Anda di halaman 1dari 6

Analisis Penerapan Cost Containment pada Kasus Sectio

Caesarea dengan Jaminan BPJS di RS Pemerintah XY di Kota


Bogor Tahun 2016
Analysis of Cost Containment Implementation in Sectio Caesarea covered by BPJS in XY Public
Hospital, Bogor, 2016
Nazirah Istianisa¹, Puput Oktamianti2
1
Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
2
Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia

Korespondensi: Nazirah Istianisa


e-mail: n.istianisa@gmail.com
Abstrak
Sistem pembayaran prospektif dengan paket tarif INA-CBG’s untuk kasus dengan jaminan BPJS menuntut rumah sakit agar
dapat melakukan kendali biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai upaya Cost Containment RS XY melalui penerapan
Clinical Pathway, formularium, dan struktur insentif. Studi dilakukan pada kasus Sectio Caesarea periode Januari-Maret
2016 secara kuantitatif dengan membandingkan selisih klaim BPJS dan tagihan RS serta menilai penerapan Clinical Pathway
dan secara kualitatif dengan wawancara mendalam. Total Selisih yang didapat sebesar Rp.1.014.125.684,00 dengan rata-rata
selisih sebesar Rp.4.899.157,89 per kasus. Didapatkan 84% kasus memiliki length of stay sesuai Clinical Pathway (CP). Dari
kasus tersebut, 96% visitasi dokter sesuai, 21% penggunaan obat dan BHP sesuaidengan, 48% pemeriksaan laboratorium
sesuai dengan yang ditentukan dalam CP. Formularium yang digunakan sesuai dengan formularium nasional. RS XY belum
memiliki sistem evaluasi untuk menilai penerapan clinical pathway dan penggunaan obat. Struktur insentif yang digunakan
adalah sistem fee-for-service pada staf medik yang tidak sesuai dengan metode pembayaran jasa medis yang prospektif.
Kata kunci: Costcontainment; kendali biaya; pembayaran prospektif; tarif INA-CBG’s

Abstract
Prospective payment system with INA-CBG’s fare for cases using BPJS Insurance demands hospital to control their cost. This study
aims to see the cost containment in XY Hospital through the implementation of clinical pathway, drug formulary, and incentive struc-
ture. The study looked into Sectio Caesarea cases from January to March 2016, using quantitative method, comparing BPJS claim
with hospital billing and assesst the implementation of clinical pathwayusing qualitative method through in depth interview. Result
shows there is deficit amount of Rp.1.014.125.684,00 and the average of deficit per case is Rp.4.899.157,89. Eighty four percent of
cases have length of stay in accordance with clinical pathway. From those cases, 96% has concordant doctors visit, 21% has concor-
dant drug usage, and 48% has concordant laboratory diagnostic test. The hospital formulary uses the national formulary. It is found
that XY Hospital does not have an evaluation system for clinical pathway implementation and drug usage. The incentive structure that
is used is fee-for-service system which is not suitable for prospective payment method.
Keywords: Cost containment; cost control; prospective payment; INA-CBG’s tariff

Pendahuluan ikan. Sistem pembiayaan prospektif diharapkan


Amanah UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Ja- dapat mengendalikan biaya kesehatan, mendorong
minan Sosial Nasional (UU SJSN), Indonesia me- pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar,
nerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlu-
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggaraan Jami- kan, mempermudah administrasi klaim, dan men-
nan Sosial (BPJS) Kesehatan dan diatur oleh UU No. dorong provider untuk melakukan cost containment
24 tahun 2011. BPJS Kesehatan membayar Fasilitas (Permenkes No 27 Tahun 2014).
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dengan metode Dalam menghadapi kompetisi pelayanan keseha-
kapitasi. Pembayaran di Fasilitas Kesehatan Tingkat tan, rumah sakit mungkin menggunakan satu dari
Lanjutan (FKTL) menggunakan Indonesia Case- strategi berikut (1) meningkatkan kualitas produk
Based Groups (INA-CBG’s) sesuai dengan Pera- dan meningkatkan harga; (2) membuat produk
turan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan dengan kualitas lebih rendah dengan harga lebih
Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Pera- murah dan (3) meningkatkan kualitas dan di saat
turan Presiden No. 111 tahun 2013 (Putri, 2014). bersamaan menurunkan harga. Dalam ketiga strategi
Pembayaran dengan INA-CBG’s adalah metode tersebut costcontainment memegang peranan pent-
pembayaran prospektif yang besaran tarifnya su- ing sesuai dengan konsep “peningkatan kualitas
dah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diber- yang efisien” (efficient quality improvement). Efisiensi

