Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Keperawatan Bencana yang berjudul
“Dokumentasi Dan Hasil Pelaporan Penilaian Bencana”
Adapun tujuan dari penulisan dari proposal ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Keperawatan Bencana. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu Dosen Pengampuh yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang tekuni.
Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................I
DAFTAR ISI................................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dokumentasi Dan Hasil Pelaporan Penilain Bencana............2
a. Dokumentasi.....................................................................2
b. Hasil Pelaporan Penilaian Bencana………………….............2
c. Ruang Lingkup Kampus Siaga Bencana……………........... 2
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
SUMBER REFERENSI
BAB I
PENDAHULUAN
pelayanan primer berhubungan dengan proses yang memastikan bahwa pusat pelayanan
primer dipersiapkan dengan baik untuk kejadian bencana, meminimalisir kehilangan
nyawa, cedera, kerusakan harta benda, dan rehabilitasi dengan cara meningkatkan
sumber daya dan kapasitas yang berkesinambungan terhadap fungsi pokok organisasi.
Berdasarkan acuan dari WHO (1995), panduan kesiapsiagaan bencana meliputi empat
aspek yaitu sumber daya manusia, kesiapsiagaan fasilitas, SOP atau program yang
berhubungan dengan bencana dan kebijakan. Para tenaga kesehatan pada Pusat
pelayanan primer seharusnya didukung dengan kompetensi untuk menghadapi bencana.
Kompetensi yang dibutuhkan oleh tenaga kesehatan untuk siap menghadapi bencana
seperti pelatihan kesiapsiagaan bencana, Basic and Advance life support dan pelatihan
kegawatdaruratan kesehatan masyarakat (Fuadi et al, 2011).
Kristiana dan Ristrini, (2013), peran pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
dalam sistem pelayanan kesehatan tanggap darurat adalah langsung dalam hal teknis
pelayanan di masyarakat korban bencana. Dalam melaksanakan tugasnya, Puskesmas
berada di bawah koordinasi Dinkes kabupaten. Hambatan yang dirasakan Puskesmas
dalam memberikan pelayanan kesehatan tanggap darurat adalah belum adanya
koordinasi yang optimal antar lembaga terkait. Jejaring dalam pelayanan kesehatan
tanggap darurat di tingkat Puskesmas terjadi hanya pada saat ada bencana. Selain itu
masih belum ada payung hukum yang jelas dan prosedur standar untuk koordinasi antar
sektor. Sumber daya manusia di puskesmas sudah tersedia, namun pada saat
pelayanan tanggap darurat dirasa masih belum sesuai dengan kebutuhan. Anggaran
khusus untuk bencana di tingkat puskesmas masih belum tersedia, begitu pula
logistik khusus bencana. Sampai saat ini belum tersedia indikator yang dapat menilai
kesiapsiagaan Puskesmas dalam menanggulangi bencana sehingga perlu suatu
instrumen yang terukur yang dapat menjadi bahan acuan puskesmas untuk
meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana
Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana atau Rapid Health Assessment (RHA)
sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana bencana merupakan kejadian yang
sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa kehidupan manusia dan
mengancam lingkungan (Khankeh HR, dkk., 2007). Dampak yang ditimbulkan
mengakibatkan dampak fisik pada manusia seperti kesakitan dan kematian serta
dampak lingkungan yaitu kerusakan infrastruktur, kerusakan area pertanian serta
menyebabkan gangguan kesehatan. terkontaminasinya air bersih, tersumbatnya saluran
air, serta rusaknya fasilitas air bersih. Dampak terhadap gangguan kesehatan secara
umum abu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan khususnya menyebabkan iritasi
pada paru-paru, kulit dan mata.(Suryani, 2014). RHA berisi data tentang jenis bencana,
lokasi bencana, dampak bencana, kondisi korban, kondisi sanitasi lingkungan
penampungan, upaya yang telah dilakukan, kemungkinan KLB yang akan terjadi serta
kesiapan logistik dan bantuan yang mungkin segera diperlukan. RHA juga
mengidentifikasi angka morbiditas dan mortalitas pada penduduk yang mengalami
bencana terutama masyarakat khusus seperti anak-anak dibawah 5 tahun, orang tua, ibu
hamil dan wanita menyusui (Depoortere & Brown, 2006, Kemenkes, 2013).
Pengambilan data RHA pada saat terjadi bencana erupsi Gunung Lokon di Tomohon
belum berjalan secara optimal, hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya lembar
RHA yang tidak terisi secara penuh karena adanya keterbatasan perawat dalam
pengisian RHA dan adanya informasi yang tidak jelas mengenai kondisi bencana serta
kurangnya koordinasi dengan anggota tim kesehatan lain.
BAB II
PEMBAHASAN
dengan bantuan Software Super Dicision®. Hasil pembobotan untuk rancangan penilaian
kesiapsiagaan puskesmas dalam penanggulangan direkapitulasi dan dicari nilai rata-rata. Nilai
rata-rata pembobotan diperoleh dari hasil penjumlahan pembobotan dibagi jumlah narasumber.
Hasil rekapitulasi pembobotan dapat dilihat pada Tabel 8. Setiap pembobotan dinilai
inconsistency. Dari keseluruhan pembobotan yang dilakukan, nilai inconsistency-nya
bernilai kurang dari 0,1, yang artinya konsisten. Nilai bobot ini akan mempengaruhi nilai akhir
penilaian. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam instrumen penilaian maka
nilai skor akan terisi secara otomatis. Nilai skor adalah total nilai dibagi jumlah pertanyaan
dikalikan bobot untuk masing-masing indikator. Skor maksimum diperoleh dengan perkalian
nilai dan bobot. Sedangkan nilai maksimum untuk masing- masing indikator adalah 1.
Berdasarkan masukan dari hasil wawancara terhadap matrik indikator penilaian kesiapsiagaan
Puskesmas dalam penanggulangan bencana, maka tahap selanjutnya adalah menghitung nilai
Content Validity Ratio (CVR) untuk 11 jumlah panelis 10 (sepuluh) orang. Agar pertanyaan
dinyatakan valid, maka nilai uji validitas minimum adalah 0,62. Untuk penelitian ini,
berdasarkan nilai CVR dari setiap aitem pertanyaan, diperoleh nilai CVI 0,98, yang berarti dapat
disimpulkan bahwa validitas isi tes secara keseluruhan dinyatakan valid,karena telah memenuhi
nilai minimum > 0,62.
1.9 Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Format RHA merupakan suatu metode penilaian cepat diperlukan untuk mengumpulkan
informasi yang terpercaya, obyektif yang digunakan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan. (Roorda, dkk,. 2004). Format RHA digunakan sebagai alat kajian cepat untuk
melihat adanya keadaan yang darurat dengan mengumpulkan informasi penting status
kesehatan sehingga memberikan intervensi kesehatan yang diprioritaskan. Adanya suatu
format penilaian cepat sangat penting untuk mengumpulkan informasi dalam waktu
yang cepat. (Bradt & Drummond, 2002) Menurut penelitian Korteweg dan Bokhoven (2010),
bahwa versi digital dari format meningkatkan rapidness dari penilaian, namun tidak bisa
menarik kesimpulan apakah format dalam bentuk kertas atau versi digital berpengaruh pada
hasil dari penilaian.
Pencatatan yang apa adanya merupakan ketidaksiapan lain yang dialami oleh
perawat pada saat akan melakukan pengkajian. Menurut Jevon dan Ewens (2009),
pencatatan yang baik adalah sebagai sumber penyebaran informasi dan sarana
komunikasi sesama anggota tim yang professional. Dokumentasi pada saat bencana
harus dilakukan pelaporan oleh anggota tim yang melaksanakan pendokumentasian.
