Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

LOW AND HIGH INVOLVEMENT

Makalah dibuat guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah “Perilaku Konsumen”

Dosen: Dr. Yudhi Koesworodjati, SE, MPA

Disusun oleh:

Jauhar Rahman El Abdillah 194010006

Evita 194010009

M. Sigit Nugraha 194010016

Novaria 194010051

Munazat Gynastiar 194010053

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PASUNDAN

2021
A. Latar Belakang

Produk adalah elemen kunci dalam penawaran pemasaran, karena produk sebagai
segala sesuatu yang dapat ditawarkan pasar untuk memuaskan keinginan dan
kebutuhan pelanggan serta merupakan unsur utama pertama dan terpenting dalam
bauran pemasaran (Kotler, 2003:69). Perencanaan bauran pemasaran dimulai
dengan memformulasikan suatu penawaran produk untuk memenuhi keinginan atau
kebutuhan pelanggan sasaran. Assael (2001) mengemukakan produk terbagi
kedalam dua kategori yaitu high-involvement product dan low-involvement product.

B. Pengertian Low and High Involvement

Assael (2001:141) menjelaskan bahwa high-involvement product merupakan produk


yang mana konsumen mempertimbangkan dan mengidentifikasi pentingnya suatu
produk. Sedangkan low-involvement product merupakan produk yang mana
konsumen tidak mempertimbangkan dan tidak mengidentifikasi pentingnya suatu
produk. Universitas Kristen Maranatha 3 Berdasarkan pengertian tersebut maka
dapat diartikan bahwa highinvolvement product merupakan produk yang mana
konsumen membutuhkan informasi mengenai produk yang akan dibeli dan perlu
mengidentifikasi produk tersebut. Sedangkan low-involvement product merupakan
produk yang mana konsumen tidak membutuhkan informasi produk yang akan
dibelinya.

C. Fungsi dan Tujuan Low and High Involvement

1. Fungsi

Fungsi dari Low and High Involvement yaitu untuk mengetahui ketertarikan
konsumen terhadap produk yang dijual belikan oleh perusahaan. Perusahaan
berusaha agar konsumennya mempunyai keterlibatan terhadap pembelian produk
yang ditawarkan.

2. Tujuan

Tujuan dari Low and High Involvement adalah untuk memberikan informasi serta
untuk mengetahui dan memahami pelanggan dengan baik sehingga produk atau
jasa itu sesuai dengan pelanggan dan selanjutnya mampu menjual dirinya sendiri.
Dengan kata lain, pekerjaan pemasaran bukan untuk menemukan pelanggan yang
tepat bagi produk yang dihasilkan, melainkan menemukan produk yang tepat bagi
pelanggan.

D. faktor-faktor dari Low and High Involvement

Faktor-faktor dari Low and High Involvement

Faktor-faktor Low and High Involvement terbagi menjadi 4 yaitu:

1. Pentingnya ekspresi diri (self-expressive)

Produk-produk yang membantu orang untuk mengekspresikan konsep diri mereka


kepada orang lain. (Dengan bahasa yang mudah) adalah penting untuk
mengekspresikan diri. Orang-orang akan terlihat sangat terlibat ketika membeli
aksesoris, pakaian, mobil, rumah, atau perlengkapan bekerja, semata-mata karena
ia menganggap benda-benda itu merupakan identitas untuk menunjukkan “siapa
saya”.

2. Pentingnya hedonisme (hedonic importance)

Produk-produk yang dapat menyenangkan, menarik, menggembirakan,


mempesona. Penting secara hedonis. Benda-benda tertentu dianggap bisa
memberikan kesenangan. Seseorang menghabiskan waktu berjam-jam memilih ikan
hias, musik, travel dan sebagainya, semata-mata ia memperoleh kenikmatan dalam
memproses informasi itu.

3. Relevansi praktis (practical relevance)

Produk-produk yang mendasar atau bermanfaat. Atau penting karena dibutuhkan.


Barang-barang seperti mesin cuci, AC dan sebagainya karena barang itu sangat
esensial bagi kehidupannya.

4. Resiko pembelian (purchase risk)

Produk-produk yang menciptakan ketidakpastian karena pilihan yang buruk akan


menjadi sangat mengganggu pembeli. Penting karena adanya resiko pembelian.
Semakin mahal dan semakin tak bisa dikembalikan (setelah dibayar), maka orang
akan semakin terlibat.