Analisis Cost Containment pada Kasus Sectio Caesarea 185 Istianisa & Oktamianti
merujuk pada proses minimisasi waste, error, dan re- memperoleh informasi mengenai penerapan cost
dundancy (Pena & Ndiaye, 2003). Cost containment containment khususnya untuk pelayanan pasien BPJS
adalah praktek meminimisasi sampai batas yang di- dengan prosedur SC. Telaah dokumen pada biaya RS
mungkinkan, peningkatan berkala biaya variable dan dan klaim INA-CBG’s RS dilakukan untuk melihat
total fixed cost per unit (Kinney & Raiborn 2011). selisih tagihan Rumah Sakit kasus SC selama Janu-
Cost containment terbukti dapat mengeliminasi ari-Maret 2015. Kemudian dilakukan telaah doku-
risiko kemungkinan menurunnya kualitas pelayanan men CP SC, bukti transaksi pasien dan data elek-
jika pelayanan terlalu disederhanakan. RAND Health tronik dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
Insurance Experiment melakukan penelitian random dan aplikasi INA-CBG’s rumah sakit untuk menge-
terhadap keluarga dengan berbagai insuranceplan. tahui kesesuaian penerapan.
Salah satu yang ditemukan adalah bahwa keluarga Pengambilan data primer dilakukan dengan waw-
dengan insurance, paling kecil mengeluarkan biaya ancara mendalam. Informan diwawancarai untuk
hampir 30% dan lebih sedikit dalam pengeluaran bi- menelaah lebih lanjut mengenai penerapan cost con-
aya kesehatan dibandingkan dengan keluarga tanpa tainment, pengendalian obat dan Bahan Habis Pa-
memiliki asuransi (Newhouse dalam Garber, 2007). kai (BHP), pengendalian pemeriksaan penunjang,
Menurut Dever dalam Pena & Ndiaye (2003) penerapan CP, dan sistem insentif yang diterapkan
komitmen pada peningkatakan mutu dapat di RS XY. Informan yang terdiri dari Wakil Direk-
menurunkan pengeluaran organisasi. Sekitar 20- tur Pelayanan Medik, Wakil Direktur Umum dan
30% dari pengeluaran organisasi disebabkan oleh re- Keuangan, Kepala Bagian Keuangan, Kepala Tim
dundancy dari upaya, error, pengerjaan ulang, masalah Pengendali JKN, SMF Obgyn, Kepala Instalasi Far-
berulang, SDM tidak terlatih dan sistem yang ku- masi, Kepala Instalasi Laboratorium, Kepala Ruang
rang baik. Dalam upaya menekan health expenditure, Bersalin, Kepala Ruang Farmasi, dan Staf Instalasi
beberapa negara menggunakan kriteria yang jelas Laboratorium.
dapat memicu cost-containment. Policy maker mem- Data perbandingan besaran klaim INA-CBG’s
buat beragam instrumen cost-containment (Carrin & dengan biaya rumah sakit, disajikan dalam bentuk
Hanvoravongchai 2002). Hal pertama yaitu mem- tabel untuk menunjukkan selisih yang didapat. Do-
buat upaya yang berdampak langsung pada supply kumen CP SC selama periode Januari-Maret 2016
pelayanan kesehatan. Kedua, adalah upaya pengen- data menunjukkan bahwa ada 207 kasus yang ter-
dalian pada sisi demand pelayanan kesehatan yang masuk ke dalam kelompok kode INA-CBG’s O-6-10
mempengaruhi perilaku pasien, baik melalui insentif yaitu prosedur operasi pembedahan Caesar dengan
non-moneter seperti promosi kesehatan dan infor- 170 kasus tingkat keparahan ringan dan 37 kasus
masi obat maupun insentif moneter seperti user fees. tingkat keparahan sedang. Data dilihat dan dinilai
Beberapa upaya penerapan cost containment untuk kesesuaiannya setelah itu ditentukan kesesuaian
kendali mutu dan kendali biaya telah dilakukan RS XY length of stay (LOS) pasien. Dari kasus yang lama
seperti standardisasi obat, penerapan clinical pathway LOS sesuai dengan CP, ditelaah lagi kesesuaian visi-
(CP), dan perhitungan biaya satuan dengan metode tasi dokter, penggunaan obat, dan pemeriksaan lab-
activity based costing. Secara umum RS XY mampu oratorium. Data disajikan dalam tabel dan diagram
menekan biaya menjadi lebih kecil dari klaim INA- untuk menunjukkan proporsi. Informasi kendali bi-
CBG’s, namun biaya pelayanan kesehatan pada kasus aya SC di RS XY yang mencakup formularium, CP,
tertentu lebih besar daripada klaim INA-CBG’s sep- dan sistem insentif dari hasil wawancara mendalam
erti pada pelayanan tindakan Sectio Ceasarea (SC). dikumpulkan dalam bentuk transkrip dan dipindah-
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dan bertu- kan ke dalam matriks wawancara mendalam ber-
juan untuk menilai upaya costcontainment pada kasus dasarkan variabel penelitian kualitatif.
Sectio Caesarea di RS XY melalui penerapan Clinical
Pathway, formularium, dan struktur insentif. Hasil Penelitian
Kasus SC tanpa penyulit dengan jaminan BPJS Kese-
Metodologi Penelitian hatan sepanjang periode Januari-Maret 2016 didata,
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif kemudian dijumlahkan besaran klaim yang didapa-
yang dilakukan di RS XY pada periode Mei 2016- tkan dengan menggunakan tarif INA-CBG’s dan
Juni 2016. Metode pengambilan data menggunakan dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada
data primer dan data sekunder. Pengambilan data kasus tersebut. Selanjutnya komponen biaya di-
sekunder dilakukan dengan telaah dokumen untuk hitung untuk mengetahui komponen pembentuk bi-

