Anda di halaman 1dari 36

Mata Kuliah Fisiologi Manusia

CRITICAL JURNAL REVIEW (CJR)

OLEH :

Angely Serepinawaty Br.Simanihuruk

(6203111027)

PJKR I D

Dosen Pengampu : Dr.Hariadi,M.Kes

PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN &


REKREASI

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN 2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena-Nya saya telah
di beri kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.Adapun Critical Jurnal Riview
ini tentang “Sistem Saraf’.
Critical Jurnal Review (CJR) ini saya kerjakan bermaksud untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fisiologi Manusia yang di berikan Dosen pengampu saya Bapak
Hariadi.Menjadikan penambah waw asan sekaligus menambah pemahaman
terhadap materi tersebut.Saya harap,Seoga setelah menyelesaikan tugas ini Critical
Jurnal Review ini saya lebih paham bagaimana materi dan penulisan Critical Jurnal
Review dengan baik dan benar.

Saya menyedari bahwa dalam penyusunan CJR saya ini masih sangat jauh dari
kata baik dan bagus,oleh karena itu mohon maaf dari saya,Terima kasih.

Medan, 2020

Penulis

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR.............................................................................................................i
BAB l PENDAHULUAN

1.1 LATAR

BELAKANG...............................................................................................................1

1.2
TUJUAN.....................................................................................................................2

1.3
MANFAAT..................................................................................................................3

BAB ll ISI ANALISIS JURNAL

A. JURNAL,

l......................................................................................................................4

B. JURNAL,

ll.....................................................................................................................5

C. JURNAL,

lll....................................................................................................................6

BAB lll PEMBAHASAN

2.1 KEUNGGULAN...................................................................................................9

2.2
KELEMAHAN...........................................................................................................10

BAB lV PENUTUP

3.1

KESIMPULAN...........................................................................................................11

3.2 SARAN................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Disaat kita membutuhkan sebuah referensi,yaitu jurnal sebagai sumber bacaan
kita selain buku dalam mempelajari mata kuliah fisiologi manusia,sebaiknya kita
terlebih dahulu mengkritis jurnal tersebutagar kita mengetahui jurnal mana yang
lebih relavan unutuk menjadikan sumber bacaan.

1.2 TUJUAN

1. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Fisiologi Manusia


2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meringkas,menganalisa dan
membandingkan serta memberikan kritik pada jurnal.

1.3 MANFAAT

1. Sebagai rujukan bagaimana untuk menyempurnakan sebuah jurnal dan


mencari sumber bacaan yang relavan
2. Membuat saya sebagai penulis dan mahasiswa lebih terasah dalam mengkritik
sebuah jurnal
3. Untuk menambah pengetahuan tentang Fisiologi Manusia atau sistem Imun

BAB II

ISI ANALISI JURNAL

A. JURNAL I

Nama Jurnal : Sistem Imun


Judul Jurnal : Peranan β-Karotendalam Sistem Imun untuk Mencegah Kanker

Dowload :https://scholar.google.com/scholar?
start=10&q=jurnal+fisiologi+manusia+tentang+imun&hl=id&as_sdt=0,5

Volume : Volume 4 Nomor 1

Halaman : 8 Halaman

Tahun : 2017

Penulis : federika kondororik

Review : Angely Serepinawaty Br.Simanihuruk

E.ISSN : 2406-8659

Ringkasan isi Jurnal :

β-karoten merupakan salah satu jenis karotenoid yang melimpah pada buah dan
sayuran dialam. β-karoten memiliki potensi sebagai antioksidan membuat beta-
karoten dapat berperan sebagai agen antikanker secara langsung, dan juga memiliki
potensi membantu meningkatkan sistem imun untuk membantu para pejuang
kanker. Beta(β)-karoten dapat bekerja sama dengan sistem imun sebagai faktor
kausatif untuk mencegah kanker. β-karoten dapat menjaga sistem imun dari
kerusakan yang disebabkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) sehingga sistem
imun dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal agar dapat mengenali sel-sel
abnormal dalam tubuh yang nantinya dapat menyebabkan penyakit, antara lain
kanker.

Jumlah dan jenis karotenoid di alam memang tidak sedikit, ± terdapat 700 jenis
karotenoid yang sudah ditemukan dan diisolasi, 50 jenis diantanya memililiki potensi
sebagai provitamin A, 40 jenis ditemukan dalam diet (makanan) yang dikonsumsi
oleh manusia dan 20 jenis dari 40 jenis ditemukan dalam darah dan jaringan
manusia. Sekitar 90 % dari karotenoid pada tubuh manusia adalah, β-karoten, α-
karoten, likopen dan kriptosantin. Jenis karotenoid yang menjadi prekusor vitamin A
pada manusia adalah: α-karoten, β-karoten, dan β-kriptosantin .Peto et al.,
menyatakan bahwa β-karoten mungkin dapat menjadi agen antikanker utama yang
terdapat dalam buah dan sayuran ,jika kita mengkonsumsi makanan yang memiliki
kandungan β-karoten yang tinggi, maka akan berdampak pada rendahnya kasus
kanker, terutama kanker paru-paru. Hal ini mungkin berkaitan dengan mekanisme
kemoprevansi yang dapat menigkatkan respon sistem imun . Penyebab
meningkatnya sistem respon sistem imun, mungkin dikarenakan oleh status vitamin
A dari provitamin A karotenoid, atau kapasitas singlet oksigen dan antioksidan
karotenoid tersebut. Dimana vitamin A sendiri merupakan agen dalam meningkatkan
kerja sistem imun [5]. Namun yang nantinya dalam penelitian skala populasi yang
dilakukan oleh ATBC (Alpha-Tocopherol, Beta-carotene Cancer Prevention dan
CARET (Carotene and Retinol Efficacy Trial, menunjukkan hasil yang berbeda,
konsumsi β-karoten pada penderita kanker paru-paru yang merupakan perokok
mengalami peningkatan kasus kanker paru-paru. Sebagai prekusor vitamin A, β-
karoten memiliki peranan penting dalam penglihatan, pertumbuhan, reproduksi dan
imunitas, selain itu juga memiliki kapasitas antioksidan yang baik. Karena kapasitas
antioksidan dari β-karoten dan karotenoid jenis lain sehingga dapat bermanfaat
sebagai agen kemopreventif. β-karoten sangat penting dalam diet manusia, karena
jika level β-karoten dalam jaringan rendah hal ini dapat menyebabkan beberapa
jenis kanker. Studi epidemologi menunjukkan bahwa hubungan antara
mengkonsumsi makanan yang kaya akan karotenoid dapat mengurangi beberapa
jenis kanker.

Beta-karoten pada manusia

Beta-karoten dan karotenoid jenis lainnya yang terkandung didalam makanan yang
kita konsumsi merupakan karotenoid dalam bentuk yang kompleks dengan protein
dan kristal karotenoid oleh sebab itu diperlukan proses pengolahan.
Prosespengolahan bertujuan untuk meningkatkan bioaviabilitas karotenoid sebagai
satu bagian proses pencernaan makanan yang menyediakan nutrisi tertentu yang
akan digunakan dalam fungsi fisiologis tubuh . Proses pencernaan dan penyerapan
karotenoid yang terjadi didalam tubuh dimulai, sejak makanan yang dikonsumsi
(karotenoid), melalui proses pengunyahan, selanjutnya proses pembentukan misel,
kemudian hasil dari pembentukan misel diangkut ke enterocyt, chlomicron, lalu
diangkut ke organ hati, kemudian dari organ hati akan didistribusikan ke jaringan dan
dikonversi sesuai fungsi, atau selanjtkan akan disimpan/disekresi dan
dieksresi/dikeluarkan.β-karoten merupakan golongan tetraterpenoid yang tersusun
atas 40 atom karbon dengan rumus C40H56. β-karoten terdiri atas sebelas ikatan
konjugasi dengan dua cincin β-ionin pada awal dan akhir rantai konjugasi. Karena
memiliki dua cincin β-ionin sehingga pada proses menjadi vitamin A diperoleh dua
molekul vitamin A, hal ini menyebabkan β-karoten menjadi alternatif sumber vitamin
A yang lebih baik jika di bandingkan dengan, α-karoten dan kriptosantin yang hanya
menghasilkan satu molekul vitamin A. Spektrum maksimal β-karoten pada panjang
gelombang 400-500 nm dengan puncak utama sekitar 450 nm. Enzim oksigenase
merupakan jenis enzim pengkatalisis yang mengkatalisis β-karoten simetris dan
asimetris. Enzim BCO1 akan memotong secara simentris pada ikatan rangkap
15.15’ pada rantai poliena dengan menghasilkan dua molekul retinal. Sedangkan
enzim BCO2 akan memotong secara asimetris pada ikatan rangkap 9.10’ yang akan
menghasilkan satu molekul β-10’-apokarotenal dan satu molekul β-ionin, yang
nantinya β-10’-apokarotenal akan disintesis lagi oleh enzim menjadi retinal [1Proses
penyerapan β-karoten dan karotenoid lainnya pada sayuran 5-30 % jika
dibandingkan dengan suplemen sintetik, hal ini disebabkan karena matriks serat dan
protein terlebih dahulu harus dipecah dengan proses pengunyahan, asam lambung,
asam pankreas dan asam empedu Karotenoid yang sudah dikonsumsi kemudian
akan masuk ke dalam sistem peredaran darah dan akan didistribusikan ke seluruh
tubuh. Ada 6 jenis karotenoid yang umumnya dijumpai dalam darah yaitu: α-
karotenoid, β-karoten, likopen, lutein, zeasantin dan β-kriptosantin. Karotenoid ini
memiliki fungsi yang berbeda-beda, misalnya α, β-karoten dan β-kriptosantin
dikonversi menjadi vitamin A, lutein dan zeaxantin akan didistribusikan ke retina
sebagai pigmen yang berperan untuk kesehatan mata. Selain itu juga karotenoid di
transfer ke bagian kulit dan berperan sebagai agen anti penuaan dini.

Mekanisme β-karoten dalam mencegah kanker berhubungan dengan potensinya


sebagai antioksidan, dimana antioksidan ini dapat meredam kerusakan yang
disebabkan oleh ROS dan provitamin A yang dapat meningkatkan imunitas tubuh.
Jenis radikal bebas yang mengandung oksigen secara umum dikenal dengan ROS.
ROS dapat menyebabkan peroksidasi fosfolipid pada membran sel, kerusakan DNA
dan protein. Kerusakan ini dapat mengiduksi terjadinya kerusakan sel dan jaringan
pada tubuh. Jika produksi ROS dalam jumlah yang dapat ditoleransi oleh tubuh,
maka ROS dapat berperan dalam signal sel, termasuk apoptosis, ekspresi gen, dan
aktivasi signal sel. Hal ini dapat dikatakan bahwa ROS dapat melayani sebagai
pembawa pesan baik intra maupun inter seluler. Tetapi jika produksi ROS melebihi
batas normal dapat membunuh atau menghentikan respon sel imun dan dapat
menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, penuaan dan inflamis.

