Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Kurikulum dan Pendidikan Internasional

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Landasan Pedagogik yang
diberikan oleh Dr. Agus Taufiq, M.Pd

Disusun Oleh
Pisca Hana Marsenda
1803053
Kelas A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kurikulum dan Pendidikan
Internasional” Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, karena beliau kita dapat
mempelajari ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Landasan Pedagogik. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini, yakni kepada:
1. Bapak Dr. Agus Taufiq, M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah Landasan Pedagogik.
2. Orang tua dan keluarga yang senantiasa selalu memberikan doa, dukungan dan semangat
kepada penulis.
3. Teman-teman seperjuangan yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapat balasan bernilai ibadah di sisi
Allah SWT. Penulis telah berusaha membuat makalah ini sebaik mungkin, maka jika masih
terdapat kekeliruan yang luput dari koreksi, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Bandung, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... i


DAFTAR ISI........................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 3
1.3. Tujuan ...................................................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Internasional dari Berbagai Negara ................. 4
2.2 Isu Permasalahan Kurikulum di Indonesia ........................ 14
2.3 Solusi Permasalahan Kurikulum di Indonesia .................... 17
BAB III. KESIMPULAN................................................................. 20
DAFTAR RUJUKAN ..................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Semenjak
manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia telah berhasil
merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan.
Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia.
Secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam
bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah
satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju. Dan apabila sebuah
pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan atau malah
menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan. Karena pendidikan
adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target, metode dan sarana dalam
membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi dan beradabtasi dengan
lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi terwujudnya kemajuan yang lebih
baik. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya
melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan. Dan sebagai sarana untuk
meningkatkan mutu pendidikan diperlukan sebuah kurikulum.
Studi perbandingan pendidikan dalam hal ini kurikulum merupakan salah satu cara
untuk mengetahui berbagai aspek yang berhubungan dengan sistem pendidikan Indonesia
dengan Negara tertentu, terutama yang berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan
yang terjadi pada sistem pendidikan tersebut. Setiap negara memiliki cara tersendiri dalam
membentuk karakter masyarakatnya. Cara khas dari masing-masing negara yang memiliki
poin penekanan tertentu dalam tujuan pencapaiannya. Sehingga, memang tak dapat
dipungkiri segala sesuatunya akan menghasilkan dampak positif dan negatif. Keberhasilan
pencapaian suatu negara dalam membentuk karakter bangsanya tidak dapat dilihat melalui
satu sudut pandang saja, melainkan dengan dua sudut pandang berbeda. Dengan
perbandingan itulah kita dapat menyimpulkan apakah negara tersebut benar berhasil atau
tidak. Berdasarkan dua dampak yang dihasilkan, kita dapat membandingkan dampak yang
dominan dalam keseharian masyarakatnya. Hal tersebut adalah satu dari sekian banyak
tolak ukur dalam melihat keberhasilan suatu negara dalam mendidik karakter
masyarakatnya.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan
substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan
1
memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-
hari. Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas
yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan dan faktor-
faktor lingkungan dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun
demikian, perlu diingat bahwa faktor bawaan boleh dikatakan berada diluar jangkauan
masyarakat untuk mempengaruhinya (Raka, 2008).
Dasar dalam pembangunan karakter adalah lingkungan. Setiap lingkungan memiliki
kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang akan berwujud menjadi ciri khas dari setiap pribadi
didalamnya. Meskipun, setiap individu memiliki karakter internal dalam dirinya, sedikit
atau banyak lingkungan akan mampu mempengaruhinya. Hal inilah yang menjadi alasan
kenapa setiap pribadi harus benar-benar menelaah keadaan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan memiliki peran strategis karena pendidikan merupakan kunci kemajuan
sebuah bangsa. Peran strategis pendidikan bahwa pendidikan merupakan alat yang tidak
bisa dipisahkan dalam upaya untuk mewujudkan perdamaian sejati, kebebasan, dan
keadilan sosial. Pendidikan walaupun bukan merupakan sebuah obat ajaib atau magic
formula merupakan pembuka pintu dunia untuk kehidupan yang ideal, menumbuhkan
kehidupan yang lebih manusiawi dan dapat mengurangi kemiskinan, keterbelakangan,
kebodohan, ketertindasan dan perang (Delors, 1996 ; Hidayat, 2013).
Pendidikan adalah hal yang sangat strategis dalam suatu negara. Melalui pendidikan,
tidak hanya masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dapat terselesaikan, tetapi juga
masalah karakter. Karakter yang terbentuk dari sekolah dipengaruhi oleh proses kegiatan
pembelajaran yang terjadi didalam sekolah dan bagaimana interaksi peserta didik dengan
keluarga di sekolah. Oleh sebab itu, pendidikan karakter tidak dapat terlepas dari
pembelajaran di kelas. Melalui dasar pemikiran tersebut, penulis ingin mengajak pembaca
untuk bersama-sama menekur dan menelaah hal-hal baik dari kurikulum Pendidikan suatu
negara untuk dijadikan referensi ataupun sumber perbandingan dalam mengembangkan
cara penanaman karakter, khususnya karakter berkebangsaan dalam diri peserta didik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalahnya antara lain ;
1. Bagaimana sistem pendidikan internasional dari berbagai negara ?
2. Bagaimana isu permasalahan kurikulum pendidikan di Indonesia ?
3. Bagaimana solusi permasalahan kurikulum pendidikan di Indonesia ?

2
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :
1. Untuk memahami sistem pendidikan internasional dari berbagai negara
2. Untuk memahami isu permasalahan kurikulum pendidikan di Indonesia
3. Untuk menganalisis solusi permasalahan kurikulum Pendidikan di Indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Internasional dari Berbagai Negara


