Anda di halaman 1dari 72

MAKALAH

DOKUMENTASI DAN HASIL PELAPORAN PENILAIAN BENCANA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Bencana
Dosen Pengampuh Ns. Pipin Yunus,S.Kep, M.Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5


1. Irfan Ibrahim
2. Erika Detuage
3. Nurain Laminullah
4. Delvi Mayorina S. Tute
5. Yuliastita Pahrun
6. Fatmawati Djafar
7. Febriyanto Djafar

PRODI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Keperawatan Bencana yang berjudul
“Dokumentasi Dan Hasil Pelaporan Penilaian Bencana”

Adapun tujuan dari penulisan dari proposal ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Keperawatan Bencana. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu Dosen Pengampuh yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang tekuni.

Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo, Januari 2021

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................I
DAFTAR ISI................................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dokumentasi Dan Hasil Pelaporan Penilain Bencana............2
a. Dokumentasi.....................................................................2
b. Hasil Pelaporan Penilaian Bencana………………….............2
c. Ruang Lingkup Kampus Siaga Bencana……………........... 2
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………… ………………...………................ 3


3.2 Saran……...…………… ………………...………............... 3

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

SUMBER REFERENSI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa perawat mampu untuk
mengidentifikasi, mengadvokasi dan merawat dampak dari semua fase bencana
termasuk di dalamnya adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan kesiapsiagaan
bencana. Perawat harus mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahui tentang
epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya dan social serta masalah
psikososial sehingga dapat membantu dalam kesiapsiagaan bencana dan selama
bencana sampai dengan tahap pemulihan (ICN,2009). Perawat bersama dengan dokter
merupakan ujung tombak kesehatan pada saat bencana terjadi selama dalam kondisi
kritis dan gawat darurat (Zarea, dkk.,2014). Perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat baik yang bersifat kegawat daruratan maupun
berkelanjutan seperti perawatan neonatal, pendidikan dan penyuluhan kepada
masyarakat, mengidentifikasi penyakit dan imunisasi serta intervensi pada saat
kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana (Savage & Kub, 2009).

Indonesia merupakan negara yang wilayahnya rawan terhadap terjadinya bencana.


Indeks Risiko Bencana Indonesia tahun 2013 dari 496 kabupaten/Kota. 65% nya adalah
lokasi berisiko tinggi. pada tahun 2013 sampai 2015 telah terjadi sebanyak 1.515 kali
kejadian krisis kesehatan. Jumlah korban tercatat sebanyak 2.745 jiwa atau sekitar 915
pertahun dan jumlah pengungsi pada 3 tahun tersebut sebanyak 1.610.339 jiwa atau 536
ribu pertahun (PPKK, 2016). Kejadian bencana telah menjadi permasalahan dalam
pelayanan kesehatan masyarakat dalam beberapa dekade. Penelitian tidak hanya menilai
manajemen terhadap pendekatan epidemiologi namun juga persiapan pusat pelayanan
kesehatan terhadap bencana. Kemampuan respon yang efektif pada pelayanan kesehatan
masyarakat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas korban bencana (Lin, 2011).
Fuadi et al, (2011), manajemen bencana harus dipertimbangkan untuk mencegah
kehilangan atau dampak yang disebabkan oleh bencana melalui mitigasi, kesiapsiagaan,
tanggap darurat dan rehabilitasi recovery. Masing-masing tahapan memiliki langkah-
langkah penanganan yang berbeda-beda.
Tiap tiap instansi berperan dalam manajemen risiko bencana dan memiliki
program kerja berbeda-beda. Berdasarkan pengalaman kejadian bencana, kapasitas setiap
sektor di bidang kesiapsiagaan bencana sangatlah penting (Febriana, 2015). Demikian
pula dengan petugas kesehatan yang sangat berkontribusi dalam penanganan bencana
khususnya pada fase kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Dalam fase tanggap
darurat para petugas kesehatan dituntut memiliki skil yang terlatih dalam menangani
pasien terutama dalam memberikan bantuan hidup dasar dan pertolongan pertama
terhadap korban bencana. Sehingga dapat menyelamatkan jiwa korban atau mencegah
terjadinya cacat permanen yang dapat mengurangi kualitas hidup korban. Tujuan
kesiapsiagaan adalah untuk mengembangkan rencana, melatih petugas pada seluruh level
dan sektor, untuk melatih masyarakat yang berisiko dan memantau dan evaluasi secara
teratur.Ketika terjadi bencana, efektivitas kegiatan respon akan bergantung pada aktifitas
dan kapasitas mitigasi dn kesiapan yang ada sebelum terjadi bencana (Tekeli- Yesil. S,
2006)
Pelayanan kesehatan primer dan bantuan medis secara konsep belum berjalan
bersama secara efektif. Tantangannya adalah mereka memiliki pemahaman yang berbeda
dalam penyediaan layanan kesehatan. Kenyataannya dalam keadaan darurat
keduanya diperlukan secara bersamaan (redwood-chambel dan Abraham, 2012).
Kesiapsiagaan emergensi pada pusat

pelayanan primer berhubungan dengan proses yang memastikan bahwa pusat pelayanan
primer dipersiapkan dengan baik untuk kejadian bencana, meminimalisir kehilangan
nyawa, cedera, kerusakan harta benda, dan rehabilitasi dengan cara meningkatkan
sumber daya dan kapasitas yang berkesinambungan terhadap fungsi pokok organisasi.
Berdasarkan acuan dari WHO (1995), panduan kesiapsiagaan bencana meliputi empat
aspek yaitu sumber daya manusia, kesiapsiagaan fasilitas, SOP atau program yang
berhubungan dengan bencana dan kebijakan. Para tenaga kesehatan pada Pusat
pelayanan primer seharusnya didukung dengan kompetensi untuk menghadapi bencana.
Kompetensi yang dibutuhkan oleh tenaga kesehatan untuk siap menghadapi bencana
seperti pelatihan kesiapsiagaan bencana, Basic and Advance life support dan pelatihan
kegawatdaruratan kesehatan masyarakat (Fuadi et al, 2011).
Kristiana dan Ristrini, (2013), peran pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
dalam sistem pelayanan kesehatan tanggap darurat adalah langsung dalam hal teknis
pelayanan di masyarakat korban bencana. Dalam melaksanakan tugasnya, Puskesmas
berada di bawah koordinasi Dinkes kabupaten. Hambatan yang dirasakan Puskesmas
dalam memberikan pelayanan kesehatan tanggap darurat adalah belum adanya
koordinasi yang optimal antar lembaga terkait. Jejaring dalam pelayanan kesehatan
tanggap darurat di tingkat Puskesmas terjadi hanya pada saat ada bencana. Selain itu
masih belum ada payung hukum yang jelas dan prosedur standar untuk koordinasi antar
sektor. Sumber daya manusia di puskesmas sudah tersedia, namun pada saat
pelayanan tanggap darurat dirasa masih belum sesuai dengan kebutuhan. Anggaran
khusus untuk bencana di tingkat puskesmas masih belum tersedia, begitu pula
logistik khusus bencana. Sampai saat ini belum tersedia indikator yang dapat menilai
kesiapsiagaan Puskesmas dalam menanggulangi bencana sehingga perlu suatu
instrumen yang terukur yang dapat menjadi bahan acuan puskesmas untuk
meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana

Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana atau Rapid Health Assessment (RHA)
sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana bencana merupakan kejadian yang
sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa kehidupan manusia dan
mengancam lingkungan (Khankeh HR, dkk., 2007). Dampak yang ditimbulkan
mengakibatkan dampak fisik pada manusia seperti kesakitan dan kematian serta
dampak lingkungan yaitu kerusakan infrastruktur, kerusakan area pertanian serta
menyebabkan gangguan kesehatan. terkontaminasinya air bersih, tersumbatnya saluran
air, serta rusaknya fasilitas air bersih. Dampak terhadap gangguan kesehatan secara
umum abu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan khususnya menyebabkan iritasi
pada paru-paru, kulit dan mata.(Suryani, 2014). RHA berisi data tentang jenis bencana,
lokasi bencana, dampak bencana, kondisi korban, kondisi sanitasi lingkungan
penampungan, upaya yang telah dilakukan, kemungkinan KLB yang akan terjadi serta
kesiapan logistik dan bantuan yang mungkin segera diperlukan. RHA juga
mengidentifikasi angka morbiditas dan mortalitas pada penduduk yang mengalami
bencana terutama masyarakat khusus seperti anak-anak dibawah 5 tahun, orang tua, ibu
hamil dan wanita menyusui (Depoortere & Brown, 2006, Kemenkes, 2013).
Pengambilan data RHA pada saat terjadi bencana erupsi Gunung Lokon di Tomohon
belum berjalan secara optimal, hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya lembar
RHA yang tidak terisi secara penuh karena adanya keterbatasan perawat dalam
pengisian RHA dan adanya informasi yang tidak jelas mengenai kondisi bencana serta
kurangnya koordinasi dengan anggota tim kesehatan lain.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas


Dari 40 orang responden ternyata masih ada 7,5% yang menyatakan tidak siap siaga.
Ketidaksiapsiagaan ini terjadi karena responden tidak bersedia bekerja diluar jam kerja
rutin dan atau tidak bersedia bekerja dengan perintah atasan yang datang secara
mendadak dan atau tidak bersedia bekerja dengan sarana dan biaya operasional yang
tersedia di unit kerja untuk kegiatan penanggulangan bencana banjir diwilayah kerjanya.
1.2 Hubungan Umur dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas
Responden penelitian ini berusia 19-34 tahun. Berdasarkan tabel 5.12 tampak bahwa
proporsi kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi pada kelompok umur
35-60 tahun (65%) dibandingkan dengan kelompok umur 19-34 tahun (27,5%). Dari
hasil analisis statistik untuk melihat hubungan antara umur dengan kesiapsiagaan
ternyata tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna proporsi kesiapsiagaan
menurut kelompok umur tidak bermakna secara statistik dimana p value = 1,230 atau p
> 0,05. Gibson (1987), menyatakan bahwa faktor usia merupakan variabel dari individu
yang pada dasarnya semakin bertambah usia seseorang akan semakin bertambah
kedewasaannya dan semakin banyak menyerap informasi yang akan mempengaruhi
produktivitasnya. Teori ini juga dikemukakan oleh Siagian (1995), yang menyatakan
bahwa semakin meningkatnya usia seseorang maka kedewasaan, teknik, dan
psikologisnya semakin meningkat. Ia akan mampu mengambil keputusan, semakin
bijaksana, semakin mampu berpikir secara rasional, mengendalikan emosi dan toleran
terhadap pendapat orang lain.
1.3 Lama Pengalaman Kerja dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini menunjukkan proporsi terbesar ada pada kelompok
responden dengan pengalaman kerja 6-15 tahun sebesar 67,5%. Berikutnya pada lama
pengalaman kerja > 16 tahun proporsinya sebesar 30% dan kelompok dengan
pengalaman kerja < 5 tahun sebesar 2,5%. Berdasarkan tabel 5.12 tampak bahwa
proporsi kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi pada responden dengan
pengalaman kerja 6-15 tahun sebesar 62,5% dibandingkan dengan kelompok lama
pengalaman kerja > 16 tahun proporsinya sebesar 27,5% dan kelompok dengan
pengalaman kerja < 5 tahun sebesar 2,5% Dari hasil analisis statistik, tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna proporsi kesiapsiagaan menurut faktor lama
pengalaman kerja tidak bermakna secara statistik dimana p value = 0,572 atau p > 0,05.
Hasil penelitian ini bisa saja terjadi mengingat bahwa pengalaman kerja keseluruhan dari
masa kerja yang dijalani mungkin saja lebih berperan secara dominan dalam mendukung
kesiapsiagaan tenaga kesehatan. Walaupun pengalaman akan membentuk perilaku
petugas (Siagian, 1992), tetapi bukan berarti bahwa pengalaman yang telah dimiliki oleh
petugas selalu dapat dipergunakan untuk melaksanakan tugas. Hal ini karena selalu
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dan perkembangan yang selalu terjadi.
1.4 Frekuensi Simulasi/Gladi dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini proporsi terbesar ada pada kelompok responden yang tidak
pernah mengikuti gladi/simulasi sebesar 62,5%. Kemudian yang pernah mengikuti
gladi/simulasi sebesar 37,5%. Berdasarkan tabel 5.12 tampak bahwa proporsi
kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi pada responden yang tidak
pernah mengikuti pelatihan gladi/simulasi sebesar 60% dibandingkan dengan kelompok
yang pernah mengikuti gladi/simulasi sebesar 32,5% Dari hasil analisis statistik,
ternyata tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna proporsi kesiapsiagaan
menurut kelompok jenis kelamin tidak bermakna secara statistik dimana p value = 1,177
atau p > 0,05. Hasil ini dapat dijelaskan bahwa metode pelatihan dengan melakukan
gladi/simulasi sepertinya tidak terlalu berperan dalam kesiapsiagaan tenaga kesehatan
dalam penanggulangan bencana banjir. Menurut Andrew F. Sikula yang dikutip oleh
Hasibuan (2008), menunjukkan adanya beberapa metode latihan yang dapat diberikan
kepada pekerja tidak hanya dalam bentuk simulasi saja akan tetapi dapat berupa on the
job, vestibule, demonstration dan example, apprenticeship dan classroom methods
1.5 Tersedianya Kebijakan Pemerintah dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan
Puskesmas
Dari hasil penelitian ini proporsi terbesar ada pada kelompok responden yang
menyatakan tidak tersedia kebijakan pemerintah sebesar 65%. Kemudian yang
menyatakan tersedia sebesar 35%. Berdasarkan tabel 5.12 tampak bahwa proporsi
kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi pada responden yang
menyatakan kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana di unit kerja tidak
tersedia sebesar 62,5% dibandingkan dengan kelompok yang menyatakan tersedia
sebesar 30%. Dari hasil analisis statistik, ternyata tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang bermakna proporsi kesiapsiagaan menurut ketersediaan kebijakan pemerintah
terkait penanggulangan bencana di unit kerja tidak bermakna secara statistik dimana p
value = 1,430 atau p > 0,05.
Kebijakan terkait kesiapsiagaan bencana akan sangat berpengaruh karena merupakan
upaya konkrit dalam pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan bencana yang meliputi
pendidikan public, emergency planning, system peringatan dini, dan mobilisasi sumber
daya. Dengan adanya kebijakan pemerintah maka akan mempermudah dalam
penyusunan tim penanggulangan bencana, pengerahan sumber daya/tenaga kesehatan
serta penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia.
1.6 Pelaksanaan Evaluasi dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini proporsi terbesar ada pada kelompok responden yang
menyatakan dilakukan evaluasi sebesar 62,5%. Kemudian yang menyatakan tidak
dilakukan evaluasi sebesar 37,5%. Berdasarkan tabel 5.12 tampak bahwa proporsi
kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi pada responden yang
menyatakan dilakukan evaluasi setelah kegiatan penanggulangan bencana di unit kerja
sebesar 57,5% dibandingkan dengan kelompok yang menyatakan tidak dilakukan
sebesar 35%. Dari hasil analisis statistik, ternyata menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna proporsi kesiapsiagaan menurut dilakukannya evaluasi setelah kegiatan
penanggulangan bencana di unit kerja bermakna secara statistik dimana p value = 0,024
atau p < 0,05.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa evaluasi
merupakan upaya perbaikan terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan yang dihadapkan
kepada tuntutan yang berubah baik secara internal maupun eksternal. Hasil ini sesuai
dengan etos kerja terkait dengan peningkatan produktivitas (Sutrisno, 2009).
1.7 Rancangan Instrumen
Instrumen yang dirancang terdiri dari 3 komponen yaitu:
1. Input Data
Komponen ini terhubung dengan form pertanyaan kunci untuk setiap aspek
dalam penilaian kesiapsiagaan Puskesmas dalam penanggulangan bencana yaitu
pemetaan kesehatan, koordinasi lintas sektor, pelayanan gawat darurat sehari-hari,
pemberdayaan masyarakat, latihan kesiapsiagaan dan pemantauan (surveilans).
Evaluasi dilakukan dengan menjawab pertanyaan kunci pada tiap-tiap indikator.Nilai
skor akan terisi otomatis setelah pertanyaan untuk masing-masing indikator terisi.
Nilai skor maksimal 1 dan minimal 0. Nilai skor merupakan total jumlah nilai dibagi
banyaknya pertanyaan.
Format pertanyaan kunci terdiri dari kolom deskripsi kriteria, pertanyaan kunci,
respon, skor, serta kolom means of verification yang merupakan objektifitas
penilaian. Untuk respon pertanyaan diberi nilai 1 untuk jawaban “Ya” dan nilai 0
untuk jawaban “Tidak”.
2. Penilaian
Berisi form hasil penilaian untuk indikator-indikator pada masing-masing aspek
penilaian Kesiapsiagaan yang kemudian dikalikan dengan bobot untuk mendapatkan
nilai akhir.
3. Laporan Akhir
Laporan akhir terdiri dari form rekapitulasi penilaian Kesiapsiagaan Puskesmas dan
Form rekapitulasi diisi berdasarkan hasil penilaian dari masing- masing aspek. Setelah
nilai akhir diperoleh, maka hasil dikategorikan dalam 5 (lima) level. Berdasarkan
Susanto dan Thomas (2016),indeks kesiapan diformulasikan seperti terlihat pada
persamaan
1.8 Pembobotan
Pembobotan dan masukan terhadap indikator yang ada, dilakukan melalui wawancara
mendalam (in-depth interview) kepada 10 (sepuluh) narasumber yang merupakan para praktisi
kebencanaan, petugas kesehatan dan akademisi. Pembobotan dilakukan dengan metode AHP,

