Oleh :
Nama : FADIAH AYU KURNIA SARI DEWI
Nim : P27235019069
Kelas : 4B ANAAFARMA
B. DASAR TEORI
Kecenderungan masyarakat Indonesia menggunakan obat tradisional (lebih dikenal
dengan jamu) sebagai alternatif dalam upaya pemeliharaan, peningkatan dan
penyembuhan penyakit semakin meningkat (Sari, 2006). Peningkatan ini disebabkan
adanya persepsi bahwa jamu lebih aman dari obat sintetik.
Penggunaan jamu mengandung BKO dalam jangka panjang dapat menimbulkan
resiko efek samping yang serius. Oleh karena itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia
telah melarang penambahan bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat obat
kedalam obat tradisional (Kemenkes, 2012).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan
dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga
yakni, Jamu, Obat Herbal Terstandar , dan Fitofarmaka (Zulfikar, 2014).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan satu dari banyak teknik kromatografi
yang sering digunakan untuk menganalisis bahan analgesik. Dasar pemisahan pada KLT
adalah perbedaan kecepetan migrasi diantar fasedian yang berupa padatan (alumina, silika
gel, atau selulosa) dan fase gerak yang merupakan campuran solven (eluen) yang juga
dikenal dengan istilah pelarut pengembang campur. KLT menggunakan parameter
karakteristik faktor retardasi (Rf) untuk menganalisis baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Nilai Rf merupakan parameter karakteristik suatu senyawa sehingga secara
kualitatif senyawa dapat diidentifikasi dari nilai Rf (Fatah, 1987).
Fase gerak pada KLT biasanya dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dipilih
dengan trial dan error. Sitem yang paling sederhana adalah sistem dua pelarut organik
karena daya elusi campuran dari dua pelarut ini dapat dengan mudah diatur sedemikian
rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah kriteria yang harus
dipenuhi oleh fase gerak ialah :
1. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT sangat
sensitif
2. Daya elusi fase gerak harus diatur agar harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk
pemisahan yang maksimal
3. Untuk pemisahan senyawa yang polar yang biasanya fase diamnya berupa silika
gel, maka polaritas dari fase gerak sangat menentukan kecepatan elusi atau
pengembangan yang berarti juga akan menentukan nilai Rf (Stahl, 1985).
C. REVIEW JURNAL
3 Identifikasi Parasetamol (BKO) Jamu Pegel Identifikasi KLT- 1. Metode preparasi sampel :
dan Asam Mefenamat Parasetamol Linu dan Densitometri Pembuatan larutan kurva
pada Jamu Pegel Linu dan Asam Asam Urat baku parasetamol dan
dan Asam Urat yang Mefenama Pembuatan larutan sampel
Beredar di Daerah 2. Fase gerak : klorofrom-
Istimewa Yogyakarta etanol (8:1)
3. Fase diam : Silika Gel
GF254
4. Deteksi : Pembandingan
dilakukan dengan melihat
bercak di bawah lampu
UV pada panjang
gelombang 254 nm.
Kemudian untuk analisis
kuantitatif, lempeng KLT
dimasukkan dalam alat
densimometri (Camag
TLC Scanner 4) untuk
dibaca luas area yang
ditimbulkan oleh bercak
yang mirip nilai Rf
dengan bercak
parasetamol dan asam
mefenamat standard. Luas
area yang diperoleh
digunakan untuk
menghitung kadar
parasetomol yang terdapat
dalam jamu. Perhitungan
didasarkan pada kurva
baku yang telah dibuat
sebelumnya.
5. Interpretasi hasil :
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah
dilakukan pada 14 jamu
pegel linu dan asam urat
yang beredar di Daerah
Istimewa Yogyakarta
didapatkan bahwa sampel
nomer 3 (SM), 7 (AS) dan
10 (JE) terbukti
mengandung BKO
parasetamol dengan kadar
pada masing-masing
sampel sebesar 0,04%
(b/v), 0,30% (b/v), dan
0,13% (b/v).
