Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEBUTUHAN ELIMINASI DENGAN PASIEN INKONTINENSIA URIN


PADA LANSIA

Oleh:
VIRGO MANDALA PUTRA
NIM. 2019.C.11a.1033

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2021
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep Kebutuhan Eliminasi


1.1.1 Definisi
Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : eliminasi urine
dan eliminasi fekal.
1.1.1.1 Eliminasi urine
Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan.
Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemoh, dan uretra. Proses
pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu : filtrasi , reabsorpsi dan
sekresi .
Proses filtrasi berlangsung di glomelurus. Proses ini terjadi karena permukaan
aferen lebih besar dari permukaan eferen. Proses reabsorpsi terjadi penyerapan
kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion
karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorpsi diteruskan keluar.
1.1.1.2 Eliminasi fekal
Eliminasi fekal sangat erat kaitannya dengan saluran pencernaan. Saluran
pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan
mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan proses penernaan (pengunyahan,
penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair dari mulut sampai anus.
Organ utama yang berperan dalam eliminasi fekal adla usus besar. Usus besar
memiliki beberapa fungsi utama yaitu mengabsorpsi cairan dan elektrolit, proteksi
atau perlindungan dengan mensekresikan mukus yang akan melindungi dinding usus
dari trauma oleh feses dan aktivitas bakteri, mengantarkan sisa makanan sampai ke
anus dengan berkontraksi.
Proses eliminasi fekal adalah suatu upaya pengosongan intestin. Pusat refleks
ini terdapat pada medula dan spinal cord. Refleks defekasi timbul karena adanya feses
dalam rektum.
1.1.2 Faktor-fakto yang Mempengaruhi Eliminasi
1.1.2.1 Eliminasi Urine
1. Diet dan intake
Jumlah dan tipe makanana mempengaruhi output urine, seperti protein dan
sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar.
2. Respon keinginan awal untuk berkemih
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan yang mengabaikan respon awal
untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat.
Akibatnya urine banyak tertahan dalam kandung kemih. Masyarakat ini mempunyai
kapasitas kamdung kemih yang lebih dari normal.
3. Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine.
Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi
eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
4. Stress psikologi
Meningkatnya stres seseorang dapat meningkatkan frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih dan atau
meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
5. Tingkat aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi
urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus spingter
internal dan eksternal.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola
berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya
tekanan dari fetus atau adanya
7. Kondisi patologis
Saat seseorang dalam keadaan sakit,produksi urinnya sedikit hal ini disebabkan oleh
keinginan untuk minum sedikit.
1.1.2.2 Eliminasi Fekal
1. Tingkat perkembangan
Pada bayi sistem pencernaannya belum sempurna. Sedangkan pada lansia
proses mekaniknya berkurang karena berkurangnya kemampuan fisiologis sejumlah
organ.
2. Diet
Ini bergantung pada kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, makanan berserat akan mempercepat produksi feses.
Secara fisiologis, banyaknya makanan yang masuk kedalam tubuh juga berpengaruh
terhadap keinginan defekasi.
3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras. Ini karena
jumlah absorpsi cairan dikolon meningkat.
4. Tonos Otot
Tonus otot terutama abdomen yang ditunjang dengan aktivitas yang cukup
akan membantu defekasi. Gerakan peristaltik akan memudahkan materi feses
bergerak disepanjang kolon.
5. Faktor psikologis
Perasaan cemas atau takut akan mempengaruhi peristaltik atau motilitas usus
sehingga dapat menyebabkan diare.
6. Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan katartik
dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik. Akan tetapi, jika digunakan
dalam waktu lama, kedua obat tersebut dapat menurunkan tonus usus sehingga usus
menjadi kurang responsif terhadap stimulus laksatif. Obat-obat lain yang dapat
mengganggu pola defekasi antara lain: analgesik narkotik,opiat, dan anti kolinergik.
7. Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare atau konstipasi.
8. Gaya hidup
Aktivitas harian yang biasa dilakukan, bowel training pada saat kanak-kanak,
atau kebiasaan menahan buang air besar.
9. Aktivitas fisik
Orang yang banyakn bergerak akan mempengaruhi mortilitas usus.
10. Posisi selama defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi paling sesuai untuk defekasi. Posisi tersebut
memungkinkan individu mengerahkan tekanan yang terabdomen dan mengerutkan
otot pahanya sehingga memudahkan proses defekasi.
11. Kehamilan
Konstipasi adalah masalah umum ditemui pada trimester akhir kehamilan .
seiring bertambahnya usia kehamilan , ukuran janin dapat menyebabkan obstruksi
yang akan menghambat pengeluaran feses . Akibatnya , ibu hamil sering kali
mengalami hemoroid permanen karena seringnya mengedan saat defekasi .