E. Pendapat Para Ahli


Assael (2001:141) menjelaskan bahwa high-involvement product merupakan produk
yang mana konsumen mempertimbangkan dan mengidentifikasi pentingnya suatu
produk. Sedangkan low-involvement product merupakan produk yang mana
konsumen tidak mempertimbangkan dan tidak mengidentifikasi pentingnya suatu
produk.

F. Tahapan Low and High Involvement

Proses dan tahapan low and high involment

 High Involvement

konsumen memproses informasi dengan lebih mendalam. Kenaikan pemprosesan


informasi ini umumnya juga akan meningkatkan tingkat rangsangan. Konsumen
akan berfikir lebih keras tentang keputusan yang dilakukan pada situasi keterlibatan
tinggi.

Para konsumen cenderung lebih banyak memberikan pertimbangan pada informasi


yang mereka terima bersamaan dengan peningkatan keterlibatan pembelian, maka
para pengiklan harus mengembangkan pesan-pesan iklan yang kompleks (rinci dan
informative).

 Low Involvement

Perilaku keterlibatan rendah (low involvement) terjadi ketika konsumen dalam


pembeliannya tidak begitu terlibat. Dengan perkataan lain, konsumen tidak terlalu
memikirkan merek produk apa yang harus dibeli, di mana di beli, yang penting
kebutuhannya terpenuhi. Konsumen yang tidak terlalu terlibat dalam pembelian
suatu merek produk, akan mudah mengubah perilaku pembeliannya terhadap merek
lain. Kalaupun terjadi pembelian ulang terhadap satu merek tertentu, hal ini belum
dapat dikatakan konsumen terlibat (high involvement) dalam pembeliannya, tetapi
mungkin hanya kebiasaan saja.

G. Hierarki Low and High Involment

Berikut ini adalah perbandingan Hierarki Low Involvement dengan High Involvement

n Hierarki Low Involvement Hierarki High Involvement


o
1. merek pertama kali dibentuk oleh kepercayaan terhadap merek
pembelajaran pasif pertama kali dibentuk oleh
pembelajaran aktif
2. Setelah itu keputusan pembelian dibuat Merek dievaluasi
3. Setelah pembelian, merek mungkin Keputusan pembelian dibuat
dievaluasi atau mungkin juga tidak.

Dari tabel di atas dapat dilihat perbedaan hierarki LI dan HI. Pada Low involvement,
konsumen membentuk kepercayaan terhadap merek bukan karena mencari merek
produk itu, tetapi merek produk mendatangi konsumen melalui iklan. Sementara itu
pada high involvement, konsumen terlebih dahulu mencari berbagai informasi
mengenai merek-merek produk yang diinginkan. Perbedaan yang paling mendasar
adalah pada low involvement, konsumen tidak melakukan evaluasi terhadap merek
produk yang akan dibeli, sedangkan pada high involvement merek-merek yang
tersedia di evaluasi terlebih dahulu, baru keputusan pembelian dibuat.

 Teori Pembelajaran Pasif (Krugman)

Teori Krugman membicarakan mengenai media televisi sebagai sarana


pembelajaran pasif. Artinya, seluruh informasi yang ditayangkan di televisi
merupakan informasi yang datang menghampiri penonton/konsumen, dan bukan
penonton yang mencari-cari iklan di televisi. Oleh karena itu, ketika konsumen
melihat iklan di televisi, dia berada dalam kondisi pasif.

Beberapa implikasi dari teori pembelajaran pasif dapat diidentifikasi ;

Pertama, implikasi pada media sebagai sarana pemasang iklan. Produk-produk


yang biasa dibeli dengan tingkat keterlibatan rendah sebaiknya memasang iklan
pada media televisi dan radio. Majalah dan surat kabar kurang cocok untuk iklan
produk yang dikategorikan low involvement, tetapi lebih cocok untuk iklan produk-
produk yang dibeli dengan keterlibatan tinggi.