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 186 Volume 1, Nomor 4


aya terbesar. CP tindakan SC yang berlaku di RS XY bah atau mengurangi pemeriksaan yang ditentukan
juga dievaluasi penerapannya dari segi lama rawat, dalam CP.
visitasi dokter, penggunaan obat dan BHP, serta pe- Formularium yang digunakan di RS XY merujuk
meriksaan laboratorium. kepada formularium nasional (fornas). Formulari-
Terdapat beberapa keterbatasan dalam pelak- um rumah sakit sendiri masih dalam proses pembua-
sanaan penelitian anatara lain Rumah Sakit belum tan. RS XY juga telah menentukan kebijakan dalam
mempunyai sistem informasi yang memungkinkan penggunaan obat dan BHP bagi pasien BPJS terma-
peneliti untuk menghitung biaya riil per pelayanan suk dalam peresepan obat di luar Fornas atau obat
pasien. Peneliti juga tidak mendapat akses ke laporan mahal. Para dokter sudah diberikan pemahaman
biaya RS secara umum, maupun unit cost dari seti- bahwa pada pasien BPJS tidak bisa diberikan obat di
ap aktivitas pelayanan yang diberikan kepada pasien luar Fornas jika tersedia di dalam fornas dan mereka
sehingga pada penelitan ini, digunakan asumsi bah- sudah menyetujui jika Instalasi Farmasi rumah sakit
wa tagihan merupakan biaya ditambah 30% margin. mengganti obat yang diresepkan dengan pengganti
Besar persentase ini sesuai dengan besar persentase yang ada di dalam formularium.
margin obat yang berlaku di RS XY berdasarkan in- Struktur insentif yang digunakan di RS XY ada-
formasi dari Kepala Sub Bagian Perbendaharaan. lah metode Fee For Services dengan pembatasan pada
Kondisi saat penelitian tidak memungkinkan pe- komponen tertentu seperti jumlah maksimal pem-
neliti untuk mengakses berkas rekam medis seluruh bayaran jasa visitasi. Di rumah sakit tersebut telah
sampel. Sehingga dokumen yang ditelaah untuk me- diberlakukan peraturan bahwa jika resume medis
nilai kesesuaian CP adalah berdasarkan data rekapit- tidak dilengkapi dalam batas waktu yang ditentukan
ulasi yang diunduh dari aplikasi INA-CBG’s, laporan maka akan dilakukan pemotongan jasa. Kesepakatan
transaksi pasien, dan berkas bukti transaksi pasien. tersebut dapat mempengaruhi besarnya kompensasi
Pada Januari-Maret 2016, RS XY mengalami se- yang diterima oleh staf medik fungsional.
lisih sebesar Rp. 1.014.125.684,00 dari 207 ka-
sus. Rata-rata selisih per kasus adalah sebesar Rp. Pembahasan
4.899.157,89 sedangkan pada periode yang sama di Tarif INA-CBG’s ditentukan berdasarkan case group