4 ANALISA (BKO) JAMU Identifikasi 1. Metode preparasi sampel :
KUALITATIF SILDENAFI SEHAT Kromatografi Satu dosis sampel
SILDENAFIL SITRAT L SITRAT PRIA lapis tipis (KLT) ditambahkan 50 ml air
PADA BEBERAPA demineralisata, dikocok
PRODUK JAMU selama 30 menit kemudian
SEHAT PRIA disaring. Filtrat
DENGAN METODE dimasukkan ke dalam
KROMATOGRAFI corong pisah dan di
LAPIS TIPIS DI basakan dengan NaOH
WILAYAH 0,1N hingga pH 11-12.
BANJARMASIN Selanjutnya diekstraksi
tiga kali dengan etil asetat
(25 ml). Ekstrak etil asetat
dikumpulkan dan
diuapkan untuk
menghilangkan etil
asetatnya, dan ekstrak
yang didapat dilarutkan
dengan 5 ml methanol.
Baku pembanding
(Sildenafil sitrat)
ditimbang dan dilarutkan
dalam methanol sampai
diperoleh kadar 0,1% b/v
2. Fase gerak : etil asetat :
metanol : amonia dengan
perbandingan 85:10:5
3. Fase diam : Silika Gel
GF254
4. Deteksi : Setelah kering,
plat dilihat di bawah
lampu UV 254 nm
(Camag) untuk diamati
pola kromatogram, baik
dari sampelsampel
maupun dari baku
pembanding sildenafil
sitrat. Noda (spot) dari
sampel dibandingkan
dengan noda (spot) dari
baku pembanding
(sildenafil sitrat).
5. Interpretasi hasil : Analisa
kualitatif dari 13 sampel
jamu seduh sehat pria
menggunakan metode
kromatografi lapis tipis,
menunjukkan bahwa
terdapat 5 sampel yang
mengandung bahan kimia
obat sildenafil sitrat
D. PEMBAHASAN
1. ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT DALAM JAMU PEGAL LINU YANG DI
JUAL DI SURAKARTA MENGGUNAKAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV
Analisis bahan kimia obat natrium diklofenak dan fenilbutazon pada 10 jenis
sampel jamu tradisional pegal linu beredar di kota Surakarta. Analisis kualitatif
menggunakan metode KLT dengan 3 campuran fase gerak yang berbeda. Analisis
kualitatif bertujuan untuk mengidentifikasi adanya tambahan bahan kimia obat
produk jamu pegal linu.
Analisis kualitatif natrium diklofenak dan fenilbutazon pada sediaan jamu
merupakan uji identifikasi natrium diklofenak dan fenilbutazon yang dimungkinkan
terdapat dalam sediaan obat tradisional dapat dilakukan dengan metode KLT. Sampel
dapat memisah berdasarkan komponen-komponen senyawa dengan memilih fase
gerak yang sesuai. Pemisahan agar maksimal, Rf solute harus terletak antara 0,2-0,8
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Dengan system fase gerak A (toluene : etil asetat : asam asetat glasial
60:40:1) v/v sampel 7 memiliki Rf 0,61 mendekati Rf standar natrium diklofenak dan
sampel 10 memiliki Rf sama dengan standar natrium diklofenak, dimungkinkan ada
bahan kimia obat dengan Rf 0,63. Sistem fase gerak B (toluen : aseton 1:2) v/v
sampel 7 dan 10 memiliki rf 0,75 sama dengan standar Berikutnya fase gerak C
(toluene : metanol :ammonia 20:5:1) v/v sampel 7 memiliki Rf 0,77 mendekati Rf
standar natrium diklofenak dan sampel 10 memiliki Rf 0,75 yang sama dengan
standar natrium diklofenak Dari ketiga sistem fase gerak memiliki Rf sama dengan
standar adalah sampel 7 dan 10 dimungkinkan ada bahan kimia obat natrium
diklofenak. Didapat Rf yang berbeda-beda dikarenakan kekuatan daya elusi fase
gerak yang berbeda fase gerak A memiliki kekuatan elusi 0,207, fase gerak B 0,346
dan fase gerak C 0,262.
Pada sampel dengan standar fenilbutazon menggunakan sistem fase gerak D
(Sikloheksan : kloroform : metanol 60:30:10) memiliki Rf yang dekat dengan
standarnya adalah sampel 2 dan 3 yaitu 0,74 sedangkan Rf standar fenil butazon 0,75 .