Kedua, implikasi pada sifat iklan yang harus ditampilkan. Karena konsumen dalam
keadaan pasif dan tidak mempunyai kepentingan terhadap merek produk yang
diiklankan, evaluasi merek tidak mungkin dilakukan, maka iklan sebaiknya tidak
bersifat informasional. Iklan bisa berupa symbol, atau penimbulan kesan untuk
menyampaikan pesan kepada konsumen.

 Iklan Dari Perspektif Low Involvement, sebagai berikut :


a) Iklan-iklan yang dibuat seharusnya berdurasi pendek, tetapi ditayangkan
dalam frekwensi yang tinggi.
b) Pesan iklan seharusnya menekankan pada aspek peripheral ketimbang pada
isi pesan. Konsumen yang low involvement akan lebih tertarik pada sisi
pelengkap dari iklan, ketimbang pada isi pesan yang berhubungan dengan
manfaat. Lain halnya dengan produk yang dibeli dengan keterlibatan tinggi,
iklan seharusnya menampilkan isi pesan yang berkaitan dengan manfaat
produk.
c) Media yang digunakan sebaiknya televisi dan radio. Majalah dan surat kabar
lebih cocok untuk produk yang dibeli dengan keterlibatan tinggi.
d) Iklan sebaiknya digunakan untuk membedakan produk dari pesaing.

 Mengubah dari Low Involvement Kepada High Involvement

Pemasar berusaha agar konsumennya mempunyai keterlibatan yang tinggi terhadap


pembelian produk yang ditawarkannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
konsumen yang lebih terlibat berarti mempunyai komitmen. Oleh karena itu,
pemasar selalu mengarahkan konsumennya pada keterlibatan tinggi. Beberapa hal
yang bisa dilakukan untuk mengubah tingkat keterlibatan dari rendah menjadi tinggi:

a) Hubungkan produk dengan isu-isu yang bisa membuat konsumen terlibat.


Misalnya iklan Sabun mandi menampilkan isu kesehatan kulit dengan
kemampuan membasmi kuman.
b) Hubungkan produk dengan situasi Pribadi yang membuat konsumen terlibat.
Misalnya iklan kopi menampilkan suasana pagi hari yang sejuk.

H. Model-model dari Perilaku Konsumen

Pengertian Model-model Perilaku Konsumen David L, Loudon dan Albert J. Della


Bitta (1984: 29) mengemukakan tentang model perilaku konsumen yaitu suatu
model dapat didefenisikan sebagai suatu wakil realitas yang disederhanakan.
Gerald Zaltman dan Melanie Wallendrof mengatakan bahwa model perilaku
konsumen adalah suatu model adalah sesuatu yang mewakili sesuatu dalam hal ini
adalah suatu proses.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, model perilaku konsumen dapat


didefinisikan sebagai suatu skema atau kerangka kerja yang disederhanakan untuk
menggambarkan aktivitas-aktivitas konsumen.

Model perilaku konsumen dapat pula diartikan sebagai kerangka kerja atau sesuatu
yang mewakili apa yang diyakinkan konsumen dalam mengambil keputusan
membeli.

2. Tujuan dan Fungsi Model Perilaku Konsumen

Ada dua tujuan utama dari suatu model, yaitu pertama sangat bermanfaat untuk
mengembangkan teori dalam penelitian perilaku konsumen. Kedua untuk
mempermudah dalam mempelajari apa yang telah diketahui mengenai perilaku
konsumen. Sedangkan fungsi model perilaku konsumen adalah sebagai berikut:

a. Deskriptif, yaitu fungsi yang berhubungan dengan pendalaman mengenai


langkahlangkah yang diambil konsumen dalam memusatkan suatu penelitian
membeli.

b. Prediksi, yaitu meramalkan kejadian-kejadian dari aktivitas konsumen pada waktu


yang akan datang. Misalnya meramalkan merek produk yang paling mudah diingat
oleh konsumen.

c. Explanation, yaitu mempelajari sebab-sebab dari beberapa aktivitas pembelian,


seperti mempelajari mengapa konsumen sering membeli barang dagangan dengan
merek yang sama. Apakah itu merupakan kebiasaan ataukah karena mereka
menyukai barang tersebut ?

d. Pengendalian, yaitu mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas-aktivitas


konsumen pada masa yang akan datang.