2.1.1 Pendidikan di Amerika
Setiap sistem pendidikan di Amerika Serikat dipengaruhi oleh berbagai hal yakni:
faktor sejarah, faktor geografi, faktor demografi, faktor kependudukan, faktor gender, dan
faktor perilaku (Nur, 2001). Iwan (2013) juga mengatakan bahwa berdasarkan letak
geografi, pembentukan lahirnya Amerika dari bangsa-bangsa asing yang mendiaminya,
paham kapitalis, dan nilai karakter orang Amerika, maka dapat mempengaruhi lahirnya
filsafat pendidikan yang dirumuskannya. Sekolah publik di Amerika Serikat merupakan
bagian dari daerah sekolah lokal. Namun, di sebagian besar negara bagian, daerah lokal
meliputi daerah georafis yang relatif kecil dan menjalankan sekolah-sekolah bagi anak-
anak yang ada di dalam komunitas-komunitas khusus.
Dilihat dari Budaya, Sosialisasi, dan Pendidikan bahwa gadis-gadis AS memiliki
skor membaca lebih tinggi daripada anak laki-laki, dan bahwa perempuan telah menjadi
mayoritas di lembaga pendidikan tinggi. Pola yang sama telah muncul di negara-negara
maju lainnya. Dengan beberapa pengecualian, seperti Jepang dan Turki, pendaftaran
perempuan di perguruan tinggi dan universitas di negara-negara kaya telah berkembang
sejauh bahwa lebih banyak perempuan daripada laki-laki memperoleh gelar pertama.
Namun, polanya berbeda di negara-negara berkembang, di mana laki-laki sering jauh lebih
banyak perempuan di pendidikan tinggi, sekolah menengah, dan, kadang-kadang, bahkan
sekolah-sekolah elit. Banyak analis percaya bahwa rendahnya rasio pendaftaran untuk
anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki di banyak negara berpenghasilan
rendah di Afrika dan Asia adalah penyebab dan efek dari masalah pembangunan ekonomi
(Ornstein dan Levine, 2008).
Para pimpinan atau kepala sekolah pada prinsipnya memiliki kebebasan dan
otonomi yang luas untuk menjalankan manajemen operasional pendidikan (Richard,
2000). Guru Sekolah dasar di Amerika Serikat dibekali pendidikan lanjutan mengenai
perkembangan cognitive and psychological development. Guru-guru di Amerika Serikat
telah menyelesaikan pendidikan lanjutan Sarjana dan atau Pasca Sarjana (Bachelors
and/or Masters degree) dalam bidang Early Childhood and Elementary Education.
Adapun persyaratan untuk menjadi seorang guru di Amerika Serikat berbeda di tiap
negara bagian, namun secara umum seseorang perlu memenuhi beberapa syarat sertifikasi
4
dan lisensi sebelum menjadi guru, diantaranya adalah telah memperoleh gelar sarjana,
menyelesaikan program persiapan guru, baik itu pada program sarjana, master, atau
program alternatif, mendapatkan sertifikat mengajar baik itu nasional ataupun sertifikat
dari negara bagian, memiliki pengalaman mengajar, memiliki Surat Kelakuan Baik,
melengkapi test sertifikasi mengajar seperti Praxis tes, dan juga tes khusus mengenai
konten dari subjek yang ingin diajarkan (Aerospace Industry Association, 2017).
Guru di Tingkat Primer Negara-negara yang relatif kaya, serta negara-negara yang
mengalokasikan banyak sumber daya mereka untuk pendidikan, dapat memberikan
tingkat layanan yang lebih tinggi daripada negara-negara miskin yang memobilisasi
sumber daya yang relatif sedikit untuk sekolah mereka. Sebagai contoh, rasio siswa-guru
tingkat dasar rata-rata cenderung jauh lebih tinggi di daerah yang lebih miskin daripada di
daerah yang lebih kaya. Lebih dari separuh penduduk Afrika melaporkan rasio siswa-guru
rata-rata lebih dari tiga puluh banding satu, sedangkan sebagian besar negara Eropa dan
Amerika Utara rata-rata dua puluh hingga satu atau kurang. Perbedaan besar juga muncul,
ketika kita membandingkan negara kaya satu sama lain, dan ketika kita membandingkan
negara miskin dengan negara miskin lainnya (Ornstein dan Levine, 2008).
Di tingkat negara bagian dibentuk sebuah badan yang diberi nama Board of
Education. Badan ini bertugas dan berfungsi membuat kebijakan- kebijakan serta
menentukan anggaran pendidikan untuk masing-masing wilayahnya (Negara Bagian),
khususnya berkenaan dengan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Selanjutnya,
untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan hal-hal yang lebih teknis (yaitu;
tentang kurikulum sekolah, penentuan persyaratan sertifikasi, guru-guru, dan pembiayaan
sekolah) dibentuk sebuah bagian pendidikan yang disebut sebagai comissioner, sering juga
disebut sebagai superintendent. Bagian ini dipimpin oleh seorang yang ditunjuk oleh
Board of Education atau oleh Gubernur (Wulandari, 2008).
Ornstein dan Levine (2008) menyatakan Amerika Serikat berada di peringkat
tengah di antara negara-negara yang termasuk dalam hal pendidikan kewarganegaraan,
bahasa asing, sastra. Penelitian selanjutnya, seperti PISA, PIRLS, dan TIMSS, juga telah
menemukan bahwa siswa di atas kelas empat secara umum peringkat mendekati rata-rata
untuk negara-negara industri, tetapi kinerja relatif mereka tampaknya telah menurun
dalam beberapa tahun terakhir.