dengan bantuan Software Super Dicision®. Hasil pembobotan untuk rancangan penilaian
kesiapsiagaan puskesmas dalam penanggulangan direkapitulasi dan dicari nilai rata-rata. Nilai
rata-rata pembobotan diperoleh dari hasil penjumlahan pembobotan dibagi jumlah narasumber.
Hasil rekapitulasi pembobotan dapat dilihat pada Tabel 8. Setiap pembobotan dinilai
inconsistency. Dari keseluruhan pembobotan yang dilakukan, nilai inconsistency-nya
bernilai kurang dari 0,1, yang artinya konsisten. Nilai bobot ini akan mempengaruhi nilai akhir
penilaian. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam instrumen penilaian maka
nilai skor akan terisi secara otomatis. Nilai skor adalah total nilai dibagi jumlah pertanyaan
dikalikan bobot untuk masing-masing indikator. Skor maksimum diperoleh dengan perkalian
nilai dan bobot. Sedangkan nilai maksimum untuk masing- masing indikator adalah 1.
Berdasarkan masukan dari hasil wawancara terhadap matrik indikator penilaian kesiapsiagaan
Puskesmas dalam penanggulangan bencana, maka tahap selanjutnya adalah menghitung nilai
Content Validity Ratio (CVR) untuk 11 jumlah panelis 10 (sepuluh) orang. Agar pertanyaan
dinyatakan valid, maka nilai uji validitas minimum adalah 0,62. Untuk penelitian ini,
berdasarkan nilai CVR dari setiap aitem pertanyaan, diperoleh nilai CVI 0,98, yang berarti dapat
disimpulkan bahwa validitas isi tes secara keseluruhan dinyatakan valid,karena telah memenuhi
nilai minimum > 0,62.
1.9 Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Format RHA merupakan suatu metode penilaian cepat diperlukan untuk mengumpulkan
informasi yang terpercaya, obyektif yang digunakan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan. (Roorda, dkk,. 2004). Format RHA digunakan sebagai alat kajian cepat untuk
melihat adanya keadaan yang darurat dengan mengumpulkan informasi penting status
kesehatan sehingga memberikan intervensi kesehatan yang diprioritaskan. Adanya suatu
format penilaian cepat sangat penting untuk mengumpulkan informasi dalam waktu
yang cepat. (Bradt & Drummond, 2002) Menurut penelitian Korteweg dan Bokhoven (2010),
bahwa versi digital dari format meningkatkan rapidness dari penilaian, namun tidak bisa
menarik kesimpulan apakah format dalam bentuk kertas atau versi digital berpengaruh pada
hasil dari penilaian.
Pencatatan yang apa adanya merupakan ketidaksiapan lain yang dialami oleh
perawat pada saat akan melakukan pengkajian. Menurut Jevon dan Ewens (2009),
pencatatan yang baik adalah sebagai sumber penyebaran informasi dan sarana
komunikasi sesama anggota tim yang professional. Dokumentasi pada saat bencana
harus dilakukan pelaporan oleh anggota tim yang melaksanakan pendokumentasian.
Kurangnya pedoman lapangan juga akan menjadi hambatan teknis dalam pelaksanaan
pengumpulan data (Johnson, 2006).
a. Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim
Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena perawat banyak melakukan tupoksi
orang lain dan perawat sering bekerja sendirian tanpa adanya tim lain. Hal ini senada
dari hasil penelitian Anam (2013),
Secara konsep disebutkan bahwa dalam suatu bencana, perawat harus dapat
berkolaborasi dengan lingkungannya baik itu dengan epidemiologi, laboratorium,
biostatistik, dokter maupun petugas yang lain unutk meningkatkan kerjasama dalam
kondisi bencana. (Magnaye, 2011). Menurut Nicola, (2012), bahwa RHA harus
diselesaikan sesegera mungkin berikut darurat dan dilakukan oleh tim multidisiplin
personil yang berkualitas, dengan kisaran yang tepat keahlian.
Anggota tim sebaiknya memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidangnya,
memiliki integritas dan mampu bekerja dalam situasi bencana. Apabila dampak
bencana sangat luas, dapat dibentuk beberapa tim. (Kemenkes, 2011). Hal senada
diungkapkan Wibowo (2009), bahwa tim bencana termasuk didalamnya adalah
perawat diseleksi berdasarkan keahlian dan kebutuhan yang diperlukan. Menurut
Daily (2009), mengatakan bahwa kompetensi suatu tim mudah dipengaruhi oleh
profesi kesehatan lain.
b. Kurangnya koordinasi anggota tim
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerjasama tim sering menimbulkan
konflik dan ambiguitas karena adanya otonomi professional. (Finn, 2008).
Menurut penelitian Kerr (2009), disebutkan bahwa tim yang berkomunikasi dan
berkoordinasi satu sama lain akan memantau kinerja masing-masing dan
memberikan umpan balik dan memiliki solusi dalam keadaan salah. Koordinasi
tim juga akan meningkatkan pengetahuan, komunikasi dan dukungan bagi anggota
tim yang kurang berpengalaman.
c. Perawat merasa kurang memahami dalam pengisian format
Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, menyebabkan kesulitan
dan kebingungan dalam pengisian format karena tidak sama dengan teori-teori yang
diterima merupakan perasaan yang diungkapkan oleh perawat dalam pengisian
format RHA. Magnaye (2011), dalam penelitiannya pada 250 perawat di Philipina
bahwa pengetahuan harus dipersiapkan sebelum kejadian bencana untuk
meningkatkan kompetensi perawat saat bencana terjadi. Persiapan perawat meliputi
training, workshop, seminar tentang keperawatan bencana. International Council
Nurse (2007), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat
diantaranya adalah kemampuan kognitif disamping sikap (affektif) dan psikomotor
(skill) dalam disaster manajemen.
d. Perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data
Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang
kesehatan didalam bencana. Di dalam pengkajian ditemukan ketidakjelasan data
dimana didapati data yang tidak pasti, data yang terekam ulang, data yang hanya
sebuah estimasi sampai dengan informasi yang tidak jelas mengenai keadaan
kesehatan selama bencana. Format yang berbeda tersebut menyebabkan kesulitan
dalam membuat rekapitulasi data bencana secara nasional (BNPB, 2011). Informasi
yang diterima saat terjadi bencana harus akurat dan factual sehingga dapat
memberikan informasi dengan konteks yang tepat. Perawat dapat
mengumpulkan data secara langsung dalam lingkup bencana, sehingga
memungkinkan perawat untuk menilai dampak bencana (Melinda, 2011).
e. Perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah
Proses rujukan terjadi karena kapasitas, kemampuan dan keahlian di tempat pelayanan
kesehatan yang tidak merata (Dudley, dkk., 2000). Rujukan dapat dilakukan ke rumah sakit
dalam satu wilayah, rujukan ke daerah atau propinsi lain atau bahkan ke negera lain bila
korban bencana membutuhkan perawatan lebih lanjut ataupun daya tampung rumah sakit
terdekat terlampaui (Kemenkes, 2011). Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit tentang system rujukan Rumah Sakit dimana pelimpahan tugas dan tanggung
jawab rujukan bisa secara vertikal maupun horizontal ataupun struktur dan fungsional
terhadap masalah kesehatan, hal ini juga sesuai dengan hasil penelitia Martono (2014), yang
mengatakan bahwa perawat melakukan rujukan pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih
lengkap tertuang dalam Peraturan Gubernur DIY No. 59 tahun 2012 pasal 2.
f. Perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian
Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena adanya jalur komunikasi yang
terputus, gangguan alat komunikasi, gangguan alat penerangan, serta gangguan
transportasi. Kendala koordinasi juga menjadi hambatan dalam melakukan pengkajian
Pengkajian awal harus dilakukan tepat waktu untuk menginformasikan keadaaan darurat
dan segera, sehingga pengambil kebijakan dapat melakukan penilaian cepat dengan
melihat kebutuhan dan sumber daya, layanan kedaruratan yang diperlukan (International
Federation of Red Cross, 2000).
g. Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA
Kompetensi perawat sebagai tim penanggulangan bencana ini yaitu dapat
menjelaskan arti tanggap darurat bencana terhadap masyarakat, mengumpulkan
data cedera dan penyakit yang diperlukan, mengevaluasi kebutuhan kesehatan dan
sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, kolaborasi
dengan tim penanggulangan bencana untuk mengurangi bahaya dan resiko bencana,
memprioritaskan masalah kesehatan, berpartisipasi dalam penanggulangan kejadian
luar biasa dengan kegiatan seperti imunisasi, mengevaluasi dari intervensi yang
telah dilakukan berbasis pada hasil RHA (ICN, 2009, Hassmiller & Stanley, 2010).
Pengumpulan data pada saat tanggap darurat bencana meliputi pengumpulan data
angka kesakitan dan kematian, kebutuhan kesehatan termasuk kebutuhan psikologi,
kebutuhan infrastruktur, nutrisi dan tempat mengungsi (Morton, 2011).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut ini :
1. Gambaran kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas di kecamatan Manggala kota
Makassar adalah sebesar 92,5%.
2. Secara keseluruhan hanya terdapat dua faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas dalam penanggulangan bencana banjir di kecamatan
manggala kota Makassar tahun 2019 yaitu tersedianya protap/pedoman bencana dan
pelaksanaan evaluasi.
Berdasarkan rancangan penilaian kesiapsiagaan puskesmas dalam penanggulangan bencana
yang telah dibuat, dapat disimpukan berikut ini. Aspek Pemetaan Kesehatan terdiri dari 5 indikator
yaitu Peta rawan bencana, peta sumberdaya kesehatan, peta risiko bencana, peta kerentanaaan dan
peta potensi masyarakt dan lingkungan. Aspek Pelayanan gawat darurat sehari-hari terdiri dari 3
indikator yaitu protap gawat darurat dan rujukan, kesiapsiagaan sarana dan prasarana pelayanan
gawat darurat dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas. Aspek Pemberdayaan masyarakat terdiri
dari 6 indikator yaitu pelatihan kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, promosi
kesehatan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, penanganan gawat darurat bagi awam,
penanganan gizi, penanganan kesehatan jiwa dan kesehatan reproduksi. Aspek latihan kesiapsiagaan
terdiri dari 3 indikator yaitu simulasi satgas, simulasi puskesmas dan rencana kontinjensi. Aspek
surveilans terdiri dari 3 indikator yaitu pemantauan lokasi- lokasi rawan bencana, deteksi dini
bencana dan kerjasama dengan pihak terkait.
Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat kesehatan dalam bencana baik
dilihat dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun pada saat pengumpulan data serta
kurangnya koordinasi baik lintas program, lintas sektor maupun antar wilayah maka perawat
memiliki harapan untuk peningkatan dalam optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan-
pelatihan dan peningkatan kompetensi perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Media Kesehatan Politeknik Kesehatan ISSN : 1907-8153 (Print)
ISSN : 2549-0567 (Online)

Nomor persetujuan etik : 708/UN4.6.4.5.31/PP36/2019

KESIAPSIAGAAN TENAGA KESEHATAN PUSKESMAS DALAM


PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KECAMATAN MANGGALA
KOTA MAKASSAR TAHUN 2019

Health Workers Public Health Center Preparedness Factors In Flood Disaster


Management In Manggala District Makassar City In 2019

¹Herman Bakri, ²Syafri K. Arif, ³Hisbullah


¹Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar
² Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, Makassar
³ Rumah Sakit Pelamonia, Makassar

Email Korespondensi:
hermanbakri@pasca.unhas.ac.id (Hp: 0811410723)

ABSTRAK

Indonesia terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana banjir. Kondisi tersebut
menuntut kesiapsiagaan dari tenaga kesehatan untuk kegiatan penanggulangan bencana
banjir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas di dalam penanggulangan bencana banjir dan beberapa faktor
yang berhubungan dengan kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas. Jenis penelitian
pada penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan Cross Sectional
Study dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang. Hasil analisis terlihat tidak semuanya
menyatakan siap siaga dalam penanggulangan bencana banjir. Dari 40 orang responden
ternyata masih ada 7,5% yang menyatakan tidak siap siaga. Hasil dari analisis
multivariat menunjukkan bahwa variabel protap/pedoman dan pelaksanaan evaluasi
mempunyai pengaruh yang sama terhadap kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas
yaitu protap/pedoman bencana dengan nilai OR (EXP (B) ) = 0,889 dan pelaksanaan
evaluasi dengan nilai OR (EXP (B) )= 0,889.

Kata Kunci : Bencana Banjir, Kesiapsiagaan Bencana, Tenaga Kesehatan Puskesmas

ABSTRACT

Indonesia is located in an area prone to floods. Makassar is one of the regions that is
definitely experiencing flood. These conditions require the preparedness of the medical
practitioner for the activities of flood management. This study aims at finding an
overview of flood management and several factors related to the preparedness of the
medical practitioner of community health center in Manggala. This study includes an
analytical research using a Cross Sectional Study approach with a total sample of 40
people from all community health center in Manggala. The analysis results showed that
not all of the medical practitioner of community health center stated that they were
ready for flood management. Out of 40 respondents, it turns out that there were still
7.5% saying they were not ready. The results of the multivariate analysis showed that
the variable of Standard Operating procedure/guideline and the implementation of the
evaluation had the same effect on the preparedness of the medical practitioner of
Vol. XV No. 1, Juni 2020
DOI: 59
Media Kesehatan Politeknik Kesehatan ISSN : 1907-8153 (Print)
ISSN : 2549-0567 (Online)

community health center, which are the variable of Standard Operating


procedure/guideline with the value of OR {EXP (B)} = 0.889 and the implementation of
the evaluation with the value of OR {EXP (B)} = 0.889.

Keywords: Flood, Disaster Preparedness, Medical Practitioner of Community Health center

PENDAHULUAN mempunyai indek risiko bencana tinggi.