Sistem fase gerak E (etil asetat : metanol : ammonia 85:10:5) memiliki Rf yg sama
dengan standar adalah jamu 2 dan 3 yaitu 0,63 Pada sistem fase gerak F (n heksan :
etil asetat 8:2) v/v yang memiliki Rf 0,38 sama dengan standar adalah sampel 2
dan 3 diduga mengandung fenilbutazon. Dari ketiga sistem fase gerak sampel 2 dan
3 yang memiliki Rf sama dengan standar fenilbutazon dapat disimpulkan bahwa
sampel jamu 2 dan 3 dinyatakan positif mengandung bahan kimia obat fenilbutazon.
Didapat Rf yang berbeda-beda dikarenakan kekuatan daya elusi fase gerak yang
berbeda fase gerak D memiliki kekuatan elusi 0,128, fase gerak E 0,415 dan fase
gerak F 0,076.
3. Identifikasi Parasetamol dan Asam Mefenamat pada Jamu Pegel Linu dan Asam
Urat yang Beredar di Daerah Istimewa Yogyakarta
Pada penelitian ini, analisis dilakukan menggunakan metode KLT-
densitometri. dengan fase diam silika gel GF 254 dan fase gerak campuran kloroform-
etanol (8:1). Pemilihan fase diam silika gel GF 254 adalah untuk memudahkan
identifikasi, dimana pada penyinaran dengan lampu UV 254 nm fase diam akan
berfluoresen sedangkan bercak parasetamol akan meredam sehingga bercak akan jelas
terlihat. Peredaman fluoresensi fase diam karena parasetamol dan asam mefenamat
dikarenakan kedua zat tersebut mempunyai gugus kromofor dan auksokrom yang
mampu menyerap sinar UV (Tulandi, 2015; Musiam & Alfian, 2017; Rosalina, 2018).
Berdasarkan uji KLT, sampel jamu yang terbukti mengandung parasetamol
kemudian dilanjutkan uji kuantitatif mengguankan densisometri (Gandjar & Abdul
Rohman, 2007).Sementara itu fase gerak yang dipilih berdasarkan prinsip KLT like
dissolve like. Parasetamol dan asam mefenamat merupakan senyawa semipolar
sehingga bisa dielusi menggunakan fase gerak yang semi polar (Depkes RI, 1995).
Bisa dilihat bahwa sampel no 3, 7 dan 10 terdapat bercak yang mempunyai warna dan
Rf serupa dengan standar parasetamol yang digunakan. Pada sampel 1, 2, 8 dan 9
memiliki bercak yang mempunyai Rf mirip dengan bercak asam mefenamat, tetapi
warna bercak berbeda dengan warna bercak asam mefenamat, yaitu memiliki warna
kekuningan. Bisa dikatakan bahwa sistem KLT yang digunakan tidak spesifik untuk
sampel yang diteliti karena tidak bisa membedakan asam mefenamat dan senyawa
berwarna kekuningan, sehingga perlu dilakukan pemilihan sistem KLT yang sesuai
pada penelitian selanjutnya. Oleh karena itu pada penelitian ini disimpulkan bahwa
sampel jamu yang dianalisis mengandung BKO parasetamol pada sampel no 3, 7, dan
10 dan tidak ada sampel yang menganbdung BKO asam mefenamat. Standar
parasetamol dan asam mefenamat yang digunakan pada penelitian ini adalah tablet
parasetamol dan tablet asam mefenamat yang diperoleh dari Apotek yang bisa
dipastikan kebenarannya.
Berdasarkan AUC yang diperoleh dari analisis menggunakan densitometer dan
menggunakan kurva baku yang sudah disiapkan, maka konsentrasi parasetamol pada
sampel no 3, 7 dan 10 adalah sebagai berikut 0,04% (b/v), 0,3% (b/v), dan 0,13%
(b/v). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sejalan dengan peneiltian sebelumnya
bahwa paracetamol ditemukan dalam jamu pegel linu yang beredar di kota Cimahi
(Jawa Barat) dan kota Bandar (Jawa Timur) (Riyanti et al, 2013; Saputra, 2017).
Kemungkinan sampel yang diteliti adalah sama, tetapi dengan hasil penelitian ini bisa
diasumsikan bahwa penyebaran jamu pegel linu dan jamu asam urat yang
mengandung BKO menyebar di banyak daerah. Hal ini adalah masalah yang perlu
diperhatikan oleh masyarakat luas agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu.