1.1.3 Klasifikasi
1.1.3.1 Eliminasi Urine
1. Retensi urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih .
2. Dysuria
Adanya rasa setidaksakit atau kesulitan dalam berkemih .
3. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml /
hari , tanpa adanya intake cairan .
4. Inkontinensi urine
Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk mengontrol
keluarnya urine dari kantong kemih .
5. Urinari suppresi
Adalah berhenti mendadak produksi urine.
1.1.3.2 Eliminasi Fekal
1. Konstipasi
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti oleh
pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering .
2. Impaksi
Imfaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi . Imfaksi
adalah kumpulan feses yang mengeras , mengendap di dalam rektum , yang tidak
dapat dikeluarkan.
3. Diare
Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses
yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang mempengaruhi
proses pencernaan , absorpsi , dan sekresi di dalam saluran GI .
4. Inkontinensia feses
Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan
gas dari anus .
5. Flatulen
Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh , terasa nyeri , dan kram.
6. Hemoroid
Hemoroid adalah vena – vena yang berdilatasi , membengkak dilapisan rektum.

1.1.4 Gejala Klinis


1.1.4.1 Eliminasi Urine
1. Retensi urine
 Ketidaknyamanan daerah pubis
 Distensi kandung kemih
 Ketidaksanggupan untuk berkemih
 Sering berkemih dalam kandung kemih yang sedikit ( 25 – 50 ml )
1.1.4.2 Eleminasi Fekal
1. Diare
 Nyeri atau kejang abdomen
 Kadang disertai darah atau mukus
 Kadang vomitus atau nausea
 Bila berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan dan kurus

1.1.5 Manajemen Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Eliminasi Urine


1.1.5.1 Pengkajian
Riwayat keperawatan
Tanyakan pada klien secara cermat dan menyeluruh tentang hal – hal sbb :
1. Pola perkemihan
Pertanyaan terkait pola berkemih sifatnya individual . Ini bergantung pada
individu apakah pola berkemihnya termasuk dalam kategori normal atau apakah ia
merasa ada perubahan pada pola berkemihnya .
2. Frekuensi berkemih
 5 kali / hari , tergantung kebiasaan seseorang.
 70% miksi pada siang hari, sedangkan sisanya dilakukan pada malam hari,
menjelang dan sesudah bangun tidur.
 Berkemih dilakukan saat bangun tidur dan sebelum tidur.
3. Volume berkemih
Kaji perubahan volume berkemih untuk mengetahui adanya ketidakseimbangan
cairan dengan membandingkannya dengan volume berkemih normal.
4. Asupan dan haluaran cairan
 Catat haluaran urine selama 24 jam
 Kaji kebiasaan minum klien setiap hari
 Catat asupan cairan peroral, lewat makanan, lewat cairan infus, atau NGT
jika ada.
1.1.5.2 Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urine yang berhubungan dengan kelemahan otot detrusor.
1.1.5.3 Intervensi
Intervensi Rasional
Minta klien untuk berusaha berkemih Melatih mengosongkan kandung kemih
pada waktu yang terjadwal secara secara teratur dapat mengurangi
teratur. terjainay pengeluaran air kemih dalam
bentuk tetesan.
Instruksikan klien untuk melakukan Latihan dasar panggul membantu
latihan dasar panggul di luar waktu memperkuat otot-otot panggul pada saat
berkemihnya. Minta klien melakukan saraf panggul utuh.
latihan ini setiap kali berkemih.
Minta klien menggunakan kompresi Metode Crede membantu menstimulasi
kandung kemih(metoda Crede) selama mikturisi dan mengosongkan kandung
berkemih kemih.

1.1.5.4 Evaluasi
 Kandung kemih tidak akan distensi setelah berkemih.
 Klien akan menyangkal adanya rasa penuh pada kandung kemihnya setelah
berkemih.
 Klien akan mencapai pengosongan urine total dalam 24 jam setelah kateter
diangkat.

1.1.6 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Eliminasi Fekal


1.1.6.1 Pengkajian
Riwayat Keperawatan
Tanyakan pada klien tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Pola defekasi
a. Frekuensi (berapa kali perhari/minggu?)
b. Apakah frekuensi tersebut pernah berubah?
c. Apa penyebabnya?
2. Perilaku defekasi
a. Apakah klien menggunakan laksatif?
b. Bagaimana cara klien mempertahankan pola defekasi?
3. Deskripsi feses
a. Warna?
b. Tekstur?
c. Bau?
4. Diet
a. Makanan apa yang mempengaruhi perubahan pola defekasi klien?
b. Makanan apa yang biasa klien makan?
c. Makanan apa yang klien hindari atau pantang?
d. Apakah klien makan secara teratur?
5. Cairan. Jumlah dan jenis minuman yang dikonsumsi setiap hari
6. Aktivitas
a. Kegiatan sehari-hari(misal olahraga)
b. Kegiatan spesifik yang dilakukan klien( misal penggunaan laksatif, enema
atau kebiasaan mengonsumsi sesuatu sebelum defekasi)
7. Penggunaan medikasi. Apakah klien bergantung pada obat-obatan yang dapat
mempengaruhi pola defikasinya.
8. Stress
a. Apakah klien mengalami stres yang berkepanjangan?
b. Koping apa yang klien gunakan dalam menghadapi stress?
c. Bagaimana respon klien terhadap stres? Positif atau negatif?
9. Pembedahan atau penyakit menetap
a. Apakah klien pernah mengalami tindakan bedah yang dapat mengganggu
pola defekasi?
b. Apakah klien pernah menderita penyakit yang mempengaruhi sistem
gastrointestinalnya?
1.1.6.2 Diagnosa
1. Risiko devisit volume cairan yang berhubungan dengan diare yang lama.
1.1.6.3 Invertensi
1. Berikan cairan sesuai indikasi.
1.1.6.4 Evaluasi
1. Dehidrasi berkurang.
2. Pemenuhan kebutuhan cairan terpenuhi