Interaksi antara Sistem Imun dan Kanker

Paul Ehlirch 1909 merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan istilah


“immunosurveillance”. Dimana immunosurveillance ini menyatakan bahwa fungsi
kekebalan fisiologis tubuh adalah untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel
tubuh yang mengalami perubahan/abnormal. Paul menyatakan imunitas yang
melawan kanker dimediasi oleh ‘celluler force’. Ide Paul, kemudian ditambahkan
oleh Thomas Lewis dan Sir Macfarlone Burnet yang mengusulkan bahwa imunologi
dapat mengenali sel yang mengalami perubahan merupakan hipotesa awal pada
bagian yang memperkenalkan sistem imun dalam pengawasan homeostatis, yang
menjaga tubuh dari sel-sel ganas tersebut Bukti-bukti telah tekumpul sejak
pertengahan abad terakhir, pada tingkat laboratorium baik pada hewan uji maupu
pasien kanker, bahwa sistem imun dapat mengenali dan menolak tumor. Studi
tentang kanker dan interaksinya dengan sistem imun mengungkapkan bahwa
efektor sistem imun baik innate maupun adaptive termasuk dalam mekanisme
partisipan dalam mengontrol dan mengenali sel tumor.Sel efektor utama dari sistem
imun yang secara langsung menargetkan sel kanker adalah natural killer (NK), sel
denditis (DC), makrofag, leukosit polimorfonuklear (neutrofil, eusinofil dan basofil),
sel mast, sitotoksin T limfosit. Sel NK, DC, leukosit polimorfonuklear, sel mast, dan
makrofag merupakan efektor baris pertama untuk menghancurkan sel dan sel
kanker. Sel T natural killer (NKT) dan sel γδ T dapat memainkan peran baik sebagai
sistem imun innate(alamiah)dan adaptif, melalui interaksi yang sangat dekat sel dari
sistem imun adaptif, seperti CD4 dan CD8 limfosit T dengan efek sitotoksik dan
memori. Yang terpenting dari sistem imun innatemenghambat perkembangan sel
kanker menjadi perhatian, yang diikuti dengan interaksi langsung antara kanker dan
sel efektor sistem imun innate.

B. JURNAL II

Nama : Sistem Imun Tubuh

Nama Jurnal : Perancangan Multimedia Interaktif Sistem Imun Tubuh Pada Manusia

Dowload : http://jim.unindra.ac.id/index.php/vhdkv/article/view/898

Volume : Volume 2 Nomor 3

Halaman : 144-149

Tahun : 2020

Penulis : Sopyan Hidayat

Review : Angely Serepinawaty Br.Simanihuruk

E.ISSN : 2623-0305

Ringkasan isi Jurnal

Tubuh manusia diciptakan dengan segala kelebihan yang dimilikinya, salah satunya
dinamakan sistem imun tubuh Ada banyak hal yang perlu diketahui dari sistem imun
tubuh ini. Multimedia interaktif adalah salah satu media yang dapat digunakan dalam
penyebaran informasi. Multimedia interaktif menggabungkan antara visual, audio,
dan interaktif audiens dalam suatu media. Tulisan ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan cara mendeskripsikan, menginterprestasikan dan
menerangkan makna sistem imun tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk
mempermudah orang memahami cara kerja sistem imun tubuh dan mengetahui
bagaimana cara membuat sistem pembelajaran yang interaktif pada suatu media.
Dapat kita ketahui bahwa setiap ilmu kesehatan memiliki kesulitan tersendiri dalam
penyampaiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, multimedia interaktif sangat
efektif dalam fungsi tersendiri, di antaranya fungsi pendidikan (edukasi) dan fungsi
hiburan (rekreasi) membuat pembelajaran menjadi lebih interaktif.

Tubuh manusia diciptakan dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Lingkungan


tempat tinggal, di mana pun itu, kerap dihinggapi virus dan bakteri. Namun, tubuh
memilki sebuah mekanisme pertahaan untuk menghalau atau menangkal bakteri
dan virus itu masuk ke dalam tubuh. Ini dinamakan dengan sistem imun tubuh.
Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit
penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar
dari penyakit (Irianto, 2012). Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua
struktur dan proses yang menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit
penyakit dan dapat di kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan
(innate) yang bersifat non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik.

Metode penelitian adalah sebuah proses kegiatan mencari kebenaran terhadap


suatu fenomena ataupun fakta yang terjadi dengan cara yang terstruktur dan
sistematis. Metode yang peneliti gunakan untuk mengumpulkan data dengan
menggunakan metode kualitatif, dengan berbasis data sekunder dan primer, di
mana peneliti mengumpulkan data berupa informasi yang terkait dengan objek yang
peneliti pilih. Definisi penelitian kualitatif dapat ditemukan pada banyak literatur.
Metode kualitatif membantu ketersediaan deskripsi yang kaya atas fenomena.
Kualitatif mendorong pemahaman atas substansi dari suatu peristiwa. Bogdan dan
Taylor (1975) (dalam Moleong, 2007: 4) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Metode
penelitian yang dipilih untuk memperoleh data, informasi, mengolah dan
menganalisis sekaligus untuk penyusunan penelitian dengan langkah-langkah,
seperti studi pustaka dengan demikian dalam penelitian kualitatif, peneliti perlu
membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai terkait permasalahan yang
akan ditelitinya.

Dalam pembahasan ini, peneliti ingin menjelaskan tentang peranan sistem imun
tubuh pada manusia. Setiap manusia memiliki sistem imun untuk menjaganya dari
virus dan bakteri yang ada di sekitar, baik di udara ataupun yang menempel pada
benda-benda yang ada di keseharian kita. Sistem imun adalah sistem yang
membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit dengan menolak
berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar dari penyakit (Irianto,
2012). Sistem imun tubuh memilki dua mekanisme pertahanan dalam menjaga
tubuh, yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun non-spesifik. Menurut Fox (2008),
sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang menyediakan pertahanan
tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di kelompokkan menjadi dua kategori
yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang bersifat non-spesifik dan sistem imun
adaptif yang bersifat spesifik.

C. JURNAL III

Nama : Sistem Imun Manusia

Nama Jurnal : Learning and Memory... and the Immune System


Dowload : ERIC - EJ1020966 - Learning and Memory... and the Immune System,
Learning & Memory, 2013-Oct (ed.gov)

Volume : volume 20 Nomor 10

Halaman : 7 Halaman

Tahun : 2013

Penulis : Marin, Ioana; Kipnis, Jonathan

Review : Angely Serepinawaty Br.Simanihuruk

E.ISSN : 1072-0502

Ringkasan Isi Jurnal

The nervous system and the immune system are two main regulators of
homeostasis in the body. Communication between them ensures normal functioning
of the organism. Immune cells and molecules are required for sculpting the circuitry
and determining the activity of the nervous system. Within the parenchyma of the
central nervous system (CNS), microglia constantly monitor synapses and
participate in their pruning during development and possibly also throughout life.
Classical inflammatory cytokines, such as interleukin (IL)-1b and tumor necrosis
factor (TNF), are released during neuronal activity and play a crucial role in
regulating the strength of synaptic transmission. Systemically, proper functioning of
the immune system is critical for maintaining normal nervous system function.
Disruption of the immune system functioning leads to impairments in cognition and in
neurogenesis. In this review we provide examples of the communication between the
nervous and the immune systems in the interest of normal CNS development and
function.

The nervous system is universally perceived as the command center of the body.
Sensory organs and peripheral nerve fibers monitor the external environment, while
chemical changes in the internal environment are monitored by their receptors in the
brain. The nervous system can therefore be viewed as the master regulator of
homeostasis. In this role, however, it does not act alone. The immune system,
through its tissue-resident and patrolling immune cells, also operates constantly to
monitor the internal environment and maintain overall balance in the body. Immune
cells respond not only to infection, but also to tissue damage and stress, and in
addition they clear cellular debris that results from physiological cell death.

When considering brain/immune interactions, one must recognize that the microglia,
although a type of immune cell, are a constitutive part of the nervous system
(Ransohoff and Cardona 2010). Microglia originate from primordial macrophages in
the yolk sac, which in mice migrate out around E7.5 and invade the neural tube on
E10.5 (Ginhoux et al. 2010; Hooper et al. 2012), before the BBB is formed. Microglia
serve important functions during embryonic development—not only in clearing the
apoptotic debris resulting from the intensive cell turnover, but also in promoting
neuronal apoptosis (Marin-Teva et al. 2004; Sierra et al. 2010; Wang et al. 2012). A
more subtle yet equally important function of the microglia in shaping neuronal
circuitry is the pruning of synaptic spines. Microglia engulf presynaptic termini,
contributing to the adult cortical architecture (Paolicelli et al. 2011; Schafer et al.
2012). This synaptic pruning is dependent on components of the complement
system, which is one of the immune system’s activating pathways. Synaptic pruning
by microglia was first demonstrated in the developing lateral geniculate nucleus
(LGN) (Stevens et al. 2007). Barres, Stevens, and colleagues (Stevens et al. 2007)
showed that the entire classical complement cascade is up-regulated when ocular
input segregation occurs during early postnatal development. Neuronal-derived C1q
activates a signaling cascade that ultimately culminates in activation of the C3R
complement receptor on microglia, and these cells then preferentially engulf inactive
synapses (Schafer et al. 2012). Genetic deletion of any of the components of this
complement cascade leads to deficits in ocular dominance territories in the LGN.

BAB III

PEMBAHASAN

JURNAL I

Keunggulan : Kita dapat Peranan β-Karotendalam Sistem Imun untuk Mencegah


Kanker
Kelemahan : Metode ini masih sulit untuk di pahami oleh orang-orang karena
kurang nya terkenal peranan metode tersebut

JURNAL II

Keunggulan : mempermudah orang memahami cara kerja sistem imun tubuh dan
mengetahui bagaimana cara membuat sistem pembelajaran yang interaktif pada
suatu media.

Kelemahan : Media mempelajaran ini sistem imun bawaan (innate) yang bersifat
non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik.

JURNAL III

Keunggulan : When considering brain/immune interactions, one must recognize that


the microglia, although a type of immune cell, are a constitutive part of the nervous
system (Ransohoff and Cardona 2010). Microglia originate from primordial
macrophages in the yolk sac, which in mice migrate out around E7.5 and invade the
neural tube on E10.5 (Ginhoux et al. 2010; Hooper et al. 2012), before the BBB is
formed.

Kelemahan : Microglia serve important functions during embryonic development—


not only in clearing the apoptotic debris resulting from the intensive cell turnover, but
also in promoting neuronal apoptosis (Marin-Teva et al. 2004; Sierra et al. 2010;
Wang et al. 2012). A more subtle yet equally important function of the microglia in
shaping neuronal circuitry is the pruning of synaptic spines. Microglia engulf
presynaptic termini, contributing to the adult cortical architecture (Paolicelli et al.
2011;

BAB IV

PENUTUPAN

JURNAL I

Kesimpulan :Sangat bergantung dari komunikasi sel, β-karoten sendiri berperan


dalam menjaga sistem kerja sel imun dan juga meningkatkan sel-sel imun misalnya
(CD4+, CD8+ dan natural killer) yang nantinya dapat membantu tubuh
mengeliminasi sel-sel abnormal dalam tubuh yang dapat menyebabkan
Kesimpulan : Setiap jenis karotenoid memiliki manfaat bagi kesehatan manusia, β-
karoten merupakan salah satu diantaranya. Memiliki potensi antioksidan, dapat
menjadi prekusor vitamin A yang sangat baik dan juga dapat meningkatkan sistem
imun untuk mencegah penyakit kanker dan juga membantu pasien dalam
menguatkan (resisten) tubuh pasien. Sistem kerja sel imun kanker.