Analisis Kuantitatif
Dari hasil yang diperoleh panjang gelombang maksimum yang diperoleh yaitu
266 nm dengan absorbansi 0,19. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan
untuk mengetahui ketika absorbsi mencapai maksimum sehingga meningkatkan
proses absorpsi larutan terhadap sinar. Penentuan Operating Time ditentukan dengan
mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan
yaitu 266 nm dengan konsentrasi yang dipilih yaitu 5 μg/mL dengan rentang waktu 1
– 10 menit Persamaan kurva kalibrasi merupakan sumbu x dan sumbu y dimana
sumbu x dinyatakan dengan konsentrasi yang diperoleh sedangkan sumbu y
merupakan absorbansi atau serapan yang diperoleh dari hasil pengukuran sehingga
persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi yang diperoleh adalah dengan koefisien
korelasi r = 0,9935.
Setelah mendapatkan kurva kalibrasi yang memenuhi persyaratan analisis,
selanjutnya menentukan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitas (LOQ). Batas
deteksi yang diperoleh adalah 0,0358 μg/mL artinya pada konsentrasi tersebut masih
dapat dilakukan pengukuran sampel yang memberikan hasil ketelitian suatu alat
berdasarkan tingkat akurasi individual hasil analisis, sedangkan batas kuantitas yang
diperoleh adalah 0,1193 μg/mL. artinya pada konsentrasi tersebut bila dilakukan
pengukuran masih dapat memberikan kecermatan analisis. Batas deteksi merupakan
konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi (Harmita, 2004).
Pengujian ketelitian menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji yang
diukur melalui penyebaran hasil dari ratarata secara terulang. Presisi diukur sebagai
simpangan baku berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap replikasi sampel
yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004).. Hasil absorbansi
digunakan untuk menghitung harga absorbansi dan konsentrasi rata-rata, standar
devisiasi (SD), koefisien variasi (KV) serta ketelitian alat. Dari hasil yang diperoleh
menunjukkan nilai koefisien variasi (KV) adalah 0,2737% sehingga ketelitian alat
yang diperoleh yaitu 99,7263%. Menurut Harmita (2004), nilai KV < 2%
menunjukkan bahwa metode tersebut memberikan presisi yang baik.
Pada pengujian ketepatan yang dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) analit yang ditambahkan. Akurasi hasil analisis sangat tergantung kepada
sebaran alat sistematik didalam keseluruhan analisis. Hasil uji recovery yaitu
84,798%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa metode yang digunakan memiliki
ketepatan yang baik ditunjukkan dengan nilai recovery berada pada kisaran 80 –
110% sesuai dengan yang disyaratkan. Nilai recovery menunjukkan kemampuan
metode untuk memberikan ketepatan pengukuran terhadap analit berdasarkan angka
perolehan kembali.
Pada analisis kuantitatif dilakukan pengujian pada 10 sampel walaupun pada
analisis kualitatif hanya satu sampel yang positif mengandung sibutramin HCl, hal ini
dilakukan bertujuan untuk memastikan bahwa sampel lainnya benar tidak
mengandung sibutramin HCl. Hal ini dikarenakan sensitivitas spektrofotometri Uv-
Vis lebih tinggi dibandingkan metode KLT. Parameter yang digunakan untuk
mengevaluasi adalah batas deteksi (LOD). Hasil LOD yang didapatkan adalah 0,0358.
Berdasarkan data sampel yang diperoleh kesepuluh sampel tersebut menunjukkan
konsentrasi diatas batas deteksi, sehingga dapat dikatakan bahwa kesepuluh sampel
tersebut terdeteksi mengandung sibutramin HCl. Oleh karena itu, sampel sampel
yang terdeteksi tersebut tidak memenuhi persyaratan dan berbahaya jika dikonsumsi
secara rutin karena sibutramin HCl merupakan obat keras yang salah satunya
kontraindikasi dengan penyakit kardiovaskuler.
6. Identifikasi Bahan Kimia Obat (BKO) Glibenklamid Pada Jamu Antidiabetes
Dengan Menggunakan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dan
Spektrofotodensitometri
Tujuan dari penelitian adalah mengetahui adanya kandungan glibenklamid
dalam jamu diabetes.