Kurangnya pedoman lapangan juga akan menjadi hambatan teknis dalam pelaksanaan
pengumpulan data (Johnson, 2006).
a. Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim
Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena perawat banyak melakukan tupoksi
orang lain dan perawat sering bekerja sendirian tanpa adanya tim lain. Hal ini senada
dari hasil penelitian Anam (2013),
Secara konsep disebutkan bahwa dalam suatu bencana, perawat harus dapat
berkolaborasi dengan lingkungannya baik itu dengan epidemiologi, laboratorium,
biostatistik, dokter maupun petugas yang lain unutk meningkatkan kerjasama dalam
kondisi bencana. (Magnaye, 2011). Menurut Nicola, (2012), bahwa RHA harus
diselesaikan sesegera mungkin berikut darurat dan dilakukan oleh tim multidisiplin
personil yang berkualitas, dengan kisaran yang tepat keahlian.
Anggota tim sebaiknya memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidangnya,
memiliki integritas dan mampu bekerja dalam situasi bencana. Apabila dampak
bencana sangat luas, dapat dibentuk beberapa tim. (Kemenkes, 2011). Hal senada
diungkapkan Wibowo (2009), bahwa tim bencana termasuk didalamnya adalah
perawat diseleksi berdasarkan keahlian dan kebutuhan yang diperlukan. Menurut
Daily (2009), mengatakan bahwa kompetensi suatu tim mudah dipengaruhi oleh
profesi kesehatan lain.
b. Kurangnya koordinasi anggota tim
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerjasama tim sering menimbulkan
konflik dan ambiguitas karena adanya otonomi professional. (Finn, 2008).
Menurut penelitian Kerr (2009), disebutkan bahwa tim yang berkomunikasi dan
berkoordinasi satu sama lain akan memantau kinerja masing-masing dan
memberikan umpan balik dan memiliki solusi dalam keadaan salah. Koordinasi
tim juga akan meningkatkan pengetahuan, komunikasi dan dukungan bagi anggota
tim yang kurang berpengalaman.
c. Perawat merasa kurang memahami dalam pengisian format
Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, menyebabkan kesulitan
dan kebingungan dalam pengisian format karena tidak sama dengan teori-teori yang
diterima merupakan perasaan yang diungkapkan oleh perawat dalam pengisian
format RHA. Magnaye (2011), dalam penelitiannya pada 250 perawat di Philipina
bahwa pengetahuan harus dipersiapkan sebelum kejadian bencana untuk
meningkatkan kompetensi perawat saat bencana terjadi. Persiapan perawat meliputi
training, workshop, seminar tentang keperawatan bencana. International Council
Nurse (2007), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat
diantaranya adalah kemampuan kognitif disamping sikap (affektif) dan psikomotor
(skill) dalam disaster manajemen.
d. Perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data
Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang
kesehatan didalam bencana. Di dalam pengkajian ditemukan ketidakjelasan data
dimana didapati data yang tidak pasti, data yang terekam ulang, data yang hanya
sebuah estimasi sampai dengan informasi yang tidak jelas mengenai keadaan
kesehatan selama bencana. Format yang berbeda tersebut menyebabkan kesulitan
dalam membuat rekapitulasi data bencana secara nasional (BNPB, 2011). Informasi
yang diterima saat terjadi bencana harus akurat dan factual sehingga dapat
memberikan informasi dengan konteks yang tepat. Perawat dapat
mengumpulkan data secara langsung dalam lingkup bencana, sehingga
memungkinkan perawat untuk menilai dampak bencana (Melinda, 2011).
e. Perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah
Proses rujukan terjadi karena kapasitas, kemampuan dan keahlian di tempat pelayanan
kesehatan yang tidak merata (Dudley, dkk., 2000). Rujukan dapat dilakukan ke rumah sakit
dalam satu wilayah, rujukan ke daerah atau propinsi lain atau bahkan ke negera lain bila
korban bencana membutuhkan perawatan lebih lanjut ataupun daya tampung rumah sakit
terdekat terlampaui (Kemenkes, 2011). Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit tentang system rujukan Rumah Sakit dimana pelimpahan tugas dan tanggung
jawab rujukan bisa secara vertikal maupun horizontal ataupun struktur dan fungsional
terhadap masalah kesehatan, hal ini juga sesuai dengan hasil penelitia Martono (2014), yang
mengatakan bahwa perawat melakukan rujukan pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih
lengkap tertuang dalam Peraturan Gubernur DIY No. 59 tahun 2012 pasal 2.
f. Perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian
Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena adanya jalur komunikasi yang
terputus, gangguan alat komunikasi, gangguan alat penerangan, serta gangguan
transportasi. Kendala koordinasi juga menjadi hambatan dalam melakukan pengkajian
Pengkajian awal harus dilakukan tepat waktu untuk menginformasikan keadaaan darurat
dan segera, sehingga pengambil kebijakan dapat melakukan penilaian cepat dengan
melihat kebutuhan dan sumber daya, layanan kedaruratan yang diperlukan (International
Federation of Red Cross, 2000).
g. Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA
Kompetensi perawat sebagai tim penanggulangan bencana ini yaitu dapat
menjelaskan arti tanggap darurat bencana terhadap masyarakat, mengumpulkan
data cedera dan penyakit yang diperlukan, mengevaluasi kebutuhan kesehatan dan
sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, kolaborasi
dengan tim penanggulangan bencana untuk mengurangi bahaya dan resiko bencana,
memprioritaskan masalah kesehatan, berpartisipasi dalam penanggulangan kejadian
luar biasa dengan kegiatan seperti imunisasi, mengevaluasi dari intervensi yang
telah dilakukan berbasis pada hasil RHA (ICN, 2009, Hassmiller & Stanley, 2010).
Pengumpulan data pada saat tanggap darurat bencana meliputi pengumpulan data
angka kesakitan dan kematian, kebutuhan kesehatan termasuk kebutuhan psikologi,
kebutuhan infrastruktur, nutrisi dan tempat mengungsi (Morton, 2011).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut ini :
1. Gambaran kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas di kecamatan Manggala kota
Makassar adalah sebesar 92,5%.
2. Secara keseluruhan hanya terdapat dua faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas dalam penanggulangan bencana banjir di kecamatan
manggala kota Makassar tahun 2019 yaitu tersedianya protap/pedoman bencana dan
pelaksanaan evaluasi.
Berdasarkan rancangan penilaian kesiapsiagaan puskesmas dalam penanggulangan bencana
yang telah dibuat, dapat disimpukan berikut ini. Aspek Pemetaan Kesehatan terdiri dari 5 indikator
yaitu Peta rawan bencana, peta sumberdaya kesehatan, peta risiko bencana, peta kerentanaaan dan
peta potensi masyarakt dan lingkungan. Aspek Pelayanan gawat darurat sehari-hari terdiri dari 3
indikator yaitu protap gawat darurat dan rujukan, kesiapsiagaan sarana dan prasarana pelayanan
gawat darurat dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas. Aspek Pemberdayaan masyarakat terdiri
dari 6 indikator yaitu pelatihan kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, promosi
kesehatan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, penanganan gawat darurat bagi awam,
penanganan gizi, penanganan kesehatan jiwa dan kesehatan reproduksi. Aspek latihan kesiapsiagaan
terdiri dari 3 indikator yaitu simulasi satgas, simulasi puskesmas dan rencana kontinjensi. Aspek
surveilans terdiri dari 3 indikator yaitu pemantauan lokasi- lokasi rawan bencana, deteksi dini
bencana dan kerjasama dengan pihak terkait.
Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat kesehatan dalam bencana baik
dilihat dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun pada saat pengumpulan data serta
kurangnya koordinasi baik lintas program, lintas sektor maupun antar wilayah maka perawat
memiliki harapan untuk peningkatan dalam optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan-
pelatihan dan peningkatan kompetensi perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Media Kesehatan Politeknik Kesehatan ISSN : 1907-8153 (Print)
ISSN : 2549-0567 (Online)
Email Korespondensi:
hermanbakri@pasca.unhas.ac.id (Hp: 0811410723)
ABSTRAK
Indonesia terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana banjir. Kondisi tersebut
menuntut kesiapsiagaan dari tenaga kesehatan untuk kegiatan penanggulangan bencana
banjir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas di dalam penanggulangan bencana banjir dan beberapa faktor
yang berhubungan dengan kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas. Jenis penelitian
pada penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan Cross Sectional
Study dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang. Hasil analisis terlihat tidak semuanya
menyatakan siap siaga dalam penanggulangan bencana banjir. Dari 40 orang responden
ternyata masih ada 7,5% yang menyatakan tidak siap siaga. Hasil dari analisis
multivariat menunjukkan bahwa variabel protap/pedoman dan pelaksanaan evaluasi
mempunyai pengaruh yang sama terhadap kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas
yaitu protap/pedoman bencana dengan nilai OR (EXP (B) ) = 0,889 dan pelaksanaan
evaluasi dengan nilai OR (EXP (B) )= 0,889.
ABSTRACT
Indonesia is located in an area prone to floods. Makassar is one of the regions that is
definitely experiencing flood. These conditions require the preparedness of the medical
practitioner for the activities of flood management. This study aims at finding an
overview of flood management and several factors related to the preparedness of the
medical practitioner of community health center in Manggala. This study includes an
analytical research using a Cross Sectional Study approach with a total sample of 40
people from all community health center in Manggala. The analysis results showed that
not all of the medical practitioner of community health center stated that they were
ready for flood management. Out of 40 respondents, it turns out that there were still
7.5% saying they were not ready. The results of the multivariate analysis showed that
the variable of Standard Operating procedure/guideline and the implementation of the
evaluation had the same effect on the preparedness of the medical practitioner of
Vol. XV No. 1, Juni 2020
DOI: 59
Media Kesehatan Politeknik Kesehatan ISSN : 1907-8153 (Print)
ISSN : 2549-0567 (Online)
HASIL
Analisis univariat
Tabel 5.1 menunjukkan
gambaran kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas di
kecamatan Manggala kota
Makassar sebagian besar
menyatakan siap siaga dalam
penanggulangan bencana banjir
yaitu sebanyak 37 orang (92,5%)
dan 3 orang (7,5%) menyatakan
tidak siap siaga. Tabel 5.2 terlihat
gambaran umur responden bahwa
sebagian besar responden
berumur 35–60 tahun yaitu 29
orang (72,5%) dan 11
orang (27,5%) yang berumur 19-
34 tahun. Tabel 5.3 terlihat
gambaran jenis kelamin bahwa
sebagian besar responden
berjenis kelamin perempuan
Vol. XV No. 1, Juni 2020
DOI: 61
kerja menurut responden menunjukkan 3. Hubungan lama pengalaman kerja dengan
bahwa sebagian besar (65%), responden kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas
menyatakan cukup dan ada 35% yang Dari hasil analisis statistik, ternyata
menyatakan tidak cukup. Dari tabel 5.8 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
terlihat gambaran tersedianya biaya bermakna (p = 0,093 atau p > 0,05)..
operasional di unit kerja menurut 4. Hubungan frekuensi pelatihan bencana
responden menyatakan bahwa sebagian dengan kesiapsiagaan tenaga kesehatan
besar (57,5%) responden menyatakan puskesmas.
tidak tersedia dan ada 42,5% yang Dari hasil analisis statistik, ternyata
menyatakan tersedia. Pada tabel 5.9 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
terlihat gambaran ketersediaan bermakna proporsi kesiapsiagaan
kebijakan pemerintah tentang
kesiapsiagaan bencana menurut
responden menunjukkan bahwa
sebagian besar (65%) menyatakan tidak
tersedia dan ada 35% responden yang
menyatakan tersedia. Dari tabel 5.10
terlihat gambaran ketersediaan
protap/pedoman di unit kerja menurut
responden menyatakan bahwa sebagian
besar (62,5%) menyatakan tersedia dan
ada 37,5% responden yang menyatakan
tidak tersedia. Dari tabel 5.11 terlihat
gambaran pelaksanaan evaluasi
kegiatan di unit kerja menurut
responden menyatakan bahwa sebagian
besar (62,5%) responden menyatakan
bahwa dilakukan evaluasi dan ada
37,5% responden yang menyatakan
tidak dilakukan evaluasi.
Analisis Bivariat
Berdasarkan tabel 5.12 dapat
dijelaskan hal-hal berikut ini :
1. Hubungan umur dengan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
puskesmas
Dari hasil analisis statistik,
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna secara
statistik dimana p value = 1,230 atau
p > 0,05.
2. Hubungan jenis kelamin dengan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
puskesmas
Dari hasil analisis statistik,
ternyata menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna ( p =
0,572 atau p > 0,05).
menurut frekuensi pelatihan bencana kesiapsiagaan tenaga kesehatan
(p puskesmas
= 1,081 atau p > 0,05). Dari hasil analisi statistik,
5. Hubungan frekuensi ternyata menunjukkan adanya
simulasi/gladi dengan perbedaan yang bermakna (p =
kesiapsiagaan tenaga 0,024 atau p < 0,05).
kesehatan puskesmas
Dari hasil analisis Analisis multivariat
statistik, ternyata Untuk menguji semua variabel
menunjukkan tidak adanya independen terhadap variabel dependen
perbedaan yang bermakna (p maka dilakukan uji logistik regresi
= 1,177 atau p > 0,05). (regression logistik).
6. Hubungan kecukupan sarana Berdasarkan hasil analisis
dengan kesiapsiagaan tenaga bivariat, ternyata ada 2 variabel yang
kesehatan puskesmas dianalisis keduanya memenuhi syarat
Dari hasil analisis untuk dilakukan analisis lebih lanjut
statistik, ternyata dengan analisis multivariat yaitu
menunjukkan tidak adanya variabel yang mempunyai signifikansi
perbedaan yang bermakna ( p (p) < 0,025. Kedua variabel tersebut
= 1,746 atau p > 0,05). adalah tersedianya
7. Hubungan tersedianya biaya protap/pedoman (p = 0,024) dan
operasional dengan pelaksanaan evaluasi (p = 0,024).
kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas
Dari hasil analisi
statistik, ternyata
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna (p
= 2,397 atau p > 0,05).
8. Hubungan tersedianya
kebijakan pemerintah tentang
kesiapsiagaan bencana
dengan tenaga kesehatan
puskesmas
Dari hasil analisi
statistik, ternyata
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna (p
= 21,430 atau p > 0,05).
9. Hubungan tersedianya
protap/pedoman dengan
kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas
Dari hasil analisi
statistik, ternyata
menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna (p
= 0,024 atau p < 0,05).
10. Hubungan pelaksanaan
evaluasi dengan
Selanjutnya untuk menilai hubungan menurut kelompok umur tidak bermakna
yang paling bermakna diantara kedua secara statistik dimana p value = 1,230 atau p
variabel independen tersebut > 0,05.
terhadap Gibson (1987), menyatakan bahwa
kesiapsiagaan (variabel dependen), faktor usia merupakan variabel dari individu
maka dilakukan analisis regresi logistik yang pada dasarnya semakin bertambah usia
secara bersama-sama semua variabel seseorang akan semakin bertambah
yang memenuhi syarat kedewasaannya dan semakin banyak menyerap
Dari Tabel 5.13 menunjukkan informasi yang akan mempengaruhi
bahwa kedua variabel mempunyai produktivitasnya. Teori ini juga dikemukakan
pengaruh yang sama terhadap oleh Siagian (1995), yang menyatakan bahwa
kesiapsiagaan tenaga kesehatan semakin meningkatnya usia seseorang maka
puskesmas kedewasaan, teknik, dan psikologisnya
yaitu protap/pedoman semakin meningkat. Ia akan mampu
bencana dengan nilai OR (EXP (B) ) = mengambil keputusan, semakin bijaksana,
0,889 dan pelaksanaan evaluasi dengan semakin mampu berpikir
nilai OR (EXP (B)) = 0,889.
