Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS BAHAN BERACUN BERBAHAYA

PADA SEDIAAN JAMU DAN KOSMETIK TRADISIONAL I


REVIEW JURNAL ANALISIS BKO PADA JAMU

Oleh :
Nama : FADIAH AYU KURNIA SARI DEWI
Nim : P27235019069
Kelas : 4B ANAAFARMA

PRODI D III ANAFARMA


JURUSAN ANALISIS FARMASI DAN MAKANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KEEHATAN SURAKARTA 2021
LAPORAN PRAKTIKUM
BKO PADA JAMU DAN KOSMETIKA TRADISIONAL DAN METODE
ANALISISNYA
A. TUJUAN
Mahasiswa mengetahui BKO pada jamu dan metode analisisnya

B. DASAR TEORI
Kecenderungan masyarakat Indonesia menggunakan obat tradisional (lebih dikenal
dengan jamu) sebagai alternatif dalam upaya pemeliharaan, peningkatan dan
penyembuhan penyakit semakin meningkat (Sari, 2006). Peningkatan ini disebabkan
adanya persepsi bahwa jamu lebih aman dari obat sintetik.
Penggunaan jamu mengandung BKO dalam jangka panjang dapat menimbulkan
resiko efek samping yang serius. Oleh karena itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia
telah melarang penambahan bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat obat
kedalam obat tradisional (Kemenkes, 2012).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan
dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga
yakni, Jamu, Obat Herbal Terstandar , dan Fitofarmaka (Zulfikar, 2014).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan satu dari banyak teknik kromatografi
yang sering digunakan untuk menganalisis bahan analgesik. Dasar pemisahan pada KLT
adalah perbedaan kecepetan migrasi diantar fasedian yang berupa padatan (alumina, silika
gel, atau selulosa) dan fase gerak yang merupakan campuran solven (eluen) yang juga
dikenal dengan istilah pelarut pengembang campur. KLT menggunakan parameter
karakteristik faktor retardasi (Rf) untuk menganalisis baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Nilai Rf merupakan parameter karakteristik suatu senyawa sehingga secara
kualitatif senyawa dapat diidentifikasi dari nilai Rf (Fatah, 1987).
Fase gerak pada KLT biasanya dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dipilih
dengan trial dan error. Sitem yang paling sederhana adalah sistem dua pelarut organik
karena daya elusi campuran dari dua pelarut ini dapat dengan mudah diatur sedemikian
rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah kriteria yang harus
dipenuhi oleh fase gerak ialah :
1. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT sangat
sensitif
2. Daya elusi fase gerak harus diatur agar harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk
pemisahan yang maksimal
3. Untuk pemisahan senyawa yang polar yang biasanya fase diamnya berupa silika
gel, maka polaritas dari fase gerak sangat menentukan kecepatan elusi atau
pengembangan yang berarti juga akan menentukan nilai Rf (Stahl, 1985).
C. REVIEW JURNAL

N Judul Jurnal Analit Jenis Metode Analisis Prinsip metode


o Sampel

1 ANALISIS BAHAN (BKO) JAMU Identifikasi 1. Metode preparasi sampel


KIMIA OBAT Natrium PEGAL Kromatografi : Ekstraksi sampel
DALAM JAMU diklofenak LINU lapis tipis (KLT) 2. Fase gerak : Natrium
PEGAL LINU YANG dan dan diklofenak
DI JUAL DI Fenilbutazon spektrofotometri a. Toluen : etil asetat :
SURAKARTA UV asam asetat glasial
MENGGUNAKAN (60:40:1)
METODE b. Toluen : aseton (1:2)
SPEKTROFOTOMET c. Toluen : metanol :
RI UV ammonia (20:5:1)
Fenilbutazon
a. Sikloheksan :
kloroform :
metanol : asam
asetat glasial
(60:30:5:5)
b. Etil asetat :
metanol :
ammonia
(85:10:5)
c. N heksan : etil
asetat (8:2)
3. Fase diam : Silika Gel
GF254
4. Deteksi : Jamu pegal linu
yang digunakan pada
penelitian ini yaitu 10
macam merek jamu
pegal linu yang di jual di
sekitar Surakarta.
Dengan kriteria jamu
pegal linu paling
diminati masyarakat.
5. Interpretasi hasil : Dalam
10 sampel yang diambil
di toko jamu yang di
Surakarta terdapat 2
produk yang ditemukan
mengandung natrium
diklofenak, yang terdapat
pada jamu G sebesar
41,37 mg/tab dan pada
jamu J memiliki kadar
sebesar 35,65 mg/tab. 2.
Dalam 10 sampel yang
diambil di toko jamu
yang di Surakarta
terdapat produk yang
ditemukan mengandung
fenilbutazon yang
terdapat pada jamu B
sebesar 129,79 mg/tab
dan jamu C memiliki
kadar sebesar 34,35
mg/tab

