Anda di halaman 1dari 158

HUBUNGAN SELF CARE TERHADAP KUALITAS

HIDUP PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG


KORONER SETELAH MENJALANI
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION:
SYSTEMATIC REVIEW

SKRIPSI

Diajukan untuk Menyelesaikan Pendidikan


Program Studi S1 Keperawatan

Oleh
HERI HARSONO
043-315-16-1-014

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI
JAWA BARAT
BANDUNG
2020
PERSETUJUAN SKRIPSI

HUBUNGAN SELF CARE TERHADAP KUALITAS


HIDUP PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG
KORONER SETELAH MENJALANI
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION:
SYSTEMATIC REVIEW

Telah disetujui unuk dipertahankan di Depan Dewan Penguji


Sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Pendidikan Program Sarjana

Program Studi S1 Keperawatan

Menyetujui,
Pembimbing

Ns. Herdiman, M.Kep


NIDN: 0402126905
PENGESAHAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

HUBUNGAN SELF CARE TERHADAP KUALITAS HIDUP PADA


PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER SETELAH MENJALANI
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION: SYSTEMATIC REVIEW

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Heri Harsono
043-315-16-1-014

Telah dipertahankan di Depan Dewan Penguji


Dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Pembimbing

Ns. Herdiman, M.Kep


NIDN 0402126905
Penguji 1 Penguji 2

Linlin Lindayani, Ph.D Dian Anggraini, M.Kep


NIK: 201209A043 NIK:200805A0217

Bandung, Mei 2020


Ketua Ketua
STIKep PPNI Jawa Barat Program Studi S1 Keperawatan

Ns. Diwa Agus Sudrajat, M.Kep Wini Hadiyani, M.Kep


NIP. 197508012005011002 NIP. 200406A00
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini


Nama : Heri Harsono
NIM : 043315161014
Program Studi : S1 Ilmu Keperawatan
Tahun akademik : 2020

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan skripsi saya
yang berjudul:
Hubungan Self Care terhadap Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit Jantung
Koroner setelah Menjalani Percutaneous Coronary Intervention: Systematic
Review
Bila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bandung, Mei 2020

( Heri Harsono )

iv
HUBUNGAN SELF CARE TERHADAP KUALITAS HIDUP PADA
PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER SETELAH MENJALANI
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION: SYSTEMATIC REVIEW
1
Heri Harsono, 2Herdiman
Koresponding Author: hediherdiman@yahoo.co.id

ABSTRAK

Latar belakang: Penyakit jantung koroner merupakan penyakit kronis dengan


angka morbiditas dan mortalitas tertinggi di dunia bahkan di Indonesia. Dibutuhkan
penatalaksanaan berupa manajemen self care sebagai elemen inti pada pasien PJK
dengan baik agar kualitas hidup meningkat. Hingga saat ini belum ada rangkuman
komprehensif mengenai self care dan kualitas hidup pada pasien PJK yang
terpasang stent. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk merangkum studi penelitian
yang menghubungkan self care dan kualitas hidup pada pasien PJK setelah
menjalani PCI. Metode: Systematic review menggunakan tiga database (Pubmed,
Sciendirect, Google Scholar) untuk studi sebelumnya yang diterbitkan 10 tahun
terakhir (2010–2020). Ketiga database tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa
ketiganya merupakan database terbesar di bidang kesehatan dan kedokteran.
Kriteria inklusi: studi dilakukan pada populasi pasien PJK/Post PCI, Artikel
berbahasa Indonesia/Inggris dan Full text, usia responden ≥18 tahun, desain
kuantitatif, dan mengeksplor self care dan kualitas hidup pasien PJK/Post PCI.
Format JBI dan pedoman PRISMA digunakan untuk menilai kualitas studi dan
membantu proses pemilihan artikel. Data diekstrak dan dirangkum oleh penulis
menggunakan alat ekstraksi data dari JBI. Hasil: Total 5 artikel dari 2729 studi
dimasukan. Hasilnya menunjukan inkonsisten yaitu tiga studi memiliki hubungan
signifikan dan dua studi memiliki hubungan tidak signifikan. Keseluruhan domain
kuesioner yang digunakan ke lima artikel menyatakan bahwa domain self care
berhenti merokok dan olahraga berkorelasi dengan domain QOL fungsi fisik, nyeri
tubuh, vitalitas, kesehatan mental, domain symptom dan kepuasan. Hanya tiga
artikel yang melaporkan kekuatan hubungannya dari mulai tidak ada/sangat lemah
hingga kuat (r =0,117–0,64) dan dua artikel tidak melaporkan kekuatan
hubungannya. Kesimpulan: Dengan mengetahui self care dan kualitas hidup
pasien PJK setelah menjalani PCI, diharapkan Rumah Sakit dapat lebih memahami
dan memberikan edukasi promotif/preventif terkait dengan manajemen self care
sehingga kualitas hidup pasien meningkat dengan baik.

Kata kunci : self care; kualitas hidup; PJK; PCI

v
THE RELATIONSHIP OF SELF CARE WITH QUALITY OF LIFE IN
PATIENTS WITH CORONARY HEART DISEASE AFTER UNDERGOING
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION: SYSTEMATIC REVIEW
1
Heri Harsono, 2Herdiman
Corresponding Author: hediherdiman@yahoo.co.id

ABSTRACT

Background: Coronary heart disease is a chronic disease with the highest


morbidity and mortality rates in the world and even in Indonesia. Management is
needed in the form of self-care management as a core element for CHD patients in
order to improve the quality of life. Until now, there is no comprehensive summary
regarding self-care and quality of life for CHD patients with stents attached.
Purpose: This study aims to summarize research studies that link self-care and
quality of life in CHD patients after undergoing PCI. Methods: Systematic review
using three databases (Pubmed, Sciendirect, Google Scholar) for previous studies
published in the last 10 years (2010–2020). The three databases were selected with
the consideration that they are the largest databases in the field of health and
medicine. Inclusion criteria: the study was conducted on the patient population of
CHD / Post PCI, articles in Indonesian / English and full text, age of respondents
≥18 years, quantitative design, and exploring self-care and quality of life for CHD
/ Post PCI patients. The JBI format and PRISMA guidelines were used to assess the
quality of the studies and assist in the selection of articles. The data was extracted
and summarized by the author using data extraction tools from JBI. Results: A total
of 5 articles from 2729 studies were included. The results show inconsistency,
namely three studies have a significant relationship and two studies have an
insignificant relationship. The entire domain of the questionnaire used in the five
articles states that the self-care domain of smoking cessation and exercise are
correlated with the QOL domain of physical function, body pain, vitality, mental
health, symptom domain and satisfaction. Only three articles reported the strength
of the relationship from none / very weak to strong (r = 0.117–0.64) and two articles
did not report the strength of the relationship. Conclusion: By knowing self-care
and quality of life of CHD patients after undergoing PCI, it is hoped that the
hospital can better understand and provide promotive / preventive education
related to self-care management so that the patient's quality of life improves well.

Keyword: Self care: quality of life: CHD: PCI

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala karena

berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Hubungan antara Self care terhadap kualitas hidup pada pasien penyakit jantung

koroner setelah menjalani percutaneous coronary intervention: Systematic

Review”. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi

Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam, kepada Keluarganya, kepada Sahabatnya,

hingga kepada umatnya sampai akhir zaman. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada program studi S1 Keperawatan

STIKep PPNI Jawa Barat.

Penulis menyadari bahwa akan sulit untuk menjalani proses penyelesaian

skripsi ini tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada

kesematan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Drs. H. Oman Fatturahman selaku ketua yayasan PPNI Jawa Barat

2. Bapak Ns. Diwa Agus Sudrajat, S.Kep.,M.Kep selaku Ketua STIKep PPNI

Jawa Barat

3. Ibu Wini Hadiyani, S.Kep.,M.Kep selaku Ketua Program Studi Sarjana

Keperawatan STIKep PPNI Jawa Barat

4. Ibu Linlin Lindayani, PhD selaku koordinator skripsi

5. Bapak Herdiman, M.Kep. selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia

meluangkan waktu dan memberikan ilmu untuk membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas

nasehat, perhatian, doa dan kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis.

vii
6. Ibu Linlin Lindayani dan Ibu Dian Anggraini selaku penguji skripsi yang telah

memberikan arahan dan masukannya kepada penulis sehingga skripsi ini

selesai dengan baik

7. Ibu Susy Puspasari, S.Kep.,M.Kep selaku pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan sejak penulis mengikuti perkuliahan.

8. Seluruh staf dosen pengajar yang telah memberikan bimbingan sejak penulis

mengikuti perkuliahan.

9. Orangtua Ibunda Wasih dan Ayahanda Karnata yang tak henti mendoakan,

memberikan dukungan, motivasi dan semangat baik moril maupun materil

serta kepada keluarga besar H. Satari dan Hj. Kulsum serta keluarga besar H.

Sayid dan Hj. Waseng juga terima kasih atas doa dan dukungannya.

10. Rekan organisasi Bem STIKep PPNI Jawa Barat Kabinet Revolution periode

2018/2019 yang telah bersedia mendoakan dan memberikan semangat dalam

penyelesaian skripsi ini terkhusus kepada sahabat saya Presiden Bem Kabinet

Revolution Robi Awaludin terima kasih atas kerja samanya selama menjabat di

Bem STIKep PPNI Jawa Barat serta kepada rekan-rekan kementrian

pendidikan kabinet Revolution terima kasih banyak atas kerja samannya.

11. Rekan-rekan seperjuangan kelas S1.4A terkhusus kepada Alfauzan, Endar

andrianto, M. Rizka Firdaus sebagai kawan travelling mencari ilmu-ilmu yang

bermanfaat dan S1 Keperawatan angkatan 2016 yang saling mendoakan,

memotivasi dan memberi semangat.

12. Pihak-pihak lain yang membantu dan tidak bisa disebutkan satu persatu.

viii
Penulis merasa bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih terdapat kekurangan

baik pada teknik penulisan maupun materi, oleh karena itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi perkembangan

penulisan yang lebih baik. Akhir kata penulis berharap semoga Allah memberikan

imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan. Semoga amal

kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala dari Allah SWT.

Demikian skripsi ini penulis buat, semoga bermanfaat bagi dunia keperawatan.

Bandung, Mei 2020

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman
PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
ABSTRACT ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 9
1. Manfaat Praktis ......................................................................................... 9
2. Manfaat Akademis ................................................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 12
A. Konsep Penyakit Jantung Koroner.......................................................... 12
1. Definisi ................................................................................................... 12
2. Etiologi ................................................................................................... 13
3. Patofisiologi............................................................................................ 14
4. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner ............................................... 15
5. Manifestasi Klinis................................................................................... 15
B. Konsep Percutaneous Coronary Intervention ........................................ 16
1. Definisi percutaneous coronary intervention ......................................... 16
2. Indikasi dan Kontra Indikasi IKP ........................................................... 17
3. Metode Pemasangan Percutaneous Coronary Intervention ................... 19
4. Komplikasi dari Pemasangan Percutaneous Coronary Intervention ..... 22
5. Jenis Stent PCI ........................................................................................ 23
C. Konsep Self Care Penyakit Kronis ......................................................... 24

x
1. Definisi Self Care ................................................................................... 24
2. Elemen Inti Self Care ............................................................................. 25
3. Faktor yang Mempengaruhi Self Care pada Penyakit Kronis ................ 28
4. Alat Ukur Self Care pada Pasien PJK .................................................... 32
5. Hasil Penelitian Self Care pada Pasien PJK Setelah PCI ...................... 39
D. Konsep Dasar Kualitas Hidup ................................................................. 42
1. Definisi Kualitas Hidup .......................................................................... 42
2. Aspek-Aspek Kualitas Hidup ................................................................. 42
3. Alat Ukur Kualitas Hidup Penyakit Jantung Koroner ............................ 43
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup pada Pasien
Penyakit Jantung Koroner .............................................................................. 48
5. Hasil Penelitian Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit Jantung Koroner
Setelah PCI .................................................................................................. 55
E. Hubungan Self Care dengan Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit
Jantung Koroner setelah Menjalani PCI. ....................................................... 58
F. Kerangka Teori ....................................................................................... 60
BAB III METODELOGI PENELITIAN ....................................................... 61
A. Jenis Penelitian........................................................................................ 61
B. Strategi Pencarian ................................................................................... 62
C. Data Extraction ....................................................................................... 65
D. Pengkajian Kualitas Studi ....................................................................... 66
E. Jadwal Kegiatan ...................................................................................... 68
BAB IV HASIL ANALISIS ............................................................................. 69
A. Hasil Pencarian ....................................................................................... 69
B. Ringkasan Hasil Pencarian ..................................................................... 71
C. Ringkasan Hasil Penelitian ..................................................................... 72
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................... 92
A. Pembahasan............................................................................................. 92
B. Implikasi Klinik .................................................................................... 109
C. Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 111
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 113
A. Kesimpulan ........................................................................................... 113
B. Saran ..................................................................................................... 114

xi
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 116
LAMPIRAN .................................................................................................... 129

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Format PICOT dalam Systematic Review ............................................63

Tabel 3. 2 Jadwal Kegiatan....................................................................................68

Tabel 4.1 Tingkat Keeratan Hubungan Antara Variabel X dan Y.........................83

Tabel 4.2 Analisis Artikel......................................................................................84

xiii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori Self care dan Kualitas hidup.....................................60

Bagan 4.1 Flowchart PRISMA............................................................................59

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Catatan Bimbingan

Lampiran 2 Surat Pernyataan Revisi Hasil Seminar Proposal

Lampiran 3 Surat Pernyataan Revisi Hasil Sidang Skripsi

lampiran 4 JBI Critical Appraisal Checklist For Analytical Studies

Lampiran 5 Gambar Hasil Pencarian

Lampiran 6 Riwayat Hidup

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama dari kematian di

seluruh dunia (World Health Organization, 2020). Menurut data World Health

Organization (2020), pada tahun 2017 diperkirakan sebanyak 17,9 juta orang

(31% dari seluruh kematian) meninggal karena penyakit kardiovaskular.

Penyakit ini tetap menjadi penyebab utama kematian secara global dalam 15

tahun terakhir (World Health Organization, 2018). World Health Organization

(2012) memperkirakan pada tahun 2030, hampir 23,6 juta orang akan

meninggal karena penyakit kardiovaskular, terutama karena penyakit jantung

koroner dan stroke. Lebih dari 75% kematian akibat penyakit jantung dan

pembuluh darah terjadi di negara berkembang yang berpenghasilan rendah

sampai sedang (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

Mortalitas dan morbiditas di Indonesia yang disebabkan oleh penyakit

kardiovaskular juga memprihatinkan (Wulandari et al, 2019). Hasil Riset

Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa sebesar 1,5% atau 15 dari

1.000 penduduk Indonesia menderita penyakit jantung koroner (Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Angka kematian akibat Penyakit jantung

koroner di Indonesia menduduki peringkat kedua setelah stroke, dengan

presentase kematian sebesar 12,9 % dari penyebab kematian di Indonesia

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

1
2

Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke 9 dengan penderita Penyakit

jantung koroner terbanyak di Indonesia sekitar 1,6% yang sebelumnya berada

diposisi 14 (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Meningkatnya kasus penyakit

kardiovaskular secara signifikan diperkirakan akan menambah beban

masyarakat dan pemerintah, karena penanganannya membutuhkan biaya yang

besar dan memerlukan teknologi tinggi (Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2019). Hal ini dapat terlihat dari data Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial Kesehatan (BPJS) tahun 2017, sebanyak 10.801.787 juta orang atau 5,7%

peserta JKN mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik dan menghabiskan

biaya kesehatan sebesar 14,6 triliun rupiah atau 21,8% dari seluruh biaya

pelayanan kesehatan dengan komposisi peringkat tertinggi berasal dari penyakit

jantung sebesar 50,9% atau 7,4 triliun (Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2019).

Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit jantung

degeneratif yang berkaitan dengan gaya hidup dan sosial ekonomi masyarakat

(Iskandar dkk, 2017). Penyakit ini timbul akibat penimbunan abnormal lipid

atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah yang

mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri yang disebut

aterosklerosis. Kelainan pada arteri koroner akibat aterosklerosis menyebabkan

suplai darah ke jantung tidak adekuat dan sel-sel otot jantung kekurangan

komponen darah (Smeltzer & Bare, 2008). Hal ini akan menimbulkan iskhemia

pada otot-otot jantung sehingga pasien akan mengalami nyeri dada dan pada

kondisi iskhemia yang lebih berat dapat disertai dengan kerusakan sel jantung
3

yang bersifat irreversible (Brown & Edwars, 2004; Smeltzer & Bare, 2008).

Perbaikan daerah iskemia dan aliran darah ke miokardium dapat tercapai

dengan melakukan dilatasi arteria koronaria tanpa operasi yaitu Percutaneous

Coronary Intervention (PCI) (Price & Wilson, 2012).

PCI atau Kateterisasi jantung adalah suatu tindakan invasif dimana satu atau

lebih kateter dimasukkan ke jantung dan pembuluh darah tertentu (Smeltzer &

Bare, 2014). Tindakan PCI dengan stent merupakan tindakan yang hanya

mengatasi kurangnya suplai darah ke otot jantung, sehingga pasien setelah PCI

akan tetap berisiko mengalami perkembangan PJK lebih lanjut karena ada

faktor risiko PJK yang sebelumnya telah dimiliki (Susanti dkk, 2018). Alat ini

sudah digunakan pada 60 sampai 80% dari pasien yang menjalani PCI di

seluruh dunia (Harselia dkk, 2018). PCI dapat meningkatkan prognosis,

meringankan gejala, mengurangi kejadian iskemik, dan meningkatkan kapasitas

fungsional jantung dengan prosedur yang relatif berisiko rendah serta

pemulihan yang cepat (King et al, 2008).

Menurut American Heart Association heart disease and stroke statistics

2017 melaporkan sebanyak 954.000 pasien di Amerika Serikat sudah menjalani

prosedur PCI. Di Indonesia jumlah pemasangan stent diperkirakan meningkat

dari tahun ke tahun mencapai 15.000 unit setahun walaupun begitu untuk saat

ini belum terdapat dokumen resmi peta penggunaan stent (Yunani, 2014;

Tontowi dkk, 2014). Pada tahun 2012, kebutuhan drug eluting stent (DES) dan

bare metal stent (BMS) di tiga rumah sakit besar yaitu RS Jantung Harapan

Kita, RS Sardjito, dan RS Soetomo, secara keseluruhan mencapai angka 4.000


4

buah (Tontowi dkk, 2013). Sekitar 5.000 pasien jantung membutuhkan

“kateterisasi‟ dan harus dipasang stent jantung yang tersebar di 42 Rumah sakit

di 12 kota besar, belum ditambah RS swasta yang membutuhkan (Burhani,

2013). Kebutuhan akan stent jantung ini cenderung terus meningkat karena

setiap tahun jumlah pasien jantung yang memerlukan stent jantung naik 20%

serta banyak pasien yang lebih suka dipasang stent jantung dibanding harus

melakukan pembedahan, selain itu setiap pasien PJK rata-rata memerlukan 2-3

unit stent jantung (Burhani, 2013).

Tindakan pemasangan stent jantung jika tidak diimbangi dengan menjaga

pola hidup yang sehat akan menimbulkan dampak diantaranya bisa

mengakibatkan tersumbatnya kembali arteri koroner dan akan mengakibatkan

aliran darah terhenti kecuali aliran darah dari pembuluh darah kolateral yang

sangat kecil (Harun dkk, 2016). Kondisi ini dinamakan in-stent Re-stenosis dan

berisiko melakukan tindakan PCI berulang serta dapat mengalami serangan

jantung kembali (Susanti dkk, 2018). Risiko re-stenosis paling besar terjadi

selama 6 bulan pertama setelah PCI (Susanti dkk, 2018). Pemasangan stent

kembali tentunya akan berdampak dari segi biaya dimana di Indonesia biaya

pemasangan ring jantung berkisar antara 42 juta sampai 80 juta dan belum

termasuk biaya perawatan rumah sakit serta obat jantung yang harus diminum

pasca PCI, alhasil biaya keseluruhannya dapat menyentuh 150 juta – 250 juta

(Safitri, 2018). Dampak fisiologis yang akan dirasakan jika terjadi penyumbatan

arteri kembali adalah daerah otot jantung yang tidak mendapatkan aliran darah

sebagai akibat tersumbatnya arteri koroner akan mengalami infark serta akan
5

mempengaruhi luasnya kerusakan miokardium, hal ini berdampak pada proses

penyembuhan dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan kematian (Guyton,

2014).

Tindakan PCI dengan akses femoral memiliki dampak fisik diantaranya

keluhan ketidaknyamanan fisik dan komplikasi seperti nyeri punggung, rasa

tidak enak secara umum, sakit pada tusukan, kesulitan saat buang air kecil,

mual, kesulitan saat berjalan, hematoma, muntah, memar, perdarahan,

pseudoaneurism, thrombus dan vistul arteriovenosa (Piva et al, 2014; Lee dan

Kong, 2015) atau bahkan dalam kondisi parah tindakan PCI berulang bisa

mengakibatkan refractory angina (Susanti dkk, 2018). Gejala psikologis juga

dapat muncul yang dapat memperburuk kondisi jantung salah satunya adalah

kecemasan (Astin et al, 2005). Kecemasan dapat menyebabkan respon

fisiologis sistem kardiovaskular antara lain palpitasi, jantung berdebar, rasa

ingin pingsan, penurunan tekanan darah dan penurunan denyut nadi (Stuart,

2013). Berbagai dampak yang diuraikan diatas dapat dihindari apabila pasien

setelah PCI mampu melakukan adaptasi dengan kondisi dan situasinya serta

diharapkan mampu menerapkan self care management yang optimal dalam

aktivitas, stress, pengobatan, maupun diet (Susanti dkk, 2018)

Self care berdasarkan middle-range theory of self-care of chronic illness,

didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan yang naturalistik untuk

menjaga kesehatan melalui praktik-praktik untuk meningkatkan kesehatan dan

mengelola penyakit (Riegel, Jaarsma, & Stromberg, 2012). Self care mencakup

perilaku pemeliharaan (self maintenance), pemantauan (self monitoring), dan


6

manajemen (self management) (Riegel et al, 2012). Self care adalah komponen

penting dalam manajemen klinis pasien dengan PJK (Dickson et al, 2016).

Beberapa Penelitian di Indonesia melaporkan bahwa pasien dengan penyakit

jantung belum melaksanakan self care secara tepat seperti yang telah diajarkan

misalnya mematuhi pengobatan yang diberikan, diet rendah garam, aktivitas

fisik yang teratur, pembatasan cairan, monitor berat badan setiap hari, serta

mengenal secara dini tanda dan gejala (Djamaludin, 2018). Penelitian tersebut

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al (2020) yang

menemukan bahwa pasien PJK di komunitas Cina memiliki perilaku self

management yang tidak memadai. Penelitian tersebut sejalan dengan studi di

Skotlandia yang menyimpulkan bahwa manajemen diri PJK pada pasien di atas

65 tahun yang telah menjalani PTCA elektif untuk pengelolaan gejala angina

stabil adalah kurang optimal. (Dawkes et al, 2016)

Hal ini berbeda dengan penelitian di Cina yang melaporkan bahwa pada

pasien paska PCI memiliki perilaku gaya hidup sehat pada tingkat sedang

dengan tingkat manajemen stress dan akifitas fisik yang rendah (Ling Xiao et

al, 2018). Penelitian tersebut didukung oleh penelitian di Iran yang

menyimpulkan bahwa 300 pasien post PCI sebagian besar pasien (72%)

memiliki tingkat self care agency yang baik. Self care agency memiliki tingkat

yang lebih tinggi pada pasien yang menikah dan berpenghasilan lebih tinggi

(Seyedehtanaz Saeidzade dan Ali Darvishpoor kakhk, 2016). Self care dapat

meningkatkan kualitas hidup klien untuk secara efektif mengelola gejala dari

penyakit tersebut, selain itu self care management juga merupakan salah satu
7

faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup diantara pasien setelah PCI

(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008; Djamaludin, 2018; Takematsu,

2014).

WHO (2012) mendefinisikan Kualitas hidup sebagai persepsi individu

tentang posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai

di mana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar,

dan masalah mereka. Dimensi kualitas hidup menurut WHO (2012), secara

umum meliputi kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan

kesehatan lingkungan sedangkan menurut Yulianti (2012) domain spesifik yang

dialami oleh penderita PJK meliputi keterbatasan fisik, stabilitas angina,

frekuensi angina, kepuasan terhadap pengobatan dan persepsi terhadap

penyakit. Kualitas hidup pada pasien yang menderita PJK cenderung tidak baik

atau dapat dikatakan bahwa kualitas hidup pada PJK rendah (Srivasta, dkk.

2017). Penelitian kualitas hidup pada PJK juga dilakukan oleh Morys dkk,

dalam penelitiannya pasien dengan PJK memiliki kualitas hidup yang rendah

atau buruk, selain itu Penelitian ini juga menyebutkkan bahwa kecemasan pada

PJK tinggi (Morys, dkk 2016). Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh

Nuraeni (2016) kualitas hidup pada pasien PJK bisa ditingkatkan salah satunya

melalui tindakan revaskularisasi jantung seperti pemasangan stent. Sejalan

dengan penelitian Hutagalung (2014) bahwa Pasien PJK yang sudah dipasang

stent akan memiliki kualitas hidup baik ( 25%) dengan status kesehatan biasa

saja. Penelitian mengenai self care dan kualitas hidup yang dilakukan pada
8

pasien penyakit jantung sudah pernah dilakukan tetapi bukan pada populasi

penyakit jantung yang disertai dengan pemasangan PCI.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dan Rezkiki (2017) pada populasi

penyakit gagal jantung menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan yang erat

antara kualitas hidup pada populasi pasien gagal jantung yang mendapatkan

perawatan diri. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa Self care behaviours

pada pasien PJK memiliki efek langsung positif signifikan pada kualitas hidup

dan memiliki dampak positif pada kualitas hidup (Ahn et al, 2016). Hal ini

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al (2020) bahwa

hubungan self management dengan kualitas hidup memiliki hubungan yang

tidak signifikan pada pasien PJK di komunitas Cina. Kualitas hidup dan self

care akan saling mempengaruhi dan saling berhubungan, self care yang

baik/buruk akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan begitupula

sebaliknya (Djamaludin, 2018).

Fenomena percutaneous coronary intervention sebagai alternatif tindakan

medis pada penyakit sistem kardiovaskular yang diakibatkan oleh

aterosklerosis menjadi sebuah topik menarik untuk ditinjau. Tinjauan sistematis

tentang kualitas hidup pada pasien penyakit jantung koroner sudah banyak

tetapi tinjauan sistematis yang menghubungkan self care dengan kualitas hidup

pada pasien PJK yang sudah menjalani PCI belum banyak dilakukan. Hanya

sebanyak 5 jurnal yang membahas tentang penelitian ini, 3 diantaranya

memiliki hubungan yang signifikan antara self care dan kualitas hidup dan 2

jurnal memiliki hubungan yang tidak signifikan. Perbedaan-perbedaan ini


9

tentunya perlu untuk dirangkum menjadi sebuah bahan systematic review.

systematic review penting dilakukan untuk bisa membandingkan hasil

penelitian-penelitian sebelumnya baik itu berupa karakteristik responden

penelitian, metode penelitian, instrumen yang digunakan, teknik analisis data

ataupun hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan tinjauan sistematis tentang hubungan self care terhadap kualitas

hidup pada pasien penyakit jantung koroner setelah menjalani percutaneous

coronary intervention.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merangkum hasil penelitian-penelitian

sebelumnya yang menghubungkan antara self care dengan kualitas hidup

pada pasien penyakit jantung koroner setelah menjalani percutaneous

coronary intervention.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Manfaat Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan


10

Hasil tinjauan sistematis ini diharapkan mampu menjadi

bahan masukan untuk perencanaan dalam upaya promotif dan

preventif pada penyakit kardiovaskuler khususnya tentang

pengelolaan self care yang bisa berdampak terhadap kualitas hidup

pasien penyakit jantung koroner. Selain itu hasil systematic review

ini bisa dimanfaatkan oleh perawat sebagai bahan edukasi kepada

pasien penyakit jantung koroner.

b. Bagi Rumah Sakit

Tinjauan sistematis diharapkan dapat menjadi sarana

pertukaran informasi khususnya antar perawat atau tenaga medis

untuk mendukung peningkatan motivasi kepatuhan klien dalam

menjalani pola hidup sehat. Hasil Systematic review ini bisa menjadi

bahan edukasi ke masyarakat tentang apa saja yang harus mereka

lakukan jika mereka terkena penyakit jantung koroner agar tidak

memburuk dan mengurangi komplikasi, sehingga kualitas hidup

masyarakatpun meningkat, menurunkan mobiditas dan mortalitas

penyakit tersebut dengan menerapkan pola hidup sehat.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Tinjauan sistematis ini dapat dijadikan sebagai referensi dan

sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya agar bisa lebih

dikembangkan lagi khususnya dalam ranah ilmu keperawatan

kardiovaskular.
11

2. Manfaat Akademis

a. Bagi Institusi Pendidikan

Tinjauan sistematis ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur

atau digunakan sebagai referensi dalam perkuliahan keperawatan

medikal bedah khususnya tentang penyakit sistem kardiovaskular.