Pembahasan
Gambaran Kesiapsiagaan Tenaga
Kesehatan Puskesmas
Dari 40 orang responden ternyata
masih ada 7,5% yang menyatakan tidak
siap siaga. Ketidaksiapsiagaan ini
terjadi karena responden tidak bersedia
bekerja diluar jam kerja rutin dan atau
tidak bersedia bekerja dengan perintah
atasan yang datang secara mendadak
dan atau tidak bersedia bekerja dengan
sarana dan biaya operasional yang
tersedia di unit kerja untuk kegiatan
penanggulangan bencana banjir
diwilayah kerjanya.
Hubungan Tersedianya
Protap/Pedoman dengan
Kesiapsiagaan Tenaga
Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini
proporsi terbesar ada pada
kelompok responden yang
menyatakan tersedia
protap/pedoman sebesar 62,5%.
Kemudian yang menyatakan
tidak tersedia sebesar 37,5%.
Berdasarkan tabel 5.12 tampak
bahwa proporsi kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas
lebih tinggi pada responden yang
menyatakan protap/pedoman
penanggulangan bencana di unit
kerja tersedia sebesar 57,5%
dibandingkan dengan kelompok
yang menyatakan tidak tersedia
sebesar 35%. Dari hasil analisis
statistik, ternyata menunjukkan
adanya perbedaan yang
kesehatan menurut ketersediaan kesiapsiagaan tenaga kesehatan. Hasil analisis
protap/pedoman. ini bertentangan dengan Sinungan (2009),
yang menyatakan bahwa tidak hanya
Hubungan Pelaksanaan Evaluasi dipengaruhi oleh modal (sarana, material,
dengan Kesiapsiagaan Tenaga pembiayaan, dan lain-lain) akan tetapi juga
Kesehatan Puskesmas akan dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja
Dari hasil penelitian ini proporsi sendiri (kuantitas, pendidikan, keahlian,
terbesar ada pada kelompok responden struktur pekerjaan, minat kerja, kemampuan,
yang menyatakan dilakukan evaluasi sikap, dan aspirasi), manajemen dan organisasi
sebesar 62,5%. Kemudian yang (kondisi kerja, iklim kerja, organisasi dan
menyatakan tidak dilakukan evaluasi perencanaan, tatanan tugas, sistem insentif dan
sebesar 37,5%. Berdasarkan tabel 5.12 lain-lain).
tampak bahwa proporsi kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi
pada responden yang menyatakan
dilakukan evaluasi setelah kegiatan
penanggulangan bencana di unit kerja
sebesar 57,5% dibandingkan dengan
kelompok yang menyatakan tidak
dilakukan sebesar 35%. Dari hasil
analisis statistik, ternyata menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna
proporsi kesiapsiagaan menurut
dilakukannya evaluasi setelah kegiatan
penanggulangan bencana di unit kerja
bermakna secara statistik dimana p
value = 0,024 atau p < 0,05.
Hasil dari penelitian ini sejalan
dengan teori yang menyatakan bahwa
evaluasi merupakan upaya perbaikan
terhadap kegiatan yang telah
dilaksanakan yang dihadapkan kepada
tuntutan yang berubah baik secara
internal maupun eksternal. Hasil ini
sesuai dengan etos kerja terkait dengan
peningkatan produktivitas (Sutrisno,
2009).
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Gde, Muninjaya, 2018.
Manajemen Kesehatan.
Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
Adiyoso, W. 2018. Manajemen
Bencana. Bumi Aksara: Jakarta
Arikunto,S. 2002. Prosedur
Sekolah Pascasarjana Universitas Masyarakat
Hasanuddin Makassar.
Endang, S.S. 2014. Manajemen Terhadap Kesiapsiagaan
Kesehatan: Teori dan Praktik di Bencana Akibat Banjir di
Puskesmas. Gajah Mada Kecamatan Tempe Kabupaten
University Press: Yogyakarta Wajo.Tesis Sekolah Pasca
Handoko, R. 2013. Statistik Sarjana Universitas Hasanuddin
Kesehatan.
Mitra Cendikia Press: Makassar.
Yogyakarta Hasibuan, Malayu SP, Samsuddin, Sadili, 2006. Manajemen
2018. Manajemen Sumber Daya Manusia. Pustaka
Personalia dan Sumber Daya Setia: Bandung
Manusia. Bumi Aksara: Jakarta Saryono, 2011. Metodologi Penelitian
Heni, T. 2018. Perencanaan Program Kesehatan. Mitra Cendekia
Promosi Kesehatan. Penerbit Press: Yogyakarta
Andi: Yogyakarta Sugiyono, 2017. Metode Penelitian
Kasmir, 2018. Manajemen Sumber Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Daya Manusia. Rajawali Pers: Alfabeta: Bandung
Depok Sugiyono, 2017.Memahami Penelitian
Nurdin, P. 2016. Menurunkan Risiko Kualitatif. Alfabeta: Bandung
Bencana. Masagena Perss: Sulastomo, 2000. Manajemen
Makassar Kesehatan. PT Gramedia Pustaka
Nursalam,2013. Konsep dan Umum: Jakarta
Metodologi Penelitian Ilmu Undang-Undang Republik Indonesia
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Tesis, dan Instrument Penanggulangan Bencana.
Keperawatan, Salemba Medika: Uyanto, S.S. 2009. Pedoman Analisis
Jakarta Data dengan SPSS.Graha ilmu:
Pusponegoro, A.D. 2011. The Silent Yogyakarta
Disaster Bencana, dan Korban Wijono,Djoko, 2001. Manajemen
Massal. Sagung Seto: Jakarta Mutu Pelayanan Kesehatan.
Sedarmayanti, 2009. Sumber Daya Airlangga University Press:
Manusia dan Produktivitas Surabaya
Kerja. Cetakan ketiga. CV. Winardi, 2007. Motivasi dan
Mandar Maju: Bandung Pemotivasian dalam Manajemen.
