Pitiriasis Versikolor Print
Pitiriasis Versikolor Print
Pendahuluan
Tinea versikolor atau disebut pitiriasis versikolor disebabkan ragi lipofilik dari genus
Malassezia, yang merupakan infeksi superfisial yang paling sering sering terjadi dan memiliki
angka kejadian kekambuhan yang tinggi setelah selesai pengobatan1. Gejala klinis yang sering
muncul adalah makula hipo atau hiperpigmentasi pada bagian dada, leher dan lengan atas 2-4
Eichstedt pertama menemukan bahwa tinea versikolor adalah infeksi jamur pada tahun
1846. Selama beberapa tahun diyakini bahwa ragi adalah jenis jamur yang normal ada
dipermukaan kulit. Kemudian pada tahun 1889 Baillon memastikan bahwa jamur yang
menyebabkan tinea versikolor adalah jenis ragi dan memiliki nama Malassezia dan dimasukkan
kedalam spesies microsporum dari dermatophytes. Pada tahun 1951 Gordon mendreskripsikan
karakteristik dari M.furfur dan menggantikan namanya menjadi Pityrosporum orbiculare.
Sehingga pada saat ini M.furfur juga sering disebut P. orbiculare, P. ovale, dan M. ovalis3,5,6
Tinea versikolor merupakan infeksi jamur tersering di wilayah khatulistiwa dan nomer
dua tersering di Indonesia5,6. Angka kejadian semakin bertambah pada musim panas. Faktor yang
mempengaruhi tinea versikolor ada yang dari dalam dan luar tubuh3,6.
Gejala klinis utma yang diberikan oleh tinea versikolor cukup bermacam-macam warna
makula yang timbul, yang kadang disertai adalah rasa gatal yang jarang atau bahkan tidak ada.
Sehingga alasan utama pasien untuk datang berobat adalah alasan kosmetik adanya macula yang
mengganggu kosmetik 5-8.
Penegakan diagnosis untuk penyakit ini yang utama adalah secara klinis dan anamnesis
serta dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis penyakit yang
sering disebut panu tersebut2,3,8.
Dalam pengobatan tinea versikolor dapat diterapi secara topikal dan sistemik tergantung
pada tingkat keparahan dari penyakit tersebut. Pilihan obat bermacam-macam untuk terapi
penyakit disebabkan oleh jamur Malassezia furfur ini2,3,9.
Pencegahan penyakit tersebut sangat dibutuhkan karena penyakit tersebit sangat sering
terjadi kekambuhan2.
Sinonim
Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis versikolor
flava, panu dan panau.2,3
Epidemiology
Spesis Malassezia adalah ragi saprofytik yang tumbuh pada kulit normal pada bagian kepala,
punggung dan leher yang merupakan daerah pada tubuh yang memiliki kandungan lemak yang
banyak10,11. Penyakit ini sering mengenai anak muda terutama pada masa pubertas. Pada masa ini
terjadi peningkatan sebum dalam kelenjar sebasea yang mengakibatkan peningkatan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan jamur tersebut secara berlebihan. Pertumbuhan yang
berlebihan tersebut juga dapat disebabkan oleh perubahan hormonal, malnutrisi, penggunaan
kontrasepsi oral dan hiperhidrosis12. Angka kejadian pitiriasis versikolor di dunia sebesar 20-
25% populasi dunia menderita penyakit ini. Pada daerah tropis angka kejadian pitiriasis
versikolor pada daerah tropis sebesar 30-40% populasi diwilayah tropis menderita penyakit ini
10,13
tetapi hanya 60% dari populasi yang menunjukkan gejala klinis . Angka kejadian pitiriasis
versikolor tertinggi terjadi pada saat musim panas, ini berhubungan dengan sifat dari jamur
penyebab1,7,11,15.
Di Indonesia yang berada disekitar garis ekuator memiliki suhu sekitar 30 0 sepanjang
tahun dan memiliki kepadatan pendudukan mencapai 70%. pitiriasis versikolor merupakan
dermatomikosis nomer 2 terbanyak di Indonesia 12.