1.2 Konsep Penyakit Inkontenesia Urine


1.2.1 Definisi
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,
2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi
keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan
menimbulkan gangguan hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah suatu kondisi di mana terjadi kebocoran involunter
dari urine. Kondisi ini dapat menyebabkan kegelisahan dan rasa malu pada pasien.
Inkontinensia urine diperkirakan terjadi pada 30% wanita berusia 30-60 tahun.
(https://www.alomedika.com/penyakit/urologi/inkontinensia-urine diakses pada 8
maret 2021).

1.2.2 Anatomi Fisiologi


1.2.2.1 Ginjal

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium, di


depan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar transversus abdominalis,kuadratus
lumborum dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan
lemak yang tebal. Disebelah posterior dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang
meliputi kosta, sedangkan dianterior dilindungi oleh bantaan usus yang tebal. Pada
orang dewasa ginjal panjangnya 12-13 cm, lebarnya 6 cm dan beratnya antara 120-
150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. 95 % orang
dewasa memiliki jarak antara katup ginjal antara 11-15 cm. Perbedaan panjang dari
kedua ginjal lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting
karena kebanyakan penyakit ginjal dimanifestasikan dengan perubahan struktur.
Ginjal diliputi oleh suatu kapsula tribosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar
dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan
ginjal. (Syaifuddin. 2003).
a. Bagian – Bagian Ginjal
Tiga bagian ginjal, yaitu :
1) Kulit Ginjal (Korteks)
Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah ini banyak mengandung
kapiler – kapiler darah yang tersusun bergumpal – gumpal disebut glomerolus.
Tiap glomerolus dikelilingi oleh simpai bowman, dan gabungan antara
glomerolus dengan simpai bowman disebut badan malphigi. Penyaringan darah
terjadi pada badan malphigi, yaitu diantara glomerolus dan simpai bowman. Zat
– zat yang terlarut dalam darah akan masuk kedalam simpai bowman. Dari sini
maka zat – zat tersebut akan menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari
simpai bowman yang terdapat di dalam sumsum ginjal.
2) Sumsum Ginjal (Medula)
Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal.
Dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut apeks atau papila
renis, mengarah ke bagian dalam ginjal. Satu piramid dengan jaringan korteks di
dalamnya disebut lobus ginjal. Piramid antara 8 hingga 18 buah tampak bergaris
– garis karena terdiri atas berkas saluran paralel (tubuli dan duktuskoligentes).
Diantara pyramid terdapat jaringan korteks yang disebut dengan kolumna renal.
Pada bagian ini berkumpul ribuan pembuluh halus yangmerupakan lanjutan dari
simpai bowman. Di dalam pembuluh halus ini terangkut urine yang merupakan
hasil penyaringan darah dalam badan malphigi, setelah mengalami berbagai
proses.
3) Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis Renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar.
Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis bercabang dua atau
tiga disebut kaliks mayor, yang masing – masing bercabang membentuk
beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari piramid. Kaliks
minor ini menampung urine yang terus keluar dari papila. Dari Kaliks minor,
urine masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renis ke ureter, hingga di tampung dalam
kandung kemih (vesikula urinaria).
b. Fungsi Ginjal
Menurut Pearce, Evelyn C (2006) Ginjal berfungsi sebagai berikut :
1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan
dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah besar,
kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang di eksresi
berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan
tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang
optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion –ion akibat pemasukan garam yang
berlebihan/penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan eksresi
ion – ion yang penting (mis. Na, K, Cl, Ca dan fosfat).
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang
dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH
kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak
makan sayur – sayuran, urine akan bersifat basa. pH urine bervariasiantara 4 , 8 –
8,2. Ginjal menyekreksi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
4) Eksresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat – zat toksik ,
obat – obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).
5) Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon rennin yang
mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system rennin angiotensin
aldesteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting untuk
memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).
1.2.2.2 Nefron
Pada manusia setiap ginjal mengandung 1-1,5 juta nefron yang pada dasarnya
mempunyai struktur dan fungsi yang sama.
1. Bagian-bagian nefron:
a) Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang
kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian
air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya.
b) Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk mengumpulkan cairan
yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
c) Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
 Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan dari cairan
tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.
 Lengkung Henle
Lengkung henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars
descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari korteks ke medula, dan pars
ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari lengkung
henle mempunyai dinding yang sangat tipis sehingga disebut segmen tipis, sedangkan
bagian atas yang lebih tebal disebut segmen tebal. Lengkung henle berfungsi
reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan
tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi urin.
 Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
 Duktus pengumpul (duktus kolektifus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.
1.2.2.3 Ureter