JURNAL II

Kesimpulan : Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu ilmu


pengetahuan, terutama dalam bidang kesehatan atau kedokteran agar bisa
berkembang dengan infomasi tentang Sistem Imun Tubuh Pada Manusia.
Terkadang, orang awam tidak tahu cara kerja dari mekanisme pertahanan tubuh
manusia. Dengan adanya media tentang sistem imun tubuh ini diharapkan semua
orang bisa belajar tentang sistem imun tubuh pada manusia, baik golongan dokter
atau pun tidak. Penggunaan multimedia interaktif yang tidak hanya menggunakan
tulisan, namun juga gambar dan suara, membuat informasi dapat diterima oleh,
multimedia interaktif ini memungkinkan pengguna untuk berinteraksi langsung
dengan media.terlebi semua kalangan.

JURNAL III

Kesimpulan : Concluding remarks This review presents evidence for the numerous
points of communication between the nervous and the immune systems, and
focuses on the consequent implication that a normal functioning immune system is
critical in supporting cognitive function. The relationship between these systems,
however, is a mutual one. All of the body’s immune organs are innervated to some
degree, and unimpaired neurotransmission is essential for both initiation and
termination of immune responses. For example, sympathetic innervation of the bone
marrow is required for recruitment of immune cells from the hematopoietic reservoir
during infection (Katayama et al. 1990; Spiegel et al. 2007; von Bernhardi et al.
2010). On the other hand, neuronal control through the vagus nerve serves to
suppress inflammation in response to endotoxin (Borovikova et al. 2000; Steinman
2004; Pavlov and Tracey 2012). Therefore even when it appears that the nervous
system is merely a victim of a flared immune system, the two systems maintain a
constant dialogue in the attempt to restore homeostasis. Although numerous studies
now support connections between the nervous and immune systems in models of
infection and injury (Steinman 2004; Aaltonen et al. 2005; Yirmiya and Goshen 2011;
Benach et al. 2012), large gaps remain with regard to how the two systems interact
under normal homeostatic conditions. Most of the evidence for immune support in
learning comes from whole-body knockout of certain molecules, making it difficult to
distinguish cell-specific or developmental effects. Moreover, more research needs to
be devoted to maintenance of the physiological concentrations of tested molecules
so that conclusions can be drawn about phenomena in vivo. It often happens that the
changes occurring in the body during development or learning are so subtle, and the
condition.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL I

Carrillo-Lopez, A., Yahia, E. M., and Ramirez-Padilla, G. K., 2010, Bioconversion of

carotenoids in five fruits and vegetables to vitamin A measured by retinol


accumulation in

rat livers. American Journal of Agricult and Bio Sci., 5 (2): 215-221.
Irwandi, J., Noviendri, D., Hasrini, R., and Octavianti, F., 2011, Carotenoids,
Sources,

Medicinal Properties and their application in food and nutraceutical Industry. Journal
of

Medicinal Plants Research., 7119-7131.

Peto, R., Doll, R., and Buckley, J. D., Sporn, M.B., 1981, Can dietary β-carotene
materially

reduce humancancer rates? Nature., 290: 201–208.

Bendich, A., 1989, Carotenoids and immune response.Journal of Nutr., 119:112-115.

Bendich, A., 1991, Beta-carotene and the immune response.Proceedings of the Nutr
Soc.,

263-274

The ATBC Study Group. 1994. The Effect of Vitamin E and Beta Carotene On The

Incidence of Lung Cancer and Other Cancers in Male Smokers. TheNew England
Journal

of Medicine, 330: 1029-1035.

Paolini, M., Abdel-Rahman, S.Z., Sapone, A., Pedulli, G.F., Perocco, P., Cantelli-
Forti,

G., Legator, M.S, 2003, Beta-carotene: A cancer chemopreventive agent or a


cocarcinogen?. Mutat Research., 543, 195–200.

Kesavan, K., Ratliff, J., Johnson, E.W., Dahlberg, W., Asara, J.M., Misra, P.,
Frangioni,

J.V., Jacoby, D.B., 2010, Annexin A2 is a molecular target for TM601, a peptide with

tumor-targeting and antiangiogenic effects. Journal Bio Chem., 285, 4366–4374

Hughes, D. A., 1999, Effects of carotenoids on human immune function. The


Proceedings

of the Nutrition Society., 58 (3): 713-8.

10. Patrick, L., 2000. Beta-carotene: the controversy continues. Alternative Medicine
Review.,5

(6): 530-454.
11. Lee, M. C., Boileau, C. A., Boileau, M. W. T., Williams, W. A., Smanson, S. K.,
Heintz,

A. K., Jhon, W., and Erdman, Jr., 1999, Review of animal model in carotenoid

research.Journal of Nutr., 129: 2271-2277.

12. Tuririday, H., and Karwur, F., 2008, Metabolismekarotenoidpadaselhewan:

bioavailabilitas, absorbsi, danbiokonversi. ProsidingSeminar NasionalPigment., pp.


431-

443.

13. Gross, J., 1991, Pigments in vegetables.Chlorophylls and Carotenoids. New


York: Van

Nostrand Reinhold.

14. Tang , G., and Russell, R., 2009, Carotenoids as a provitamin A. G. Britton, J.
Liaaen, & H.

Pfander, Carotenoids .Germany: BirkhauserVerlag Basel. pp. 127-140.

15. Wyss, A., 2004, Caroteneoxygenases: a new family of double bond cleavage
enzymes. The

Journal of Nutr., 134(1): 246 – 250.

16. Castenmiller, J., and West, C., 1998, Bioavailability and bioconversion of

carotenoids.Annual review of nutr.,18(1):19 - 38.

17. Khachik, F., Carvalho, L., Bernstein, P. S., Muir, G. J., Zhao, D., and Katz, N. B.,
2002,

Chemistry, distribution, and metabolism of tomato carotenoids and their impact on


human

JURNAL II

Abbas, A. K., & Lichtman, A. H. (2007). Cellular and molecular immunology. 6th ed.
WB

Saunders Company Saunders, Philadelphia.

Azhar, A. (2011). Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

ChunFeng, W. (2018). Interaction between gut microbiota and the immune system.
Journal of
Jilin Agricultural University, 40(4), 475–479.

Daryanto. (2011). Media pembelajaran. Bandung: PT Sarana Tutorial Nurani


Sejahtera.

Fox, S.I. (2008). Human physiology tenth edition. New York: McGraw-Hill.

Ganong, W.F. (2003). Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Irianto, K. (2012). Anatomi dan fisiologi. Bandung: Alfabeta.

Irianto, K. (2012). Mikrobiologi. Bandung: CV. Yrama Widya.

Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya

Offset

Rahma, N. M. (2015). Strategi peningkatan minat baca anak (Studi pada ruang baca
anak

perpustakaan umum dan arsip daerah Kota Malang). Jurnal Administrasi Publik

Mahasiswa Universitas Brawijaya, 3(5), 763–769.

Sherwood, L (2010). Introduction to human physiology. Eight Edition.

JURNAL III

Aaltonen R, Heikkinen T, Hakala K, Laine K, Alanen A. 2005. Transfer of

proinflammatory cytokines across term placenta. Obstet Gynecol 106:

802 –807.

Aarum J, Sandberg K, Haeberlein SL, Persson MA. 2003. Migration and

differentiation of neural precursor cells can be directed by microglia.

Proc Natl Acad Sci 100: 15983 –15988.

Avital A, Goshen I, Kamsler A, Segal M, Iverfeldt K, Richter-Levin G,

Yirmiya R. 2003. Impaired interleukin-1 signaling is associated with

deficits in hippocampal memory processes and neural plasticity.

Hippocampus 13: 826 –834.

Bailey MT, Dowd SE, Galley JD, Hufnagle AR, Allen RG, Lyte M. 2011.
Exposure to a social stressor alters the structure of the intestinal

microbiota: Implications for stressor-induced immunomodulation.

Brain Behav Immun 25: 397 –407.

Baruch K, Schwartz M. 2013. CNS-specific T cells shape brain function via

the choroid plexus. Brain Behav Immun doi: 10.1016/j.bbi.2013.04.002.

Baruch K, Ron-Harel N, Gal H, Deczkowska A, Shifrut E, Ndifon W,

Mirlas-Neisberg N, Cardon M, Vaknin I, Cahalon L, et al. 2013.

CNS-specific immunity at the choroid plexus shifts toward

destructive Th2 inflammation in brain aging. Proc Natl Acad Sci

110: 2264 –2269.

Beattie EC, Stellwagen D, Morishita W, Bresnahan JC, Ha BK, Von

Zastrow M, Beattie MS, Malenka RC. 2002. Control of synaptic strength

by glial TNFa. Science 295: 2282 –2285.

Belmaker R, Agam G. 2008. Major depressive disorder. N Engl J Med 358:

55 –68.

Ben Menachem-Zidon O, Avital A, Ben-Menahem Y, Goshen I, Kreisel T,

Shmueli EM, Segal M, Ben Hur T, Yirmiya R. 2011. Astrocytes support

hippocampal-dependent memory and long-term potentiation via

interleukin-1 signaling. Brain Behav Immun 25: 1008 –1016.

Benach J, Li E, McGovern M. 2012. A microbial association with autism.

mBio 3: doi: 10.1128/mBio.00019-12.

JURNAL IV

https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jmtp/article/view/13450

JURNAL V

https://borang.umy.ac.id/index.php/mm/article/view/1704

JURNAL VI

http://journals.ums.ac.id/index.php/BIK/article/viewFile/3757/2424
JURNAL VII

https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jmtp/article/view/13450