Etiology
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia Furfur yang merupakan spesies dari genus
malassezia, Family Filobasidiaceae, Ordo Tremellales, Class Hymenomycetes, Filum
Basidiomycota dan Kingdom Fungi. Malassezia yang memiliki 13 spesies diantaranya M.
Furfur, M. Sympodialisis, M. restricta, M. glabosa, M. Obtusa, M. caprae, M. slooffiae, M.
japonica, M. nana, M. yamatoensis, M. equine, M. pachydermatis. Dari sejumlah spesies diatas,
M. furfur dan M. sympodialis merupakan spesis terbanyak yang ditemukan pada pasien penderita
pitiriasis versikolor di Jakarta14. Pada penelitian lainnya ditemukan M. glabosa pada 955 pasien
yang menderita pitiriasis versikolor di Amerika5,11.
Spesies Malassezia merupakan jamur yang senang hidup didaerah dengan kelembaban
tinggi, temperatur yang tinggi dan daerah yang memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi.11,14
M. furfur dapat di kultur dari daerah lesi yang mengalami kelainan sebagai patogen dan
pada kulit normal sebagai flora normal dapat ditemukan di daerah yang memiliki kelenjar sebum
di tubuh7. M. furfur bersifat lipofilik, dapat tumbuh in vitro hanya pada penambahan olive oil dan
lanolin. Pada kondisi tertentu M. furfur berubah dari bentuk saprofitic menjadi bentuk parasitik
mycelial yang dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis. Faktor yang berperan dalam hal
tersebut adalah suhu yang meningkat, kelembaban yang meningkat, herediter, cushing’s sindrom,
immunosupresan dan malnutrisi8,12,. Pada pasien yang telah sembuh pengobatan dan dilakukan
pemeriksaan kultur, masih dapat di temukan M. furfur pada lesi tersebut. Ini yang mengakibatkan
pitiriasis versikolor merupakan penyakit yang sering terjadi kekambuhan5. Pada penelitian
ditemukan bahwa 80% pasien pitiriasis versikolor akan mengalami kambuhan setelah 2 tahun.
Sehingga membutuhkan pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan. Faktor lain yang
berperan dalam angka kejadian pitiriasis versikolor adalah penggunaan minyak atau lotion pada
pasien meningkatkan angka kejadian.1
Cara Penularan
Sebagian besar kasus pitiriasis versikolor terjadi karena aktivasi Malassezia pada tubuh penderita
sendiri (autothocus flora), walaupun dilaporkan adanya penularan dari individu lain. Kondisi
patogen terjadi bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi
sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu malassezia akan berkembang ke bentuk
miselial dan bersifat lebih patogenik.
Patogenesis
Pitiriasis versikolor muncul ketika M. furfur berubah bentuk menjadi bentuk miselia karena
adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun edogen. Faktor eksogen meliputi panas dan
kelembaban. Hal ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak dijumpai di
daerah tropis dan pada musim panas di daerah sub tropis. Faktor eksogen lainnya adalah
penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana mengakibatkan peningkatan konsentrasi
CO2, mikroflora dan pH.
Gejala Klinis
Pitiriasis versikolor paling sering mengenai usia belasan walaupun pada beberapa penelitian
ditemukan paling banyak terjadi pada rentan usia 20-30 tahun2,12.
Pada penderita umunya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula atau berupa plak
berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) yang berbatas tegas dan rasa
gatal yang ringan pada umunya muncul saat berkeringat 1,3,4,16,. Pada pasien dengan kulit terang
akan muncul bercak hiperpigmentasi atau eritama sedangkan pasien dengan kulit gelap atau
hitam bercak muncul berupa bercak hipopigmentasi. Pasien sering mengeluhkan adanya bercak
yang mengganggu kosmetik pasien7. Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama
sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan
pada lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus. Pada
kulit hitam atau kecoklatan umumnya berwarna putih sedang pada kulit putih atau terang
cenderung berwarna coklat atau kemerahan. Makula umunya khas berbentuk bulat atau oval
tersebar pada daerah yang terkena. Pada beberapa lokasi yang selalu lembab, misalnya pada
daerah dada, kadang batas lesi dab skuama menjadi tidak jelas18.