Selain itu untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa bahwa

penyakit jantung koroner bisa dicegah yaitu dengan pengelolaan self

care atau modifikasi gaya hidup yang baik.

b. Bagi Keilmuan

Tinjauan sistematis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

referensi bagi pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah,

khususnya dalam perawatan diri setelah dipasang stent jantung. Bagi

bidang keilmuan, Systematic review ini sebagai acuan agar lebih

bisa dikembangkan lagi dalam bentuk penelitian sebagai langkah

awal untuk menghasilkan evidence based practice in nursing yang

nantinya akan bermanfaat bukan hanya di lahan pendidikan tapi juga

dilahan praktek.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Jantung Koroner

1. Definisi

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu penyakit pada jantung

yang terjadi karena adanya kelainan pada pembuluh darah koroner.

Kelainan Pembuluh darah koroner ini berupa penyempitan pembuluh darah

sebagai akibat proses artherosclerosis. Arterosklerosis adalah pengerasan

dinding pembuluh darah, terjadi akibat penimbunan kolesterol, lemak,

kalsium, sel-sel radang, dan material pembekuan darah (fibrin) pada dinding

arteri secara bertahap dan menumpuk pada dinding arteri. Arterosklerosis

mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri serta penurunan aliran

darah ke jantung. Lumen arteri akan menyempit mengakibatkan suplai

darah tidak adekuat (iskemia) sehingga terjadi ketidakseimbangan antara

kebutuhan otot jantung atas oksigen dengan persediaan oksigen yang

diberikan oleh arteri koroner (Sumiati dkk., 2010).

Menurut P2PTM Kemenkes RI (2018) penyakit jantung koroner

adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah

karena penyumbatan atau penyempitan pada pembuluh darah koroner akibat

kerusakan lapisan dinding pembuluh darah (Aterosklerosis). Penyakit

Jantung Koroner (PJK) merupakan istilah untuk penumpukan plak di arteri

jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung (American Heart

12
13

Association, 2015). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang terjadi akibat

penyempitan pembuluh darah sebagai akibat dari proses aterosklerosis yang

mengakibatkan suplai darah tidak adekuat dan apabila penyempitan ini terus

berlanjut hingga semakin parah, maka kondisi ini bisa mengakibatkan

serangan jantung.

2. Etiologi

Penyebab jantung koroner ada 2 yaitu proses aterosklerosis dan

proses trombosis :

a. Aterosklerosis

PJK diakibatkan oleh penyempitan arteri koroner (arteriosclerosis)

berupa penyempitan karena lemak jenuh (atherosclerosis). Lemak-

lemak terkumpul di dinding arteri dan penebalan ini menghasilkan

permukaan yang kasar pada dinding arteri dan penyempitan arteri

koroner. Akibatnya kemungkinan terjadinya penggumpalan darah pada

bagian arteri yang menyempit ini. Jika darah terus menggumpal, maka

tidak ada lagi darah yang bisa mengalir karena darah ini diblok oleh

gumpalan darah yang sudah menjadi keras (Iskandar dkk, 2017)

b. Trombosis
Timbunan lemak dalam pembuluh darah akibat adanya kolesterol

yang apabila terdapat tekanan akan mengakibatkan kerusakan pada

pembuluh darah. Akibatnya, timbul bekuan darah yang lebih besar yang

bisa menyumbat pembuluh darah sehingga darah tidak bisa mencapai


14

otot jantung dan mengakibatkan kematian pada sebagian otot jantung

(Hastriadi, 2011).

3. Patofisiologi

Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak

aterosklerotik). Proses aterosklerosis dapat stabil, tetapi dapat juga tidak

stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian

adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil / progresif yang

dikenal dengan istilah Sindrome Koroner Akut (SKA).

Pada aterosklerosis, lemak menumpuk pada lapisan intima arteri.

Fibroblast di area tersebut merespons dengan memproduksi kolagen dan

sel otot polos berproliferasi, bersama-sama membentuk lesi kompleks

yang disebut plak. Plak terdiri atas sebagian besar kolesterol , trigliserida,

fosfolipid, kolagen, dan sel otot polos. Plak mengurangi ukuran lumen

pada arteri yang terserang, mengganggu aliran darah. Selain itu, plak dapat

menyebabkan ulkus, menyembabkan pembentukan trombus yang dapat

menyumbat pembuluh secara komplet (leMone, priscilia 2012).

Trombosis adalah keadaan tertentu pembentukan, pertumbuhan atau

terdapatnya trombus tertentu, sedangkan trombus adalah bekuan darah

yang terbentuk karena kegiatan penggumpalan (aktivitas koagulasi), yang

menyumbat peredaran dan melekat di vena, arteri, kapiler maupun bilik

jantung ( Birhasani, 2011)


15

4. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Menurut penelitian Iskandar (2017) dan Sumiati dkk (2010) Faktor

risiko PJK dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu faktor risiko yang

dapat dikurangi, diperbaiki atau dimodifikasi, dan faktor risiko yang bersifat

alami atau tidak dapat dicegah. Faktor risiko yang tak dapat diubah adalah

usia (lebih dari 40 tahun), jenis kelamin (pria lebih berisiko) serta riwayat

keluarga. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi, antara lain dislipidemia,

diabetes melitus, stres, infeksi, kebiasaan merokok, pola makan yang tidak

baik, kurang gerak, Obesitas, serta gangguan pada darah (fibrinogen, faktor

trombosis, dan sebagainya).

5. Manifestasi Klinis

a. Angina pektoris

Angina pektoris merupakan suatu sindroma klinis dengan adanya

sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya

iskemik miokard. Pada umumnya angina pektoris dibagi menjadi 2 tipe

yaitu :

1) Angina pektoris stabil (Stable Angina) yaitu sindrom klinik yang

ditandai dengan rasa tidak enak di dada, bahu, rahang, lengan atau

punggung yang biasanya diakibatkan oleh kerja fisik atau stres

emosional. Keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau dengan

terapi obat golongan nitrat.


16

2) Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) yaitu ditandai

dengan nyeri dada yang lebih berat, lebih sering dan berlangsung

lebih lama (Majid, 2007).

b. Infark Miokard Akut (IMA)

Infark miokard adalah kematian sel-sel otot jantung yang terjadi

akibat kekurangan atau bahkan terhentinya suplai oksigen

berkepanjangan. Hal ini terjadi setelah otot jantung mengalami iskemia

yang tidak segera diatasi (Corwin dalam Yanti, 2016).

B. Konsep Percutaneous Coronary Intervention

1. Definisi percutaneous coronary intervention

Percutaneous coronary intervention terdiri dari tiga kata yakni

percutaneous yang artinya tindakan nonsurgical dengan cara catheher

dimasukan kedalam tubuh dengan membuat insersi kecil tepat dikulit dan

biasanya lewat arteri. Coronary yaitu dilakukan pada arteri koroner yang

besar. Sedangkan intervention yaitu teknik remodeling pada pembuluh

darah dengan mengembangkan stent terlebih dahulu, ballon catheter, atau

tindakan khusus untuk pengobatan penyakit arteri (Kern, 2017). Intervensi

koroner perkutan merupakan prosedur invasif jantung yang sering

dilakukan untuk mengobati pasien dengan penyakit arteri koroner (Putra

dkk, 2018).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa intervensi koroner

perkutan adalah suatu teknik nonsurgical dengan cateter dimasukan ke


17

dalam tubuh untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh

darah yang menyempit yang sering dilakukan untuk mengobati pasien

dengan penyakit arteri koroner.

2. Indikasi dan Kontra Indikasi IKP

Indikasi dilakukannya tindakan IKP yaitu adanya sindroma koroner

akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) atau sindroma koroner akut

tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI). Dikatakan STEMI jika

ditemukan angina akut yang disertai elevasi segmen ST akut onset < 12

jam (disebut PCI primer). Dikatakan NSTEMI jika terdapat angina dan

tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten (< 20 menit)

(disebut early PCI). Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan

IKP bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas koroner

(Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia, 2016).

Sedangkan indikasi tindakan PCI menurut Kern (2011) yaitu:

a. Angina pektoris yang memberikan beberapa gejala angina

meskipun dengan pemberian obat yang optimal.

b. Angina pektoris sedang dengan gejala ischemia yang berkelanjutan

(Test stress abnormal atau physiologi) dan derajat lesi yang tinggi

(> 70% diameter yang menyempit) pada pembuluh darah besar di

jantung.

c. Unstable angina.
18

d. Infark miokard akut (IMA) sebagai terapi primer atau pada pasien

dengan gejala iskemia yang menetap atau berulang setelah gagal

pemberian obat trombolitik.

e. Angina pectoris setelah coronary artery by pass graft.

f. Restenosis setelah sukses PCI.

g. Disfungsi ventrikel kiri dengan gejala objektif akibat penurunan

suplay pembuluh darah besar ke jantung yang mengganggu

kelangsungan hidup.

h. Aritmia yang disebabkan iskemia.

Selain itu kontra indikasi PCI menurut Kern (2011) yaitu:

a. Kelainan anatomi arteri koroner.

b. Anatomi koroner yang sangat berisiko tinggi dimana

penyumbatan pada pembuluh darah dapat menyebabkan

kematian.

c. Pasien yang seharusnya dilakukan tindakan coronary artery by

pass graft kontra indikasi PCI (walaupun beberapa pasien telah

menjalani tindakan PCI sebagai alternatif revaskularisasi).

d. Perdarahan yang diakibatkan oleh antikoagulant.

e. Pasien yang tidak memiliki keinginan atau kemauan untuk

pemberian terapi antiplatelet dan menjalani instruksi post PCI.

f. Multiple stent restenosis.

g. Pasien yang tidak dapat memberikan persetujuan tindakan.


19

3. Metode Pemasangan Percutaneous Coronary Intervention

Prosedur tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

terbagi menjadi tiga yaitu persiapan pasien, persiapan alat dan persiapan

pemantauan. Pada persiapan pasien berupa persiapan mental dengan

menjelaskan pada pasien tentang prosedur tindakan, manfaat dan

komplikasi yang dapat terjadi serta pasien diminta untuk mengisi informed

consent. Persiapan selanjutnya administrasi dimana status pasien lengkap,

sebelum tindakan keluarga pasien diminta untuk mengurus surat rawat

inap, dan mengurus administrasi yang dibutuhkan (Harselia, 2018)

Persiapan terakhir yaitu fisik dengan melakukan pengecekan

persiapan fisik sebelum PCI mencangkup; pasien puasa makan sekitar 4-6

jam sebelum tindakan, tinggi badan, berat badan diukur lalu dicatat , tanda-

tanda vital diukur tekanan darah, heart rate , memasang IV line.

Pemeriksaan penunjang dengan melakukan pengecekan terhadap

kelengkapan pemeriksaan penunjang meliputi EKG 12 lead dan hasil

laboratorium (Harselia, 2018).

Pada persiapan alat sebelum tindakan dimulai mempersiapkan

perlengkapan mesin hemodinamik seperti tranduser yang dihubungkan ke

perangkat komputer agar dapat menampilkan gambaran hemodinamik

dimonitor. Kemudian menyiapkan elektroda dan juga memasangkan ke

pasien untuk pemantauan EKG pasien serta mempersiapkan alat printer

untuk dokumentasi Hasil pemeriksaan (Harselia, 2018).


20

Menentukan letak atrium atau titik nol pasien, titik nol kemudian

disejajarkan dengan tranduser. Tranduser kemudian dipasang threeway

stopcock kemudian mengambil extension cable. Extension cable terdiri

dari extension cable panjang dan extension cable pendek. Extension cable

panjang merupakan extension steril yang dihubungkan ke maniforld dan

threeway, sedangkan extensions cable yang pendek disambung ke

threeway untuk membuang udara dan dihubungkan ke kantong

pembuangan (Kern MJ, 2017).

Kegiatan melakukan zero agar nilai hemodinamik berada pada

angka nol. Kemudian menutup threeway ke arah udara dan membuka ke

kantong pembuangan. Scrub nurse mengambil cairan NaCl yang sudah

dicampurkan dengan heparin menggunakan spuit, kemudian mendorong

cairan kedalam manifold yang sudah terhubung dengan tranduser sehingga

udara dapat keluar ke pembuangan. Petugas harus dapat memastikan di

dalam tranduser tidak ada udara, kemudian tutup threeway ke arah

pembuangan apabila dalam tranduser tidak ada udara lagi (Kern MJ,

2011).

Prosedur terakhir yaitu persiapan Pemantauan, sebelum masuk

keruang tindakan pasien sudah di persiapkan di ruang prerecovery room

yaitu pasien sudah dipasangkan IV line (hal ini dilakukan oleh perawat).

Pasien juga diberikan obat ticagrelor 2 tablet secara oral. Setelah pasien

masuk ruang tindakan, pasien dibaringkan di meja tindakan, kemudian


21

akan dilakukan pemasangan EKG 12 lead serta memasang tensi darah

dikaki pasien dan oksimetri di ibu jari pasien (Harselia, 2018).

Kemudian teknisi kardiovaskuler mengisi data di dalam buku

laporan tindakan dan mengisi data pasien ke dalam monitor hemodinamik

seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir pasien, alamat,

jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, tekanan darah, hasil laboratorium

tenaga kesehatan yang melakukan tindakan serta jenis tindakan yang

dilakukan. Prosedur hasil pemantauan meliputi beberapa tahapan yaitu

teknisi akan merekam EKG awal pasien dengan cara me-snap gambar

dengan menekan snap pada layar monitor, EKG awal pasien terlihat ST

elevasi V1 – V2, menyalakan tanda vital atau tensi agar tensi mengukur

secara otomatis dan tekanan darah muncul di layar monitor (Kern MJ,

2017).

Perawat atau scrup nurse akan menyiapkan pasien dalam

keadaan steril, kemudian dokter akan melakukan anastesi lokal didaerah

radialis kanan pasien dengan menggunakan lidocain 2%, sheath ukuran 6

F masuk ke dalam pembuluh darah arteri radialis kanan, tekanan awal aorta

direkam, kanulasi RCA dengan kateter guiding PB 3.5/6 F, insersi wire

dengan Sion Blue ke distal RCA, stent juga tidak berhasil lewat. Residual

stenosis 40%, dilakukan stenting, stent yang digunakan adalah stent DES,

resolute 3.5 x 15 mm, inflate sampai 14 atm dan hasil baik, TIMI 3 flow

(Harselia, 2018).
22

Teknisi merekam tekanan aorta dan EKG setelah tindakan, pada

saat pemantauan tidak ada perubahan hemodinamik maupun EKG yang

mengancam jiwa. Tekanan darah awal pemeriksaan 181/99 mmHg dan

setelah tindakan 187/95 mmHg, HR awal 86 kali/menit dan pada akhir

tindakan 72 kali/menit, dan kemudian pasien dipindahkan ke ruang RR

dan dipasangkan EKG tetapi hanya sadapan bipolar, oxygen, tensi

meter, dan oksimetri untuk memonitoring pasien setelah post

pemasangan stent. Tidak lupa juga mengecek tanda- tanda hematoma

pada daerah puncture (Pittiruti M, 2011).

4. Komplikasi dari Pemasangan Percutaneous Coronary Intervention

Komplikasi dari tindakan PCI (Kern MJ, 2017) yaitu:

a. Kematian (< 1 %).

b. Infark miokard (<3 % sampai 5%).

c. Tindakan emergency coronary artery by pass graft(< 1 %) dan tiba-

tiba penutupan kembali pembuluh darah (0,8%).

d. Perforasi arteri koroner (<1%).

e. Beberapa komplikasi yang terjadi selama kateterisasi jantung

termasuk perdarahan pada tempat aksesvascular, pseudoaneurisma,

atrioventrikel (AV) fistula, komplikasi vascular iskemik, stroke,

alergi akibat reaksi zat kontras, dan gagal ginjal.


23

5. Jenis Stent PCI

Generasi pertama stent dibuat dari bahan bare metal. Walaupun

bare-metal stents mampu mengeliminasi risiko kolapsnya pembuluh darah

koroner, namun kurang mampu mencegah restenosis. Kira-kira 25% dari

pembuluh darah koroner yang diobati dengan bare-metal stent kembali

mengalami penyempitan, biasanya dalam waktu 6 bulan (ISIC, 2014).

Bare Metal Stent (BMS) memiliki rekurensi 20-30% untuk angiografi

stenosis dalam 6-9 bulan setelah implantasi. (PERKI, 2019).

Mulai dikembangkan stent yang dilapisi dengan obat yang mampu

menghambat proses restenosis. Jenis stent ini disebut sebagai drug-eluting

stents. Drug-eluting stents terbukti secara dramatis mengurangi kejadian

restenosis sampai dibawah 10% ( Indonesian society interventional

cardiology, 2014).

Disamping kelebihan-kelebihannya, terdapat sebuah pemikiran

bahwa drug-eluting stents berhubungan dengan sebuah komplikasi yang

jarang namun serius, yaitu late in-stent thrombosis, dimana bekuan darah

terbentuk di dalam stent setelah satu tahun atau lebih waktu

pemasangan. Karena komplikasi ini dapat bersifat fatal, maka sangat

penting pasien dengan drug-eluting stent untuk tetap mengkonsumsi obat-

obatan penghambat trombus seperti aspirin dan clopidogrel sesuai yang

diresepkan dokter pada saat kontrol dan tidak menghentikan

penggunaannya tanpa seizin dokter (Indonesian society interventional

cardiology, 2014).
24

Stent bersalut obat (drugs eluting stent) merupakan salah satu hal

yang sangat penting dalam perkembangan kardiologi intervensi, karena

DES dapat mengurangi angka restenosis. Tetapi DES ini lebih mahal

daripada stent biasa sehingga penggunaannya di negara berkembang masih

terbatas. Saat ini harga DES empat kali lebih mahal dari stent biasa (Majid,

2007).

C. Konsep Self Care Penyakit Kronis

1. Definisi Self Care

Self care dalam hal ini merupakan istilah yang lebih luas dari hanya

sekedar seperti self-care behaviour, self-care performance, self-care ability,

self-care activity, self-care compliance, self-care skills, dan self-care

practice. Self care adalah suatu proses kognitif yang aktif dimana seseorang

berupaya untuk mempertahankan kesehatan atau mengatasi penyakit

(Rockwell & Riegel, 2001). Menurut In the middle-range theory of self-

care of chronic illness, self care adalah proses pengambilan keputusan yang

naturalistik untuk menjaga kesehatan melalui praktik-praktik untuk

meningkatkan kesehatan dan mengelola penyakit (Riegel, Jaarsma, &

Stromberg, 2012, hlm. 195)

Jaarsma, stromberg, Martensson, & Dracup, (2003) mendefiniskan

self care sebagai pengambilan keputusan dan strategi yang dilakukan oleh

individu itu sendiri dalam upaya untuk mempertahankan hidup,

meningkatkan fungsi kesehatan dan sehat secara utuh


25

Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa self

care adalah proses pengambilan keputusan secara naturalistik terhadap

pemilihan tingkah laku dalam upaya untuk mempertahankan hidup,

meningkat fungsi kesehatan dan sehat secara utuh.

2. Elemen Inti Self Care

Self-care maintenance, self-care monitoring, and self-care management

adalah elemen inti dari perawatan diri penyakit kronis. Menurut Riegel

(2012) dalam teorinya yaitu A Middle-Range Theory of Self-Care of Chronic

Illnes seperti penyakit jantung koroner, membagi dalam 3 elemen inti yaitu:

a. Self care maintenance

Self care maintenance mengacu pada perilaku yang digunakan

oleh individu dengan penyakit kronis untuk menjaga stabilitas

kesehatan fisik dan mental (Riegel et al., 2012), termasuk mengikuti

rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan serta praktik promosi

kesehatan yang otonom. Item pada skala self care maintenance

mencerminkan 10 perilaku umum yang direkomendasikan untuk

menjaga stabilitas bagi orang dengan PJK: menjaga kepatuhan

pengobatan, minum aspirin atau pengencer darah lainnya,

memeriksakan tekanan darah, berolahraga, minum obat, makan

makanan rendah lemak, menggunakan sistem pengingat pengobatan

seperti alarm, makan buah-buahan dan sayuran, hindari rokok dan

perokok, dan kontrol berat badan. Item-item tersebut diambil dari


26

Simple Heart Seven dari American Heart Association dan pedoman

klinis untuk PJK.

Terdapat bukti kuat untuk efektivitas perilaku ini dalam

pencegahan sekunder dan pengurangan risiko (Maddox & Ho,; Smith

et al., dalam Riegel, 2012) misalnya, di antara pasien dengan PJK,

kepatuhan terhadap obat pencegahan sekunder (mis., Agen antiplatelet,

statin, beta blocker) dikaitkan dengan penurunan morbiditas dan

mortalitas (Fraker et al., 2007). Menurut pedoman American Heart

Association 2011, teratur dalam 30-60 menit aktivitas aerobik intensitas

sedang, seperti jalan cepat, ditambah dengan peningkatan aktivitas fisik

umum, dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mengurangi

risiko (Smith et al, dalam Riegel, 2012).

b. Self care monitoring

Self care monitoring adalah proses mengamati dan memantau

tubuh secara teratur dan rutin. Kegiatan monitoring, seperti memeriksa

kadar gula darah pada pasien diabetes, memeriksa tekanan darah bagi

pasien hipertensi, menimbang berat badan setiap hari pada pasien gagal

jantung, dan memantau gejala emosi pada penyakit mental agar

membantu dalam mencapai stabilitas fisik dan emosional. Tiga kriteria

diperlukan untuk monitoring perawatan diri yang efektif. Pertama,

perubahan signifikan secara klinis dari waktu ke waktu harus

dimungkinkan. Kedua, metode untuk mendeteksi perubahan pada diri


27

sendiri harus ada. Terakhir, tindakan yang layak harus dimungkinkan

sebagai respon.

Tujuan self care monitoring adalah untuk membentuk perubahan.

Perubahan terkait dengan penyakit kronis atau tidak serta perubahan

yang terjadi karena penyakit kronis. Individu dengan penyakit kronis,

saat tanda atau gejala mulai nampak maka dibutuhkan proses

pengambilan keputusan tentang tindakan apa yang diperlukan. Ketika

tanda dan gejala terdeteksi dini dan kondisinya serius, tindakan dapat

diambil sebelum situasi memburuk. Pasien yang terampil dalam self

care monitoring dapat mengkomunikasikan informasi kepada tenaga

profesional perawatan kesehatan yang akan memfasilitasi kemampuan

layanan untuk memberikan perawatan terbaik. Self care monitoring

adalah penghubung antara self care maintenance dan self care

management.

c. Self Care Management

Manajemen diri dari Cardiovascular disease dan penyakit kronis

lainnya mengharuskan pasien untuk memiliki (1) pengetahuan tentang

proses dan manajemen penyakit mereka, (2) keterampilan manajemen

diri untuk menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari

mereka, dan (3) keyakinan bahwa mereka dapat mempertahankan diri

Perilaku manajemen untuk mempertahankan dan meningkatkan status

kesehatan mereka (Barnason, et al, 2017). self care management

didalamnya termasuk mengevaluasi perubahan tanda dan gejala,


28

menentukan tindakan yang diperlukan, memperhatikan efektivitas

pengobatan, dan mengevaluasi hasil dari tindakan itu dan apakah harus

digunakan jika terjadi kekambuhan. Perubahan ini mungkin karena

penyakit, perawatan, atau lingkungan. Jika diperlukan respon, self care

management memerlukan implementasi perawatan dan evaluasi

perawatan. Perawatan spesifik sering kali untuk tanda dan gejala

penyakit kronis tertentu, contohnya sesak napas karena asma mungkin

memerlukan penggunaan bronkodilator tetapi sesak napas karena gagal

jantung mungkin memerlukan diuretik tambahan.

Item pada skala manajemen perawatan diri menggabungkan

konsep pemantauan dan manajemen, dengan pertanyaan tentang

pengenalan gejala dan tindakan dalam merespon gejala (yaitu, rileks,

beristirahat, mengambil nitrogliserin jika diresepkan, hubungi layanan

sesuai panduan, mengambil aspirin) dan evaluasi efektivitas tindakan

untuk digunakan di masa depan (Dickson, 2016). Terakhir, self care

management memerlukan perhatian pada efektivitas pengobatan untuk

mengevaluasi apakah pendekatan itu harus digunakan lagi jika suatu

saat terjadi kekambuhan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Self Care pada Penyakit Kronis

Menurut Riegel (2012) dalam teorinya In the middle-range theory of

self-care of chronic illness, faktor yang mempengaruhi self care

diantaranya:
29

a. Pengalaman dan Keterampilan

Pengalaman adalah salah satu penyumbang kuat untuk

pengembangan keterampilan dalam perawatan diri. Keterampilan

dalam perawatan diri sangat penting dan pasien perlu memiliki

kemampuan untuk merencanakan, menetapkan tujuan, dan membuat

keputusan. Pengalaman juga berkontribusi pada pengembangan

keterampilan, meskipun beberapa pasien memiliki pengalaman

bertahun-tahun dengan penyakit tertentu dan tidak pernah

mengembangkan keterampilan dalam perawatan diri. Tantangan bagi

para profesional perawatan kesehatan adalah untuk mengidentifikasi

apa yang telah dipelajari pasien dari pengalaman, membedakan

apakah yang diketahui benar, dan memfasilitasi pengembangan

keterampilan yang diperlukan untuk kinerja perawatan diri.

b. Motivasi

Motivasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan yang

mendorong manusia untuk mencapai tujuan mereka. Motivasi bisa

disebut intrinsik atau ekstrinsik. Motivasi intrinsik muncul dari

keinginan untuk berasimilasi dan belajar dan mencakup aspek

kenikmatan dan minat. Motivasi intrinsik didorong oleh keinginan

internal untuk melakukan tugas tertentu karena tugas itu memberi

kesenangan. Di sisi lain, motivasi ekstrinsik mengacu pada perubahan

perilaku karena itu mengarah pada hasil tertentu yang telah ditentukan
30

dan diinginkan untuk beberapa alasan (misalnya untuk meningkatkan

kesehatan, untuk menyenangkan orang lain).

Banyak perilaku self care dipicu dan didorong oleh motivasi

ekstrinsik, setidaknya pada awalnya. Artinya, individu mungkin tidak

termotivasi secara internal untuk melakukan suatu perilaku, tetapi

persepsi orang lain yang signifikan mengenai pentingnya melakukan

perilaku dapat memotivasi perawatan diri.

c. Keyakinan dan nilai-nilai budaya

Perawatan diri mungkin dipandang sangat penting di suatu

negara dimana budaya dihargai, tetapi di beberapa budaya perawatan

diri dianggap tidak penting. Dalam situasi ini, mungkin lebih penting

untuk menunjukkan cinta dan perhatian melalui perawatan dan

perhatian ketika anggota keluarga sakit. Kadang-kadang anjuran

perawatan diri mungkin bertentangan dengan kepercayaan budaya.

d. Kepercayaan

Perawatan diri sangat dipengaruhi oleh sikap dan

keyakinan seperti self-efficacy, yang didefinisikan sebagai keyakinan

bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan

tertentu dan untuk bertahan dalam melakukan tindakan itu meskipun

ada hambatan. Keyakinan dalam kemampuan untuk melakukan

perawatan diri adalah penting dalam setiap tahap proses perawatan

diri.

e. Kebiasaan
31

Kebiasaan atau rutinitas harian adalah faktor penting yang

memengaruhi perawatan diri. Beberapa pasien terbiasa melakukan

perilaku perawatan diri tertentu dan perawatan diri menjadi bagian

dari rutinitas sehari-hari mereka. Mungkin mereka yang paling

berhasil dalam perawatan diri bersedia mengadopsi perilaku yang

dipaksakan sampai perilaku ini berkembang menjadi kebiasaan

seiring waktu.

f. Kemampuan Fungsional dan Kognitif

Melakukan perawatan diri membutuhkan kemampuan

fungsional untuk terlibat dalam perilaku yang diperlukan (mis.