Indonesia berada dipertemuan tiga Menurut Badan Penanggulangan
lempeng tektonik. Indonesia juga Bencana Daerah (BPBD) kota
terletak pada wilayah yang rawan Makassar, wilayah dengan ancaman
terhadap bencana alam baik yang banjir paling tinggi adalah wilayah
berupa tanah longsor, gempa bumi, Kecamatan Manggala. Tahun 2018
letusan gunung berapi, tsunami, banjir, terjadi banjir yang mengakibatkan
dan lain-lain. Indonesia menjadi salah warga mengungsi. Jumlah pengungsi
satu negara yang paling rentan bencana. mencapai
Kota Makassar yang merupakan 9.328 jiwa dari total 2.841 kepala
ibukota Provinsi Sulawesi Selatan tidak keluarga. Selain masalah pengungsi,
luput dari bencana banjir yang banjir juga mengakibatkan rusaknya
menimbulkan masalah kesehatan. fasilitas umum yang ada diwilayah
Berdasarkan Indeks Ratio Bencana tersebut,
Indonesia (IRBI) tahun 2013, kota Oleh karena kejadian bencana
Makassar merupakan salah satu daerah sering kali datang mendadak dan diluar
di Sulawesi Selatan yang jam kerja rutin. Kondisi tersebut
menuntut kesiapsiagaan dari tenaga
kesehatan untuk selalu siap bersedia
bekerja diluar jam kerja

Vol. XV No. 1, Juni 2020


DOI: 60
rutin dengan perintah atasan yang bertugas sebagai tim penanggulangan bencana
datang secara mendadak serta bersedia pada ke empat puskesmas.
bekerja dengan sarana dan biaya Analisis Data
operasional yang tersedia diunit kerja Metode analisis data dilakukan dengan
untuk kegiatan penanggulangan dilakukan dengan analisis kuantitatif. Analisis
bencana banjir. univariat digunakan untuk menggambarkan
distribusi variabel yang diukur dalam
METODE PENELITIAN penelitian dengan cara mendeskripsikannya
Lokasi dan Jenis penelitian dan dinyatakan dalam bentuk tabel proporsi.
Penelitian dilakukan di seluruh Dalam analisis bivariat digunakan uji chi
puskesmas yang ada di kecamatan square atau uji beda proporsi, karena data
Manggala kota Makassar yaitu yang digunakan berbentuk kategorik. Analisis
Puskesmas Antang Raya, Puskesmas ini digunakan untuk melihat ada tidaknya
Antang Perumnas, Puskesmas hubungan antara
Tamangngapa, Dan Puskesmas
Bangkala. Jenis penelitian pada
penelitian ini merupakan penelitian
analitik dengan pendekatan Cross
Sectional Study. Penelitian ini
menjelaskan tentang faktor- faktor yang
berhubungan dengan kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas yang ada
di wilayah kecamatan Manggala yaitu
Puskesmas Antang Perumnas,
Puskesmas Antang Raya, Puskesmas
Bangkala, dan Puskesmas
Tamangngapa.
Populasi dan sampel
Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan ditarik kesimpulannya. Sampel
pada penelitian ini diambil dengan cara
exhaustive sampling (total sampling).
Populasi dan sampel dari penelitian ini
yaitu tenaga kesehatan yang tergabung
dalam Tim Siaga Bencana ditiap
puskesmas dengan pembagian
Puskesmas Antang Perumnas sebanyak
10 orang, Puskesmas Antang Raya
sebanyak 10 orang, Puskesmas
Bangkala sebanyak 10 orang,
Puskesmas Tamangngapa 10 orang.
Metode pengumpulan data
Pengambilan data dilakukan
dengan cara pengisian kuisioner yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
Vol. XV No. 1, Juni 2020
DOI: 60
dua variabel dan kemaknaannya yaitu sebanyak 34 orang (85%) dan
dilihat dari nilai p < 0,05 laki-laki sebanyak 6 orang (15%). Tabel
(Hastono dan Sabri, 2008). Pada 5.4 terlihat gambaran pengalaman kerja
analisis multivariat, diajukan uji responden bahwa sebagian besar
secara bersama-sama sehingga (67,5%) mempunyai pengalaman kerja
dapat dilihat variabel mana yang selama 6-15 tahun, kemudian > 16
paling berpengaruh terhadap tahun sebanyak 30% dan <
kesiapsiagaan tenaga kesehatan. 5 tahun sebanyak 2,5%. Pada tabel 5.5
Variabel yang diikutkan dalam terlihat gambaran frekuensi pelatihan
analisis multivariat adalah bencana yang pernah diikuti oleh
variabel yang mempunyai nilai p responden menunjukkan bahwa
< 0,25 dalam analisis bivariat. sebagian besar 30 orang (75%) tidak
Analisis multivariat dilakukan pernah mengikuti pelatihan dan 10
untuk menganalisis dan orang (25%) pernah mengikuti pelatihan
memperkirakan faktor-faktor manajemen bencana. Pada tabel 5.6
yang dominan dengan variabel terlihat gambaran frekuensi
terikat melalui variabel bebas gladi/simulasi yang pernah diikuti oleh
secara bersama-sama dengan responden bahwa sebagian besar
menggunakan Uji regresi logistik (62,5%) menyatakan tidak pernah
pada tingkat kepercayaan 95%. mengikuti gladi/simulasi dan 37,5%
Analisis multivariat dilakukan menyatakan pernah mengikuti
untuk menganalisis dan gladi/simulasi. Tabel 5.7 terlihat
meramalkan hubungan antara gambaran kecukupan sarana di unit
variabel dependen dalam hal ini
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
dengan sekelompok variabel
independen secara bersama-
sama.

HASIL
Analisis univariat
Tabel 5.1 menunjukkan
gambaran kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas di
kecamatan Manggala kota
Makassar sebagian besar
menyatakan siap siaga dalam
penanggulangan bencana banjir
yaitu sebanyak 37 orang (92,5%)
dan 3 orang (7,5%) menyatakan
tidak siap siaga. Tabel 5.2 terlihat
gambaran umur responden bahwa
sebagian besar responden
berumur 35–60 tahun yaitu 29
orang (72,5%) dan 11
orang (27,5%) yang berumur 19-
34 tahun. Tabel 5.3 terlihat
gambaran jenis kelamin bahwa
sebagian besar responden
berjenis kelamin perempuan
Vol. XV No. 1, Juni 2020
DOI: 61
kerja menurut responden menunjukkan 3. Hubungan lama pengalaman kerja dengan
bahwa sebagian besar (65%), responden kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas
menyatakan cukup dan ada 35% yang Dari hasil analisis statistik, ternyata
menyatakan tidak cukup. Dari tabel 5.8 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
terlihat gambaran tersedianya biaya bermakna (p = 0,093 atau p > 0,05)..
operasional di unit kerja menurut 4. Hubungan frekuensi pelatihan bencana
responden menyatakan bahwa sebagian dengan kesiapsiagaan tenaga kesehatan
besar (57,5%) responden menyatakan puskesmas.
tidak tersedia dan ada 42,5% yang Dari hasil analisis statistik, ternyata
menyatakan tersedia. Pada tabel 5.9 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
terlihat gambaran ketersediaan bermakna proporsi kesiapsiagaan
kebijakan pemerintah tentang
kesiapsiagaan bencana menurut
responden menunjukkan bahwa
sebagian besar (65%) menyatakan tidak
tersedia dan ada 35% responden yang
menyatakan tersedia. Dari tabel 5.10
terlihat gambaran ketersediaan
protap/pedoman di unit kerja menurut
responden menyatakan bahwa sebagian
besar (62,5%) menyatakan tersedia dan
ada 37,5% responden yang menyatakan
tidak tersedia. Dari tabel 5.11 terlihat
gambaran pelaksanaan evaluasi
kegiatan di unit kerja menurut
responden menyatakan bahwa sebagian
besar (62,5%) responden menyatakan
bahwa dilakukan evaluasi dan ada
37,5% responden yang menyatakan
tidak dilakukan evaluasi.

Analisis Bivariat
Berdasarkan tabel 5.12 dapat
dijelaskan hal-hal berikut ini :
1. Hubungan umur dengan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
puskesmas
Dari hasil analisis statistik,
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna secara
statistik dimana p value = 1,230 atau
p > 0,05.
2. Hubungan jenis kelamin dengan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
puskesmas
Dari hasil analisis statistik,
ternyata menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna ( p =
0,572 atau p > 0,05).
menurut frekuensi pelatihan bencana kesiapsiagaan tenaga kesehatan
(p puskesmas
= 1,081 atau p > 0,05). Dari hasil analisi statistik,
5. Hubungan frekuensi ternyata menunjukkan adanya
simulasi/gladi dengan perbedaan yang bermakna (p =
kesiapsiagaan tenaga 0,024 atau p < 0,05).
kesehatan puskesmas
Dari hasil analisis Analisis multivariat
statistik, ternyata Untuk menguji semua variabel
menunjukkan tidak adanya independen terhadap variabel dependen
perbedaan yang bermakna (p maka dilakukan uji logistik regresi
= 1,177 atau p > 0,05). (regression logistik).
6. Hubungan kecukupan sarana Berdasarkan hasil analisis
dengan kesiapsiagaan tenaga bivariat, ternyata ada 2 variabel yang
kesehatan puskesmas dianalisis keduanya memenuhi syarat
Dari hasil analisis untuk dilakukan analisis lebih lanjut
statistik, ternyata dengan analisis multivariat yaitu
menunjukkan tidak adanya variabel yang mempunyai signifikansi
perbedaan yang bermakna ( p (p) < 0,025. Kedua variabel tersebut
= 1,746 atau p > 0,05). adalah tersedianya
7. Hubungan tersedianya biaya protap/pedoman (p = 0,024) dan
operasional dengan pelaksanaan evaluasi (p = 0,024).
kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas
Dari hasil analisi
statistik, ternyata
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna (p
= 2,397 atau p > 0,05).
8. Hubungan tersedianya
kebijakan pemerintah tentang
kesiapsiagaan bencana
dengan tenaga kesehatan
puskesmas
Dari hasil analisi
statistik, ternyata
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna (p
= 21,430 atau p > 0,05).
9. Hubungan tersedianya
protap/pedoman dengan
kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas
Dari hasil analisi
statistik, ternyata
menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna (p
= 0,024 atau p < 0,05).
10. Hubungan pelaksanaan
evaluasi dengan
Selanjutnya untuk menilai hubungan menurut kelompok umur tidak bermakna
yang paling bermakna diantara kedua secara statistik dimana p value = 1,230 atau p
variabel independen tersebut > 0,05.
terhadap Gibson (1987), menyatakan bahwa
kesiapsiagaan (variabel dependen), faktor usia merupakan variabel dari individu
maka dilakukan analisis regresi logistik yang pada dasarnya semakin bertambah usia
secara bersama-sama semua variabel seseorang akan semakin bertambah
yang memenuhi syarat kedewasaannya dan semakin banyak menyerap
Dari Tabel 5.13 menunjukkan informasi yang akan mempengaruhi
bahwa kedua variabel mempunyai produktivitasnya. Teori ini juga dikemukakan
pengaruh yang sama terhadap oleh Siagian (1995), yang menyatakan bahwa
kesiapsiagaan tenaga kesehatan semakin meningkatnya usia seseorang maka
puskesmas kedewasaan, teknik, dan psikologisnya
yaitu protap/pedoman semakin meningkat. Ia akan mampu
bencana dengan nilai OR (EXP (B) ) = mengambil keputusan, semakin bijaksana,
0,889 dan pelaksanaan evaluasi dengan semakin mampu berpikir
nilai OR (EXP (B)) = 0,889.
Pembahasan
Gambaran Kesiapsiagaan Tenaga
Kesehatan Puskesmas
Dari 40 orang responden ternyata
masih ada 7,5% yang menyatakan tidak
siap siaga. Ketidaksiapsiagaan ini
terjadi karena responden tidak bersedia
bekerja diluar jam kerja rutin dan atau
tidak bersedia bekerja dengan perintah
atasan yang datang secara mendadak
dan atau tidak bersedia bekerja dengan
sarana dan biaya operasional yang
tersedia di unit kerja untuk kegiatan
penanggulangan bencana banjir
diwilayah kerjanya.

Hubungan Umur dengan


Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan
Puskesmas
Responden penelitian ini berusia
19-
34 tahun. Berdasarkan tabel 5.12
tampak bahwa proporsi kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi
pada kelompok umur 35-60 tahun
(65%) dibandingkan dengan kelompok
umur 19-34 tahun (27,5%). Dari hasil
analisis statistik untuk melihat
hubungan antara umur dengan
kesiapsiagaan ternyata tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna proporsi kesiapsiagaan
secara rasional, mengendalikan ada pada kelompok responden dengan
emosi dan toleran terhadap pengalaman kerja 6-15 tahun sebesar
pendapat orang lain. 67,5%. Berikutnya pada lama
pengalaman kerja > 16 tahun
Hubungan Jenis Kelamin proporsinya sebesar 30% dan kelompok
dengan Kesiapsiagaan Tenaga dengan pengalaman kerja < 5 tahun
Kesehatan Puskesmas sebesar 2,5%. Berdasarkan tabel 5.12
Dari hasil penelitian ini tampak bahwa proporsi kesiapsiagaan
sebagian besar berjenis kelamin tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi
perempuan sebesar 85%. pada responden dengan pengalaman
Sedangkan pada jenis kelamin kerja 6-15 tahun sebesar 62,5%
laki-laki proporsinya sebesar dibandingkan dengan kelompok lama
15%. Berdasarkan tabel 5.12 pengalaman kerja > 16 tahun
tampak bahwa proporsi proporsinya sebesar 27,5% dan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan kelompok dengan pengalaman kerja < 5
puskesmas lebih tinggi pada tahun sebesar 2,5% Dari hasil analisis
kelompok jenis kelamin statistik, tidak menunjukkan adanya
perempuan (77,5%) perbedaan yang bermakna proporsi
dibandingkan dengan kelompok kesiapsiagaan menurut faktor lama
laki-laki (15%). Dari hasil pengalaman kerja tidak bermakna
analisis statistik untuk melihat secara
hubungan antara umur dengan
kesiapsiagaan ternyata tidak
menunjukkan adanya perbedaan
yang bermakna proporsi
kesiapsiagaan menurut kelompok
jenis kelamin tidak bermakna
secara statistik dimana p value =
0,572 atau p > 0,05.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan studi-studi psikologis
yang telah menemukan bahwa
perempuan lebih bersedia untuk
mematuhi wewenang, dan laki-
laki lebih agresif dan lebih besar
kemungkinannya dari perempuan
dalam memiliki pengharapan
untuk sukses, tetapi perbedaan ini
kecil adanya. Kita
mengasumsikan bahwa tidak ada
perbedaan berarti dalam
produktivitas pekerjaan antara
laki-laki dan perempuan
(Robbins, 1996).

Hubungan Lama Pengalaman


Kerja dengan Kesiapsiagaan
Tenaga Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini
menunjukkan proporsi terbesar
statistik dimana p value = 0,572 atau p merupakan proses pengembangan untuk
> 0,05. meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
Hasil penelitian ini bisa saja terjadi karena melalui pelatihan, technical skill,
mengingat bahwa pengalaman kerja human skill, dan managerial skillnya akan
keseluruhan dari masa kerja yang semakin baik.
dijalani mungkin saja lebih berperan
secara dominan dalam mendukung Hubungan Frekuensi Simulasi/Gladi dengan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan. Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan
Walaupun pengalaman akan Puskesmas
membentuk perilaku petugas (Siagian, Dari hasil penelitian ini proporsi terbesar
1992), tetapi bukan berarti bahwa ada pada kelompok responden yang tidak
pengalaman yang telah dimiliki oleh pernah mengikuti gladi/simulasi sebesar
petugas selalu dapat dipergunakan 62,5%. Kemudian yang pernah mengikuti
untuk melaksanakan tugas. Hal ini gladi/simulasi sebesar 37,5%.
karena selalu dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan dan
perkembangan yang selalu terjadi.

Hubungan Frekuensi Pelatihan


Manajemen Bencana dengan
Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan
Puskesmas
Dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas yang
bekerja terkait dengan penanggulangan
bencana banjir di kecamatan Manggala
kota Makassar tahun 2019 proporsi
terbesar ada pada kelompok responden
yang pernah mengikuti pelatihan
manajemen bencana 92,5%. Kemudian
yang tidak pernah mengikuti pelatihan
sebesar 7,5%. Berdasarkan tabel 5.12
tampak bahwa proporsi kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi
pada responden yang pernah mengikuti
pelatihan manajemen bencana sebesar
25% dibandingkan dengan kelompok
yang tidak pernah mengikuti pelatihan
sebesar 0% Dari hasil analisis statistik,
ternyata tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna proporsi
kesiapsiagaan menurut faktor pelatihan
manajemen bencana tidak bermakna
secara statistik dimana p value = 1,081
atau p > 0,05.
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan Hasibuan (2008), yang
menyatakan bahwa pelatihan
Berdasarkan tabel 5.12 tampak responden yang menyatakan sarana
bahwa proporsi kesiapsiagaan penanggulangan bencana di unit kerja
tenaga kesehatan puskesmas cukup sebesar 57,5% dibandingkan
lebih tinggi pada responden yang dengan kelompok yang menyatakan
tidak pernah mengikuti pelatihan tidak cukup sebesar 35%. Dari hasil
gladi/simulasi sebesar 60% analisis statistik, ternyata tidak
dibandingkan dengan kelompok menunjukkan adanya perbedaan yang
yang pernah mengikuti bermakna proporsi kesiapsiagaan
gladi/simulasi sebesar 32,5% menurut kecukupan sarana di unit kerja
Dari hasil analisis statistik, tidak bermakna secara statistik dimana
ternyata tidak menunjukkan p value = 1,746 atau p > 0,05..
adanya perbedaan yang Sutermeister dalam kutipan
bermakna proporsi kesiapsiagaan Sedarmayanti (2009), menyatakan
menurut kelompok jenis kelamin bahwa selain penyediaan sarana dan
tidak bermakna secara statistik peralatan kerja yang lengkap juga harus
dimana p value = 1,177 atau p > mencakup dukungan organisasi yang
0,05. baik, dukungan struktur organisasi,
Hasil ini dapat dijelaskan penyediaan teknologi, penyediaan
bahwa metode pelatihan dengan tempat dan lingkungan kerja yang
melakukan gladi/simulasi nyaman, penyediaan kondisi dan syarat
sepertinya tidak terlalu berperan kerja, peluang membangun hubungan
dalam kerja yang harmonis serta menyediakan
meningkatkan kecukupan anggaran yang
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
dalam penanggulangan bencana
banjir. Menurut Andrew F.
Sikula yang dikutip oleh
Hasibuan (2008), menunjukkan
adanya beberapa metode latihan
yang dapat diberikan kepada
pekerja tidak hanya dalam bentuk
simulasi saja akan tetapi dapat
berupa on the job, vestibule,
demonstration dan example,
apprenticeship dan classroom
methods