5
2.1.2 Pendidikan di Jepang
Pendidikan karakter Jepang dilaksanakan di lembaga formal maupun lembaga non
formal. Di lembaga formal, tidak hanya sekedar diajarkan teorinya saja, melainkan lebih
banyak diajarkan praktik serta penerapan dari ajaran moral tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Di lembaga non formal, pendidikan karakter diajarkan di keluarga, masyarakat
serta perusahaan. Dalam keluarga yang memegang peranan penting dalam mengajarkan
karakter adalah ibu. Adapun pendidikan karakter dalam masyarakat Jepang lebih mengacu
kepada penanaman kedisiplinan agar masyarakat patuh hukum, tidak melanggar norma
dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan karakter pun dilakukan di
perusahaan-perusahaan Jepang sehingga perusahaan-perusahaan Jepang mempunyai
pekerja yang rajin, disiplin, bertanggung jawab, mempunyai loyalitas yang sangat tinggi
(Mulyadi, 2014).
Orstein dan Levine (2008) menambahkan bahwa keterlibatan orang tua yang kuat
sangat diharapkan. Secara khusus, ibu merasakan tanggung jawab besar untuk
keberhasilan anak di sekolah. Keluarga memberikan banyak dukungan dan motivasi yang
berkelanjutan, mulai dari perayaan masuk yang rumit sampai kelas pertama hingga
pendaftaran anak-anak secara luas di sekolah swasta tambahan, yang dihadiri siswa setelah
sekolah dan pada akhir pekan. Dibandingkan dengan orang tua AS, orang tua Jepang
menekankan upaya atas kemampuan ketika diminta untuk mengidentifikasi penyebab
keberhasilan atau kegagalan di sekolah.
Jepang sebagai negara maju memiliki sejarah perjalanan pendidikan yang khas,
khususnya perjalanan pendidikan sosial (social education) atau dalam bahasa Jepang
dikenal dengan sebutan shakai kyoiku atau di Indonesia dikenal dengan pendidikan luar
sekolah yang pada tahun 2007 berdasarkan Perpres No.17 dirubah menjadi pendidikan
nonformal. Diterapkannya konsep pendidikan social, diharapkan mampu merubah budaya
belajar masyarakat secara revolusioner. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan social
(social education) sangat pesat sejak mulai mendapatkan pengesahan tahun 1949 sampai
pada saat disusunnya aturan tentang lifelong learning promotion law tahun 1990. Salah
satu bentuk kegiatannya adalah Kominkan.
Kominkan didirikan dan disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat Jepang
sebagai wujud dari kepedulian pemerintah akan pentingnya rekonstruksi bidang
pendidikan dalam mengembalikan kejayaan Jepang sebagai negara yang berdaulat dan
demokrasi. Pemerintah Jepang pada saat itu menganggap, bahwa rekonstruksi bidang
pendidikan melalui sekolah atau pendidikan anak-anak tidaklah cukup, sehingga
6
diperlukan model pendidikan yang betul-betul mampu menyatu dan mampu melayani
seluruh kebutuhan pendidikan bagi masyarakatnya. Pada saat itulah konsep citizens’
public halls (Kominkan) direkomendasikan oleh pemerintah sebagai sebuah fasilitas
pendidikan sosial di setiap pemerintahan kota dengan harapan Kominkan dapat
membangun dan meningkatkan kemampuan, keterampilan dan kepercayaan diri
masyarakat Jepang (Sari, 2017).
Kominkan sebagai salah satu fasilitas layanan pendidikan sosial yang secara
terintegrasi memiliki tugas dalam mengembangkan pendidikan masyarakat dan
pendidikan orang dewasa dengan fasilitas-fasilitas pendidikan sosial lainnya seperti:
perpustakaan, museum, pusat pengembangan pemuda dan anak-anak, Pusat
pengembangan perempuan dan Pusat-pusat pengembangan layanan pendidikan sosial
lainnya. Sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat Jepang, terutama
perkembangan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, perhatian
pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan orang dewasa dan pendidikan masyarakat
melalui Kominkan tidak lagi hanya sekedar memperhatikan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan bagi masyarakat sebagai sebuah kebutuhan dasar akan tetapi sudah bergeser
kepada peningkatan self-actualization dan self-development masyarakat.
Keberadaan Kominkan di Jepang tidak terlepas dari Undang-Undang tentang
pendidikan sosial. Undang-undang Pendidikan Sosial bertujuan untuk mendirikan sistem
pendidikan di luar sistem pendidikan formal (sekolah) dengan model pembelajaran yang
lebih komprehensif dan dijamin akan lebih mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Undang-undang tersebut menegaskan, bahwa ruang lingkup pendidikan sosial, meliputi
penetapan: peran pemerintah, dewan pendidikan, staf (pegawai) pemerintah, dan lembaga-
lembaga sosial di daerah (Teuchi, 2006).
Siswa di Jepang diharuskan membersihkan lingkungan sekolahnya sendiri. Mulai
dari ruang kelas, kafetaria, sampai toilet. Tak ada petugas kebersihan yang diperkerjakan
di sekolah. Tujuannya membantu siswa untuk bertanggung jawab, bekerja dalam tim, dan
saling membantu. Selain itu, siswa tak cuma diajarkan pelajaran umum di sekolah, mreka
juga harus mempelajari budaya lokal. Satu di antaranya dengan belajar menulis kaligrafi
Jepang yang dikenal dengan nama shodo dan puisi Jepang (Purwaningrum, 2018). Rizal
(2017) menambahkan bahwa untuk menciptakan kebersamaan antara seluruh murid dan
guru, mereka semua selalu makan di ruangan bersama-sama. Tidak ada pula yang
namanya kesenjangan sosial atau membeda-bedakan satu sama lain di Jepang. Hal ini
disimbolkan dengan pakaian sekolah bergaya pelaut yang mereka kenakan.
7
Ornstein dan Levine (2008) menyatakan bahwa Studi prestasi internasional
menunjukkan bahwa siswa Jepang secara konsisten mencapai nilai tinggi dalam
matematika, sains, dan bidang studi lainnya. Sebagai contoh, Studi Internasional kedua
Prestasi dalam Matematika melaporkan bahwa siswa kelas delapan di Jepang rata-rata
menjawab 62 persen dari item tes dengan benar, dibandingkan dengan 45 persen di
Amerika Serikat dan 47 persen di seluruh delapan belas negara yang termasuk dalam
belajar. Sehubungan dengan prestasi sains di antara siswa kelas delapan, siswa Jepang
mencapai skor rata-rata 571, dibandingkan dengan rata-rata 541 untuk negara industri
lainnya termasuk dalam penilaian ketiga.