Sabarguna, Boy, 2008. Manajemen Rajawali Pers: Jakarta
Kinerja Pelayanan Rumah Sakit. Yuniarsih, T. 2008. Manajemen
CV. Sagung Seto: Jakarta Sumber Daya Manusia. Alfabeta:
Saharullah, 2015. Bandung
Hubungan
Pengetahuan, Sikap dan
Tindakan
Tabel 5.1
Distribusi Kesiapsiagaan
Responden n= 40
No Kesiapsiagaan n %
1 Tidak siap siaga 3 7.5
2 Siap siaga 37 92.5
Tabel 5.2
Distribusi Umur
Responden
n= 40
Umur n %
19-34 tahun 11 27.5
35-60 tahun 29 72.5
Tabel 5.3
Distribusi Jenis Kelamin
Responden n= 40
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 6 15
Perempuan 34 85
Tabel 5.4
Distribusi Lama Pengalaman Kerja
Responden n= 40
Masa kerja n %
kurang 5 tahun 1 2.5
6 - 15 tahun 27 67.5
lebih 16 tahun 12 30
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Pelatihan Bencana
Responden n= 40
Frekuensi pelatihan n %
Tidak pernah 30 75
Pernah 10 25
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Simulasi/Gladi
Responden n= 40
frekuensi n %
tidak pernah 25 62.5
Pernah 15 37.5
Tabel 5.7
Distribusi Kecukupan Sarana Menurut
Responden n= 40
Kecukupan Sarana n %
tidak cukup 14 35
Cukup 26 65
Tabel 5.8
Distribusi Tersedianya Biaya Operasional Menurut
Responden
n= 40
Biaya operasional n %
tidak tersedia 23 57.5
Tersedia 17 42.5
Tabel 5.9
Distribusi Tersedianya Kebijakan Pemerintah
Tentang Kesiapsiagaan Bencana
n= 40
Kebijakan pemerintah n %
Tidak tersedia 26 65
Tersedia 14 35
Tabel 5.10
Distribusi Tersedianya Protap/Pedoman Menurut
Responden
n= 40
Protap/ pedoman n %
tidak tersedia 15 37.5
Tersedia 25 62.5
Tabel 5.11
Distribusi Pelaksanaan Evaluasi Kepada
Responden n= 40
Evaluasi n %
tidak dilakukan 15 37.5
Dilakukan 25 62.5
Tabel 5.12
Faktor Yang Berhubungan dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas
Tabel 5.13
Hasil uji regresi logistik variabel yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas dalam menghadapi bencana banjir tahun 2019
95% C.I.for
Variabel B S.E. Wald df Sig. EXP(B)
Exp(B) Lower Upper
ABSTRACT
Primary health care center preparedness in disaster management is very important to reduce the
impact of disasters occurring in the community. It is necessary to assess the level of Primary health
care center preparedness in disaster management to know the level of preparedness and the aspects of
preparedness that need to be improved. No instruments have been used to assess Primary health care
preparedness in disaster management. This study aims to identify indicators of preparedness of
Primary health care center in disaster management, to design the instrument of Primary health care
center preparedness assessment in disaster management. This research specifically uses Research and
Development research. Outline consists a) Introduction Research, b) Planning and Design of
instrument, c) weighting, d) Professional judgment e) Validity test instrument using Content Validity
Ratio (CVR). This study has identified six indicators of Primary health care center preparedness that
are health mapping, daily emergency services, community empowerment, preparedness exercises,
surveillance and cross sector coordination. This research has produced the instrument that has been
tested its validity, to assess the preparedness of Primary health care in disaster response.
Keywords: assessment instruments, preparedness, primary health care center, disaster
management.
ABSTRAK
Kesiapsiagaan Puskesmas dalam penanggulangan bencana sangat berperan mengurangi dampak
bencana yang terjadi di masyarakat. Perlu dilakukan penilaian tingkat kesiapsiagaan Puskesmas
dalam penanggulangan bencana untuk mengetahui tingkat kesiapan dan aspek-aspek kesiapsiagaan
yang perlu ditingkatkan. Belum ada instrumen yang digunakan untuk menilai kesiapsiagaan
Puskesmas dalam penanggulangan bencana. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi indikator
kesiapsiagaan puskesmas dalam penanggulangan bencana, merancang instrumen penilaian
kesiapsiagaan Puskesmas dalam penanggulangan bencana. Penelitian ini secara spesifik
menggunakan jenis penelitian Research and Development yang secara garis besar terdiri dari a)
Penelitian Pendahuluan, b) Perencanaan dan Desain intrumen, c) pembobotan, d) Professional
judgement e) uji validitas instrumen menggunakan Content Validity Ratio (CVR). Penelitian ini telah
menghasilkan instrumen yang telah diuji validitasnya, untuk menilai kesiapsiagaan Puskesmas dalam
Penanggulangan bencana.
Kata kunci: instrumen penilaian, kesiapsiagaan, puskesmas, penanggulangan bencana.
Rancangan Instrumen
Instrumen yang dirancang terdiri
dari 3 komponen yaitu:
1. Input Data
Komponen ini terhubung dengan form
pertanyaan kunci untuk setiap aspek dalam
penilaian kesiapsiagaan Puskesmas dalam
penanggulangan bencana yaitu pemetaan
kesehatan, koordinasi lintas sektor, pelayanan
gawat darurat sehari-hari, pemberdayaan
masyarakat, latihan kesiapsiagaan dan
pemantauan (surveilans). Evaluasi dilakukan
dengan menjawab pertanyaan kunci pada tiap-
tiap indikator.Nilai skor akan terisi otomatis
setelah pertanyaan untuk masing-masing
indikator terisi. Nilai skor maksimal 1 dan
minimal 0. Nilai skor merupakan total jumlah
nilai dibagi banyaknya pertanyaan.
Format pertanyaan kunci terdiri dari
kolom deskripsi kriteria, pertanyaan kunci,
respon, skor, serta kolom means of
verification yang merupakan objektifitas
penilaian. Untuk respon pertanyaan diberi
nilai 1 untuk jawaban “Ya” dan nilai 0 untuk
jawaban “Tidak”.
2. Penilaian
Berisi form hasil penilaian untuk
indikator-indikator pada masing-masing aspek
penilaian Kesiapsiagaan yang kemudian
dikalikan dengan bobot untuk mendapatkan
nilai akhir.
3. Laporan Akhir
Laporan akhir terdiri dari form
rekapitulasi penilaian Kesiapsiagaan
Puskesmas dan Form rekapitulasi diisi
berdasarkan hasil penilaian dari masing-
masing aspek. Setelah nilai akhir diperoleh,
maka hasil dikategorikan dalam 5 (lima) level.
Berdasarkan Susanto dan Thomas
(2016), indeks kesiapan diformulasikan pengujian per aitem pertanyaan dan nilai
seperti terlihat pada persamaan (2). Content Validity Index (CVI) untuk
keseluruhan instrumen. Dalam melakukan
Indeks Kesiapan = uji validitas, penelitian ini menggunakan
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑅𝑖𝑖𝑙 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
𝑥 100 .................. jumlah panelis 10 (sepuluh) orang. Agar
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
pertanyaan dinyatakan valid, maka nilai uji
... 2)
validitas minimum adalah 0,62. Untuk
Adapun nilai akhir dan penjelasan penelitian ini, berdasarkan nilai CVR dari
kategori hasil dijelaskan pada Tabel 7. setiap aitem pertanyaan, diperoleh nilai CVI
0,98, yang berarti dapat disimpulkan bahwa
Pembobotan validitas isi tes secara keseluruhan
Pembobotan dan masukan terhadap dinyatakan valid,karena telah memenuhi
indikator yang ada, dilakukan melalui nilai minimum > 0,62.
wawancara mendalam (in-depth interview)
kepada 10 (sepuluh) narasumber yang KESIMPULAN
merupakan para praktisi kebencanaan, Berdasarkan rancangan penilaian
petugas kesehatan dan akademisi. kesiapsiagaan puskesmas dalam
Pembobotan dilakukan dengan metode AHP, penanggulangan bencana yang telah dibuat,
dengan bantuan Software Super Dicision®. dapat disimpukan berikut ini.
Hasil pembobotan untuk rancangan 1. Penelitian ini telah
penilaian kesiapsiagaan puskesmas dalam mengindentifikasikan indikator
penanggulangan direkapitulasi dan dicari kesiapsiagaan Puskesmas dalam
nilai rata-rata. Nilai rata-rata pembobotan penanggulangan bencana. Indikator
diperoleh dari hasil penjumlahan tersebut dikelompokkan dalam 6
pembobotan dibagi jumlah narasumber. aspek yaitu: 1) Pemetaan kesehatan,
Hasil rekapitulasi pembobotan dapat dilihat 2) Pelayanan Gawat darurat sehari-
pada Tabel 8. Setiap pembobotan dinilai hari, 3) Pemberdayaan masyarakat,
inconsistency. Dari keseluruhan 4) Latihan kesiapsiagaan, 5)
pembobotan yang dilakukan, nilai Pemantauan (surveilans), 6)
inconsistency-nya bernilai kurang dari 0,1, Koordinasi lintas sektor. Aspek
yang artinya konsisten. Pemetaan Kesehatan terdiri dari 5
Nilai bobot ini akan mempengaruhi indikator yaitu Peta rawan bencana,
nilai akhir penilaian. Dengan menjawab peta sumberdaya kesehatan, peta
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam risiko bencana, peta kerentanaaan
instrumen penilaian maka nilai skor akan dan peta potensi masyarakt dan
terisi secara otomatis. Nilai skor adalah lingkungan. Aspek Pelayanan gawat
total nilai dibagi jumlah pertanyaan darurat sehari-hari terdiri dari 3
dikalikan bobot untuk masing-masing indikator yaitu protap gawat darurat
indikator. Skor maksimum diperoleh dan rujukan, kesiapsiagaan sarana
dengan perkalian nilai dan bobot. dan prasarana pelayanan gawat
Sedangkan nilai maksimum untuk masing- darurat dan peningkatan kapasitas
masing indikator adalah 1. tenaga puskesmas. Aspek
Berdasarkan masukan dari hasil Pemberdayaan masyarakat terdiri
wawancara terhadap matrik indikator dari 6 indikator yaitu pelatihan
penilaian kesiapsiagaan Puskesmas dalam kesehatan lingkungan,
penanggulangan bencana, maka tahap pemberantasan penyakit menular,
selanjutnya adalah menghitung nilai promosi kesehatan untuk
Content Validity Ratio (CVR) untuk berperilaku hidup bersih dan sehat,
penanganan gawat
darurat bagi
awam, penanganan gizi, penanganan Darurat Bencana, Jakarta.