Hubungan Kecukupan Sarana


dengan Kesiapsiagaan Tenaga
Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini
proporsi terbesar ada pada
kelompok responden yang
menyatakan sarana yang tersedia
cukup sebesar 65%. Kemudian
yang menyatakan tidak cukup
sebesar 35%. Berdasarkan tabel
5.12 tampak bahwa proporsi
kesiapsiagaan tenaga kesehatan
puskesmas lebih tinggi pada
dibutuhkan untuk setiap pelaksanaan Dari hasil penelitian ini proporsi terbesar
tugas akan meningkatkan produktivitas. ada pada kelompok responden yang
menyatakan tidak tersedia kebijakan
Hubungan Tersedianya pemerintah sebesar 65%. Kemudian yang
Biaya Operasional menyatakan tersedia sebesar 35%.
dengan Kesiapsiagaan Tenaga Berdasarkan tabel 5.12 tampak bahwa proporsi
Kesehatan Puskesmas kesiapsiagaan tenaga kesehatan puskesmas
Dari hasil penelitian ini 9 proporsi lebih tinggi pada responden yang menyatakan
terbesar ada pada kelompok responden kebijakan pemerintah terkait penanggulangan
yang menyatakan tidak tersedia biaya bencana di unit kerja tidak tersedia sebesar
operasional sebesar 57,5%. Kemudian 62,5% dibandingkan dengan kelompok yang
yang menyatakan tersedia sebesar menyatakan tersedia sebesar 30%. Dari hasil
42,5%. Berdasarkan tabel 5.12 tampak analisis statistik, ternyata tidak
bahwa proporsi kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas lebih tinggi pada
responden yang menyatakan biaya
operasional penanggulangan bencana di
unit kerja tidak tersedia sebesar 50%
dibandingkan dengan kelompok yang
menyatakan tersedia sebesar 42,5%.
Dari hasil analisis statistik untuk
melihat hubungan antara ketersediaan
biaya
operasional
penanggulangan bencana di unit kerja
dengan kesiapsiagaan ternyata tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna proporsi kesiapsiagaan
menurut ketersediaan biaya
operasional
penanggulangan bencana diunit kerja
tidak bermakna secara statistik dimana
p value = 2,397 atau p > 0,05.
Ini dapat dijelaskan bahwa
ketersediaan biaya operasional untuk
penanggulangan bencana banjir
sepertinya tidak terlalu berperan dalam
meningkatkan kesiapsiagaan tenaga
kesehatan yang bersangkutan dalam
penanggulangan bencana banjir. Hal ini
bisa saja terjadi bahwa kesiapsiagaan
tenaga kesehatan yang tergambar dalam
produktivitas kerja tidak hanya
dipengaruhi oleh ketersediaan biaya
operasional di unit kerja.

Hubungan Tersedianya Kebijakan


Pemerintah dengan Kesiapsiagaan
Tenaga Kesehatan Puskesmas
menunjukkan adanya perbedaan bermakna proporsi kesiapsiagaan
yang bermakna proporsi menurut ketersediaan protap/pedoman
kesiapsiagaan menurut penanggulangan bencana di unit kerja
ketersediaan kebijakan bermakna secara statistik dimana p
pemerintah terkait value = 0,024 atau p < 0,05.
penanggulangan bencana di unit Hasil analisis ini bertentangan
kerja tidak bermakna secara dengan Sinungan (2009), yang
statistik dimana p value = 1,430 menyatakan bahwa tidak hanya
atau p > 0,05. dipengaruhi oleh modal (sarana,
Kebijakan terkait material, pembiayaan, dan lain- lain)
kesiapsiagaan bencana akan akan tetapi juga akan dipengaruhi oleh
sangat berpengaruh karena faktor tenaga kerja sendiri (kuantitas,
merupakan upaya konkrit dalam pendidikan, keahlian, struktur
pelaksanaan kegiatan pekerjaan, minat kerja, kemampuan,
kesiapsiagaan bencana yang sikap, dan aspirasi), manajemen dan
meliputi pendidikan public, organisasi (kondisi kerja, iklim kerja,
emergency planning, system organisasi dan perencanaan, tatanan
peringatan dini, dan mobilisasi tugas, system insentif dan lain-lain).
sumber daya. Dengan adanya Selain itu dapat pula dikarenakan
kebijakan pemerintah maka akan karena jumlah sampel yang ada masih
mempermudah dalam belum dapat menjelaskan adanya
penyusunan tim penanggulangan perbedaan kesiapsiagaan tenaga
bencana, pengerahan sumber
daya/tenaga kesehatan serta
penggunaan sarana dan prasarana
yang tersedia.

Hubungan Tersedianya
Protap/Pedoman dengan
Kesiapsiagaan Tenaga
Kesehatan Puskesmas
Dari hasil penelitian ini
proporsi terbesar ada pada
kelompok responden yang
menyatakan tersedia
protap/pedoman sebesar 62,5%.
Kemudian yang menyatakan
tidak tersedia sebesar 37,5%.
Berdasarkan tabel 5.12 tampak
bahwa proporsi kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas
lebih tinggi pada responden yang
menyatakan protap/pedoman
penanggulangan bencana di unit
kerja tersedia sebesar 57,5%
dibandingkan dengan kelompok
yang menyatakan tidak tersedia
sebesar 35%. Dari hasil analisis
statistik, ternyata menunjukkan
adanya perbedaan yang
kesehatan menurut ketersediaan kesiapsiagaan tenaga kesehatan. Hasil analisis
protap/pedoman. ini bertentangan dengan Sinungan (2009),
yang menyatakan bahwa tidak hanya
Hubungan Pelaksanaan Evaluasi dipengaruhi oleh modal (sarana, material,
dengan Kesiapsiagaan Tenaga pembiayaan, dan lain-lain) akan tetapi juga
Kesehatan Puskesmas akan dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja
Dari hasil penelitian ini proporsi sendiri (kuantitas, pendidikan, keahlian,
terbesar ada pada kelompok responden struktur pekerjaan, minat kerja, kemampuan,
yang menyatakan dilakukan evaluasi sikap, dan aspirasi), manajemen dan organisasi
sebesar 62,5%. Kemudian yang (kondisi kerja, iklim kerja, organisasi dan
menyatakan tidak dilakukan evaluasi perencanaan, tatanan tugas, sistem insentif dan
sebesar 37,5%. Berdasarkan tabel 5.12 lain-lain).
tampak bahwa proporsi kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas lebih tinggi
pada responden yang menyatakan
dilakukan evaluasi setelah kegiatan
penanggulangan bencana di unit kerja
sebesar 57,5% dibandingkan dengan
kelompok yang menyatakan tidak
dilakukan sebesar 35%. Dari hasil
analisis statistik, ternyata menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna
proporsi kesiapsiagaan menurut
dilakukannya evaluasi setelah kegiatan
penanggulangan bencana di unit kerja
bermakna secara statistik dimana p
value = 0,024 atau p < 0,05.
Hasil dari penelitian ini sejalan
dengan teori yang menyatakan bahwa
evaluasi merupakan upaya perbaikan
terhadap kegiatan yang telah
dilaksanakan yang dihadapkan kepada
tuntutan yang berubah baik secara
internal maupun eksternal. Hasil ini
sesuai dengan etos kerja terkait dengan
peningkatan produktivitas (Sutrisno,
2009).

Analisis Multivariat Faktor


Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan
Puskesmas
Hasil dari analisis multivariat
yang dilakukan menunjukkan bahwa
kedua variabel mempunyai pengaruh
yang sama terhadap kesiapsiagaan
tenaga kesehatan puskesmas. Untuk
hasil analisis multivariat faktor
protap/pedoman, didapatkan bahwa
faktor ini berpengaruh terhadap
Sementara faktor Penelitian Suatu Pendekatan
pelaksanaan evaluasi Praktek (edisi revisi ke- 5).
menunjukkan adanya hubungan Rineka Cipta: Jakarta
yang bermakna dengan Dewi, R.N. 2010. Kesiapsiagaan
kesiapsiagaan tenaga kesehatan. Sumber Daya
Hal ini bermakna bahwa untuk Kesehatan
meningkatkan kesiapsiagaan Dalam
bencana tenaga kesehatan Penanggulangan
puskesmas akan lebih baik jika Masalah Kesehatan
dilakukan kegiatan evaluasi Akibat Bencana Banjir di
terhadap diri tenaga kesehatan Provinsi DKI Jakarta.Tesis
sendiri maupun pelaksanaan Fakultas Kesehatan Masyarakat
kegiatannya. Dengan Program Pasca Sarjana
melaksanakan evaluasi kita dapat Universitas Indonesia Depok.
mengukur keberhasilan upaya- Djafar, M., Mastu, F, & Patellongi, I.
upaya dan program yang 2012. Pengaruh Penyuluhan
dilakukan atau kegiatan Tentang Kesiapsiagaan Bencana
penanggulangan yang Banjir Terhadap Pengetahuan
dilaksanakan (Depkes, 2007). dan Sikap Kepala Keluarga di
Romang Tangngayya
KESIMPULAN
Dari hasil dan Kelurahan
pembahasan penelitian ini, maka Tamangngapa
dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut ini : Kecamatan Manggala Kota
3. Gambaran kesiapsiagaan Makassar. Tesis
tenaga kesehatan puskesmas
di kecamatan Manggala kota
Makassar adalah sebesar
92,5%.
4. Secara keseluruhan hanya
terdapat dua faktor yang
berhubungan dengan
kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas dalam
penanggulangan bencana
banjir di kecamatan manggala
kota Makassar tahun 2019
yaitu tersedianya
protap/pedoman bencana dan
pelaksanaan evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA
A.A. Gde, Muninjaya, 2018.
Manajemen Kesehatan.
Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
Adiyoso, W. 2018. Manajemen
Bencana. Bumi Aksara: Jakarta
Arikunto,S. 2002. Prosedur
Sekolah Pascasarjana Universitas Masyarakat
Hasanuddin Makassar.
Endang, S.S. 2014. Manajemen Terhadap Kesiapsiagaan
Kesehatan: Teori dan Praktik di Bencana Akibat Banjir di
Puskesmas. Gajah Mada Kecamatan Tempe Kabupaten
University Press: Yogyakarta Wajo.Tesis Sekolah Pasca
Handoko, R. 2013. Statistik Sarjana Universitas Hasanuddin
Kesehatan.
Mitra Cendikia Press: Makassar.
Yogyakarta Hasibuan, Malayu SP, Samsuddin, Sadili, 2006. Manajemen
2018. Manajemen Sumber Daya Manusia. Pustaka
Personalia dan Sumber Daya Setia: Bandung
Manusia. Bumi Aksara: Jakarta Saryono, 2011. Metodologi Penelitian
Heni, T. 2018. Perencanaan Program Kesehatan. Mitra Cendekia
Promosi Kesehatan. Penerbit Press: Yogyakarta
Andi: Yogyakarta Sugiyono, 2017. Metode Penelitian
Kasmir, 2018. Manajemen Sumber Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Daya Manusia. Rajawali Pers: Alfabeta: Bandung
Depok Sugiyono, 2017.Memahami Penelitian
Nurdin, P. 2016. Menurunkan Risiko Kualitatif. Alfabeta: Bandung
Bencana. Masagena Perss: Sulastomo, 2000. Manajemen
Makassar Kesehatan. PT Gramedia Pustaka
Nursalam,2013. Konsep dan Umum: Jakarta
Metodologi Penelitian Ilmu Undang-Undang Republik Indonesia
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Tesis, dan Instrument Penanggulangan Bencana.
Keperawatan, Salemba Medika: Uyanto, S.S. 2009. Pedoman Analisis
Jakarta Data dengan SPSS.Graha ilmu:
Pusponegoro, A.D. 2011. The Silent Yogyakarta
Disaster Bencana, dan Korban Wijono,Djoko, 2001. Manajemen
Massal. Sagung Seto: Jakarta Mutu Pelayanan Kesehatan.
Sedarmayanti, 2009. Sumber Daya Airlangga University Press:
Manusia dan Produktivitas Surabaya
Kerja. Cetakan ketiga. CV. Winardi, 2007. Motivasi dan
Mandar Maju: Bandung Pemotivasian dalam Manajemen.
Sabarguna, Boy, 2008. Manajemen Rajawali Pers: Jakarta
Kinerja Pelayanan Rumah Sakit. Yuniarsih, T. 2008. Manajemen
CV. Sagung Seto: Jakarta Sumber Daya Manusia. Alfabeta:
Saharullah, 2015. Bandung
Hubungan
Pengetahuan, Sikap dan
Tindakan
Tabel 5.1
Distribusi Kesiapsiagaan
Responden n= 40

No Kesiapsiagaan n %
1 Tidak siap siaga 3 7.5
2 Siap siaga 37 92.5

Tabel 5.2
Distribusi Umur
Responden
n= 40

Umur n %
19-34 tahun 11 27.5
35-60 tahun 29 72.5

Tabel 5.3
Distribusi Jenis Kelamin

Responden n= 40
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 6 15
Perempuan 34 85

Tabel 5.4
Distribusi Lama Pengalaman Kerja
Responden n= 40

Masa kerja n %
kurang 5 tahun 1 2.5
6 - 15 tahun 27 67.5
lebih 16 tahun 12 30

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Pelatihan Bencana
Responden n= 40

Frekuensi pelatihan n %
Tidak pernah 30 75
Pernah 10 25
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Simulasi/Gladi
Responden n= 40

frekuensi n %
tidak pernah 25 62.5
Pernah 15 37.5

Tabel 5.7
Distribusi Kecukupan Sarana Menurut
Responden n= 40

Kecukupan Sarana n %
tidak cukup 14 35
Cukup 26 65

Tabel 5.8
Distribusi Tersedianya Biaya Operasional Menurut
Responden
n= 40

Biaya operasional n %
tidak tersedia 23 57.5
Tersedia 17 42.5

Tabel 5.9
Distribusi Tersedianya Kebijakan Pemerintah
Tentang Kesiapsiagaan Bencana
n= 40

Kebijakan pemerintah n %
Tidak tersedia 26 65
Tersedia 14 35

Tabel 5.10
Distribusi Tersedianya Protap/Pedoman Menurut
Responden
n= 40

Protap/ pedoman n %
tidak tersedia 15 37.5
Tersedia 25 62.5
Tabel 5.11
Distribusi Pelaksanaan Evaluasi Kepada
Responden n= 40

Evaluasi n %
tidak dilakukan 15 37.5
Dilakukan 25 62.5

Tabel 5.12
Faktor Yang Berhubungan dengan Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas

Faktor total p value


tidak
n siap siaga
% siap
n siaga
%
Umur 1,230
19-34 tahun 0 0 11 27,5 11
35-60 tahun 3 7,5 26 65 29
jenis kelamin 0,572
Laki-laki 0 0 6 15 6
Perempuan 3 7,5 31 77,5 34
pengalaman kerja 0,093
kurang 5 tahun 0 0 1 2,5 1
6 - 15 tahun 2 5 25 62,5 27
lebih 16 tahun 1 2,5 11 27,5 12

frekuensi pelatihan 1,081


tidak pernah 3 7,5 0 0 3
Pernah 27 67,5 10 25 37
frekuensi simulasi 1,177
tidak pernah 1 2,5 24 60 25
Pernah 2 5 13 32,5 15
kecukupan sarana 1,746
tidak cukup 0 0 14 35 14
Cukup 3 7,5 23 57,5 26
biaya operasional 2,397
tidak tersedia 3 7,5 20 50 23
Tersedia 0 0 17 42,5 17

kebijakan pemerintah 1,430


tidak tersedia 1 2,5 25 62,5 26
Tersedia 2 5 12 30 14
protap/pedoman 0,024
tidak tersedia 1 2,5 14 35 15
Tersedia 2 5 23 57,5 25
Evaluasi 0,024
tidak dilakukan 1 2,5 14 35 15
Dilakukan 2 5 23 57,5 25

Tabel 5.13
Hasil uji regresi logistik variabel yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan tenaga
kesehatan puskesmas dalam menghadapi bencana banjir tahun 2019

95% C.I.for
Variabel B S.E. Wald df Sig. EXP(B)
Exp(B) Lower Upper

Vol. XV No. 1, Juni 2020


DOI: 70
Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) ISSN 2355-3324
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 7 Pages pp. 12-18
Protap
Bencana -0.117 1.719 0.005 1 0.946 0.889 0.031 25.844
Pelaksanaan
Evaluasi -0.117 1.719 0.005 1 0.946 0.889 0.031 25.844
Constant
2.898 2.388 1.473 1 0.225 18.140
Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) ISSN 2355-3324
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 7 Pages pp. 12-18

PERANCANGAN INSTRUMEN PENILAIAN KESIAPSIAGAAN PUSKESMAS


DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
Cut Dian1, Imran2, Khairul Munadi3
1
Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Program Studi Elektro, Jurusan Teknik Elektro dan Komputer , Fakultas Tehnik, Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh
Koresponden : cutdiannuraniteo@gmail.com

ABSTRACT
Primary health care center preparedness in disaster management is very important to reduce the
impact of disasters occurring in the community. It is necessary to assess the level of Primary health
care center preparedness in disaster management to know the level of preparedness and the aspects of
preparedness that need to be improved. No instruments have been used to assess Primary health care
preparedness in disaster management. This study aims to identify indicators of preparedness of
Primary health care center in disaster management, to design the instrument of Primary health care
center preparedness assessment in disaster management. This research specifically uses Research and
Development research. Outline consists a) Introduction Research, b) Planning and Design of
instrument, c) weighting, d) Professional judgment e) Validity test instrument using Content Validity
Ratio (CVR). This study has identified six indicators of Primary health care center preparedness that
are health mapping, daily emergency services, community empowerment, preparedness exercises,
surveillance and cross sector coordination. This research has produced the instrument that has been
tested its validity, to assess the preparedness of Primary health care in disaster response.
Keywords: assessment instruments, preparedness, primary health care center, disaster
management.