2.1.3 Pendidikan di Finlandia


Murid Finlandia hanya hanya sekali menghadapi satu kali ujian nasional ketika
berumur 16 tahun. Berbeda dengan murid di Indonesia yang hampir tiap semester
diadakan ujian. Bukannya hanya itu, pelajar di Finlandia mendapatkan waktu istirahat
hampir 3 kali lebih lama daripada pelajar di negara lain, pekerjaan rumah yang minim.
Namun dengan sistem yang leluasa itu mereka justru bisa belajar lebih baik dan jadi lebih
pintar.
Di Finlandia, Anak-Anak Baru Boleh Bersekolah Setelah Berusia 7 Tahun . Orang
tua jaman sekarang pasti udah rempong kalau mikir pendidikan anak. Anaknya belum
genap 3 tahun aja udah ngantri dapat pre-school bagus gara-gara takut kalau dari awal
sekolahnya gak bagus, nantinya susah dapat SD, SMP, atau SMA yang bagus. Di
Finlandia, tidak ada kekhawatiran seperti itu. Bahkan menurut hukum, anak-anak baru
boleh mulai bersekolah ketika berumur 7 tahun. Awal yang lebih telat jika dibandingkan
negara-negara lain itu justru berasal dari pertimbangan mendalam terhadap kesiapan
mental anak-anak untuk belajar. Mereka juga meyakini keutamaan bermain dalam belajar,
berimajinasi, dan menemukan jawaban sendiri.
Anak-anak di usia dini justru didorong untuk lebih banyak bermain dan
bersosialisasi dengan teman sebaya. Bahkan penilaian tugas tidak diberikan hingga
mereka kelas 4 SD. Hingga jenjang SMA pun, permainan interaktif masih mendominasi
metode pembelajaran. Pelajar di Finlandia sudah terbiasa menemukan sendiri cara
pembelajaran yang paling efektif bagi mereka, jadi nantinya mereka tidak harus merasa
terpaksa untuk belajar. Maka dari itu, meskipun mulai telat, tapi pelajar umur 15 di
Finlandia justru berhasil mengungguli pelajar lain dari seluruh dunia dalam tes
Internasional Programme for International Student Assessment (PISA).
8
Cara Belajar Ala Finlandia: 45 Menit Belajar, 15 Menit Istirahat. Orang-orang
Finlandia meyakini bahwa kemampuan terbaik siswa untuk menyerap ilmu baru yang
diajarkan justru akan datang, jika mereka memilliki kesempatan mengistirahatkan otak
dan membangun fokus baru. Mereka juga jadi lebih produktif di jam-jam belajar karena
mengerti bahwa toh sebentar lagi mereka akan dapat kembali bermain. Di samping
meningkatkan kemampuan fokus di atas, memiliki jam istirahat yang lebih panjang di
sekolah juga sebenarnya memiliki manfaat kesehatan karena mereka lebih aktif bergerak.
Semua Sekolah Negeri di Finlandia Bebas dari Biaya. Sekolah Swasta Pun Diatur
Secara Ketat Agar Tetap Terjangkau. Satu lagi faktor yang membuat orang tua di Finlandia
gak usah pusing-pusing milih sekolah yang bagus untuk anaknya, karena semua sekolah
di Finlandia itu setara bagusnya. Yang lebih penting lagi, sama gratisnya. Sistem
pendidikan di Finlandia dibangun atas dasar kesetaraan. Bukan memberi subsidi pada
mereka yang membutuhkan, tapi menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk
semua (Iqbal,2016).
Reformasi pendidikan yang dimulai pada tahun 1970-an tersebut merancang
sistem kepercayaan yang meniadakan evaluasi atau ranking sekolah sehingga antara
sekolah gak perlu merasa berkompetisi. Sekolah swasta pun diatur dengan peraturan ketat
untuk tidak membebankan biaya tinggi kepada siswa. Tidak berhenti dengan biaya
pendidikan gratis, pemerintah Finlandia juga menyediakan fasilitas pendukung proses
pembelajaran seperti makan siang, biaya kesehatan, dan angkutan sekolah secara cuma-
cuma.
Semua Guru Dibiayai Pemerintah Untuk Meraih Gelar Master. Gaji mereka juga
termasuk dalam jajaran pendapatan paling tinggi di Finlandia. Di samping kesetaraan
fasilitas dan sokongan dana yang mengucur dari pemerintah, penopang utama dari kualitas
merata yang ditemukan di semua sekolah di Finlandia adalah mutu guru-gurunya yang
setinggi langit. Guru adalah salah satu pekerjaan paling bergengsi di Finlandia.
Pendapatan guru di Finlandia pun lebih dari 2 kali lipat dari guru di Amerika Serikat.Tidak
peduli jenjang SD atau SMA, semua guru di Finlandia diwajibkan memegang gelar master
yang disubsidi penuh oleh pemerintah dan memiliki tesis yang sudah dipublikasi.
Finlandia memahami bahwa guru adalah orang yang paling berpengaruh dalam
meningkatkan mutu pendidikan generasi masa depannya. Maka dari itu, Finlandia
berinvestasi besar-besaran untuk meningkatkan mutu tenaga pengajarnya. Tidak saja
kualitas, pemerintah Finlandia juga memastikan ada cukup guru untuk pembelajaran
intensif yang optimal. Jadi guru bisa memberikan perhatian khusus untuk tiap anak. Putra
9
(2017) menambahkan bahwa setiap guru wajib membuat evaluasi mengenai
perkembangan belajar setiap siswanya. Dan satu kelas maksimal jumlah siswa hanya 12
orang sehingga guru dapat lebih mudah memantau seluruh siswanya. Tidak ada
standarisasi pendidikan di Finlandia karena berlawanan dengan kreatifitas. Mereka
percaya semakin standarisasi ditekankan, semakin sempit ruang kreatifitas. Menurut guru
di Finlandia, mata pelajaran terpopuler di kalangan siswa adalah art & craft terutama
kerajinan kayu (woodwork).
Ornstein dan Levine (2008) menyatakan sistem pendidikan di Finlandia telah
dikenal untuk pencapaian dan pencapaian yang tinggi di semua tingkatan dari prasekolah
melalui pendidikan tinggi. Berbagai pengamat telah menyebutkan fitur yang mereka
percaya membantu menjelaskan keberhasilan ini: kurikulum inti nasional yang
menekankan pemikiran dan peran aktif siswa dalam pembelajaran, kekuatan pengajar
yang sangat berkualitas, penyediaan dan pembaruan peralatan laboratorium sains. dan
materi dan perangkat keras dan perangkat lunak komputer, dan intervensi awal untuk
membantu siswa yang berjuang di sekolah dasar dan menengah.

2.1.4 Pendidikan di Singapura


Kemajuan pendidikan di Singapura didukung oleh banyak faktor. Diantaranya
yaitu adanya fasilitas yang memadai. Contohnya, setiap sekolah di Singapura memiliki
akses internet bebas. Setiap sekolah juga memiliki web sekolah yang berguna untuk
menghubungkan siswa, guru, dan orangtua. Selain itu, di setiap kelas terdapat Liquid
Crystal Display (LCD) untuk proses pembelajaran. Fasilitas lainnya yaitu tersedianya
sistem transportasi yang memiliki akses ke semua sekolah di Singapura yang memudahkan
siswa untuk menuju ke sekolahnya. Faktor biaya juga sangat mempengaruhi kualitas
pendidikan. Karena jika biaya sekolah murah, setiap orang di negara tersebut dapat
mengenyam pendidikan dengan mudah. Di Singapura, biaya pendidikan disesuaikan
dengan kemampuan rakyat, ditambah lagi dengan beasiswa bagi rakyat yang kurang
beruntung.
Faktor lain yang menyebabkan Singapura menjadi negara dengan sistem
pendidikan terbaik di ASEAN adalah faktor pendidik. Proses penyaringan untuk menjadi
guru sangat ketat dan calon guru yang diterima disesuaikan dengan jumlah guru yang
diperlukan, sehingga semua calon guru tersebut pasti akan mendapatkan pekerjaan.
Setelah teraudisi, para calon guru diberi pelatihan sebelum bekerja, sehingga guru-guru
sudah mendapatkan pembekalan sebelumnya. Selain itu, gaji yang diberikan untuk guru-
10
guru di Singapura juga banyak. Hal itu menyebabkan kehidupan guru-guru terjamin
kesejahteraannya.

2.1.5 Pendidikan di Perancis


Pendidikan menengah di Perancis dibedakan menjadi dua, yaitu College
(setingkat SMP) dan Lycee (setingkat SMA). Pada pendidikan menengah tingkat pertama
ditempuh selama empat tahun dan pada tingkat akhir anak diberi kesempatan untuk
memilih jurusan ke sekolah lanjutan atas. Pada tingkat inipun peserta didik tidak dipungut
biaya dan buku-buku pelajaran disediakan gratis. Bagian pendidikan kejuruan
menyediakan tenaga ahli di bidang perindustrian, perdagangan, seni dan keterampilan dan
spesialisasi lainnya yang dapat dimasuki setelah tahun ketujuh pendidikan dasar. Selain
itu sekarang berkembang pendidikan kejuruan dengan program paruh waktu guna
memberikan peluang kepada siswa yang sudah bekerja agar tetap belajar dan bagi pelajar
yang ingin sambil bekerja.
Pendidikan menengah atas (Lycee) dilalui selama tiga tahun, yaitu : kelas satu dan
dua serta kelas terminal dengan tetap mempertahankan pendidikan fundamental. Sejak
tahun pertama ada tiga jurusan, yaitu : Sastra, Ilmu Pengertahuan Alam (IPA) dan Teknik
Industri/Sains Teknik serta Teknik Ekonomi. Pada akhir pendidikan di tingkat Lycee,
peserta didik yang lulus memperoleh ijazah Baccalaureat yang menjadi syarat masuk
universitas atau masuk sekolah tinggi. Sekolah profesional sama dengan sekolah kejuruan
di Indonesia, yakni memberikan pendidikan profesi setelah tamat sekolah lanjutan atas
berupa pendidikan praktek dan teori selama dua hingga tiga tahun. Biasanya pada tahun
kedua diberikan pelajaran praktik kerja di sekolah dan perusahaan. Namun demikian,
baik College maupun Lycee keduanya sama-sama bertujuan untuk mempersiapkan siswa
untuk mengikuti ujian Baccalaureat (Jamrah, 2016).
Untuk jenjang pendidikan tinggi di Perancis dibagi antara sekolah
tinggi (Grandes Ecoles) dan universitas. Sekolah tinggi dianggap lebih baik dan populer
dibandingkan universitas karena secara umum dipandang jauh lebih selektif. Universitas
berada di bawah Kementrian Pemuda, Pendidikan Nasional dan Riset sedangkan Grandes
Ecole di bawah Kementrian Teknis sesuai bidang yang ditangani. Pendidikan di
Universitas bersifat teoritis dan umum sedangkan Grandes Ecoles bersifat teknis. Di
Indonesia dikenal adanya universitas yang lebih berorientasi untuk menjadi ilmuwan
karena mempelajari secara mendalam bidang ilmu tertentu. Sedangkan akademi adalah