Ureter adalah tabung/saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung


kemih. Ureter merupakan lanjutan pelvis renis, menuju distal & bermuara pada vesica
urinaria. Panjangnya 25 – 30 cm. Persarafan ureter oleh plexus hypogastricus inferior
T11- L2 melalui neuron² simpatis. Terdiri dari dua bagian: – pars abdominalis – pars
pelvina, Tiga tempat penyempitan pada ureter: – uretero - pelvic junction – tempat
penyilangan ureter dengan vassa iliaca sama dengan flexura marginalis – muara
ureter ke dalam vesica urinaria. Terdiri dari 2 saluran pipa masing – masing
bersambung dari ginjal kekandung kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25 – 30 cm
dengan penampang ±0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan
sebagian terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan – gerakan peristaltik tiap 5
menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang dieskresikan oleh
ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke
dalam kandung kemih. Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia
muskulus psoas dan dilapisi oleh pedtodinium. Penyempitan ureter terjadi pada
tempat ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh
darah, saraf dan pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.
1.2.2.4 Vesica Urinaria

Disebut juga bladder/kandung kemih. Vesica urinaria merupakan kantung


berongga yang dapat diregangkan dan volumenya dapat disesuaikan dengan
mengubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala urin dikosongkan
dari kandung kemih ke luar tubuh melalui ureter. Organ ini mempunyai fungsi
sebagai reservoir urine (200 - 400 cc). Dindingnya mempunyai lapisan otot yang
kuat. Letaknya di belakang os pubis. Bentuk bila penuh seperti telur (ovoid). Apabila
kosong seperti limas. Apex (puncak) vesica urinaria terletak di belakang symphysis
pubis.
Fungsi vesica urinaria:
(1) Sebagai tempat penyimpanan urine
(2) Mendorong urine keluar dari tubuh.
1.2.2.5 Uretra
Merupakan saluran keluar dari urin yang diekskresikan oleh tubuh melalui
ginjal, ureter, vesica urinaria. Uretra adalah saluran sempit yang berpangkal pada
kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar.Pada laki- laki uretra
bewrjalan berkelok – kelok melalui tengah – tengah prostat kemudian menembus
lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagia penis panjangnya ± 20 cm.
Uretra pada laki – laki terdiri dari :
1. Uretra Prostaria
2. Uretra Membranosa
3. Uretra Kavernosa
Lapisan uretra laki – laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam),
dan lapisan submukosa. Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis
berjalan miring sedikit kearah atas, panjangnya ± 3 – 4 cm. Lapisan uretra pada
wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa merupakan
pleksus dari vena – vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra
pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di
sini hanya sebagai saluran ekskresi.
1.2.3 Anatomi Fisiologi Sistem Pada Lansia
1.2.3.1 Perubahan Ginjal Pada Lansia
Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia
muda.Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan
dengan pengurangan ukuran ginjal.
Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman bahwa panjang ginjal
berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya
usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah
total glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus
berkurang secara progresif setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi
penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerulus
sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun.
Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks
ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan
eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika
aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini
berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan
pengaturan sistem keseimbangan.
1.2.3.2 Perubahan Aliran Darah Ginjal pada Lansia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per
menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99%
yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa aliran darah
ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari
aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal
mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari
hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.
1.2.3.3 Perubahan Fungsi Ginjal pada Lansia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi
hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30
tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena
berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr
dkk, 1985)
1) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda.
3) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang
menurun.
4) Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang
berkurang.
5) Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan
memeriksa Creatinine Clearance.
6) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak
usia 30 tahun.
1.2.3.4 Perubahan Laju Filtrasi Glomerulus pada Lansia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan
karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus.
Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode,
menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun,
kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade. Penurunan bersihan
kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi kreatinin
serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun
sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin. Untuk menilai GFR/creatinine
clearance rumus di bawah ini cukup akurat bila digunakan pada usia lanjut.
Cratinine Clearance (pria) = (140-umur) x BB (kg) ml/menit
72 x serum cretinine (mg/dl)
Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria.
1.2.3.5 Perubahan Fungsi Tubulus pada Lansia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan
dari usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian
berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor
maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat) menurun progresif
sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR. Penemuan ini mendukung
hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi, misalnya hipotesis
yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan pada
transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas total
untuk transpor menurun.
Transpor glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock
pada kelompok usia antara 20-90 tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur
dengan metode clearance. Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu
rasio GFR : TmG tetap pada beberapa dekade. Penemuan ini mendukung hipotesis
jumlah nefron yang masih berfungsi, kapasitas total untuk transpor menurun sejalan
dengan atrofi nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal untuk glukosa
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak dapat
dijelaskan tetapi mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.
1.2.3.6 Perubahan Pengaturan Keseimbangan Air pada Lansia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan
usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada
lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia.
Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah
penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh.
Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume
yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur
perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan
dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan
ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air
tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih
dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.
1.2.4 Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek
akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)
1.2.5 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya
dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
1.2.5.1 Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.
Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau
melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk. Gerakan
semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di
dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah
urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah
melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu
juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita
yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian
dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta
penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka
percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini.
Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan
vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel
hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka
ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang
dideritanya.
1.2.5.2 Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi).
Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor
berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk).
Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil.
Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu
urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan
pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan
inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada
keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya
karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi
sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering
dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan
infeksi pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah tumor
pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial.
Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering
dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik.
Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.