tahun 2015, RS XY mengalami selisih sebesar Rp. yaitu kelompok kasus dengan karakter klinis dan
462.308.506,00 dari 87 kasus, dengan rata-rata se- kebutuhan sumber daya yang serupa untuk menega-
lisih sebesar Rp. 5.313.890,87 per kasus. Tampak kkan diagnosis dan menatalaksana kasus atau un-
ada perbedaan rata-rata selisih per kasus antara ta- tuk menyelesaikan 1 fase perawatan kasus (Cashin
hun 2015 dan tahun 2016 sebesar Rp. 414,732.98. et al, 2005). Besaran tarif INA-CBG’s tetap sesuai
Selanjutnya dari 207 kasus SC pada tahun 2016 Peraturan Menteri Kesehatan RI sedangkan tarif RS
maka kasus SC dengan severity level 2 dan kasus dihitung berdasarkan unit cost dari utilisasi sumber
yang memiliki kode diagnosis utama maupun di- daya yang digunakan untuk menatalaksana kasus.
agnosis sekunder yang memerlukan terapi tambah- Yang harus dilakukan rumah sakit adalah mengelola
an dikeluarkan. Ekslusi dilakukan pula pada kasus biayanya agar sama atau lebih rendah daripada tarif
yang prosedur utamanya bukan kode Sectio Caesarea INA-CBG’s.
(741), sehingga didapatkan sampel 133 kasus SC Pada bulan Mei 2015 terjadi pergantian kepemi-
tanpa komplikasi. mpinan RS XY dan mulai diterapkan pendekatan
Kasus yang diambil hanya kasus dengan LOS baru sebagai upaya cost containment. RS XY memben-
yang lama rawatnya 3 hari atau kurang dari 3 hari. tuk organisasi khusus untuk mengelola pasien BPJS
Dari seluruh kasus SC tanpa komplikasi rata-rata sebagai upaya kendali mutu dan kendali biaya terkait
LOS adalah 3,3 hari dengan 16% kasus memiliki pelayanan. Dalam melakukan tugasnya, tim pen-
lama rawat melebihi lama rawat CP yakni 3 hari gendali JKN merujuk kepada ketetapan yang sudah
rawat. Dari 84% kasus dengan LOS sesuai, 96% ka- disepakati rumah sakit. Pergantian kepemimpinan
sus dilakukan visitasi sesuai ketentuan yaitu oleh dengan kebijakan barunya serta dibentuknya tim
dokter kebidanan atau dokter umum minimal 1 kali pengendali mungkin menjadi faktor mengecilnya
per hari. Sebanyak 21% kasus memiliki penggunaan rata-rata selisih kurang pada kasus SC periode Jan-
obat dan BHP yang sesuai, yaitu yang tidak menam- uari-Maret 2016.
bah jenis atau jumlah obat dan BHP dari Paket SC Dalam penerapan CP, 84% kasus memiliki LOS
dan/atau CP. Kemudian 48% kasus memiliki pemer- sesuai CP. Seiring perkembangan ilmu kedokteran,
iksaan laboratorium yang sesuai, yaitu tidak menam- rata-rata LOS pasien SC terus mengalami penurunan.