11
pendidikan yang bersifat penyediaan tenaga kerja trampil karena lebih banyak bepraktek
di samping mempelajari teori-teori (Jamrah, 2016).
Pendidikan tinggi di Perancis ukurannya kecil dan kemapanan dalam keragaman,
maksudnya bahwa secara fisik bangunan-bangunan yang ada di Perancis tergolong kecil
dan jumlah mahasiswanya yang sedikit. Akan tetapi secara kualitas pendidikan tinggi di
Perancis lebih mengutamakan hasil optimal dari tiap-tiap pembelajaran dalam aspek
jurusan masing-masing. Sementara itu, di Indonesia pada umumnya perguruan tinggi
sangat besar dengan jumlah jurusan/fakultas yang banyak serta mahasiswanya yang
berjumlah ribuan orang.
Ornstein dan Levine (2008) menyatakan spesialis perawatan anak dan pemimpin
sipil yang memeriksa sistem Perancis telah melaporkan aspek berikut dari program-
program Perancis yang layak dipertimbangkan di Amerika Serikat :
• Hampir semua anak memiliki akses ke sistem terkoordinasi yang menghubungkan
pendidikan awal, penitipan anak, dan layanan kesehatan.
• Membayar cuti orang tua dari pekerjaan setelah melahirkan atau diadopsi membantu
memelihara hubungan orangtua-anak yang positif.
• Gaji dan pelatihan yang baik untuk guru anak usia dini membantu menjaga perputaran
tetap rendah dan kualitas program tinggi.
• Hampir semua anak kecil terdaftar dalam program prasekolah.
• Pemerintah memberikan sumber daya tambahan untuk memastikan kualitas tinggi di
lokasi yang mendaftarkan anak-anak berpenghasilan rendah.

2.1.6 Pendidikan di Cina


Sistem pendidikan cina adalah bersifat transentralisasi, artinya mulai dari level
pusat, provinsi, kodiya, kabupaten dan termasuk daerah-daerah otonomi setingkat kodiya.
Adapaun yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan adalah komite
pendidikan Negara (state education commission) yaitu organisasi professional pemerintah
dalam bidang pembangunan pendidikan. Untuk biaya pendidikan tersedia pada
pemerintah pusat dan daerah dengan distribusi, alokasi dari daerah khusus untuk
pendidikan yang dikelolah oleh daerah sedangkan dana pusat untuk lembaga pendidikan
yang berada di kementrian-kementrian.
Kurikulum dirumuskan oleh komisi pendidikan Negara yang sangat fleksibel
serta bervariasi atas dasar kemampuan dan karakteristik wilayah, kota dan desa dan

12
memberikan keleluasan bagi daerah untuk menambahkan kurikulum local. Dengan acuan
sebagai berikut : SD memuat 10 mata pelajaran yang berbeda antara kota dan desa. Untuk
SD pedesaan misalnya : memuat mata pelajaran pertanian selain mata pelajaran inti, moral,
matematika dan bahasa cina. Sedangkan untuk SD perkotaan diwajibkan mata pelajaran
olah raga. Sedangkan untuk sekolah menengah pertama memberikan 13 mata pelajaran
termasuk diantaranya: pendidikan Moral, politik, bahasa cina, bahasa asing dan
matematika. Sedangkan untuk SMA di sesuaikan dengan keinginan siswa (disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat, serta kondisi lembaga setempat).
Sistem ujian di Cina, untuk sekolah dasar dan menengah melaksanakan empat
macam ujian yaitu ujian semester, ujian ujian tahunan, ujian akhir sekolah dan ujian masuk
SMP, dan ujian-ujian ini hanya terbatas pada mata pelajaran bahasa cina dan matematika.
Sedangkan ujian masuk SMA digabungkan dengan ujian akhir SMP. Untuk masuk
perguruan tinggi dilakukan ujian seleksi nasional dengan pemisahan antara sains dan ilmu
sosial.

2.1.7 Pendidikan di Inggris


Sistem pendidikan Inggris mengikuti wajib belajar dari pendidikan pra primer,
primer, dan sekunder, sampai usia 16 tahun. Kelulusan dari program ini ditandai dengan
diterimakannya GCSE (General Certificate of Secondary Education). Setelah GCSE,
siswa harus menempuh pendidikan selama 2 tahun pada pendidikan lanjutan. Pendidikan
lanjutan ini terdiri dari AS (Advanced Subsidiary) level dan dilanjutkan dengan A-
Level/Business and Technology Education Council (BTEC) /International Baccalaureate
(IB) / Cambridge Pre-U yang dapat ditempuh dalam sekolah yang sama, sixth form
college atau further education college (Soelaiman et al, 2014).
Didapatkannya sertifikat A-level merupakan syarat untuk siswa melanjutkan ke
pendidikan tinggi. Pada jenjang pendidikan ini, sistem pendidikan juga memberikan
kesempatan untuk siswa yang ingin segera dapat terjun ke dunia kerja dengan masuk ke
sekolah kejuruan (vocational). Pada akhir sekolah ini, siswa akan mendapatkan
sertifikat National Vocational Qualification (NVQ). Sistem pendidikan di Inggris juga
tidak menutup kemungkinan jika ada siswa sekolah kejuruan yang akan melanjutkan
pendidikannya ke pendidikan tinggi. Siswa dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi jika
secara akademis memenuhi syarat. Jenjang yang lebih jauh, yaitu pendidikan tinggi
(higher education), terdiri dari pendidikan sarjana dan pasca sarjana. Pendidikan sarjana

13
dapat ditempuh selama 3 tahun. diawali dengan master yang dijalani selama satu tahun,
kemudian pendidikan doktor selama 3 tahun (Soelaiman et al, 2014).