ABSTRAK
Kesiapsiagaan Puskesmas dalam penanggulangan bencana sangat berperan mengurangi dampak
bencana yang terjadi di masyarakat. Perlu dilakukan penilaian tingkat kesiapsiagaan Puskesmas
dalam penanggulangan bencana untuk mengetahui tingkat kesiapan dan aspek-aspek kesiapsiagaan
yang perlu ditingkatkan. Belum ada instrumen yang digunakan untuk menilai kesiapsiagaan
Puskesmas dalam penanggulangan bencana. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi indikator
kesiapsiagaan puskesmas dalam penanggulangan bencana, merancang instrumen penilaian
kesiapsiagaan Puskesmas dalam penanggulangan bencana. Penelitian ini secara spesifik
menggunakan jenis penelitian Research and Development yang secara garis besar terdiri dari a)
Penelitian Pendahuluan, b) Perencanaan dan Desain intrumen, c) pembobotan, d) Professional
judgement e) uji validitas instrumen menggunakan Content Validity Ratio (CVR). Penelitian ini telah
menghasilkan instrumen yang telah diuji validitasnya, untuk menilai kesiapsiagaan Puskesmas dalam
Penanggulangan bencana.
Kata kunci: instrumen penilaian, kesiapsiagaan, puskesmas, penanggulangan bencana.

PENDAHULUAN nya adalah lokasi berisiko tinggi. pada tahun 2013


Indonesia merupakan negara yang sampai 2015 telah terjadi sebanyak 1.515 kali
wilayahnya rawan terhadap terjadinya kejadian krisis kesehatan. Jumlah korban tercatat
bencana. Indeks Risiko Bencana Indonesia sebanyak 2.745 jiwa atau sekitar 915 pertahun dan
tahun 2013 dari 496 kabupaten/Kota. 65%
Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) ISSN 2355-3324
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 7 Pages pp. 12-18
jumlah pengungsi pada 3 tahun tidak hanya menilai manajemen terhadap
tersebut sebanyak 1.610.339 jiwa pendekatan epidemiologi namun juga
atau 536 ribu pertahun (PPKK, persiapan pusat pelayanan kesehatan
2016). Kejadian bencana telah terhadap bencana. Kemampuan respon yang
menjadi permasalahan dalam efektif pada
pelayanan kesehatan masyarakat
dalam beberapa dekade. Penelitian Volume 4, No. 1, Februari 2017 12
pelayanan kesehatan masyarakat pelayanan primer berhubungan dengan
menurunkan angka mortalitas dan proses yang memastikan bahwa pusat
morbiditas korban bencana (Lin, 2011). pelayanan primer dipersiapkan dengan baik
Fuadi et al, (2011), manajemen bencana untuk kejadian bencana, meminimalisir
harus dipertimbangkan untuk mencegah kehilangan nyawa, cedera, kerusakan harta
kehilangan atau dampak yang disebabkan benda, dan rehabilitasi dengan cara
oleh bencana melalui mitigasi, meningkatkan sumber daya dan kapasitas
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan yang berkesinambungan terhadap fungsi
rehabilitasi recovery. Masing-masing pokok organisasi. Berdasarkan acuan dari
tahapan memiliki langkah-langkah WHO (1995), panduan kesiapsiagaan
penanganan yang berbeda-beda. bencana meliputi empat aspek yaitu sumber
Tiap tiap instansi berperan dalam daya manusia, kesiapsiagaan fasilitas, SOP
manajemen risiko bencana dan memiliki atau program yang berhubungan dengan
program kerja berbeda-beda. Berdasarkan bencana dan kebijakan. Para tenaga
pengalaman kejadian bencana, kapasitas kesehatan pada Pusat pelayanan primer
setiap sektor di bidang kesiapsiagaan seharusnya didukung dengan kompetensi
bencana sangatlah penting (Febriana, 2015). untuk menghadapi bencana. Kompetensi
Demikian pula dengan petugas kesehatan yang dibutuhkan oleh tenaga kesehatan
yang sangat berkontribusi dalam untuk siap menghadapi bencana seperti
penanganan bencana khususnya pada fase pelatihan kesiapsiagaan bencana, Basic and
kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Advance life support dan pelatihan
Dalam fase tanggap darurat para petugas kegawatdaruratan kesehatan masyarakat
kesehatan dituntut memiliki skil yang (Fuadi et al, 2011).
terlatih dalam menangani pasien terutama Kristiana dan Ristrini, (2013), peran
dalam memberikan bantuan hidup dasar dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
pertolongan pertama terhadap korban dalam sistem pelayanan kesehatan tanggap
bencana. Sehingga dapat menyelamatkan darurat adalah langsung dalam hal teknis
jiwa korban atau mencegah terjadinya cacat pelayanan di masyarakat korban bencana.
permanen yang dapat mengurangi kualitas Dalam melaksanakan tugasnya,
hidup korban. Tujuan kesiapsiagaan adalah Puskesmas berada di bawah koordinasi
untuk mengembangkan rencana, melatih Dinkes kabupaten. Hambatan yang
petugas pada seluruh level dan sektor, untuk dirasakan Puskesmas dalam memberikan
melatih masyarakat yang berisiko dan pelayanan kesehatan tanggap darurat
memantau dan evaluasi secara adalah belum adanya koordinasi yang
teratur.Ketika terjadi bencana, efektivitas optimal antar lembaga terkait. Jejaring
kegiatan respon akan bergantung pada dalam pelayanan kesehatan tanggap
aktifitas dan kapasitas mitigasi dn kesiapan darurat di tingkat Puskesmas terjadi hanya
yang ada sebelum terjadi bencana (Tekeli- pada saat ada bencana. Selain itu masih
Yesil. S, 2006) belum ada payung hukum yang jelas dan
Pelayanan kesehatan primer dan prosedur standar untuk koordinasi antar
bantuan medis secara konsep belum sektor. Sumber daya manusia di
berjalan bersama secara efektif. puskesmas sudah tersedia, namun pada
Tantangannya adalah mereka memiliki saat pelayanan tanggap darurat dirasa
pemahaman yang berbeda dalam masih belum sesuai dengan kebutuhan.
penyediaan layanan kesehatan. Anggaran khusus untuk bencana di
Kenyataannya dalam keadaan darurat tingkat puskesmas masih belum tersedia,
keduanya diperlukan secara bersamaan begitu pula logistik khusus bencana.
(redwood-chambel dan Abraham, 2012). Sampai saat ini belum tersedia indikator
Kesiapsiagaan emergensi pada pusat yang dapat menilai kesiapsiagaan
13 Volume 4, No. 1, Februari 2017
Puskesmas dalam

14 Volume 4, No. 1, Februari 2017


Jurnal Magister Ilmu Kebencanaan (JIKA)
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

menanggulangi bencana sehingga perlu indikator-indikator penilaian kesiapsiagaan


suatu instrumen yang terukur yang dapat Puskesmas dalam penanggulangan bencana
menjadi bahan acuan puskesmas untuk (dikembangkan berdasarkan Depkes RI,
meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi 2005). Perencanaan dan desain instrumen,
bencana. melakukan penyusunan parameter/
indikator dan pembobotan untuk aspek
METODE PENELITIAN
yang mendukung evaluasi kesiapsiagaan
Penelitian ini merupakan penelitian
Puskesmas terhadap penanggulangan
kualitatif dan kuantitatif. Untuk
bencana. Desain instrumen untuk
memperoleh informasi yang mendalam
menentukan tujuan dari instrumen, siapa
tentang penilaian kesiapsiagaan Puskesmas
penggunanya serta rincian kompenen
terhadap penanggulangan bencana maka
instrumen dan penggunaannya. 3).
akan dilakukan pendekatan secara kualitatif.
Melakukan Pembobotan, pembobotan
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk
dilakukan dengan menggunakan metode
mengukur hasil kualiltatif dari penilaian
Analytical Hierarchy Process (AHP)
yang dilakukan. Penelitian ini secara
melalui wawancara mendalam (in-depth
spesifik menggunakan jenis penelitian
interview) kepada narasumber/pakar yang
Research and Development (Penelitian dan
merupakan para praktisi kesehatan,
Pengembangan) yang dikembangkan oleh
kebencanaan dan akademisi. Pendekatan
Borg & Gall (Simoneau,2007). Research
AHP menggunakan skala Saaty mulai dari
and development yaitu metode penelitian
nilai bobot 1 sampai 9. Bobot 1
yang digunakan untuk menghasilkan
menggambarkan “sama penting” yang
produk tertentu dan menguji keefektifan
berarti nilai bobot kedua elemen sama
produk tersebut (Sugiyono, 2009). Dalam
penting. Sedangkan nilai bobot 9
pelaksanaan penelitian ini, penulis
menggambarkan kasus elemen yang
menggunakan metode penelitian deskriptif,
“penting absolut” dibandingkan dengan
digunakan dalam penelitian awal untuk
yang lainnya ( Liedka & Stevent L, 2005;
menghimpun data tentang indikator yang
Ramanathan R. & Karpuzeu H,2011). 4)
berhubungan. Tahapan tersebut
Melakukan in-depth interview,
dimodifikasi pelaksanaannya menjadi lima
mensosialisasikan desain awal instrumen
tahapan yaitu 1) Melakukan Penelitian
dalam rangka memperoleh saran dan
Pendahuluan. Tahap studi pendahuluan
masukan (professional Judgement) agar
merupakan kegiatan research and
dapat dihasilkan sebuah instrumen yang
information collecting memiliki dua
valid yang dapat digunakan untuk
kegiatan utama, yaitu studi literatur (kaji
memberikan informasi yang komprehensif
pustaka dan hasil penelitian terdahulu)
berkaitan dengan evaluasi kesiapsiagaan
dan studi lapangan. Pada tahap ini
Puskesmas terhadap penanggulangan
dilakukan pengumpulan informasi
bencana. 5) Melakukan Uji Validitas,
mengenai indikator yang berhubungan
Content Validity Ratio (CVR) untuk setiap
dengan kesiapsiagaan Puskesmas dalam
aitem pertanyaan dan Content Validity
penanggulangan bencana bencana. Secara
Index (CVI) untuk keseluruhan tes
umum instrumen Penilaian Kesiapsiagaan
bertujuan untuk memastikan apakah
Puskesmas dalam penanggulangan bencana
kuesioner sudah sesuai dan relevan dengan
akan mengevaluasi 6 komponen yaitu: 1.
tujuan pembuatan instrument. Content
Pemetaan Kesehatan, 2. Koordinasi dengan
Validity Ratio (CVR) yang dikembangkan
lintas sektor, 3. Pelayanan Gawat Darurat
oleh Lawshe (1975) digunakan untuk
Sehari-hari, 4. Pemberdayaan Masyarakat,
menghitung validitas setiap aitem, dengan
6. Latihan Kesiapsiagaan, 6. Surveilans.
menggunakan Persamaan 1.
Keenam parameter tersebut dikembangkan
Jurnal Magister Ilmu Kebencanaan (JIKA)
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
CVR = (ne – N/2) / (N/2)…….1)
dimana ne adalah jumlah anggota panelis yang checklist
menjawab “penting”, N adalah jumlah total
panelis. Rumus ini menghasilkan nilai-nilai
yang berkisar dari +1 sampai -1, nilai posistif
menunjukkan bahwa setidaknya setengah
panelis menilai aitem sebagai penting.
Untuk menentukan masing-masing
aitem pertanyaan valid atau tidak, maka hasil
dari nilai CVR yang diperoleh disesuaikan.
Penelitian ini menggunakan 10 orang panelis,
nilai yang harus dipenuhi adalah 0,62. Setelah
dihitung nilai CVR dari masing-masing aitem
pertanyaan, maka selanjutnya dihitung nilai
content validity index (CVI) untuk keseluruhan
tes. Nilai CVI diperoleh dari nilai rata-rata
CVR yang ada. CVI mempresentasikan
kesesuaian aitem pertanyaan dengan tujuan
pembuatan instrumen. Nilai CVI digunakan
sebagai indikator validitas ini tes secara
keseluruhan. Kegiatan pendahuluan dilakukan
dengan studi literatur dan assessmen di
Puskesmas. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Januari sampai Februari 2017.
Sedangkan Professional Judgement dengan
nara sumber dilaksanakan pada bulan Maret
sampai April 2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ada beberapa kegiatan pra bencana
yang dapat dilakukan oleh Puskesmas guna
meningkatkan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan bencana. Poin tersebut
digunakan untuk mengembangkan blue
print dalam penyusunan instrumen
evaluasi. Secara umum instrumen Penilaian
Kesiapsiagaan Puskesmas dalam
penanggulangan bencana akan
mengevaluasi 6 komponen yaitu: 1.
Pemetaan Kesehatan, 2. Koordinasi dengan
lintas sektor, 3. Pelayanan Gawat Darurat
Sehari-hari, 4. Pemberdayaan Masyarakat,
5. Latihan Kesiapsiagaan, 6. Surveilans.
Keenam parameter tersebut dikembangkan
Indikator-indikator penilaian kesiapsiagaan
Puskesmas dalam penanggulangan bencana.
Indikator yang digunakan untuk
mengembangkan blue print instrumen
mengacu dan dimodifikasi pada
atau daftar periksa yang digunakan oleh Pusat
Krisis Kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia dalam membuat profil
penanggulangan krisis kesehatan
kabupaten/kota rawan bencana yang dapat
dilihat pada Tabel 1 s.d. Tabel 6.

