ketokonazol dan disarankan untuk kasus yang relaps atau tidak responsef terhadap
pengobatan lainnya. Obat tersebut juga tersedia dalam bentuk injeksi intravena 10mg/ml
sering digunakan pada kasus aspiergilosis blastomicosis dan histoplasmosis. Pada
penggunan secara oral penyerapan akan lebih baik jika diberikan bersama dengan
makanan. Efek terhadap enzim hati lebih sedikit dibandingkan dengan ketokonazol. Pada
pasien dengan peningkatan enzim hepar akan meningkatkan jumlah itrakonazol dalam
plasma. pada sebuah penelitian menunjukkan penggunaan itrakonazol 400mg dosis
tunggal lebih baik dibandingkan dengan penggunaan 200mg/hari atau 100mg/hari selama
1 bulan2,3,9,27,28,29.
 Flukonazole 50mg/hari atau 150mg/minggu selama 1 bulan atau 400mg dosis tunggal,
pada anak-anak 3-6mg/kgBB/hari. Sedian obat tersebut yang ada di Indonesia 150 mg dan
50 mg. Obat tersebut diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi ada atau
tidaknya makanan dalam lambung atau tingkat keasaman lambung. Flukonazol tesebar
rata keseluruh cairan tubuh juga pada saliva dan sputum. Waktu paruh eliminasi obat ini
adalah 25jam dan di ekskresi melalui ginjal. Efek samping dari obat ini adalah gangguan
saluran cerna. Obat ini akan meningkatkan kadar plasma fenitoin dan sulfunilurea dan
menurunkan kadar plasma warfarin dan siklosporin. Efek samping dari obat ini adalah
mual dan muntah pada penggunaan diatas 200mg. pasien yang mengkonsumsi diatas
800mg/hari disarankan agar digunakan bersama dengan antiemetic2,3,9,27,28,29.

Selain itu, pakaian, kain seprai, handuk harus dicuci dengan air panas. Kebanyakan
pengobatan akan menghilangkan infeksi aktif (skuama) dalam waktu beberapa hari, tetapi
untuk menjamin pengobatan yang tuntas, pengobatan ketat ini harus diteruskan selama
beberapa minggu. Daerah hipopigmentasi belum akan tampak normal, namun lama-kelamaan
akan menjadi coklat kembali sesudah terkena sinar matahari.

Prognosis

Pitiriasis Versikolor Page 15


Prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan secara holistik, tekun, dan
konsisten. Pengobatan ini harus diteruskan selama 2 minggu setelah fluoresensi negative dengan
pemeriksaan lampu Wood dan sediaan langsung pun juga negatif.

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu menjaga higienitas perseorangan, hindari kelembaban
kulit yang berlebihan, dan menghindari kontak langsung dengan penderita. Penyakit ini
merupakan penyakit yang memiliki angka keambuhan sangat tinggi sekitar 80% dalam 2 tahun
sehingga diperlukan pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan dengan menggunakan
sampo selenium sulfide sekali seminggu dapat membatuh mencegah angka kekambuhan
penyakit tersebut. Cara lain untuk mencegah kekambuhan dari pitiriasis versikolor disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk mencegah kekambuhan. Pada daerah endemic
dapat disarankan memakai ketokonazol 200 mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau itrakonazole
200 mg sekali sebulan5.