2.2 Isu Permasalahan Kurikulum di Indonesia


2.2.1 Pergantian Kurikulum di Indonesia
Kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun
1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan yang sekarang kurikulum 2013
yang walaupun belum merata disatuan pendidikan seluruh Indonesia diterapkan. Perubahan
tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum
sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan
tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya (Putra,
2017).
Kini, penerapan kurikulum 2013 dilakukan secara bertahap dan berjenjang bukan
secara langsung. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa meski sudah ada titik terang,
masalah masih juga ditemukan dalam efektivitas kurikulum ini. Kurikulum ini terkesan
lebih rumit penilaiannya serta metodenya, karena pengajar dituntut untuk menggunakan
alat media audio visual seperti menggunakan komputer/laptop dan proyektor untuk
menampilkan materi kepada siswa.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah hal yang telah disosialisasikan pada
pengajar baik tingkat daerah maupun nasional itu sudah diterapkan saat proses belajar-
mengajar ataukah tidak. Sebab, pada dasarnya banyak pengajar yang berusia 40-50 tahun
ke atas mempunyai sifat yang “fix mindset” yang maksudnya berpikir statis tak mau
membuka diri pada hal baru seperti untuk mau melek teknologi. Sementara kurikulum 2013
ini mengharuskan baik pengajar maupun peserta didik agar melek teknologi. Di sinilah
seharusnya menjadi sorotan pemerintah.
Pemerintah seharusnya tidak hanya melakukan sosialisasi semata, namun juga
memberikan perhatian lebih bagi pengajar usia tua untuk mau mengubah pola pembelajaran
seperti yang dinginkan dari kurikulum 2013. Pemerintah di sini dapat mengkemas bahan
menarik seperti tentang fungsi utama ketika kita belajar teknologi kita akan mengenal dunia

14
luar, serta dapat menambah pengetahuan bukan hanya dari buku saja namun dapat dari
artikel maupun jurnal yang dapat dipercaya.
Pemerintah lebih menekankan bahwa ketika seorang pengajar telah beralih ke
media alat bantu itu akan mengurangi penggunaan kertas, maka secara tidak langsung kita
telah melaksanakan program peduli lingkungan. Tidak mudah untuk melaksanakan hal ini
oleh karena itu pemerintah harus mendata berapa persentase guru usia tua lalu dilakukan
pelatihan khusus untuk memberikan mereka pengetahuan baru akan teknologi saat ini serta
mengajak kerja sama antara pengajar muda untuk mengajari pengajar usia lanjut agar lebih
efektif (Sinaga,2017).
Perubahan kurikulum di Indonesia sudah banyak dilakukan perbaikan secara
bertahap demi penyempurnaan kurikulum 2013. Semoga bukan hanya pemerintah yang
gencar untuk melaksanakan kurikulum 2013 namun pengajar serta peserta didik juga
melaksanakannya dalam proses belajar-mengajar. pendidikan adalah faktor utama yang
harus diperbaiki karena pendidikan membentuk sikap peserta didik dalam jangka waktu
saat ini maupun masa depan. Negara membutuhkan sumber daya yang jujur dan berguna
bagi bangsa bukan malah menjadi oknum yang egois karena merugikan negaranya.

2.2.2 Pelaksanaan Ujian Nasional


Sistem pendidikan Indonesia masih berorientasi pada hasil, akhirnya siswa tidak
memikirkan apa sebenarnya sasaran dari materi yang diajarkan melainkan mereka berpikir
bagaimana agar mereka mendapatkan nilai yang bagus dan lulus. Hasilnya bisa dilihat
bagaimana banyaknya bocoran jawaban ujian selalu beredar dari tahun ke tahun setiap kali
Ujian Nasional diadakan. Bahkan ada orang tua yang mengatakan bahwa tidak apa-apa
anaknya tidak jujur dan menyontek saat Ujian Nasional yang penting anaknya lulus sekolah
(Wahyudi, 2014). Menurut Edra (2018) terdapat tiga hal penting dengan adanya ujian
nasional di Indonesia yakni untuk mengetahui peta Pendidikan di Indonesia dari berbagai
wilayah, adanya upaya meningkatkan kemampuan siswa, dan bentuk evaluasi sekolah.
Diharapkan dengan adanya Ujian Nasinal siswa lebih giat dalam belajar untuk
meningkatkan kompetensi dan menjadi evaluasi sekolah untuk memperbaiki sistem
pembelajaran di sekolah.
Adapun sekolah negeri di AS memiliki 3 ujian standar, dan 2 dari 3 ujian tersebut
tidak mempengaruhi kelulusan murid. Ujian National Assessment of Educational
Progress (NAEP) hanya digunakan untuk mengetahui kemampuan belajar siswa dalam
suatu daerah. Sedangkan, state achievement test hanya digunakan untuk menentukan
15
apakah suatu sekolah akan mendapatkan dana tambahan dari pemerintah. Selain itu, ujian
yang diwajibkan hanyalah ujian kelulusan SMA (Anonim, 2016).

2.2.3 Sistem Rangking di Sekolah


Iqbal (2016) menyatakan upaya pemerintah meningkatkan mutu sekolah dan guru
secara seragam di Finlandia tidak mempercayai sistem ranking atau kompetisi yang pada
akhirnya hanya akan menghasilkan ‘sejumlah siswa pintar’ dan ‘sejumlah siswa bodoh’.
Walaupun ada bantuan khusus untuk siswa yang merasa butuh, tapi mereka tetap
ditempatkan dalam kelas dan program yang sama. Tidak ada juga program akselerasi.
Pembelajaran di sekolah berlangsung secara kolaboratif. Bahkan anak dari kelas-kelas
berbeda pun sering bertemu untuk kelas campuran. Strategi itu terbukti berhasil karena saat
ini Finlandia adalah negara dengan kesenjangan pendidikan terkecil di dunia.
Namun di Indonesia masih adanya sistem rangking di sekolah. Siswa di peringkat
atas dalam sistem rangking juga tak jarang mendapat beban mental yang rawan membuat
mereka terpuruk kondisi psikisnya. Tertekan jika peringkatnya turun. Tak jarang ada siswa
tiba-tiba drop kondisi tubuhnya saat ujian akhir semester karena terlalu lelah belajar. Anak
dengan ranking teratas yang kerap jadi anak kesayangan guru membuat ekspektasi terhadap
mereka menjadi tinggi. Ranking teratas haruslah bisa selalu dapat nilai tertinggi dalam ujian
atau melanjutkan ke sekolah bergengsi. Siswa “berprestasi” relatif selalu ada dalam sorotan
(Matanasi,2016).
Kurikulum di sekolah Barat ternyata tidak terlalu menuntut agar siswa menghafal
seluruh materi dan menjadi pandai, melainkan berorientasi pada rangsangan agar siswa
memiliki sifat jujur, berani berpendapat, menghargai orang lain, serta mencoba hal-hal baru
sehingga menghasilkan anak-anak yang berperilaku baik di dalam bergaul maupun di
rumah. Tidak seperti di Indonesia, di ujian anak SD di sekolah Barat diperbolehkan
menggunakan kalkulator, sekolah tidak ingin siswa-siswanya tertinggal dalam
menggunakan teknologi karena di masa mendatang mereka pasti membutuhkan teknologi
dalam memecahkan persoalan. Yang terpenting yaitu para siswa memahami konsep dasar
dan cara berpikir yang baik dalam memecahkan persoalan. Guru-guru tidak sibuk mengejar
materi pembahasan yang banyak untuk disampaikan kepada siswa, tapi mereka
memperhatikan setiap perkembangan siswa di sekolah kemudian menyampaikannya
kepada orang tua secara periodik sehingga jika ada hal-hal yang aneh pada sikap siswa
maka orang tua pun segera mengetahui dan dilakukan proses pencegahan (Wahyudi,2014).