2 PEMERIKSAAN (BKO) JAMU Identifikasi 1. Metode preparasi sampel :


KANDUNGAN PREDNISO REMATIK Kromatografi Ekstraksi sampel secara
BAHAN KIMIA OBAT N lapis tipis (KLT) Maserasi dan Penguapan
(BKO) PREDNISON Ekstrak
PADA BEBERAPA 2. Fase gerak : Kloroform :
SEDIAAN JAMU Etil asetat (1 : 9).
REMATIK 3. Fase diam : Silika Gel
GF254
4. Deteksi : Disiapkan
lempeng KLT dengan
ukuran 12 x 10 cm,
dengan tepi atas ditandai
0,5 cm dan tepi bawah
ditandai 1 cm. Dari larutan
baku dengan konsentrasi
500 ppm, kemudian
ditotolkan dengan
menggunakan mikropipet
dengan variasi konsentrasi
1 µL, 2 µL, 3 µL, 4 µL,
dan 5 µL. Kemudian
ekstrak cair jamu A, B, C,
D dan E ditotolkan dengan
menggunakan mikropipet
sebanyak 2 µL pada
lempeng KLT yang sama.
Lempeng di elusi dalam
chamber yang berisi
kloroform : etil asetat (1 :
9). Noda yang terpisah
diamati dengan lampu UV
254 nm dan diukur dengan
KLT-densitometri pada
panjang gelombang
maksimum 254 nm,
dilakukan analisis
terhadap hasil scan
5. Interpretasi hasil :
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah
dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa
terdapat satu jenis jamu
yang positif mengandung
prednison dari lima jenis
jamu yang diidentifikasi
yaitu jamu A. kadar
prednison yang
terkandung dalam jamu A
yaitu 475,421 µg/mL
dengan persentase
4,754%.

3 Identifikasi Parasetamol (BKO) Jamu Pegel Identifikasi KLT- 1. Metode preparasi sampel :
dan Asam Mefenamat Parasetamol Linu dan Densitometri Pembuatan larutan kurva
pada Jamu Pegel Linu dan Asam Asam Urat baku parasetamol dan
dan Asam Urat yang Mefenama Pembuatan larutan sampel
Beredar di Daerah 2. Fase gerak : klorofrom-
Istimewa Yogyakarta etanol (8:1)
3. Fase diam : Silika Gel
GF254
4. Deteksi : Pembandingan
dilakukan dengan melihat
bercak di bawah lampu
UV pada panjang
gelombang 254 nm.
Kemudian untuk analisis
kuantitatif, lempeng KLT
dimasukkan dalam alat
densimometri (Camag
TLC Scanner 4) untuk
dibaca luas area yang
ditimbulkan oleh bercak
yang mirip nilai Rf
dengan bercak
parasetamol dan asam
mefenamat standard. Luas
area yang diperoleh
digunakan untuk
menghitung kadar
parasetomol yang terdapat
dalam jamu. Perhitungan
didasarkan pada kurva
baku yang telah dibuat
sebelumnya.
5. Interpretasi hasil :
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah
dilakukan pada 14 jamu
pegel linu dan asam urat
yang beredar di Daerah
Istimewa Yogyakarta
didapatkan bahwa sampel
nomer 3 (SM), 7 (AS) dan
10 (JE) terbukti
mengandung BKO
parasetamol dengan kadar
pada masing-masing
sampel sebesar 0,04%
(b/v), 0,30% (b/v), dan
0,13% (b/v).
4 ANALISA (BKO) JAMU Identifikasi 1. Metode preparasi sampel :
KUALITATIF SILDENAFI SEHAT Kromatografi Satu dosis sampel
SILDENAFIL SITRAT L SITRAT PRIA lapis tipis (KLT) ditambahkan 50 ml air
PADA BEBERAPA demineralisata, dikocok
PRODUK JAMU selama 30 menit kemudian
SEHAT PRIA disaring. Filtrat
DENGAN METODE dimasukkan ke dalam
KROMATOGRAFI corong pisah dan di
LAPIS TIPIS DI basakan dengan NaOH
WILAYAH 0,1N hingga pH 11-12.
BANJARMASIN Selanjutnya diekstraksi
tiga kali dengan etil asetat
(25 ml). Ekstrak etil asetat
dikumpulkan dan
diuapkan untuk
menghilangkan etil
asetatnya, dan ekstrak
yang didapat dilarutkan
dengan 5 ml methanol.
Baku pembanding
(Sildenafil sitrat)
ditimbang dan dilarutkan
dalam methanol sampai
diperoleh kadar 0,1% b/v
2. Fase gerak : etil asetat :
metanol : amonia dengan
perbandingan 85:10:5
3. Fase diam : Silika Gel
GF254
4. Deteksi : Setelah kering,
plat dilihat di bawah
lampu UV 254 nm
(Camag) untuk diamati
pola kromatogram, baik
dari sampelsampel
maupun dari baku
pembanding sildenafil
sitrat. Noda (spot) dari
sampel dibandingkan
dengan noda (spot) dari
baku pembanding
(sildenafil sitrat).
5. Interpretasi hasil : Analisa
kualitatif dari 13 sampel
jamu seduh sehat pria
menggunakan metode
kromatografi lapis tipis,
menunjukkan bahwa
terdapat 5 sampel yang
mengandung bahan kimia
obat sildenafil sitrat