3. Kriteria Untuk Evaluasi Model Perilaku Konsumen

Gerald Zaltman dan Melanie Wallendorf (1979:518-519) mengemukakan sepuluh


kriteria untuk mengevaluasi model perilaku konsumen, yaitu:
a) Mampu menerangkan maupun meramalkan.
b) Umum, menyeluruh, atau keluasan.
c) Mempunyai kekuatan yang besar untuk menyelidiki.
d) Mempunyai kekuatan yang besar untuk mempersatukan.
e) Ketetapan secara internal.
f) Keaslian.
g) Dapat dipercaya, mempunyai kesahihan.
h) Sederhana.
i) Didukung oleh fakta-fakta.
j) Dapat diuji, dapat diperiksa benar tidaknya

4. Macam-macam Model Perilaku Konsumen

a. Model Henry Assael, yang memfokuskan pada perilaku pembuatan keputusan


pembelian konsumen berdasarkan pengaruh-pengaruh individu, lingkungan dan
stimuli pemasaran.Dalam penelitian ini, akan coba digali tentang model perilaku
konsumen Henry Assael, yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yang
didasarkan pada aspek-aspek individu konsumen, aspek lingkungan dan stimulus
pemasaran, terhadap laptop yang dibeli oleh konsumen.

b. Model Kotler (Terjemahan, 2001:195), perilaku membeli konsumen atau


consumer buyying behaviour merujuk pada perilaku membeli yang dilakukan oleh
konsumen akhir atau individu dan rumah tangga yang membeli barang dan jasa
untuk konsumsi secara pribadi.Kotler (Terjemahan, 2001: 219) menyatakan bahwa
terdapat beberapa tipe perilaku membeli berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli
dan tingkat perbedaan merek, yaitu :

1) Perilaku Membeli yang Kompleks

Merupakan model perilaku pembelian yang mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:


terdapat keterlibatan mendalam oleh konsumen dalam memilih produk yang akan
dibeli dan adanya perbedaan pandangan yang signifikan terhadap merek yang satu
dengan merek yang lain konsumen menerapkan perilaku “membeli yang kompleks”
ketika mereka benar-benar terlibat dalam pembelian dan mempunyai pandangan
yang berbeda antara merek yang satu dengan yang lain. Keterlibatan konsumen
mencerminkan bahwa produk yang akan dibelinya merupakan produk yang mahal,
beresiko, jarang dibeli, dan sangat menonjolkan ekspresi diri konsumen yang
bersangkutan. Dalam hal ini, konsumen harus banyak belajar mengenai kategori
produk tersebut. Misalnya: sesorang konsumen yang akan membeli sebuah
handphone, dalam hal ini mereka akan menyediakan waktu untuk mempelajari hal-
hal yang terkait dengan produk yang akan dibelinya, membandingkan spesifikasi
dan kelebihan-kelebihan antara merek yang satu dengan yang lain.

2) Perilaku Membeli yang Mengurangi Ketidakcocokan

Merupakan model perilaku pembelian dalam situasi bercirikan keterlibatan


konsumen yang tinggi tetapi sedikit perbedaan yang dirasakan diantara merek-
merek yang ada. Perilaku membeli yang mengurangi ketidakcocokan terjadi ketika
konsumen sangat terlibat dengan pembelian yang mahal, jarang, atau beresiko,
tetapi hanya melihat sedikit perbedaan diantara merek-merek yang ada. Contohnya,
pembeli yang akan membeli karpet mungkin menghadapi keputusan dengan
katerlibatan tinggi karena harga karpet mahal dan karpet mencerminkan ekspresi diri
seorang konsumen. Namun pembeli mungkin mempertimbangkan hampir semua
merek karpet yang berada pada rentang harga tertentu sama saja. Dalam kasus ini,
karena perbedaan merek dianggap tidak besar, pembeli mungkin berkeliling
melihatlihat karpet yang tersedia, tetapi akan dengan cepat membeli. Mereka
mungkin terutama merespon harga yang baik atau kenyamanan berbelanja. Setelah
pembelian, konsumen mungkin mengalami ketidakcocokan pasca pembelian atau
merasa tidak nyaman setelah membeli, ketika mereka menemukan
kelemahankelemahan tertentu dari merek karpet yang mereka beli atau pun kerena
mendengar hal-hal bagus mengenai merek karpet yang tidak dibeli. Untuk melawan
ketidakcocokan ini, komunikasi purna jual orang pemasaran harus memberikan
buktibukti dan dukungan yang dapat membantu kosumen menyenangi pilihan merek
mereka.