1.2.5.3 Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)


Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung
kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang
lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih
dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes
lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera
vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma
kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis. Corak atau sifat gangguan fungsi
kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka,
koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang
berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung
kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme
penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih
atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang
lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra,
sehingga rasa ingin miksi disadari. Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus
pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi,
dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi kandung kemih yaitu :
1. Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi
kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi
sebenarnya lenyap.
2. Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks
yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat
miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih.
Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang
otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih
atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot
kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot
kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat
dikosongkan.
1.2.5.4 Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi,
atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama,
yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di
tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di
jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi plastik
pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat
menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah
dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak metilen
biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi
melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila
ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah,
maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah
tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.
1.2.6 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat
ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan
berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan
sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine
dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah
yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang
lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa
disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan
atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada
otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang
terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
1.2.6.1 WOC Inkontinensia Urin

Hambatan/obstruksi uretra
Inkoordinasi antara detrusor uretra
Multiparitas (penurunan Obstruksi Lesi spinal cord dibawah pembedahan lansia
kelamin otot detrusor
otot dasar panggul) kandung kemih S2
Ketika Batuk, bersin,
tertawa,mengejan Kegagalan Pengeluaran urin
Kehilangan
Penurunan otot detrusor Komplikasi post op fungsi kognitif
otot detrusor tidak stabil
Retensi
Tekanan
kandung kemih > uretra Penururnan
Tidak dapat mengontrol Otot detrusor
Kronis Distensi fungsi otot
Tekanan intravesika Kandung keluaran urin melemah
detrusor
kemih
Peningkatan tekanan
intraabdominal Disuria
Kontraksi kandung kemih Inkontinensia refleks Inkontinensia
involunter after trauma Inkontinensia
Fungsional
Otot sfingter uretra MK : Gg. Rasa
melemah Kebocoran urine involunter Nyaman Nyeri
Tidak dapat mengontrol
keluaran urin
Inkontinensia Stres Inkontinensia
urgensi/dorongan
Inkontinensia overflow

INKONTINENSIA URIN

Genitalia Eksterna Basah

Urin tersisa di celana

Urin yang bersifat asam Tubuh berbau pesing Keluar malam/siang hari
mengiritasi kulit

Malu saat bersosialisasi Menggangu aktifitas, tidur


MK: Gangguan
Integritas Kulit MK: Ansietas MK : gangguan pola tidur
1.2.7 Manifestasi Klinis
1.2.7.1 Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1. Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2. Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3. Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4. Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5. Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
1.2.8 Komplikasi
Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan
antara lain :
1. Infeksi saluran kemih.
2. Ulkus pada kulit.
3. Problem tidur.
4. Depresi dan kondisi medis lainnya..
1.2.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji
S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin.
Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi
tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan
keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi
litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya
kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium
tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia
urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia
urine. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan
tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai
sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.
1.2.10 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya
waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah
dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-
mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan
cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10
kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar
dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat
dan urethra dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax
diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis
seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan
rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak
ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan
secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan.
Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia
pada malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari
sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama.