Mengontrol berat badan). Masalah dengan pendengaran, penglihatan,

ketangkasan manual dan energi dapat membuat perawatan diri

menjadi sulit. Selain itu, pengetahuan yang berkembang

menggambarkan bahwa penyakit kronis umumnya dikaitkan dengan

defisit kognitif yang dapat membuat perawatan diri menjadi sangat

menantang.

g. Dukungan dari Orang Lain

Meskipun perawatan diri, menurut definisi, dilakukan oleh

individu, adalah naif dengan menyarankan bahwa perawatan diri

selalu dilakukan sendiri. Sebaliknya, sebagian besar orang yang sakit

kronis akan mengakui kontribusi penting (komunikasi, pengambilan

keputusan, dan timbal balik) keluarga dan teman-teman dan menjadi


32

suatu proses yang disebut sebagai perawatan bersama ketika

melibatkan dua orang dewasa yang kompeten.

h. Akses ke pelayanan kesehatan

Perawatan diri dari penyakit kronis seringkali dipengaruhi

sampai taraf tertentu oleh penyedia layanan setelah mengakses sistem

perawatan kesehatan untuk mendapatkan perawatan. Namun, harus

diakui bahwa sebagian besar dari mereka yang menderita penyakit

kronis tidak memiliki akses ke penyedia dalam sistem perawatan

kesehatan yang terorganisir karena berbagai alasan (mis. Ekonomi,

lokasi). Orang-orang ini mendapatkan bimbingan dari para tetua desa,

pekerja masyarakat, orang tua, tetangga, dan teman-teman. Tanpa

akses ke penyedia layanan kesehatan terlatih, hasil yang terkait

dengan penyakit kronis biasanya buruk

4. Alat Ukur Self Care pada Pasien PJK

Terdapat beberapa alat ukur generik maupun spesifik dalam

mengukur Self care pada pasien PJK ataupun pada pasien post PCI

diantaranya:

a. Self Care of Coronary Artery Disease Inventory Patient version (SC-

CHDI)

Alat ukur ini dikembangkan oleh Victoria Vaughan Dickson et

al (2016). Nilai validitas kuesioner ini adalah r = 0.44 – 0,81.

Kuesioner ini dikembangkan Berdasarkan In the middle-range theory


33

of self-care of chronic illness, dalam kuesioner ini terdapat 22 item

untuk mengukur self maintenance, self management, dan self

confidence pada pasien dengan PJK. Item pada SC-CHDI dirancang

dalam dua skala untuk merefleksikan dua konstruksi teoretis:

Maintenance dan management perawatan diri. Selain itu, skala yang

ada untuk mengukur self confidence perawatan diri diadaptasi untuk

PJK. Setiap skala diberi skor secara terpisah dan terstandarisasi untuk

skor 0-100, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan perawatan

diri atau kemandirian perawatan diri yang lebih baik (McDowel,

2006).

Pada domain self maintenance, responden menilai seberapa

sering mereka terlibat dalam setiap perilaku pada skala ordinal mulai

dari satu (tidak pernah atau jarang) hingga empat (selalu atau setiap

hari). Skala empat poin digunakan untuk menghindari jawaban yang

netral. Nilai reliabel pada domain self maintenance adalah 0,87

(Dickson, 2016). Pada domain self management pengenalan nilai pada

skala ordinal 0-4(tidak mengenali, tidak cepat, agak cepat, dengan

cepat, sangat cepat mengenali), Perilaku manajemen dinilai dalam hal

seberapa besar kemungkinan responden untuk mengambil tindakan

sebagai respons terhadap suatu gejala 1-4 (tidak mungkin, agak

mungkin, mungkin, sangat mungkin). Efektivitas pengobatan dinilai

dengan satu item yang meminta jaminan atas tindakan yang

dilakukan, diberi peringkat pada skala ordinal 0-4 (saya tidak


34

mencoba apapun, tidak yakin, agak yakin, yakin, sangat yakin). Nilai

reliabel pada domain self Management adalah 0,76. (Dikson, 2016)

Domain self confidence, Skala kepercayaan diri perawatan, yang

mengukur efikasi diri perawatan diri (Eller, Lev, Yuan, & Watkins,

2016), digunakan untuk menilai kepercayaan pada kemampuan untuk

secara efektif melakukan semua elemen perawatan, maintenance,

monitoring, dan management, termasuk kemampuan untuk tetap

bebas dari gejala, mengikuti saran perawatan, mengenali perubahan

kesehatan tubuh, mengevaluasi pentingnya gejala, melakukan sesuatu

untuk meredakan gejala, dan mengevaluasi efektivitas pengobatan.

Item pada skala kepercayaan diri dinilai pada skala ordinal mulai dari

1-4 (tidak percaya diri, agak percaya diri, sangat percaya diri, dan

amat sangat percaya diri). Nilai reliabel self confidence adalah 0,84

(Dickson, 2016).

b. Coronary Artery Disease Self-Management Scale (CSMS)

CSMS awalnya dikembangkan oleh Ren Hongyan (2009)

dalam versi Mandarin, dan banyak digunakan pada pasien PJK yang

dirawat di rumah sakit. CSMS yang dimodifikasi adalah 26 item skala

dibagi menjadi 3 dimensi termasuk (a) perilaku manajemen diri

emosional dengan 4 item yang mengukur kegiatan rekreasi, tekanan

emosional dan gaya koping; (b) perilaku swadaya kehidupan sehari-

hari dengan 8 item menangani gaya hidup sehari-hari, termasuk

kebiasaan diet, konsumsi alkohol, penggunaan tembakau, bekerja,


35

istirahat dan kebiasaan olahraga; (c) Perilaku manajemen diri medis

dengan 14 item mengukur gejala perilaku manajemen diri,

pengetahuan tentang penyakit dan perawatan kesehatan, kepatuhan

pengobatan dan perilaku manajemen diri darurat. Setiap item dinilai

pada Skala Likert 0 hingga 5 di mana 0 buruk dan 5 bagus. Skor total

dari terendah berkisar antara 26 hingga tertinggi 130, dengan skor

yang lebih tinggi menunjukkan perilaku manajemen diri yang lebih

baik (Ren et al., 2009). Hasil tes psikometri menghasilkan konsistensi

internal (Cronbach's alpa = 0,913), kriteria terkait validitas (r = 0,271-

0,573) (Ren et al., 2009).

c. Health promoting lifestyle profile II (HPLP II)

HPLP II telah digunakan secara luas untuk mengukur gaya

hidup yang mempromosikan kesehatan seseorang. HPLP II pertama

kali dirancang oleh Walker et al (1987). HPLP II mencakup 52 item

yang mencakup 6 domain: tanggung jawab kesehatan, aktivitas fisik,

nutrisi, pertumbuhan spiritual, hubungan interpersonal, dan

manajemen stres. Setiap domain berisi 9 item, tidak termasuk aktivitas

fisik dan manajemen stres, yang hanya berisi 8 item. Setiap item

dinilai pada skala 4 poin (tidak pernah = 1, kadang-kadang = 2, sering

= 3, dan secara rutin = 4). Skor total HPLP II berkisar dari minimal 52

hingga maksimal 208. Skor rendah menunjukkan tingkat gaya hidup

yang meningkatkan kesehatan. Pada penelitian sebelumnya HPLP II

pada pasien post PCI memiliki nilai reliabilitas alpha Cronbach


36

adalah 0,90 (Xiao et al, 2018). Koefisien korelasi Pearson antara

HPLP-II yang direvisi dan item-itemnya berada dalam kisaran 0,27-

0,65 (Tanjani et al, 2016).

d. Appraisal of Self Care Scale (A.S.A)

Kuisioner ini pertama kali dirancang oleh Isenberg dan Evers

(1989). Kemudian Evers melakukan uji validitas dan reliabilitas skala

versi Belanda. Skala ini telah digunakan di berbagai negara seperti

Norwegia, Cina dan Turki (Akyol 2007, soderhamn 2001). Orem

sendiri juga menyetujui kuesioner ini dan percaya bahwa ia telah

menilai dengan baik semua komponen agensi perawatan-diri meliputi

domain kuesioner tersebut yaitu kekuatan untuk terlibat, operasi

perawatan-diri yang diperkirakan dan operasi perawatan-diri yang

produktif (Evers 1989). Skala ini memiliki 24 item dan itu adalah

kuesioner Likert lima respons. Setiap pertanyaan memiliki lima

jawaban yang berkisar dari sangat tidak setuju hingga sepenuhnya

setuju. Nilai-nilainya antara 1 (sama sekali tidak setuju) sampai 5

(sepenuhnya setuju) (Soderhamn, 2001). Skor yang lebih tinggi

menunjukkan agensi perawatan diri yang lebih besar.

Kuesioner ini juga sudah tersedia dalam versi revised nya ( the

appraisal self care agency scale-ASAS-R 15 item) yang direvisi dari

versi aslinya (ASAS) oleh Sousa (2010). Empat item ASAS direvisi

berdasarkan rekomendasi dari temuan penelitian kami sebelumnya

(Sousa et al, 2008). Keempat item yang direvisi adalah: (1) Ketika
37

dibutuhkan, saya berhasil meluangkan waktu untuk mengurus diri

sendiri; (2) Selama bertahun-tahun, saya telah mengembangkan

lingkaran teman yang dapat saya panggil untuk membantu saya

merawat diri sendiri; (3) Ketika menerima informasi mengenai

kesehatan saya, saya jarang meminta klarifikasi persyaratan yang saya

tidak mengerti untuk merawat diri sendiri secara memadai; dan (4)

saya tidak selalu bisa merawat diri dengan cara yang saya inginkan.

Kuesioner ini memiliki alfa (a) Cronbach keseluruhan sebesar 0,89

dan Semua korelasi antar item dan item-ke-total memenuhi kriteria

yang direkomendasikan r = 0,30 hingga r = 0,70 (Sousa, 2010).

e. The Cardiac Health Behaviour Scale (CHB)

CHB awalnya dikembangkan pada tahun 2000 (Song & Lee,

2000) untuk menilai perilaku kesehatan terkait jantung dari individu

dengan penyakit arteri koroner yang berpartisipasi dalam rehabilitasi

jantung di Korea. The Cardiac Health Behavior Scale digunakan

untuk mengukur kemungkinan terlibat dalam lima jenis perilaku

kesehatan perawatan diri berikut ini: tanggung jawab kesehatan (5

item), konsumsi diet sehat (8 item), olahraga (4 item) , manajemen

stres (5 item), dan berhenti merokok (3 item). Skala laporan diri 25-

item ini menggunakan format respons 4-titik dari 1 (tidak pernah)

hingga 4 (secara rutin), dan menggunakan skor terangkum, di mana

dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan frekuensi perilaku

berperforma yang lebih tinggi yang menguntungkan bagi kesehatan


38

jantung. Nilai Content Validity Index (> 0.80) (Song et al, 2001) dan

nilai cronbach alfa pada penelitian sebelumnya dari kuesioner ini

adalah 0,87 ( Ahn, 2016).

f. The Medical Outcome Study Patient Adherence

The Medical Outcome Study Patient Adherence pertama kali

dibuat oleh hays dari RAND Health care (1994). Baik ukuran umum

dan khusus, instrumen ini dikembangkan untuk menilai kepatuhan

pasien dengan penyakit jantung (gagal jantung kongestif atau infark

miokard baru-baru ini), diabetes, dan hipertensi. Keandalan

konsistensi internal dari skala dapat diterima (cronbach alpha = 0,81)

(Hays, 1994). Korelasi antara kepatuhan spesifik dan kepatuhan

umum cenderung sangat kecil, berkisar antara -0,12 hingga 0,29

(Hays, 1994). Skala kepatuhan umum MOS menggunakan enam

tanggapan mulai dari "tidak ada waktu" hingga "sepanjang waktu" dan

memasukkan hal-hal berikut: (1) "Saya mengalami kesulitan

melakukan apa yang disarankan oleh dokter kepada saya"; (2) "Saya

merasa mudah untuk melakukan hal-hal yang disarankan dokter saya

lakukan"; (3) "Saya tidak dapat melakukan apa yang diperlukan untuk

mengikuti rencana perawatan dokter saya"; (4) "Saya mengikuti saran

dokter saya dengan tepat"; dan (5) "Secara umum, seberapa sering

selama 4 minggu terakhir Anda dapat melakukan apa yang dokter

katakan kepada Anda?" (Kravitz et al, 1993)..The Medical Outcomes

Study (MOS) Measures of Patient Adherence memiliki 6 perilaku


39

kesehatan melliputi (1) diet rendah garam, (2) diet rendah lemak dan

/ atau diet penurunan berat badan, (3) olahraga teratur, (4)

pengurangan stres dalam kehidupan sehari-hari, ( 5) minum

secukupnya, dan (6) berhenti merokok (Lee, 2018).

g. The Self-Care of Chronic Illness Inventory

The Self-Care of Chronic Illness Inventory pertama kali dibuat

oleh Riegel et al (2018). Kuesioner ini bersifat generik untuk

mengukur self care pada penyakit kronis secara umum. The SC-CII

mencerminkan perawatan diri seperti yang dijelaskan dalam in the

middle range theory of chronic illnes (Riegel et al. 2012). Instrumen

ini memiliki 3 domain diantaranya self maintenance (8 item), self

monitoring (5 item) dan self management (7 item) dengan nilai

reliability nya berkisar antara 0,67 sampai 0,81 dan untuk content

validity index masing-masing domain juga berkisar antara 0,88 sampai

0,96 (Riegel et al, 2018). Semua item dinilai pada skala respons

ordinal 5 poin. Skor yang lebih tinggi menunjukkan perawatan diri

yang lebih baik.

5. Hasil Penelitian Self Care pada Pasien PJK Setelah PCI

Self care pada pasien penyakit kronik salah satunya adalah PJK

digambarkan sebagai suatu proses dimana pasien berpartisipasi secara

aktif dalam melakukan managemen penyakit kronis baik secara mandiri

maupun dengan bantuan keluarga ataupun petugas kesehatan. Aktifitas


40

yang dilakukan dalam self care pasien penyakit kronis salah satunya PJK

ini meliputi self care maintenance, self care monitoring, dan self care

management (Riegel, 2012). Beberapa Penelitian di Indonesia melaporkan

bahwa pasien pada penyakit jantung belum melaksanakan self care secara

tepat seperti yang telah diajarkan misalnya mematuhi pengobatan yang

diberikan, diet rendah garam, aktivitas fisik yang teratur, pembatasan

cairan, monitor berat badan setiap hari, serta mengenal secara dini tanda

dan gejala (Djamaludin, 2018).

Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Zhang (2020) yang berjudul “Relationship between self-management

behaviors and health-related quality of life among Chinese patients with

coronary heart disease: A crosssectional study” dengan sampel 220

partisipan yang direkrut dari sebuah komunitas di Cina dengan pengukuran

menggunakan Coronary Artery Disease Self-Management Scale (CSMS)

menemukan bahwa pasien PJK di komunitas Cina memiliki perilaku self

management yang tidak memadai. Penelitian tersebut sejalan dengan studi

penelitian di Skotlandia berjudul “Self-management of coronary heart

disease in older patients after elective percutaneous transluminal

coronary angioplasty” menyimpulkan bahwa manajemen diri CHD pada

pasien di atas 65 tahun yang telah menjalani PTCA elektif untuk

pengelolaan gejala angina stabil adalah kurang optimal. (Dawkes et al,

2016)
41

Hal ini berbeda dengan penelitian Xiao L et al (2018) dengan judul

“Health-promoting Lifestyle in Patients after Percutaneous Coronary

Intervention” yang menggunakan kuesioner the Health Promoting

Lifestyle Profile (HPLP) II di Cina yang melaporkan bahwa pada pasien

paska PCI 74,2% memiliki perilaku gaya hidup sehat pada tingkat sedang

dengan tingkat manajemen stress dan akifitas fisik yang rendah. Penelitian

tersebut didukung oleh penelitian di Iran yng berjudul “Factors Associated

with Self-care Agency in Patients after Percutaneous Coronary

Intervention (PCI)” yang menggunakan kuesioner Appraisal of Self-care

Scale Scale (A.S.A) yang dimodifikasi menyimpulkan bahwa 300 pasien

post PCI sebagian besar pasien (72%) memiliki tingkat self care agency

yang baik. Self care agency memiliki tingkat yang lebih tinggi pada pasien

yang menikah dan berpenghasilan lebih tinggi (Saeidzade dan kakhk,

2016). Self care dapat meningkatkan kualitas hidup klien dengan penyakit

jantung seperti gagal jantung ataupun penyakit jantung koroner untuk

secara efektif mengelola gejala dari penyakit tersebut, selain itu self care

management juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

kualitas hidup diantara pasien setelah PCI (Smeltzer, Bare, Hinkle, &

Cheever, 2008; Takematsu, 2014)).


42

D. Konsep Dasar Kualitas Hidup

1. Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup menurut World Health Organization Quality of Life

WHOQOL (1996) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi

individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana

individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang

ditetapkan dan perhatian seseorang.

Kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional, terdapat

tiga konsep kualitas hidup yaitu menunjukan suatu konsep

multidimensional, yang berarti bahwa informasi yang dibutuhkan

mempunyai rentang area kehidupan dari penderita itu, seperti kesejahteraan

fisik, kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi atau sosial, menilai

celah antara keinginan atau harapan dengan sesuai kemampuan untuk

melakukan perubahan dalam diri (Ware dalam Rachmawati, 2013).

Berdasarkan penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa kualitas

hidup adalah persepsi individual dimasyarakat dalam konteks nilai dan

budaya dan sistem nilain dimana individu hidup dan merupakan bentuk

multidimensional dan terdapat tiga konsep kualitas hidup seperti

kesejahteraan fisik, kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi.

2. Aspek-Aspek Kualitas Hidup

Menurut WHOQOL-BREF (1996) terdapat empat aspek mengenai

kualitas hidup, diantaranya sebagai berikut :


43

a. Kesehatan fisik, mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada

obat-obatan, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan

ketidaknyamanan, tidur atau istirahat dan kapasitas kerja.

b. Kesejahteraan psikologis, mencakup gambaran diri, perasaan negatif,

perasaan positif, harga diri, spiritual, pribadi, berpikir, belajar, memori

dan konsentrasi.

c. Hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial, aktivitas

seksual.

d. Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber finansial, kebebasan,

keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial

termasuk aksesibilitas dan kualitas, lingkungan rumah, kesempatan

untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan,

partisispasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan

kegiatan yang menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik

termasuk polusi/kebisingan/lalu lintas/iklim serta transportasi.

3. Alat Ukur Kualitas Hidup Penyakit Jantung Koroner

Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan seseorang dapat

menggunakan kuesioner yang berisi faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup. Alat ukur Spesifik merupakan alat ukur yang spesifik untuk

mengukur penyakit-penyakit tertentu, biasanya berisi pertanyaan-

pertanyaan khusus yang sering terjadi pada penyakit yang diderita oleh

klien. Kelebihan alat ukur ini yaitu dapat memberikan hasil yang lebih tepat

yang terkait keluhan atau hal khusus yang berperan dalam suatu penyakit
44

tertentu. Kelemahan pada alat ukur ini tidak dapat digunakan pada

pengukuran penyakit lain. Dibawah ini beberapa alat ukur generik maupun

spesifik yang dapat digunakan dalam mengukur kualitas hidup pada PJK

ataupun post PCI dan sudah valid serta reliabel.

a. Seattle angina questionnaire

Seattle Angina Questionnaire (SAQ) adalah skala yang paling

banyak digunakan dalam Kardiologi. Alat ukur ini pertama kali

dikembangkan oleh Spertus (1995) dan sudah diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia. Kuesioner ini memiliki 19 pertanyaan meliputi 5

buah dimensi klinis yaitu 1) keterbatasan fisik (9 item); 2) frekuensi

angina (2 item); 3) stabilitas angina ( 1 item); 4) Kepuasan terhadap

pengobatan (4 item); dan 5) Persepsi terhadap penyakit (3 item). Setiap

skala diubah menjadi skor 0 hingga 100, di mana skor yang lebih tinggi

menunjukkan fungsi yang lebih baik (lebih sedikit keterbatasan fisik,

lebih sedikit angina, dan kualitas hidup yang lebih baik). (Spertus, et al

1995).

Nilai Validitas Seattle Angina Questionnaire yaitu 0,83 untuk

dimensi keterbatasan fisik, 0,24 untuk dimensi stabilitas angina, 0,76

untuk dimensi frekuensi angina, 0,81 untuk dimensi kepuasan terhadap

pengobatan, 0,78 untuk dimensi persepsi terhadap penyakit ( r =0,24 –

0,83) (Spertus, et al., 1995). Nilai Alfa Cronbach berkisar dari 0,51

hingga 0,96 (Seki et al, 2010).

b. Angina Pectoris Quality of Life Questionnaire (APQLQ)


45

Angina Pectoris Quality of Life Questionnaire (APQLQ)

dikembangkan di Prancis dan terdiri dari 22 item yang dibagi menjadi

4 domain aktivitas fisik, gejala somatik, tekanan emosi, dan kepuasan

hidup. Kuesioner ini khusus untuk mengukur kualitas hidup pada pasien

dengan angina/nyeri dada yang diakibatkan oleh PJK. Aktivitas fisik

APQLQ, gejala somatik dan domain tekanan emosional berkorelasi

baik dengan mobilitas fisik SF-36 masing-masing, stres emosional dan

domain kesehatan mental dengan nilai reliabilitas (alpha 0,76-0,84)

(Marquis et al, 1995). Estimasi konsistensi internal untuk 4 skala

rentang APQLQ dari 0,82 hingga 0,90 ( Marquis et al, 1995).

c. Short-Form 36 (SF-36)

The 36-Item Short-Form Health Survey (SF-36) dibuat oleh

Ware et al pada tahun 1992 dan merupakan ukuran status kesehatan

yang paling banyak digunakan di seluruh dunia (wood-Dauphinee S,

1999). Kualitas hidup terkait kesehatan diukur oleh SF-36, yang

mencakup 36 item yang mencakup 8 domain. Domain-domain ini

termasuk kesehatan umum (GH, 5 item), fungsi fisik (PF, 10 item),

peran emosional (RE, 3 item), nyeri tubuh (BP, 2 item), vitalitas (VT,

4 item), peran fisik ( RP, 4 item), kesehatan mental (MH, 5 item) dan

fungsi sosial (SF, 2 item) (Ware & Sherbourne, 1992). Skor normal

pada setiap domain berkisar dari 0 hingga 100, dan skor yang lebih

tinggi mewakili HrQoL yang lebih tinggi (Wong, 2015). Pada beberapa

studi nilai reliabilitas cronbach alfa pada kuesioner SF 36 versi Bahasa


46

Indonesia adalah antara 0,77 – 0,927 (Rachmawati dkk, 2014). Nilai

validitas instrumen ini juga menghasilkan >0,40 (Rachmawati dkk,

2014).

d. 2.0 of the Short Form Health Survey the Korean version

Kuesioner ini merupakan versi 2.0 dari SF-36. Kuesioner ini hanya

memiliki 2 domain yaitu komponen fisik dan mental. Skor yang lebih

tinggi menunjukkan QOL yang lebih baik dalam dimensi yang sesuai.

Validitas kriteria dari formulir telah dikonfirmasi dengan skala QOL

spesifik CVD dengan validitas r = 0,53 – 0,62 pada populasi CVD di

korea (Lee EH, Tahk SJ, Shin JH, Lee YW, Song R, 2007). Efisiensi

reliabilitas cronbach alfa dalam penelitian ini adalah 0,75 – 0,85 ( Lee

et al, 2018).

e. MacNew Heart Disease Health-Related Quality of Life Instrument

Instrumen ini pertama kali dibuat oleh Valenti et al tahun 1996

Instrumen ini khusus untuk mengukur spesifik penyakit jantung

koroner yang terdiri dari 27 item. Kuesioner MacNewHeart adalah

modifikasi dari Quality of Life after Myocardial Infarction kuesioner

(QLMI). Ada tiga domain dalam kuesioner MacNew, yaitu

keterbatasan fisik, fungsi emosional, dan fungsi psikologis dengan total

27 item. Kuesioner MacNew telah diadaptasi ke dalam 28 bahasa

dengan langkah-langkah yang lebih tepat untuk uji intervensi dan

perawatan klinis rutin ((Höfer et al., 2012). Skor setiap item berkisar

dari 1 (sepanjang waktu) hingga 7 (tidak ada waktu) dengan skor yang
47

lebih tinggi berarti HRQOL yang lebih tinggi. Untuk masing-masing

dari tiga domain, respons rata-rata dari setiap domain. Skor global

diperoleh dari rata-rata respons dari 27 item. (Dixon et al., 2002).

Konsistensi internal kuesioner itu baik (r = 0,816-0,900) dengan nilai

cronbach alfa secara keseluruhan adalah 0,900 ( Wulandari et al, 2019).

f. Coronary Revascularisation Outcome Questionnaire (CROQ)

CROQ adalah kuesioner berbasis pasien yang secara spesifik

dapat mengevaluasi HRQoL dan hasil kesehatan sebelum dan sesudah

revaskularisasi koroner, seperti bedah bypass arteri koroner (CABG)

dan angioplasti koroner transluminal perkutan (PTCA) perkutan

(Schoter et al, 2004). Di antara empat versi CROQ, versi post-

revaskularisasi (CROQPTCA_Post) sangat cocok digunakan untuk

mengukur kualitas hidup pada pasien PJK setelah melakukan PCI.

CROQPTCA_Post berisi enam sub-skala item yang mengukur gejala (7

item), fungsi fisik (8 item), fungsi psikososial (14 item), fungsi kognitif

(3 item), kepuasan (6 item), dan efek buruk (6 item). Setiap item dinilai

pada skala Likert 3-6 poin; dengan demikian, skor total CROQ berkisar

dari 0 hingga 100. Skor yang tinggi menunjukkan kualitas hidup yang

baik. Dalam versi Bahasa Koreanya, instrumen ini memiliki nilai

validitas total korelasi antara rentang 0,27 – 0,83 dengan nilai

reliabilitas cronbach alfa dengan rentang 0,33 – 0,92 (Kim M et al,

2017).

g. Euroqol quality of life scale (EQ-5D)


48

Instrumen Kualitas Hidup Eropa (EuroQol), sekarang secara

umum dikenal sebagai EQ-5D, dikembangkan oleh para peneliti di lima

negara Eropa sebagai ukuran dengan serangkaian inti item status

kesehatan generik, berdasarkan pada PROM yang ada (Euroqol grup,

1990). ini memiliki 5 dimensi (mobilitas, perawatan diri, kegiatan yang

biasa, rasa sakit / tidak nyaman dan kecemasan / depresi) yang dapat

diubah menjadi skor utilitas dan Skala Analogi Visual (VAS)

kesehatan. Pada populasi pasien penyakit kronis gagal ginjal kronik

yang menajalani hemodialisa, instrumen ini memiliki nilai validitas 0,

418 – 0,621 dan nilai reliabilitas cronbach alfa 0,602 (Susanto, 2019).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup pada Pasien

Penyakit Jantung Koroner

Menurut Nazir (2007), Nuraeni dkk (2016) dan (Smeltzer, Bare,

Hinkle, & Cheever, 2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup kesehatan pada pasien penyakit jantung

koroner setelah PCI diantaranya::

a) Usia

Usia adalah faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dimana

pria ≥ 45 tahun dan wanita ≥ 55 tahun rentan terkena penyakit ini.