Analisis Cost Containment pada Kasus Sectio Caesarea 187 Istianisa & Oktamianti
Pada tahun 1970, rata-rata LOS pasien SC di Amer- dapat menurunkan insidens hipotensi (Kol, 2009).
ika adalah 7,8 hari kemudian menurun 49% pada Untuk obat dan BHP yang termasuk dalam paket
tahun 1992 menjadi 4 hari (CDC, 1995). Kini, um- SC secara umum informan mengetahui adanya pen-
umnya pasien post SC dirawat selama 2-3 hari. LOS gendalian jika pasien memerlukan obat di luar paket
yang terlalu lama tidak efisien dan meningkatkan melalui tim pengendali. Instalasi Farmasi juga telah
biaya. diberikan kewenangan untuk langsung memberikan
Sepanjang periode Januari sampai Maret 2016 penambahan obat tertentu pada kasus tertentu na-
dari seluruh pasien kasus sampel 96% kasus di-visit mun pihak farmasi kurang mengetahui penggunaan
sesuai ketentuan CP. Dalam Standar Pelayanan Min- obat dan BHP tambahan di ruang bedah.
imal (SPM) Rumah Sakit tahun 2008, standar pe- Hasil telaah dokumen justru menunjukan bahwa
layanan visitasi dokter spesialis di unit rawat inap kasus dengan obat atau BHP tambahan lebih ban-
adalah pukul 08.00-14.00 setiap hari kerja. Kebi- yak daripada kasus yang sesuai dengan paket dan
jakan mengenai visitasi dokter spesialis pada hari CP. Kemudian didapatkan informasi bahwa ternya-
libur, biasanya sesuai dengan kebijakan dari mas- ta evaluasi untuk obat dan BHP yang masuk dalam
ing-masing rumah sakit. Paket SC masih belum berjalan, baik mengenai obat
Berdasarkan telaah berkas rincian transaksi pa- yang berlebih atau obat yang kurang.
sien, didapatkan 79% pasien menggunakan obat Penambahan obat mungkin tidak serta merta
atau BHP di luar paket SC. Ketidaksesuaian lebih membuat biaya membengkak secara siginifikan kare-
banyak berupa penambahan obat di luar Paket SC. na obat dan BHP yang tersedia di Rumah Sakit pun
Obat yang sering ditambahkan adalah penggunaan sebagian besar merupakan obat fornas yang didapat-
profilaksis efek samping hipotensi akibat anestesi kan melalui e-catalog dengan harga yang tidak terlalu
spinal saat intra operasi. Obat lain di luar paket yang tinggi. Tetapi penggunaan obat tambahan yang ter-
banyak ditemukan adalah obat tekanan darah ting- lalu sering mungkin menunjukkan perlunya evaluasi
gi dan asma. Ditemukan pula penggunaan antibio- ulang CP demi menjaga mutu layanan Rumah Sakit.
tik tambahan yakni metronidazol. BHP yang sering Pemeriksaan laboratorium dianggap sesuai jika ti-
digunakan melebihi yang diberikan adalah benang dak ada pemeriksaan di luar yang sudah ditetapkan