3) Perilaku Membeli karena Kebiasaan

Merupakan model perilaku pembelian dalam situasi yang bercirikan keterlibatan


konsumen yang rendah dan sedikit perbedaan yang dirasakan diantara merek-
merek yang ada. Perilaku membeli karena kebiasaan terjadi dalam kondisi
keterlibatan konsumen yang rendah dan kecilnya perbedaan antara merek.
Contohnya, dalam pembelian bumbu dapur garam. Konsumen akan sedikit sekali
terlibat dalam kategori produk tersebut pada saat melakukan keputusan pembelian,
pada umumnya mereka mengambil begitu saja tanpa memperhatikan merek apa
yang diambil. Jika pada kenyataannya mereka masih mengkonsumsi barang yang
sama, hal ini lebih merupakan kebiasaan dari pada loyalitas konsumen terhadap
suatu merek tertentu.

4) Perilaku Membeli yang Mencari Variasi

Merupakan model perilaku pembelian dalam situasi yang bercirikan rendahnya


keterlibatan konsumen tetapi perbedaan diantara merek dianggap besar. Pelanggan
menerapkan perilaku membeli yang mencari variasi dalam situasi yang bercirikan
rendahnya keterlibatan konsumen namun perbedaan merek dianggap cukup berarti.
Dalam kasus semacam ini konsumen seringkali mengganti merek. Contohnya,
ketika seorang konsumen akan membeli sepotong roti. Seorang konsumen mungkin
mempunyai beberapa keyakinan memilih merek roti tanpa banyak evaluasi, lalu
mengevaluasi merek roti tersebut setelah mengkonsumsinya. Tetapi untuk waktu
pembelian berikutnya konsumen mungkin akan mengambil merek lain, dengan
beberapa alasan: agar tidak bosan, atau sekedar ingin mencoba sesuatu yang
berbeda. Dalam hal ini pengantian merek terjadi untuk tujuan mendapatkan variasi
bukan untuk mendapatkan kepuasan.

c. Model Howard-Sheth Model ini berisi empat elemen pokok, yaitu:

1) Input (ransangan/stimuli)

Merupakan dorongan (stimuli) yg ada dalam lingkungan konsumen terdiri dari


dorongan komersial dari pemasar dan dorongan sosial. Dorongan komersial adalah
dororngan signifikaatif yang berupa merek dan stimuli simbolik yang berhubungan
dengan kegiatan periklanan perusahaan. Dorongan sosial adalah komunikasi dari
mulut kemulut yang terjadi dalam keluarga, kelas sosial, dan kelompok referensi,
yang merupakan input yang sangat efektif untuk sebuah keputusan pembelian

2) Susunan hipotesis (hypothetical construk)

Susuanan hipotesis adalah proses intern konsumen yg menggambarkan proses


hubungan antara input dan output pembelian. Susunan hipotesis ini berdasarkan
sejumlah teori belajar dan teori kesadaran. Susuan hipotesis terdiri dari dua bagaian:
a) Susunan pengamatan (perceptual contruct) terdiri dari perhatian yg
dipengaruhi oleh ketidakpastian yang mendorong (stimulus ambiquity) dan
sikap.
b) Susunan balajar (learning construct) yg terdiri dari motif, pemahaman, merek,
kriteria pemilihan, maksud atau tujuan untuk membeli keyakinan dan
kepuasan.

3) Output (respon variables)

Model Howard-Sheth menghasilkan output yang berupa keputusan untuk membeli.


Tujuannya adalah kecenderungan konsumen untuk membeli merek yang paling
disukai. Sikap merupakan penilai konsumen tentang kemampuan merek
memuaskan kebutuhan. Pemahaman merek adalah sejumlah informasi yang dimiliki
konsumen tertentu suatu produk tertentu. Perhatian adalah tanggapan terhadap
informasi yg masuk. Apa yang dikemukanakan oleh Howard-Sheth hampir serupa
dengan dengan model AIDA (attention, interest, desire, dan action) dalam layanan.