LAMPIRAN

JURNAL I

Jurnal Biologi & Pembelajarannya, Vol.4, No.1, April 2017, pp. 1-8 e-ISSN: 2406 –
8659  1 Diterima tanggal 30 Januari, Direvisi tanggal 22 Februari, Disetujui tanggal
2 Maret 2017 Peranan β-karotendalam Sistem Imun untuk Mencegah Kanker
Federika Kondororik1 , Martanto Martosupono1 , AB Susanto2 ¹Program
Pascasarjana Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana 2 Program
Pascasarjana Oseanografi Universitas Diponegoro Email:
federikakondororik@gmail.com Abstrak β-karoten merupakan salah satu jenis
karotenoid yang melimpah pada buah dan sayuran dialam. β-karoten memiliki
potensi sebagai antioksidan membuat beta-karoten dapat berperan sebagai agen
antikanker secara langsung, dan juga memiliki potensi membantu meningkatkan
sistem imun untuk membantu para pejuang kanker. Beta(β)-karoten dapat bekerja
sama dengan sistem imun sebagai faktor kausatif untuk mencegah kanker. β-
karoten dapat menjaga sistem imun dari kerusakan yang disebabkan oleh ROS
(Reactive Oxygen Species) sehingga sistem imun dapat menjalankan tugasnya
dengan maksimal agar dapat mengenali sel-sel abnormal dalam tubuh yang
nantinya dapat menyebabkan penyakit, antara lain kanker. Kata Kunci : Beta-
karoten, Sistem Imun, Kanker, Antioksidan, Antikanker Pendahuluan Jumlah dan
jenis karotenoid di alam memang tidak sedikit, ± terdapat 700 jenis karotenoid yang
sudah ditemukan dan diisolasi, 50 jenis diantanya memililiki potensi sebagai
provitamin A, 40 jenis ditemukan dalam diet (makanan) yang dikonsumsi oleh
manusia dan 20 jenis dari 40 jenis ditemukan dalam darah dan jaringan manusia.
Sekitar 90 % dari karotenoid pada tubuh manusia adalah, β-karoten, α-karoten,
likopen dan kriptosantin. Jenis karotenoid yang menjadi prekusor vitamin A pada
manusia adalah: α-karoten, β-karoten, dan β-kriptosantin [1,2]. Peto et al.,
menyatakan bahwa β-karoten mungkin dapat menjadi agen antikanker utama yang
terdapat dalam buah dan sayuran [3], jika kita mengkonsumsi makanan yang
memiliki kandungan β-karoten yang tinggi, maka akan berdampak pada rendahnya
kasus kanker, terutama kanker paru-paru. Hal ini mungkin berkaitan dengan
mekanisme kemoprevansi yang dapat menigkatkan respon sistem imun [4].
Penyebab meningkatnya sistem respon sistem imun, mungkin dikarenakan oleh
status vitamin A dari provitamin A karotenoid, atau kapasitas singlet oksigen dan
antioksidan karotenoid tersebut. Dimana vitamin A sendiri merupakan agen dalam
meningkatkan kerja sistem imun [5]. Namun yang nantinya dalam penelitian skala
populasi yang dilakukan oleh ATBC (Alpha-Tocopherol, Beta-carotene Cancer
Prevention dan CARET (Carotene and Retinol Efficacy Trial, menunjukkan hasil
yang berbeda, konsumsi β-karoten pada penderita kanker paru-paru yang
merupakan perokok mengalami peningkatan kasus kanker paru-paru [6]. Sebagai
prekusor vitamin A, β-karoten memiliki peranan penting dalam penglihatan,
pertumbuhan, reproduksi dan imunitas, selain itu juga memiliki kapasitas antioksidan
yang baik. Karena kapasitas antioksidan dari β-karoten dan karotenoid jenis lain
sehingga dapat bermanfaat sebagai agen kemopreventif. β-karoten sangat penting
dalam diet manusia, karena jika level βkaroten dalam jaringan rendah hal ini dapat
menyebabkan beberapa jenis kanker [7,8]. Studi epidemologi menunjukkan bahwa
hubungan antara mengkonsumsi makanan yang kaya akan karotenoid dapat
mengurangi beberapa jenis kanker. Βeta-karoten menjadi salah satu jenis karotenoid
yang dapat mencegah kanker, dan hal ini didukung dengan beberapa penelitian 
ISSN: 1978-1520 JBPVol. 4, No. 1, April 2017 : 1-8 2 in vitro. Sistem imun
memainkan peran utama dalam pencegahan kanker, beta-karoten disarankan dapat
membantu meningkatkan fungsi kerja sel imun tubuh [9]. Berdasarkan uraian diatas,
maka dalam review ini akan dibahas mengenai, β-karoten pada manusia, β-karoten
dalam sistem imun, interaksi antara sistem imun dan kanker, dan penelitian tentang
β-karoten dan efeknya pada peningkatan sel-sel sistem imun. Beta-karoten pada
manusia Beta-karoten dan karotenoid jenis lainnya yang terkandung didalam
makanan yang kita konsumsi merupakan karotenoid dalam bentuk yang kompleks
dengan protein dan kristal karotenoid oleh sebab itu diperlukan proses pengolahan.
Prosespengolahan bertujuan untuk meningkatkan bioaviabilitas karotenoid sebagai
satu bagian proses pencernaan makanan yang menyediakan nutrisi tertentu yang
akan digunakan dalam fungsi fisiologis tubuh [10]. Proses pencernaan dan
penyerapan karotenoid yang terjadi didalam tubuh dimulai, sejak makanan yang
dikonsumsi (karotenoid), melalui proses pengunyahan, selanjutnya proses
pembentukan misel, kemudian hasil dari pembentukan misel diangkut ke enterocyt,
chlomicron, lalu diangkut ke organ hati, kemudian dari organ hati akan
didistribusikan ke jaringan dan dikonversi sesuai fungsi, atau selanjtkan akan
disimpan/disekresi dan dieksresi/dikeluarkan [11] Gambar 1 : skema pencernaan
dan penyerapan karotenoid dalam tubuh [11,12] β-karoten merupakan golongan
tetraterpenoid yang tersusun atas 40 atom karbon dengan rumus C40H56. β-karoten
terdiri atas sebelas ikatan konjugasi dengan dua cincin β-ionin pada awal dan akhir
rantai konjugasi. Karena memiliki dua cincin β-ionin sehingga pada proses konversi
menjadi vitamin A diperoleh dua molekul vitamin A, hal ini menyebabkan β-karoten
menjadi alternatif sumber vitamin A yang lebih baik jika di bandingkan dengan, α-
karoten dan kriptosantin yang hanya menghasilkan satu molekul vitamin A.
Spektrum maksimal β-karoten pada panjang gelombang 400-500 nm dengan puncak
utama sekitar 450 nm [13] Gambar1 :Stuktur Kimia β-karoten Beta-karoten sendiri
dikenal sebagai salah satu jenis karotenoid yang dapat berperan sebagai provitamin
A yang sangat potensial selain α-karoten dan kriptosantin. Terdapat dua cara untuk
membelah satu molekul β-karoten menjadi retinol (vitamin A). Pembelahan central
(pusat/simetris) dan pembelahan eccentric (asimetris) dapat dilihat pada gambar 2:
IJCCS ISSN: 1978-1520  Peranan β-karotendalam Sistem Imun untuk Mencegah
Kanker (Federika Kondororik) 3 Gambar 2 : Biosintesis satu molekul β-karoten
menjadi menjadi (1. Retinol), (2. Retinal), dan (3. Asam retinoid). Proses biosintesis
ini dilakukan oleh dua jenis enzim oksigenase yaitu βkaroten 15,15’(BCO1) dan β-
karoten 9, 10-oksigenase (BCO2) [14] Enzim oksigenase merupakan jenis enzim
pengkatalisis yang mengkatalisis β-karoten secara simetris dan asimetris. Enzim
BCO1 akan memotong secara simentris pada ikatan rangkap 15.15’ pada rantai
poliena dengan menghasilkan dua molekul retinal. Sedangkan enzim BCO2 akan
memotong secara asimetris pada ikatan rangkap 9.10’ yang akan menghasilkan satu
molekul β-10’-apokarotenal dan satu molekul β-ionin, yang nantinya β-10’-
apokarotenal akan disintesis lagi oleh enzim menjadi retinal [15] Proses penyerapan
β-karoten dan karotenoid lainnya pada sayuran 5-30 % jika dibandingkan dengan
suplemen sintetik, hal ini disebabkan karena matriks serat dan protein terlebih
dahulu harus dipecah dengan proses pengunyahan, asam lambung, asam pankreas
dan asam empedu [16] Karotenoid yang sudah dikonsumsi kemudian akan masuk
ke dalam sistem peredaran darah dan akan didistribusikan ke seluruh tubuh. Ada 6
jenis karotenoid yang umumnya dijumpai dalam darah yaitu: α-karotenoid, β-karoten,
likopen, lutein, zeasantin dan βkriptosantin. Karotenoid ini memiliki fungsi yang
berbeda-beda, misalnya α, β-karoten dan βkriptosantin dikonversi menjadi vitamin A,
lutein dan zeaxantin akan didistribusikan ke retina sebagai pigmen yang berperan
untuk kesehatan mata. Selain itu juga karotenoid di transfer ke bagian kulit dan
berperan sebagai agen anti penuaan dini [12, 17]  ISSN: 1978-1520 JBPVol. 4, No.
1, April 2017 : 1-8 4 Perananβ-karoten dalam Sistem Imun Gambar 2 Mekanisme
Hubungan antara β-karoten, Sistem Imun, dan Mekanisme Pencegahan Kanker. β-
karoten memainkan peran sebagai pelindung bagi sistem imun, agar sistem imun
dapat mejalankan tugasnya dengan maksimal dalam menjaga kestabilan imun tubuh
untuk mencegah penyakit, salah satu diantaranya adalah kanker. Mekanisme β-
karoten dalam mencegah kanker berhubungan dengan potensinya sebagai
antioksidan, dimana antioksidan ini dapat meredam kerusakan yang disebabkan
oleh ROS dan sebagai provitamin A yang dapat meningkatkan imunitas tubuh. Jenis
radikal bebas yang mengandung oksigen secara umum dikenal dengan ROS. ROS