Lebih dari 50% korban serangan jantung adalah orang yang berusia

65 tahun atau lebih ; 85% kematian akibat infark miokardium terjadi

pada kelompok ini (priscillia le mone et al 2012). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan terhadap 172 pasien penyakit jantung


49

koroner, dilaporkan bahwa 33,2% pasien berusia >75 tahun

mempunyai kualitas hidup buruk dibandingkan dengan pasien yang

berusia lebih muda. Pasien berusia 18-24 tahun hanya 7,5% yang

mempunyai kualitas hidup buruk (Steiglman et al, 2006).

Seiring bertambahnya usia seseorang lebih rentan terhadap

penyakit jantung koroner, namun jarang menyebabkan penyakit serius

sebelum 40 tahun dan meningkat 5 kali lipat pada usia 40-60 tahun

(Price & wilson, 2006). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian

Ghani dkk (2016) yang menunjukkan bahwa usia mempunyai

hubungan bermakna dalam meningkatkan risiko kejadian penyakit

jantung koroner yang dimana responden yang berusia ≥ 40 tahun

berisiko 2,72 kali dibanding < 40 tahun utntuk terkena penyakit

jantung koroner. Usia merupakan faktor risiko penyakit jantung

koroner dimana penambahan usia akan meningkatkan risiko

terjadinya penyakit jantung koroner. Semakin tua usia maka semakin

besar timbulnya plak yang menempel di dinding dan menyebabkan

gangguan aliran darah yang melewatinya (Ghani, 2016). Selain itu

penelitian Marleni (2017), menyatakan bahwa memang terdapat

hubungan antara umur terhadap kejadian penyakit jantung koroner

(pvalue=0,002),

b. Jenis kelamin

Kusumawaty (2016) menyatakan bahwa Laki-laki cenderung

berisiko mengalami penyakit kardiovaskular dihubungkan dengan


50

pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok dan konsumsi

minuman keras dibandingkan perempuan. Jenis kelamin wanita

mempunyai risiko yang lebih rendah karena adanya hormon

esterogen. Perlindungan oleh hormon ini berlangsung selama wanita

belum menopause, dan ketika wanita sudah menopuse maka risiko

penyakit kardiovaskular akan meningkat dan sama dengan pria

((Farahdika & Azam, 2015). Penelitian Marleni (2017) berpendapat

bahwa dari beberapa faktor penyebab penyakit jantung koroner salah

satunya jenis kelamin, terutama pada laki-laki yang dengan kebiasaan

merokok yang mengakibatkan rusak (Nekrosis) pada jaringan dan

pembuluh darah karena adanya plak-plak yang dapat menekan sistem

kerja jantung, juga pada laki-laki tidak dapat mengontrol stres karena

laki-laki banyak bekerja diluar rumah, selain itu penelitian tersebut

juga menyimpulkan bahwa memang terdapat hubungan antara jenis

kelamin terhadap kejadian penyakit jantung koroner (p-value=0,002).

Hal berbeda diungkapkan oleh Kristofferzon (2005) yang

mengungkapkan bahwa perempuan mempunyai kualitas hidup yang

lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Banyak perempuan

bertanggung jawab untuk tugas-tugas rumah tangga dibandingkan

dengan laki-laki yang berdampak terhadap pemulihan kesehatan, hal

ini sesuai dengan survey dimana wanita lebih banyak memiliki

masalah kesehatan setelah infark miokard seperti seringnya nyeri dada

dibandingkan dengan laki-laki.


51

c. Status pernikahan

Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup

dengan menggunakan kuesioner SF-36 terhadap 145 laki-laki dan

wanita, dilaporkan bahwa laki-laki dan wanita yang sudah menikah

memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan yang

belum menikah atau yang sudah bercerai. Kualitas hidup yang baik

pada laki-laki dan wanita yang sudah menikah karena adanya

dukungan sosial dari pasangannya (Chan et al, 2005). Hal tersebut

sejalan dengan penelitian Wikananda (2015) yang menyimpulkan

bahwa proporsi kualitas hidup sangat baik ditemukan pada pasangan

yang telah menikah sebanyak 8,8%. Hal ini sejalan dengan teori

dimana status tidak menikah atau perceraian berhubungan resiko

hidup sendiri, dimana hidup sendiri merupakan faktor resiko

penurunan dalam kualitas hidup (Fatima et al, 2010)

d. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dan pengetahuan merupakan faktor yang

berkaitan dengan kualitas hidup pasien penyakit jantung kronik

(Rognerud & Zahl dalam Akhmad, 2016). Pasien yang memiliki

tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mudah untuk mendapatkan

informasi terkait kondisi yang sedang dialami, maupun menganalisis

masalah yang akan timbul, serta bagaimana mengatasi masalah

tersebut (Nurchayati dalam akhmad, 2016). Semakin tinggi tingkat

pengetahuan seseorang maka akan semakin baik dalam memilih


52

tindakan terapi yang tepat dalam pemulihan kondisinya sehigga

kualitas hidup pasien juga akan meningkat.

e. Penghasilan

Penduduk dengan penghasilan kurang dari US$ 15.000

pertahun mempunyai kualitas hidup buruk. Sesuai dengan pendapat

Panthell & Kritpracha (2011) bahwa pasien dengan sosio ekonomi

yang rendah, lebih ansietas dibandingkan ekonomi yang lebih tinggi,

hal ini akan berdampak pada kualitas hidupnya.

f. Pekerjaan

Pekerjaan ternyata juga mempengaruhi kualitas hidup,

seseorang yang sudah pensiun, tidak bekerja dan yang tidak dapat

bekerja lagi, mempunyai kualitas hidup yang buruk (CDC dalam

Nazir, 2007). Penelitian Nazir (2007) juga menyatakan bahwa,

kualitas hidup pasien yang masih aktif bekerja ternyata lebih baik

dibanding dengan pensiunan (komponen peran fisik, rasa nyeri,

kesehatan umum dan ringkasan komponen fisik).

g. Cemas dan depresi

Penelitian Nuraeni dkk (2016) menyatakan bahwa cemas dan

depresi merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dan

memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup. Cemas

dan depresi memiliki koefisien korelasi (r) negatif, hal ini berarti

semakin tinggi kecemasan dan depresi maka kualitas hidup akan

semakin rendah. Penelitian ini juga menyatakan bahwa variabel


53

depresi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi kualitas

hidup responden. Lebih jauh hasil penelitian menjelaskan bahwa

pasien PJK yang tidak mengalami kecemasan kualitas hidupnya 4,7

kali lebih baik dibanding pasien cemas, sedangkan pasien yang tidak

mengalami depresi memiliki kualitas hidup 5,4 kali lebih baik

dibanding dengan pasien depresi.

Stres, cemas maupun depresi secara langsung dapat

memengaruhi jantung. Berawal dari stimulasi sistem saraf simpatis

kemudian akan meningkatkan heart rate (HR), kecepatan konduksi

melalui AV node, dan kekuatan kontraksi atrial dan ventrikel

jantung serta vasokonstriksi pembuluh darah yang akan

mengaktifkan sistem renin angiotensin. Kondisi tersebut akan

meningkatkan kebutuhan supply oksigen di jantung, sedangkan

pasien dengan PJK memiliki gangguan dalam aliran darah koroner

dengan kata lain kebutuhan oksigen yang meningkat tersebut sulit

untuk terpenuhi (Lewis, Heitkemper, & Dirksen,; Monahan, Sands,

Neighbors, Marek, & Green, dalam Nuraeni, 2016)

h. Revaskularisasi

Penelitian Nuraeni dkk (2016) menyatakan bahwa

revaskularisasi memiliki nilai r positif hal ini berarti pasien yang

menjalani revaskularisasi seperti pemasangan stent akan memiliki

kualitas hidup yang tinggi. pasien yang menjalani revaskularisasi

jantung memiliki kualitas hidup 3,23 kali lebih tinggi dibandingkan


54

dengan pasien yang tidak menjalani revaskularisasi jantung.

Revaskularisasi merupakan satusatunya faktor yang memengaruhi

positif yang mampu meningkatkan kualitas hidup pasien PJK dalam

penelitian ini.

i. Kesejahteraan spiritual

Penelitian Nuraeni dkk (2016) menyatakan bahwa

kesejahteraan spiritual memiliki nilai r positif hal ini berarti pasien

yang memiliki kesejahteraan spiritual yang tinggi akan memiliki

kualitas hidup yang tinggi begitupun sebaliknya. Penelitian Hikmah

(2016), menyatakan bahwa memang terdapat hubungan antara

kecerdasan spiritual dengan kualitas hidup pasien penyakit jantung

koroner.

j. Self care management

Kemampuan self care yang diperoleh melalui pengalaman

menderita penyakit kronis akan berdampak pada perubahan gaya

hidup dan secaran langsung dapat memengaruhi kualitas hidup

pasien itu sendiri (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Divya Cahyaningrat dkk (2020)

berjenis quasi eksperiment dengan pre-post test one-group design

pada 25 klien PJK menyimpulkan bahwa memang Ada pengaruh

edukasi self management terhadap kualitas hidup pada klien dengan

penyakit jantung koroner. Sejalan dengan penelitian tersebut,

penelitian yang dilakukan oleh Amini (2017), berjenis Quasi-


55

experimental Study pada 92 pasien dengan penyakit jantung iskemik

menyimpulkan terdapat pengaruh dari health related life style

management terhadap kualitas hidup pada psien tersebut.

5. Hasil Penelitian Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit Jantung

Koroner Setelah PCI

Health related quality of life (HRQOL) didefinisikan sebagai

suatu subjektifitas yang terdiri dari multi dimensional yang merujuk pada

kondisi kesehatan seseorang dalam keadaan sehat sejahtera, termasuk

didalamnya kapasitas fungsional, status psikologis, fungsi sosial dan

persepsi terhadap kesehatannya. Pasien dengan kondisi penyakit kronis

seperti PJK mengharapkan terjadi peningkatan harapan hidup dan

memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan yang

dijalani setiap hari ( Moser, Yamokoski, Sun, Conway, Hartman, dan

Graziano, 2009). Pasien dengan penyakit jantung melaporkan kualitas

hidup terkait kesehatan (HRQoL) yang secara signifikan lebih buruk

dibandingkan dengan populasi tanpa penyakit kronis, mirip dengan pasien

dengan kondisi kronis lain yang berpotensi membuat lumpuh, seperti

diabetes, radang sendi dan depresi (Tusec Bunk, 2016).

Kualitas hidup yang buruk akan menimbulkan berbagai

permasalahan yang buruk pula pada kesehatan dan kehidupan pasien.

Kualitas hidup menjadi indikasi keberhasilan terapi atau pengobatan

pasien, terutama pada pasien-pasien yang menderita penyakit kronis,

khususnya penderita PJK. Dalam hal ini intervensi yang tepat dibutuhkan
56

untuk memperbaiki kualitas hidup atau meningkatkan kualitas hidup pada

penderita penyakit kronis (Hikmah, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Srivasta et al (2017) dengan judul

“Quality of Life in Patients with Coronary Artery Disease and Panic

Disorder: A Comparative Study” menyimpulkan bahwa kualitas hidup

pada pasien yang menderita PJK cenderung tidak baik atau dapat

dikatakan bahwa kualitas hidup pada PJK rendah. Penelitian kualitas hidup

pada PJK juga dilakukan oleh Morys dkk (2016), yang berjudul “Quality

of Life in Patient with Coronary Heart Disease After Myocardial

Infarction and With Ischemic Heart Failure” dalam penelitiannya pasien

dengan PJK memiliki kualitas hidup yang rendah atau signifikan buruk.

Penelitian Putri (2018) yang dilakukan pada 73 responden di poli jantung

Rs Dokter Moewardi Surakarta juga menyimpulkan bahwa sebagian besar

responden dengan PJK memiliki kualitas hidup yang buruk. Kualitas hidup

responden yang buruk akan menyulitkan responden untuk mendapatkan

percaya diri di dalam menilai dan menikmati hidup meskipun menderita

penyakit jantung koroner.

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Nuraeni (2016) dengan

judul “Faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup Pasien dengan Penyakit

Jantung Koroner” menyimpulkan bahwa kualitas hidup pada pasien PJK

bisa ditingkatkan dengan melakukan tindakan revaskularisasi jantung

seperti pemasangan stent. Hal tersebut dibuktikan dengan Penelitian

Hutagalung dkk (2014) dengan judul “Kualitas Hidup Pasien


57

Pascaintervensi Koroner Perkutan” yang dilakukan pada 50 responden

yang sedang kontrol dan sudah dipasang stent. Penelitian ini menggunakan

kuesioner WHOQOL-BREF dan hasilnya menunjukkan bahwa tingkat

kualitas hidup baik (50%) dan dalam rentang biasa-biasa saja selain itu

Domain kualitas hidup yang paling bermasalah ditemukan pada domain

sosial rendah (70%) dan domain lingkungan rendah (70%). (Hutagalung,

2014).

Sedikit berbeda dengan Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini

dan Teo Zumi (2018), melaporkan responden pasca Percutaneous

Coronary Intervention (PCI) di Rumah Sakit Dustira Cimahi memiliki

kualitas hidup yang tinggi pada 3 domain kualitas hidup WHOQOL-BREF

yaitu psikologis, sosial, lingkungan sedangkan pada domain fisik memiliki

nilai kualitas hidup yang rendah. Penelitian lain pun menyebutkan bahwa

Kualitas hidup pasien dengan angina tidak stabil yang sudah menjalani

PCI membaik secara signifikan 3 bulan setelah intervensi, bukan setelah 1

bulan (Nguyen et al, 2020). Penelitian di nepal yang melibatkan 95 pasien

setelah PTCA menunjukkan bahwa pasien memiliki HRQoL yang baik

setelah PTCA. Studi ini menyimpulkan bahwa kualitas hidup terkait

kesehatan baik dalam komponen fisik dan mental ditemukan baik di antara

pasien setelah PTCA. Hubungan yang signifikan ditemukan antara jenis

kelamin dan status perkawinan dengan komponen fisik HRQoL (Uprety et

al 2019).
58

E. Hubungan Self Care dengan Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit

Jantung Koroner setelah Menjalani PCI.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dan Rezkiki (2017) menunjukkan

bahwa terdapatnya hubungan yang erat antara kualitas hidup pada populasi

gagal jantung yang mendapatkan perawatan diri. Penelitian tersebut juga

sejalan dengan penelitian Djamaludin (2018) yang menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara self care dengan kualitas hidup pada klien dengan

penyakit jantung seperrti gagal jantung di poli jantung RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017, dengan nilai OR =9.062 yang artinya

orang yang memiliki self care baik akan 9 kali berpotensi memiiliki kualitas

hidup yang tinggi. Kualitas hidup penderita penyakit jantung dipengaruhi oleh

self care penderita tersebut, self care yang baik akan mempengaruhi kualitas

hidup seseorang, dan begitupula sebaliknya (Djamaludin, 2018).

Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Amini

(2017), berjenis Quasi-experimental Study pada 92 pasien dengan penyakit

jantung iskemik menyimpulkan terdapat pengaruh dari health related life style

management terhadap kualitas hidup pada pasien tersebut. Konsisten dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ahn et al (2016) terhadap 130

pasien coronary heart disease di Korea Selatan menyimpulkan bahwa Self care

behaviours memiliki efek langsung positif signifikan pada kualitas hidup dan

memiliki dampak positif pada kualitas hidup dengan nilai koefisien regresi

standar 0,64 (p = 0,00) artinya kekuatan hubungannya cukup kuat/sedang

Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian Lee et al (2018) yang


59

mengatakan bahwa lifestyle modification yang merupakan bagian self care

maintenance berhubungan dengan HRQOL. Penelitian lain pun juga sama

menyebutkan bahwa self care activities yaitu olahraga juga berhubungan

dengan HRQOL pasien PJK setelah menjalani PCI (Shibayama, 2012).

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang (2020)

bahwa hubungan self management dengan kualitas hidup memiliki hubungan

yang tidak signifikan pada pasien PJK di komunitas Cina. Analisis korelasi

Pearson mengidentifikasi korelasi positif (r = 0,117-0.328, P < 0,05) self

management behaviours dan HrQoL hanya pada domain fungsi fisik, nyeri

tubuh, vitalitas dan kesehatan mental di antara pasien PJK di lingkungan

komunitas Cina. Korelasi r = 0,117 – 0,328 menandakan bahwa kekuatan

hubungan antara self care dan QOL pada penelitian ini adalah dianggap tidak

ada atau rendah. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa self care bukan

merupakan penentu signifikan dari HRQOL. Secara keseluruhan, kualitas

hidup dalam sampel ini adalah sedang (MacNew HRQOL mean 5.41.71) dan

dikaitkan dengan kepatuhan yang lebih baik (r = 0,275, p=0,04). Nilai r = 0,275

memiliki makna bahwa hubungan diantara kepatuhan self care dan HRQOL

sangat rendah bahkan lemah bahkan ada yang menyebutkan dengan nilai

korelasi koefisien tersebut, menandakan tidak ada hubungan yang signifikan

antara self care dan HRQOL (Muhidin, 2007). Hal tersebut mungkin

dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang mengakibatkan orang tidak

patuh dalam perawatan diri (Dickson, 2012).


60

F. Kerangka Teori

Factor affecting self care Self care process Outcomes of self care

1. Pengalaman dan Keterampilan.


2. Motivasi. Quality of life
3. Keyakinan dan nilai-nilai budaya.
1. Self care maintenance
4. Kepercayaan.
2. Self care monitoring
5. Kebiasaan.
3. Self care management
6. Kemampuan Fungsional dan Kognitif.
7. Dukungan dari Orang Lain.
8. Akses ke tempat perawatan.

Bagan 2. 1 Kerangka Teori Self care dan Kualitas hidup


Sumber : (Riegel, 2012; Gil Eun, 2018)
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Systematic review terhadap jurnal

penelitian yang ada untuk mengetahui hasil penelitian sebelumnya mengenai

hubungan self care terhadap kualitas hidup pada pasien penyakit jantung

koroner setelah menjalani percutaneous coronary intervention. Peneliti

melakukan teknik review meliputi Compare (merangkum dan mengkritisi

kesamaan artikel dan disajikan dalam bentuk narasi), Contrast (merangkum

perbedaan atau studi yang bertentangan dalam sebuh artikel), Critize

(melakukan kritik artikel yang disampaikan dalam bentuk memberikan

pandangan peneliti), Syntesis ( membandingkan persamaan dan perbedaan dari

sebuah artikel), Summarize (merangkum persamaan dan perbedaan tersebut

menggunakan bahasa atau kalimat peneliti sendiri).

Systematic review mempunyai kriteria dimana penelaahan terhadap artikel

dilaksanakan secara terstruktur dan terencana. Systematic review

meningkatkan kedalaman dalam mereview dan membuat rigkasan dalam

evidence riset (Davies & Crombie, 2009). Tujuan sistematic review antara lain

menjawab pertanyaan secara spesifik, relevan dan terfokus.

61
62

B. Strategi Pencarian

Strategi pencarian bertujuan untuk mencari artikel yang sudah diterbitkan

dan relevan dengan studi yang dilakukan. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh bukan dari pengamatan

langsung, akan tetapi diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang didapat berupa artikel

jurnal bereputasi baik nasional maupun internasional dengan tema yang sudah

ditentukan.

Pencarian literature dilakukan melalui analisis dari kata kunci yang

terdapat pada database berikut: Google Cendekia, Pubmed dan ScienceDirect.

Ketiga database tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa ketiganya

merupakan database terbesar di bidang kesehatan dan kedokteran. Pencarian

artikel dalam database menggunakan boolen operator “ AND” dan “OR” yang

digunakan untuk memperluas atau menspesifikkan pencarian, sehingga

mempermudah dalam penentuan artikel atau jurnal yang digunakan. Boolean

operator tersebut digabungkan dengan kata kunci yang digunakan yaitu

kombinasi dari “(self care OR self management), AND ( quality of life OR

HRQOL) AND (coronary heart disease OR coronary artery disease) AND

(percutaneous coronary intervention OR coronary angioplasty).”

Strategi penetuan kriteria inklusi dan ekslusi yang digunakan untuk mencari

artikel menggunakan PICOT framework, yang terdiri dari Population (populasi

atau masalah yang akan di analisis sesuai dengan judul yang sudah ditentukan

dalam systematic review), Intervention (suatu tindakan penatalaksanan


63

terhadap kasus perorangan atau masyarakat serta pemaparan tentang

penatalaksanaan studi sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam

systematic review), Comparation (intervensi atau penatalaksanaan lain yang

digunakan sebagai pembanding, jika tidak ada bisa menggunakan kelompok

kontrol dalam studi yang terpilih), Outcome (hasil atau luaran yang diperolah

pada studi terdahulu yang sesuai dengan judul yang sudah ditentukan dalam

systematic review), Type study atau Time (desain penelitian yang digunakan

dalam artikel yang akan di review / tahun publikasi artikel yang akan direview).

Jika kata kunci tersebut terkandung dalam judul dan abstrak, artikel dipilih dan

ditinjau. Pencarian berfokus pada jurnal yang meneliti hubungan self care

terhadap kualitas hidup pada pasien PJK setelah menjalani PCI.

Tabel 3.1 Format PICOT dalam Systematic Review


Kriteria Inklusi Eksklusi
Population Populasi pada pasien PJK Pasien coronary artery bypass
atau Post PCI, Usia responden grafting (CABG) atau pasien penyakit
yang diteliti ≥18 tahun, selain PJK dan Post PCI, Usia
responden yang diteliti < 18 tahun,
Intervention Self care pada PJK Bukan self care pada PJK
Comparison Tidak ada -
Outcome artikel tersebut mempelajari artikel tersebut tidak mempelajari
hubungan self care dengan hubungan self care dengan kualitas
kualitas hidup pada pasien hidup pada pasien PJK/Post PCI
PJK/Post PCI
Type Desain kuantitatif, artikel artikel systematic review atau
study/Time terpublikasi 10 tahun terakhir literature review, desain penelitian
(Januari 2010 sampai 30 april randomized controlled trial, artikel
2020), Artikel berbahasa tidak berbahasa indonesia/inggris,
artikel tidak full text
64

Indonesia/Inggris, Artikel
Full text,

Langkah-langkah Proses pencarian menggunakan flowchart PRISMA.

Peneliti menggunakan pedoman PRISMA untuk protokol peninjauan serta

pemilihan studi. Pedoman PRISMA merupakan instrumen yang berdasarkan

bukti item untuk pelaporan dalam Systematic Review. Proses pemilihan artikel

yang diulas terdiri dari 4 langkah berdasarkan PRISMA flowchart diantaranya:

a. Identification

Proses pencarian artikel menggunakan kata kunci yang sudah

ditentukan dari ketiga database tersebut dengan rentang waktu 10 tahun

terakhir menghasilkan 2.729 artikel ( 2.662 artikel ScienDirect, 46 artikel

Google cendekia, 21 artikel PUBMED,). Proses identifikasi bertujuan

untuk menelaah, mengumpulkan, mencatat dan menemukan artikel yang

sesuai dengan kata kunci sebelum nanti artikel tersebut memasuki tahap

screening

b. Screening

Proses screening dimulai dari screening judul sebanyak 2.575 diekslusi

karena tidak sesuai dengan kata kunci, selanjutnya dilakukan screening

terhadap abstrak sebanyak 143 diekslusi dengan penjabaranya yaitu 10

artikel dikeluarkan karena systematic review dan literature review, 1

artikel dikeluarkan karena tidak fulltext, 1 artikel dikeluarkan karena tidak

berbahasa Inggris atau Indonesia, 132 artikel dikeluarkan karena tidak

berhubungan dengan self care dan kulitas hidup. Hasil akhirnya setelah
65

screening berdasarkan abstrak akan menyisakan 11 artikel yang akan

memasuki tahap eligibility atau kelayakan.

c. Eligibility

Pada proses eligibility, peneliti melakukan uji kelayakan sesuai dengan

kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya, dari 11

artikel yang lolos screening abstrak, 6 diantaranya dikeluarkan karena 3

artikel penelitian dilakukan bukan pada populasi penyakit jantung koroner,

3 artikel berdesain Randomized controlled trial,. Hasil akhir menyisakan

5 artikel yang layak direview. 5 artikel ini akan masuk ke tahap included

d. Included

Setelah melalui proses identification, screening dan eligibility, 5 artikel

yang layak dan sesuai kriteria inklusi dan ekslusi akan direview

menggunakan JBI critical appraisal.

Peneliti juga menggunakan layanan SCI HUB ketika peneliti mengalami

kesulitan dalam mengunduh jurnal karena berbayar. Layanan SCI HUB adalah

salah satu website yang memiliki tujuan dalam penyediaan jurnal agar mudah

diakses secara penuh oleh peneliti. Selain itu peneliti juga menggunakan

layanan google translate untuk menerjemahkan jurnal berbahasa Inggris ke

Bahasa Indonesia.

C. Data Extraction

Data extraction merupakan sekumpulan item apa saja yang harus

didapatkan dari setiap artikel yang akan direview. Data diekstraksi oleh peneliti
66

dan dirangkum dengan menggunakan alat ekstraksi data JBI. Pada artikel yang

sudah sesuai dan layak direview tersebut, peneliti juga mengumpulkan data apa

saja yang harus didapatkan dari setiap jurnal tersebut, data yang peneliti

ekstraksi meliputi nama peneliti, tahun penelitian, fokus penelitian, metode

penelitian, karakteristik responden berupa umur dan jenis kelamin,

negara/tempat asal penelitian, sampel/jumlah responden, kriteria inklusi dan

ekslusi, alat ukur yang digunakan dan domain alat ukur serta nilai validitas dan

reliabilitas instrumen tersebut, teknik analisis data, serta hasil penelitian yang

nantinya akan bermanfaat dalam identifikasi artikel yang akan direview.

D. Pengkajian Kualitas Studi

Pengkajian kualitas studi adalah penilaian kualitas dari setiap artikel yang

akan dipilih, apakah layak dan valid. Pengkajian terhadap kualitas dari setiap

artikel dilakukan dengan menggunakan format standar dari JBI ( The Joana

Brigs institute critical appraisal tools). Kriteria yang digunakan untuk

mengevaluasi apakah setiap studi memiliki kualitas yang baik dan resiko bias

yang minimal. Total terdapat 8 item checklist yang meliputi penjelasan kriteria

inklusi dan ekslusi disampel apakah dijelaskan secara tuntas, subjek dan tempat

penelitian apakah dijelaskan secara detail, apakah penelitian tersebut

menggunakan instrumen yang valid, apakah ada standar khusus yang dipakai

untuk mengukur instrumen tersebut, apakah faktor confounding dijelaskan,

apakah outcome yang diukur valid dan reliabel, apakah penelitian tersebut

menggunakan statistik yang benar. Terdapat empat Pilihan jawaban pada JBI
67

tersebut adalah yes = jika sesuai dengan item checklist JBI, no = jika tidak

sesuai item checklist, unclear = jika dijurnal penelitian tersebut dijelaskan tapi

tidak tuntas penjelasannya, not applicable = tidak dapat diterapkan. setiap skor

studi kemudian dihitung dan dijumlahkan. Kesimpulan didasarkan pada hasil

review dan langsung dari hasil review, semakin banyak jawaban yes pada

kolom JBI critical appraisal tersebut maka jurnal semakin bagus dan valid.
68

E. Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengajuan topic

2 Bimbingan penyusunan proposal

3 Seminar Proposal

4 Pelaksanaan pencarian artikel penelitian dan bimbingan

5 Penulisan draf skripsi

6 Ujian sidang skripsi

Tabel 3. 2 Jadwal kegiatan


BAB IV

HASIL ANALISIS

A. Hasil Pencarian

Dari hasil pencarian yang dilakukan melalui database Sciendirect, Pubmed

dan google cendekia didapatkan 2.729 jurnal dengan kata kunci yang

digunakan yaitu kombinasi dari “self care/self management”, “quality of

life/HRQOL”, “coronary heart disease/coronary artery disease”

,“percutaneous coronary intervention/coronary angioplasty” dengan rentang

waktu jurnal yang terpublikasi minimal 10 tahun terakhir (2010-2020).

Berdasarkan hasil penilaian menggunakan JBI critical appraisal didapatkan

hasil rata-rata dari kelima jurnal tersebut adalah 87,5% dengan perinciannya

yaitu jurnal Ahn et al (2016) mendapatkan nilai 87,5% dengan 7 jawaban ya

dan 1 jawaban tidak tuntas. Jawaban tidak tuntas dikarenakan dalam jurnal ini

kriteria ekslusi tidak dijelaskan secara detail.