Rancangan Instrumen
Instrumen yang dirancang terdiri
dari 3 komponen yaitu:
1. Input Data
Komponen ini terhubung dengan form
pertanyaan kunci untuk setiap aspek dalam
penilaian kesiapsiagaan Puskesmas dalam
penanggulangan bencana yaitu pemetaan
kesehatan, koordinasi lintas sektor, pelayanan
gawat darurat sehari-hari, pemberdayaan
masyarakat, latihan kesiapsiagaan dan
pemantauan (surveilans). Evaluasi dilakukan
dengan menjawab pertanyaan kunci pada tiap-
tiap indikator.Nilai skor akan terisi otomatis
setelah pertanyaan untuk masing-masing
indikator terisi. Nilai skor maksimal 1 dan
minimal 0. Nilai skor merupakan total jumlah
nilai dibagi banyaknya pertanyaan.
Format pertanyaan kunci terdiri dari
kolom deskripsi kriteria, pertanyaan kunci,
respon, skor, serta kolom means of
verification yang merupakan objektifitas
penilaian. Untuk respon pertanyaan diberi
nilai 1 untuk jawaban “Ya” dan nilai 0 untuk
jawaban “Tidak”.
2. Penilaian
Berisi form hasil penilaian untuk
indikator-indikator pada masing-masing aspek
penilaian Kesiapsiagaan yang kemudian
dikalikan dengan bobot untuk mendapatkan
nilai akhir.
3. Laporan Akhir
Laporan akhir terdiri dari form
rekapitulasi penilaian Kesiapsiagaan
Puskesmas dan Form rekapitulasi diisi
berdasarkan hasil penilaian dari masing-
masing aspek. Setelah nilai akhir diperoleh,
maka hasil dikategorikan dalam 5 (lima) level.
Berdasarkan Susanto dan Thomas
(2016), indeks kesiapan diformulasikan pengujian per aitem pertanyaan dan nilai
seperti terlihat pada persamaan (2). Content Validity Index (CVI) untuk
keseluruhan instrumen. Dalam melakukan
Indeks Kesiapan = uji validitas, penelitian ini menggunakan
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑅𝑖𝑖𝑙 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
𝑥 100 .................. jumlah panelis 10 (sepuluh) orang. Agar
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
pertanyaan dinyatakan valid, maka nilai uji
... 2)
validitas minimum adalah 0,62. Untuk
Adapun nilai akhir dan penjelasan penelitian ini, berdasarkan nilai CVR dari
kategori hasil dijelaskan pada Tabel 7. setiap aitem pertanyaan, diperoleh nilai CVI
0,98, yang berarti dapat disimpulkan bahwa
Pembobotan validitas isi tes secara keseluruhan
Pembobotan dan masukan terhadap dinyatakan valid,karena telah memenuhi
indikator yang ada, dilakukan melalui nilai minimum > 0,62.
wawancara mendalam (in-depth interview)
kepada 10 (sepuluh) narasumber yang KESIMPULAN
merupakan para praktisi kebencanaan, Berdasarkan rancangan penilaian
petugas kesehatan dan akademisi. kesiapsiagaan puskesmas dalam
Pembobotan dilakukan dengan metode AHP, penanggulangan bencana yang telah dibuat,
dengan bantuan Software Super Dicision®. dapat disimpukan berikut ini.
Hasil pembobotan untuk rancangan 1. Penelitian ini telah
penilaian kesiapsiagaan puskesmas dalam mengindentifikasikan indikator
penanggulangan direkapitulasi dan dicari kesiapsiagaan Puskesmas dalam
nilai rata-rata. Nilai rata-rata pembobotan penanggulangan bencana. Indikator
diperoleh dari hasil penjumlahan tersebut dikelompokkan dalam 6
pembobotan dibagi jumlah narasumber. aspek yaitu: 1) Pemetaan kesehatan,
Hasil rekapitulasi pembobotan dapat dilihat 2) Pelayanan Gawat darurat sehari-
pada Tabel 8. Setiap pembobotan dinilai hari, 3) Pemberdayaan masyarakat,
inconsistency. Dari keseluruhan 4) Latihan kesiapsiagaan, 5)
pembobotan yang dilakukan, nilai Pemantauan (surveilans), 6)
inconsistency-nya bernilai kurang dari 0,1, Koordinasi lintas sektor. Aspek
yang artinya konsisten. Pemetaan Kesehatan terdiri dari 5
Nilai bobot ini akan mempengaruhi indikator yaitu Peta rawan bencana,
nilai akhir penilaian. Dengan menjawab peta sumberdaya kesehatan, peta
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam risiko bencana, peta kerentanaaan
instrumen penilaian maka nilai skor akan dan peta potensi masyarakt dan
terisi secara otomatis. Nilai skor adalah lingkungan. Aspek Pelayanan gawat
total nilai dibagi jumlah pertanyaan darurat sehari-hari terdiri dari 3
dikalikan bobot untuk masing-masing indikator yaitu protap gawat darurat
indikator. Skor maksimum diperoleh dan rujukan, kesiapsiagaan sarana
dengan perkalian nilai dan bobot. dan prasarana pelayanan gawat
Sedangkan nilai maksimum untuk masing- darurat dan peningkatan kapasitas
masing indikator adalah 1. tenaga puskesmas. Aspek
Berdasarkan masukan dari hasil Pemberdayaan masyarakat terdiri
wawancara terhadap matrik indikator dari 6 indikator yaitu pelatihan
penilaian kesiapsiagaan Puskesmas dalam kesehatan lingkungan,
penanggulangan bencana, maka tahap pemberantasan penyakit menular,
selanjutnya adalah menghitung nilai promosi kesehatan untuk
Content Validity Ratio (CVR) untuk berperilaku hidup bersih dan sehat,
penanganan gawat
darurat bagi
awam, penanganan gizi, penanganan Darurat Bencana, Jakarta.
kesehatan jiwa dan kesehatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
reproduksi. Aspek latihan 2008. Peraturan Kepala Badan
kesiapsiagaan terdiri dari 3 indikator Nasional Penanggulangan Bencana
yaitu simulasi satgas, simulasi Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
puskesmas dan rencana kontinjensi. Pedoman Penyusunan Rencana
Aspek surveilans terdiri dari 3 Penanggulangan Bencana, Jakarta.
indikator yaitu pemantauan lokasi- Departemen kesehatan RI, 2005, Pedoman
lokasi rawan bencana, deteksi dini Penanggulangan Bencana di
bencana dan kerjasama dengan Puskesmas Direktorat jenderal bina
pihak terkait. Sedangkan aspek yang kesehatan masyarakat.
ke enam yaitu koordinasi lintas Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
sektor terdiri dari 3 indikator yaitu 2007, Kurikulum Peningkatan
tim penanggulangan bencana, Kapasitas Petugas Tehnis
kebijakan dan koordinasi. Penanggulangan Bencana, Pusat
2. Penelitian ini telah menghasilkan Penanggulangan Krisis Kesehatan
Indikator prioritas untuk Febriana, Sugiyanto. D, Abubakar. Y, 2015,
mendukung kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Masyarakat Desa
Puskesmas dalam penanggulangan Siaga Bencana dalam menghadapi
bencana. Dari 6 Aspek penilaian, Bencana Gempa Bumi di
aspek Pemetaan kesehatan memiliki Kecamatan MeuraxaKota Banda
bobot tertinggi dan aspek Aceh, Jurnal Ilmu Kebencanaan, Vol
pemberdayaan masyarakat pada 2 3: 41-49
prioritas terendah. IDEP, 2007. Panduan Umum
3. Penelitian ini telah menghasilkan Penanggulangan Bencana Berbasis
instrumen yang telah diuji Masyarakat, Edisi ke-2, Bali :
validitasnya, untuk menilai Yayasan IDEP.
kesiapsiagaan puskesmas dalam Lin J.Y, Reneeking, B. Brander, 2011,
penanggulangan bencana. Instrumen Assessment of Prehospital Care and
yang di desain terdiri dari 3 Disaster Preparedness in Rural
komponen yaitu input data, Guatemala Clinic, Prehospital and
penilaian dan laporan akhir. Hasil Disaster Medicine, 3,1.
akhir penilaian dikategorikan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
dalam level “Belum siap” (terendah) 2011. Pedoman Teknis
dan level tertinggi “Sangat siap”. Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana, Pusat
DAFTAR PUSTAKA Penanggulangan Krisis Kesehatan.
Fuadi A, Travino A, Mukhtaruddin M, Kristiana L, dan Ristrini, 2013, Sistem
2011, Primary Health Centre disaster Pelayanan Kesehatan Tanggap
preparedness after the earthquake in Darurat di Kabupaten Ciamis,
Padang Pariaman, West Sumatra, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
Indonesia, BMC Research Notes, Vol 16 3:293-304
4:81 Lawse, C.H. (1975). A quantitative
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, approach to content validity.
2008. Peraturan Kepala Badan Personal Psycology. 35:563-575
Nasional Penanggulangan Bencana Liedtka and Stephen L, 2005. Analytic
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Hierarchy Process and multi-criteria
Pedoman Komando Tanggap Performance Management Systems.
Cost Management. Proquest,
tfolume 7 Nomor 3 Tahun e-ISSN : 2655-7487, p-ISSN : 2337-
2019 7356

Nov/Dec 2005:19, 6:30


Redwood-Campbell L and J. Abrahams, 2011, Primary Health care and Disasters-The
Current State of the Literature; What We Know, Gaps and Next Steps, Prehospital
and Disaster Medicine, 26((3);184-191.
LIPI-UNESCO/ISDR, 2006.
Pengembangan Framework Untuk Mengukur Kesiapsiagaan Masyarakat
Terhadap Bencana Alam, Jakarta.
Ogedegbe C, T. Nyirenda, G. Delmoro, E. Yamin, J. Feldman, 2012, Health Care
Workers and Disaster Preparedness: Barriers to and Facilitators of Willingness to
Respond, International Journal of Emergency Medicine, 5:29.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Profil Penanggulangan Krisis
Kesehatan Kabupaten/Kota Rawan Bencana, Pusat Krisis Kesehatan
Islamadina R dan Nasaruddin, 2012, Aplikasi Web Sistem Informasi Geografis Untuk
Multi Risiko Bencana Aceh, Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 10.
Ramanathan R. & Karpuzcu H. 2011. Comparing Perceived and Expected Service Using
AHP Model: an Application to Measure Service Quality of Accompany Engaged in
Pharmaceutical Distribution, Journal of operational Research Society of
India (OPSEARCH) Apr- Jun 2011, 48(2); 136-152
Simoneau C.L.B, 2007. Communities of Learning and Cultures of Thinking: The
Facilitator’s Role in The Online Profressional Development
Environtment. Disertation, Department of Educatioanal Leadership
Collage of Education. Manhattan, Kansas state University.
Tekeli-Yesil. S, 2006. Public Health and natural disasters: disarter preparedness and
response in health systems, J Public Health 14:317- 324
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methodes). Cetakan ke-2,
Bandung; Penerbit Alfabeta.
Susanto N dan Thomas T.P, 2016, Analisis Level Kesiapan Warga menghadapi
Potensi Bencana Longsor Kota Semarang, Teknik ,Vol 37 2: 54-58.
World Health Organisation, 1995, Guidelines for Assessing Disaster
Preparedness in Health Sektor, Pan American Health Organisation,

Journal Of Community and 406


Emergency
tfolume 7 Nomor 3 Tahun e-ISSN : 2655-7487, p-ISSN : 2337-
2019 7356

PENGALAMAN PERAWAT DALAM MELAKUKAN PENILAIAN CEPAT


KESEHATAN KEJADIAN BENCANA PADA TANGGAP DARURAT
BENCANA ERUPSI GUNUNG LOKON DI TOMOHON

Winarsi Molintao
Fakultas Keperawatan Universitas Pembangunan Indonesia Manado

E-mail coressponding author:


winarsi.molintao@unpi.ac.id

ABSTRAK

Rapid Health Assessment (RHA) sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana
bencana merupakan kejadian yang sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa
kehidupan manusia dan mengancam lingkungan. RHA sangat dibutuhkan untuk
mengumpulkan data, memberikan informasi yang obyektif sehingga mampu memecahkan
masalah selama tanggap darurat bencana sampai dengan pemulihan pasca bencana. Tujuan
penelitian ini adalah mengidentifikasi makna pengalaman perawat dalam melakukan Rapid
Health Assessment / RHA pada tanggap darurat bencana erupsi gunung di Tomohon.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
interpretif. Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini sebanyak lima orang perawat yang
terdiri dari tiga orang perawat yang bekerja di Dinas Kesehatan Tomohon dan dua orang
perawat yang bekerja di Puskesmas Kakaskasen Hasil analisis didapatkan delapan tema yang
didapatkan dari delapan tujuan khusus penelitian. Tema yang di dapat antara lain : perawat
tidak siap dalam pengisian RHA, perawat merasakan kurangnya kerjasama tim, perawat
merasa kurang memahami dalam pengisian format, perawat mengalami permasalahan dalam
pengumpulan data, perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah,
perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian dan perawat merasakan adanya
konflik tugas dalam pengisian RHA, serta harapan perawat untuk optimalisasi RHA.
Perencanaan yang jelas dalam manajemen bencana akan meningkatkan pelayanan kesehatan
dan koordinasi antar wilayah. Kesiapan lain yang harus dimiliki oleh perawat adalah
peningkatan kompetensi baik melalui pelatihan-pelatihan seperti managemen bencana,
adanya petunjuk teknis, sarana dan prasarana serta pengalaman perawat itu sendiri dalam
menangani masalah bencana.Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat
kesehatan dalam bencana baik dilihat dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun
pada saat pengumpulan data serta kurangnya koordinasi baik lintas program, lintas sektor
maupun antar wilayah maka perawat memiliki harapan untuk peningkatan dalam
optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan peningkatan kompetensi
perawat
Kata Kunci : Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana, tanggap darurat bencana,
pengalaman perawat.

ABSTRACT

Rapid Health Assessment (RHA) is actually needed within disaster event especially
due to natural disaster which it could bring an adverse impact to human life and
environmental as well. RHA is strongly required to collecting data, providing objective
information to solve its problem during disaster emergency response and post emergency
disaster. The purpose of the study was to examine nurse’s experience towards RHA in
Disaster Event: Study of Phenomenology at Mount Eruption in Tomohon. Method used in
this study was a qualitative design with phenomenology approach interpretive. The study

Journal Of Community and 407


Emergency
tfolume 7 Nomor 3 Tahun e-ISSN : 2655-7487, p-ISSN : 2337-
2019 7356

participants were five nurses

Journal Of Community and 408


Emergency
including three nurses who work at Local Health Office, District of Tomohon while two
other nurses at Community Health Center. Study result was obtained eight themes, which
are nurses were not ready to filling in RHA; less of team cooperation among nurses; less of
understanding to filling in RHA format; nurses had problem to collecting data; nurses
exposed challenges to perform referral within region; nurses had obstacle to perform
assessment; nurses had conflict within RHA implementation; and nurses hope to optimize
RHA. Defined planning in disaster management will improve health care services and
coordination within regions. Other one that should be owned by nurses was about nurse’s
competency in disaster management performed, technical guidelines, infrastructure and
nurses experience to address disaster. Less than optimal when performing RHA and it could
be seen as nurses readiness, less of team work to execute data collection and coordination
within cross program, cross sector and within regions. That could, hence, nurses had new
hope to improve RHA implementation during disaster event by conducting trainings and
improving the competence of nurses.
Keywords: rapid health assessment, disaster emergency response, nurses experience,
phenomenology approach

PENDAHULUAN
Penilaian cepat kesehatan kejadian bencana atau Rapid Health Assessment
(RHA) sangat diperlukan dalam kondisi bencana, dimana bencana merupakan
kejadian yang sering terjadi akibat pengaruh alam yang dapat menimpa kehidupan
manusia dan mengancam lingkungan (Khankeh HR, dkk., 2007). Dampak yang
ditimbulkan mengakibatkan dampak fisik pada manusia seperti kesakitan dan
kematian serta dampak lingkungan yaitu kerusakan infrastruktur, kerusakan area
pertanian serta menyebabkan gangguan kesehatan. terkontaminasinya air bersih,
tersumbatnya saluran air, serta rusaknya fasilitas air bersih. Dampak terhadap
gangguan kesehatan secara umum abu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan
khususnya menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit dan mata.(Suryani, 2014). RHA
berisi data tentang jenis bencana, lokasi bencana, dampak bencana, kondisi korban,
kondisi sanitasi lingkungan penampungan, upaya yang telah dilakukan, kemungkinan
KLB yang akan terjadi serta kesiapan logistik dan bantuan yang mungkin segera
diperlukan. RHA juga mengidentifikasi angka morbiditas dan mortalitas pada
penduduk yang mengalami bencana terutama masyarakat khusus seperti anak-anak
dibawah 5 tahun, orang tua, ibu hamil dan wanita menyusui (Depoortere & Brown,
2006, Kemenkes, 2013).
Pengambilan data RHA pada saat terjadi bencana erupsi Gunung Lokon di
Tomohon belum berjalan secara optimal, hal ini dibuktikan dengan masih
ditemukannya lembar RHA yang tidak terisi secara penuh karena adanya
keterbatasan perawat dalam pengisian RHA dan adanya informasi yang tidak jelas
mengenai kondisi bencana serta kurangnya koordinasi dengan anggota tim kesehatan
lain.
(Dinas Kesehatan Kota Tomohon). Perawat dalam menangani bencana harus
mempunyai pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam menghadapi
kedaruratan bencana (Cut,dkk.,2011). Bencana erupsi Gunung lokon di Tomohon
yang terjadi dari hasil pengamatan peneliti, semua unsur pelayanan kesehatan terjun
langsung ke tempat kejadian namun RHA baru dapat dilaksanakan 1 hari setelahnya
karena kondisi dari bencana tersebut. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan
dengan wawancara pada salah satu perawat yang melakukan RHA dan mengalami
erupsi Gunung Lokon menyebutkan bahwa RHA dilakukan oleh tim dari Puskesmas
dan Dinas Kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, petugas surveilans, petugas
gizi dan sanitarian namun tidak terkoordinasi dengan baik dan format RHA tidak di
isi keseluruhan karena belum sepenuhnya menguasai dokumentasi RHA.
Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa perawat mampu
untuk mengidentifikasi, mengadvokasi dan merawat dampak dari semua fase
bencana termasuk di dalamnya adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan
kesiapsiagaan bencana. Perawat harus mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahui
tentang epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya dan social serta
masalah psikososial sehingga dapat membantu dalam kesiapsiagaan bencana dan
selama bencana sampai dengan tahap pemulihan (ICN,2009). Perawat bersama
dengan dokter merupakan ujung tombak kesehatan pada saat bencana terjadi selama
dalam kondisi kritis dan gawat darurat (Zarea, dkk.,2014). Perawat dapat
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat baik yang bersifat kegawat
daruratan maupun berkelanjutan seperti perawatan neonatal, pendidikan dan
penyuluhan kepada masyarakat, mengidentifikasi penyakit dan imunisasi serta
intervensi pada saat kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana (Savage & Kub,
2009).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretif. Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini sebanyak
lima orang perawat yang terdiri dari tiga orang perawat yang bekerja di Dinas
Kesehatan Kota Tomohon dan dua orang perawat yang bekerja di Puskesmas
Kakaskasen. Tehnik pengambilan data melalui wawancara yang berkisar antara 30 –
50 menit dengan menggunakan alat perekam berbasis android. Tempat wawancara
dilakukan di rumah
dan kantor partisipan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Hasil analisis
dianalisis menggunakan tabel analisis yang berisi kata kunci, analisis reflektif,
kategori, sub-sub tema, sub tema dan tema.

PEMBAHASAN
1. Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Persiapan yang harus disiapkan adalah format dan pencatatannya, namun
partisipan tidak siap akan format yang dibawanya, tidak ingat untuk membawa
format maupun pencatatan yang apa adanya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
partisipan “...dan itu dan itu pun tidak membawa format….karena ya itu….tidak
sempat…”(P5) “...terus terang kami sudah tidak ingat untuk membawa format
ini…”(P4)
“saya hanya melakukan wawancara dengan masyarakat yang kemudian saya catat di
catatan kecil saya hehehehe….” (P2)
“…..jadi yang kita punya adalah catatan- catatan kecil…”(P3)

2. Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim


Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena perawat banyak melakukan
tupoksi orang lain dan perawat sering bekerja sendirian tanpa adanya tim lain dalam
melakukan pengkajian serta kurangnya koordinasi antar anggota tim. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“…mungkin seharusnya tidak dikerjakan oleh perawat ya….namun harusnya
tim…”(P1)
“namun banyak masalah-masalah lain yang sebenarnya bukan tugas kita”(P2)

Perawat juga bekerja tanpa tim lain dalam melakukan pengisian data.
Perawat bekerja sendiri dalam melakukan pengkajian, seperti yang
diungkapkan oleh partisipan berikut ini :
“selama ini juga yang melakukan RHA adalah perawat itu sendiri dalam pengisian
datanya...”(P1)
“…tapi biasanya semua perawat sih yang melakukan...”(P3)
“malah perawat yang lebih banyak melakukan pengkajian itu sendiri….(P2)
“...pengkajian RHA itu banyak yang melakukan perawat….”(P3)
“Mohon maaf ya mbak…selama ini menurut pandangan saya…kita bekerja sendiri-
sendiri…”(P2)
Perawat banyak melakukan pengkajian sendiri sehingga dalam menilai pekerjaan
perawat pun tidak dilakukan oleh suatu tim, namun dilakukan oleh perawat itu
sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“...jadi masing-masing program menilai dengan cara kerjanya masing-masing”(P1)
“Bagaimana ya…(diam, berfikir)…kayaknya lebih banyak yang mengerjakan RHA
itu malah justru perawatnya sih…”(P1)
Pengkajian yang dilakukan oleh perawat sendiri, maka dalam koordinasi antar tim pun
kurang, hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“malah perawat yang lebih banyak melakukan pengkajian itu sendiri….jadi
istilahnya apa ya….kurang koordinasi lah….dalam melakukan pengkajian RHA
itu..jadi untuk kerja timnya masih terasa kurang terkoordinasi” (P2)
Perawat merasa kurang memahami dalam pengisian format
Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, menyebabkan kesulitan dan
kebingungan dalam pengisian format karena tidak sama dengan teori-teori yang
diterima. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“Juga kadang bingung mengisinya…..karena datanya simpang siur…terutama adalah
jumlah korban, jumlah penduduk rawan…itu…itu…”(P2)
“…saat gunung meletus saat kejadian ya bingung mesti ada…..karena selama ini kan
teori-teori saja yang kami terima .”(P5)

Partisipan juga mengemukakan bahwa kurang mengetahui kegunaan format yang


diisi, mereka hanya mengisi saja sesuai dengan format yang ada. Hal ini diungkapkan
oleh partisipan sebagai berikut :
“untuk mengisi ceklist hanya mengisi saja sih…..tanpa tahu itu untuk
apa….heheheheee…”(P3)
“….terutama yang punya program lain….karena saya kurang paham juga…”(P2)
“….juga karena kita tidak memahami apa yang perlu ditulis”.(P1)
“kemungkinan untuk bisa mengisi bisa….namun…untuk untuk melihat
kebutuhan…kayaknya masih belum mengerti….”(P3)
Partisipan lain mengungkapkan keraguannya dalam pengisi data karena tidak
adanya informasi yang jelas dari masyarakat. Berikut adalah ungkapan partisipan
tentang keraguannya :
“..bahwasanya bahwa kurangnya informasi dari masyarakat sehingga juga merasa
ragu untuk mengisi data.”(P5).

3. Perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data


Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang
kesehatan didalam bencana. Di dalam pengkajian ditemukan ketidakjelasan data
dimana didapati data yang tidak pasti, data yang terekam ulang, data yang hanya
sebuah estimasi sampai dengan informasi yang tidak jelas mengenai keadaan
kesehatan selama bencana erupsi Gunung Lokon di Tomohon.
Data yang tidak pasti ditemukan dengan adanya data yang simpang siur,
seperti yang dikemukakan oleh partisipan berikut :
“Nah….itulah...kadang kita mendapatkan data yang simpang siur…”(P1)
“...karena datanya simpang siur…terutama adalah jumlah korban, jumlah penduduk
rawan…”(P2)
“jadi kami tidak bisa mengidentifikasi terlalu simpang siur datanya”(P3)(P4)

4. Data yang tidak pasti juga dikarenakan data yang tidak sinkron, data yang
tidak pasti, data yang belum jelas, terjadi krodit nominal, serta data yang tidak siap
sebagaimana yang diungkapkan oleh partisipan berikut :
“memang ada beberapa yang tidak bisa sinkron…”(P3)
“sehingga data yang kita peroleh datanya tidak sinkron”(P3)
“karena belum didapatkan data yang pasti…”(P2)
“…jumlah penduduk rawan…itu…itu…datanya belum jelas…sehingga untuk
mengisi format RHA itu menjadi ragu-ragu.”(P2)
“Kroditnya pada nominal jumlah pengungsi yang berubah-ubah….”(P2)
“namun data kebutuhannya belum kami siapkan saat itu”(P5)
Ketidakjelasan data itu juga disebabkan karena adanya data yang terekam ulang
karena adanya double data, hal ini seperti yang diungkapkan partisipan berikut :
“Yaa….dari data sehingga kadang ada double data…”(P2)
“…jaditerjadi kemungkinan double data”(P3)
“kadang data yang sudah ada di pos 1 terekam kembali di pos 2”(P2)
Partisipan juga mengungkapkan data yang ditemukan merupakan sebuah data
estimasi saja, seperti pernyataan berikut :
“karena belum didapatkan data yang pasti…hanya sebuah estimasi saja..”(P1).
Data hasil pengkajian didapatkan juga perpedaan selisih data serta adanya data yang
tidak sama antara data primer maupun data sekunder. Hal ini dikemukakan oleh
partisipan dengan pernyataan berikut :
“….namun ada data yang perbedaan selisih..misalnya hari ini dilaporkan 400 yang
terkena bencana namun ternyata di data yang lain misal ada 600.”(P3)
“...kadang jumlah datanya tidak sama”(P1)
“…data dari sekunder jumlah sekian...eee...ternyata data primer sekian…”(P1)
Ketidakjelasan data juga dikarenakan banyaknya data yang tidak diisi seperti yang
diungkapkan oleh partisipan :
“Ya…kemungkinan data yang diisi banyak ya…”(P5)
Informasi yang tidak jelas dan kurangnya informasi juga menjadikan ketidakjelasan
data, hal ini diungkapkan oleh partisipan :
“karena kita belum mendapat informasi yang jelas…seperti berapa jumlah korban,
kebutuhan kesehatan apa yang diperlukan…”(P1)
“…tidak mendapatkan informasi apapun dari lintas sector”(P3)
“...kayaknya seperti diagnose keperawatan….apa ya ..kurang informasi..”(P5)

5. Perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah Rujukan


antar wilayah ini terkendala pada masalah koordinasi yang lama, misal ditingkat
kebijakan terutama adalah koordinasi untuk rujukan pelayanan kesehatan antar
wilayah. Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“Kalau dalam pelayanan kesehatan kita memang terkendala dalam masalah
rujukannya karena yang kejadian Kelud kemarin itu….wilayah kita apa ya
istilahnya….terbelah”(P1)
“nahhh…inilah yang menjadikan koordinasinya lama…sehingga rujukannya juga
lama”(P1)
“….karena belum ada koordinasi….nah ini sebenarnya adanya mis ditingkat
kebijakan”(P5).
6. Perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian
Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena adanya jalur komunikasi
yang terputus, gangguan alat komunikasi, gangguan alat penerangan, serta gangguan
transportasi. Kendala koordinasi juga menjadi hambatan dalam melakukan
pengkajian.
Komunikasi yang putus menjadi kendala dalam komunikasi sehingga tidak
adanya jalur komunikasi baik sms yang lama maupun komunikasi yang tidak
langsung tersambung. Hal ini diungkapkan oleh partisipan berikut :
“karena terkendala komunikasi sempat terputus sampai H+2”(P1)
“tidak ada 1 alat komunikasi pun yang berfungsi ….”(P3)
“sudah tidak adanya jalur komunikasi, sms pun nyampainya lama”(P2)
“….tapi kita walaupun ya…tidak langsung bisa tersambung….”(P5)

Hambatan lain dalam melakukan pengkajian adalah gangguan dari alat


komunikasi itu sendiri seperti telepon mati, HP yang tidak ada signal sampai dengan
HT yang tidak berfungsi sampai dengan gangguan alat penerangan. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“dimana telepon mati…hp tidak ada sinyal…listrik juga mati…jadi susah sekali untuk
berkomunikasi dengan teman-teman yang lain.” (P1)
“mau koordinasi bagaimana wong sinyal hp juga ikutan mati”(P2)
“telepon sudah tidak bisa lagi sambungannya…. HT juga tidak berfungsi…”(P3)
“signal hp tidak ada…. batrey low bat”(P4)
“….komunikasi baik hp sampai ht mati…”(P5)
”Sudah itu listrik padam semua…”(P1)(P2)(P4)

Hambatan lain yang terjadi adalah gangguan transportasi dimana ambulance tidak
dapat digunakan dan transportasi yang tidak memadai, hal ini diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut :
“….ambulance yang kami pakai, masuk ke dalam kubangan abu, sehingga kami
meninggalkan ambulance karena tidak bisa jalan.”(P1)
“…walaupun seperti ambulance kami yang tidak bisa kami ambil sampai beberapa
hari karena terbenam lumpur itu.”(P5)
“…untuk transportasi tidak memadai…..untuk ambulance memang tidak bisa karena
memang model ambulance nya yang memang susah untuk menerobos daerah yang
ada.”(P3)

Hambatan lain yang diungkapkan oleh partisipan adalah kesulitan koordinasi, baik
koordinasi dengan BPBD, koordinasi yang rumit maupun prosedur dan birokrasi yang
rumit. Hal ini diungkapkan oleh partisipan dengan pernyataan sebagai berikut :
“….yang terutama adalah fungsi koordinasi…jadi pada saat kejadian memang kita
yang memang bergerak di kota tomohon yang bergerak total all out….jadi yang
dilakukan hambatan pada koordinasi adalah dengan pihak BPBD”(P1)
“Terus pernah juga terkendala koordinasi…..ada desa yang saat itu tidak tercukupi
kebutuhan logistic makanan…..saat itu saya koordinasi dg pak D ….pak D telp
perangkat desa yang kemudian koordinasinya rumitttt…..”(P3)
“….jadi kami kaya orang kebingungan juga….ribet untuk koordinasi saat itu….”(P4)
“para perangkat datang ke sana…prosedurnya dan birokrasinya sangat rumit
sekali….”(P4)

Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA


Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA diartikan bahwa
perawat mengerjakan tugas selain sebagai tim RHA. Tugas lain yang dikerjakan oleh
perawat ada di semua lini dimana selain perawat melakukan rapid health assessment
perawat juga melakukan rapid assessment mulai dari assessment awal sampai dengan
perencanaan, mengurusi pengungsi, bertugas mengganti tugas sanitarian maupun
surveilans. Hal ini diungkapkan seperti pernyataan partisipan :
“...namun menurut saya perawat itu bisa ada di semua lini...”(P1)
“sepertinya RHA itu kayak semuanya punya kita ya (tertawa)……sebenarnya ini
bukan hanya masalah kesehatan, namun banyak masalah-masalah lain yang
sebenarnya bukan tugas kita ada semuanya ada disini”(P3)
“kamilah yang melakukan tugasnya semua…(P4)

Partisipan juga mempunyai pekerjaan lain sehingga perawat melakukan double job
dan kerja perawat juga semakin banyak seperti yang diungkapkan oleh partisipan
berikut :
“yahhhh karena banyak sekali faktornya….
ya… karena double job….heheheeee….”(P1)
“kerjanya perawat juga sebagai tim kesehatan, sehingga kerjanya perawat itu juga
banyak…”(P2)
Partisipan juga bekerja mengurusi pengungsi seperti yang diungkapkan oleh partisipan
berikut ini :
“...karena kita masih mengurusi pengungsi…”(P4)
Partisipan juga bertugas mengganti tugas sanitarian maupun surveilans. Hal ini
diungkapkan oleh partisipan dengan pernyataan :
“Dan kami juga terlibat dalam pengisian RHA itu baik itu mengisi kepunyaan
sanitarian maupun surveilans. “(P3)
“….nah seperti puskesmas sendiri tidak mempunyai sanitarian, sehingga kita juga
yang mengerjakan.”(P3)

Partisipan mengungkapkan bahwa perawat merupakan tulang punggung dari tim


kesehatan dan pelayanan kesehatan. Tim kesehatan secara umum juga melakukan
pelayanan kesehatan pada pos-pos kesehatan yang ada. Hal ini diungkapkan oleh
partisipan dengan ungkapan berikut :
“….kerjanya perawat juga sebagai tim kesehatan” (P2)
“kami menjadi tulang punggung dalam melakukan pelayanan kesehatan.”(P4)
Mengevakuasi korban, mengangkut penduduk beresiko tinggi seperti anak-anak, ibu
hamil, balita, lansia dan orang sakit serta menolong dan membantu korban juga
merupakan bagian dari tugas perawat. Pernyataan ini diungkapkan oleh partisipan
sebagai berikut :
“..yang kami angkut pertama adalah, bayi ada bayi umur 2 hari, balita dan ibu hamil,
anak-anak yang kami angkut setelah itu lansia serta orang-orang yang sakit”(P3)
“perawat berusaha untuk membantu semua korban…”(P2)

Harapan perawat untuk optimalisasi RHA


Perawat mempunyai harapan untuk terwujudnya optimalisasi dalam pelaksanaan
penilaian RHA, seperti yang diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut :
“ kalau misal memungkinkan ya adanya pelatihan khusus tentang RHA
sih….maksudnya biar semua perawat tahu apa yang mesti dilakukan dengan RHA
bila desanya terjadi bencana” (P3)
“…sesekali dilakukan penyegaran atau apalah dalam pengisian RHA”(P5)
“Yang perlu ditekankan juga adalah kerjasama antar tim…jadi kira tidak bekerja
dengan sendirinya..namun kita bisa istilahnya berkolaborasi dengan anggota tim
yang lain.”(P2)

PEMBAHASAN
1. Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Format RHA merupakan suatu metode penilaian cepat diperlukan untuk
mengumpulkan informasi yang terpercaya, obyektif yang digunakan sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan. (Roorda, dkk,. 2004). Format RHA digunakan
sebagai alat kajian cepat untuk melihat adanya keadaan yang darurat dengan
mengumpulkan informasi penting status kesehatan sehingga memberikan intervensi
kesehatan yang diprioritaskan. Adanya suatu format penilaian cepat
sangat penting untuk mengumpulkan informasi dalam
waktu yang cepat. (Bradt & Drummond, 2002) Menurut penelitian Korteweg dan
Bokhoven (2010), bahwa versi digital dari format meningkatkan rapidness dari
penilaian, namun tidak bisa menarik kesimpulan apakah format dalam bentuk kertas
atau versi digital berpengaruh pada hasil dari penilaian.
Pencatatan yang apa adanya merupakan ketidaksiapan lain yang dialami oleh
perawat pada saat akan melakukan pengkajian. Menurut Jevon dan Ewens (2009),
pencatatan yang baik adalah sebagai sumber penyebaran informasi dan sarana
komunikasi sesama anggota tim yang professional. Dokumentasi pada saat bencana
harus dilakukan pelaporan oleh anggota tim yang melaksanakan pendokumentasian.
Kurangnya pedoman lapangan juga akan menjadi hambatan teknis dalam
pelaksanaan pengumpulan data (Johnson, 2006).

2. Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim


Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena perawat banyak melakukan
tupoksi orang lain dan perawat sering bekerja sendirian tanpa adanya tim lain. Hal ini
senada dari hasil penelitian Anam (2013), bahwa Kebijakan dalam pelibatan tim
penanggulangan bencana didapatkan hasil 61,4 persen perawat belum pernah terlibat
dalam tim penanggulangan bencana Gunung lokon.
Secara konsep disebutkan bahwa dalam suatu bencana, perawat harus dapat
berkolaborasi dengan lingkungannya baik itu dengan epidemiologi, laboratorium,
biostatistik, dokter maupun petugas yang lain unutk meningkatkan kerjasama dalam
kondisi bencana. (Magnaye, 2011). Menurut Nicola, (2012), bahwa RHA harus
diselesaikan sesegera mungkin berikut darurat dan dilakukan oleh tim multidisiplin
personil yang berkualitas, dengan kisaran yang tepat keahlian.
Anggota tim sebaiknya memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidangnya,
memiliki integritas dan mampu bekerja dalam situasi bencana. Apabila dampak
bencana sangat luas, dapat dibentuk beberapa tim. (Kemenkes, 2011). Hal senada
diungkapkan Wibowo (2009), bahwa tim bencana termasuk didalamnya adalah
perawat diseleksi berdasarkan keahlian dan kebutuhan yang diperlukan. Menurut
Daily (2009), mengatakan bahwa kompetensi suatu tim mudah dipengaruhi oleh
profesi kesehatan lain.

3. Kurangnya koordinasi anggota tim dalam melakukan pengkajian sehingga


dalam melakukan penilaian dilakukan sendiri oleh perawat tanpa adanya evaluasi
dari tim. Firth & Cozen (2011), berpendapat bahwa suatu organisasi dan tim
merupakan suatu budaya yang sangat penting untuk mendukung keberhasilan
pembelajaran. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerjasama tim sering
menimbulkan konflik dan ambiguitas karena adanya otonomi professional. (Finn,
2008). Menurut penelitian Kerr (2009), disebutkan bahwa tim yang berkomunikasi
dan berkoordinasi satu sama lain akan memantau kinerja masing-masing dan
memberikan umpan balik dan memiliki solusi dalam keadaan salah. Koordinasi
tim juga akan meningkatkan pengetahuan, komunikasi dan dukungan
bagi anggota tim yang kurang
berpengalaman.

4. Perawat merasa kurang memahami dalam pengisian format


Kurang pemahaman dalam pengisian format RHA, menyebabkan kesulitan
dan kebingungan dalam pengisian format karena tidak sama dengan teori-teori yang
diterima merupakan perasaan yang diungkapkan oleh perawat dalam pengisian
format RHA.
Secara konsep bahwa berfikir kritis akan lebih meningkatkan kemampuan mereka
terhadap tanggap bencana dan respon bencana (Juli & Tim, 2011). Keterampilan dan
berfikir kritis sangat perlu untuk perawat dalam mengevaluasi data, mengidentifikasi
kebutuhan, memberikan alternatif dan memahami kebutuhan dalam keadaan bencana
(Alfaro, 2006). Berfikir kritis akan mendapatkan obyektifitas dan tanggap terhadap
apa yang terjadi (Lipe & Beasley, 2004).
Menurut Notoatmodjo (2007), kemampuan untuk menginterpretasikan dan
memahami suatu objek materi harus mempunyai suatu kemampuan dalam
menjelaskan, memberikan contoh dan menyimpulkan suatu objek sehingga
membutuhkan ketrampilan.
Magnaye (2011), dalam penelitiannya pada 250 perawat di Philipina bahwa
pengetahuan harus dipersiapkan sebelum kejadian bencana untuk meningkatkan
kompetensi perawat saat bencana terjadi. Persiapan perawat meliputi training,
workshop, seminar tentang keperawatan bencana. International Council Nurse
(2007), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat
diantaranya adalah kemampuan kognitif disamping sikap (affektif) dan psikomotor
(skill) dalam disaster manajemen.
Penelitian yang dilakukan oleh Kija dan Paul (2008), mengatakan bahwa
dalam managemen bencana yang meliputi kesiapsiagaan bencana, tanggap bencana
dan pemulihan setelah bencana pengetahuan perawat masih kurang dan 80 %
perawat yang menjadi tim bencana tidak mempunyai pengalaman dalam tanggap
darurat bencana serta sebagian kecil yaitu 23% perawat mendapatkan pelatihan dasar
kesiapsiagaan tanpa disertai dengan pelatihan lanjutan. Hal ini juga senada dari hasil
penelitian Fung (2008), bahwa sebagian besar perawat yaitu 97% tidak mempunyai
persiapan dalam penanggulangan bencana.

5. Perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data


Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang
kesehatan didalam bencana. Di dalam pengkajian ditemukan ketidakjelasan data
dimana didapati data yang tidak pasti, data yang terekam ulang, data yang hanya
sebuah estimasi sampai dengan informasi yang tidak jelas mengenai keadaan
kesehatan selama bencana erupsi Gunung lokon kota tomohon.
Secara konsep kejadian bencana menunjukkan peningkatan kejadian bencana
dari tahun ke tahun. Pencatatan data bencana yang sistematis akan mempermudah
dalam pengolahan data bencana, membantu dalam perencanaan pengurangan risiko
bencana serta program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana ke depannya.
Terdapat perbedaan format pelaporan data antara provinsi/kabupaten/kota yang satu
dengan yang lain. Format yang berbeda tersebut menyebabkan kesulitan dalam
membuat rekapitulasi data bencana secara nasional (BNPB, 2011). Informasi yang
diterima saat terjadi bencana harus akurat dan factual sehingga dapat memberikan
informasi dengan konteks yang tepat. Perawat dapat mengumpulkan data
secara langsung dalam lingkup bencana, sehingga memungkinkan perawat untuk
menilai dampak bencana (Melinda, 2011).
Menurut penelitian CDC (2005), di Indonesia miskin pencatatan kesehatan
setelah terjadi gempa bumi dan atau tsunami yang mengakibatkan kesulitan dalam
menentukan efek dan problem kesehatan. Ketidakjelasan data juga terjadi di Sri
Lanka menurut penelitian Rohan, dkk (2009), menyebutkan bahwa tim pengumpul
data kematian di Sri Lanka menghadapi tantangan politik dimana tim forensic yang
seharusnya mengidentifikasi dan merekam 1.500 kematian akibat tsunami hanya
mampu menyelesaikan 250 catatan karena adanya tekanan publik dan politik.
Menurut penelitian Englande, dkk., (2008), di Thailand juga terjadi ketidakjelasan
dalam pengumpulan data sanitasi dan air paska tsunami dimana tidak adanya
indikator yang dibuat oleh publik.
Ketidakjelasan data terjadi hampir pada saat terjadinya bencana, tidak hanya
pada saat erupsi Gunung lokon tomohon, namun terjadi juga pada bencana yang lain
seperti tsunami maupun gempa bumi.

6. Perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar wilayah


Proses rujukan terjadi karena kapasitas, kemampuan dan keahlian di tempat
pelayanan kesehatan yang tidak merata (Dudley, dkk., 2000). Rujukan dapat
dilakukan ke rumah sakit dalam satu wilayah, rujukan ke daerah atau propinsi lain
atau bahkan ke negera lain bila korban bencana membutuhkan perawatan lebih lanjut
ataupun daya tampung rumah sakit terdekat terlampaui (Kemenkes, 2011). Undang-
undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tentang system rujukan Rumah
Sakit dimana pelimpahan tugas dan tanggung jawab rujukan bisa secara vertikal
maupun horizontal
ataupun struktur dan fungsional terhadap masalah kesehatan, hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitia Martono (2014), yang mengatakan bahwa perawat melakukan
rujukan pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap tertuang dalam Peraturan
Gubernur DIY No. 59 tahun 2012 pasal 2, sedangkan perawat dari RS Roemani
Semarang melakukan proses rujukan berkoordinasi dengan Pimpinan Cabang
Muhammadiyah dengan jalur rujukan ke RS Aisiyah Muntilan.
Koordinasi antar wilayah pada saat bencana erupsi Gunung lokon di tomohon
terjadi kendala di dalam koordinasi antar pengambil kebijakan daerah, sehingga
sangat mempengaruhi proses rujukan dan menjadikan rujukan menjadi lama.
Menurut Jones (2008), proses pengambilan keputusan di dalam rujukan terjadi secara
konsensus, akomodasi maupun defakto. Pengambilan keputusan dengan adanya
negoisasi untuk mendapatkan semua persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Hal
ini juga ditegaskan oleh Bech dan Schmidt (2013), bahwa komunikasi dalam rujukan
dilakukan untuk oleh tempat yang merujuk ke tujuan rujukan sehingga memberikan
informasi yang diperlukan sehingga memerlukan mekanisme rujukan dengan adanya
interaksi awal. Setiap rujukan memerlukan komunikasi dan dukukangan informasi
baik secara verbal maupun tertulis sehingga meningkatkan koordinasi antar wilayah
yang merujuk dan dirujuk (Blais, dkk., 2012).

7. Perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian


Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena adanya jalur komunikasi
yang terputus, gangguan alat komunikasi, gangguan alat penerangan, serta gangguan
transportasi. Kendala koordinasi juga menjadi hambatan dalam melakukan
pengkajian Pengkajian awal harus dilakukan tepat waktu untuk menginformasikan
keadaaan darurat dan segera, sehingga pengambil kebijakan dapat melakukan
penilaian cepat dengan melihat kebutuhan dan sumber daya, layanan kedaruratan
yang diperlukan (International Federation of Red Cross, 2000). Pengumpulan data
yang cepat merupakan kunci yang sangat penting untuk memastikan suatu bencana,
namun lingkungan sekitar yang tidak kondusif adanya beberapa bahaya seperti
kerusakan infrastruktur, akses jalan yang hancur dan system transportasi yang
terganggu akan menimbulkan bahaya yang signifikan bagi anggota tim tanggap
bencana. Hambatan bahasa dan budaya local juga menghambat dalam pengumpulan
data (Morton, 2011).
Informasi kurang memadai yang diakibatkan karena kerusakan infrastruktur yang
ditandai dengan putusnya jalur komunikasi harus direspon sebagai tanda peringatan
bahaya sehingga Tim Reaksi Cepat (TRC) dapat disiapkan untuk segera dikirim ke
lokasi bersama dengan Tim RHA. (Kemenkes, 2011).

8. Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA


Kompetensi perawat sebagai tim penanggulangan bencana ini yaitu dapat
menjelaskan arti tanggap darurat bencana terhadap masyarakat, mengumpulkan data
cedera dan penyakit yang diperlukan, mengevaluasi kebutuhan kesehatan dan sumber
daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, kolaborasi dengan tim
penanggulangan bencana untuk mengurangi bahaya dan resiko bencana,
memprioritaskan masalah kesehatan, berpartisipasi dalam penanggulangan kejadian
luar biasa dengan kegiatan seperti imunisasi, mengevaluasi dari intervensi yang telah
dilakukan berbasis pada hasil RHA (ICN, 2009, Hassmiller & Stanley, 2010).
Pengumpulan data pada saat tanggap darurat bencana meliputi pengumpulan data
angka kesakitan dan kematian, kebutuhan kesehatan termasuk kebutuhan psikologi,
kebutuhan infrastruktur, nutrisi dan tempat mengungsi (Morton, 2011).
Perawat merupakan tulang punggung dari tim kesehatan dan pelayanan
kesehatan sebagai tim kesehatan secara umum. Mengevakuasi korban, mengangkut
penduduk beresiko tinggi seperti anak-anak, ibu hamil, balita, lansia dan orang sakit
serta menolong dan membantu korban juga merupakan bagian dari tugas perawat.
Perawat yang mempunyai tugas banyak akan menimbulkan perubahan peran,
hubungan, identitas, kemampuan dan perilaku seseorang sehingga menimbulkan
beban kerja yang lebih berat yang dilakukan oleh perawat (Marquis, 2012).
Perubahan peran akan memberikan pengalaman tersendiri dalam menentukan
penyelesaian pekerjaannya sehingga perubahan peran memerlukan pengetahuan dan
ketrampilan (Pearson & Care, 2002).
Terlalu banyak kompetensi dan kompleksitas tugas dalam bencana
menggambarkan kompleksitas kompetensi keperawatan, namun keterlibatan
keperawatannya harus bekerja sesuai dengan tugasnya sebagai seorang perawat dan
harus mempertimbangkan dengan pertanyaan “kompetensi untuk apa?”, “siapa yang
menetapkan kompetensi?” (Daily, 2009).
Keterbatasan waktu, pekerjaan dan tugas yang banyak, kemalasan,
pengetahuan dan ketrampilan perawat yang kurang akan menjadikan suatu hambatan
dalam penyelesaian pelayanan kesehatan (Sumiati, 2006), hal ini sesuai dengan
penelitian Arlinta (2015), yang mengatakan bahwa keterbatasan dalam jumlah
sumber daya dan luasnya wilayah cakupan kerja Puskesmas menjadi beban ganda
yang menghambat implementasi peran perawat.
Harapan perawat untuk optimalisasi RHA
Perencanaan yang jelas dalam manajemen bencana akan meningkatkan pelayanan
kesehatan dan koordinasi antar wilayah (Bella, 2011). Kesiapan lain yang harus
dimiliki oleh perawat adalah peningkatan kompetensi baik melalui pelatihan-
pelatihan seperti managemen bencana, adanya petunjuk teknis, sarana dan prasarana
serta pengalaman perawat itu sendiri dalam menangani masalah bencana (Arbon,
2006).
Perawat berkeinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dalam
penilaian RHA. Perawat dapat mengikuti pendidikan maupun pelatihan tentang
RHA. Program peningkatan pengetahuan ini harus didukung dengan upaya kebijakan
pemerintah terutama oleh Dinas Kesehatan dengan memberikan dukungan kepada
perawat dalam meningkatkan wawasan dan kompetensinya.

KESIMPULAN
Kurang optimalnya perawat dalam proses penilaian cepat kesehatan dalam bencana
baik dilihat dari segi persiapan perawat, kerjasama tim maupun pada saat
pengumpulan data serta kurangnya koordinasi baik lintas program, lintas sektor
maupun antar wilayah maka perawat memiliki harapan untuk peningkatan dalam
optimalisasi RHA dengan melakukan pelatihan- pelatihan dan peningkatan
kompetensi perawat

DAFTAR PUSTAKA
Arlinta, A. (2015). "Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam
Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di
Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013. "http://repository.usu.ac.id/handl
e/123456789/47959(3-Jul-2015)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2010-2014. BNPB, Jakarta.
Bech, C. and T. Schmidt (2013). "Reporting Vital Parameters Upon Refferal of Patient to the
Emergency Departement Needs to be Improved." Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine.
Blais, K., J. Hayes, (2012). Praktek Keperawatan Profesional Konsep dan Perspektif.
Jakarta, EGC.
Cut Husna, M., Urai Hatthakit, PhD, RNb, Aranya Chaowalit, PhD, RNb. (2011). Do knowledge
and clinical experience have specific roles in perceived clinical skills for tsunami care
among nurses in Banda Aceh, Indonesia Australasian Emergency Nursing Journal, 14, 95
- 102.
Daily, E. (2009). Disaster Nursing Competency
Development. In Paper presented at the Disaster Nursing in Oceania: Key Issuesand Challenge
Workshop on 22 October 2009 Melbourne, Australia,
Depoortere, E. and Brown V (2006). Rapid Assessment of Refugee or Displaced Population,
UNHCR.
Dinas Kesehatan Kota Tomohon Laporan Angka Kesakitan Dan Kematian Akibat Erupsi Gunung
Lokon
inn, R. (2008). The language of teamwork: reproducing professional divisions in the operating
theatre. Human Relations, 61(1), 103–130.
Hassmiller, B. and A. Stanley (2010). Public Health Nursing and the Disaster Management Cycle,
Elsevier.
International Council Nursing (ICN), Center of Excellence (COE); Nursing Emergency
Preparedness Education Coalition (NEPEC) : Position Statement. Nurses and Disaster
Preparedness. Available at www.icn.ch/ psdisasterprep01.htm.
Jevon, P. and B. Ewens (2009). Pemantauan Pasien Kritis. Seri Keterampilan Klinis untuk
Perawat. Jakarta, Erlangga Medical Series.
Julie Ann Bulson, M., RN, M. Tim Bulson, et al. (2011). "Nursing Process And Critical Thinking
Linked To Disaster Preparedness." J Emerg Nurs Vol 37 (ISSUE 5).
Kemenkes RI (2011). Pedoman Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Kerr, A. (2009). "A problem shared? Teamwork, autonomy and error in assisted conception "
Social Science & Medicine 69: 1741–1749
Korteweg, H., I. Bokhoven, (2010). "Rapid Health and Need Assessment after Disaster
: A Systematic Review." BMC Public Health 10: 295.

Anda mungkin juga menyukai