Lesi pitiriasis versikolor terutama dijumpai dibagian atas dada dan meluas ke lengan atas,
leher, tengkuk, perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus dimana lesi hanya
dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapat tekanan pakaian, misalnya pada bagian
yang tertutup pakaian dalam. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan axial, inguinal atau pada kulit
muka dan kepala.1,-5,10
Untuk menunjukkan adanya skuamasi secara sederhana dapat dilakukan garukan dengan
kuku, akan nampak batas yang jelas antara lesi dan kulit normal8.
Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran
seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Lesi yang kecil biasanya berbentuk bulat atau oval.
Beberapa kasus didaerah berhawa dingin dapat sembuh total. Pada sebagian besar kasus
pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi macula hipopigmentasi yang menetap
hingga beberapa bulan tanpa adanya skuama.
Diagnosis
Diagnosis klinis pitiriasis versikolor ditegakkan berdasarkan adanya makula hipopigmentasi,
hiperpigmentasi atau kemerahan yang berbatas sangat tegas, tertutp skuama halus. Pemeriksaan
dengan lampu wood akan menunjukkan adanya pendaran (florosensi) berwarna kuning muda
Pada pemeriksaan biopsy menunjukkan stratum korneum yang tipis bersama dengan hifa
dan spora. Pada lesi, terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasias,
tidak ada melanosit dan minimal infiltrate sel radang.
Diagnosis Banding
Pitiriasis versikolor sering di diagnosis banding dengan MH tipe TT, vetiligo, pitiriasis alba,
pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, sefilis sekunder. Vetiligo dibedakan dengan adanya total
depigmentasi pada lesi dan ukuran lesi pada vetiligo lebih besar dibanding pitiriasis versikolor
dan kloasma dibedakan dengan tidak dijumpainya skuama. Dermatitis seboroik, pitiriasis rosea,
sufulis sekunder, pinta dan tinea corporis umumnya menunjukkan adanya tingkat inflamasi yang
lebih hebat. Eritrasma umunya menyerupai pitiriasis versikolor bentuk hiperpigmentasi atau
eritematosa, tetapi memberikan floresensi kemerahan pada pemeriksaan dengan lampu wood.
Membedakan pitiriasis versikolor dengan MH tipe TT adalah pada lesi MH terdapat anastesi, dan
anhidrosis, serta pada pemeriksaan fisis lainnya ditemukan tanda-tanda pembesaran saraf dan
lainnya yang mendukung kearah MH.1,3,5,8,10,22,
1. Morbus Hansen
2. Vitiligo
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial
ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas, dan asimtomatis.
Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, bergaris tengah
beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi
berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo
mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang terpajan (muka,
dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium
(sekitar mulut, hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang
menonjol (jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan sel
melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood
makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo
dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya22,24
Pengobatan
Pengobatan ini harus dilakukan secara holistik, tekun, serta konsisten. Obat-obatan yang dapat
dipakai yaitu1,2,3,8,9,16,17,18,27,:
1. Topikal: ditujukan untuk lesi yang minimal. Sedian obat topical antara lain solision, sampo,
paint atau cat, cream dan ointment.
Suspensi selenium sulfide (selsun yellow) yang dapat dipakai sebagai shampoo 2 – 3 kali
seminggu selama 2 – 4 minggu. Obat ini digosokkan pada lesi dan didiamkan 15 – 30
menit sebelum mandi. Obat ini memiliki kekurangan yaitu bau yang kurang sedap dan
kadang bersifat iritatif dan mengakibatkan kulit menjadi kering sehingga menyababkan
pasien kurang taat melakukan pengobatan2,3.