1.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


1.3.1 Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5. Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat
berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /
pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
1.3.2 Diganosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang
lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
1.3.3 Intervensi
1.3.3.1 Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung
kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika
tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5) Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000
ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.
1.3.3.2 Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih
dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
 Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak
adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2) Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan
naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,
pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang
terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri
diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan
masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.
1.3.3.3 Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas kulit
teratasi.
Kriteria Hasil :
 Jumlah bakteri <100.000/ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit
bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer
kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan
ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan
kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine
dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
1.3.3.4 Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1) Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan
3) Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan

1.3.4 Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :
1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan
asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi
pada kandung kemih atau kateter
2. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering
tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
3. Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
4. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian Keperawatan


Nama Maha siswa : Virgo Mandala Putra
Ruang Praktek :
Tanggal Praktek : 09 Maret 2021
Tanggal dan Jam Pengkajian : 09 Maret Jam 08.00 WIB
2.1.1 Indentitas Klien
Nama : Ny. M
Umur : 60 Tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
Alamat : Palangka raya
Tgl MRS : 09 Maret 2021
Diagnosa Medis : Inkontinensia Urine
2.1.2 Riwayat Kesehatan/Perawatan
2.1.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengatakan “Sering BAK diluar kendali”
2.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dibawa oleh keluarga pada tanggal 09 Maret 2021 Jam
07.00 WIB dengan keluhan sering kencing tanpa disadari (ngompol).
2.1.2.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengatakan memiliki pernah mengalami hipertensi 2 tahun lalu
2.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit Hipertensi (Ayah).
Ny.
M 60

Keterangan :
= Meninggal = Laki-laki

= Perempuan = Pasien = Tingal serumah

Penjelasan:
Klien anak kedua dari 3 bersaudara. Klien mempunyai riwayat keturunan
hipertensi dari ayahnya yang meninggal karena hipertensi sedang ibunya
meninggal karena sudah tua. Klien tidak memiliki riwayat penyakit menular,
degeneratif, dan obesitas. Klien mempunyai 4 orang anak.

A. Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan saat ini : Guru mengaji
Pekerjaan sebelumnya :-
Sumber-sumber pendapatan : uang dari anak-anaknya
Kecukupan terhadap kebutuhan : Cukup

B. Riwayat Lingkungan Hidup


Type tempat tinggal : 16x8 m
Jumlah kamar :2
Kondisi tempat tinggal : Baik
Jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah :3
Derajat privasi : Aman
Tetangga terdekat : Baik
Alamat dan telepon :

C. Riwayat Rekreasi
Hobi/minat :-
Keanggotaan dalam organisasi :-
Liburan/perjalanan :-

D. Sistem Pendukung
Perawat/bidan/dokter/fisioterapi : dokter
Jarak dari rumah : 2 km
Rumah sakit : 6 km
Klinik :-
Pelayanan kesehatan dirumah :-
Makanan yang dihantarkan :-
Perawatan sehari-hari yang dilakukan keluarga : keluarga merawat klien
dengan mengganti popok 2x sehari,

E. Deskripsi kekhususan
Kebiasaan ritual : Sholat, membaca Al – Qur’an
Yang lain : Doa-doa yang lain

F. Status Kesehatan
Status kesehatan umum selama lima tahun yang lalu
- Klien mengatakan dua tahun lalu terkena hipertensi dan rutin
mengonsumsi obat diuretik
Keluhan utama
- Provokative/palliative :-
- Quality/quantity :-
- Region :-
- Severity scale :-
- Timming :-
Obat-obatan : obat diuretic, furosemide
Status imunisasi : lengkap
Alergi (obat-obatan/makanan/faktor lingkungan) : tidak ada
Penyakit yang diderita : Hipertensi

G. Aktivitas Hidup Sehari-hari (berdasarkan indeks Katz, disimpulkan Skore..)

Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz

1 Mandi Dapat mengerjakan sendiri


2 Berpakaian Seluruhnya tanpa bantuan
3 Pergi ke toilet Memerlukan bantuan
4 Berpindah (berjalan) Tanpa bantuan
5 BAB dan BAK Kadang-kadang ngompol / defekasi di tempat tidur
6 Makan Tanpa bantuan

Berdasarkan indeks KATZS, pemenuhan kebutuhan ADL klien diskor


dengan C karena berdasarkan pengamatan, klien hanya mampu memenuhi
4 kebutuhan dasar yaitu mandi, berpakaian, berjalan. dan makan
Psikologis
- persepsi klien : persepsi klien terhadap penyakitnya
klien merasa wajar karena sudah tua
- konsep diri : baik karena klien mampu memandang
dirinya secara positif
- emosi : stabil
- adaptasi : klien mampu beradaptasi dengan baik
- mekanisme pertahanan diri : klien mengatakan lebih senang tinggal
dirumah karena bisa berkumpul dengan anak-anaknya