kesehatan jiwa dan kesehatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
reproduksi. Aspek latihan 2008. Peraturan Kepala Badan
kesiapsiagaan terdiri dari 3 indikator Nasional Penanggulangan Bencana
yaitu simulasi satgas, simulasi Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
puskesmas dan rencana kontinjensi. Pedoman Penyusunan Rencana
Aspek surveilans terdiri dari 3 Penanggulangan Bencana, Jakarta.
indikator yaitu pemantauan lokasi- Departemen kesehatan RI, 2005, Pedoman
lokasi rawan bencana, deteksi dini Penanggulangan Bencana di
bencana dan kerjasama dengan Puskesmas Direktorat jenderal bina
pihak terkait. Sedangkan aspek yang kesehatan masyarakat.
ke enam yaitu koordinasi lintas Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
sektor terdiri dari 3 indikator yaitu 2007, Kurikulum Peningkatan
tim penanggulangan bencana, Kapasitas Petugas Tehnis
kebijakan dan koordinasi. Penanggulangan Bencana, Pusat
2. Penelitian ini telah menghasilkan Penanggulangan Krisis Kesehatan
Indikator prioritas untuk Febriana, Sugiyanto. D, Abubakar. Y, 2015,
mendukung kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Masyarakat Desa
Puskesmas dalam penanggulangan Siaga Bencana dalam menghadapi
bencana. Dari 6 Aspek penilaian, Bencana Gempa Bumi di
aspek Pemetaan kesehatan memiliki Kecamatan MeuraxaKota Banda
bobot tertinggi dan aspek Aceh, Jurnal Ilmu Kebencanaan, Vol
pemberdayaan masyarakat pada 2 3: 41-49
prioritas terendah. IDEP, 2007. Panduan Umum
3. Penelitian ini telah menghasilkan Penanggulangan Bencana Berbasis
instrumen yang telah diuji Masyarakat, Edisi ke-2, Bali :
validitasnya, untuk menilai Yayasan IDEP.
kesiapsiagaan puskesmas dalam Lin J.Y, Reneeking, B. Brander, 2011,
penanggulangan bencana. Instrumen Assessment of Prehospital Care and
yang di desain terdiri dari 3 Disaster Preparedness in Rural
komponen yaitu input data, Guatemala Clinic, Prehospital and
penilaian dan laporan akhir. Hasil Disaster Medicine, 3,1.
akhir penilaian dikategorikan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
dalam level “Belum siap” (terendah) 2011. Pedoman Teknis
dan level tertinggi “Sangat siap”. Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana, Pusat
DAFTAR PUSTAKA Penanggulangan Krisis Kesehatan.
Fuadi A, Travino A, Mukhtaruddin M, Kristiana L, dan Ristrini, 2013, Sistem
2011, Primary Health Centre disaster Pelayanan Kesehatan Tanggap
preparedness after the earthquake in Darurat di Kabupaten Ciamis,
Padang Pariaman, West Sumatra, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
Indonesia, BMC Research Notes, Vol 16 3:293-304
4:81 Lawse, C.H. (1975). A quantitative
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, approach to content validity.
2008. Peraturan Kepala Badan Personal Psycology. 35:563-575
Nasional Penanggulangan Bencana Liedtka and Stephen L, 2005. Analytic
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Hierarchy Process and multi-criteria
Pedoman Komando Tanggap Performance Management Systems.
Cost Management. Proquest,
tfolume 7 Nomor 3 Tahun e-ISSN : 2655-7487, p-ISSN : 2337-
2019 7356
Winarsi Molintao
Fakultas Keperawatan Universitas Pembangunan Indonesia Manado
ABSTRAK
Rapid Health Assessment (RHA) sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana
bencana merupakan kejadian yang sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa
kehidupan manusia dan mengancam lingkungan. RHA sangat dibutuhkan untuk
mengumpulkan data, memberikan informasi yang obyektif sehingga mampu memecahkan
masalah selama tanggap darurat bencana sampai dengan pemulihan pasca bencana. Tujuan
penelitian ini adalah mengidentifikasi makna pengalaman perawat dalam melakukan Rapid
Health Assessment / RHA pada tanggap darurat bencana erupsi gunung di Tomohon.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
interpretif. Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini sebanyak lima orang perawat yang
terdiri dari tiga orang perawat yang bekerja di Dinas Kesehatan Tomohon dan dua orang
perawat yang bekerja di Puskesmas Kakaskasen Hasil analisis didapatkan delapan tema yang
didapatkan dari delapan tujuan khusus penelitian. Tema yang di dapat antara lain : perawat
tidak siap dalam pengisian RHA, perawat merasakan kurangnya kerjasama tim, perawat
merasa kurang memahami dalam pengisian format, perawat mengalami permasalahan dalam
pengumpulan data, perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah,
perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian dan perawat merasakan adanya
konflik tugas dalam pengisian RHA, serta harapan perawat untuk optimalisasi RHA.
Perencanaan yang jelas dalam manajemen bencana akan meningkatkan pelayanan kesehatan
dan koordinasi antar wilayah. Kesiapan lain yang harus dimiliki oleh perawat adalah
peningkatan kompetensi baik melalui pelatihan-pelatihan seperti managemen bencana,
adanya petunjuk teknis, sarana dan prasarana serta pengalaman perawat itu sendiri dalam
menangani masalah bencana.Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat
kesehatan dalam bencana baik dilihat dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun
pada saat pengumpulan data serta kurangnya koordinasi baik lintas program, lintas sektor
maupun antar wilayah maka perawat memiliki harapan untuk peningkatan dalam
optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan peningkatan kompetensi
perawat
Kata Kunci : Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana, tanggap darurat bencana,
pengalaman perawat.
ABSTRACT
Rapid Health Assessment (RHA) is actually needed within disaster event especially
due to natural disaster which it could bring an adverse impact to human life and
environmental as well. RHA is strongly required to collecting data, providing objective
information to solve its problem during disaster emergency response and post emergency
disaster. The purpose of the study was to examine nurse’s experience towards RHA in
Disaster Event: Study of Phenomenology at Mount Eruption in Tomohon. Method used in
this study was a qualitative design with phenomenology approach interpretive. The study
PENDAHULUAN
Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana atau Rapid Health Assessment
(RHA) sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana bencana merupakan
kejadian yang sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa kehidupan
manusia dan mengancam lingkungan (Khankeh HR, dkk., 2007). Dampak yang
ditimbulkan mengakibatkan dampak fisik pada manusia seperti kesakitan dan
kematian serta dampak lingkungan yaitu kerusakan infrastruktur, kerusakan area
pertanian serta menyebabkan gangguan kesehatan. terkontaminasinya air bersih,
tersumbatnya saluran air, serta rusaknya fasilitas air bersih. Dampak terhadap
gangguan kesehatan secara umum abu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan
khususnya menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit dan mata.(Suryani, 2014). RHA
berisi data tentang jenis bencana, lokasi bencana, dampak bencana, kondisi korban,
kondisi sanitasi lingkungan penampungan, upaya yang telah dilakukan, kemungkinan
KLB yang akan terjadi serta kesiapan logistik dan bantuan yang mungkin segera
diperlukan. RHA juga mengidentifikasi angka morbiditas dan mortalitas pada
penduduk yang mengalami bencana terutama masyarakat khusus seperti anak-anak
dibawah 5 tahun, orang tua, ibu hamil dan wanita menyusui (Depoortere & Brown,
2006, Kemenkes, 2013).
Pengambilan data RHA pada saat terjadi bencana erupsi Gunung Lokon di
Tomohon belum berjalan secara optimal, hal ini dibuktikan dengan masih
ditemukannya lembar RHA yang tidak terisi secara penuh karena adanya
keterbatasan perawat dalam pengisian RHA dan adanya informasi yang tidak jelas
mengenai kondisi bencana serta kurangnya koordinasi dengan anggota tim kesehatan
lain.
(Dinas Kesehatan Kota Tomohon). Perawat dalam menangani bencana harus
mempunyai pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam menghadapi
kedaruratan bencana (Cut,dkk.,2011). Bencana erupsi Gunung lokon di Tomohon
yang terjadi dari hasil pengamatan peneliti, semua unsur pelayanan kesehatan terjun
langsung ke tempat kejadian namun RHA baru dapat dilaksanakan 1 hari setelahnya
karena kondisi dari bencana tersebut. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan
dengan wawancara pada salah satu perawat yang melakukan RHA dan mengalami
erupsi Gunung Lokon menyebutkan bahwa RHA dilakukan oleh tim dari Puskesmas
dan Dinas Kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, petugas surveilans, petugas
gizi dan sanitarian namun tidak terkoordinasi dengan baik dan format RHA tidak di
isi keseluruhan karena belum sepenuhnya menguasai dokumentasi RHA.
Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa perawat mampu
untuk mengidentifikasi, mengadvokasi dan merawat dampak dari semua fase
bencana termasuk di dalamnya adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan
kesiapsiagaan bencana. Perawat harus mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahui
tentang epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya dan social serta
masalah psikososial sehingga dapat membantu dalam kesiapsiagaan bencana dan
selama bencana sampai dengan tahap pemulihan (ICN,2009). Perawat bersama
dengan dokter merupakan ujung tombak kesehatan pada saat bencana terjadi selama
dalam kondisi kritis dan gawat darurat (Zarea, dkk.,2014). Perawat dapat
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat baik yang bersifat kegawat
daruratan maupun berkelanjutan seperti perawatan neonatal, pendidikan dan
penyuluhan kepada masyarakat, mengidentifikasi penyakit dan imunisasi serta
intervensi pada saat kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana (Savage & Kub,
2009).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretif. Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini sebanyak
lima orang perawat yang terdiri dari tiga orang perawat yang bekerja di Dinas
Kesehatan Kota Tomohon dan dua orang perawat yang bekerja di Puskesmas
Kakaskasen. Tehnik pengambilan data melalui wawancara yang berkisar antara 30 –
50 menit dengan menggunakan alat perekam berbasis android. Tempat wawancara
dilakukan di rumah
dan kantor partisipan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Hasil analisis
dianalisis menggunakan tabel analisis yang berisi kata kunci, analisis reflektif,
kategori, sub-sub tema, sub tema dan tema.
PEMBAHASAN
1. Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Persiapan yang harus disiapkan adalah format dan pencatatannya, namun
partisipan tidak siap akan format yang dibawanya, tidak ingat untuk membawa
format maupun pencatatan yang apa adanya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
partisipan “...dan itu dan itu pun tidak membawa format….karena ya itu….tidak
sempat…”(P5) “...terus terang kami sudah tidak ingat untuk membawa format
ini…”(P4)
“saya hanya melakukan wawancara dengan masyarakat yang kemudian saya catat di
catatan kecil saya hehehehe….” (P2)
“…..jadi yang kita punya adalah catatan- catatan kecil…”(P3)
Perawat juga bekerja tanpa tim lain dalam melakukan pengisian data.
Perawat bekerja sendiri dalam melakukan pengkajian, seperti yang
diungkapkan oleh partisipan berikut ini :
“selama ini juga yang melakukan RHA adalah perawat itu sendiri dalam pengisian
datanya...”(P1)
“…tapi biasanya semua perawat sih yang melakukan...”(P3)
“malah perawat yang lebih banyak melakukan pengkajian itu sendiri….(P2)
“...pengkajian RHA itu banyak yang melakukan perawat….”(P3)
“Mohon maaf ya mbak…selama ini menurut pandangan saya…kita bekerja sendiri-
sendiri…”(P2)
Perawat banyak melakukan pengkajian sendiri sehingga dalam menilai pekerjaan
perawat pun tidak dilakukan oleh suatu tim, namun dilakukan oleh perawat itu
sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“...jadi masing-masing program menilai dengan cara kerjanya masing-masing”(P1)
“Bagaimana ya…(diam, berfikir)…kayaknya lebih banyak yang mengerjakan RHA
itu malah justru perawatnya sih…”(P1)
Pengkajian yang dilakukan oleh perawat sendiri, maka dalam koordinasi antar tim pun
kurang, hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“malah perawat yang lebih banyak melakukan pengkajian itu sendiri….jadi
istilahnya apa ya….kurang koordinasi lah….dalam melakukan pengkajian RHA
itu..jadi untuk kerja timnya masih terasa kurang terkoordinasi” (P2)
Perawat merasa kurang memahami dalam pengisian format
Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, menyebabkan kesulitan dan
kebingungan dalam pengisian format karena tidak sama dengan teori-teori yang
diterima. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“Juga kadang bingung mengisinya…..karena datanya simpang siur…terutama adalah
jumlah korban, jumlah penduduk rawan…itu…itu…”(P2)
“…saat gunung meletus saat kejadian ya bingung mesti ada…..karena selama ini kan
teori-teori saja yang kami terima .”(P5)
4. Data yang tidak pasti juga dikarenakan data yang tidak sinkron, data yang
tidak pasti, data yang belum jelas, terjadi krodit nominal, serta data yang tidak siap
sebagaimana yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“memang ada beberapa yang tidak bisa sinkron…”(P3)
“sehingga data yang kita peroleh datanya tidak sinkron”(P3)
“karena belum didapatkan data yang pasti…”(P2)
“…jumlah penduduk rawan…itu…itu…datanya belum jelas…sehingga untuk
mengisi format RHA itu menjadi ragu-ragu.”(P2)
“Kroditnya pada nominal jumlah pengungsi yang berubah-ubah….”(P2)
“namun data kebutuhannya belum kami siapkan saat itu”(P5)
Ketidakjelasan data itu juga disebabkan karena adanya data yang terekam ulang
karena adanya double data, hal ini seperti yang diungkapkan partisipan berikut :
“Yaa….dari data sehingga kadang ada double data…”(P2)
“…jaditerjadi kemungkinan double data”(P3)
“kadang data yang sudah ada di pos 1 terekam kembali di pos 2”(P2)
Partisipan juga mengungkapkan data yang ditemukan merupakan sebuah data
estimasi saja, seperti pernyataan berikut :
“karena belum didapatkan data yang pasti…hanya sebuah estimasi saja..”(P1).