Salisil spiritus 10%.
Derivat-derivatazol, misalnya Mikonazol 2%, Klotrimazol 1%, Isokonazol 1%, dan
Ekonazol 1%.Dioleskan 1 – 2 kali sehari selama 2 – 3 minggu. Mikonasol memilliki
struktur yang sama dengan econazole, obat ini melakukan penetrasi sampai ke stratum
korneum dan bertahan selama 4 hari setelah pemakaian. Kurang 1% diserap masuk
kedalam darah. Efek samping dari pengguanaan obat ini adalah rasa terbakar dan muncul
rekasi alergi. Obat ini termasuk aman untuk pasien hamil. Klotrimazol diserap kurang dari
0.5% oleh kulit yang intak. Berefek fungisidal 3 hari setelah pemakaian dan sebagian kecil
dimetabolisme di hati dan keluar melalui empedu. Pada penggunaan secara topikal akan
menimbulkan rasa tersengat, eritema, gatal, deskuamasi dan urtikaria. Ekonazol
2. Sistemik: digunakan pada kondisi tertentu misalnya jika adanya resistensi pada obat topikal,
lesi yang luas, dan sering terjadinya kekambuhan.
Ketokonazol dengan dosis 1 x 200 mg selama 10 hari atau 400 mg dosis tunggal.
Ketokonazol tersedia dalam bentuk tablet 200 mg, merupakan turunan imidazol dengan
struktur mirip mikonazol dan klotrimazole. Obat ini bersifat lipofiliki dan larut dalam air
dalam kondisi asam. Penyerapan obat berfariasi secara individu, menghasilkan kadar
plasma yang cukup untuk menekan berbagai macam jamur. Penyerapan akan menurun pd
pH lambung yang tinggi, pada pemberian antagonis H2 atau bersama dengan antasida dan
penggunaan bersama dengan antikolinerjik akan menurunkan absorbs dan bioavibilitas
obat tersebut. Dalam waktu 2 jam 90-99% obat tersebut sudah berikatan dengan albumin.
Ketokonazol dimetabolisme di hepar dan 90% diekskresi melalui empedu dan saluran
cerna dalam bentuk tidak aktif. Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal, tidak
berpengaruh terhadap obat tersebut. Obat tersebut berisifat hepatotoksic sehingga
diperlukan pemeriksaan fungsi hepar saat memulai, selama dan setelah pengobatan.
Ketokonazol menurunkan jumlah testoteron dalam serum, namun akan kembali normal
saat obat tersebut dihentikan. Obat tersebut meningkatkan efek dari obat antikoagulan dan
kortikosteroid 2,3,9,28,29.
Selain itu, pakaian, kain seprai, handuk harus dicuci dengan air panas. Kebanyakan
pengobatan akan menghilangkan infeksi aktif (skuama) dalam waktu beberapa hari, tetapi
untuk menjamin pengobatan yang tuntas, pengobatan ketat ini harus diteruskan selama
beberapa minggu. Daerah hipopigmentasi belum akan tampak normal, namun lama-kelamaan
akan menjadi coklat kembali sesudah terkena sinar matahari.
Prognosis
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu menjaga higienitas perseorangan, hindari kelembaban
kulit yang berlebihan, dan menghindari kontak langsung dengan penderita. Penyakit ini
merupakan penyakit yang memiliki angka keambuhan sangat tinggi sekitar 80% dalam 2 tahun
sehingga diperlukan pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan dengan menggunakan
sampo selenium sulfide sekali seminggu dapat membatuh mencegah angka kekambuhan
penyakit tersebut. Cara lain untuk mencegah kekambuhan dari pitiriasis versikolor disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk mencegah kekambuhan. Pada daerah endemic
dapat disarankan memakai ketokonazol 200 mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau itrakonazole
200 mg sekali sebulan5.