H. Pemeriksaan Fisik (Tinjauan Sistem)


1. Keadaan umum
Baik, klien tampak bersih
2. Tingkat kesadaran
 Refleks membuka mata (eye): Spontan = 4
 Respon Motorik (motorik):Respon baik dengan perintah: 6
 Respon Verbal (verbal) : Orientasi baik : 5
 Jumlah Nilai GCS = 15
 Interpretasi GCS : Normal (Compos Mentis)
3. Tanda-tanda vital
 TD :180/140 mmHg
 Nadi : 80 kali/menit
 RR : 18 kali/menit
 Suhu : 36,5 ° C
4. Sistem kardiovaskuler
 Inspeksi: ictus cordis pada ICS-5 pada linea medio klavikularis kiri
 Palpasi: teraba ictus kordis dengan telapak jari II-III-IV dan lebar
iktus kordis 1 cm
 Perkusi:
- batas atas jantung : ICS 3
-batas kanan : linea midsternalis dextra
-batas kiri : mid aksilaris sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I dan II terkesan murni,tunggal,irama
jantung teratur
5. Sistem pernafasan
 Inspeksi : dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu nafas
 Palpasi : tidak ada pembesaran abnormal, fremitus taktil normal
 Perkusi : bunyi normal, resonan/vesikuler, suara paru ka/ki sama dan
seimbang
 Auskultasi : tidak ada ronkhi, wheezing, krekels basah
6. Sistem integumen
- Inspeksi: tekstur kulit terlihat kendur, keriput (+)
- Palpasi: turgor kulit jelek
- Inspeksi : terdapat ruam kemerahan pada sekitar area genitalia
7. Sistem perkemihan
 Inspeksi : saat ini klien terpasang kateter indwelling
 Palpasi : terdapat distensi pada kandung kemih
8. Sistem muskuloskeletal
 ROM klien baik/penuh
 Ekstremitas atas : Terpasang infuse Rl 2000cc/24 jam pada tangan
kanan, tonus otot baik,kekuatan otot tangan kiri kanan sama yaitu
pada skala 5
 Ekstremitas bawah : Kekuatan otot kaki kiri dan kanan sama yaitu
pada skala 5
 Tidak ada nyeri persendian
 Osteoporosis (-), tidak ada kelainan tulang
9. Sistem endokrin
- Klien mengatakan tidak menderita kencing manis.
- Palpasi: tidak ada pembesaran kelenjar
10. Sistem immune
- Klien mengatakan sudah lengkap imunisasi
- Riwayat penyakit yang berkaitan dengan imunisasi tidak ada
11. Sistem gastrointestinal
 Bising usus normal pada auskultasi abdomen
 Klien mengatakan tidak ada kesulitan mengunyah makanan
12. Sistem reproduksi
- Klien mempunyai 2 orang anak dari hasil pernikahannya, riwayat
berhenti menstruasi 10 tahun yang lalu.
13. Sistem persyarafan
 N.I (Olfaktorius):fungsi penghiduan/penciuman
Ketika pasien diminta menutup mata dan menutup salah satu lubang
hidung kemudian disuruh untuk menghidu bau kopi, pasien dapat
menyebutkan dengan benar
 N.II (Optikus) fungsi penglihatan
Pasien dapat menyebutkan angka yang ditunjukan pada jarak 2 meter
 N.III,IV,VI(Okulomotorius,Troklearis,Abdusens)
Ukuran pupil kiri kanan sama (Isokor) Refleks cahaya lambat,bola
mata mampu digerakkan ke segala arah.
 N.V (Trigeminus)
Sensorik:Pasien dapat merasakan usapan kapas pada daerah pipi
dengan mata tertutup setelah dilakukan berulang-ulang
Motorik:Terdapat gerakan tonus muskulus maseter ketika pasien
disuruh mengunyah
 N.VII (Fascialis)
Sensorik:Pasien dapat merasakan teh manis yang diberikan
Motorik:Pasien dapat menaikan alis mata dan mengerutkan dahi
 N.VIII (Akustikus)
Pasien dapat mendengar detakan jam perawat ketika diletakan
dibelakang telinga
 N.IX (Glossofaringeus)
Kemampuan menelan baik walaupun dilakukan perlahan-lahan ketika
minum air
 N.X (Vagus)
Gerakan uvula saat pasien mengatakan “ah” dan letak uvula di tengah
 N.XI ( Assesorius)
Pasien mampu menggerakan bahu kiri dan kanan dengan perlahan-
lahan
 N.XII (Hypoglosus)
Pasien dapat menjulurkan lidah keluar ,dan gerakan lidah mendorong
pipi kiri dan kanan dari arah dalam

I. Pemeriksaan status kognitif/afektif/sosial


1. Status kognitif/afektif
- Short potable mental status questionaire (SPMSQ) dengan skor: 10,
fungsi intelektual utuh
- Mini mental state exam (MMSE) dengan skor: 25, aspek kognitif dari
fungsi mental dalam keadaan baik
- Inventaris depresi beck, dengan skor: 3. Tidak ada tanda-tanda depresi
pada klien.
2. Status sosial
- Apgar keluarga dengan lansia, skor: 8 dimana fungsi social klien dalam
keadaan normal

J. Pemeriksaan Penunjang
- Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
- Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosasitol.