dapat menyebabkan peroksidasi fosfolipid pada membran sel, kerusakan DNA dan
protein. Kerusakan ini dapat mengiduksi terjadinya kerusakan sel dan jaringan pada
tubuh [18]. Jika produksi ROS dalam jumlah yang dapat ditoleransi oleh tubuh, maka
ROS dapat berperan dalam signal sel, termasuk apoptosis, ekspresi gen, dan
aktivasi signal sel. Hal ini dapat dikatakan bahwa ROS dapat melayani sebagai
pembawa pesan baik intra maupun inter seluler. Tetapi jika produksi ROS melebihi
batas normal dapat membunuh atau menghentikan respon sel imun dan dapat
menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, penuaan dan inflamis [ 19, 20, 21]
Hubungan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan merupakan adalah
penentu keseimbangan dari fungsi sistem imun, termasuk menjaga integritas dan
fungsi membran lipid, protein seluler, asam nukleat, mengontrol signal transduksi
dan ekspresi gen dari sistem imun . jumlah maksimun dari antioksidan dibutuhkan
untuk mempertahankan respon imun [22] Pada umunya sistem imun sangat sensitif
terhadap stres oksidatif, hal ini dikarenakan sistem imun sangat bergantung pada
sistem komunikasi sel. Ketergantungan khususnya melalui reseptor membran
terikat, untuk melakukan tugasnya secara efektif. Asam lemak tak jenuh ganda
merupakan penyusun utama membran sel, jika terjadi peroksidasi akibat stres
oksidatif dapat menyebabkan hilangnya integritas membran dan dapat mengubah
fluiditas membran. Selain itu juga, terjadi penyimpangan pada sinyal intraseluler dan
fungsi sel. Antioksidan seperti β-karoten dapat mencegah kerusakan oksidatif
membran sel sistem imun, meningkatkan ekspresi molekul sel. Antioksidan dapat
menjadi faktor kausatif untuk menjadi asosiasi yang erat antara diet yang kaya akan
karotenoid dan mengurangi beberapa insiden jenis kanker [23, 24, 25] Interaksi antara
Sistem Imun dan Kanker Paul Ehlirch 1909 merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan istilah
“immunosurveillance”. Dimana immunosurveillance ini menyatakan bahwa fungsi kekebalan
fisiologis tubuh adalah untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel tubuh yang mengalami
perubahan/abnormal. Paul menyatakan imunitas yang melawan kanker dimediasi oleh ‘celluler
force’. Ide Paul, kemudian ditambahkan oleh Thomas Lewis dan Sir Macfarlone Burnet yang
mengusulkan bahwa imunologi dapat mengenali sel yang mengalami perubahan merupakan IJCCS
ISSN: 1978-1520  Peranan β-karotendalam Sistem Imun untuk Mencegah Kanker (Federika
Kondororik) 5 hipotesa awal pada bagian yang memperkenalkan sistem imun dalam pengawasan
homeostatis, yang menjaga tubuh dari sel-sel ganas tersebut [26] Bukti-bukti telah tekumpul sejak
pertengahan abad terakhir, pada tingkat laboratorium baik pada hewan uji maupu pasien kanker,
bahwa sistem imun dapat mengenali dan menolak tumor [27]. Studi tentang kanker dan interaksinya
dengan sistem imun mengungkapkan bahwa efektor sistem imun baik innate maupun adaptive
termasuk dalam mekanisme partisipan dalam mengontrol dan mengenali sel tumor [28]. Sel efektor
utama dari sistem imun yang secara langsung menargetkan sel kanker adalah natural killer (NK), sel
denditis (DC), makrofag, leukosit polimorfonuklear (neutrofil, eusinofil dan basofil), sel mast,
sitotoksin T limfosit. Sel NK, DC, leukosit polimorfonuklear, sel mast, dan makrofag merupakan
efektor baris pertama untuk menghancurkan sel dan sel kanker. Sel T natural killer (NKT) dan sel γδ T
dapat memainkan peran baik sebagai sistem imun innate (alamiah)dan adaptif, melalui interaksi
yang sangat dekat sel dari sistem imun adaptif, seperti CD4 dan CD8 limfosit T dengan efek sitotoksik
dan memori. Yang terpenting dari sistem imun innatemenghambat perkembangan sel kanker
menjadi perhatian, yang diikuti dengan interaksi langsung antara kanker dan sel efektor sistem imun
innate. [28] Jika terdapat sel yang mengalami transformasi maka akan dideteksi pertama oleh sel NK,
sel NK akan menghancurkan dan menyerap sel yang telah mengalami kehancuran oleh makropage
dan sel dendritis. Selanjutnya dengan dengan aktifnya makropage dan sel dendritis maka akan
mengaktifkan banyak sitokinin inflamantori dan kehadiran turunan molekul sel tumor sel T dan B
yang nantinya akan menghasilkan sel T spesifik tumor dan antibodi. Untuk sistem imun adaptive
memainkan peran untuk mengeliminasi sel tumor dan peranan utamanya adalah untuk mengigatkan
sistem imun kepada komponen spesifik dari tumor untuk mencegah sel tumor kembali lagi [29]
Efektor dari imunitas adaptif, misalnya CD4+ dan CD8+ secara khusus dapat menargetkan antigen
tumor. Antigen sendiri merupakan molekul terekspresi hanya pada sel tumor sedangkan pada sel
normal tidak terekspresi. Misalnya pada kanker serviks disebabkan oleh virus papilloma, atau kanker
hati disebabkan oleh virus hepatitis B. Virus protein dapat juga menjadi antigen tumor dan terget
untuk antitumor respon imun [28, 30,31]. Penelitian tentang β-karoten dan efeknya pada sistem
imun Beberapa studi yang dilakukan untuk melihat efek β-karoten pada sistem imun dengan
memastikan perubahan jumlah subpopulasi limfosit dan aktivitas ekspresi sel penanda. Limfosit
adalah sel darah putih, pada sistem imun vertebrata. Studi ini menggunakan bermacam konsentrasi
β-karoten dengan dosis 15 mg/d sampai dengan 180 mg/d yang diberikan selama kurang lebih 14-
365 hari. Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan terhadap jumlah limfosit sel T (CD4+), limfosit sel T
(CD8+) dan terjadi peningkatan persentase interleukin (IL) 2 yang merupakan penanda ekspresi dari
limfosit sebagai reseptor penerima dan transfer. Untuk orang dewasa meningkatnya konsentrasi
CD4+, mengindikasikan bahwa β-karoten dapat berperan dalam meningkatkan kerja sistem imun
(Immunoenhancing) yang nantinya akan sangat bermanfaat bagi treatmen pada pasien penderita
human Immunodeficiency virus (HIV). [32, 33, 34] Studi lain jugamenunjukkanbahwasuplemen β-
karotendapatmeningkatkanpresentasi natural killer (NK) atauselpembunuh, dimana natural killer
inisen diri merupakan supopulasi dari limfosit, selini berfungsi untuk membunuh sel-sel tumor dan
mengeliminasi infeksi yang disebabkanoleh virus, terutama pada kelompok usia lanjut [33, 35,36].
Berdasarkan penelitian ini β-karoten tidak hanya meningkatkan populasi sel natural killer tetapi juga
membantu memperkuat daya tahan tubuh pasien kanker. Selain itu perlakuan β-karoten juga
menunjukkan fungsi sebagai pelindung kulit dari fotosensitif yang dapat memicu kanker kulit [37].
Penelitian yang dilakukan oleh Bokang et al., menunjukkan skala laboratorium bahwa β-karoten
dapat meningkatkan populasi sel NK dan mengurangi ukuran serta berat dari Hepatocelluler
Carsinoma (HCC) kanker hati pada tikus sebagai hewan uji [38]  ISSN: 1978-1520 JBPVol. 4, No. 1,
April 2017 : 1-8 6 Berdasarkan hasil penelitian ATBC dan CARET, [39] β-karoten dapat memberikan
efek perlindungan bagi sel-sel tumor dan mengurangi potensi sebagai antioksidan jika dibandingkan
dengan sel normal. Pra penelitian secara in vitro, dilakukan oleh Riondel et al., dengan sel tumor dan
beberapa jenis antioksidan termasuk β-karoten, hasil penelitian ini NK dapat memberikan efek lisis
bagi sel tumor, selain itu juga tambahan supplemention β-karoten dapat meningkatkan produksi α
necrosis factor tumor, sitokin pra-inflamantory dan anti-karsinogenik. Ini juga menunjukkan
kemungkinan bahwa β-karoten juga meningkatkan produksi mediator IL4 dan IL-6, karena
peningkatan pengikatan CD4 + T lymfosit, untuk molekul non-MHC kelas II, dan untuk kasus ini, yang
akan bertindak sebagai promotor untuk pra neoplastik/ kemunculan sel abnormal dalam paru-paru
perokok [40] Konsumsi β-karoten dalam asupan lebih tinggi, mungkin acara kegiatan pro-oksidan.
Terutama dalam kondisi tingkat tinggi O2, seperti yang terjadi di paru-paru [41] Kesimpulan Setiap
jenis karotenoid memiliki manfaat bagi kesehatan manusia, β-karoten merupakan salah satu
diantaranya. Memiliki potensi antioksidan, dapat menjadi prekusor vitamin A yang sangat baik dan
juga dapat meningkatkan sistem imun untuk mencegah penyakit kanker dan juga membantu pasien
dalam menguatkan (resisten) tubuh pasien. Sistem kerja sel imun sangat bergantung dari komunikasi
sel, β-karoten sendiri berperan dalam menjaga sistem kerja sel imun dan juga meningkatkan sel-sel
imun misalnya (CD4+, CD8+ dan natural killer) yang nantinya dapat membantu tubuh mengeliminasi
sel-sel abnormal dalam tubuh yang dapat.