5 ANALISIS BAHAN SIBUTRAMI PADA Identifikasi 1. Metode preparasi sampel :


KIMIA OBAT N HCl JAMU Kromatografi Preparasi Sampel KLT
SIBUTRAMIN HCl PELANGSI lapis tipis (KLT) dan Preparasi Sampel
PADA JAMU NG dan Spektrofometri UvVis
PELANGSING YANG spektrofotometri 2. Fase gerak : etil asetat :
BEREDAR DI KOTA UV n-Heksan (7:3), aseton :
MANADO kloroform (7:3), aseton :
kloroform : n-heksan
(5:3:2).
3. Fase diam : silika gel
GF254
4. Deteksi : Hasil penotolan
pada KLT yang
mempunyai Rf sama
kemudian dianalisis
menggunakan
Spektrofotometri UV-Vis
dengan panjang
gelombang maksimum
dan pada panjang
gelombang inilah
didapatkan data
absorbansi yang
maksimum. Data
absorbansi yang diperoleh
kemudian dicari kadarnya
menggunakan persamaan
kurva baku
5. Interpretasi hasil : Dari
10 merk jamu pelangsing
yang beredar di Kota
Manado dinyatakan
teridentifikasi
mengandung sibutramin
HCl. Kadar sibutramin
pada sampel merk A
sampai J ialah 8,124
μg/mL, 3,543 μg/mL,
6,732 μg/mL, 12,790
μg/mL, 9,479 μg/mL,
19,52 μg/mL, 10,613
μg/mL, 15,461 μg/mL,
18,444 μg/mL, dan 9,265
μg/mL.
6 Identifikasi Bahan (BKO) Pada Jamu Kromatografi 1. Metode preparasi sampel :
Kimia Obat (BKO) Glibenklamid Antidiabetes Lapis Tipis (KLT) Ekstraksi Sampel Jamu
Glibenklamid Pada Dan 2. Fase gerak : butil asetat :
Jamu Antidiabetes Spektrofotodensit toluen : asam formiat
Dengan Menggunakan ometri (50:50:0,4) dan asam
Metode Kromatografi asetat : toluen : metanol
Lapis Tipis (KLT) Dan (45:55:1)
Spektrofotodensitometri 3. Fase diam : silika gel
GF254
4. Deteksi : Plat KLT
kemudian dimasukkan
kedalam masing-masing
chamber untuk dielusi
hingga mencapai jarak
rambat elusi 15 cm dari
totolan. Setelah mencapai
jarak elusi, plat KLT
dikeluarkan dan
dikeringkan. Noda yang
terbentuk pada plat KLT
dilihat dibawah sinar UV
254 nm dan 366 nm
kemudian dihitung nilai
Rf-nya. Sampel yang
diidentifikasi positif
mengandung BKO
glibenkalmid dihitung
panjang gelombangnya
menggunakan alat
spektrofotodensitometri
5. Interpretasi hasil :
Berdasarkan hasil
penelitian dapat
disimpulkan bahwa jamu
Wei Yi Wang (0003.K)
positif mengandung bahan
kimia obat (BKO)
glibenklamid. Sedangkan
jamu Delites (0001.K)
dan jamu Jakeni (0002.K)
negatif mengandung
bahan kimia obat (BKO).
Hal ini dapat dilihat dari
nilai Rf masing-masing
sampel dan nilai Rf dari
baku pembanding
glibenklamid dan Spike
serta dipertegas dengan
hasil uji
spektrofotodensitometri
yang menunjukan peak
(puncak gelombang) yang
sama