Untuk menjamin kebenaran dari simplisia penyusun sediaan jamu dilakukan
pemeriksaan awal dengan mengamati bentuk organoleptik simplisia penyusun.
Pemeriksaan organoleptik dilakukan menggunakan pancaindra dengan
mendeskripsikan bentuk warna, bau dan rasa. Pemeriksaan organoleptis terhadap
jamu 0001 K adalah memiliki bentuk kapsul, bau khas jamu, warna merah dan rasa
pahit dan jamu 0002 K memiliki bentuk pil, warna coklat, bau khas jamu dan rasa
pahit. Sedangkan pada jamu 0003 K memiliki bentuk kapsul, warna biru dan hijau,
bau khas jamu dan rasa pahit.
Untuk mengetahui adanya kandungan glibenklamid dalam jamu diabetes,
dilakukan pengujian kualitatif yaitu menggunakan lempeng KLT. Metode KLT
digunakan karena KLT merupakan metode yang sederhana dan cepat. KLT
digunakan secara luas untuk analisis obat .
Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa pada baku dan spike mempunyai
nilai Rf yang sama dengan nilai Rf sampel 3 jamu Wei Yi Wang Biru A,B dan Hijau
A,B.
Dari hasil penelitian ini diketahui noda sampel pembanding glibenklamid
ketika diamati di bawah sinar UV 254 nm berwarna gelap atau hitam, sedangkan
ketika diamati di bawah sinar UV 366 nm tidak berwarna karena tidak terdapat
senyawa yang berfluorosensi di sinar UV 366 nm.
Hasil yang diperoleh yaitu nilai Rf baku glibenklamid pada sampel 0003 K
dengan menggunakan dua eluen yaitu (0,16 dan 0,41), nilai Rf Spike dengan
menggunakan dua eluen yaitu (0,16 dan 0,41). Nilai Rf dari sampel 0003 K warna
biru dengan menggunakan eluen 1 dan dilakukan replikasi sebanyak dua kali berturut-
turut yaitu (0,18), (0,18) dan pada eluen 2 yang dilakukan repikasi sebanyak dua kali
berturutturut yaitu (0,41), dan (0,41). Nilai Rf dari sampel 0003 K warna hijau
dengan menggunakan eluen 1 dan dilakukan replikasi sebanyak dua kali berturut-turut
yaitu (0,18), (0,18) dan pada eluen 2 yang dilakukan repikasi sebanyak dua kali
berturut-turut yaitu (0,41), dan (0,42).
Dari hasil data tersebut dinyatakan bahwa sampel jamu yang diuji memberikan
hasil positif mengandung bahan kimia obat glibenklamid pada sampel jamu 0003 K
yang ditandai dengan munculnya bercak yang sama dengan pembandingnya, dan
memiliki nilai Rf yang hampir sama. Sementara pada sampel jamu 0001 K dan jamu
0002 K, memberi hasil negatif mengandung bahan kimia obat yang ditandai dengan
tidak adanya nilai Rf yang sama dei]kngan pembandingnya.
Untuk memperkuat hasil identifikasi KLT yang menyatakan bahwa jamu Wei
Yi Wang positif mengandung BKO glibenklamid maka perlu dipertegas/diperkuat
lagi dengan uji spektrofotodensitometri. Dari hasil tabel diatas telah memberikan
penegasan bahwa antara baku glibenklamid dan Spike mempunyai peak (puncak
gelombang) yang sama dengan peak jamu Wei Yi Wang A, B.
E. KESIMPULAN
Kesimpulan praktikum ini adalah Penggunaan jamu mengandung BKO dalam jangka
panjang dapat menimbulkan resiko efek samping yang serius, dan mengetahui metode
analisis yang digunakan yaitu Kromtografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri.
DAFTAR PUSTAKA
Fatah, M.A, 1987, Analisis Farmasi Dahulu dan Sekarang, Yogyakarta : Penerbit UGM
Kementerian Kesehatan RI, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
006 / 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, Jakarta, Kementerian
Kesehatan RI
Sari, L.O., 2006, Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan
Keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasiaan, Vol. III, No. 1, PP. 01-07, Depok :
Departemen Farmasi FMIPA UI
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Bandung, Penerbit ITB