Jurnal Zhang et al (2020) memiliki nilai 87,5% dengan 7 jawaban ya dan

1 jawaban tidak tuntas. Jawaban tidak tuntas dikarenakan pada jurnal ini,

analisis multivariat atau regresi tidak dijelaskan untuk mengidentifikasi

prediktor signifikan dari kualitas hidup dengan covariate dari self management.

Jurnal Dickson et al (2012) mendapatkan nilai 100% dan memenuhi 8 item

penilaian JBI. Jurnal Lee et al (2018) memiliki nilai 100% dan memenuhi 8

item penilaian JBI. Jurnal Shibayama (2012) memiliki nilai 62,5% dengan 5

69
70

jawaban ya dan 3 jawaban tidak tuntas. Jawaban tidak tuntas diakibatkan

karena pada jurnal ini tidak dijelaskan mengenai alat ukur self care yang

digunakan, serta hanya domain PF dan BP kualitas hidup saja yang diuji

dengan self care nya.

Kesimpulannya jurnal yang memiliki nilai tertinggi adalah jurnal Dickson

et al (2012) dan Lee et al dengan nilai JBI 100% dan jurnal dengan nilai

terendah adalah jurnal Shibayama (2012) dengan nilai 62,5%


71

B. Ringkasan Hasil Pencarian

Proses pemilihan artikel disajikan dalam bentuk flowchart PRISMA

Catatan tambahan diidentifikasi Catatan diidentifikasi


Pencarian basis data elektronik:
melalui sumber lain: Google melalui pencarian basis
ScientDirect (n= 2.662)
Identification

Cendekia (n=46) data: Pubmed (n= 21)

jumlah total artikel yang ditemukan dalam database (n= 2.729)

2.575 artikel diekslusi


Artikel yang tersisa setelah
dievaluasi berdasar judul setelah evaluasi judul
screening

(n= 154)

143 diekslusi berdasarkan


abstrak
11 artikel tersisa setelah - Systematic review (n= 10)
dievaluasi abstrak - Tidak full text (n=1)
- Tidak berbahasa indonesia
atau inggris (n= 1)
- Tidak berhubungan dengan
self care dan kualitas hidup
eligibility

(n=132)

Artikel teks lengkap


dinilai untuk kelayakan , 6 artikel diekslusi :
(N=5)
- Bukan pada populasi penyakit
jantung koroner (n=3)
- RCT (n=3)
Included

Jumlah artikel yang


memenuhi inklusi dan
ekslusi (n = 5),

Bagan 4. 1 Bagan Prisma Flowchart


72

C. Ringkasan Hasil Penelitian

Proses pemilihan dan pengeliminasian artikel diilustrasikan dalam bentuk

flowchart (PRISMA, 2009). Kemudian hanya tersisa lima artikel yang

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang terpublikasi 10 tahun terakhir

(2010-2020). Pada lima artikel tersebut terdapat persamaan dan perbedaan dari

mulai jumlah responden, karakteristik responden, tempat penelitian, metode

penelitian, fokus penelitian, instrumen yang digunakan serta hasil penelitian:

1. Jumlah responden

Pada penelitian Ahn et al (2016) jumlah responden yang diteliti adalah

130 pasien dengan coronary artery disease yang direkrut dari pasien rawat

jalan di pusat kardiovaskular. Penelitian Zhang et al(2020) memiliki

jumlah responden 220 peserta yang direkrut dari tempat komunitas.

Penelitian Dickson (2012) memiliki jumlah responden 120 orang dewasa

dengan CVD dan terdaftar dari tempat rawat jalan dari pusat medis

perkotaan besar. Sedangkan penelitian Lee et al (2018) Sebanyak 417

peserta yang menjalani PCI, direkrut dari klinik rawat jalan kardiologi dari

11 rumah sakit. Terakhir, penelitian Shibayama (2012) memiliki jumlah

responden 118 pasien terdaftar yang dirawat di unit CCU disebuah rumah

sakit.

Total responden yang terlibat dalam 5 artikel tersebut adalah 1005

responden. Responden terbanyak adalah pada penelitian lee et al (2018)

dan responden dengan jumlah sedikit adalah penelitian Shibayama (2012).

Mayoritas untuk jumlah responden di kelima artikel tersebut adalah


73

memiliki kesamaan diatas 100 responden (>100). Menurut Cohen, et.al,

(2007) semakin besar sample dari besarnya populasi yang ada adalah

semakin baik, akan tetapi ada jumlah batas minimal yang harus diambil

oleh peneliti yaitu sebanyak 30. Sebagaimana dikemukakan oleh Baley

dalam Mahmud (2011) yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang

menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel paling minimum

adalah 30.

2. Tempat penelitian

Pada penelitian Ahn et al (2016) tempat penelitian dilakukan di

Korea Selatan. Penelitian Zhang et al (2020) berlokasi di China. Penelitian

Dickson et al (2012) berlokasi di New York. Penelitian lee et al (2018)

berlokasi di Korea Selatan. Penelitian Shibayama (2012) berlokasi di

Jepang. Pada kelima artikel tersebut 2 artikel diantaranya memiliki

persamaan tempat yaitu penelitiannya dilakukan di Korea Selatan

sedangkan 3 penelitian yang lain dilakukan di beda tempat. Secara

keseluruhan tempat penelitian 5 artikel tersebut dilakukan diluar negeri.

3. Karakteristik responden

Pada penelitian Ahn et al (2016) usia responden yang diteliti berkisar

antara 37-48 tahun dengan proporsi jenis kelamin lebih banyak laki-laki

(52,6%). Penelitian Zhang et al (2020) meneliti uisa responden berkisar

antara 42-80 tahun dengan proporsi jenis kelamin lebih banyak pada laki-

laki (65,88%). Penelitian Dickson et al (2012) meneliti usia responden dari

umur 45 – 61 tahun dengan proporsi terbanyak adalah perempuan (56,3%).


74

Penelitian Lee et al (2018) meneliti dengan usia responden >50 tahun

dengan proporsi jenis kelamin paling banyak pada laki-laki (83,5%).

Penelitian Shibayama (2012) meneliti dengan usia responden berkisar >45

tahun dengan proporsi jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki (85,6%).

Sehingga usia rata-rata responden yang diteliti pada kelima jurnal adalah

dari rentang usia 37 – 80 tahun. Proporsi jenis kelamin 4 jurnal lebih

banyak responden yang diteliti adalah laki-laki sedangkan 1 jurnal lebih

banyak responden perempuan.

4. Metode penelitian

Penelitian Ahn et al (2016) menggunakan desain penelitian cross

sectional. Penelitian Zhang (2020) menggunakan desain penelitian cross

sectional. Penelitian Dickson et al (2012) menggunakan desain cross

sectional. Penelitian Lee et al (2018) menggunakan desain cross sectional.

Penelitian Shibayama (2012) menggunakan desain penelitian prospective.

Kesimpulanya dalam lima artikel tersebut 4 diantaranya menggunakan

desain cross sectional dan satu menggunakan prospective.

Desain penelitian cross sectional dan prospective merupakan masih

tergolong kedalam jenis pendekatan pada penelitian survei analitik

(Sujarweni, 2015). Kedua jenis pendekatan penelitian tersebut oleh

peneliti dimasukan ke dalam systematic review ini karena merupakan jenis

pendekatan pada metode penelitian kuantittatif dan sudah sesuai dengan

kriteria inklusi pencarian artikel. Cross sectional merupakan teknik

penelitian dengan cara pengambilan data variabel bebas dan variabel


75

tergantung dilakukan sekali waktu pada saat yang bersamaan (Sujarweni,

2015). Sedangkan prospective adalah penelitian dimana pengambilan data

variabel bebas (sebab) dilakukan terlebih dahulu, setelah beberapa waktu

kemudian baru dilakukan pengambilan data variabel tergantung (akibat).

5. Fokus penelitian

Penelitian Ahn et al (2016) berfokus pada pasien CHD. Penelitian

Zhang et al (2020) berfokus pada pasien CHD yang juga sudah dilakukan

PCI. Penelitian Dickson et al (2012) berfokus pada pasien penyakit

jantung koroner. Penelitian Lee et al (2018) berfokus pada pasien CHD

yang menjalani PCI. Penelitian Shibayama (2012) berfokus pada pasien

setelah menjalani PCI. Kesimpulannya 2 artikel membahas fokus

penelitian pada pasien CHD dan 3 artikel yang lain fokus penelitiannya

membahas pada pasien yang menjalani PCI. Secara teori Tindakan PCI

dengan stent merupakan tindakan yang hanya mengatasi kurangnya suplai

darah ke otot jantung, sehingga pasien setelah PCI akan tetap berisiko

mengalami perkembangan PJK lebih lanjut karena ada faktor risiko PJK

yang sebelumnya telah dimiliki (Susanti, 2018).

Pada pasien CHD dengan NSTEMI dan angina pectoris stabil

tindakan IKP bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas

koroner (Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia, 2016). Sehingga

lambat laun pasien CHD pasti akan membutuhkan tindakan PCI untuk

meningkatkan kualitas hidupnya.


76

6. Instrumen yang digunakan

Pada penelitian Ahn et al (2016) menggunakan instrument untuk

mengukur self care dengan the cardiac health behaviour scale dan QOL

nya menggunakan versi 2.0 dari Short Form Health Survey korean

version. Instrumen the cardiac health behaviour scale memiliki nilai

validitas r = >0,80 dan reliabilitasnya memiliki nilai cronbach alpa 0,87.

Penelitian Zhang (2020) menggunakan kuesioner untuk self care yaitu

coronary artery disease self management scale (CSMS) dan untuk QOL

nya menggunakan SF-36. Instrumen coronary artery disease self

management scale (CSMS) memiliki nilai validitas r = 0,271 – 0,573

sedangkan reliabilitas cronbach alpanya yaitu 0,913. Sedangkan instrumen

SF-36 memiliki nilai validitas r= >0,40 dan nilai reliabilitas conbach

alpanya adalah 0,77 – 0,927.

Penelitian Dickson (2012) menggunakan kuesioner untuk self care

yaitu the Specific Adherence Survey from the Medical Outcomes study

(MOSAS) dan untuk kuesioner QOL nya menggunakan MacNew Heart

Disease Heart-Related Quality of Life questionnaire. Instrumen the

Specific Adherence Survey from the Medical Outcomes study (MOSAS)

memiliki nilai reliabilitas cronbach alpa 0,81 dan nilai validitasnya r= -

0,12 – 0,29. Sedangkan instrumen MacNew Heart Disease Heart-Related

Quality of Life questionnaire memiliki nilai validitas r= 0,816 – 0,900.

Penelitian Lee et al (2018) untuk lifestyle modification menggunakan the

Medical Outcomes Study (MOS) Measures of Patient Adherence dan QOL


77

nya menggunakan Coronary Revascularization Outcome Questionnaire

(CROQ). Instrumen the Medical Outcomes Study (MOS) Measures of

Patient Adherence memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang sama

dengan instrumen the Specific Adherence Survey from the Medical

Outcomes study (MOSAS). Sedangkan untuk instrumen Coronary

Revascularization Outcome Questionnaire (CROQ) memiliki nilai

validitas r= 0,27 – 0,83 dan nilai reliabilitas cronbach alpanya adalah 0,33

– 0,92. Penelitian Shibayama (2012) tidak dijelaskan nama kuesionernya

Self carenya hanya dijelaskan pengumpulan datanya melalui pos,

sedangkan kuesioner QOL nya menggunakan SF-36. Instrumen SF-36

memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang sama dengan artikel penelitian

sebelumnya.

Kesimpulan yang didapatkan masing-masing artikel menggunakan

kuesioner yang berbeda-beda hanya 2 artikel yang menggunakan

kuesioner self care yang sama yaitu kuesioner yang berasal dari the

medical outcomes study, selain itu ada beberapa jurnal yang menggunakan

kuesioner spesifik contohnya coronary artery disease self management

scale (CSMS) yang langsung mengarah kepada pasien penyakit jantung

koroner. Sedangkan pada kuesioner QOL juga sama menggunakan

kuesioner yang berbeda-beda hanya 2 artikel yang menggunakan

kuesioner yang sama yaitu kuesione SF-36, selain itu ada beberapa jurnal

yang menggunakan kuesioner spesifik contohnya Coronary

Revascularization Outcome Questionnaire (CROQ) yang mengukur pada


78

pasien PJK setelah menjalani PCI. Informasi mengenai domain dari

masing-masing alat ukur dijelaskan dalam tabel 4.2 Analisis artikel.

Pada artikel-artikel diatas belum terdapat penelitian yang

menggunakan kuesioner SCCHDI (self care coronary heart disease

inventory) yang merupakan kuesioner baru untuk mengukur self care

langsung ke pasien jantung koroner. Kuesioner ini sebenarnya sudah

disampaikan pada penelitian Victoria V et al (2012) hanya saja kuesioner

ini belum digunakan karena belum dilakukan validasi psikometrik,

validasi psikometrik baru dilakukan pada tahun 2016 (Dickson, 2016).

Selain itu pada kuesioner QOL tidak ada artikel yang menggunakan

kuesioner seattle angina questionaire yang merupakan kuesioner spesifik

untuk mengukur kualitas hidup pada pasien penyakit jantung koroner.

Dalam in the middle range theory self care of chronic illnes, lifestyle

modification masih termasuk ke dalam self maintenance yang merupakan

elemen inti dari self care. Self care maintenance mencerminkan 10

perilaku umum yang direkomendasikan untuk menjaga stabilitas bagi

orang dengan PJK yang diambil dari Simple Heart Seven dari American

Heart Association dan pedoman klinis untuk PJK. Self care maintenance

mengacu pada perilaku yang digunakan oleh individu dengan penyakit

kronis untuk menjaga stabilitas kesehatan fisik dan mental (Riegel et al.,

2012).
79

7. Hasil penelitian

Pada penelitian Ahn et al (2016) menyimpulkan bahwa Self care

behaviours memiliki efek langsung positif signifikan pada kualitas hidup,

dengan nilai koefisien regresi standar 0,64 (p = 0,00) artinya kekuatan

hubungannya cukup kuat/sedang, selain itu self care behaviours memiliki

dampak positif pada kualitas hidup. Untuk self care behaviours, skor pada

semua sub-skala berada pada tingkat sedang, dengan domain berhenti

merokok mencetak tertinggi (3,66 ± 0,57) dan untuk variabel QOL berada

pada tingkat sedang, yaitu di 44,90 ± 8,11 untuk ringkasan komponen fisik

(PCS) dan 42,09 ± 7,98 untuk ringkasan komponen mental (MCS).

Menurut penelitian ini juga, Efikasi diri, perilaku kesehatan perawatan diri,

dan faktor risiko yang dimodifikasi memainkan peran penting dalam

kualitas hidup pada orang dewasa dengan penyakit arteri koroner.

Penelitian Zhang et al (2020) menyimpulkan bahwa self management

behaviours dan HrQoL dari pasien PJK di komunitas Cina tidak signifikan.

Analisis korelasi Pearson mengidentifikasi korelasi positif (r = 0,117-

0.328, P < 0,05) self management behaviours dan HrQoL hanya pada

domain fungsi fisik, nyeri tubuh, vitalitas dan kesehatan mental di antara

pasien PJK di lingkungan komunitas Cina. Korelasi r = 0,117 – 0,328

menandakan bahwa kekuatan hubungan antara self care dan QOL pada

penelitian ini adalah dianggap tidak ada atau rendah. Korelasi terkuat

ditemukan antara domain emotional self management dan kesehatan

mental (r = 0,328, P < 0,01). Untuk setiap aspek CSMS, domain


80

emotional self management memiliki korelasi positif dengan semua

domain HrQoL kecuali peran fisik (RP) (r = 0,100, P > 0,05). Daily life

self management berkorelasi positif dengan enam dari delapan domain

HrQoL: kesehatan umum (GH) (r = 0,117, P < 0,05), peran emosional

(RE) (r = 0,187, P < 0,01), fungsi sosial (SF) (r = 0,187, P < 0,01), nyeri

badan (BP) (r = 0,201, P < 0,01), vitalitas (VT) (r = 0,255, P < 0,01) dan

kesehatan mental (MH) (r = 0,289, P < 0,01. Peserta yang melaporkan

domain daily life self management yang memadai memiliki skor signifikan

lebih tinggi dalam domain HRQOL yaitu peran kesehatan emosional dan

mental. Sedangkan untuk domain medical self management hanya

berkorelasi positif dengan nyeri badan (BP) (r = 0,151, P < 0,05). Di

antara tiga dimensi CSMS, daily self management memiliki skor rata-rata

terendah (52,75%), sedangkan emotional self management memiliki skor

rata-rata tertinggi (60,50%). Untuk skor domain HRQOL, dimensi fungsi

fisik memiliki nilai tertinggi ((76,09 ± 20,55) dan dimensi peran fisik

memiliki nilai terendah (39,22 ± 42,32).

Penelitian Dickson (2012) menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini,

kepatuhan self care bukan merupakan penentu signifikan dari HRQOL

ketika mengendalikan depresi dan fungsi fisik. Dari semua element

kepatuhan self care dalam penelitian ini, kepatuhan berhenti merokoklah

yang paling tinggi (70%). Tidak ada perbedaan dalam skor Survei

Kepatuhan Khusus di antara mereka yang bekerja penuh atau paruh waktu

atau dalam pekerjaan yang berbeda. Individu yang lebih tua memiliki
81

praktik kepatuhan diri yang lebih baik. Secara keseluruhan, kualitas hidup

dalam sampel ini adalah sedang (MacNew HRQOL mean 5.41.71) dan

dikaitkan dengan kepatuhan yang lebih baik (r = 0,275, p=0,04). Nilai r =

0,275 memiliki makna bahwa hubungan diantara kepatuhan self care dan

HRQOL sangat rendah bahkan lemah bahkan ada yang menyebutkan

dengan nilai korelasi koefisien tersebut, menandakan tidak ada hubungan

yang signifikan antara self care dan HRQOL (Muhidin, 2007). Penelitian

ini juga menyimpulkan bahwa karakteristik pekerjaan dapat mengganggu

perawatan diri dan berpotensi mempengaruhi kualitas hidup, sehingga

perawat harus menilai tuntutan pekerjaan dan termasuk pengurangan stres

sebagai bagian dari konseling pasien untuk pekerja dengan CVD selama

bekerja rutin ke kantor.

Penelitian Lee (2018) menyimpulkan bahwa Di antara enam subskala

CROQ, peningkatan domain symptom CROQ dan domain kepuasan

CROQ secara signifikan terkait dengan kepatuhan terhadap lifestyle

modification sedangkan domain fisik tidak secara signifikan tidak terkait

dengan lifestyle modification. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa

lifestyle modification secara signifikan terkait atau berhubungan dengan

beberapa domain pada CROQ. Nilai rata-rata domain CROQ dari yang

tertinggi adalah 91,7 ± 14,4 ( domain efek samping) dan yang terendah

adalah 75,4 ± 19,6 (fungsi psikososial). Setelah lebih lanjut menyesuaikan

untuk skor CROQ, hubungan antara skor MMS tinggi dan kepatuhan

terhadap modifikasi gaya hidup adalah signifikan untuk ketiga variabel


82

tersebut (OR disesuaikan = 11,5, 95% CI = 1,4-93,3). Pada penelitian ini

tidak dijelaskan mengenai kekuatan hubungannya (nilai r).

Penelitian Shibayama (2012) menyimpulkan bahwa olahraga, sebagai

aktivitas perawatan diri setelah pulang, untuk pasien yang diobati dengan

PCI berhubungan signifikan dengan Domain PF kualitas hidup (p = 0,05).

Skor domain QOL PF dan BP pada 6 bulan setelah keluar secara signifikan

lebih tinggi daripada skor saat pasien pertama kali keluar dari rumah sakit.

Skor untuk SF dan MH pada saat pasien pertama keluar dari rumah sakit

memiliki nilai yang tinggi, dan skor tinggi ini berlanjut 6 bulan setelah

pasien pulang ke rumah. Namun, skor GH pada saat pasien pulang dari

rumah sakit memiliki nilai rendah, dan skor rendah ini berlanjut 6 bulan

setelah pasien pulang ke rumah. PF termasuk diet (p = 0,72), berhenti

merokok (p = 0,20), olahraga (p = 0,05), pengobatan yang sesuai (p =

0,20), pemeriksaan (p = 0,08), tidak ada hipertensi (p = 0,08), tidak ada

hiperlipidemia ( p = 0,72) dan tidak ada diabetes mellitus (p = 0,01). BP

termasuk diet (p = 0,36), berhenti merokok (p = 0,80), olahraga (p = 0,20),

pengobatan yang sesuai (p = 0,30), pemeriksaan (p = 0,10), tidak ada

hipertensi (p = 0,36), tidak ada hiperlipidemia ( p = 0,49) dan tidak ada

diabetes mellitus (p = 0,26). Untuk PF, olahraga dan tidak adanya diabetes

mellitus memiliki nilai P 5% atau kurang peningkatan PF pada pasien AMI

terkait dengan melakukan olahraga setelah keluar dan tidak ada diabetes

mellitus. Namun, tidak ada faktor terkait untuk BP. Peningkatan skor PF

dan BP menunjukkan peningkatan kemampuan untuk melakukan aktivitas


83

fisik (mis., Mandi atau berpakaian) dan tidak adanya rasa sakit tubuh yang

intens yang akan mengganggu aktivitas hidup sehari-hari (ADL) atau

pekerjaan. Pada penelitian ini tidak dijelaskan mengenai kekuatan

hubungannya (nilai r).

Tabel 4.1 Tingkat keeratan hubungan antara variabel X dan Y


(Muhidin, 2007)
Nilai korelasi (r) Keterangan
0,00 - <0,20 Hubungan sangat lemah (diabaikan/dianggap
tidak ada)
≥ 0,20 - < 0,40 Hubungan rendah
≥ 0,40 - < 0,70 Hubungan sedang/cukup
≥ 0,70 - < 0,90 Hubungan kuat/tinggi
≥ 0,90 - ≤ 1,00 Hubungan sangat kuat atau tinggi

Kesimpulan dari kelima jurnal tersebut yaitu 3 diantaranya memiliki

hubungan yang signifikan antara self care dengan kualitas hidup dan 2

diantaranya tidak memiliki hubungan yang tidak signifikan antara self care

dan kualitas hidup. Dapat disimpulkan hampir dari keseluruhan domain

pada kuesioner yang dipergunakan pada ke lima artikel menyatakan bahwa

domain self care berhenti merokok dan olahraga berkorelasi dengan

domain QOL yaitu fungsi fisik, nyeri tubuh, vitalitas, kesehatan mental ,

domain symptom dan domain kepuasan. Ini menandakan bahwa berhenti

merokok dan sering melakukan aktivitas fisik yang baik akan berdampak

terhadap kualitas hidup pasien. Untuk kekuatan hubungan hanya 3 artikel

saja yang melaporkan kekuatan hubungannya dari mulai kuat,

rendah/sangat lemah bahkan tidak ada, dan 2 artikel yang lain tidak

melaporkan kekuatan hubungannya.


84

Tabel 4. 2 Analisis Artikel

No Nama, tahun dan Sample Alat ukur yang digunakan Data analisis Hasil Komentar
tempat
1 Sukhee Ahn, RN, Jumlah sampel: 130 Nama instrument: Regresi linear Self care behaviours Kriteria eksulsi pada
- self efficacy menggunakan The untuk memiliki efek langsung penelitian ini tidak
PhD, Rhayun pasien dengan
perceived self-efficacy scale mengexplore positif signifikan pada dijelaskan. Jurnal ini
Song, RN, PhD,Si coronary artery kualitas hidup, dengan memiliki nilai 87,5%
hubungan yang
Wan Choi, MD, disease yang direkrut nilai koefisien regresi
- self care behaviour signifikan
standar 0,64 (p = 0,00)
PhD.(2016). dari pasien rawat jalan menggunakan The Cardiac diantara, self
artinya kekuatan
di pusat cardiovaskular
Health Behavior Scale efficacy, self hubungannya cukup
College of
care behaviour, kuat, selain itu self care
Nursing, rumah sakit universitas
faktor behaviours memiliki
Chungnam - faktor risiko yang dapat modifikasi dan dampak positif pada
Kriteria inklusi: dimodifikasi dihitung QOL kualitas hidup,
National berdasarkan profil faktor risiko
- didiagnosis dengan
University, CAD setidaknya 6 jantung dan jumlah skor
efikasi diri, perilaku
bulan sebelumnya tertimbang untuk faktor-faktor
Daejeon, South kesehatan perawatan
- mampu untuk risiko yang dapat dimodifikasi.
Korea diri, dan faktor risiko
berkomunikasi dan
- Quality of life menggunakan versi yang dimodifikasi
memahami
2.0 dari Short Form Health memainkan peran
kuesioner,
Survey korean version penting dalam kualitas
- setuju untuk
berpartisipasi dalam hidup pada orang
survei dengan Domain alat ukur Self care dan dewasa dengan
persetujuan tertulis QOL:
85

The cardiac health behaviours penyakit arteri


kriteria eksulsi : - scale terdiri dari 5 domain yaitu : koroner.
(tidak dijelaskan) tanggung jawab kesehatan (5
item), konsumsi diet sehat (8
karakteristik item), olahraga (4 item),
demografi: manajemen stress (5 item), dan
pada penelitian ini berhenti merokok (3 item).
usia responden yang
diteliti 37-48 tahun,
proporsi jenis kelamin Short Form Health Survey korean
pada penelitian ini version 2.0 terdiri dari 2 domain
lebih banyak laki-laki yaitu komponen fisik dan mental
(N= 73) dibandingkan
perempuan (N=57),
2 Yanan Zhang, Jumlah sampel: 220 Nama instrument: Pearson Secara keseluruhan Pada jurnal ini
peserta yang direkrut - Self management behaviours correlation kesimpulan dari analisis multivariat
Fanghong Yan &
dari tempat komunitas menggunakan Coronary Artery untuk menguji penelitian ini adalah regresi tidak
Wenhui di kota Xi'an, Disease Self-Management Perilaku manajemen diri
korelasi antara dijelaskan sehingga
Scale (CSMS) dan HrQoL dari pasien
Jiang.(2020). perilaku nilai jurnal ini adalah
PJK di komunitas Cina
School of Nursing, Kriteria inklusi: - QOL menggunakan Short- manajemen diri
tidak memadai. Hanya
87,5 berdasarkan JBI
diagnosis dengan PJK, Form 36 Questionnaire (SF- dan HrQoL dari
Lanzhou beberapa domain QOL
memiliki kemampuan 36), Chinese version pasien PJK. saja yang berkorelasi
University, untuk memahami dan positif dengan self
Dimensi alat ukur:
Lanzhou, Gansu management yaitu fungsi
86

Province, P.R. berkomunikasi dalam - CSMS memiliki 3 dimensi fisik, nyeri tubuh,
bahasa Mandarin. yaitu: vitalitas dan kesehatan
China
(a) perilaku manajemen diri mental (r = 0,117-
Kriteria ekslusi: emosional dengan 4 item 0.328, P < 0,05)
Peserta dengan (B) perilaku swadaya kehidupan
gangguan kognitif, sehari-hari dengan 8 item;
(C) Perilaku manajemen diri
gangguan
medis dengan 14.
pendengaran, dan
komorbiditas
- SF-36 versi cina memiliki 8
kesehatan mental
domain yaitu: kesehatan umum
(GH, 5 item), fungsi fisik (PF, 10
Karakteristik item), peran emosional (RE, 3
demografi: item), nyeri tubuh (BP, 2 item),
Pada penelitian ini vitalitas (VT, 4 item), peran fisik (
usia responden yang RP, 4 item), kesehatan mental
diteliti 42 – 80 tahun , (MH, 5 item) dan fungsi sosial (SF,
dengan proporsi jenis 2 item)).
kelamin paling banyak
pada laki-laki (N=
139) dibanding
perempuan (N=81)
3 Victoria Vaughan Jumlah sampel: 129 Nama instrument: Regresi linier Dalam penelitian ini, - Jurnal ini memiliki
orang dewasa (> usia 45 - Self care adherence behaviours untuk menguji kepatuhan self care nilai 100%
Dickson, PhD, et
tahun) dengan CVD dan menggunakan the Specific hubungan dari bukan merupakan berdasarkan JBI.
al.(2012). New terdaftar dari tempat Adherence Survey from the penentu signifikan dari
87