Data hasil pengkajian didapatkan juga perpedaan selisih data serta adanya data yang
tidak sama antara data primer maupun data sekunder. Hal ini dikemukakan oleh
partisipan dengan pernyataan berikut :
“….namun ada data yang perbedaan selisih..misalnya hari ini dilaporkan 400 yang
terkena bencana namun ternyata di data yang lain misal ada 600.”(P3)
“...kadang jumlah datanya tidak sama”(P1)
“…data dari sekunder jumlah sekian...eee...ternyata data primer sekian…”(P1)
Ketidakjelasan data juga dikarenakan banyaknya data yang tidak diisi seperti yang
diungkapkan oleh partisipan :
“Ya…kemungkinan data yang diisi banyak ya…”(P5)
Informasi yang tidak jelas dan kurangnya informasi juga menjadikan ketidakjelasan
data, hal ini diungkapkan oleh partisipan :
“karena kita belum mendapat informasi yang jelas…seperti berapa jumlah korban,
kebutuhan kesehatan apa yang diperlukan…”(P1)
“…tidak mendapatkan informasi apapun dari lintas sector”(P3)
“...kayaknya seperti diagnose keperawatan….apa ya ..kurang informasi..”(P5)
Hambatan lain yang terjadi adalah gangguan transportasi dimana ambulance tidak
dapat digunakan dan transportasi yang tidak memadai, hal ini diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut :
“….ambulance yang kami pakai, masuk ke dalam kubangan abu, sehingga kami
meninggalkan ambulance karena tidak bisa jalan.”(P1)
“…walaupun seperti ambulance kami yang tidak bisa kami ambil sampai beberapa
hari karena terbenam lumpur itu.”(P5)
“…untuk transportasi tidak memadai…..untuk ambulance memang tidak bisa karena
memang model ambulance nya yang memang susah untuk menerobos daerah yang
ada.”(P3)
Hambatan lain yang diungkapkan oleh partisipan adalah kesulitan koordinasi, baik
koordinasi dengan BPBD, koordinasi yang rumit maupun prosedur dan birokrasi yang
rumit. Hal ini diungkapkan oleh partisipan dengan pernyataan sebagai berikut :
“….yang terutama adalah fungsi koordinasi…jadi pada saat kejadian memang kita
yang memang bergerak di kota tomohon yang bergerak total all out….jadi yang
dilakukan hambatan pada koordinasi adalah dengan pihak BPBD”(P1)
“Terus pernah juga terkendala koordinasi…..ada desa yang saat itu tidak tercukupi
kebutuhan logistic makanan…..saat itu saya koordinasi dg pak D ….pak D telp
perangkat desa yang kemudian koordinasinya rumitttt…..”(P3)
“….jadi kami kaya orang kebingungan juga….ribet untuk koordinasi saat itu….”(P4)
“para perangkat datang ke sana…prosedurnya dan birokrasinya sangat rumit
sekali….”(P4)
Partisipan juga mempunyai pekerjaan lain sehingga perawat melakukan double job
dan kerja perawat juga semakin banyak seperti yang diungkapkan oleh partisipan
berikut :
“yahhhh karena banyak sekali faktornya….
ya… karena double job….heheheeee….”(P1)
“kerjanya perawat juga sebagai tim kesehatan, sehingga kerjanya perawat itu juga
banyak…”(P2)
Partisipan juga bekerja mengurusi pengungsi seperti yang diungkapkan oleh partisipan
berikut ini :
“...karena kita masih mengurusi pengungsi…”(P4)
Partisipan juga bertugas mengganti tugas sanitarian maupun surveilans. Hal ini
diungkapkan oleh partisipan dengan pernyataan :
“Dan kami juga terlibat dalam pengisian RHA itu baik itu mengisi kepunyaan
sanitarian maupun surveilans. “(P3)
“….nah seperti puskesmas sendiri tidak mempunyai sanitarian, sehingga kita juga
yang mengerjakan.”(P3)
PEMBAHASAN
1. Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Format RHA merupakan suatu metode penilaian cepat diperlukan untuk
mengumpulkan informasi yang terpercaya, obyektif yang digunakan sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan. (Roorda, dkk,. 2004). Format RHA digunakan
sebagai alat kajian cepat untuk melihat adanya keadaan yang darurat dengan
mengumpulkan informasi penting status kesehatan sehingga memberikan intervensi
kesehatan yang diprioritaskan. Adanya suatu format penilaian cepat
sangat penting untuk mengumpulkan informasi dalam
waktu yang cepat. (Bradt & Drummond, 2002) Menurut penelitian Korteweg dan
Bokhoven (2010), bahwa versi digital dari format meningkatkan rapidness dari
penilaian, namun tidak bisa menarik kesimpulan apakah format dalam bentuk kertas
atau versi digital berpengaruh pada hasil dari penilaian.
Pencatatan yang apa adanya merupakan ketidaksiapan lain yang dialami oleh
perawat pada saat akan melakukan pengkajian. Menurut Jevon dan Ewens (2009),
pencatatan yang baik adalah sebagai sumber penyebaran informasi dan sarana
komunikasi sesama anggota tim yang professional. Dokumentasi pada saat bencana
harus dilakukan pelaporan oleh anggota tim yang melaksanakan pendokumentasian.
Kurangnya pedoman lapangan juga akan menjadi hambatan teknis dalam
pelaksanaan pengumpulan data (Johnson, 2006).
KESIMPULAN
Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat kesehatan dalam bencana
baik dilihat dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun pada saat
pengumpulan data serta kurangnya koordinasi baik lintas program, lintas sektor
maupun antar wilayah maka perawat memiliki harapan untuk peningkatan dalam
optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan- pelatihan dan peningkatan
kompetensi perawat
DAFTAR PUSTAKA
Arlinta, A. (2015). "Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam
Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di
Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013. "http://repository.usu.ac.id/handl
e/123456789/47959(3-Jul-2015)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2010-2014. BNPB, Jakarta.
Bech, C. and T. Schmidt (2013). "Reporting Vital Parameters Upon Refferal of Patient to the
Emergency Departement Needs to be Improved." Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine.
Blais, K., J. Hayes, (2012). Praktek Keperawatan Profesional Konsep dan Perspektif.
Jakarta, EGC.
Cut Husna, M., Urai Hatthakit, PhD, RNb, Aranya Chaowalit, PhD, RNb. (2011). Do knowledge
and clinical experience have specific roles in perceived clinical skills for tsunami care
among nurses in Banda Aceh, Indonesia Australasian Emergency Nursing Journal, 14, 95
- 102.
Daily, E. (2009). Disaster Nursing Competency
Development. In Paper presented at the Disaster Nursing in Oceania: Key Issuesand Challenge
Workshop on 22 October 2009 Melbourne, Australia,
Depoortere, E. and Brown V (2006). Rapid Assessment of Refugee or Displaced Population,
UNHCR.
Dinas Kesehatan Kota Tomohon Laporan Angka Kesakitan Dan Kematian Akibat Erupsi Gunung
Lokon
inn, R. (2008). The language of teamwork: reproducing professional divisions in the operating
theatre. Human Relations, 61(1), 103–130.
Hassmiller, B. and A. Stanley (2010). Public Health Nursing and the Disaster Management Cycle,
Elsevier.
International Council Nursing (ICN), Center of Excellence (COE); Nursing Emergency
Preparedness Education Coalition (NEPEC) : Position Statement. Nurses and Disaster
Preparedness. Available at www.icn.ch/ psdisasterprep01.htm.
Jevon, P. and B. Ewens (2009). Pemantauan Pasien Kritis. Seri Keterampilan Klinis untuk
Perawat. Jakarta, Erlangga Medical Series.
Julie Ann Bulson, M., RN, M. Tim Bulson, et al. (2011). "Nursing Process And Critical Thinking
Linked To Disaster Preparedness." J Emerg Nurs Vol 37 (ISSUE 5).
Kemenkes RI (2011). Pedoman Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Kerr, A. (2009). "A problem shared? Teamwork, autonomy and error in assisted conception "
Social Science & Medicine 69: 1741–1749
Korteweg, H., I. Bokhoven, (2010). "Rapid Health and Need Assessment after Disaster
: A Systematic Review." BMC Public Health 10: 295.