untuk operasi. CP. Pemeriksaan laboratorium berdasarkan CP ada-
Penggunaan obat di luar paket untuk indikasi pen- lah pemeriksaan hemoglobin (Hb), leukosit (Leu),
yakit penyerta dapat dibenarkan seperti penggunaan trombosit (Tr), hematokrit (Ht), gula darah sewak-
obat hipertensi dan asma. Penggunaan antibiotik tu (GDS), dan CT/BT sebelum operasi serta pemer-
tambahan atau pengganti juga ada pada tempatnya iksaan Hb, Leu, Tr, dan Ht setelah operasi. Berdasar-
jika diberikan pada pasien yang diketahui alergi ter- kan telaah dokumen ditemukan bahwa pemeriksaan
hadap antibiotik tertentu atau disertai infeksi yang laboratorium pada 48% pasien sesuaidenganketentu-
tidak cocok menggunakan antibiotik yang termasuk an CP. Penambahan pemeriksaan yang dilakukan an-
dalam paket SC. tara lain tes fungsi hati (SGOT/SGPT), fungsi ginjal
Penggunaan profilaksis anestesi di ruang bedah (Ur/Cr), urin lengkap, dan HBsAg.
perlu didiskusikan kembali. Saat ini pada lembar Secara umum, CP untuk prosedur tindakan SC
checklist CP yang sudah dibuat hanya tertera peng- di RS XY dirasa belum berjalan dengan optimal. Wa-
gunaan profilaksis midazolam, yang umumnya digu- laupun semua pihak sudah mengetahui peranannya
nakan sebelum anestesi umum. Penggunaan efedrin masing-masing namun angka persentase kesesuaian
sebagai profilaksis anestesi spinal tidak tertera da- dengan CP kurang dari 50% dalam hal pengelolaan
lam CP. Chinachoti & Tritrakarn (2007) mene- obat dan BHP serta pemeriksaan laboratorium. Dari
mukan dari penelitiannya bahwa kejadian hipotensi hasil wawancara juga belum nampak adanya sistem
(penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20% atau evaluasi terstuktur secara berkala untuk penerapan
lebih) pada anestesi spinal dengan menggunakan bu- CP dan penggunaan resource. Belum berjalannya
pivacain adalah sebesar 57,9% dengan insidens tert- penggunaan checklist CP mungkin merupakan faktor
inggi terjadi pada kelompok SC. Pada penelitian yang yang berperan dalam kesesuaian tatalaksana pasien
dilakukan Chumpathong (2006), diketahui bahwa dengan CP. Fungsi checklist, selain sebagai pengingat
angka kejadian hipotensi (tekanan sistolik terendah juga dapat digunakan untuk melakukan evaluasi se-
kurang dari sama dengan 100 mmHg) pada kasus derhana dengan mudah.
SC adalah sebesar 76%. Penelitian lain mengenai Obat dan BHP diatur penggunaannya dengan for-
efek pemberian efedrin intravena pada kasus SC mularium dan diberlakukan kebijakan untuk men-