York University rawat jalan dari pusat Medical Outcomes study masing-masing HRQOL ketika
medis perkotaan besar. (MOSAS) variabel mengendalikan depresi - Pada jurnal ini
College of
dan fungsi fisik. sebenarnya sudah
Nursing, New Kriteria inklusi: - QOL menggunakan cara yaitu
dijelaskan mengenai
York diagnosis terkait sistem MacNew Heart Disease Heart-
SCCHDI yaitu
kardiovaskuler seperti Related Quality of Life
instrumen baru yang
penyakit jantung questionnaire utntuk HRQOL
koroner, usia 45 tahun -
dikembangkan oleh
atau lebih, dipekerjakan - Job related factor menggunakan victoria vaughan
dalam satu tahun The Job Content Questionnaire unuk mengukur self
terakhir. (JCQ) care pada penyakit
jantung koroner,
kriteria ekslusi: - Depresi menggunakan patient hanya saja SC-CHDI
jika mereka tidak dapat health questionaire (PHQ) dalam jurnal ini
atau tidak mau hanya sebagai
memberikan - Fungsi fisik menggunakan duke
pengantar saja dan
persetujuan, tidak dapat activity status index (DASI)
tidak digunakan
membaca atau menulis
Dimensi dan skoring alat ukur karena belum
dalam bahasa Inggris,
atau telah menganggur self care dan QOL: dilakukan validasi
- The Specific Adherence Survey psikometrik. Validasi
untuk tahun
sebelumnya. terdiri dari 8 pertanyaan terkait psikometrik SCCHDI
CVD yang menilai kepatuhan baru dilakukan tahun
Karakteritik terhadap pengobatan, diet, 2016
demografi: olahraga, pemantauan gejala, dan
penggunaan alkohol dan rokok
Pada penelitian ini
selama periode 4 minggu
usia yang diteliti 45-
88

61 Tahun dan proporsi sebelumnya. Dinilai menggunakan


jenis kelamin skala likert
terbanyak adalah
perempuan (56,3%) - MacNew Heart Disease Heart-
dibandingkan dengan Related Quality of Life
laki-laki questionnaire memiliki 27 item
yang diukur pada skala Likert
mencakup domain kehidupan
emosional, fisik, dan sosial, dan
HRQOL global.
4 Yu-Mi Lee et Jumlah sampel: Nama instrument: Analisis regresi Di antara enam subskala - - Lifestyle
Sebanyak 417 peserta - Lifestyle modification logistik untuk CROQ, peningkatan modification
al.(2018).
yang menjalani PCI, menggunakan the Medical menguji domain gejala CROQ termasuk kedalam
Department of direkrut dari klinik Outcomes Study (MOS) dan domain kepuasan
hubungan dari self maintenance
rawat jalan kardiologi Measures of Patient Adherence CROQ secara signifikan
Preventive masing-masing didalam theory self
dari 11 rumah sakit terkait dengan kepatuhan
Medicine, College - Self-reported medication variabel care penyakit kronik
universitas yang terhadap lifestyle
ditunjuk sebagai Pusat adherence menggunakan the modification sedangkan
dari barbara riegel
of Medicine and
Cardiocerebrovascular Modified Morisky Scale (MMS domain fisik tidak secara
Institute of Health Regional (RCC) signifikan tidak terkait - Kuesioner CROQ
- Health-related quality of life bisa untuk
Science, dengan lifestyle
(HRQoL) menggunakan
Kriteria inklusi: modification direkomendasikan
Gyeongsang Coronary Revascularization
Terjadi peningkatan digunakan pada
Outcome Questionnaire
National segmen ST infark Kesimpulan: lifestyle pasien PJK setelah
(CROQ).
University, Jinju- miokard akut (STEMI) modification secara menjalani PCI,
dan dirawat dengan PCI, signifikan terkait atau CROQ menguntungkan
89

daero, Beon-gil, dalam waktu 12 hingga Domain dan skoring alat ukur berhubungan dengan karena dapat menilai
15 bulan setelah AMI, self care dan QOL: beberapa domain pada tidak hanya HRQoL
Jinju korea selatan
dilibatkan dalam - the Medical Outcomes Study CROQ tetapi juga efek buruk
penelitian ini. (MOS) Measures of Patient revaskularisasi koroner
Adherence memiliki 6 perilaku
Kriteria ekslusi: kesehatan melliputi (1) diet - Jurnal ini memiliki
peserta dengan kondisi rendah garam, (2) diet rendah lemak nilai 100%
medis yang dan / atau diet penurunan berat
menghalangi badan, (3) olahraga teratur, (4)
komunikasi verbal pengurangan stres dalam kehidupan
sehari-hari, ( 5) minum secukupnya,
karakteristik dan (6) berhenti merokok..
demografi:
pada penelitian ini usia - coronary revascularization
yang diteliti adalah >50 outcome questionnaire memiliki
tahun dengan proporsi
4 versi, versi yang dipakai dalam
gender paling banyak
penelitian ini adalah versi
pada laki-laki (N=348)
dibandingkan dengan CROQPTCA_POST yang berisi
perempuan (N=69) enam sub-skala item yang
mengukur gejala (7 item), fungsi
fisik (8 item), fungsi psikososial (14
item), fungsi kognitif (3 item),
kepuasan (6 item), dan efek
samping (6 item).
90

5 Kenzo Jumlah sampel: Nama instrument: Analisis regresi - Skor PF dan BP dalam - - tidak dijelaskan
118 pasien terdaftar - Pengumpulan data untuk kegiatan berganda delapan sub-skala SF-36 secara detail
Shibayama.(2012). perawatan diri (diet, berhenti
yang dirawat di unit digunakan untuk pada 6 bulan setelah pengumpulan data
Department of CCU disebuah rumah merokok, olahraga) dilakukan keluar secara signifikan
melalui pos mengevaluasi self care activities
Nursing, sakit yang dirawat lebih tinggi daripada
hubungan antara apakah melalui
dengan PCI. (pasien - Pengumpulan data untuk mereka yang baru
Sugiyama kegiatan kuesioner atau
melakukan rawat jalan) manajemen faktor risiko koroner keluar
perawatan diri mengisi lembar
Jogakuen dilakukan dengan meninjau grafik
Kriteria inklusi: pasien. dan manajemen pertanyaan atau
University, Japan Semua subjek yang faktor risiko - Hasil menunjukkan melalui apa, hanya
memiliki stenting - QOL menggunakan SF-36 koroner di bahwa hanya olahraga, tertulis dilakukan
dengan tingkat stenotik rumah dan sebagai aktivitas melalui pos
kurang dari 50% di delapan subskala perawatan diri setelah
arteri yang mengalami Domain self care dan QOL: pulang, untuk pasien
SF-36 pada
- Data Self care dikumpulkan yang diobati dengan
infark, enam bulan - Sf memiliki delapan
melalui pos PCI berhubungan
setelah pulang domain, hanya saja
Kriteria ekslusi: Pasien signifikan dengan
dari rumah sakit ketika di hasil,
dikeluarkan dari - SF-36 terdiri dari delapan Domain PF kualitas
hanya domain PF
penelitian jika mereka subskala [Fungsi Fisik (PF), Fisik hidup (p = 0,05)
dan BP saja yang
memiliki cangkok Peran (RP), Nyeri Tubuh (BP),
Persepsi Kesehatan Umum (GH), diuji dengan self
bypass arteri koroner,
jika mereka dirawat di Vitalitas (VT), Fungsi Sosial (SF), care activities
rumah sakit dalam Peran Sosial (RE), Emosional sedangkan domain
waktu 6 bulan setelah Peran (RE) dan Kesehatan Mental) yang lain tidak
keluar dari rumah sakit dijelaskan hasilnya
atau jika mereka seperti apa.
memiliki gangguan
91

psikosis, demensia atau - Hasil jrnal ini 62,5%


komunikasi.

Karakteristik
demografi:
Pada penelitian ini, usia
yang diteliti >45 tahun
dengan proporsi gender
laki-laki (N=101) lebih
banyak dibanding
perempuan (N=17)
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

Berdasarkan hasil pencarian literatur dari 2729 artikel yang didapatkan,

terdapat 5 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Penelitian-penelitian tersebut

mengidentifikasi hubungan self care dan kualitas hidup pada pasien penyakit

jantung koroner setelah menjalani percutaneous coronary intervention.

Karakteristik responden meliputi usia dan jenis kelamin dengan hasil yang

berbeda, instrumen dan hasil penelitian yang berbeda membuat ini menjadi

sesuatu yang menarik dan unik untuk direview.

1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dan proporsi jenis kelamin pada kelima

artikel tersebut adalah mayoritas usia 37 – 80 tahun. Menurut Depkes RI

(2009) rentang usia responden 37-80 tahun tersebut merupakan fase

dewasa akhir, fase lansia hingga fase manula. Lanjut usia hingga manula

merupakan kelompok manusia yang memasuki tahap akhir kehidupannya.

Pada kelompok lanjut usia ini terjadi proses penuaan yaitu suatu proses

yang ditandai dengan gagalnya mempertahankan keseimbangan terhadap

kondisi stres fisiologis. Kegagalan yang sering didapat berupa

menurunnya kemampuan hidup serta meningkatnya kepekaan individu

(Turana, dkk 2013). Pada lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena

proses penuaan yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit

92
93

termasuk penyakit-penyakit kronis salah satunya adalah penyakit jantung

koroner.

Seiring bertambahnya usia seseorang lebih rentan terhadap

penyakit jantung koroner, namun jarang menyebabkan penyakit serius

sebelum 40 tahun dan meningkat 5 kali lipat pada usia 40-60 tahun (Price

& wilson, 2006). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ghani dkk

(2016) yang menunjukkan bahwa usia mempunyai hubungan bermakna

dalam meningkatkan risiko kejadian penyakit jantung koroner dimana

responden yang berusia ≥ 40 tahun berisiko 2,72 kali dibanding < 40 tahun

untuk terkena penyakit jantung koroner. Semakin tua usia maka semakin

besar timbulnya plak yang menempel di dinding dan menyebabkan

gangguan aliran darah yang melewatinya (Ghani, 2016).

Diera millenial sekarang, penyakit jantung koroner tidak hanya

ditemukan pada orang-orang tua saja tetapi pada usia mudapun mulai

terjadi. Saat ini orang-orang muda pun memiliki risiko penyakit jantung

koroner sama besarnya dengan orang tua. Hal tersebut dibuktikan dengan

usia pada kelima artikel yang direview bahwa masih terdapatnya usia

dibawah <45 tahun yang merupakan masih terbilang usia produktif.

Diperkirakan bahwa 2% sampai 6% dari semua infark yang merupakan

manifestasi klinis dari penyempitan pembuluh darah koroner, melibatkan

individu dibawah usia 45 tahun. Otopsi dari dewasa muda di bawah usia

34 tahun telah menunjukan bahwa 50% memiliki aterosklerosis intima

(Ummah, 2016). Hasil penelitian Ummah (2016) menyimpulkan bahwa


94

Faktor resiko pada penyakit jantung koroner usia muda adalah laki-laki,

merokok, serta dyslipidemia. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

merupakan hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi angka

terjadinya PJK pada usia muda sehingga resiko dilakukannya tindakan PCI

pun akan berkurang. Kedepannya dibutuhkan penelitian mengenai faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian penyakit jantung koroner

yang menyerang di usia produktif/usia muda meningat anak-anak pun

sekarang sudah banyak yang merokok dan ditambah gaya hidup seperti

kurang olahraga karena asyik menonton televisi atau bermain Hp di rumah,

mengonsumsi makanan tidak sehat dan banyak mengandung kolesterol,

serta perilaku yang cenderung konsumtif di masyarakat.

Mayoritas pada 5 artikel tersebut, sebanyak 4 artikel menyatakan

bahwa lebih banyak laki-laki yang terkena PJK dibanding perempuan.

Laki-laki sangat rentan terkena PJK, hal ini dipengaruhi karena pola hidup

laki-laki yang cenderung kurang baik. Menurut Kusumawaty (2016)

menyatakan bahwa Laki-laki cenderung berisiko mengalami penyakit

kardiovaskular dihubungkan dengan pola hidup yang tidak sehat seperti

kebiasaan merokok dan konsumsi minuman keras dibandingkan

perempuan. Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya

penyakit jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki

hubungan kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok

akan mengurangi risiko terjadinya serangan jantung (AR, 2014). Merokok

satu bungkus atau lebih per hari selama beberapa tahun dapat
95

meningkatkan risiko kematian akibat PJK sampai 200% (AR, 2014).

Menurut World Heart Federation, tembakau yang dikandung dalam rokok

dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen yang dialirkan oleh darah

dan menyebabkan darah cenderung mudah menggumpal. Gumpalan darah

yang terbentuk di arteri ini dapat menyebabkan penyakit jantung koroner

dan juga stroke serta kematian mendadak.

Penelitian Marleni (2017) berpendapat bahwa dari beberapa faktor

penyebab penyakit jantung koroner salah satunya jenis kelamin, terutama

pada laki-laki yang dengan kebiasaan merokok yang mengakibatkan rusak

(Nekrosis) pada jaringan dan pembuluh darah karena adanya plak-plak

yang dapat menekan sistem kerja jantung, juga pada laki-laki tidak dapat

mengontrol stres karena laki-laki banyak bekerja diluar rumah, selain itu

penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa memang terdapat hubungan

antara jenis kelamin terhadap kejadian penyakit jantung koroner (p-

value=0,002).

Selain 4 artikel diatas yang menjelaskan bahwa lebih banyak laki-

laki yang terkena PJK, terdapat 1 artikel yang direview menyimpulkan

bahwa perempuan lebih banyak yang terkena PJK dibanding laki-laki.

Kejadian PJK pada perempuan berhubungan dengan kondisi menopause.

Fakta sekarang American Heart Association (AHA) menyatakan bahwa 1

dari 3 wanita dewasa menderita PJK (Salam, T, 2013) . Sejak tahun 1984

jumlah kematian akibat PJK pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-

laki, sekitar tiga juta wanita memiliki riwayat serangan jantung akibat PJK,
96

38% wanita yang menderita serangan jantung akan meninggal lebih awal

dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 25%.

Meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih tua

daripada laki-laki, perempuan mungkin meninggal dalam beberapa

minggu setelah menderita PJK. Namun 64% dari wanita yang meninggal

mendadak akibat PJK tidak mengalami gejala sebelumnya. Peningkatan

kejadian PJK pada wanita terjadi setelah menopause dan kematian 2-3 kali

lebih besar dari pada wanita sebelum menopause karena memiliki hormon

estrogen (Susilo, 2015).

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang memiliki efek protekif berperan dalam meningkatkan kadar

High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi

merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses

aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan

adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause

wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang

selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus

berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai

dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada

wanita umur 45-55 tahun. (Nuraini, 2015).

Dulu akibat pengaruh budaya dan cara pandang kesadaran akan

pentingnya kesehatan jantung pada kaum perempuan masih rendah,

masyarakat sering beranggapan bahwa kesehatan suami atau kaum laki-


97

laki lebih penting. Masih banyak pula profesional medis yang beranggapan

bahwa penyakit kardiovaskuler adalah penyakit kaum laki-laki, sehingga

penyakit kardiovaskuler pada perempuan yang gejala-gejalanya tidak

khas, seringkali terlewatkan (Ghani, 2016)

2. Instrumen yang digunakan

Instrumen self care yang digunakan dalam setiap penelitian berbeda-

beda, hanya 2 artikel yang menggunakan instrumen yang sama yaitu

instrumen dari the medical outcome study, semua instrumen yang

digunakan sudah valid dan reliabel hanya saja untuk penelitian Shibayama

(2012) tidak dijelaskan nama instrumen self care nya apa. Penggunaan

instrumen self care dalam kelima artikel tersebut bisa dibagi menjadi

kuesioner bersifat generik dan kuesioner bersifat spesifik. Peneliti

berpendapat bahwa kuesioner generik adalah kuesioner yang mengukur

pada populasi penyakit jantung secara general sedangkan kuesioner

spesifik yaitu kuesioner yang mengukur pada populasi penyakit jantung

tertentu. Kuesioner bersifat generik diantaranya: The Cardiac Health

Behavior Scale,, the spesific adherence survey from the medical outcomes

study, the medical outcomes study (MOS) measures of patient adherence.

Kuesioner spesifik diantaranya coronary artery self management scale,

yang menarik adalah penggunaan instrumen CSMS (coronary heart

disease self management scale) yaitu instrumen yang mengukur langsung

self management pada pasien penyakit jantung koroner.


98

Domain pada masing-masing kuesioner sudah mencerminkan 10

perilaku umum yang direkomendasikan untuk menjaga stabilitas bagi

orang dengan PJK yaitu menjaga kepatuhan pengobatan, minum aspirin

atau pengencer darah lainnya, memeriksakan tekanan darah,

berolahraga, minum obat, makan makanan rendah lemak,

menggunakan sistem pengingat pengobatan seperti alarm, makan buah-

buahan dan sayuran, hindari rokok dan perokok, dan kontrol berat

badan. Item-item tersebut diambil dari Simple Heart Seven dari

American Heart Association dan pedoman klinis untuk PJK (Riegel,

2012).

Hanya saja pada kelima artikel yang direview tidak ada satupun

yang menggunakan kuesioner SCCHDI (self care coronary heart

disease inventory sebagai kuesioner baru dan kuesioner spesifik untuk

mengukur self care PJK. Kuesioner SCCHDI ini sudah sesuai dengan

teori dari barbara riegel yaitu in the middle range theory self care of

chronic ilness dan domainnya pun sudah mencakup elemen inti dari self

care penyakit kronis yaitu self care maintenance, self care monitoring,

dan self care management.

Penggunaan kuesioner kualitas hidup pun berbeda-beda, hanya 2

artikel yang menggunakan kuesioner kualitas hidup yang sama yaitu

SF-36, semua instrumen yang digunakan sudah valid dan reliabel.

Kuesioner kualitas hidup dibagi menjadi 2 yaitu kuesioner bersifat

generik dan kuesioner bersifat spesifik. Kuesioner generik dalam


99

artikel-artikel tersebut diantaranya: versi 2.0 dari short form health

survey korean version, SF-36, MacNew Heart Disease Heart related

Quality of life. Kuesioner spesifik diantaranya coronary

revascularization outcome questionaire, yang menarik adalah

penggunaan instrumen yaitu instrumen coronary revascularization

outcome questionaire, yang mengukur langsung QOL pada pasien

penyakit jantung koroner setelah PCI.

Domain pada kuesioner kualitas hidup pada artikel-artikel tersebut

beberapa sudah ada yang sesuai dengan 4 aspek mengenai kualitas

hidup menurut WHOQOL-BREF (1996) yaitu mencakup kesehatan

fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, hubungan dengan

lingkungan, dan sisanya ada beberapa kuesioner yang cakupan 4 aspek

mengenai kualitas hidup tidak terbahas pada domain kuesioner kualitas

hidup yang digunakan pada artikel tersebut sehingga ini bisa menjadi

sebuah keterbatasan penelitian tersebut.

Hanya saja pada kelima artikel tersebut tidak ada yang

menggunakan kuesioner seattle angina questionaire yang merupakan

kuesioner spesifik untuk mengukur keterbatasan fisik, frekuensi angina,

stabilitas angina, kepuasan terhadap pengobatan, dan persepsi terhadap

penyakit pada pasien penyakit jantung koroner (Yulianti, 2012).

Suatu kuesioner dikatakan reliabel jika nilai cronbach alpha ≥ 0,60

(Susanto, 2018). Hal ini sesuai dengan Kategori indeks yang dibedakan

menjadi beberapa tingkatan yaitu: 0,8 – 1,0 (sangat tinggi); 0,6 – 0,8
100

(tinggi); 0,4 – 0,6 (cukup); 0,2 – 0,4 (rendah); 0 - 0,2 (sangat rendah)

(Dahlan Ms, 2014). Kalau diurutkan penggunaan kuesioner self care

yang digunakan di kelima artikel berdasarkan nilai reliabilitasnya dari

mulai terbesar ke terkecil diantaranya: coronary artery disease self

management scale (cronbach alpa 0,913), the cardiac health behaviour

(cronbach alpa 0,87), dan the medical outcome study (0,81). Sedangkan

kuesioner QOL berdasarkan nilai reliabilitasnya dari mulai tertinggi

sampai terendah diantaranya: SF-36 (cronbach alpanya 0,77-0,927),

CROQ (Cronbach alpanya 0,33-0,92), MacNew Heart disease

(cronbach alpanya 0,900), 2.0 of the short from health survey Korean

version (cronbach alpanya 0,75-0,85). Mayoritas kuesioner self care

dan QOL yang digunakan oleh kelima artikel sudah reliabel dengan

nilai >0,60.

Suatu instrumen disebut valid atau tidak menurut validitas isi jika isi

instrumen tersebut telah merupakan sampel yang representatif dari

keseluruhan yang akan diukur. Pengujian validitas isi menggunakan

korelasi antar skor baris butir dengan skor total menggunakan korelasi

Pearson Product Moment atau yang sering disebut dengan korelasi

pearson (Susanto, 2018). Validitas isi terpenuhi jika koefisien pearson

korelasi diatas 0,30 dan jika tidak terpenuhi butir tersebut harus

diperbaiki atau dibuang (Nugroho, 2010). Kalau diurutkan penggunaan

kuesioner self care yang digunakan di kelima artikel berdasarkan nilai

validitasnya dari mulai terbesar ke terkecil diantaranya: the cardiac


101

health behaviour (r= >0,80), coronary artery disease self management

scale (r = 0,271 – 0,573), dan the medical outcome study (r = -0,12 –

0,29). Sedangkan kuesioner QOL yang digunakan di kelima artikel

berdasarkan nilai validitasnya dari mulai terbesar ke terkecil

diantaranya: MacNew heart disease (r = 0,816 – 0,900), 2.0 of the short

from health survey (r = 0,53 – 0,62), SF-36 (r = >0,40), dan CROQ (r =

0,27 – 0,83). Mayoritas kuesioner self care dan QOL yang digunakan

oleh kelima artikel sudah valid dengan nilai >0,30, hanya saja untuk

kuesioner self care the medical outcome study nilai validitas masih

dibawah nilai 0,30 yang menandakan kuesioner ini memiliki validitas

rendah.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti sendiri merekomendasikan

kuesioner self care dan QOL untuk digunakan peneliti selanjutnya jika

ingin melakukan penelitian diantaranya:

a. Kuesioner self care

Untuk kuesioner generik, peneliti merekomendasikan

penggunaan the cardiac health behaviour scale untuk digunakan

dalam penelitian selanjutnya, sedangkan untuk kuesioner

spesifiknya, peneliti merekomendasikan coronary artery disease self

management scale. Dua kuesioner tersebut belum tersedia dalam

bahasa indonesia sehingga peneliti selanjutnya diharuskan untuk

melakukan proses translasi dan uji validitas dan reliabilitas pada

populasi PJK di Indonesia. Kuesioner the medical outcome study


102

sebenarnya sudah bagus, hanya saja kuesioner ini memiliki nilai

validitas yang rendah, jika ingin digunakan maka peneliti

selanjutnya untuk mencoba menguji kembali nilai validitasnya pada

populasi PJK di Indonesia. Selain tiga kuesioner yang disebutkan

diatas, masih terdapat beberapa kuesioner yang bisa digunakan

untuk penelitian selanjutnya yaitu self care coronary heart disease

inventory, HPLP II, Appraisal self care scale-revised dan self care

chronic illness inventory. Kuesioner-kuesioner tersebut memiliki

nilai validitas dan reliabilitas yang tinggi pada versi originalnya,

sehingga jika ingin digunakan pada populasi PJK di Indonesia,

peneliti selanjutnya untuk melakukan uji validitas dan reliabilitas

kembali. Khusus untuk kuesioner self care coronary heart disease

inventory dan self care chronic illness inventory, penggunaanya bisa

untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk mengukur self care PJK

di masa sekarang dan masa mendatang.

b. Kuesioner kualitas hidup

Untuk kuesioner generik QOL, peneliti merekomendasikan

MacNew Heart disease untuk digunakan dalam penelitian

selanjutnya, sedangkan untuk kuesioner spesifiknya, peneliti

merekomendasikan coronary revascularization outcome

questionnaire. Macnew Heart Disease sudah tersedia dalam Bahasa

Indonesia sedangkan CROQ belum tersedia dalam versi Bahasa

Indonesianya. Kuesioner SF-36 juga bisa menjadi pilihan alternatif


103

kuesioner generik dalam mengukur QOL pada pasien PJK. Selain

kuesioner yang disebutkan diatas, terdapat beberapa rekomendasi

kuesioner yang bisa digunakan oleh peneliti selanjutnya yaitu:

seattle angina questionnaire, APQLQ, dan EQ-5D. Kuesioner

tersebut memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang tinggi dan

sudah ada yang versi Bahasa Indonesianya kecuali APQLQ.

Sedikitnya kuesioner yang mengukur kualitas hidup pada pasien post

PCI langsung, menandakan bahwa memang belum banyaknya jenis

kuesioner spesifik tersebut, hanya CROQ saja yang menjadi

kuesioner spesifik QOL pada pasien post PCI. Sehingga diharapkan

untu kedepannya, para peneliti dibidang kardiovaskuler untuk bisa

membuat kuesioner spesifik pada pasien post PCI yang tentunya

isinya memiliki domain yang mencerminkan kualitas hidup pasien

post PCI.

3. Hasil Penelitian

Dari kelima jurnal tersebut yaitu 3 diantaranya memiliki hubungan

yang signifikan antara self care dengan kualitas hidup dan 2 diantaranya

tidak memiliki hubungan signifikan antara self care dan kualitas hidup.

Kemampuan self care yang diperoleh melalui pengalaman menderita

penyakit kronis akan berdampak pada perubahan gaya hidup dan secaran

langsung dapat memengaruhi kualitas hidup pasien itu sendiri (Smeltzer,

Bare, Hinkle, & Cheever, 2008). Banyak penelitian yang telah

membuktikan bahwa self care meningkatkan kualitas hidup dengan


104

menurunkan nyeri, kecemasan, dan keletihan, meningkatkan kepuasan

pasien, serta menurunkan penggunaan tempat pelayanan kesehatan dengan

menurunkan jumlah kunjungan ke dokter, kunjungan rumah, penggunaan

obat dan lama rawat inap di rumah sakit (Asnaniar, 2019). Hal ini memang

sejalan dengan artikel penelitian Ahn et al (2016) bahwa self care

behaviour memiliki efek positif signifikan pada kualitas hidup serta

memiliki dampak positif. Faktor yang mempengaruhi hubungan antara self

care dengan QOL pada penelitian ini adalah self efficacy. Pada penelitian

ini menyatakan bahwa perilaku kesehatan perawatan diri dengan self-

efficacy yang lebih tinggi akan menyebabkan kualitas hidup yang lebih

baik melalui modifikasi faktor risiko kardiovaskular di antara orang-orang

dengan CAD di Korea. Self-efficacy juga memiliki efek tidak langsung

pada QOL melalui perilaku kesehatan perawatan diri dan faktor risiko

yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko kardiovaskular termasuk obesitas,

merokok, dan aktivitas fisik rendah bertanggung jawab atas kondisi

kesehatan yang buruk dan kualitas hidup terkait kesehatan pada orang

yang didiagnosis dengan penyakit jantung; QOL dapat ditingkatkan jika

faktor-faktor risiko kardiovaskular itu meningkat melalui kegiatan

perawatan diri.

Berbeda dengan artikel Zhang et al (2020) memiliki hubungan yang

tidak signifikan. Pada penelitian ini, faktor yang mempengaruhi hubungan

yang tidak signifikan adalah perilaku manajemen diri kehidupan sehari-

hari yang masih kurang. Ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang
105

menunjukkan bahwa sulit untuk mengubah gaya hidup yang tidak sehat

(Dawkes et al., 2016). Penjelasan untuk temuan ini mungkin sebagian

besar pasien dengan PJK di Tiongkok menerima perawatan medis di

rumah sakit hanya tanpa profesional kesehatan dalam komunitas

masyarakat untuk mengelola kesehatan dan tindak lanjut mereka. Di

bawah model pemanfaatan layanan kesehatan ini, pasien seringkali tidak

diberikan manajemen kesehatan yang tepat dan perilaku manajemen diri

mereka tidak mencukupi (Zhang, 2020). Selain itu Angina, komorbiditas,

dan riwayat infark miokard merupakan faktor-faktor yang dapat

menyebabkan gangguan HrQoL.