Analisa Data
Data Masalah Etiologi

DS : Gangguan Kehilangan
eliminasi urin kemampuan untuk
menghambat
 Klien mengatakan tidak dapat menahan
kontraksi kandung
jika sudah terasa ingin BAK
kemih
 Klien juga mengatakan saat dia bersin,
membungkuk, batuk tiba-tiba keluar
sedikit air kencing
 Keluarga mengatakan Ny. M sering
kencing tanpa disadari (ngompol).
 Sering ngompol terutama malam hari.

DO :

 Sebelumnya Ny. M ada riwayat


hipertensi 2 tahun lalu dan
mengonsumsi obat diuretik.
 Frekuensi berkemih tiap hari sekitar 15-
18x
 Terdapat distensi kandung kemih
DS : Resiko kerusakan Irigasi konstan
integritas kulit oleh urine
 Klien mengatakan disekitar area
genitalia terasa nyeri, panas dan gatal

DO :

 Terdapat iritasi dan ruam kemerahan


pada sekitar area genitalia dan
pangkal paha.
 Klien menggunakan popok namun
sehari hanya menggantinya 2x
sehingga terasa lembab
DS : Resiko kekurangan Intake yang tidak
volume cairan adekuat
 Ny.M mengatakan minumnya tiap
tubuh
hari sekitar 200 ml

DO :

 Saat dilakukan pengkajian Ny.M


kelembaban bibir kering.
 TB&BB 150cm, 45kg
 Klien terpasang infuse RL 2000cc/24
jam
 output 2100cc, balance cairan 100cc

1. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih
2) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
3) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat

2. Intervensi
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menghambat kontraksi kandung kemih
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu
mengontrol eliminasi urine.
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi Rasional
 Kaji kebiasaan pola berkemih dan  Berkemih yang sering dapat
gunakan catatan berkemih sehari. mengurangi dortongan beri distensi
kandung kemih
 Ajarkan untuk membatasi masukan
cairan pada malam hari.  Pembatasan cairan pada malam hari
 Ajarkan teknik untuk mencetuskan dapat mencegah terjadinya enurasis
refleks berkemih (rangsangan putaneus  Untuk membantu dan melatih
dengan penepukan supra pubik). pengosongan kandung kemih.
 Berikan penjelasan tentang pentingnya
hidrasi optimal, sedikitnya 2000cc/hari  Hidrasi optimal diperlukan untuk
bila tidak ada kontra indikasi. mencegah ISK dan batu ginjal.
 Bila masih terjadi inkontinensia kurangi
waktu antara berkemih yang telah
 Kapasitas kandung kemih mungkin
direncanakan
tidak cukup untuk menampung volume
 Kolaborasi dengan dokter dalam
urine sehingga diperlukan untuk lebih
mengkaji efek medikasi dan tentukan
sering berkemih.
kemungkinan perubahan obat,
dosis/jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkontinensia.

2. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh


urine
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kulit periostomal
klien kembali normal.
Kriteria Hasil :
o Jumlah bakteri <100.000/ml.
o Kulit periostomal tetap utuh.
o Suhu 37° C.
o Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi Rasional
 Pantau penampilan kulit periostomal  Untuk mengidentifikasi kemajuan atau
setiap 8 jam. penyimpangan dari hasil yang
 Ganti wafer stomehesif setiap minggu diharapkan.
atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan  Peningkatan berat urine dapat merusak
kulit bersih dan kering sebelum segel periostomal, memungkinkan
memasang wafer yang baru. Potong kebocoran urine. Pemajanan menetap
lubang wafer kira-kira setengah inci pada kulit periostomal terhadap asam
lebih besar dar diameter stoma untuk urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
menjamin ketepatan ukuran kantung dan peningkatan resiko infeksi.
yang benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai
setengah penuh.

3. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang


tidak adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi.
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi Rasional
 Awasi TTV  Pengawasan invasive diperlukan untuk
mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi
jantung buruk.
 Untuk menentukan fungsi ginjal,
 Catat pemasukan dan pengeluaran
kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan caian
 Untuk mengukur kemampuan ginjal

 Awasi berat jenis urine dalam mengkonsestrasikn urine


 Membantu periode tanpa cairan,
meminimalkan kebosanan pilihan yang
 Berikan minuman yang disukai terbatas dan menurunkan rasa haus
sepanjang 24 jam  Untuk mengawasi status cairan
 Timbang BB setiap hari
4. Evaluasi keperawatan
S : - Pasien mengatakan bahwa tidak mengeluarkan urin pada saat bersin dan
tertawa.
- Pasien mengatakan sudah bisa mengontrol berkemih
O : - Setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen urin pasien tidak menetes.
- Pasien mengeluarkan urin lebih dari 2 jam sekali.
A :  Masalah teratasi
P :  Masalah teratasi pasien pulang.

Anda mungkin juga menyukai