D. PEMBAHASAN
1. ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT DALAM JAMU PEGAL LINU YANG DI
JUAL DI SURAKARTA MENGGUNAKAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV
Analisis bahan kimia obat natrium diklofenak dan fenilbutazon pada 10 jenis
sampel jamu tradisional pegal linu beredar di kota Surakarta. Analisis kualitatif
menggunakan metode KLT dengan 3 campuran fase gerak yang berbeda. Analisis
kualitatif bertujuan untuk mengidentifikasi adanya tambahan bahan kimia obat
produk jamu pegal linu.
Analisis kualitatif natrium diklofenak dan fenilbutazon pada sediaan jamu
merupakan uji identifikasi natrium diklofenak dan fenilbutazon yang dimungkinkan
terdapat dalam sediaan obat tradisional dapat dilakukan dengan metode KLT. Sampel
dapat memisah berdasarkan komponen-komponen senyawa dengan memilih fase
gerak yang sesuai. Pemisahan agar maksimal, Rf solute harus terletak antara 0,2-0,8
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Dengan system fase gerak A (toluene : etil asetat : asam asetat glasial
60:40:1) v/v sampel 7 memiliki Rf 0,61 mendekati Rf standar natrium diklofenak dan
sampel 10 memiliki Rf sama dengan standar natrium diklofenak, dimungkinkan ada
bahan kimia obat dengan Rf 0,63. Sistem fase gerak B (toluen : aseton 1:2) v/v
sampel 7 dan 10 memiliki rf 0,75 sama dengan standar Berikutnya fase gerak C
(toluene : metanol :ammonia 20:5:1) v/v sampel 7 memiliki Rf 0,77 mendekati Rf
standar natrium diklofenak dan sampel 10 memiliki Rf 0,75 yang sama dengan
standar natrium diklofenak Dari ketiga sistem fase gerak memiliki Rf sama dengan
standar adalah sampel 7 dan 10 dimungkinkan ada bahan kimia obat natrium
diklofenak. Didapat Rf yang berbeda-beda dikarenakan kekuatan daya elusi fase
gerak yang berbeda fase gerak A memiliki kekuatan elusi 0,207, fase gerak B 0,346
dan fase gerak C 0,262.
Pada sampel dengan standar fenilbutazon menggunakan sistem fase gerak D
(Sikloheksan : kloroform : metanol 60:30:10) memiliki Rf yang dekat dengan
standarnya adalah sampel 2 dan 3 yaitu 0,74 sedangkan Rf standar fenil butazon 0,75 .
Sistem fase gerak E (etil asetat : metanol : ammonia 85:10:5) memiliki Rf yg sama
dengan standar adalah jamu 2 dan 3 yaitu 0,63 Pada sistem fase gerak F (n heksan :
etil asetat 8:2) v/v yang memiliki Rf 0,38 sama dengan standar adalah sampel 2
dan 3 diduga mengandung fenilbutazon. Dari ketiga sistem fase gerak sampel 2 dan
3 yang memiliki Rf sama dengan standar fenilbutazon dapat disimpulkan bahwa
sampel jamu 2 dan 3 dinyatakan positif mengandung bahan kimia obat fenilbutazon.
Didapat Rf yang berbeda-beda dikarenakan kekuatan daya elusi fase gerak yang
berbeda fase gerak D memiliki kekuatan elusi 0,128, fase gerak E 0,415 dan fase
gerak F 0,076.

2. PEMERIKSAAN KANDUNGAN BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PREDNISON


PADA BEBERAPA SEDIAAN JAMU REMATIK
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya bahan kimia obat
prednison yang terdapat pada jamu rematik. Pada penelitian ini dilakukan terhadap 5
sampel jamu rematik yang beredar di Makassar. Kelima sampel tersebut termasuk
jenis jamu, karena masing-masing jamu terdapat gambar logo jamu pada tiap
kemasan.
Prednison biasanya dicampurkan dalam jamu pegal linu, asam urat, sesak
napas, dan rematik (Najib, 2009). Prednison merupakan obat golongan kortikosteroid
yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit akut dan kronis termasuk radang
sendi, asma, penyakit alergi (Vogt et al, 2007). Penggunaan obat prednison yang
kurang tepat dapat menyebabkan muka bengkak, gangguan pencernaan, gangguan
tulang dan otot, osteoporosis, gangguan hormon, depresi, insomnia, glaukoma,
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh (Najib, 2009).
Untuk menarik kandungan zat-zat aktif pada jamu, dilakukan ekstraksi dengan
menggunakan metode maserasi. Metode maserasi ini merupakan cara penyarian yang
sederhana karena cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif.
Ekstrak etanol kental yang diperoleh dari proses maserasi yaitu untuk sampel
A sebanyak 542,3 mg, sampel B sebanyak 22,2 mg, sampel C sebanyak 355,5 mg,
sampel D sebanyak 115,2 mg, dan sampel E sebanyak 107,9 mg ekstrak etanol kental.
Untuk mengetahui adanya kandungan prednison dalam jamu rematik, dilakukan
pengujian kualitatif dan kuantitatif. Adapun uji kualitatifnya yaitu dengan
menggunakan lempeng KLT. Metode KLT digunakan karena KLT merupakan
metode yang sederhana dan cepat. KLT digunakan secara luas untuk analisis obat
(Gandjar & Rohman, 2007).
Dalam metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT), untuk mengidentifikasi
prednison dalam jamu rematik dapat diamati kromatogram berdasarkan perbandingan
nilai Rf dari masing-masing sampel dengan nilai Rf baku pembanding prednison
Sebelum diketahui nilai Rf-nya, masing-masing sampel jamu rematik dan baku
pembanding ditotol pada lempeng. Setelah itu, dielusi dengan menggunakan eluen
kloroform : etil asetat (1 : 9). kemudian, dihitung nilai Rfnya. Nilai Rf didapat dari
perbandingan antara jarak titik pusat bercak dari titik awal dengan jarak garis depan
dari titik awal. Warna bercak dari masing-masing sampel dan baku pembanding dapat
dilihat di bawah lampu UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm, prednison berwarna
ungu dengan nilai Rf 0,65. Yang positif mengandung prednison, dapat dilihat dari
nilai Rfnya, nilai Rf noda sampel sama dengan nilai Rf prednison.
Untuk sampel jamu A pada lampu UV 254 nm menunjukkan noda berwarna
ungu dengan nilai Rf 0,65, dan pada lampu UV 366 nm tidak terdapat noda.
Sedangkan untuk sampel jamu B pada lampu UV 254 nm terdapat noda berwarna
kuning dengan nilai Rf 0,91, dan pada lampu UV 366 nm terdapat noda warna kuning
dengan nilai Rf 0,91. Untuk sampel jamu C pada lampu UV 254 nm terdapat noda
berwarna kuning dengan nilai Rf 0,95, dan pada lampu UV 366 nm juga terdapat
noda warna kuning dengan nilai Rf 0,95. Sedangkan untuk sampel jamu D pada
lampu UV 254 nm terdapat noda berwarna kuning dengan nilai Rf 0,91 dan 0,95
begitupun juga pada lampu UV 366 nm terdapat noda berwarna kuning dengan nilai
Rf 0,91 dan 0,95. Dan untuk sampel jamu E pada lampu UV 254 nm terdapat noda
berwarna kuning dengan nilai Rf 0,91 begitupun pada lampu UV 366 nm terdapat
noda berwarna kuning dengan nilai Rf 0,91. Berdasarkan hal tersebut, sampel jamu
yang positif mengandung prednison adalah sampel jamu A karena memiliki nilai Rf
dan warna noda yang sama dengan prednison yaitu dengan nilai Rf 0,65 dan noda
berwarna ungu.
Adapun uji kuantitatifnya yaitu dengan menggunakan alat KLT-Densitometri.
Kromatografi lapis tipis (KLT)-Densitometri merupakan metode analisis yang dapat
menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam campuran dengan waktu
singkat, dan dapat digunakan pada kadar kecil (Sugijanto et al, 2010). Instrumen
KLT-Densitometri dilengkapi dengan suatu perangkat optik, sumber cahaya, dan
detector seperti halnya spektrofotometer (Hayun, 2007). Dalam pengerjaannya harus
diperhatikan cara penotolan sampel ekstrak, dan volume yang ditotolkan harus sama.
Pengerjaannya hampir sama dengan metode KLT. Hanya saja ukuran lempeng yang
digunakan yaitu 12 x 10 cm. Analisis Prednison secara KLT Densitometri pada
panjang gelombang maksimum 254 nm. Pada panjang gelombang maksimum 254 nm,
diperoleh nilai Rf untuk pembanding prednison 1 L, 2 L, 3 L, dan 4 L yaitu 0,64. Dan
nilai Rf pembanding prednison 5 L yaitu 0,63. Sedangkan nilai Rf pada sampel jamu
A yaitu 0,63.
Dari hasil menunjukkan bahwa sampel jamu A positif mengandung Prednison.
Hal ini didasarkan karena nilai Rf sampel jamu A dan nilai Rf baku pembanding
prednison sama. Adapun kadar prednisone pada jamu A yaitu 475,421 µg/mL dengan
persentase 4,754%.