Penelitian artikel Dickson (2012) yang menyimpulkan bahwa

kepatuhan self care bukan merupakan penentu signifikan dari HRQOL. Hal

tersebut mungkin dipengaruhi faktor-faktor berupa karakteristik pekerjaan

untuk memenuhi tuntutan pekerjaan yang mengganggu kemampuan untuk

terlibat dalam perawatan diri. Selain itu kontrol pekerjaan, dan dukungan

di tempat kerja juga ikut mempengaruhi. peningkatan tuntutan pekerjaan

dan kontrol pekerjaan yang rendah mungkin menjadi alasan untuk

mengurangi kepatuhan terhadap perilaku perawatan diri yang

direkomendasikan secara rutin. Sehingga dibutuhkan program kesehatan

dilingkungan tempat kerja agar para pekerja memiliki self care yang baik.

karakteristik pekerjaan dapat mengganggu perawatan diri dan berpotensi

mempengaruhi kualitas hidup, perawat harus menilai tuntutan pekerjaan

dan memasukkan pengurangan stres sebagai bagian dari konseling pasien


106

untuk pekerja dengan penyakit jantung selama bekerja dikantor secara

rutin (Dickson, 2012).

Self care sangat penting bagi pasien dengan penyakit kronis, seperti

halnya pada pasien penyakit jantung koroner. Self care dapat

meningkatkan kualitas hidup klien dengan penyakit jantung seperti gagal

jantung ataupun penyakit jantung koroner untuk secara efektif mengelola

gejala dari penyakit tersebut. self care berpengaruh berat dalam kualitas

hidup seseorang, jika seseorang memiliki self care yang baik maka sudah

pasti kualitas hidupnya akan baik juga (Djamaludin, 2018). Perawatan diri

pada penyakit jantung koroner mengacu pada teori self care barbara riegel

(2012), dimana self care maintenance, self care monitoring dan self care

management berperan penting sebagai elemen inti self care tersebut.

Penelitian artikel Lee et al (2016), menyimpulkan bahwa lifestyle

modification yang merupakan masih dalam cakupan self care maintenance

memiliki hubungan signifikan dengan QOL pada PJK yng menjalani PCI.

Pada penelitian ini, kepatuhan dalam lifestyle modification dipengaruhi

oleh kepatuhan minum obat pada pasien pasca AMI setelah disesuaikan

untuk jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan

pendapatan keluarga. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh (Indrawati, 2014), yang menyatakan memiliki sikap dan

prilaku baik pasien penyakit jantung koroner maka akan memiliki

kemampuan untuk manajemen faktor resiko dan lifestyle modification

hidupnya sehingga terciptanya kualitas hidup yang sehat seperti


107

menghindari makan-makanan yang berlemak, olahraga teratur, istirahat

yang cukup, minum obat teratur dan selalu melakukan pemeriksaan

kesehatan.

Menurut American Heart Association (AHA) (2013)

merekomendasikan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan kualitas

hidup. Aktivitas yang dilakukan oleh pasien jantung juga dapat

mengurangi rasa cemas, kesal, dan marah yang merupakan salah satu

dimensi kualitas hidup karena oksigen yang masuk saat aktivitas ke otak

akan memberikan rasa nyaman (Wahyuni, 2014). Sejalan dengan artikel

penelitian Shibayama (2012) menyimpulkan bahwa olahraga sebagai self

care activities berhubungan dengan kualitas hidup. Pada penelitian ini,

Peningkatan domain Physical Functioning pada pasien AMI yang diobati

dengan PCI terkait dengan olahraga setelah keluar dan tidak ada diabetes

mellitus. Namun, tidak ada faktor terkait untuk domain Bodily Pain.

Peningkatan skor PF dan BP menunjukkan peningkatan kemampuan untuk

melakukan aktivitas fisik (mis., Mandi atau berpakaian) dan tidak adanya

rasa sakit tubuh yang intens yang akan mengganggu aktivitas hidup sehari-

hari (ADL) atau pekerjaan.

Peningkatan PF pada pasien AMI yang diobati dengan PCI juga terkait

dengan tidak adanya diabetes mellitus. Pasien AMI dengan diabetes

mellitus memiliki prognosis yang tidak menguntungkan dan tingkat

kejadian angina dan gagal jantung yang tinggi pada periode pasca-AMI

dibandingkan dengan pasien AMI yang tidak memiliki diabetes mellitus.


108

Diabetes mellitus dianggap sebagai faktor risiko koroner utama dan faktor

yang dikaitkan dengan memburuknya kualitas hidup (Lee, 2018). Temuan

ini menunjukkan bahwa olahraga meringankan gejala seperti nyeri dada

dan ketidaknyamanan dada pada pasien AMI. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa olahraga sedang secara teratur pada pasien AMI yang

diobati dengan PCI mungkin terkait dengan peningkatan kualitas hidup,

karena kegiatan perawatan diri dilakukan setelah pulang dari rumah. Bagi

penderita penyakit kronis pelaksanaan self care tercerminkan dalam

aktivitas mereka dalam menaati terapi medis, gaya hidup yang

direkomendasikan, melaksanakan aktivitas sehari-hari sesuai yang

disarankan melaksanakan tindakan pencegahan sesuai dengan yang

diharapkan, menjalankan ibadah yang meningkatkan spritual, serta

melakukan kegiatan yang menyenangkan (Larsen & Lukbin, 2009).

Tidak adanya Systematic literature review sebelumnya mengenai

hubungan self care dengan QOL pada pasien PJK setelah menjalani PCI.

Literature sebelumnya sudah pernah dilakukan tetapi bukan pada populasi

PJK setelah menjalani PCI, yang ada pada populasi penyakit kronis yang

lain seperti pada populasi Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).

3 artikel pada Systematic review ini mendukung ke penelitian systematic

review sebelumnya bahwa manajemen diri adalah faktor penting dalam

mengurangi kekambuhan penderita penyakit kronis khususnya PPOK

(Syakura et al, 2020). Perawatan diri adalah elemen kunci untuk

meningkatkan kemampuan diri dan mengurangi konsekuensi dari penyakit


109

kronis. Pasien yang lebih aktif dalam mempertahankan dan meningkatkan

kemampuan mereka memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan dapat

menerima dan mengembangkan dukungan dari petugas kesehatan

(Syakura et al, 2020). Berdasarkan meta analisis penelitian Cannon et al

(2016) efek yang dikumpulkan mengungkapkan bahwa intervensi

manajemen diri secara signifikan meningkatkan semua aspek kesehatan

pasien terkait kualitas hidup, di samping beberapa aspek dari self-efficacy

mereka; terutama, pengurangan perasaan tidak berdaya, sesak napas

setelah aktivitas fisik, serta meningkatkan nutrisi dan teknik pernapasan.

Hal tersebut mendukung kedalam systematic review ini.

B. Implikasi Klinik

Pelaksanaan self care dalam konteks penyakit kronis merupakan hal yang

kompleks dan sangat dibutuhan untuk keberhasilan manajemen serta kontrol

dari penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner. Self care yang baik akan

berpengaruh terhadap kualitas hidup yang baik pula dan begitupun sebaliknya.

Self care menjadi point penting dalam manajemen penyakit kronis untuk

menjaga stabilitas kesehatan fisik dan mental agar kualitas hidup pun

meningkat. Pada implikasi klinik ini terbagi dalam dua yaitu implikasi teoritis

dan implikasi praktik.

1. Implikasi teoritis

Bagi bidang keilmuan, systemnatic review ini sebagai acuan agar lebih

bisa dikembangkan lagi dalam bentuk penelitian sebagai langkah awal

untuk menghasilkan evidence based practice in nursing yang nantinya


110

akan bermanfaat bukan hanya di lahan pendidikan tapi juga dilahan

praktek. Di lahan pendidikan, hasil systematic review ini bisa jadi bahan

pengajaran dan pembelajaran bagi mahasiswa/i di perguruan tinggi

kesehatan sebagai bentuk peningkatan pemahaman yang kaitannya dengan

penyakit sistem kardiovaskular. Selain itu, ajarkan juga mengenai

pentingnya meningkatkan self efficacy pada pasien penyakit kronis

khususnya kardiovaskuler yang berdampak pada meningkatnya perilaku

perawatan diri sehingga akan berdampak juga terhadap kualitas hidup

pasien dengan baik.

2. Implikasi Praktis

Dilahan praktek hasil systematic review ini bisa menjadi bahan edukasi

ke masyarakat tentang apa saja yang harus mereka lakukan jika mereka

terkena penyakit jantung koroner agar tidak memburuk dan mengurangi

komplikasi, sehingga kualitas hidup masyarakatpun meningkat,

menurunkan mobiditas dan mortalitas penyakit tersebut dengan

menerapkan pola hidup sehat.

Bagi Rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan, hasil systematic

review ini bermanfaat dalam kaitanya dengan peningkatan kepatuhan self

care pada pasien penyakit tersebut, sesuai dengan teorinya bahwa self care

terbagi tiga yaitu self care maintenance, dimana masyarakat bisa

menerapkan gaya hidup yang berdasarkan 10 perilaku umum untuk

menjaga stabilitas pasien PJK meliputi menjaga kepatuhan pengobatan,

minum aspirin atau pengencer darah lainnya, memeriksakan tekanan


111

darah, berolahraga, minum obat, makan makanan rendah lemak,

menggunakan sistem pengingat pengobatan seperti alarm, makan buah-

buahan dan sayuran, hindari rokok dan perokok, dan kontrol berat badan.

Self care monitoring yang dimana jika pasien merasakan sakit dada

ataupun tanda dan gejala PJK untuk segera memeriksakan diri ke rumah

sakit dan kontrol secara rutin dan terakhir yaitu self care management

dimana jika pasien mengalami kekambuhan PJK seperti sakit dada, pasien

sudah bisa memanagemen nyeri dadanya agar tidak memburuk. Untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien AMI yang diobati dengan PCI,

perawat harus mengajarkan pasien dalam upaya perawatan discharge

planning pasien tentang perlunya dan manfaat dari olahraga ringan seperti

berjalan dan joging 30 menit atau lebih per hari, 3 kali atau lebih per

minggu, setelah keluar dari rumah sakit.

Bagi tempat bekerja seperti perkantoran ataupun pabrik, perawat

kesehatan kerja haru membuat sebuah program kesehatan dilingkungan

tempat kerja agar para pekerja memiliki self care yang baik. perawat harus

menilai tuntutan pekerjaan dan memasukkan pengurangan stres sebagai

bagian dari konseling pasien untuk pekerja dengan penyakit jantung

selama bekerja dikantor secara rutin.

C. Keterbatasan Penelitian

Dalam systematic review ini terdapat keterbatasan penelitian yang

peneliti temukan diantaranya:


112

1. Sedikit ditemukannya penelitian yang menghubungkan self care dengan

kualitas hidup pada populasi penyakit jantung koroner atau post PCI, yang

peneliti temukan malahan lebih banyak penelitian self care dan QOL pada

pasien gagal jantung. Penyakit jantung koroner dan gagal jantung

merupakan dua penyakit yang berbeda sekalipun memiliki persamaan yaitu

sama-sama menyerang kardiovaskular. Self care dan kualitas hidup juga

lebih banyak ditemukan pada penelitian dengan populasi diabetes melitus.

2. Terdapat jurnal yang sudah sesuai dengan judul penelitian, tetapi ketika

diunduh, didalam isi bahasa yang digunakan adalah bahasa Thailand,

sehingga otomatis jurnal ini dikeluarkan, yang akhirnya berdampak kepada

jumlah jurnal yang akan direview

3. Kurangnya penggunaan kuesioner spesifik self care dan kualitas hidup pada

pasien penyakit jantung koroner pada kelima artikel sebelumnya yang

mengakibatkan kurangnya eksplorasi nama-nama kuesioner spesifik yang

khusus pada penyakit jantung koroner.

4. Beberapa artikel tidak menuliskan nilai koefisien korelasi pearson (r)

sehingga peneliti sedikit kesusahan dalam mengidentifikasi kekuatan

hubungannya, apakah lemah atau kuat.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil systematic review yang telah dilakukan beserta

pembahasannya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Pencarian jurnal didalam systematic review ini menghasilkan 2729

artikel menggunakan 3 database. jurnal-jurnal tersebut diseleksi menggunakan

flowchart PRISMA, melalui proses, identification, screening, eligibility dan

included, sehingga total 5 artikel yang layak direview menggunakan JBI

critical appraisal. Terdapat 3 artikel yang memiliki hasil berhubungan antara

self care dan kualitas hidup dan 2 artikel yang memiliki hubungan tidak

signifikan. Self care sangat penting pada pengelolaan penyakit kronis salah

satunya penyakit jantung koroner mengingat jumlah mortalitas dan morbiditas

penyakit jantung koroner sangat tinggi di dunia bahkan di Indonesia.

Pengelolaan self care yang baik tentunya akan berdampak terhadap kualitas

hidup pasien.

Karakteristik responden dari kelima jurnal menghasilkan 4 jurnal

menyimpulkan bahwa laki-laki lebih banyak yang terkena penyakit jantung

koroner dibandingkan perempuan. Pada laki-laki hal tersebut dipengaruhi oleh

pola hidup seperti merokok ataupun minuman keras, sedangkan pada

perempuan dipengaruhi oleh keadaan menopause. Usia mayoritas responden

berusia antara rentang 37-80 tahun yang merupakan usia mayoritas lansia. Pada

113
114

fase lansia terjadi penurunan fungsi tubuh yang mengakibatkan pada lansia

rentan terkena penyakit kronis salah satunya penyakit jantung koroner.

Penggunaan alat ukur yang berbeda-beda, mayoritas penggunaan

kuesioner dari kelima artikel tersebut adalah penggunaan kuesioner generik

untuk mengukur self care dan kualitas hidup pada pasien jantung umumnya,

sedangkan penggunaan kuesioner spesifik untuk mengukur self care dan

kualitas hidup langsung pada penyakit jantung koroner belum banyak

ditemukan.

B. Saran

Berdasarkan systematic review yang telah dilakukan dan diperoleh hasil

kesimpulan, maka peneliti merumuskan saran untuk:

1. Bagi institusi pendidikan

Systematic review ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau

digunakan sebagai referensi dalam perkuliahan keperawatan medikal

bedah khususnya tentang penyakit sistem kardiovaskular dan juga bisa

sebagai referensi bagi pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah.

Selain itu untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa bahwa penyakit

jantung koroner bisa dicegah yaitu dengan pengelolaan self care atau

modifikasi gaya hidup yang baik.

2. Bagi tenaga kesehatan

Hasil systematic review ini diharapkan mampu menjadi bahan

masukan untuk perencanaan dalam upaya promotif dan preventif pada

penyakit kardiovaskuler khususnya tentang pengelolaan self care yang


115

bisa berdampak kepada kualitas hidup pasien penyakit jantung koroner.

Selain itu hasil systematic review ini bisa dimanfaatkan oleh perawat

sebagai bahan edukasi kepada pasien penyakit jantung koroner

3. Bagi rumah sakit

Systematic review ini diharapkan dapat menjadi sarana pertukaran

informasi khususnya antar perawat ataupun tenaga medis lainnya untuk

mendukung peningkatan motivasi kepatuhan klien dalam menjalani pola

hidup yang sehat.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Systematic review ini bisa dijadikan referensi untuk penelitian

selanjutnya dalam pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah

khususnya sistem kardiovaskuler. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk

meneliti self care dan kualitas hidup pada pasien penyakit jantung koroner

menggunakan kuesioner spesifik untuk dua variabel tersebut contohnya

menggunakan kuesioner SCCHDI dan seattle angina questionaire.

Peneliti selanjutnya juga diharapkan lebih bisa mengexplore lagi terkhusus

mengenai karakteristik pekerjaan seperti apa yang berpengaruh terhadap

self care pasien PJK dan berdampak pada kualitas hidup, selain itu peneliti

menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian penyakit jantung koroner

yang menyerang di usia produktif/usia muda. Selain itu, peneliti

selanjutnya bisa melakukan penelitian uji validitas dan reliabilitas

kuesioner pada populasi Pasien PJK/Post PCI di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association.(2013). Physical activity improves quality of life.


https://atgprod.heart.org/HEARTORG/HealthyLiving/Physical-activity-
improves-quality-of-life_UCM_307977_Article.jsp?appName=MobileApp
(dikases 13 November, 2020; 00:42)

American Heart Association.(2015). Coronary Artery Disease – Coronary Heart


Disease. https://www.heart.org/en/health-topics/consumer-healthcare/what-is-
cardiovascular-disease/coronary-artery-disease, (diakses27 Januari 2020)

Ahn, S., Song, R., & Choi, S. W. (2016). Effects of Self-care Health Behaviors on
Quality of Life Mediated by Cardiovascular Risk Factors Among Individuals
with Coronary Artery Disease : A Structural Equation Modeling Approach.
Asian Nursing Research, 10(2), 158–163.
https://doi.org/10.1016/j.anr.2016.03.004

Akyol AD, Cetinkaya Y, Bakan G, Yarali S, Akkuş S (2007) Self-care agency and
factors related to this agency among patients with hypertension. Journal of
Clinical Nursing 16, 679-87

Amini, R., Rajabi, M., & Soltanian, A. (2017). Effect of Health-related Lifestyle
Self- management Program on Quality of Life of Patients with Ischaemic
Heart Disease : A Quasi-experimental Study. Journal of Clinical and
Diagnostic Researc, 11(12), 2015–2018. https: //doi.org /10.7860/ JCDR/
2017/27874.10981

Anggraini, D., & Andani, T. Z. (2018). Kualitas hidup pasien pasca- percutaneous
coronary intervention (pci). Jurnal Keperawatan Komprehensif 1, 98–105.

Angriyani, D. (2008). Kualitas Hidup pada Orang dengan Penyakit Lupus


Erythematotus (Odapus). Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Tidak Dipublikasikan.

Ar, D., & Indrawan, B. (2014). Hubungan Usia dan Merokok pada Penderita
Penyakit Jantung Koroner di Poli Penyakit Dalam RS MHPalembang Periode
Tahun 2012 Pendahuluan. Syifa’MEDIKA, 5(1).

Arif Nur Akhmad, Yanuar Primanda, Y. P. I. (2016). Kualitas hidup pasien gagal
jantung kongestif (GJK) berdasarkan karakteristik demografi. Jurnal
Keperawatan Soedirman, 11(1), 27–34.

Arikunto, S.(2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta

116
117

Asnaniar, Safruddin. (2019). hubungan self care management diabetes dengan


kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2. Jurnal Penelitian Kesehatan
Suara Forikes, 10(4), 295–298.

Astin F, Jones K, Thompson DR. (2005). Prevalence and Patterns of Anxiety and
Depression in Patients Undergoing Elective Percutaneous Transluminal
Coronary Angioplasty. Heart&Lung,34:393-401
Evers GCM.(1989).Appraisal of self-care agency A.S.A scale. Reliability and
Validity of the Dutch version of the A.S.A. scale measuring orem’s concept
‘Self-Care Agency. Mastritch, 1947

Barnason, S., White-williams, C., Rossi, L. P., Centeno, M., Crabbe, D. L., Lee, K.
S., … Wood, K. (2017). Evidence for Therapeutic Patient Education
Interventions to Promote Cardiovascular Patient Self-Management.
Circulation: Cardiovascular Quality and Outcomes, 10(6), 1–24.
https://doi.org/10.1161/HCQ.0000000000000025

Benjamin, E. J., Blaha, M. J., Chiuve, S. E., Cushman, M., Das, S. R., et al (2017).
Heart Disease and Stroke Statistics—2017 Update: A Report From the
American Heart Association. Circulation, 135(10), e146–e603.
doi:10.1161/cir.0000000000000485

Birhasani dan lisyani BS dan Ria t. (2011). Clinical pathology and. Majalah
Patologi Klinik Indonesia dan Laboratorium Medik. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, 17(3), 127 – 177.

Brown, D., & Edwars, H. (2004). Medical surgical nursing assessment and
management of clinical problems, 5th Ed. St. Louis , Mosby Inc.
Burhani.(2013). Pemetaan Kebutuhan Stent Dan Memprediksikan Jumlah
Permintaan Stent Di Masa Mendatang. Jurnal Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

Cannon, D., Buys, N., Bajee, K., Sharma, S., Morris, N., & Sun, J. (2016). The
effects of chronic obstructive pulmonary disease self- management
interventions on improvement of quality of life in COPD patients : A meta-
analysis. Respiratory Medicine, 121, 81–90.
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2016.11.005.

Chan, D. S. K., Chau, J. P. C., & Chang. A. M. (2005). Quality of life hong kong
chinese diagnosed with acute coronary syndromes. Blackwell Publishing Ltd,
Journal of clinical Nursing, 14, 1262-1263.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. (2007). Research Methods in Education
(6th ed.). London, New York: Routllege Falmer
118

Dahlan, M.S. (2014). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 5. Jakarta :
salemba medika.
Davies, T.H., & Crombie, K. (2009). What is a systematic review. Hayward:
Hayward Group Ltd.

Dawkes, S., Smith, G.D., Elliott, L., Raeside, R., & Donaldson, J.H. (2016). Self-
management of coronary heart disease in older patients after elective
percutaneous transluminal coronary angioplasty. J Geriatr Cardiol, 13(5), 393-
400

Departemen Kesehatan.(2018). Rs Jantung harapan kita pengampu rujukan


kardiovaskular. https://www.depkes.go.id/article/view/18111200002/rs-
jantung-harapan-kita-pengampu-rujukan-kardiovaskular.html (diakses 17
Januari 2020)

Dewi, Yutari maysa, Wan Nishfa Dewi, Herlina.(2018). Self efficacy pasien
jantung koroner setelah percutaneous coronary intervention. JOM Fkep, Vol.6
No.1 (Januari-Juni) 2019

Dickson, V. V., Lee, C. S., Yehle, K. S., Mola, A., Faulkner, K. M., Riegel, B., &
Lee, C. S. (2016). Psychometric Testing of the Self-Care of Coronary Heart
Disease Inventory. https://doi.org/10.1002/nur.21755

Dickson, V. V., Howe, A., Deal, J., & Mccarthy, M. M. (2012). Care of the Patient
with Coronary Heart Disease The relationship of work , self-care , and quality
of life in a sample of older working adults with cardiovascular disease. Heart
and Lung The Journal of Acute and Critical Care, 41(1), 5–14.
https://doi.org/10.1016/j.hrtlng.2011.09.012

Direktorat pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular Kemenkes


RI.(2018) Apa itu Penyakit Jantung Koroner ?.
Https:2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-
dan-pembuluh-darah/apa-itu-penyakit-jantung-koroner, diperoleh tanggal 22
Januari 2020

Dixon, T., Lim, L. L. Y., & Oldridge, N. B. (2002). The MacNew heart disease
health-related quality of life instrument: reference data for users. Quality of
Life Research : An International Journal of Quality of Life Aspects of
Treatment, Care and Rehabilitation, 11(2), 173–183.
https://doi.org/10.1023/A:1015005109731

Djamaludin, Djunizar, Roni Tua, D. D. (2018). Hubungan self care terhadap


kualitas hidup pada pasien gagal jantung. Holistik Jurnal Kesehatan, 12(3),
178–188.
119

Eller, L. S., Lev, E. L., Yuan, C., & Watkins, A. V. (2016). Describing self-care
self-efficacy: Definition, measurement, outcomes, and implications.
International Journal of Nursing Knowledge[advance online publication]. doi:
10.1111/2047-3095.12143.

Euroqol, G. (1990). EuroQol * - a new facility for the measurement of health-related


quality of life. Health Policy, 16, 199–206.

Farahdika, A., & Azam, M. (2015). Faktor Risiko yang Berhubungan Dengan
Penyakit Jantung Koroner Pada Usia Dewasa Madya (41-60 TAHUN) (Studi
Kasus di RS Umum Daerah Kota Semarang). Unnes Journal of Public Health,
4(2), 117– 123.https://doi.org/10.15294/ujph.v4i2.51 88

Fatima Colet, C. et al. (2010). Educational level, socio-economic status and


relationship with quality of life in elderly res-idents of the city of Porto
Alegre/RS, Brazil. Brazilian Journal of Pharmaceutical Science, Porto Alegre,
pp:805-810.
Fitriana, N.A dan Ambarini, T.K.(2012). Kualitas Hidup Pada Penderita Kanker
Serviks Yang Menjalani Pengobatan Radioterapi. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental Vol 1 No.02 hal 123-129
Ghani, L., Dewi, M., Novriani, H., Penelitian, P., & Daya, S. (2016). Faktor Risiko
Dominan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia, 153–164.

Guyton, A. C., Hall, J. E.,(2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12. Jakarta:
EGC.

Harselia, S. A. dan A. karunia putri. (2018). Tindakan percutaneous coronary


intervention pada pasien stenosis arteri koroner kanan. Jurnal Arsip
Kardiovaskular Indonesia (ARKAVI), 03, 1–7.

Harun, Hasniatisari, Kusman Ibrahim, Imas Rafiyah. (2016). Hubungan


pengetahuan terhadap kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien
pasca intervensi koroner perkutan di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung.
MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Kesehatan, 14(1), 1–9.

Hastriadi, Prasekti.(2011).Hubungan Kepatuhan Diit Dengan Kadar Kolesterol


Penderita Jantung Koroner Rawat Jalan Di RSUD Tugurejo Semarang.
Skripsi Universitas Muhammadiyah: tidak diterbitkan

Hastuti, yuni dwi dan evi dwi mulyani. (2019). Kecemasan pasien dengan penyakit
jantung koroner. Jurnal Perawat Indonesia, 3(3), 167–174.

Hays RD.(1994). The Medical Outcomes Study (MOS) measures of patient


adherence. RAND ;19:2004.
120

Hidayat, A.(2017). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Kesehatan. Jakarta:


Salemba Medika.
Höfer, S., Lim, L., Guyatt, G., & Oldridge, N. (2004). The MacNew Heart Disease
health related quality of life instrument : A summary. Health and Quality of
Life Outcomes, 2(3), 1–8.

Hutagalung, R. U., Susilaningsih, F. S., Mardiyah, A., Keperawatan, F., Samarinda,


D., Keperawatan, F., & Padjadjaran, U. (2014). Kualitas Hidup Pasien
Pascaintervensi Koroner Perkutan The Quality of Life of Patient with Post
Percutaneous Coronary Intervention, 2(April 2014).

Indrawati, L., 2014, Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi,


Dukungan Keluarga Dan Sumber Informasi Pasien Penyakit Jantung Koroner
Dengan Tindakan Pencegahan Sekunder Faktor Risiko (Studi Kasus Di
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta). Jurnal Volume 2(3) Stikes Medistra
Indonesia.