JURNAL II

SISTEM IMUN TUBUH PADA MANUSIA Sopyan Hidayat1) , Achmad Alvian


Syahputa2) Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka No. 58 C, Tanjung Barat, Jakarta Selatan,
12530, Indonesia alvian.syahputa02@gmail.com Abstrak Tubuh manusia diciptakan
dengan segala kelebihan yang dimilikinya, salah satunya dinamakan sistem imun
tubuh Ada banyak hal yang perlu diketahui dari sistem imun tubuh ini. Multimedia
interaktif adalah salah satu media yang dapat digunakan dalam penyebaran
informasi. Multimedia interaktif menggabungkan antara visual, audio, dan interaktif
audiens dalam suatu media. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan cara mendeskripsikan, menginterprestasikan dan menerangkan makna
sistem imun tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mempermudah orang memahami
cara kerja sistem imun tubuh dan mengetahui bagaimana cara membuat sistem
pembelajaran yang interaktif pada suatu media. Dapat kita ketahui bahwa setiap
ilmu kesehatan memiliki kesulitan tersendiri dalam penyampaiannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, multimedia interaktif sangat efektif dalam fungsi tersendiri, di
antaranya fungsi pendidikan (edukasi) dan fungsi hiburan (rekreasi) membuat
pembelajaran menjadi lebih interaktif. Kata Kunci: Sistem Imun Tubuh, Ilmu,
Kesehatan, Multimedia Interaktif, pendidikan Abstract The human body is created
with all its advantages, one of which is called the body's immune system. There are
so many things that we should know about immune system. Interactive Multimedia is
one of the media that can be used to spread the information. Interactive Multimedia
is one way of a science that has an audience of visual, audio, and interactive
audiences, to a media. This article uses qualitative research methods by describing,
interlining and explaining the meaning of the immune system. This research aims to
make it easier for people to understand how the body's immune system works and
know how to create an interactive learning system in a media. We can know that
every health science has its own difficulties in its delivery. The results showed that
interactive multimedia is effective in its own functions, including educational functions
(education) and entertainment functions (recreation) make learning more interactive.
Keywords: Immune System, science, health, interactive Multimedia, education
Correspondence author: Achmad Alvian Syahputa, alvian.syahputa02@gmail.com,
Jakarta, and Indonesia This work is licensed under a CC-BY-NC Sistem Imun Tubuh
Pada Manusia Achmad Alvian Syahputra, Sopyan Hidayat 145 PENDAHULUAN
Tubuh manusia diciptakan dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Lingkungan
tempat tinggal, di mana pun itu, kerap dihinggapi virus dan bakteri. Namun, tubuh
memilki sebuah mekanisme pertahaan untuk menghalau atau menangkal bakteri
dan virus itu masuk ke dalam tubuh. Ini dinamakan dengan sistem imun tubuh.
Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit
penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar
dari penyakit (Irianto, 2012). Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua
struktur dan proses yang menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit
penyakit dan dapat di kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan
(innate) yang bersifat non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik.
Daya tahan tubuh non-spesifik yaitu daya tahan terhadap berbagai bibit penyakit
yang tidak selektif, artinya tubuh harus mengenal dahulu jenis penyakitnya dan tidak
harus memilih bibit penyakit tertentu untuk dihancurkan. Adapun daya tahan tubuh
spesifik yaitu daya tahan tubuh yang khusus untuk jenis bibit penyakit tertentu saja.
Hal ini mencakup pengenalan dahulu terhadap bibit penyakit, kemudian
memproduksi antibodi atau T-limfosit khusus yang hanya akan bereaksi terhadap
bibit penyakit tersebut (Irianto, 2012). Daya tahan tubuh non-spesifik mencakup
rintangan mekanis (kulit), rintangan kimiawi (lisozim dan asam lambung), sistem
komplemen (opsinon, histamin, kemotoksin, dan kinin), interferon, fagositosis,
demam, dan radang. Sedangkan daya tahan tubuh spesifik atau imunitas dibagi
menjadi imunitas humoral yang menyangkut reaksi antigen dan antibodi yang
komplementer di dalam tubuh dan imunitas seluler yang menyangkut reaksi sejenis
sel (Tlimfosit) dengan antigen di dalam tubuh (Irianto, 2012). Menurut Irianto (2012),
secara umum sistem imun memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Pembentuk kekebalan
tubuh. 2. Penolak dan penghancur segala bentuk benda asing yang masuk ke dalam
tubuh. 3. Pendeteksi adanya sel abnormal, infeksi dan patogen yang
membahayakan. 4. Penjaga keseimbangan komponen dan fungsi tubuh. Media
pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang
berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai proses dan hasil
instruksional secara efektif dan efisien, dan supaya tujuan instruksional tercapai
dengan mudah (Rahma, 2015). Media merupakan medium yang digunakan untuk
membawa penyampai sesuatu pesan, di mana medium itu merupakan jalan atau
alat dengan suatu pesan berjalan dengan komentator dengan komunikan, media
juga merupakan segala benda yang memanipulasikan. Dalam hal ini, yang akan
digunakan dalam penyampaian pesan mengenai sistem imun tubuh ini adalah
multimedia interaktif. Multimedia interaktif berisikan gambar dan suara ataupun
animasi sebagai cara penyampaiannya, multimedia interaktif juga yang dilengkapi
dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga
pengguna dapat memilih apa yang ingin ditampilkan selanjutnya (Daryanto, 2011:
49). Multimedia pada pembelajaran memungkinkan setiap orang memproses
informasi secara visual dan verbal, serta memanfaatkan potensi otak dalam belajar.
Pembuatan multimedia interaktif dapat menggunakan berbagai macam aplikasi atau
software. Peneliti menggunakan salah satu aplikasi yaitu flash. METODE
PENELITIAN Metode penelitian adalah sebuah proses kegiatan mencari kebenaran
terhadap suatu fenomena ataupun fakta yang terjadi dengan cara yang terstruktur
dan sistematis. Metode yang peneliti gunakan untuk mengumpulkan data dengan
menggunakan metode kualitatif, dengan berbasis data sekunder dan primer, di
mana peneliti mengumpulkan data berupa informasi yang terkait dengan objek yang
peneliti pilih. Definisi penelitian kualitatif dapat ditemukan pada banyak literatur.
Metode kualitatif membantu ketersediaan deskripsi yang kaya atas fenomena.
Kualitatif mendorong pemahaman atas substansi dari suatu peristiwa. Bogdan dan
Taylor (1975) (dalam Moleong, 2007: 4) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni
dan Budaya | Vol. 2 No.03 | Hlm. 144-149 146 data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Metode
penelitian yang dipilih untuk memperoleh data, informasi, mengolah dan
menganalisis sekaligus untuk penyusunan penelitian dengan langkah-langkah,
seperti studi pustaka dengan demikian dalam penelitian kualitatif, peneliti perlu
membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai terkait permasalahan yang
akan ditelitinya. Dalam pembuatan sebuah media interaktif, setelah memiliki data
yang cukup, peneliti menggunakannya dalam perancangan media dengan
menggunakan sebuah software yang bernama adobe animate atau flash. Dalam
software tersebut, peneliti menyusun data yang diperoleh dan mendesain
layout/tampilan seputar sistem imun. Dalam aplikasi tersebut, peneliti bisa
menambahkan sebuah perintah guna menjadikannya sebuah media interaktif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini, peneliti ingin menjelaskan
tentang peranan sistem imun tubuh pada manusia. Setiap manusia memiliki sistem
imun untuk menjaganya dari virus dan bakteri yang ada di sekitar, baik di udara
ataupun yang menempel pada benda-benda yang ada di keseharian kita. Sistem
imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit
penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar
dari penyakit (Irianto, 2012). Sistem imun tubuh memilki dua mekanisme pertahanan
dalam menjaga tubuh, yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun non-spesifik.
Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang
menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di
kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang bersifat
non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik. Sistem imun non-spesifik
yaitu sistem imun yang akan berfungsi saat benda asing atau virus apapun yang
masuk ke dalam tubuh tanpa harus mengenali suatu bibit penyakit tertentu karena
sistem imun ini tidak memiliki ingatan atau memori, sedangkan sistem imun spesifik
adalah sistem imun khusus yang akan mulai berkerja saat suatu virus atau bakteri
itu sudah dikenali sebelumnya karena sistem imun ini memiliki memori atau daya
ingat tentang suatu bibit penyakit yang sebelumnya dan mulai memproses sel imun
khusus yang disebut limfosit untuk membasmi penyakit tersebut. Hal ini mencakup
pengenalan terlebih dahulu terhadap suatu bibit penyakit, kemudian memproduksi
antibodi atau T-limfosit khusus yang hanya akan bereaksi terhadap bibit penyakit
tersebut yang sudah dikenali (Irianto, 2012). Leukosit adalah sel imun tubuh non-
spesifik atau yang disebut sebagai sel darah putih yang bekerja melawan benda
virus atau benda asing lainnya secara langsung atau tanpa harus mengenali virus
tersebut terlebih dahulu. Sedangkan Limfosit atau sel imun tubuh spesifik adalah sel
khusus yang akan melawan penyakit atau virus yang sudah pernah masuk kedalam
tubuh, sehingga limfosit bisa menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Dalam
perancangan media yang digunakan adalah multimedia interaktif yang berisi
kumpulan gambar, komposisi warna dan animasi tentang cara kerja sistem imun,
dan bagianbagian dari sistem imun. Multimedia interaktif adalah suatu multimedia
yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna,
sehingga pengguna dapat memilih apa yang akan ditampilkan selanjutnya
(Daryanto, 2011: 49). Multimedia interaktif pada sebuah pembelajaran
memungkinkan kita memproses atau memperoleh informasi secara visual dan
verbal. Dalam perancangan sebuah multimedia interaktif yang dibutuhkan selain
data yang cukup ialah kemampuan untuk mendesain tata letak atau layout dalam
penyusunannya gambar dan ilustrasi yang digunakan dalam pembuatan multimedia
interaktif. Selain data dalam pembuatan sebuah media interaktif juga peneliti
sertakan ilustrasi gambar ditujukan untuk menunjang informasi guna lebih menarik
dan mudah dipahami. Azhar (2011: 26) menyatakan bahwa fungsi dari media
pembelajaran dalam proses belajar mengajar sebagai berikut: 1. Media
pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi. 2. Media
pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga
menimbulkan motivasi. 3. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan
indera, ruang dan waktu. Perancangan Visual Tema yang diangkat menyangkut
tentang pengenalan sistem imun. Perancangan media ini bersifat informatif dan
menarik karena menampilkan visual gambar yang disertakan dengan Visual
Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya | Vol. 2 No.03 | Hlm. 144-149 148
penjelasan. Dalam media ini peneliti membuatnya dengan banyak komposisi warna
agar lebih menarik perhatian a. Ilustrasi dan Layout Gambar dan ilustrasi yang
digunakan dalam media ini didominasi oleh animasi, gambar dan ilustrasi tersebut
ditujukan untuk menunjang informasi dan desain Layout yang di informasikan. b.
Warna Warna-warna yang dipakai dalam media peneliti didominasi oleh warna-
warna solid/flat, karena warna yang solid ini membuat kesan multimedia peneliti
memiliki tampilan yang simple dan serius namun tetap informatif. c. Komputerisasi
Dalam perancangan media informasi sistem imun ini, peneliti menggunakan
software komputer yang mengolaborasi software Adobe animate atau flash dan
Adobe illustrator pembuatan gambar dan ilustrasi. Untuk penataan ilustrasi dan
proses layout dilanjutkan di adobe Animate agar ilustrasi dan layout yang dirancang
memiliki tampilan, komposisi yang menarik dari segi gambar, warna, dan ilustrasi.
Sehingga audiens atau pengguna mudah memahaminya. SIMPULAN Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat membantu ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang
kesehatan atau kedokteran agar bisa berkembang dengan infomasi tentang Sistem
Imun Tubuh Pada Manusia. Terkadang, orang awam tidak tahu cara kerja dari
mekanisme pertahanan tubuh manusia. Dengan adanya media tentang sistem imun
tubuh ini diharapkan semua orang bisa belajar tentang sistem imun tubuh pada
manusia, baik golongan dokter atau pun tidak. Penggunaan multimedia interaktif
yang tidak hanya menggunakan tulisan, namun juga gambar dan suara, membuat
informasi dapat diterima oleh semua kalangan. Terlebih, multimedia interaktif ini
memungkinkan pengguna untuk berinteraksi langsung dengan media.