16
Oleh karena itu tidak heran jika semua jenjang pendidikan di Indonesia masih
sebatas pada level bagaimana agar membuat siswa memiliki sikap berani, tidak
menertawakan temannya yang salah, serta bergaul secara baik karena memang karakter-
karakter tersebut tidak pernah dibentuk secara serius di sekolah. Sedangkan pendidikan di
luar negeri sudah menanamkan sikap-sikap tersebut sejak sekolah dasar. Siswa di luar
negeri malu jika mencontek atau tidak mengerjakan tugas, namun mereka tidak malu ketika
salah dalam mencoba dan tidak mengejek teman-temannya yang salah. Cara pandang
pendidikan dan lingkungan pendidikan kita harus diperbaiki agar menghasilkan siswa-
siswa yang baik moral dan intelektualnya.

2.3 Solusi Permasalahan Kurikulum di Indonesia


Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student
Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak
Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS
dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS
dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia .Pada studi TIMSS tahun 2011 lebih
dari 95% siswa Indonesia hanya sampai pada level menengah di bawah Malaysia, Thailand
dan dan Saudi Arabia.
Putra (2017) menyatakan menelaah lebih dalam tentang studi TIMSS ternyata
banyak konten dalam kurikulum sains yang diujikan pada oleh TIMSS tetapi tidak terdapat
dalam konten kurikulum yang ada di Indonesia, misalnya pada topik struktur partikular
materi di dalam atom dan sifat dan penggunaan asam dan basa secara umum. Artinya perlu
ada pembenahan dalam mengembangkan kurikulum di Indonesia agar sesuai atau tidak
berbeda dengan struktur kurikulum internasional. Selain itu dalam mengembangkan
kurikulum harus berawal dari pendekatan grassroots, seperti yang terjadi pada kurikulum
di Amerika.
Pendekatan grass-roots merupakan pendekatan pengembangan kurikulum yang
dirancang oleh guru dan bukan diberikan oleh pemerintah pusat (Print, 1998). Hal yang
perlu diperhatikan dalam pendekatan ini adalah peningkatan kompetensi guru, karena tanpa
guru yang memiliki kompetensi yang profesional maka pendekatan ini tidak akan berjalan.
Salah satu model yang menggunakan pendekatan grassroots adalah model pengembangan
kurikulum yang dikemukakan oleh Taba yaitu diagnosis of needs, formulation of
objectives, selection content, Organisation of content, selection of learning experience,
17
organization of learning experience, and determination of what to evaluate and way and
means of doing it (Neil, 2010).
Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum antara lain :
1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara
komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi).
Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki
relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi
epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta
tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang
dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya,
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan
kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar
bekang peserta didik.
3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara
vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang
disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam
tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan
jenis pekerjaan.
4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat
mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal,
cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum
mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun
kuantitas.
Mungkin tidak ada negara yang menjawab secara memadai tantangan yang
ditimbulkan oleh populasi multikultural. Namun, banyak negara telah melakukan upaya
penting untuk menghentikan layanan pendidikan yang cocok untuk beragam kelompok
siswa, terutama siswa minoritas yang mengalami diskriminasi ras, etnis, atau agama atau
yang tidak belajar bahasa nasional di rumah. Ornstein dan Levine (2008) menyatakan
pendekatan seperti berikut ini mungkin menjadi model masa depan dan dapat diterapkan
untuk Pendidikan multikultural seperti halnya yang dilakukan :

18
• Amerika Serikat berusaha untuk menyediakan pendidikan dwibahasa bagi jutaan
pelajar bahasa Inggris-pelajar.
• Kanada telah menerapkan program pendidikan dwibahasa yang cukup besar, serta
berbagai pendekatan untuk mempromosikan kurikulum dan instruksi multietnis.
• Perancis telah memberikan pelatihan in-service nasional untuk membantu para guru
belajar mengajar bahasa Prancis sebagai bahasa kedua.
• Belgia menyediakan kelas penerimaan di mana anak-anak imigran menerima instruksi
hingga dua tahun baik dari seorang guru Belgia dan seorang guru bahasa asli.

19
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa :


1. Pendidikan internasional dari berbagai negara memiliki kekhasan masing-masing
sesuai aturan yang telah disepakati pemerintah. Jenjang Pendidikan dimulai dari masa
kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Setiap sistem Pendidikan yang diterapkan
diberbagai negara memiliki tujuan masing-masing terhadap masa depan bangsa.
2. Permasalaham kurikulum di Indonesia beragam. Dimulai dari pergantian kurikulum di
Indonesia yang sampai saat ini mencapai sepuluh kali. Dimana implementasi kurikulum
cukup sulit diterapkan bagi daerah-daerah tertentu yang sumber daya manusianya
kurang memiliki keterampilan terutama dalam bidang teknologi. Sosialisasi
pelaksanaan kurikulum pun belum dilaksanakan secara menyeluruh. Selain itu, adanya
ujian nasional yang menjadi pro kontra di masyarakat. Padahal tujuan adanya ujian
nasional untuk mengetahui peta Pendidikan di Indonesia, meningkatkan kemampuan
siswa, dan bentuk evaluasi pemerintah untuk memperbaiki sisten Pendidikan. Adanya
sstem rangking di sekolah juga menyebabkan siswa dan orang tua fokus pada hasil.
Seharusnya ketercapaian penguasaan konsep dan peningkatan keterampilan serta
perilaku.
3. Solusi permasalahan kurikulum di Indonesia bosa menggunakan pendekatan
pengembangan kurikulum di Amerika yakni pendekatan grass-roots dimana
pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru melalui peningkatan kompetensi guru.
Selain itu, menggunakan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum seperti prinsip
relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, efisiensi, dan efektivitas supaya mengikuti
perubahan. Dapat pula adanya pelatihan dwibahasa bagi mahasiswa asing agar dapat
beradaptasi.