4) Variable-variabel exsogen (exogenous variables)

Variabel-variabel eksogen turut mempengaruhi perilaku konsumen meskipun


pengaruhnya tidak begitu besar. Variabel-variabel eksodgen dalam model ini
adalah :

a) Pentingnya pembelian.
b) Sifat kepribadian status keuangan batas waktu (mendesak tidaknya).
c) Faktor sosial dan organisasi.
d) Kelas sosial.
e) Kebudayaan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen

Menurut Kotler (2005:183) sebelum menentukan keputusan pembelian, konsumen


biasanya memerhatikan beberapa faktor yaitu: faktor budaya yaitu kelas sosial,
faktor sosial seperti kelompok, keluarga, peran dan status, faktor pribadi yaitu situasi
ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri, usia dan tahap siklus hidup
seseorang, pekerjaan, serta faktor psikologi yang meliputi motivasi, persepsi,
pembelajaran, keyakinan dan sikap.
I. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan serta
objek-objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai
atau sistem kepercayaan tertentu (Piliang dalam Yuliana, 2009). Menurut Yohanes
(2006) gaya hidup memengaruhi perilaku seseorang yang pada akhirnya
menentukan pola konsumsi seseorang. Gaya hidup lebih menggambarkan perilaku
seseorang, yaitu bagaimana hidup, menggunakan uangnya dan memanfaatkan
waktu yang dimilikinya (Sumarwan, 2002:56)

Merek

Menurut Peter (2007:85) dalam Yudhiarina (2009) menyatakan “The brands name
perhaps the single most important element on the package, serving as a unique
identifier. Specially, a brand is a name, term, design, symbol or any other feature
that identifies one seller’s goods or service as distinct from those of other seller’s”.

Merek adalah suatu tanda atau symbol yang memberikan identitas suatu
barang/jasa tertentu yang dapat berupa kata-kata, gambar atau kombinasi keduanya
(Alma, 2005:147).

Tujuan Merek

Merek sendiri digunakan untuk beberapa tujuan (Tjiptono, 1997 dalam Yuga, 2011),
yaitu:

(1) sebagai identitas, yang bermanfaat dalam diferensiasi atau membedakan produk
suatu perusahaan dengan produk pesaingnya. Ini akan memudahkan konsumen
untuk mengenalinya saat berbelanja dan saat melakukan pembelian ulang.

(2) alat promosi, yaitu sebagai daya tarik produk

(3) untuk membina citra, yaitu dengan memberikan keyakinan, jaminan kualitas,
serta prestise tertentu kepada konsumen

(4) Untuk mengendalikan pasar, pengaruh Gaya Hidup, dan Merek terhadap
Perilaku Pembelian Konsumen. Hawkins et al. (1995) dalam Fatmanovita (2006)
menyebutkan bahwa gaya hidup seseorang berpengaruh pada kebutuhan,
perilakunya dan perilaku pembeliannya. Selanjutnya Assael (1992) dalam
Fatmanovita (2006) menyatakan gaya hidup berpengaruh pada pembelian,
perubahan kebiasaan, citarasa, perilaku pembelian konsumen.

Disamping itu penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2009) menyatakan bahwa
variabel gaya hidup memiliki hubungan yang positif dan memiliki pengaruh yang
cukup kuat terhadap variabel keputusan pembelian. Faktor lain yang dapat memberi
pengaruh terhadap perilaku pembelian konsumen adalah merek produk. Menurut
pendapat Simamora (2002:51) mengemukakan bahwa “merek yang kuat menarik
konsumen untuk hanya menggunakan faktor merek dalam pengambilan keputusan
pembelian”. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh ahli ekonomi lainnya yaitu
Kotler (2000:165) yang mengatakan “keputusan pembelian pada dasarnya
merupakan keputusan untuk membeli merek yang paling disukai oleh konsumen
berdasarkan pertimbangan diantara merek-merek pilihan”. Karena saat ini
konsumen tidak lagi membeli produk atau jasa, melainkan membeli merek.
Penelitian ini diperkuat oleh Krishnan (2011), yang meneliti tentang “Lifestyle A Tool
for Understanding Buyer Behavior”. Penelitian ini menekankan pentingnya gaya
hidup dan pengaruhnya pada perilaku pembelian konsumen serta menegaskan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara gaya hidup dari konsumen dan merek
produk yang digunakan.