Iskandar, Abdul Hadi, Alfridsyah.(2017). Faktor risiko terjadinya penyakit


jantung koroner pada pasien Rumah Sakit umum Meuraxa Banda Aceh (Risk
factors of coronary heart disease in Meuraxa hospital of Banda Aceh). Aceh :
Jurnal AcTion: Aceh Nutrition Journal

Jaarsma, T., Stromberg, A., Martensson, J., & Dracup, K.(2003).Development and
testing of the European Journal Heart Failure Self care behaviour scale.
European Journal Heart Failure, 5, 363-370

Kim M, Seo J, Hwang JY, Park KS.(2017). Reliability and validity of the Korean
version of the coronary revascularization outcome questionnaire. Health Qual
Life Outcomes. 15:37.
King,S.B 3rd; Smith, S.C Jr; Hirshfeld, J.W Jr; Jacobs, AK; Morrison,D.A;
Williams, D.O; et al.(2008). Focused Update for the ACC/AHA/SCAI 2005
Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines Writing Group to Review New Evidence and Update the
ACC/ AHA/SCAI 2005 Guideline Update for Percutaneous Coronary
Intervention, Writing on Behalf of the 2005 Writing Committee. Circulation,
117:261-95.
Kern, MJ.(2011). Cardiac Catheterization Handbook (Edn 5). Philadelphia:
ELSEVIER
Kern MJ, Michael Lim Paul Sorajja (2017). The Basics of Percutaneous Coronary
Interventions. In: The Interventional Cardiac Catheterization Handbook.
Philadelphia : Elsevier
121

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Penyakit Jantung Penyebab


Kematian Tertinggi, Kemenkes Ingatkan CERDIK. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view /17073100005/penyakit-
jantungpenyebab-kematian-tertinggikemenkes-ingatkan-cerdik-.html, diakses
tanggal 22 Januari 2020

Kementrian Kesehatan RI (2018). Hasil utama RISKESDAS 2018. Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf, diakses tanggal 17 Januari 2020

Kementrian Kesehatan RI (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian


dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.
https://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf, diakses tanggal 18 Januari 2020

Kementrian Kesehatan RI.(2019). Buku pedoman manajemen penyakit tidak


menular. Jakarta: Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular

Kravitz, R., Hays, R. D., Sherbourne, C. D., DiMatteo, M. R., Rogers, W. H.,
Ordway, L., & Greenfield, S. (1993). Recall of recommendations and
adherence to advice among patients with chronic medical conditions: Results
from the Medical Outcomes Study. Archives of Internal Medicine, 153, 1869-
1878.
Kristoffrezon, M.L., Lo fmark, R & Carlson, M. (2005). Coping, social support and
quality of life over time after myocardial infraction. Blackwell publishing Ltd,
Journal of Advanced Nursing, 52(2), 113-124
Kusumawaty, J., Hidayat, N., & Ginanjar, E. (2016). Hubungan Jenis Kelamin
dengan Intensitas Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Lakbok
Kabupaten Ciamis. Mutiara Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 16(2):
46–51.

Larsen, D. P., & Lukbin, M. I. (2009). Chronic Illnnes impact and intervention
(Vol. 7). Sudbury: Jones and Bartlett publiser

Lee EH, Tahk SJ, Shin JH, Lee YW, Song R.(2007). Development and a
psychometric evaluation of cardiovascular disease-specific quality of life scale
for Koreans. JKorean Acad Nurs. 2007;37(3):313e23.

Lee, M. S., & Kong, J. (2015). Achieving Safe Femoral Arterial Access. Curr
Cardiol Rep, 17(6), 17–44. https://doi.org/10.1007/s11886-015-0596-6.
122

Lee, Y., Kim, R. B., Lee, H. J., Kim, K., Shin, M., Park, H., … Lee, K. S. (2018).
Relationships among medication adherence, lifestyle modification , and
health-related quality of life in patients with acute myocardial infarction : a
cross-sectional study. Health and Quality of Life Outcomes 16(100), 1–8.

leMone, Priscilla, Burke, Karen M, & Bauldoff, Gerene.(2012). Buku Ajar


Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta; EGC

Mahmud.(2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia


Majid, A.(2007) penyakit jantung koroner: patofisiologi, pencegahan, dan
pengobatanTerkini(Online).https://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/1234567
89/705/1/08E00124.Pdf, (diperoleh 3 Februari 2020)

Marleni, L., & Alhabib, A. (2017). Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner di RSI
SITI Khadijah Palembang, Jurnal Kesehatan 3(478-483).

Marquis P, Fayol C, Joire JE, et al. (1995) Psychometric properties of a specific


quality of lifequestionnaire in angina pectoris patients. Qual Life Res ;4:540–6

Morrys, Jonna M, Jerzy Bellwon, Stefan Hofer, Andrzej Ryn Krewicz, Maran
Grochala.(2016). Quality of Life in Patient with Coronary Heart Disease After
Myocardial Infarction and With Ischemic Heart Failure. PubMed Centre.
Vol.10

Mozaffarian, D., Benjamin, E. J., Go, A. S., Arnett, D. K., Blaha, M. J., Cushman,
M., ... Turner, M. B. (2016). Heart disease and stroke statistics-2016 update:
A report from the American Heart Association. Circulation, 133, e38–e360.
doi: 10.1161/cir.0000000000000350

Moser, D.K., Yamokoski, L., Sun, J.L., Conway, G.A., Hartman, K.A., & Graziano,
J.A., et al. (2009) Improvement in health-related quality of life after
hozpitalization predicts even-free survival in patients with advanced heart
failure. Journal of Cardiac Nursing, 15 (9), 763-769.

Muhidin S.A., & Abdurrahman M., (2007).Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur
dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.

Muhlisin, A. dan irdawati. (2010). Teori Self Care dari orem dan pendekatan dalam
praktek keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan, 2(2), 97–100.

Nazir, K. A. (2006). Penilaian Kualitas Hidup Pasien Pasca Bedah Pintas Koroner
yang Menjalani Rehabilitas Fase III dengan Menggunakan SF-36. Jakarta: UI.

Nguyen, H. Van, Khuong, L. Q., Nguyen, A. T., Nguyen, A. L. T., Nguyen, C. T.,
Nguyen, H. T. T., … Dao, A. T. M. (2020). Changes in , and predictors of ,
123

quality of life among patients with unstable angina after percutaneous


coronary intervention. J Eval Clin Pract, 1(8), 1–8.
https://doi.org/10.1111/jep.13416

Nugroho I.S.(2010) Hubungan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan


Kesadaran Hukum Siswa X SMA Negeri Kartasura Tahun Ajaran 2008/2009,
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret,
Surakarta : tidak dipublikasikan

Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension. J MAJORITY, 4(5), 10–19

Nuraeni, A., Mirwanti, R., Anna, A., Prawesti, A., & Emaliyawati, E. (2016).
Faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup Pasien dengan Penyakit Jantung
Koroner Factors Influenced the Quality of Life among Patients Diagnosed
with Coronary Heart Disease. Jurnal keperawatan padjajaran 4, 107–116.

Piva CD, Vaz E, Moraes MA, Goldmeyer S, da Costa Linch GF, de Souza EN.
(2014). Discomfort reported by patients after cardiac catheterization using the
femoral or radial approaches. Rev Bras Cardiol Invasiva;22(1):36–40.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S22141235(15)30177-0

Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia.(2016).Panduan Praktik Klinis


(PPK) dan clinical pathways (cp) penyakit jantung dan pembuluh darah edisi
pertama. Jakarta: PERKI
Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia.(2019).Panduan Tatalaksana
Angina Pektoris Stabil. Jakarta:PERKI
Pittiruti M, la Greca A, Scoppettuolo G.(2011). The electrocardiographic method
for positioning the tip of central venous catheters. J Vasc Access. 12(4):280-91
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit. Jakarta: EGC.

Putra, M., Fadil, M., & Ilhami, Y. R. (2018). Perdarahan saluran cerna setelah
dilakukan intervensi koroner perkutan: suatu keputusan terapi yang sulit.
Majalah Kedokteran Andalas, 41(3), 120–133.
https://doi.org/10.25077/mka.v41.i3.p120-133.2018

Putri HAA.(2017). Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Kualitas Hidup Pasien


Penyakit Jantung Koroner Di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dokter
Moewardi Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta: Tidak
diterbitkan

Rachmawati, S. (2013) Kualitas Hidup Orang dengan HIV/AIDS yang Mengikuti


Terapi Antiretrovial. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 1 (1), 48-62
124

Rachmawati, Y., Perwitasari, D. A., & Adnan. (2014). validasi kuesioner SF-36
versi Indonesia terhadap pasien hipertendi di puskesmas Yogyakarta.
PHARMACY, 11(01), 14–25.

Rapley, M. (2003). Quality of Life Research A Critical Introduction. London:


SAGE publication, Inc
Ren, H.Y., Ping, T., & Zhao, Q.H. (2009). Development and evaluation of coronary
artery disease self-management scale. Acta Academiae Medicinae Militaris
Tertiae, 31, 1087-90.
Riegel, B., Jaarsma, T. & Stromberg, A. (2012) A middle-range theory of self-care
of chronic illness. ANS Adv Nurs Sci, 35(3), 194-204.

Riegel, Barbara, Claudio BARBARANELLI, Kristen A. SETHARES, Marguerite


DAUS, Debra K. MOSER, Jennifer L. MILLER, Christine HAEDTKE, Jodi
L. FEINBERG, S. L. (2018). Development and Initial Testing of the Self-Care
of Chronic Illness Inventory Running Title: Self-Care of Chronic Illness
Inventory. Manuscript Acccepted, 0–2. https://doi.org/10.1111/jan.13775

Rochfika, S.Kep., Ners., M.Kep., M.Kes., Sp.KV.(2019). Percutanius coronary


intervention. (S. Carsel HR, Ed.). Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.
Rockwell, J., & Riegel, B.(2001).Predictors of self care in person with heart failure.
Heart Lung, 30(1), 18-25.

Saeidzadeh, S., Darvishpoor Kakhki, A., & Abed Saeedi, J.(2016).Factors


associated with self-care agency in patients after percutaneous coronary
intervention. Journal of Clinical Nursing, 25(21-22), 3311–3316.
doi:10.1111/jocn.13396

Safitri, Adelia Marista.(2018). Dikenal Mahal, Berapa kisaran Biaya Pasang Ring
Jantung di Indonesia?. https://hellosehat.com/hidup-sehat/asuransi/biaya-
pasang-ring-jantung/, (diakses 19 Januari 2020)

Salam, T., Watson KE, 2013, Predictor of cardiovascular risk in women. Womens
Health 2013; 9(5): 491- 498.

Seki, S., Kato, N., Ito, N., Kinugawa, K., Ono, M., Motomura, N., … Kazuma, K.
(2010). Validity and Reliability of Seattle Angina Questionnaire Japanese
Version in Patients. Asian Nursing Research, 4(2), 57–63.
https://doi.org/10.1016/S1976-1317(10)60006-0

Shibayama, K. (2012). Factors Related to the Improvement of Quality of Life at 6


Months after Discharge for Myocardial Infarction Patients Treated with
Percutaneous Coronary Intervention. J Rural Med, 7(1), 33–37.
125

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2008). Text book medical-surgical nursing Brunner-
Suddarth, 8th Ed. Philadelphia: Mosby Company.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.
Soderhamn O, Cliffordson CH (2001) the internal structure of the Appraisal of the
Self-Care Agency (ASA) Scale, Journal of Nursing Theory 10, 5-12
Song, R., & Lee, H. (2000). Effects of the inpatient cardiac rehabilitation program
on behavioral modification and quality of life in patients with coronary artery
disease. Journal of Korean Academy of Nursing, 30(2), 463-475
Song, R., June, K., Ro, Y., & Kim, C. (2001). Effects of motivation-enhancing
program on health behaviors, cardiovascular risk factors, and functional status
for institutionalized elderly women. Journal of Korean Academy of Nursing,
31(5), 858-870
Sousa, V. D., Zauszniewski, J.A., Zeller, R.A. & Neese, J. B. (2008) Factor analysis
of the appraisal of self-care agency scale inAmerican adults with diabetes
mellitus. The Diabetes Educator, 34 (1), 98– 108.

Sousa, V. D., Zauszniewski, J. A., Bergquist-Beringer, S., Musil, C. M., Neese, J.


B., & Ala’a F. Jaber. (2010). Reliability , validity and factor structure of the
Appraisal of Self-Care Agency Scale – Revised ( ASAS-R ). Journal of
Evaluation in Clinical Practice, 16, 1031–1040.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2753.2009.01242.x

Spertus JA, Winder JA, Dewhurst TA, Deyo RA, Prodzinski J, McDonell M, Fihn
SD.(1995).Development and evaluation of the Seattle Angina Questionnaire: a
new functional status measure for coronary artery disease. J Am Coll Cardiol.
;25:333–341yu

Srivastava, Shruti, Skand Shekar, Manjeet Singh Bhatia, Shridhar Dwivedi.


(2017).Quality Of Life in Patients With Coronary Artery Disease and Panic
Disorder : A Comparative Study. Oman Med. doi: 10.5001/omj.2017.04

Stiegelman, K.L., Kimble, P. L., Dunbar, S., Sowell, L.R., & Bairan, A. (2006).
Religion, Relationships and mental health in midlifewomen following acute
myocardial infarction. issues in mental health nursing, 27:141-159.

Stuart, G, W.(2013).Buku Saku Keperawatan Jiwa (P. E. Karyuni, Ed.) (5th


ed.).Jakarta: EGC
Sugiyono.(2014). Metode penelitian kuantitatif & kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
126

Sujarweni, V. Wiratna.(2015). Statistik Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit


GAVA MEDIA

Sumiati, Rustika, Tutiany, Nurhaeni, Mumpuni.n(2010). Penanganan stress pada


penyakit jantung koroner. Jakarta : Trans Info media

Susanti, D., Nurachmah, E., & Herawati, T. (2007). Faktor yang menyebabkan
kejadian In-Stent Re-stenosis pada Pasien Penyakit Jantung Koroner
Pendahuluan. Stikes Mitra Keluarga, 1–8.

Susanto, Y., Alfian, R., Rahim, Z., & Karani. (2018). Uji validitas dan reliabilitas
kuesioner eq-5d bahasa indonesia untuk mengukur kualitas hidup pasien
hemodialisa gagal ginjal kronik. JURNAL ILMIAH MANUNTUNG, 4(1), 41–
47.

Susilo, C. (2015). Identifikasi faktor usia, jenis kelamin dengan luas infark miokard
pada penyakit jantung koroner (PJK) di Ruang ICCU RSUD DR. Soebandi
Jember Cipto Susilo*. The Indonesian journal of health science, 6(1), 1–7.

Syakura, A., Nursalam, & Andri, S. (2020). Self-care Management to Prevent


Exacerbation for Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (
COPD ): A Systematic Review. International Journal of Nursing and Health
Services (IJNHS), 3(3), 391–401. https://doi.org/10.35654/ijnhs.v3i3.228.

Takematsu, Y., Hasebe, Y., Moriwaki, Y., & Kotera, N. (2014). Evaluation of
quality of life among patients with ischemic heart disease who practiced self-
care activities at home after elective percutaneous coronary intervention.
Cardiovasc Interv and Ther. https://doi.org/10.1007/s12928-014-0294-0.

Tanjani, P. T., Azadbakht, M., Garmaroudi, G., & Sahaf, R. (2016). Validity and
Reliability of Health Promoting Lifestyle Profile II in the Iranian Elderly.
International Journal of Preventive Medicine, 7(74).
https://doi.org/10.4103/2008-7802.182731.

The Indonesian Society of Interventional Cardiology.(2014).Mengenal lebih dekat


stent jantung. http://www.isic.or.id/ patient_education_and_collaboration/
2014/11/mengenal_lebih_dekat_stent_jantung_1, (diakses tanggal 3 Februari
2020)

Tontowi, A., Mada, U. G., Siswomihardjo, W., & Mada, U. G. (2013). Mapping of
Coronary Stent Demand of Several Hospitals in Indonesia and Its Forecasting.
2013 International Conference on Instrumentation, Communication,
Information Technology and Biomedical Engineering November 7th-8th,
2013, Bandung, Indonesia, (November). https://doi.org/10.1109/ICICI-
BME.2013.6698542.
127

Tontowi, A. E., Adani, R. A., Setyanintyas, I. S., & Taufiq, N. (2014). Analysis o f
User Acceptability Factors for Optimum Design of Coronary Stent.
Universitas Gadjah Mada, 1, 1–6.

Turana, Y (2013). Stimulasi Otak pada Kelompok Lansia di Komunitas. Jakarta:


Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
Ummah, D.R (2016). Gambaran Angiografi pada Penyumbatan Pembuluh Darah
Koroner Pasien Usia Muda. ARKAVI [Arsip Kardiovaskular Indonesia), 1(2),
48-56. Retrieved from https://journal.uhamka.ac.id/ index.php/ arkavi/ article/
view/2399
Uprety, kamala, Shanti Awale.(2019). Health Related Quality of Life of Patients
after Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty in a Cardiac Hospital.
Journal of Lalitpur Nursing campus 2(2), 49-60
ValentiL, LimL,HellerRF,KnappJ.(1996). An improved questionnaire for assessing
quality of life after acute myocardial infarction. Quality of Life Research,
5(1):151-161

Wahyuni, A., & Kurnia, O. S. (2014). Hubungan Self Care dan Motivasi dengan
Kualitas Hidup Pasien Gagal Jantung Self-Care , Motivation , and Quality of
Life among Patients with Heart Failure. Stikes Fort De Kock Bukittinggi, 2(2),
108–115.

Wahyuni, A., & Rezkiki, F. (2017). Pemberdayaan dan Efikasi Diri Pasien Penyakit
Jantung Koroner melalui Edukasi Kesehatan Terstruktur. Jurnal Ipteks
Terapan, 9(1).
Walker SN, Sechrist KR, Pender NJ (1987). The health‑promoting lifestyle profile:
Development and psychometric characteristics. Nurs Res 36:76‑81
Ware, J. E., & Sherbourne, D. C. (1992). The MOS 36 item short-form health
survey (SF-36). Medical Care, 30(6), 473–478.

Wulandari, D., Ginanjar, A. S., & Purwono, U. (2019). Adaptation of MacNew


Heart Disease Health-Related Quality of Life Instrument in Indonesian
Myocardial Infarction Patients. Journal of Educational, Health and
Community Psychology, 8(4), 566–580.

Wong, C.H., Wong, W.W., Wan, E.F., Wong, W.T., Chan, F.K., & Lam, C.K.
(2015). Increased number of structured diabetes education attendance was not
associated with the improvement in patient-reported health-related quality of
life: results from Patient Empowerment Programme (PEP). Health quality life
outcomes, 13, 1-8.
128

Wood-Dauphinee S.(1999). Assessing quality of life in clinical research: from


where havewe come and where are we going. J Clin Epidemiol, 52:355–63
World Heart Federation. Tobacco: totally avoidable risk factor of CVD
https://www.world-heart-federation.org/resources/tobacco-totally-avoidable-
risk-factor-cvd/ (diakses 12 Mei, 2020, 15:35)
World Health Organization . (2012).
https://www.who.int/cardiovascular_diseases/about_cvd/en/. (Diakses 25 Juni
2020)
World Health Organization. (2018).https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/the-top-10-causes-of-death. (Diakses tanggal 25 Juni 2020)

World Health Organization. (2020). https://www.who.int/health-


topics/cardiovascular-diseases/#tab=tab_1 (diakses tanggal 25 Juni 2020)

WHOQOL-BREF.(1996). Introduction, Administration, Scoring and Generic


Version Of The Assessment. Programme on Mental Health World Health
Organization CH-1211. Switzerland: World Health Organization

Xiao, L., Wang, P., Fang, Q., & Wang, P. (2018). Health-promoting Lifestyle in
Patients after Percutaneous Coronary Intervention. Korean Circulation
Journal, 48(6), 507–515.

Yanti, S. N. (2016). Simplified Clinical Electrocardiogram Score Sebagai Faktor


Prediktor Mortalitas pada Pasien Infark Miokard Akut di Intensive Cardiac
Care Unit ( ICCU ) RSUD DR . Soedarso Simplified Clinical
Electrocardiogram Score As A Mortality Predictor Among Acute Myo. Jurnal
Kedokteran Yarsi, 24(3), 166–174.

Yulianti, N Try, Cecep E.Kosasih, Etika Emaliyawati.(2012). Gambaran kualitas


hidup pasien acute coronary syndrome di poliklinik jantung Rumah Sakit Al
Islam Bandung. Jurnal keperawatan padjajaran.

Zhang, Y., Yan, F., & Jiang, W. (2020). Relationship between self-management
behaviors and health-related quality of life among Chinese patients with
coronary heart disease : A cross- sectional study. Contemporary Nurse, 0(0),
1–19. https://doi.org/10.1080/10376178.2020.1731316
LAMPIRAN
Lampiran 1
CATATAN BIMBINGAN
Nama Mahasiswa : Heri Harsono
Judul : Hubungan self care terhadap kualitas hidup pada pasien
penyakit jantung koroner setelah menjalani persutaneous
coronary intervention: systematic review
Pembimbing : Herdiman M.Kep

NO Hari/tanggal Catatan Bimbingan Paraf


pembimbing
1 Senin, 16 - Diskusi judul
Desember - Ambil hubungan
2019

2 Jumat, 10 - Fix judul


Januari 2020 - Lanjut bab 1
3 Selasa, 21 - Revisi Bab 1
Januari 2020 - Lanjut bab 2
4 Selasa, 28 - Revisi bab 1 dan bab 2
Januari 2020 - Perbanyak teori tentang self
care dan kualitas hidup
- 1 paragraf untuk 1 topik
- Hindari kata sambung diawal
kalimat
- Singkatan cukup PCI aja karena
sudah diperpanjang diawal
- Pembagian self care
- Perhatikan teknik mengutip
kalimat dari buku atau jurnal
- Di bab 2, cantumkan alat ukur
yang digunakan saja
- PCI dikaitkan dengan self care
dan kualitas hidup
5 Kamis, 6 - Pada bab 1, tujuan khusus
Februari penelitian dijabarkan lagi untuk
2020 mengetahui skor domain
variabel self care dan kualitas
hidup
- Cari teori yang menjelaskan
bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup
adalah self care
- Lanjut Bab 3
6 Kamis, 13 - Revisi bab 3
Februari - Skala ukur ubah ke nominal,
2020 ordinal, rasio atau interval
- Variabel confounding masukan
ke tujuan khusus di bab 1
- Definisi operasional diperbaiki
dengan memasukan dimensi self
care dan kualitas hidup yang
diukur
- Cari tahu tentang teori
penggolongan umur untuk
pasien PCI yang akan diteliti
- Revisi sampel yang akan diteliti
gunakan G power
- Satu kalimat di kriteria ekslusi
dihapus
- Proses ambil data diperjelas
7 Senin, 24 - ACC Bab 1 dan 3
Februari - Sedikit tambahkan teori kualitas
2020 hidup dan self care di bab 2
8 Jumat, 6 - Reseach meeting
Maret 2020 - ACC seminar proposal
9 19 April - Metode penelitian berubah ke
2020 literature review
10 9 Mei, 2020 - Abstrak untuk dibuat
- Identifikasi masalah yang
ditemukan dan kelemahannya
untuk dibahas dan dibuat saran
- Bab 3 dan bab 4 ACC
11 10 Mei, 2020 - Hasil penelitian dijabarkan
kembali
- Analsisi picot dijabarkan
- Buat implikasi penelitian yang
bisa digunakan di rumah sakit
dan dijelaskan
- Keterbatasan penelitian kurang
dalam
- Saran berdasarkan keterbatasan
12 11 Mei 2020 - ACC sidang akhir
Lampiran 2
SURAT PERNYATAAN REVISI HASIL SEMINAR PROPOSAL

Saya yang bertanda tangan di bawah ini sebagai penguji Sidang proposal

NAMA TANDA TANGAN

1. Ns. Herdiman, M.Kep .................................

2. Linlin Lindayani, Ph.D .................................

3. Diang Anggraini, M.Kep ..................................

Menyatakan bahwa proposal penelitian yang berjudul:

Hubungan self care terhadap kualitas hidup pada pasien penyakit jantung
koroner stelah menjalani percutaneous coronary intervention: Systematic
review

Telah direvisi oleh mahasiswa dan sudah dinyatakan sesuai dan boleh dilanjutkan
ke tahap selanjutnya.
Lampiran 3
SURAT PERNYATAAN REVISI HASIL SIDANG SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini sebagai penguji Sidang proposal

NAMA TANDA TANGAN

1. Ns. Herdiman, M.Kep .................................

2. Linlin Lindayani, Ph.D .................................

3. Diang Anggraini, M.Kep ..................................

Menyatakan bahwa proposal penelitian yang berjudul:

Hubungan self care terhadap kualitas hidup pada pasien penyakit jantung
koroner stelah menjalani percutaneous coronary intervention: Systematic
review

Telah direvisi oleh mahasiswa dan sudah dinyatakan sesuai dan boleh dilanjutkan
ke tahap selanjutnya.
Lampiran 4
JBI Critical Appraisal Checklist for Analytical Cross Sectional Studies
Reviewer: Heri Harsono Date : 2 May 2020

Author : Sukhee Ahn Year : 2016

Yes No Unclear Not applicable


1 Were the criteria for inclusion in 
the sample clearly defined?

2 Were the study subjects and the 


setting described in detail?

3 Was the exposure measured in a 


valid and reliable way?

4 objective, standard criteria used 


for measurement of the condition?

5 Were confounding factors 


identified
6 Were strategies to deal with 
confounding factors stated?
7 Were the outcomes measured in a 
valid and reliable way?
8 Was appropriate statistical 
analysis used?
Overall appraisal:  Include exclude Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)


the article has a value of 87.5% with among them having 7 yes answers and 1 unclear answer because the
journal didn’t explain the exclusion criteria in detail.
Reviewer: Heri Harsono Date : 3 may 2020

Author : Yanan Zhang Year : 2020

Yes No Unclear Not applicable


1 Were the criteria for inclusion in 
the sample clearly defined?

2 Were the study subjects and the 


setting described in detail?

3 Was the exposure measured in a 


valid and reliable way?

4 objective, standard criteria used 


for measurement of the condition?

5 Were confounding factors 


identified
6 Were strategies to deal with 
confounding factors stated?
7 Were the outcomes measured in a 
valid and reliable way?
8 Was appropriate statistical 
analysis used?
Overall appraisal:  Include exclude Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)


the article has a value of 87.5% with among them having 7 yes answers and 1 unclear answer because in this
journal the multivariate regression analysis is not explained
Reviewer: Heri Harsono Date : 3 may 2020

Author : Victoria vaughan dickson et al Year : 2012

Yes No Unclear Not applicable


1 Were the criteria for inclusion in 
the sample clearly defined?

2 Were the study subjects and the 


setting described in detail?

3 Was the exposure measured in a 


valid and reliable way?

4 objective, standard criteria used 


for measurement of the condition?

5 Were confounding factors 


identified
6 Were strategies to deal with 
confounding factors stated?
7 Were the outcomes measured in a 
valid and reliable way?
8 Was appropriate statistical 
analysis used?
Overall appraisal:  Include exclude Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)


this journal is already worth 100%, and is in accordance with JBI's evaluation
Reviewer: Heri Harsono Date : 3 may 2020

Author : yu mi lee et al Year : 2018

Yes No Unclear Not applicable


1 Were the criteria for inclusion in 
the sample clearly defined?

2 Were the study subjects and the 


setting described in detail?

3 Was the exposure measured in a 


valid and reliable way?

4 objective, standard criteria used 


for measurement of the condition?

5 Were confounding factors 


identified
6 Were strategies to deal with 
confounding factors stated?
7 Were the outcomes measured in a 
valid and reliable way?
8 Was appropriate statistical 
analysis used?
Overall appraisal:  Include exclude Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)


this journal is already worth 100%, and is in accordance with JBI's evaluation
Reviewer: Heri Harsono Date : 3 may 2020

Author : Kenzo Shibayama Year : 2012

Yes No Unclear Not applicable


1 Were the criteria for inclusion in 
the sample clearly defined?

2 Were the study subjects and the 


setting described in detail?

3 Was the exposure measured in a 


valid and reliable way?

4 objective, standard criteria used 


for measurement of the condition?

5 Were confounding factors 


identified
6 Were strategies to deal with 
confounding factors stated?
7 Were the outcomes measured in a 
valid and reliable way?
8 Was appropriate statistical 
analysis used?
Overall appraisal:  Include exclude Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)


the score in this journal is 62.5% with the number of yes answers as many as 5 answers and unclear as many as
3 answers. This journal does not explain the measurement tools used for self-care, scoring and the results are
not explained in detail
Lampiran 5

GAMBAR HASIL PENCARIAN


Lampiran 6
RIWAYAT HIDUP

Biodata
Nama : Heri Harsono
Tempat/ tanggal lahir : Subang, 22 Juni 1998
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Email : Heriharsono98@gmail.com
Telepon : 082216811579
Alamat : Dusun tegaltike, RT 13/ Rw 04, Desa
Sukamaju, Kecamatan Sukasari, Kabupaten
Subang
Hobi : Menulis dan Berorganisasi

Pendidikan
Tahun Pendidikan keterangan
2004 - 2010 SDN Anggasari Lulus
2010 - 2013 SMPN 1 Pamanukan Lulus
2013 - 2016 SMAN 1 Pamanukan Lulus
2016 - 2020 STIKep PPNI Jawa Barat Lulus

Anda mungkin juga menyukai