3. Identifikasi Parasetamol dan Asam Mefenamat pada Jamu Pegel Linu dan Asam
Urat yang Beredar di Daerah Istimewa Yogyakarta
Pada penelitian ini, analisis dilakukan menggunakan metode KLT-
densitometri. dengan fase diam silika gel GF 254 dan fase gerak campuran kloroform-
etanol (8:1). Pemilihan fase diam silika gel GF 254 adalah untuk memudahkan
identifikasi, dimana pada penyinaran dengan lampu UV 254 nm fase diam akan
berfluoresen sedangkan bercak parasetamol akan meredam sehingga bercak akan jelas
terlihat. Peredaman fluoresensi fase diam karena parasetamol dan asam mefenamat
dikarenakan kedua zat tersebut mempunyai gugus kromofor dan auksokrom yang
mampu menyerap sinar UV (Tulandi, 2015; Musiam & Alfian, 2017; Rosalina, 2018).
Berdasarkan uji KLT, sampel jamu yang terbukti mengandung parasetamol
kemudian dilanjutkan uji kuantitatif mengguankan densisometri (Gandjar & Abdul
Rohman, 2007).Sementara itu fase gerak yang dipilih berdasarkan prinsip KLT like
dissolve like. Parasetamol dan asam mefenamat merupakan senyawa semipolar
sehingga bisa dielusi menggunakan fase gerak yang semi polar (Depkes RI, 1995).
Bisa dilihat bahwa sampel no 3, 7 dan 10 terdapat bercak yang mempunyai warna dan
Rf serupa dengan standar parasetamol yang digunakan. Pada sampel 1, 2, 8 dan 9
memiliki bercak yang mempunyai Rf mirip dengan bercak asam mefenamat, tetapi
warna bercak berbeda dengan warna bercak asam mefenamat, yaitu memiliki warna
kekuningan. Bisa dikatakan bahwa sistem KLT yang digunakan tidak spesifik untuk
sampel yang diteliti karena tidak bisa membedakan asam mefenamat dan senyawa
berwarna kekuningan, sehingga perlu dilakukan pemilihan sistem KLT yang sesuai
pada penelitian selanjutnya. Oleh karena itu pada penelitian ini disimpulkan bahwa
sampel jamu yang dianalisis mengandung BKO parasetamol pada sampel no 3, 7, dan
10 dan tidak ada sampel yang menganbdung BKO asam mefenamat. Standar
parasetamol dan asam mefenamat yang digunakan pada penelitian ini adalah tablet
parasetamol dan tablet asam mefenamat yang diperoleh dari Apotek yang bisa
dipastikan kebenarannya.
Berdasarkan AUC yang diperoleh dari analisis menggunakan densitometer dan
menggunakan kurva baku yang sudah disiapkan, maka konsentrasi parasetamol pada
sampel no 3, 7 dan 10 adalah sebagai berikut 0,04% (b/v), 0,3% (b/v), dan 0,13%
(b/v). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sejalan dengan peneiltian sebelumnya
bahwa paracetamol ditemukan dalam jamu pegel linu yang beredar di kota Cimahi
(Jawa Barat) dan kota Bandar (Jawa Timur) (Riyanti et al, 2013; Saputra, 2017).
Kemungkinan sampel yang diteliti adalah sama, tetapi dengan hasil penelitian ini bisa
diasumsikan bahwa penyebaran jamu pegel linu dan jamu asam urat yang
mengandung BKO menyebar di banyak daerah. Hal ini adalah masalah yang perlu
diperhatikan oleh masyarakat luas agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu.