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 188 Volume 1, Nomor 4


gendalikannya RS XY telah menentukan kebijakan mungkin disertai keengganan dari staf medik fung-
dalam penggunaan obat dan BHP bagi pasien BPJS sional, sebagaimana hasil penelitian Tilburt (2013)
termasuk dalam peresepan obat di luar fornas atau yang menunjukkan 70% responden dokter tidak
obat mahal. Pergantian obat bermerk yang diresep- antusias mengenai penghapusan sistem pembayaran
kan dokter oleh tenaga farmasi sudah diatur dalam FFS. Perubahan harus dilakukan dengan perlahan,
Peraturan Pemerintah RI no 51 tahun 2009 tentang dan bisa dilakukan dengan melakukan penambahan
pekerjaan kefarmasian Pasal 24b yaitu bahwa apo- pada metode FFS dengan menambahkan reward atau
teker dapat mengganti obat merek dagang dengan punishment dengan indikator yang berorientasi peng-
obat generik yang sama komponen aktifnya atau hematan biaya.
obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/
atau pasien. Kesimpulan dan Saran
Selama 2 tahun beroperasinya RS XY belum mem- Kesimpulan
berlakukan sistem remunerasi untuk pembayaran Terdapat selisih antara klaim INA-CBG’s dan total
jasa staf medik fungsional. Untuk staf medik fung- tagihan RS untuk 207 kasus SC dengan jaminan
sional, khususnya dokter spesialis, RS XY menggu- BPJS sepanjang Januari-Maret 2016. Total Selisih
nakan sistem FFS sedangkan untuk staf lain seperti yang didapat sebesar Rp. 1.014.125.684,00 dengan
perawat dan bidan, RS XY menggunakan sistem gaji. rata-rata selisih adalah sebesar Rp. 4.899.157,89 per
Sadar biaya pada dokter dengan pembayaran kasus. Jika dibandingkan dengan rata-rata selisih ta-
kompensasi metode FFS lebih rendah dari pada dok- hun 2015 yang sebesar Rp. 5.313.890,87 per ka-
ter yang dibayar dengan gaji dan bonus (Tillburt, sus, tampak ada perbedaan rata-rata selisih per ka-
2013). Rendahnya perilaku sadar biaya dokter akan sus dari tahun 2015 dan tahun 2016 sebesar Rp.
berdampak pada keputusan klinis dan akhirnya ber- 414.732,98.
dampak pada biaya. Groenewegen & Calnan (1995) Penerapan CP belum optimal, ditemukan bahwa
menyatakan remunerasi adalah sistem dapat men- komponan penggunaan obat dan BHP serta pemer-
dorong kompetisi dan profitabilitas dengan lebih iksaan laboratorium masih belum sesuai dengan CP.
baik. Sistem ini umumnya lebih dipilih agar dapat Diketahui bahwa checklist CP belum diterapkan dan
mengendalikan biaya dengan lebih efisien. Keputu- tidak ada sistem evaluasi terstruktur untuk CP kasus
san untuk tetap menggunakan FFS berkaitan dengan SC.
sejarah perubahan sistem RS yang sebelumnya mer- Walaupun ada standardisasi penggunaan obat yang
upakan RS swasta. Perubahan ini menuntut manaje- mengacu kepada fornas dan pengendalian peresepan
men untuk mampu mengantarkan perubahan secara obat oleh tim pengendali JKN namun masih ditemu-
perlahan dan tidak drastis untuk menjaga motivasi kan banyak ketidaksesuaian penggunaan obat dan
pegawai dan pelayanan rumah sakit. BHP untuk kasus SC. Dan belum ada sistem evaluasi
Metode FFS mengkompensasi dokter untuk se- mengenai kekurangan dan kelebihan obat dan BHP
tiap pelayanan yang diberikan. Dokter yang diberi dari sistem Paket SC.
insentif dengan metode kapitasi akan lebih memi- masih menggunakan sistem FFS untuk pemba-
lih tatalaksana dengan biaya lebih rendah dan bah- yaran jasa staf medik fungsional. Pembatasan yang
wa dokter yang diberi insentif dengan metode FFS diberikan berupa ketentuan pembayaran jasa rawat
akan lebih memilih tatalaksana yang dengan biaya maksimal untuk kasus yang sudah memiliki CP
lebih tinggi (Vo, 2013). Sistem FFS yang diterap- dan pemotongan jasa medis bagi dokter yang tidak
kan RS XY, mungkin tidak akan meningkatkan bi- mengisi resume medis dengan lengkap dalam kurun
aya secara langsung karena besarannya yang sudah waktu yang ditentukan. Struktur insentif FFS yang
diperhitungkan, yang akan berkurang maupun ber- digunakan pada saat ini tidak cocok diterapkan pada
tambah sesuai dengan berkurang atau bertambahnya sistem paket tarif INA-CBG’s, perlu dipertimbang-
jumlah klaim INA-CBG’s. Tetapi metode FFS tidak kan perubahan struktur insentif yang lebih men-
mendorong perubahan perilaku dokter untuk men- dorong sadar biaya mengingat besarnya persentase
gendalikan biaya karena terkendali atau tidak biaya Jasa Pelayanan dalam komponen pembentuk tagihan.
dalam tata laksana pasien tidak dirasakan dampakn- Saran
ya secara langsung oleh dokter. Evaluasi kembali CP dan resource yang digunakan
Setiap perubahan dalam sistem umumnya tidak dalam hal (1) penggunaan profilaksis anestesi di
akan diterima tanpa resistensi. Mengubah sistem ruang bedah; (2) jumlah benang yang digunakan;
FFS menjadi sistem lain baik salary atau remunerasi (3) standar pemeriksaan HbsAg sebelum operasi;