J. Penerapan Low and High Involvement

Penerapan

Dalam komunikasi pemasaran dikenal istilah central route dan peripheral


route. Pada umumnya central route ada padaproduk high
involvement, adapunperipheral route terjadi pada produk low involvement.
Maksudnya, saat memilih produk high involvement, konsumen cenderung melihat
kebermanfaatan, fitur, keunggulan, harga, dan fasilitas dari produk tersebut. Pada
bagian lain, saat memilih produk low involvement, konsumen cenderung tertarik
cukup dari kemasan atau pemberi informasi dari produk tersebut.

K. Contoh Kasus

high involvement dan low involvement. Pada high involvement konsumen akan
memiliki motivasi yang lebih besar untuk memperhatikan, memahami dan
mengelaborasi informasi tentang pembelian. Sedangkan pada low involvement,
konsumen mempunyai motivasi yang lebih rendah. Adapun contoh produk high
involvement adalah pembelian rumah dan pembelian telepon cerdas, sedangkan
contoh produk low involvement adalah pembelian garam meja dan pembelian air
minum dalam kemasan.

Kesimpulan

Jika kita telah lebih lanjut mengenai produk yang ditawarkan dalam sebuah iklan,
kita akan temukan dua macam produk, yaitu produk yang tergolong high
involvement dan yang tergolong low involvement.

Untuk mendapatkan suatu produk yang tergolong high involvement, kita perlu
melakukan perencanaan yang matang. Biasanya produk yang tergolong high
involvement memiliki resiko yang tinggi. Sebelum kita membeli produk seperti ini kita
pasti akan berpikir lebih matang dengan meneliti dan melihat lebih detail fitur
masing-masing produk dengan membandingkan antara satu merk dengan merk
yang lain karena jika salah memilih dapat menimbulkan resiko tinggi. Untuk produk
yang tergolong high involvement, konsumen akan menjatuhkan pilihan pada sebuah
merk yang lebih didasarkan pada kelebihan dan kekurangan merk tersebut.
Konsumen tidak akan mudah terpengaruh oleh bintang iklan yang ditampilkan meski
mengingat iklannya sekalipun karena konsumen pasti akan terlebih dulu mencari
informasi yang detail mengenai produk yang bersangkutan. Contoh: computer,
handphone, mobil, televisi dan sebagainya.

Sebaliknya produk-produk yang tergolong low involvement, biasanya ditandai


dengan kapasitas resiko yang rendah karena meskipun kita salah memilih suatu
produk jenis ini maka resikopun tidak besar, baik itu resiko keuangan maupun resiko
non keuangan. Saat kita membeli produk ini, kita tidak akan pernah mengecek
dengan detail bagaimana kualitas produk tersebut, tidak seperti halnya yang kita
lakukan saat akan membeli produk yang tergolong high involvement sebab waktu
dan biaya yang kita keluarkan untuk meneliti dengan detail suatu produk tidak
sebanding dengan manfaat yang akan kita peroleh saat mengkonsumsinya.
Sehingga iklan produk, peran bintang iklan terkenal, serta konsep iklan yang
menarik sangat berperan sekali keberadaannya dalam promosi produk yang
tergolong jenis ini. Sebab konsumen yang akan membeli produk ini tidak akan begitu
loyal terhadap jenis merk tertentu (loyalitas merk yang rendah), sehingga
mengakibatkan konsumen cenderung menjatuhkan pilihan pada merk yang mudah
diingat. Untuk itu, iklan dalam produk low involvement ini merupakan suatu cara
untuk selalu mengingatkan konsumen dengan merk tertentu. Dan dengan bintang
iklan terkenal akan dengan mudah menancapkan merk bersangkutan di benak
konsumen. Sehingga pada saat konsumen tersebut akan membeli suatu produk,
ingatan yang sekilas terhadap bintang iklan dan iklannya, tentu saja akan
menjatuhkan pilihan pada merk tersebut. Contoh : shampoo, biscuit, sabun, pasta
gigi dan sebagainya.
Referensi

https://www.ilmu-ekonomi-id.com/2017/03/proses-keputusan-pembelian-konsumen-
low-involvement.html?m=1

http://wantojunior.blogspot.com/2010/12/keterlibatan-involvement.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai