Anda di halaman 1dari 42

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

Bab III ini, menyajikan data dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan penulis

pada tanggal 9 Juni - 6 Juli 2014 di GKJ Salatiga. Data hasil penelitian ini antara lain

diperoleh dari wawancara dengan Mejelis/Tokoh Adat, dan Jemaat dewasa yaitu laki-laki dan

perempuan yang bekerja (berkarir). Pada bab ini juga, tercantum analisa terhadap masalah

yang diteliti yaitu tentang apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan karir

dalam rumah tangga di GKJ Salatiga.

3.1. Gambaran Umum

Gambar 3.1 Peta Kota Salatiga

40
3.1 Kota Salatiga1

Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan

sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan Kota

Semarang dan 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan berada di jalan negara yang

menghubungan Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo,

Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Kota ini berada di lereng timur Gunung Merbabu, sehingga

membuat kota ini berudara cukup sejuk.

Salatiga terletak di ketinggian 750-850 mdpl, dan terletak di lereng timur Gunung

Merbabu yang membuat daerah Salatiga menjadi lebih sejuk. Pemandangan Gunung

Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Gunung Merbabu yang indah membuat Salatiga menjadi

daerah yang indah dan spektakuler. Seluruh Wilayah Salatiga dibatasi oleh Kabupaten

Semarang, antara lain di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan, di bagian

selatan berbatasan dengan Kecamatan Tengaran, di bagian barat berbatasan dengan

Kecamatan Tuntang dan Kecamatan Getasan, di bagian timur berbatasan dengan Kecamatan

Tengaran dan Kecamatan Pabelan.

Salatiga meempunyai potensi alam maupun kondisi geografis yang cukup menarik,

cukup bagus untuk kegiatan pertanian, perdagangan, perkebunan, industri maupun usaha-

usaha yang bersifat pengemangan budaya dan sosial.2 Salatiga mempunyai luas wilayah ±

56,78 km2, berpenduduk 176.795 jiwa. Perbandingan jumlah penduduk perempuan dengan

laki-laki, jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki.

Hal tersebut ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap

jumlah penduduk perempuan) sebesar 97,69.3.

1
(http://www.penataanruangjateng.info/content.php?query=profil_wilayahKotaSalatia&top=profil_wilayah-
kab_kota). Diakses pada tanggal 10 Juni 2014, Pkl. 18.45.
2
E. Supangkat, Salatiga, Sketsa Kota Lama. (Salatiga Griya Media, 2007). Hlm, 21.

41
Di kota Salatiga berdiri sebuah Gereja Kristen Jawa Salatiga, letaknya di Jln.

Diponegoro No 55 berlokasi tepat di depan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

3.2 GKJ Salatiga3

Gambar 3.2 GKJ Salatiga

Dalam membicarakan sejarah dan perkembangan GKJ Salatiga, tentunya tidak dapat

terlepas dari sejarah pemberitaan injil oleh zending dari gereja Gereformeerd Belanda yang

bekerja di sekitar Jawa Tengah. Karena zending inilah nantinya yang memungkinkan

munculnya berbagai kelompok gereja-gereja Jawa, sebagai cikal bakal lahirnya bentuk

organisasi sinodal yang sekarang di sebut Gereja Kristen Jawa (GKJ).

Pekerjaan misi zending-sending di Jawa telah menghasilkan setidaknya dua kelompok

besar gereja-gereja Jawa. Zending Gereja Gereformeerd dengan kawasan penginjilan di

Tanah Jawa Tengah bagian Selatan menghasilkan Sinode Geredja-geredja Djawa Tegah

3
Efrayim Purwoatmodjo, dkk. Kehidupan yang Bertumbuh (Sejarah GKJ Salatiga 1955-Kini, (Salatiga : Widya
Press). Hlm, 11-26.

42
Selatan, sedangkan Zending Salatiga dengan wilayah-wilayah penginjilan di Jawa tengah

bagian Utara menghasilan ‘sinode’ Geredja-geredja Djawa Tengah Utara. Lalu muncul ide

untuk mempersatukan kedua sinode tersebut, yang diwujudkan dengan pertemuan antara

kedua delegasi pada tanggal 19 Mei 1949 di Gereja Mlaten Semarang. Dalam pertemuan itu

berhasil disepakati bahwa tempat pelayanan Sidang Kesatuan I di Salatiga, dengan GKJTU

Salatiga sebagai gereja penghimpunan-penyelenggaranya.

Dari hasil sinode tersebut berhasil pula dibuat beberapa kesepakatan. Misalnya tidak

ada lagi ada batasan antara utara dan selatan. Namanya dilebur menjadi Geredja-geredja

Kristen Djawa Tengah (GKDT), dengan kantor pusat Sinode sementara akan ditempatkan di

Salatiga tersebut sekaligus ditabhiskan sebagai predikant in algemenedient (Pendeta untuk

pelayanan umum) di Gereja Salatiga pada 27 september 1949. Pdt. Basuki Probowinoto

beserta keluarga pindah ke Salatiga, dan untuk sementara menempati pavilion pastori Gereja

Salatiga di Jln. Ksatrian 42 (Sekarang Jln. A. Yani) yang sekaligus digunakan untuk Kantor

Pusat Sinode (GKDT). Setelah tiga kali berpindah-pindah, kantor pusat sinode terakhir

menetap di komplek de Witte, di Jln. Dr. Sumardi No. 5 Salatiga.

Sangat disayangkan, bahwa usaha persatuan yang telah dilakukan ini kemudian harus

berujung pada kegagalan. Perbedaan-perbedaan yang sebelumnya coba di satukan, malah

menjadi pemicu kembali terpisahnya kedua kelompok gereja ini. Akhirnya pada tahun 1953

sinode kesatuan ini pun berangsur-angsur terpisah. Meskipun mengecewakan, di sisi lain,

perpecahan ini membawa berkah bagi semua pihak masing-masing mengatur pertumbuhan

dan perkembangan. Khusunya bagi kelompok-kelompok pendatang yang sebelumnya berasal

dari warga Gereja Kristen Jawa Tengah Salatiga (GKJTS), yang kemudian bertumbuh

menjadi gereja yang mandiri tanpa melalui proses pendewasaan oleh gereja induk.

43
Mereka ini awalnya merupakan kelompok pendatang di Salatiga semasa sinode

kesatuan, yang terlanjur bergabung dengan warga GKJTU yang ada sebelumnya. Seiring

dengan isu perpecahan sinode kesatuan yang mulai tampak pada Sidang Sinode 1950 di

Purwokerto, kehidupan persatuan warga gereja di kelompok-kelompok jemaat lokal juga

menjadi terusik, khususnya di Salatiga. Di antara meraka kurang menyatu dan timbul rasa

perbedaan, suasana seperti bertahan hingga kurang lebih empat tahun.

Warga yang berasal dari GKJTS pun disarankan untuk memisahkan diri dan

menyelenggarakan ibadahnya sendiri. Maka pada tanggal 1 Januari 1955, beberapa dari

mereka mengadakan ibadah Tahun Baru sendiri di lokal SMP Kristen Salatiga di Jln. Kota

Madya (sekarang Jln. Sukowati), yang dilayani oleh Pdt. Kartosoegondo. Peristiwa ini

kemudian ditetapkan sebagai hari jadi GKJ Salatiga. Karena perkembangan jumlah peserta

ibadah minggu yang semakin banyak dan untuk menciptakan suasana ibadah yang lebih

nyaman, maka diusahakan untuk dapat menempati gedung gereja.

Namun untuk memiliki gedung gereja sendiri tentu bukanlah hal yang mudah. Jemaat

harus beberapa kali berpindah tempat ibadah dengan menumpang di gedung-gedung lainnya.

Dari SMP Kristen, sejak april 1956 mereka menumpang di gedung GPIB Tamansari. Ini

berlangsung hingga Juli 1961, karena sejak bulan Agustus 1968 mereka berpindah lagi, kali

ini di gedung Aula Sinode di Jln. Dr. Sumardi no. 5 Salatiga.

Dalam kurun waktu yang bersamaan, sebenarnya telah terbentuk panitia

pembangunan selama 10 tahun. Setelah berhasil mengumpulan dana, panitia kemudian

membeli sebidang tanah di Jln. P. Diponegoro dan dibangun sebuah barak sebagai tempat

ibadah semetara. Lalu dengan bantuan dana dari Kom Over de Brug, dibangunlah gedung

yang tetap, terdiri dari dua bangunan kembar, satu ruang ibadah dan satu ruang pertemuan.

Gedung ini terletak tepat di depan kampus UKSW di Jln. P. Diponegoro No. 55 Salatiga.

44
Selama proses pembangunan gedung, tempat ibadah dipindah lagi ke aula Sinode GKJ.

Hingga pada tanggal 15 Mei 1970 gedung GKJ Salatiga diresmikan pengunaannya bertepatan

dengan perayaan Pentakosta.

3.3 Para Pelayan GKJ Salatiga

GKJ Salatiga dalam sejarahnya dilayani oleh puluhan anggota mejelis bahkan

mencapai seratus lebih termasuk dalamnya para tua-tua, diaken dan beberapa pendeta. Ada

juga pelayan non-majelis, yaitu para pembantu pendeta dan bahkan beberapa warga pelayan

yang bersifat ‘relawan’.4

Berikut adalah pendeta-pendeta yang pernah dan/atau masih melayani di GKJ

Salatiga:5

1. Pdt. Soesilo Darmowigoto, ditabiskan pada tanggal 15 November 1955.

2. Pdt. Sarwi Padmowidjono, ditabiskan pada tanggal 27 November 1967.

3. Pdt. Prof. Dr. R. Soedarmo, ditabiskan pada tanggal 17 April 1979.

4. Pdt. Efrayim Purwoatmodjo, S.Th., ditabiskan pada tanggal 11 Maret 1985.

5. Pdt. Drs. Timotius Trimin, ditabiskan pada tanggal 25 September 1998.

6. Pdt. Stefanus Yossy Nugraha, S.Si., ditabiskan pada tanggal 16 Maret 2003.

Beliau masih aktif melayani di GKJ salatiga hingga kini.

7. Pdt. Wiji Astuti, S.Si., ditabiskan pada tanggal 18 Desember 2004. Beliau masih

aktif melayani di GKJ salatiga hingga kini.

4
Skripsi : Desmond Chryhoper Simorangkir, Sekte atau Gereja (Suatu Tinjauan Kristis Sosio-Historis terhadap
Pemahaman GKJ Salatiga mengenai Keberadaan Saksi-saksi Yehuwa), (Salatiga : Fakultas Teologi, 2005),
hlm, 68.
5
Efrayim Purwoatmojo, dkk. Kehidupan yang bertumbuh...................................... 61-83.

45
3.4 Pertumbuhan GKJ Salatiga

Berdasarkan data jemaat periode Desember 2009, GKJ saat ini memiliki jumlah

jemaat sekitar 1737 jiwa yang terdiri dari 603 KK. Warga jemaat tersebut tersebar di dua

pepanthan, yaitu Pepanthan Gedong dan kayuwangi; dan empat blok, yaitu Blok Jetis Timur,

Jetis Barat, Cungkup dan Kemiri. Selain Warga setempat, petumbuhan GKJ Salatiga

didukung oleh warga gereja yang berdatangan dari kota lain dalam rangka studi baik di

sekolah-sekolah Kristen maupun di Universitas Kristen Satya Wacana. Para siswa,

mahasiswa, guru, dan dosen banyak mendukung dalam pertumbuhan dan perkembangan

Gereja Kristen Jawa Salatiga.

Dalam konteks GKJ Salatiga, laki-laki dan perempuan yang telah berkeluarga mereka

rata-rata bekerja (berkarir). Perempuan dan laki-laki dalam keluarga di GKJ Salatiga sama-

sama maju mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam menjalani perannya

sebagai ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir, perempuan sering menghadapi berbagai

hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya. Hambatan-hambatan yang dihadapi kebanyakan

berasal dari dalam rumah tangga, misalnya perempuan bertangung jawab terhadap keluarga,

urusan rumah tangga dan juga karirnya. Berbeda dengan laki-laki, mereka hanya bertangung

jawab atas urusan mencari nafkah dan membantu istri semampu atau sebisa mereka.

Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui apa saja hambatan-

hambatan yang dihadapi oleh perempuan karir dalam rumah di GKJ Salatiga. Penulis juga

ingin mengetahui, bagaimana dukungan dan keterlibatan anggota keluarga ketika perempuan

menjalani peran gandanya. Selain itu penulis ingin mengetahui, apakah teori dalam bab II

memang sesuai atau sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada di lapangan.

46
3.5 Hasil Penelitian dan Analisa Data

3.5.1 Berbagai alasan yang mendorong seorang ibu rumah tangga menjadi

perempuan karir (bekerja).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang informan Ibu Mo, antara lain

mengatakan bahwa : “Yang pertama karena alasan ekonomi, yaitu agar kebutuhan

keluarganya dapat tercukupi dengan baik. Selain itu yang kedua ia ingin aktualisasi

diri, agar dapat berkembang dalam hal wawasan dan keterampilan. Ia juga merasa

bangga karena dengan menjadi perempuan karir, ia dapat membantu memenuhi

kebutuhan keluarganya sekaligus melakukan peran atau kewajibannya sebagai

seorang ibu.”6

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga diungkapkan oleh Ibu Ti dalam wawancara

: “Pertama-tama memang sejak lulus ia ingin bekerja, tidak hanya sekedar menjadi ibu

rumah tangga saja. Selain itu juga, untuk mendukung kebutuhan rumah tangga dan

yang pasti ingin punya pendapatan sendiri. Ia mengatakan bukan hanya bangga tetapi

sangat puas. Ia dan suaminya sama-sama bekerja. Sehingga kini apa yang diinginkan

dirinya telah tercapai.” 7

Pendapat yang serupa juga diungkapkan dalam wawancara dengan Ibu Kr : “ Pertama

karna ia telah menempuh pedidikan sampai perguruan tinggi. Sehingga setelah lulus

kuliah ia ingin bekerja menjadi guru. Hal ini yang medorong setelah selesai kuliah ia

mencari pekerjaan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatnya. Sampai saat

menikahpun ia masih tetap berkerja. Suaminya tidak melarang dan memberi

6
Hasil wawancara dengan Ibu Mo, Jumat 13 Juni 2014 pkl 18.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat ).
7
Hasil wawancara dengan Ibu Ti, Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).

47
kesempatan dirinya untuk bekerja. Pastinya sangat bangga ketika ia menjadi

perempuan karir, karena memberikan banyak kontribusi bagi keluarganya.”8

Sedangkan Ibu Mi dalam wawancara menuturkan : “Adanya dorongan atau dukungan

dari orang tua. Sebelum menikah, ia diharapkan sudah memiliki pekerjaaan. Sehingga

ketika sudah berkeluarga dirinya dapat membantu suaminya mencari nafkah. Selain

itu bekerja juga sebagai bentuk hiburannya untuk keluar rumah, banyak teman dan

ingin memiliki wawasan lain. Ia juga sangat bersyukur dan bangga sekali bisa

bekerja.”9

Pendapat yang sama dituturkan oleh Ibu Es: “Ia dari keluarga yang kurang mampu,

sehingga ada didorong dari orang tua untuk bersekolah. Setelah lulus sekolah,

diharapkan ia dapat memiliki pekerjaan (berkarir). Bangga ketika dirinya menjadi

perempuan karir.”10

Begitu pula dalam wawancara dengan Ibu Na : “Adanya dorongan dan tuntutan dari

orang tuanya untuk ia bersekolah sampai sarjana dan sukses. Ia berkarir karena

adanya dorongan dari orang tua dan dirinya sendiri yang berniat ingin sekolah. Ia

bangga, menurutnya ini warisan dari orang tuanya.”11

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Ibu Ma : ”Alasannya berkarir adalah untuk

membantu anak-anak, untuk mendidik anak-anak dan juga biaya bagi pendidikan

anak-anaknya. Ia sangat bangga dengan perannya tersebut.”12

Dalam FGD para perempuan menuturkan : “Ketika berkarir tujuan mereka yaitu ingin

mendukung kebutuhan (income) rumah tangga, ingin punya pendapatan sendiri,

8
Hasil wawancara dengan Ibu Kr, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).
9
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).
10
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
11
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
12
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).

48
mengisi waktu luang, hiburan mereka untuk keluar rumah, mendapat banyak teman,

untuk menambah wawasan lain, ingin berkarya, dan tidak hanya fokus di rumah saja.

Mereka sangat puas menjadi perempuan karir, karena itu adalah keinginan mereka.

Selain itu mereka juga bangga karena dapat meringankan beban rumah tangga. Hal ini

mereka lakukan sejauh rumah tangga mereka rukun dan sejahtera.”13

Tidak jauh berbeda dengan pendapat perempuan, para laki-laki juga mengungkapkan

hal yang sama. Menurut pendapat Pak Ye : “Ia rasa banyak hal. Pertama, dahulu

istrinya bersekolah lalu ingin mengembangkan ilmu yang didapatkan. Kedua, ada

kaitanya dengan kebutuhan keluarga. Keikut sertaan istrinya banyak memberi andil

bagi keluarga. Ketiga, bekerja itu adalah anugerah Tuhan. Kami bekerja mengingat

apa yang telah dikatakan Tuhan bahwa kamu bisa makan kalau kamu berkeringat. Hal

inilah yang mendorong, sehingga ia dan istrinya tetap semangat untuk kerja. Hati

kecilnya mengatakan sangat bangga, itu jadi kebanggaan diri saat istrinya menjadi

perempuan karir.“14

Hal yang mirip juga dituturkan oleh Pak Aj : “Sebelum menikah istrinya memang

sudah bekerja. Istrinya bekerja sebagai motivasi bagi anak-anaknya untuk juga

bekerja. Selain itu, sebagai wadah untuk pergaulan istrinya dalam bermasyarakat

sebagai makluk sosial.”15

Hal yang tidak jauh berbeda juga di ungkapkan oleh Pak Yo : “Istrinya bersekolah

lalu lulus maka bekerja. Selain itu ingin membantu suami dalam mencukupi

kebutuhan keluarga, kalau hanya mengandalkan pendapatan suami tidak akan cukup.

13
Hasil FGD terhadap perempuan karir , Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).
14
Hasil wawancara dengan Pak Ye, Minggu 15 Juni 2014 pkl 16.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
15
Hasil wawancara dengan Pak AJ, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)

49
Ia bangga, karena istrinya bisa aktualisasi diri, cari uang sendiri, membanggakan

pekerjaan, dan dapat menjadi figur istri yang dapat dihargai oleh orang lain.”16

Begitu juga penuturan dalam wawancara dengan Pak Bu : “Alasan istrinya berkarir

adalah bahwa biaya hidup saat ini cukup berat bila ditangung oleh satu penghasilan

saja (penghasilan suami). Sehingga istri juga memutuskan untuk bekerja. Saya bangga

punya istri yang berkarir.”17

Dalam wawancara dengan Pak Su : “Ia dan istrinya sama-sama bekerja untuk

memenuhi kebutuhan keluarga.”18

Sementara itu menurut Pak Ad : “Istrinya sebelum menikah memang sudah bekerja,

setelah menikah istrinya tetap bekerja. Ia sedikit bangga akan istrinya yang menjadi

perempuan karir.”19

Dari hasil proses pengumpulan data melalui teknik wawancara kepada infroman

kunci dan teknik FGD kepada para perempuan karir, sebetulnya kedua teknik tersebut

juga berfungsi untuk menjelaskan hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data

dokumen tentang berbagai alasan yang mendorong perempuan berkarir. Menurut

penulis, selama ini banyak perempuan yang turut terlibat dalam mencari nafkah untuk

mencukupi kebutuhan anggota keluarga dan rumah tangga. Keterlibatan perempuan

dalam mencari nafkah, ternyata membawa dampak yang sangat baik bagi

keberlangsungan hidup keluarga dan rumah tangga. Dengan keterlibatan perempuan

dalam berkarir, berarti perempuan telah membuktikan bahwa ia juga memiliki potensi

yang sama dengan laki-laki yang perlu juga di berdayakan.

16
Hasil wawancara dengan Pak Yo, Jumat 04 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis)
17
Hasil wawancara dengan Pak Bu, Minggu 15 Juni 2014 pkl 11.00. WIB
18
Hasil wawancara dengan Pak Su, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).
19
Hasil Wawancara dengan Pak Ad, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)

50
Hasil dari wawancara maupun FGD yang dilakukan ternyata memang sesuai dengan

yang ada dalam teori-teori, mengungkapkan bahwa alasan yang medorong seorang

perempuan berkarir yaitu adanya keinginan perempuan untuk membantu suami

mencari nafkah. Supaya bertambah sumber finansial bagi keberlangsungan hidup

anggota keluarganya, meringankan beban rumah tangga dan juga perempuan ingin

memiliki pendapatan sendiri. Pratiwi Sudarmona yang adalah seorang ilmuan

Indonesia mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah “Mitra Sejajar” dalam

menunjang perekonomian keluarga.20 Dalam konteks pembicaraan keluarga yang

modern, tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang semata-mata tergantung pada

penghasilan suaminya. Menurut Vauren perempuan karir adalah perempuan yang

digaji seseorang untuk melaksanakan tugas pada waktu dan tempat tertentu untuk

menjadi pekerja atau karyawan.21 Pendapat lain juga menambahkan bahwa

perempuan karir adalah perempuan yang mempergunakan waktunya untuk bekerja

baik di dalam rumah maupun di luar rumah dengan tujuan untuk memperoleh

pendapatan yang akan dipergunakan bagi kebutuhan keluarga.22 Hal ini juga

didukung pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa orang yang mampu melakukan

pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk masyarakat memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.23

20
http:// pandangan suami/Dampak Positif dan Negatif Wanita Karir.htm. Diakses pada tangga 12 Juni 2014,
pkl 10.00 Wib.
21
Vauren (dalam Sagita, R. (2003). Hubungan antara intelegensi dengan kemampun menghadapi stress pada
wanita karir di PEMDA Situbondo. Skripsi, Program Sarjana Psikologi. Digilib Universitas Muhammadiyah,
Malang.
22
M.W., Endar, Erni M., dan Mu’arifudin, Peranan Perempuan dalam Mencegah Bahaya Korupsi, Karya Tulis
Ilmiah Bidang Sosial. Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES, Semarang, 2008.
23
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=perempuanpunya kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
GBHN. Diakses pada tanggal 20 September 2013, pkl 13.00.

51
Ketika perempuan berkarir, itu juga sebagai bentuk aktualisasi diri perempuan, untuk

pengambangan kemampuan dalam menambah wawasan serta keterampilan, hiburan

untuk keluar rumah, mendapat banyak teman, dan perempuan tidak hanya fokus di

rumah saja. Seperti yang disampaikan oleh Munandar, ia mengatakan bahwa

perempuan karir adalah perempuan yang bekerja untuk mengembangkan

kemampuannya.24 Menurut Anoraga, perempuan karir adalah perempuan yang

memperoleh atau mengalami perkembangaan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan

dan lain-lain.25 Abraham Maslow juga menambahkan, bahwa tingkat tertinggi

manusia adalah aktualisasi diri.26

Alasan lain perempuan berkarir yaitu ingin mengaplikasikan ilmu yang didapat dan

tidak mau menyia-nyiakan pendidikan yang telah ditempuh selama ini. Di dalam

Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, perempuan di Indonesia mendapat

kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan untuk

bekerja.27 Mengenai kesetaraan pendidikan dapat dilihat juga pada UU No.7 tahun

1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan disingkat Konvensi CEDAW28 (“Convention on the Elemination of All

24
S.C Utami Munandar, Wanita Karir Tantangan dan Peluang, “Wanita dalam Mayarakat Indonesia Akses,
pemberdayaan dan Kesempatan...............................................................................301.
25
Panji, Anoraga. Psikologi kerja, cetakan kedua, .............................................. 33.
26
http://www.raswck.com/aktualisasi-diri-menurut-abraham-maslow. Diakses pada tanggal 20 Juni 2014 pkl
11.00.
27

2012.,PengarusutamaanJenderLingkupDepartemenKehutanan,(http://www.dephut.go.id/index.php/news/details
/269), Diakses pada tanggal 08 September 2013, pkl 11.00.
28
Singkatan CEDAW dipakai dalam penerbitan Unifem seperti “ In Pursuit of Justice” dan “ Do our laws
promote gender equality : A handbook for CEDAW –based legal reviews”. Istilah Konvendi CEDAW
sebenarnya dua kali kata konvensi dan dapat rancu dengan istilah Komite CEDAW, yang merumuskan
Rekomendasi Umum dan Komentar/Obsevasi Akhir yang dijelaskan lebih lanjut dalam Bab I.C.E) tentang
Dinamika Konvensi CEDAW.

52
Forms of Discrimination Agains Women”)29 yang membahas penghapusan segala

bentuk diskriminasi termasuk pendidikan.30

3.5.2 Perempuan dan laki-laki sudah mendapatkan kesempatan yang sama untuk

berperan di segala bidang kehidupan.

Menurut pendapat Ibu Es dalam wawancara : “Perempuan sudah mendapatkan

kesempatan yang sama besarnya. Peluang untuk berkarir cukup besar dan batasan-

batasan kini sudah tidak ada. “31

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga di ungkapkan oleh Ibu Mi : “Perempuan

sudah mendapatkan kesempatan yang sama.”32

Sedangkan dalam wawancara dengan Ibu Ti : “Perempuan sudah mendapatkan

kesempatan yang sama, bagi yang ekonominya pas-pasan. Kalau yang suaminya

berduit, mungkin istrinya tidak boleh kerja.”33

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga di ungkapkan oleh Ibu Kr : ”Perempuan

dahulu jadi nomor dua, tetapi kini bahwa laki-laki dan perempuan punya kesempatan

yang sama. Tugas-tugas tidak lagi dibedakan berdasarkan jender. Perempuan

mempunyai kesempatan yang sama dalam pekerjaan di kantor, gereja dan masyarakat.

Sebagai seorang perempuan yang harus di tekankan bahwa sesibuk apapun, sepenting

apapun, setinggi apapun jabatan di kantor ketika kembali ke rumah adalah sebagai

seorang istri dan ibu. Ketika sudah di rumah, jabatan atau titel harus diletakkan.

29
L.M. Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, (Jakarta : Pustaka Obor
Indonesia, 2012). Hlm, 1.
30
Makalah., Palupi Ciptoningrum., 2009.,Hubungan Peran Ganda Dengan Pengembangan Karier Wanita
(Kelurahan Menteng, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat . Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
31
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
32
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).
33
Hasil wawancara dengan Ibu Ti, Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).