JURNAL III

Learning and memory ... and the immune system Ioana Marin and Jonathan Kipnis1
Center for Brain Immunology and Glia (BIG), Department of Neuroscience,
Neuroscience Graduate Program, School of Medicine, University of Virginia,
Charlottesville, Virginia 22908, USA The nervous system and the immune system
are two main regulators of homeostasis in the body. Communication between them
ensures normal functioning of the organism. Immune cells and molecules are
required for sculpting the circuitry and determining the activity of the nervous system.
Within the parenchyma of the central nervous system (CNS), microglia constantly
monitor synapses and participate in their pruning during development and possibly
also throughout life. Classical inflammatory cytokines, such as interleukin (IL)-1b and
tumor necrosis factor (TNF), are released during neuronal activity and play a crucial
role in regulating the strength of synaptic transmission. Systemically, proper
functioning of the immune system is critical for maintaining normal nervous system
function. Disruption of the immune system functioning leads to impairments in
cognition and in neurogenesis. In this review we provide examples of the
communication between the nervous and the immune systems in the interest of
normal CNS development and function. The nervous system is universally perceived
as the command center of the body. Sensory organs and peripheral nerve fibers
monitor the external environment, while chemical changes in the internal
environment are monitored by their receptors in the brain. The nervous system can
therefore be viewed as the master regulator of homeostasis. In this role, however, it
does not act alone. The immune system, through its tissue-resident and patrolling
immune cells, also operates constantly to monitor the internal environment and
maintain overall balance in the body. Immune cells respond not only to infection, but
also to tissue damage and stress, and in addition they clear cellular debris that
results from physiological cell death. Although collaboration between the two
systems was long regarded as unlikely because of their separation by the blood–
brain barrier (BBB), it is now known that such collaboration does occur, and
moreover that it is essential for the body’s normal functioning. It could be argued that
the BBB evolved to protect the nervous system from toxins and pathogens, not to
isolate the brain from other systems. Not only are the immune and the nervous
systems physically connected—there are resident immune cells in the central
nervous system (CNS) and peripheral nerve terminals in immune organs—they also
share each other’s “languages” for their communication. Thus, cells of the nervous
system can use signaling by immune components, such as cytokines and
chemokines, to communicate with each other (Steinman 2004; McAllister and van de
Water 2009; Ben MenachemZidon et al. 2011; Diaz Heijtz et al. 2011; Gabay et al.
2011; Yirmiya and Goshen 2011), while immune cells possess neurotransmitter
receptors and can synthesize neurotransmitter molecules including acetylcholine,
glutamate, dopamine, and serotonin (Koval et al. 1997; Steinman 2004; Ganea et al.
2006; Pocock and Kettenmann 2007; Levite 2008; Kong et al. 2010; Patterson
2012). Despite increasing evidence for amicable relations between the nervous
system and immune cells, most of our knowledge about neuroimmune interactions
comes, not surprisingly, from studies using models of infection, injury, or
autoimmunity (Dantzer et al. 2000, 2008; Steinman 2004; Aaltonen et al. 2005;
Huang et al. 2008; O’Connor et al. 2009; Yirmiya and Goshen 2011; Shechter et al.
2013a). In many of these models, inflammation is associated with sickness behavior
and infiltration of peripheral immune cells into the CNS with pathological results.
Over the past two decades, however, an accumulating body of research has pointed
to neuroimmune interactions as primarily beneficial, in that they promote
homeostasis of the nervous system (Kipnis et al. 2004, 2008, 2012; Cohen et al.
2006; Ziv et al. 2006; Brynskikh et al. 2008; Derecki et al. 2010). Here we present a
neurocentric review of the roles played by immune cells and molecules in supporting
the development and function of the nervous system under normal physiological
conditions. Brain-resident immune cells—the microglia When considering
brain/immune interactions, one must recognize that the microglia, although a type of
immune cell, are a constitutive part of the nervous system (Ransohoff and Cardona
2010). Microglia originate from primordial macrophages in the yolk sac, which in
mice migrate out around E7.5 and invade the neural tube on E10.5 (Ginhoux et al.
2010; Hooper et al. 2012), before the BBB is formed. Microglia serve important
functions during embryonic development—not only in clearing the apoptotic debris
resulting from the intensive cell turnover, but also in promoting neuronal apoptosis
(Marin-Teva et al. 2004; Sierra et al. 2010; Wang et al. 2012). A more subtle yet
equally important function of the microglia in shaping neuronal circuitry is the pruning
of synaptic spines. Microglia engulf presynaptic termini, contributing to the adult
cortical architecture (Paolicelli et al. 2011; Schafer et al. 2012). This synaptic pruning
is dependent on components of the complement system, which is one of the immune
system’s activating pathways. Synaptic pruning by microglia was first demonstrated
in the developing lateral geniculate nucleus (LGN) (Stevens et al. 2007). Barres,
Stevens, and colleagues (Stevens et al. 2007) showed that the entire classical
complement cascade is up-regulated when ocular input segregation occurs during
early postnatal development. Neuronal-derived C1q activates a signaling cascade
that ultimately culminates in activation of the C3R complement receptor on microglia,
and these cells then preferentially engulf inactive synapses (Schafer et al. 2012).
Genetic deletion of any of the components of this complement cascade leads to
deficits in ocular dominance territories in the LGN. 1 Corresponding author Email
kipnis@virginia.edu Article is online at
http://www.learnmem.org/cgi/doi/10.1101/lm.028357.112. 20:601 –606 # 2013,
Published by Cold Spring Harbor Laboratory Press ISSN 1549-5485/13;
www.learnmem.org 601 Learning & Memory Downloaded from learnmem.cshlp.org
on November 24, 2020 - Published by Cold Spring Harbor Laboratory Press Another
signaling system that participates in synaptic pruning by microglia requires the neural
cell-secreted chemokine CX3CL1 (fraktalkine) and its cognate receptor on microglia.
Fraktalkine is enriched in the brain compared to any other organ in the body
(Harrison et al. 1994), while its receptor, CX3CR1, is strongly expressed on microglia
(Gautier et al. 2012), underlying the importance of this signaling pathway in the
brain. Furthermore, CX3CR1-deficient mice show deficits in hippocampal synaptic
pruning during early postnatal development (P15). However, these deficits are
apparently resolved by adulthood through other mechanisms as yet unknown
(Paolicelli et al. 2011). Moreover, CX3CR1-deficient microglia demonstrate delayed
recruitment to the developing barrel cortex, with a corresponding delay in maturation
of the postsynaptic compartment in terms of the AMPA/NMDA receptor ratio as well
as the subunit composition of NMDA receptors (Hoshiko et al. 2012). Although these
developmental aspects appear to achieve resolution, adult CX3CR1-knockout mice
still exhibit deficits indicative of malfunctioning circuitry. Rogers et al. (2011) showed
that these mice demonstrate impaired learning, probably accompanied by an inability
to achieve long-term potentiation (LTP) in the hippocampus. The authors also
showed that, compared with wildtype controls, the proinflammatory cytokine
interleukin (IL)-1b in the CX3CR1-knockout mouse hippocampus is significantly
increased. Increased IL-1b levels might be a cause of the impaired LTP, since
administration of the IL-1 receptor antagonist IL-1Ra restored LTP in hippocampal
slices from these mutant mice. It is not clear whether the process of synapse
engulfment is maintained in adulthood, but “resting” microglial processes have been
shown to continuously contact synapses (Nimmerjahn 2005; Wake et al. 2009;
Tremblay et al. 2010). The probability of contact is activity-dependent, with inactive
synapses being contacted less frequently (Wake et al. 2009). A different study
indicated that microglia may also preferentially contact smaller synapses that are
subsequently lost (Tremblay et al. 2010). Studies in vitro (Aarum et al. 2003;
Butovsky et al. 2006) have shown that microglia, or their conditioned media, are
beneficial for neurogenesis, the differentiation of neural progenitor cells into neurons,
or for both. Further study is needed, however, in order to investigate the in vivo
relevance of these findings. Mice deficient in CX3CR1 signaling show deficits in adult
neurogenesis in the dentate gyrus (Paolicelli et al. 2011), indicating that
communication between neurons and microglia is necessary for maintaining
homeostatic functioning of the neurogenic niche. Immune molecules provide a
service to the brain Neuronal expression of the major histocompatibility complex
class I (MHCI) was first shown by the group led by Carla Shatz in 1998 (Corriveau et
al. 1998). Prior to that, the prevailing view was that neurons were among the few cell
types in the body that do not express MHCI, a complex molecule responsible for the
cellspecific signature of its expressed proteins and thus crucial for the immune
system to separate self from nonself. Several isotypes of this molecular complex are
now known to be expressed by neurons in the thalamus, hippocampus, cortex, and
cerebellum, along with the accessory molecules CD3z and b2-microglobulin. MHCI
staining appears as puncta at synapses and colocalizes with postsynaptic density
protein 95 (PSD95) (Goddard et al. 2007; Datwani et al. 2009). Knockout MHCI
(KbDb2/2) mice exhibit a phenotype similar to that of the C1q-deficient mice,
showing reduced segregation of ocular inputs in the LGN (Datwani et al. 2009).
Compared to wild-type controls, MHCI knockout neurons also show enhanced
synaptic plasticity and increased excitability, and exhibit higher frequency of
miniature excitatory postsynaptic currents (mEPSCs) in the hippocampus, as well as
heightened LTP and decreased long-term depression (LTD) (Huh et al. 2000;
Goddard et al. 2007). All of these findings point to an important role for the
molecules originally defined as “immune” in higher brain function. In vivo, KbDb2/2
mice show superior motor learning, probably as a result of decreased threshold for
LTD at the inhibitory synapses of parallel fibers (McConnell et al. 2009). An
interesting finding was that PirB, a known receptor for MHCI in the brain, is also
expressed on neurons, and that PirB-deficient mice show increased plasticity in the
visual cortex, raising speculation about neuron–neuron signaling through MHCI/PirB-
modulating neuronal activity (Syken et al. 2006). Another class of immune molecules
involved in the proper functioning of the nervous system is represented by cytokines.
The source of cytokine secretion was originally traced to immune cells, which employ
these molecules as messengers, triggers, and effectors of immune responses.
Despite their great functional diversity, cytokines in the nervous system have earned
an unfortunate reputation through their observed association with inflammation or
sickness behavior (Kelley et al. 2003; Dantzer et al. 2008; Godbout et al. 2008;
Huang et al. 2008). Studies investigating the role of inflammation in aging or
pathology— e.g., inflammation/infection, neurodegeneration, depression— are
numerous and have been reviewed extensively by others (Lucin and Wyss-Coray
2009; von Bernhardi et al. 2010; Kohman and Rhodes 2013; McCusker and Kelley
2013). On the other hand, the literature regarding the role of cytokines in
homeostatic brain function is slower to accumulate. Several studies have shown,
however, that cytokines such as tumor necrosis factor (TNF) and IL-1b, once
considered to be purely inflammatory, are produced in the brain under normal
conditions and are crucial for normal synaptic functioning (Wolf et al. 2008; Goshen
and Yirmiya 2009; Ben Menachem-Zidon et al. 2011; Yirmiya and Goshen 2011).
TNF signaling through the TNF receptor TNFR1 (but not through TNFR2) modulates
synaptic strength by changing the expression of AMPA receptors (AMPAR) in the
postsynaptic compartment (Dummer et al. 2002). TNFR1-knockout neurons exhibit
decreased expression of AMPAR and correspondingly decreased postsynaptic
transmission. On the other hand, exogenous application of TNF was found to
increase AMPAR expression, as well as the frequency and amplitude of mEPSCs
(Beattie et al. 2002; Stellwagen and Malenka 2006). Subsequently, glia-secreted
TNF was identified as an important factor in mediating synaptic scaling (Stellwagen
and Malenka 2006). Following the blockade of neuronal activity by application of the
neurotoxin tetrodotoxin, postsynaptic compartments become more sensitive and the
frequencies of mEPSCs are increased. In neurons cultured with TNF-knockout
astrocytes, however, this effect is not observed (Stellwagen and Malenka 2006).
Moreover, in monocular deprivation (an in-vivo model of visual plasticity), TNF-
knockout mice display the expected diminished responses to the deprived eye, but