Analisis Cost Containment pada Kasus Sectio Caesarea 189 Istianisa & Oktamianti
(4) pemeriksaan Leukosit, Tromobosit, dan Hema- De Bleser, L., et all. (2006). Defining Pathways.
tokrit setelah operasi; (5) menerapkan penggunaan Journal of Nursing Management, 14, 553–63.
checklist CP dan membuat sistem evaluasi CP secara Ensor, T., & Indrajaya, S., (2012). The costs of de-
periodik. livering health services in Indonesia: Report on
Perlu dilakukan pendataan penggunaan obat dan a prospective survey 2010-2011. Depkes RI, Ja-
BHP yang kurang atau berlebihbaik pada tahap pra karta
operasi, intra operasi dan post operasi. Kemudian Garber, A., Goldman, D.P., and Jena, A.B., (2007).
dilakukan evaluasi kembali untuk memastikan paket The promise of health care cost containment.
obat menggunakan resource yang tidak berlebih dan Health Affairs, 26, no.6 :1545-7
memberikan mutu pelayanan yang baik. Serta perlu Groenewegen, P.P., & Calnan M., (1995). Changes
dibuat sistem informasi yang lengkap dan detail un- in the control of health care systems in europe
tuk mempermudah proses pendataan dan evaluasi, implication for professional autonomy. European
utamanya dalam hal penggunaan resource. journal of public heatlh, 5: 240-244
Perlu dilakukan telaah struktur insentif yang Horngren, C.T., Datar, S.M., & Rajan, M.V., (2015),
mampu meningkatkan budaya sadar biaya kemudian Cost accounting a managerial emphasis, 15th edn,
dipertimbangkan untuk melakukan transisi sistem Pearson Edcation Inc., Upper Saddle River, New
imbal jasa. Perubahandari FFS menujuremunerasise- Jersey.
baiknya dilakukan dengan perlahan dan bisa dimulai Javid M., et al. (2015). Application of the activi-
dengan memberikan penambahan pada metode FFS ty-based costing method for unit-cost calculation
misal dengan menyertakan reward dan/atau punish- in a hospital. Global Journal of Health Science;
ment dengan indikator yang berorientasi pengenda- Vol. 8, No. 1; Canadian Center of Science and
lian biaya. Education
Kinney, M.R., Raiborn C.A., (2011). Cost Ac-
Daftar Pustaka counting: Foundations and Evolutions, 8th ed.
American Society of Health-System Pharmacists. South-Western Cengage Learning.
(2008). ASHP guidelines on medication cost Kol IO, et al. 2009. The Effects of Intravenous
management strategies for hospitals and health Ephedrine During Spinal Anesthesia for Cesarean
systems. Am J Health-Syst Pharm, 65:1368–84. Delivery: A Randomized Controlled Trial. J Kore-
Carrin, G., dan Hanvoravongchai, P., (2002). Health an Med Sci. 2009 Oct; 24(5): 883–888.
care cost-containment policies in high-income Pena, A.D., & Ndiaye M., (2003). Cost control, a
countries: how successful are monetary incen- myth or reality: do hospital costs really go down
tives? World Health Organization Geneva. when quality goes up? World Hospitals and Health
Cashin C, et al. 2005. Case-based hospital payment Services. Vol.40 No.1 p28-32
systems: a step-by-step guide for design and im- Putri, A.E., (2014), Paham JKN Jaminan Kesehatan
plementation in low- and middle-income coun- Nasional, Friedrich-Ebert-Stiftung
tries. United States Agency for International De- Tilburt JC, et al. (2013). Views of US Physicians
velopment. About Controlling Health Care Costs. JAMA.
Centers for Disease Control and Prevention. 1995. 2013;310(4):380-388
Trends in Length of Stay for Hospital Deliv- Vo, AV. 2013. Working Hard or Hardly Working?
eries - United States, 1970-1992. Morbidity The Effects of Pay Structure on Cost of Health-
and Mortality Weekly Report. May 05, 1995 / care Provision. Carlson School of Management,
44(17);335-337. University of Minnesota.
Chinachoti T & Tritrakarn T. 2007. Prospective
study of hypotension and bradycardia during spi-
nal anesthesia with bupivacaine: incidence and
risk factors, part two. J Med Assoc Thai. 2007
Mar;90(3):492-501.
Chumpathong S et al. 2006. Incidence and risk fac-
tors of hypotension during spinal anesthesia for
cesarean section at Siriraj Hospital. J Med Assoc
Thai. Aug;89(8):1127-32.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 190 Volume 1, Nomor 4

Anda mungkin juga menyukai