53
Perempuan tidak boleh merasa lebih walaupun punya penghasilan lebih tinggi.

Berusaha tidak membandingkan peran antara suami dan istri.”34

Sementara itu dalam wawancara dengan Ibu Na: “Iya. Hampir sudah mendapatkan

kesempatan yang sama dengan laki-laki.”35

Sedangkan dalam wawancara dengan Ibu Mo : “ Belum, karena ada beberapa hal

yang masih mengkotak-kotakan kemampuan laki-laki dan perempuan.”36

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Ibu Ma : “Dikatakan setara mungkin

tergantung kegiatan apa yang dapat di setarakan. Dalam sebuah keluarga, ia dan

suami tidak setara karena ada kepala keluarga. Dalam keluarga, oleh suami ia tidak

dianggap sebagai kanca wingking. Ia dan suami dalam kehidupan sehari-hari, dalam

mendidik anak, dalam pekerjaan di rumah dan dalam pelayanan sama-sam maju.”37

Dalam FGD para perempuanberpendapat bahwa : “Perempuan sudah mendapatkan

kesempatan, tetapi harus tetap diingat tugasnya dan kodratnya sebagai perempuan.

Ada juga yang mengatakan, belum setara tetapi sudah mendapatkan kesempatan yang

sama untuk bekerja sama.”38

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Pak Ye bahwa : ”Banyak faktor yang

menentukan hal itu. Pertama, secara Alkitabiah perempuan dan laki-laki itu sama.

Dalam banyak hal, walaupun tidak dalam kondisi keluarga, tetapi di dalam pekerjaan

yang memang cocok untuk dikerjakan perempuan, ada pekerjaan yang cocok di

kerjakan laki-laki. Keikut sertaan perempuan dalam pekerjaan itu adalah untuk saling

melengkapi. Perempuan bekerja sangat dahsyat manfaatnya baik bagi meningkatkan

34
Hasil wawancara dengan Ibu Kr, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).
35
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
36
Hasil wawancara dengan Ibu Mo, Jumat 13 Juni 2014 pkl 18.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).
37
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri).
38
Hasil FGD terhadap perempuan karir , Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).

54
ekonomi keluarga, baik di dalam meningkatkan ketentraman masyarakat sangat nyata.

Perannya sangat dirasakan.”39

Dalam wawancara dengan Pak Yo juga menuturkan bahwa : “Dalam konteks di

Gereja Kristen Jawa sudah, tetapi belum maksimal.” 40

Sedangkan dalam wawancara dengan Pak Aj : “Dibidang-bidang tertentu sudah sama.

Di suatu instansi karena keterlibatan politik biasanya perempuan di nomor duakan.

Hal ini karena adanya suatu kelompok laki-laki yang memimpin. Walaupun pada

kenyataannya perempuan lebih unggul.”41

Dalam wawancara dengan Pak Bu : “Perempuan jaman dulu masih di sebut sebagai

warga kelas kedua setelah laki-laki, tetapi sekarang ini perempuan Jawa sudah lebih

banyak yang setara dengan laki-laki. Namun ada dorongan kuat dari perempuan untuk

mau terlibat di gereja dan juga berperan ganda. Dahulu pengaruh budaya patriarki

memang masih sangat kental, tetapi sekarang sudah tidak lagi.”42

Begitu pula dengan penuturan Pak Ad: “ Hampir, tapi sebagian besar sering kali

suami-suami menuntut istri untuk tunduk pada suaminya. Masih banyak laki-laki

yang egonya besar untuk minta dilayani sepunuhnya oleh istri.“43

Dari hasil teknik pengambilan data penelitian melalui wawancara maupun FGD yang

dilakukan di atas, sebetulnya kedua teknik tersebut juga berfungsi untuk menjelaskan

hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data dokumen tentang alasan yang

mendorong perempuan berkarir. Menurut penulis, perempuan telah mendapatkan

kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan di segala bidang kehidupan,

39
Hasil wawancara dengan Pak Ye, Minggu 15 Juni 2014 pkl 16.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
40
Hasil wawancara dengan Pak Yo, Jumat 04 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis)
41
Hasil wawancara dengan Pak AJ, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB(Lokasi sektor Cungkup)
42
Hasil wawancara dengan Pak Bu, Minggu 15 Juni 2014 pkl 11.00. WIB
43
Hasil wawancara dengan Pak Ad, Kamis 19 Juni 2014 pkl 20.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).

55
misal dalam pekerjaan, di gereja dan masyarakat. Budaya patriarki tidak lagi

mengekang perempuan untuk tampil sejajar dengan laki-laki diberbagai bidang

kehidudupan. Perempuan kini tidak hanya berkutat di dalam urusan domestik, tetapi

juga merambah ke urusan publik.

Dari data yang tersedia ternyata memang sesuai dengan yang ada dalam teori, terlihat

bahwa perempuan dan laki-laki sudah hampir mendapatkan kesempatan yang sama

untuk berperan di segala bidang kehidupan. Hal ini dapat dilihat, perempuan dan laki-

laki telah mendapatkan kesempatan yang sama di segala aspek kehidupan.