Pitiriasis Versikolor Page 16


Daftar Pustaka

1. Straten MRV. Hossain MA. Ghannium MA. Cutaneus infections dermatophytosis,


onycomicosis, and tinea versicolor. 2003. Cleveland. Elsevier
2. Radiono S. Pitiriasis Versicolor. dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi
SR, Dwihastuti P, Widaty S. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta. Kolompok Studi
Dermatomikosis Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.
2004. hal 19-23
3. Budimulja U. Mikosis : Pitiriasis Versikolor dalam: Djuanda A. Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin. Ed.VI. Jakarta : balai Penerbit FKUI. 2010. hal 100-1
4. Chapman SW. Miscellaneous Mycoses and Algal Infections : Malasseziasis. in: Fauci
AS, et all. Harrison's Principles of Internal Medicine. New York. McGraw Hill. 2008. p:
5. Heffernan MP. Yeast Infections: Candidiasis, Pityriasis (Tinea) Versicolor. in: Freedberg
IM, Eizen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine 6th Ed. New York. : McGraw Hill. 2003. p: 2006-18
6. Guisano G. et al. Prevalenceof Malassezia species in pityriasis versicolor lesions in
northeast Argentina. 2010. Argentina
7. Rai MK. Wankhade S. Tinea Versicolor – An Epidemiology. 2009. Maharashtra. J
Microbial Biochem Technol.
8. Arenas R. Pityriasis Versicolor in: Tropical Dermatology. Texas. Landes Bioscience.
2001. p: 12-6
9. Anti Fungal agent in: Goodman and Gilman’s manual of pharmacology and
therapeutics. New York: Mc Graw Hill. 2008 p: 798-811
10. Patel S. Meixner JA. Smith MB. McGinnis MR. Superficial mycoses and
dermatophytes : Pityriasis versicolor. in Tyring SK, Lupi O, Hengge UR. Tropical
Dermatology. China Elsevier Inc. 2006. P187-8
11. Sharma R. Sharma G. Sharma M. Anti-Malassezia furfur activity of essential oils againt
causal agent of Pityriasis versicolor disease. 2012. India. Departemen of Botany
University of Rajasthan.
12. Gothamy ZMGE. A Review of Pityriasis Versicolor. 2004. Cairo. Departement of
Dermatology & Venereology AIn-Shams University.

Pitiriasis Versikolor Page 17


13. Havlickova B. Czaika VA. Friedrich M. Epidemiological trend in skin mycoses
worldwide. 2008. Germany. Blackwell Publishing Ltd.
14. Krisanti RIA. Bramono K. Wisnu IM. Identification of Malassezia species from pityriasis
versicolor in Indonesia and its relationship with clinical characteristics. 2008 Jakarta.
Blackwell Publishing
15. Choi S. Fungal Infections : Pityriasis Versicolor. in : Arndt KA, Hsu JTS. Manual of
Dermatologic Therapeutics, 7th Ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins. 2007. p:
91-2
16. Khachemoune A. Dermatologic Disorders : Tinea versicolor. in: Current Medical
Diagnosis and Treatment. 2011. New York. : McGraw Hill.
17. Hay RJ. Fungal and yeast infections. in: ABC of Dermatology. 4 th Ed. London. BMJ
Publishing group Ltd. 2003. p: 101-4
18. Berkshire R. Tinea Versicolor. NHF Foundation Trust. 2008
19. Paris LC. Tinea Versicolor. in: Frankel DH. Field Guide to Clinical Dermatology, 2nd Ed.
New York. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 65-6
20. James WD. Berger TG. Elston DM. Diseases Resulting from Fungi and Yeast : pityriasis
versicolor. in: Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada.
Elsevier Inc. 2006 p. 313-4.
21. Hinshaw M. Longley JB. Fungal diseases : Diseases caused by Malassezia Furfur. in:
Elder DE. Lever's Histopathology of the Skin, 9th Ed. New York. Lippincott Williams &
Wilkins. 2005. p: 609
22. Bahadoran P. Hypomelanoses and Hypermelanoses. in: Freedberg IM, Eizen AZ, Wolf
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
6th Ed. New York. : McGraw Hill. 2003. p: 838,58.
23. Kosasih A. Wisnu IM. Daili ESS. Menaldy SL. Kusta dalam: Djuanda A. Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Ed.VI. Jakarta : balai Penerbit FKUI. 2010. hal:73-88.
24. Callen JP. Vitiligo. in: Frankel DH. Field Guide to Clinical Dermatology, 2nd Ed. New
York. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 158-9
25. Callen JP. Hipopigmentasi postinflammatori. in: Frankel DH. Field Guide to Clinical
Dermatology, 2nd Ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 1554-5

Pitiriasis Versikolor Page 18


26. Jansen T. Seborrheic Dermatitis. in: Freedberg IM, Eizen AZ, Wolf K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 6th Ed. New
York. : McGraw Hill. 2003. p. 1998-1200
27. Bigby M. Casulo C. Pityriasis Versicolor.
28. Setiabudy R. Bahry B. Obat Jamur dalam : Farmako dan Terapi ed. 5 Jakarta : Balai
Penerbit FKUI 2011. hal: 571-84

Pitiriasis Versikolor Page 19

Anda mungkin juga menyukai