4. ANALISA KUALITATIF SILDENAFIL SITRAT PADA BEBERAPA


PRODUK JAMU SEHAT PRIA DENGAN METODE KROMATOGRAFI
LAPIS TIPIS DI WILAYAH BANJARMASIN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan sildenafil sitrat yang
terdapat dalam jamu seduh sehat pria. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa, dari
13 sampel jamu seduh sehat pria, terdapat 5 sampel jamu yang mengandung sildenafil
sitrat (38,5 %). Perhitungan nilai Rf sampel dan baku pembanding (sildenafil sitrat)
dapat dilihat pada Tabel 2. Pola kromatogram sampel dan pembanding
memperlihatkan bahwa sampel A, B, D, E, dan G memiliki kandungan sildenafil sitrat
(Gambar 3-4).
Baku pembanding sildenafil sitrat memiliki Rf 0,53.Rf yang dimiliki sampel
A, B, D, E, dan G berturut-turut adalah 0,53; 0,53; 0,53; 0,52; dan 0,52. Rf yang
dimiliki sampel A, B, D, E dan G memperlihatkan kesamaan dengan Rf baku
pembanding sildenafil sitrat. Hal ini menunjukkan bahwa sampel-sampel tersebut
mengandung sildenafil sitrat.
Intensitas spot (noda) pada sampel A, B dan D berbeda dengan sampel E dan
G, walaupun memperlihatkan nilai Rf yang menunjukkan adanya kandungan
sildenafil sitrat. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan kadar sildenafil yang
terkandung dalam tiap sampel yang ditotolkan pada plat.
Obat tradisional tidak diperbolehkan mengandung bahan kimia obat, dan
adanya bahan kimia obat dalam obat tradisional menyebabkan obat tradisional
dinyatakan tidak memenuhi syarat dan harus dilakukan penarikan dari peredaran
(BPOM-RI, 2016; PERMENKES, 2012).
Ketiadaan pengetahuan konsumen akan dampak bahaya dari obat tradisional
dengan kandungan bahan kimia obat yang dikonsumsinya, kemudian adanya
kemungkinan kontra indikasi penggunaan bahan kimia bagi konsumen yang
menderita penyakit tertentu, maupun kemungkinan terjadinya interaksi antar bahan
kimia obat, adalah hal yang sangat membahayakan bagi konsumen (BPOM-RI, 2006).
Sildenafil sitrat, yang merupakan salah satu penghambat fosfodiesterase tipe 5 oral
(PDE5), adalah obat oral pertama yang disetujui untukpengobatan disfungsi ereksi
(DE) oleh US Food and Drug Administration (FDA) dan European Medicines
Evaluation Agency. Salah satu kontraindikasi sildenafil sitrat adalah sildenafil sitrat
tidak boleh diresepkan secara kombinasi dengan nitrat pada pasien tanpa pemeriksaan
adanya penyakit koroner arteri (Cakmak, Ikitimur, Karadag, & Ongen, 2012). Choi et
al (2017) melaporkan kasus Fixed Drug Eruption yang disebabkan pemakaian
sildenafil sitrat.Fixed Drug Eruption merupakan reaksi alergi karena pemakaian obat-
obat tertentu, berupa lesi pada kulit. Penggunaan sildenafil sitrat tanpa
mempertimbangkan kontraindikasi dan adanya alergi dapat membahayakan konsumen
(Choi et al., 2018).
Bahan kimia obat yang terkandung dalam jamu inilah yang menjadi selling
point bagi produsen/ penjual obat tradisional dengan kandungan bahan kimia obat, hal
ini disebabkan ketiadaan pengetahuan baik penjual maupun produsen akan dampak
bahaya keberadaan bahan kimia obat yang tidak terkontrol dosis dan penggunaannya,
atau hal ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan keuntungan karena pengguna
lebih menyukai jamu yang memberikan efek cepat.Undang-undang nomor 36 Tahun
2009 tentang kesehatan pada pasal 196 menyebutkan bahwa produsen/pengedar jamu
dengan kandungan bahan kimia obat, dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

5. ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT SIBUTRAMIN HCl PADA JAMU


PELANGSING YANG BEREDAR DI KOTA MANADO
Analisis Kualitatif
Analisis sibutramin HCl pada jamu pelangsing yang beredar di kota Manado
dilakukan menggunakan 10 jenis jamu pelangsing. Analisis kualitatif menggunakan
metode KLT dengan campuran 3 fase gerak. Metode ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kandungan bahan kimia obat sibutramin HCl pada jamu pelangsing.
Hasil analisis kualitatif yang diperoleh : Dilihat dari Rf yang didapat
menunjukkan tidak terdapat kesamaan pada masing masing gerak dan menghasilkan
bercak yang bervariasi. Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm
disebabkan Karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus komofor yang
terikat oleh auksokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor merupakan
gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai
ikatan rangkap yang tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi ialah
struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada
berselang seling dengan ikatan tunggal.
Dari sepuluh sampel tersebut menggunakan tiga fase gerak berbeda hanya 1
produk jamu pelangsing yang memilik Rf sama dengan sibutramin HCl, yaitu sampel
D, sehingga dapat dikatakan sampel tersebut positif mengandung sibutramin HCl dan
untuk seberapa besar konsentrasinya akan telihat lebih jelas pada saat dilakukan
analisis kuantitatif.