20
DAFTAR RUJUKAN

Aerospace Industry Association. (2017). American Students Win International Rocket


Contest Fly-Off. [Online]. Diakses dari
http://www.aiaaerospace.org/news/american_students_win_international_rocket_contes
t_fly_off/ [ 9 Desember 2018 ]

Anonim. (2016). Culture Shock: Apa Bedanya Pendidikan di Indonesia dan Amerika Serikat ? [Online].
Diakses dari https://blog.ruangguru.com/apa-bedanya-pendidikan-di-indonesia-dan-
amerika-serikat [9 Desember 2018]

Delors, J. (1996). Learning The Treasure Within. Paris : UNESCO Publishing

Edra, R. (2018). 3 Alasan Ujian Nasional Tetap dilaksanakan di Indonesia. [Online]. Diakses
dari https://blog.ruangguru.com/3-alasan-pelaksanaan-ujian-nasional [9 Desember 2018]

Hidayat, R. Patras, Y.E. (2013). Evaluasi Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. 2nd
International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE).235-244

Iqbal. (2016). Perbandingan Pendidikan Indonesia dengan Finlandia. [Online]. Diakses dari
https://www.atmago.com/posts/perbandingan-pendidikan-indonesia-dengan-
finlandia_post_id [9 Desember 2018]

Iwan, P., S. (2013). Beberapa Negara dengan Aliran Filsafat Pendidikan yang Dianutnya.
Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.

Jamrah, A. (2016). Perbandingan Sistem Pendidikan Perancis dan Indonesia. [Online]. Diakses
dari http://www.sumbarprov.go.id/details/news/7168 (9 Desember 2018).

Ornstein, A.C. & Levine, D.V. (2008). Foundation of Education. 11th Edition. Boston:
Houghton Miffin Company

Matansi, P. (2016). Lingkaran Setan Sistem Rangking di Sekolah. [Online]. Diakses dari
https://tirto.id/lingkaran-setan-sistem-ranking-di-sekolah-b9Ty [9 Desember 2018]

Mulyadi, B. (2014). Model Pendidikan Karakter dalam Masyarakat Jepang. Jurnal Izumi.3 (1):
69-80

Neil, G.O. Program desing: overview of curriculum models. Fingal: UCD Teaching

Nur, A. S. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung: Lubuk Agung

Print, M. (1998). Curriculum Development and Design. Sydney: Allen &Unwin

Purwaningrum, A. (2018). 6 Sistem Pendidikan Jepang yang Tak Ada di Indonesia, Perilaku
Lebih Penting dari Nilai Pelajaran. [Online]. Diakses dari https://www.msn.com/id-
id/travel/ideperjalanan/6-sistem-pendidikan-jepang-yang-tak-ada-di-indonesia-
perilaku-lebih-penting-dari-nilai-pelajaran/ar-AAA8nF9 [9 Desember 2018]

21
Putra, A. (2017). Mengkaji & Membandingkan Kurikulum 7 Negara (Malaysia, Singapura,
Cina, Korea, Jepang, Amerika dan Finlandia). [Online]. Diakses dari
https://osf.io/8k2sj/?action=download [9 Desember 2018]

Raka, I. D.G. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali
Peran Perguruan Tinggi. Bandung: Senatama Wikarya

Richard, C. S.. (2000). Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat. Amerika Serikat : Deplu
AS.

Rizal. (2017). 8 Keunikan Sistem Pendidikan di Jepang Bukti Negara Maju. [Online]. Diakses
dari https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/rizal/8-keunikan-sistem-pendidikan-di-
jepang-yang-membedakannya-dengan-negara-lain-1/full [ 9 Desember 2018]

Sari, S.D. (2017). Perbandingan Sistem Pendidikan Di Indonesia Dengan Jepang : Ilmu Sosial
Sebagai Pembangun Karakter Berkebangsaan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, 1(1), 181-186

Soelaiman, T.A.F., Adziman, M.F., Wiranegara, R.R.Y. (2014). Sistem Pendidikan di


Inggris. London : Kantor Atase Pendidikan KBRI

Sinaga, D. (2017). Rumitnya Kurikulum Pendidikan Kita. [Online]. Tersedia


https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170523112430-445-216635/rumitnya-
kurikulum-pendidikan-kita [9 Desember 2018]

Teuchi, A. (2006). Japanese Social Education. Jepang : University of Tsukuba

Wahyudi, W. (2014). Membandingkan Cara Pandang Pendidikan Indonesia dan Barat.


[Online]. Tersedia https://www.dakwatuna.com/2014/10/14/58332/ [9 Desember
2018].

Wulandari, T. (2008). Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat”. Jurnal Istoria, 1(1), 1-10

22
PERTANYAAN DAN DISKUSI

1. Bagaimana sistem Pendidikan karakter di negara lain yang dapat diterapkan pada
Pendidikan di Indonesia ?
Tanggapan penulis :
Pendidikan karakter Jepang dilaksanakan di lembaga formal maupun lembaga non
formal. Di lembaga formal, tidak hanya sekedar diajarkan teorinya saja, melainkan
lebih banyak diajarkan praktik serta penerapan dari ajaran moral tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Di lembaga non formal, pendidikan karakter diajarkan di
keluarga, masyarakat serta perusahaan. Dalam keluarga yang memegang peranan
penting dalam mengajarkan karakter adalah ibu. Adapun pendidikan karakter dalam
masyarakat Jepang lebih mengacu kepada penanaman kedisiplinan agar masyarakat
patuh hukum, tidak melanggar norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Pendidikan karakter pun dilakukan di perusahaan-perusahaan Jepang sehingga
perusahaan-perusahaan Jepang mempunyai pekerja yang rajin, disiplin, bertanggung
jawab, mempunyai loyalitas yang sangat tinggi. Misalnya di saat di sekolah, siswa
diajarkan untuk membersihkan lingkungan sekolahnya sendiri dengan bergotong-
royong agar pekerjaan terasa ringan jika dilakukan bersama.

2. Bagaimana solusi permasalahan kurikulum di Indonesia ? Apa salah satu pendekatan


kurikulum di negara lain yang dapat diadopsi ?
Tanggapan penulis :
Dapat menggunakan pendekatan grass-roots merupakan pendekatan pengembangan
kurikulum yang dirancang oleh guru dan bukan diberikan oleh pemerintah pusat. Hal
yang perlu diperhatikan dalam pendekatan ini adalah peningkatan kompetensi guru,
karena tanpa guru yang memiliki kompetensi yang profesional maka pendekatan ini
tidak akan berjalan. Salah satu model yang menggunakan pendekatan grassroots adalah
model pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Taba yaitu diagnosis of
needs, formulation of objectives, selection content, Organisation of content, selection
of learning experience, organization of learning experience, and determination of what
to evaluate and way and means of doing it.

23
3. Mengenai pembelajaran Pendidikan kewarnegaraan dan agama di Indonesia, apakah
pentingnya menerapkan pembelajaran tersebut di Indonesia sedangkan di negara maju
tidak menerapkannya ?
Tanggapan penulis :
Pembelajaran Pendidikan kewarganegaraan dan agama penting dilakukan di Indonesia.
Agar siswa mengetahui tentang penerapan nilai-nilai Pancasila dan bagaimana cara
bertoleransi agama. Hal ini perlu dipupuk pengetahuannya sejak masih sekolah supaya
mengetahui bahwa Indonesia memiliki falsafah negara yang seharusnya ditaati dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta menghargai perbedaan umat beragama.

24

Anda mungkin juga menyukai