not the correspondingly increased responses to the open eye (Kaneko et al. 2008).
TNF also seems to play a role in adult hippocampal neurogenesis. Iosif and
colleagues (2006) showed that progenitors in the subgranular zone express both
TNF and its receptors TNFR1 and TNFR2, and that their genetic knockout
differentially affects adult neurogenesis: signaling through TNFR1 seems to act as a
negative regulator of neurogenesis, as its deletion results in an increase in the
number of newly produced neurons, whereas TNFR2 signaling is a positive
regulator, as indicated by the drop in neurogenesis following its deletion. IL-1b,
another proinflammatory cytokine, is up-regulated during LTP induction in
hippocampal slices and is evidently necessary for the maintenance of this
potentiation, since application of the IL-1b receptor antagonist, IL-1Ra, leads to
unsustained LTP Immunity and cognition www.learnmem.org 602 Learning &
Memory Downloaded from learnmem.cshlp.org on November 24, 2020 - Published
by Cold Spring Harbor Laboratory Press (Schneider et al. 1998). Moreover,
expression of a related protein, IL-1a, when signaling through the same receptor, is
even more robustly up-regulated during LTP protocols (Ross et al. 2003). The
importance of signaling through the IL1 receptor for learning was validated in vivo
using several transgenic mouse models with impaired or reduced signaling in this
pathway (Avital et al. 2003; Goshen et al. 2007; Spulber et al. 2009). These
transgenic mice were found to exhibit impairments in various learning tasks, such as
Morris water maze. IL-1R signaling is also evidently important during development,
since treatment in utero with the receptor antagonist Il-1Ra leads to cognitive deficits
in adulthood (Goshen et al. 2007). On the other hand, studies investigating the
consequences of overexpression or direct injection of IL-1b in the brain (Matsumoto
et al. 2004; Moore et al. 2009) concluded that an excess of IL-1b leads to memory
deficits. Similarly, exogenous application of large amounts (e.g., 10 ng/mL) of IL-1b
in vitro results in decreased synaptic strength and LTD induction (Ikegaya et al.
2003; Ross et al. 2003). Unfortunately, these last findings have little physiological
significance, because concentrations of IL-1b in the brain, even during inflammation,
are in the pg/mL range (Denes et al. 2011). The recombination activating gene
(RAG) products Rag1 and Rag2 mediate V(D)J recombination, a vital process that
takes place in the primary lymphoid tissues of the bone and thymus and is
responsible for diversity of T and B cell receptors (Mombaerts et al. 1992).
Intriguingly, Rag1 is expressed in the brain both pre- and postnatally, whereas Rag2
seems not to be expressed in the CNS (Chun et al. 1991). Rag1 is critical for V(D)J
recombination in lymphocytes (Chun et al. 1991), and Rag1-deficient mice are
virtually devoid of mature lymphocytes (T and B cells) (Mombaerts et al. 1992). The
functions of Rag1 in the immune system and in the brain are apparently not similar;
in fact, its function in the nervous system remains unclear. Nevertheless, both Rag1-
deficient and Rag2-deficient mice exhibit cognitive impairments in several social and
learning tasks, as well as in adult neurogenesis (Wolf et al. 2009; McGowan et al.
2011). This finding points to a role for the peripheral adaptive immune system in
supporting brain function, rather than suggesting a role for Rag1 in the maintenance
of CNS homeostasis. Members of the Toll-like receptor (TLR) family were recently
shown to be expressed in the nervous system by all major cell types (Okun et al.
2011). TLRs are a class of pattern recognition receptors expressed on virtually all
immune-cell types and known to recognize not only conserved molecular patterns
found on pathogens but also endogenous danger signals. Studies on mice deficient
in various TLRs have shown that TLR signaling can affect the proper functioning of
the nervous system both positively and negatively, though it is not yet possible to
conclude whether such maintenance of nervous system activity is a function of
signaling in the brain, in the periphery, or both. For example, TLR2- knockout mice
show impaired differentiation of neural progenitors in the hippocampus, where more
neural progenitor cells differentiate into astrocytes than into neurons, pointing to
TLR2 as supportive of adult neurogenesis (Rolls et al. 2007). On the other hand,
TLR4 signaling seems to be a negative regulator of neurogenesis, as TLR4-deficient
mice exhibit increased neural progenitor proliferation in the hippocampus, as well as
skewed neuronal differentiation (Rolls et al. 2007). Investigation of the role of TLR3
signaling in cognitive function revealed that TLR3- knockout mice show generally
better memory performance and less anxiety than their wild-type counterparts (Okun
et al. 2010), suggesting that TLR3 signaling may also be a negative regulator of
plasticity and learning. All in all, the possible roles of TLRs in supporting nervous
system homeostasis are only now beginning to be explored, and more detailed
studies are necessary in order to understand the specifics of their functioning. Brain
support by the peripheral immune system As indicated by the phenotypes of Rag1-
and Rag2-knockout mice, as well as by the plethora of studies of cognitive
performance during infection, the state of the peripheral immune system can greatly
influence nervous system functioning. Adult neurogenesis is a process that has been
investigated in the context of numerous types of immune system disruptions. The
regulatory presence of an adaptive immune system is necessary for maintenance of
adult neurogenesis. Mice with severe combined immunodeficiency (SCID) and nude
mice, which are deprived, respectively, of all lymphocytes and of T cells, show
impairments in neurogenesis, and T-cell replenishment in these mice rescues their
phenotype (Ziv et al. 2006). Interestingly, transgenic mice with T cells specific for the
auto-antigen myelin basic protein exhibit increased neurogenesis, whereas
neurogenesis in transgenic mice with T cells specific for an irrelevant antigen
(ovalbumin) is decreased (Ziv et al. 2006). These observations suggest that specific
interactions between the nervous and immune systems contribute to normal brain
function. Mast cells, an immune cell classically associated with allergic responses,
are also important for supporting adult neurogenesis (Nautiyal et al. 2008, 2012).
Mast cells are resident in and around the hippocampus and secrete serotonin. From
this location they appear to play a role in maintaining the neurogenic niche, since
treatment with fluoxetine, a selective inhibitor of serotonin reuptake, abolishes the
differences in neurogenesis between mice deficient in mast cells and their
heterozygotic littermates (Nautiyal et al. 2008). Immune deficiency in mice is often
accompanied by cognitive impairment (Kipnis et al. 2004, 2012; Cohen et al. 2006;
Ziv et al. 2006; Brynskikh et al. 2008; Lewitus and Schwartz 2009; Derecki et al.
2010; Bailey et al. 2011; Gadani et al. 2012; Nautiyal et al. 2012; Baruch et al. 2013;
Radjavi et al. 2013). As with neurogenesis, replenishment of the immune system by
adoptive transfer of wild-type splenocytes or by bone marrow reconstitution also
improves the learning ability of SCID and nude mice in MWM, Barnes maze and
radial arm water maze (Brynskikh et al. 2008; Ron-Harel et al. 2008; Derecki et al.
2010; Bailey et al. 2011). We have recently identified the meningeal membranes
surrounding the brain as an important site of the immune response that occurs
during learning (Derecki et al. 2010). When mice are exposed to a learning task, T
cells migrate to the meninges and become activated there. In wild-type mice these T
cells acquire a “Th2-like” phenotype (regarded as anti-inflammatory) and express
high levels of IL-4. Moreover, the myeloid cells in the meninges become skewed
toward an M2 (or alternatively activated, also regarded as tissue building and anti-
inflammatory) phenotype. Interference with the migration of T cells, or genetic
deletion of IL-4, results in a proinflammatory M1 (classically activated and
inflammatory [Yirmiya and Goshen 2011]) skew of the myeloid cells in the meninges
(Belmaker and Agam 2008; Derecki et al. 2010). In view of these findings, it is
tempting to speculate that the adaptive immune system supports cognition by
keeping the meningeal innate system in check and preventing inflammation in
response to learning-associated stress (Fig. 1). Schwartz and colleagues have also
identified the choroid plexus as an important site of neuroimmune interactions
(Baruch et al. 2013; Shechter et al. 2013b). Interestingly, the T cell repertoire in the
choroid plexus seems to be enriched in CNS-reactive cells (Baruch and Schwartz
2013), leading to the idea that autoimmune cells are important in modulating the
nervous system milieu to support homeostasis (Kipnis et al. 2012; Shechter et al.
2013a). This argument is also supported by the fact that transgenic mice with
CNSantigen specific T cells also show enhanced cognition, in addition to
neurogenesis in subgranular and subventricular zones (Ziv et al. 2006). Immunity
and cognition www.learnmem.org 603 Learning & Memory Downloaded from
learnmem.cshlp.org on November 24, 2020 - Published by Cold Spring Harbor
Laboratory Press Concluding remarks This review presents evidence for the
numerous points of communication between the nervous and the immune systems,
and focuses on the consequent implication that a normal functioning immune system
is critical in supporting cognitive function. The relationship between these systems,
however, is a mutual one. All of the body’s immune organs are innervated to some
degree, and unimpaired neurotransmission is essential for both initiation and
termination of immune responses. For example, sympathetic innervation of the bone
marrow is required for recruitment of immune cells from the hematopoietic reservoir
during infection (Katayama et al. 1990; Spiegel et al. 2007; von Bernhardi et al.
2010). On the other hand, neuronal control through the vagus nerve serves to
suppress inflammation in response to endotoxin (Borovikova et al. 2000; Steinman
2004; Pavlov and Tracey 2012). Therefore even when it appears that the nervous
system is merely a victim of a flared immune system, the two systems maintain a
constant dialogue in the attempt to restore homeostasis. Although numerous studies
now support connections between the nervous and immune systems in models of
infection and injury (Steinman 2004; Aaltonen et al. 2005; Yirmiya and Goshen 2011;
Benach et al. 2012), large gaps remain with regard to how the two systems interact
under normal homeostatic conditions. Most of the evidence for immune support in
learning comes from whole-body knockout of certain molecules, making it difficult to
distinguish cell-specific or developmental effects. Moreover, more research needs to
be devoted to maintenance of the physiological concentrations of tested molecules
so that conclusions can be drawn about phenomena in vivo. It often happens that the
changes occurring in the body during development or learning are so subtle, and the
conditions under which processes are modeled in vitro so extreme, that the
relevance of conclusions obtained from in vitro studies is questionable.
Acknowledgments We thank Shirley Smith for editing the manuscript. We thank the
members of the Kipnis lab for their valuable comments during multiple discussions of
this work. This work was primarily supported by a grant from the National Institute on
Aging, NIH (AG034113 award to J.K.). References Aaltonen R, Heikkinen T, Hakala
K, Laine K, Alanen A. 2005. Transfer of proinflammatory cytokines across term
placenta. Obstet Gynecol 106: 802 –807. Aarum J, Sandberg K, Haeberlein SL,
Persson MA. 2003. Migration and differentiation of neural precursor cells can be
directed by microglia. Proc Natl Acad Sci 100: 15983 –15988. Avital A, Goshen I,
Kamsler A, Segal M, Iverfeldt K, Richter-Levin G, Yirmiya R. 2003. Impaired
interleukin-1 signaling is associated with deficits in hippocampal memory processes
and neural plasticity. Hippocampus 13: 826 –834. Bailey MT, Dowd SE, Galley JD,
Hufnagle AR, Allen RG, Lyte M. 2011. Exposure to a social stressor alters the
structure of the intestinal microbiota: Implications for stressor-induced
immunomodulation. Brain Behav Immun 25: 397 –407. Baruch K, Schwartz M. 2013.
CNS-specific T cells shape brain function via the choroid plexus. Brain Behav Immun
doi: 10.1016/j.bbi.2013.04.002. Baruch K, Ron-Harel N, Gal H, Deczkowska A,
Shifrut E, Ndifon W, Mirlas-Neisberg N, Cardon M, Vaknin I, Cahalon L, et al. 2013.
CNS-specific immunity at the choroid plexus shifts toward destructive Th2
inflammation in brain aging. Proc Natl Acad Sci 110: 2264 –2269. Beattie EC,
Stellwagen D, Morishita W, Bresnahan JC, Ha BK, Von Zastrow M, Beattie MS,
Malenka RC. 2002. Control of synaptic strength by glial TNFa. Science 295: 2282 –
2285. Belmaker R, Agam G. 2008. Major depressive disorder. N Engl J Med 358: 55
–68. Ben Menachem-Zidon O, Avital A, Ben-Menahem Y, Goshen I, Kreisel T,
Shmueli EM, Segal M, Ben Hur T, Yirmiya R. 2011. Astrocytes support hippocampal-
dependent memory and long-term potentiation via interleukin-1 signaling. Brain
Behav Immun 25: 1008 –1016. Benach J, Li E, McGovern M. 2012. A microbial
association with autism. mBio 3: doi: 10.1128/mBio.00019-12

Anda mungkin juga menyukai