Analisis Kuantitatif
Dari hasil yang diperoleh panjang gelombang maksimum yang diperoleh yaitu
266 nm dengan absorbansi 0,19. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan
untuk mengetahui ketika absorbsi mencapai maksimum sehingga meningkatkan
proses absorpsi larutan terhadap sinar. Penentuan Operating Time ditentukan dengan
mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan
yaitu 266 nm dengan konsentrasi yang dipilih yaitu 5 μg/mL dengan rentang waktu 1
– 10 menit Persamaan kurva kalibrasi merupakan sumbu x dan sumbu y dimana
sumbu x dinyatakan dengan konsentrasi yang diperoleh sedangkan sumbu y
merupakan absorbansi atau serapan yang diperoleh dari hasil pengukuran sehingga
persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi yang diperoleh adalah dengan koefisien
korelasi r = 0,9935.
Setelah mendapatkan kurva kalibrasi yang memenuhi persyaratan analisis,
selanjutnya menentukan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitas (LOQ). Batas
deteksi yang diperoleh adalah 0,0358 μg/mL artinya pada konsentrasi tersebut masih
dapat dilakukan pengukuran sampel yang memberikan hasil ketelitian suatu alat
berdasarkan tingkat akurasi individual hasil analisis, sedangkan batas kuantitas yang
diperoleh adalah 0,1193 μg/mL. artinya pada konsentrasi tersebut bila dilakukan
pengukuran masih dapat memberikan kecermatan analisis. Batas deteksi merupakan
konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi (Harmita, 2004).
Pengujian ketelitian menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji yang
diukur melalui penyebaran hasil dari ratarata secara terulang. Presisi diukur sebagai
simpangan baku berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap replikasi sampel
yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004).. Hasil absorbansi
digunakan untuk menghitung harga absorbansi dan konsentrasi rata-rata, standar
devisiasi (SD), koefisien variasi (KV) serta ketelitian alat. Dari hasil yang diperoleh
menunjukkan nilai koefisien variasi (KV) adalah 0,2737% sehingga ketelitian alat
yang diperoleh yaitu 99,7263%. Menurut Harmita (2004), nilai KV < 2%
menunjukkan bahwa metode tersebut memberikan presisi yang baik.
Pada pengujian ketepatan yang dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) analit yang ditambahkan. Akurasi hasil analisis sangat tergantung kepada
sebaran alat sistematik didalam keseluruhan analisis. Hasil uji recovery yaitu
84,798%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa metode yang digunakan memiliki
ketepatan yang baik ditunjukkan dengan nilai recovery berada pada kisaran 80 –
110% sesuai dengan yang disyaratkan. Nilai recovery menunjukkan kemampuan
metode untuk memberikan ketepatan pengukuran terhadap analit berdasarkan angka
perolehan kembali.
Pada analisis kuantitatif dilakukan pengujian pada 10 sampel walaupun pada
analisis kualitatif hanya satu sampel yang positif mengandung sibutramin HCl, hal ini
dilakukan bertujuan untuk memastikan bahwa sampel lainnya benar tidak
mengandung sibutramin HCl. Hal ini dikarenakan sensitivitas spektrofotometri Uv-
Vis lebih tinggi dibandingkan metode KLT. Parameter yang digunakan untuk
mengevaluasi adalah batas deteksi (LOD). Hasil LOD yang didapatkan adalah 0,0358.
Berdasarkan data sampel yang diperoleh kesepuluh sampel tersebut menunjukkan
konsentrasi diatas batas deteksi, sehingga dapat dikatakan bahwa kesepuluh sampel
tersebut terdeteksi mengandung sibutramin HCl. Oleh karena itu, sampel sampel
yang terdeteksi tersebut tidak memenuhi persyaratan dan berbahaya jika dikonsumsi
secara rutin karena sibutramin HCl merupakan obat keras yang salah satunya
kontraindikasi dengan penyakit kardiovaskuler.
6. Identifikasi Bahan Kimia Obat (BKO) Glibenklamid Pada Jamu Antidiabetes
Dengan Menggunakan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dan
Spektrofotodensitometri
Tujuan dari penelitian adalah mengetahui adanya kandungan glibenklamid
dalam jamu diabetes.
Untuk menjamin kebenaran dari simplisia penyusun sediaan jamu dilakukan
pemeriksaan awal dengan mengamati bentuk organoleptik simplisia penyusun.
Pemeriksaan organoleptik dilakukan menggunakan pancaindra dengan
mendeskripsikan bentuk warna, bau dan rasa. Pemeriksaan organoleptis terhadap
jamu 0001 K adalah memiliki bentuk kapsul, bau khas jamu, warna merah dan rasa
pahit dan jamu 0002 K memiliki bentuk pil, warna coklat, bau khas jamu dan rasa
pahit. Sedangkan pada jamu 0003 K memiliki bentuk kapsul, warna biru dan hijau,
bau khas jamu dan rasa pahit.
Untuk mengetahui adanya kandungan glibenklamid dalam jamu diabetes,
dilakukan pengujian kualitatif yaitu menggunakan lempeng KLT. Metode KLT
digunakan karena KLT merupakan metode yang sederhana dan cepat. KLT
digunakan secara luas untuk analisis obat .
Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa pada baku dan spike mempunyai
nilai Rf yang sama dengan nilai Rf sampel 3 jamu Wei Yi Wang Biru A,B dan Hijau
A,B.
Dari hasil penelitian ini diketahui noda sampel pembanding glibenklamid
ketika diamati di bawah sinar UV 254 nm berwarna gelap atau hitam, sedangkan
ketika diamati di bawah sinar UV 366 nm tidak berwarna karena tidak terdapat
senyawa yang berfluorosensi di sinar UV 366 nm.
Hasil yang diperoleh yaitu nilai Rf baku glibenklamid pada sampel 0003 K
dengan menggunakan dua eluen yaitu (0,16 dan 0,41), nilai Rf Spike dengan
menggunakan dua eluen yaitu (0,16 dan 0,41). Nilai Rf dari sampel 0003 K warna
biru dengan menggunakan eluen 1 dan dilakukan replikasi sebanyak dua kali berturut-
turut yaitu (0,18), (0,18) dan pada eluen 2 yang dilakukan repikasi sebanyak dua kali
berturutturut yaitu (0,41), dan (0,41). Nilai Rf dari sampel 0003 K warna hijau
dengan menggunakan eluen 1 dan dilakukan replikasi sebanyak dua kali berturut-turut
yaitu (0,18), (0,18) dan pada eluen 2 yang dilakukan repikasi sebanyak dua kali
berturut-turut yaitu (0,41), dan (0,42).
Dari hasil data tersebut dinyatakan bahwa sampel jamu yang diuji memberikan
hasil positif mengandung bahan kimia obat glibenklamid pada sampel jamu 0003 K
yang ditandai dengan munculnya bercak yang sama dengan pembandingnya, dan
memiliki nilai Rf yang hampir sama. Sementara pada sampel jamu 0001 K dan jamu
0002 K, memberi hasil negatif mengandung bahan kimia obat yang ditandai dengan
tidak adanya nilai Rf yang sama dei]kngan pembandingnya.
Untuk memperkuat hasil identifikasi KLT yang menyatakan bahwa jamu Wei
Yi Wang positif mengandung BKO glibenklamid maka perlu dipertegas/diperkuat
lagi dengan uji spektrofotodensitometri. Dari hasil tabel diatas telah memberikan
penegasan bahwa antara baku glibenklamid dan Spike mempunyai peak (puncak
gelombang) yang sama dengan peak jamu Wei Yi Wang A, B.

E. KESIMPULAN
Kesimpulan praktikum ini adalah Penggunaan jamu mengandung BKO dalam jangka
panjang dapat menimbulkan resiko efek samping yang serius, dan mengetahui metode
analisis yang digunakan yaitu Kromtografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri.
DAFTAR PUSTAKA

Fatah, M.A, 1987, Analisis Farmasi Dahulu dan Sekarang, Yogyakarta : Penerbit UGM

Kementerian Kesehatan RI, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
006 / 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, Jakarta, Kementerian
Kesehatan RI

Sari, L.O., 2006, Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan
Keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasiaan, Vol. III, No. 1, PP. 01-07, Depok :
Departemen Farmasi FMIPA UI

Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Bandung, Penerbit ITB

Anda mungkin juga menyukai