Perempuan sudah mendapatkan peluang yang cukup besar untuk berkarir. Batasan-

batasan untuk perempuan sudah tidak ada lagi. Perempuan sudah punya kesempatan

yang sama, terutama bagi perempuan yang ekonominya pas-pasan. Tugas antara

perempuan dan laki-laki tidak lagi diberikan berdasarkan jender. Keikut sertaan

perempuan dalam pekerjaan itu adalah untuk saling melengkapi. Dalam konteks di

Gereja Kristen Jawa sudah, tetapi belum maksimal.

Bagi masyarakat Jawa, perempuan didefinisikan sebagai seorang yang bertangung

jawab atas urusan domestik, sementara laki-laki di bidang publik. Rupanya pengaruh

dari adanya budaya patriarki dalam masyarakat Jawa sudah mulai pudar. Patriarki

secara harafiah berarti kekuasaan berada di tangan bapak (laki-laki)/ patriack.44

Secara etimologis, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana bapak menguasai

seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga

yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga. Dalam sistem sosial, budaya

(juga keagamaan), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa

laki-laki (suami) lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan (istri); bahwa

perempuan (istri) harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki.

44
Asnath Niwa Natar, Ketika Perempuan Berteologi : Berteologi Feminis Kontekstual............................25

56
Perempuan yang terahir dari keluarga Jawa dengan prinsip adat istiadat patriarki

yang kental pasti merasa dididik menjadi perempuan Jawa yang terbatasi dengan

nilai-nilai patriarki. Jika dilihat dari pengertian perempuan atau wanita, berasal dari

kata gabungan dua bahasa jawa (kerata basa) wani (berani) dan tata (teratur).45

Secara “gathukologis” (menyamakan) kata ini mengandung dua konotasi wani ditata

(berani diatur) dan wani nata (berani mengatur).46 Dalam konotasinya wani ditata

berarti perempuan tidak sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena ia diatur.

Perempuan Jawa dianggap tidak penting sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-ujungnya

mengurus dapur dan rumah tangga. Perempuan Jawa hanya dianggap sebagai kanca

wingking (teman belakang)47 yang kerjanya di dapur, sumur dan kasur yang

kemudian dipetakan lagi dalam rangkaian tugas:48

 Masak : mengurusi dapur, karena mengurusi dapur perempuan sering disebut dengan

istilah kanca wingking. Namun, kepandaian memasak tidak hanya mengolah dan

menyediakan makan dan minum, tetapi juga mengatur anggaran belanja dengan

sebaik-baiknya. Sebagai wujud dari sikap bekti terhadap suami, dalam urusan masak-

memasak dan segala sesuatu yang berhubungan makan dan minum, istri juga harus

memperhatikan selera dan kesenangan suami.

 Macak : yang berarti seorang perempuan harus bisa merias diri, berdandan, ataupun

berbusana yang sebaik-baiknya agar senantiasa tampak cantik, menarik dan

mempesona. Hal ini merupakan kewajiban pokok yang harus dijaga sebagai bentuk

perwujudan bekti dalam melayani suami. Dengan demikian, jika perempuan selalu

tampil menarik, ia akan membuat suami betah tinggal dirumah.

45
http://dragus.cd/2009/03/05/gathukoogy-ilmubaru/. Diakses pada tanggal 09 Juni 2014, pkl 09.06.
46
Anang Prasongko., 2012., (http://m.kompasiana.com/post/read/465060/3/wanita-itu-wani-di-tata.html).
Diakses pada tanggal 09 Juni 2014, pkl 19.45.
47
Budi Munawar-Rachman, Rekontruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern, ...........47-48.
48
Pujiwulansari., 2011., Peran Ganda Perempuan (http:// Peran Ganda Perempuan.htm),Diakses Pada tanggal
20 Agustus 2013, pkl 13.00.

57
 Manak : pengertian tersebut tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, dan

menyusui saja tetapi juga menjaga, memelihara, dan mendidik anak.

Perempuan Jawa juga jarang diikutkan dalam membuat keputusan besar dalam

keluarganya, karena dianggap tidak memiliki hak dan tidak memiliki kecakapan

dalam hal tersebut. Jika pun perempuan mengeluarkan pendapatnya, bisa-bisa balik

dicela “kamu tidak tahu apa-apa”, atau “perempuan tidak usah ikut campur”. Hal-hal

semacam itu membuat perempuan (istri) tidak diberi ruang pendapat, hak kebebasan

untuk mengatakan pilihananya, hanya bisa terkukung oleh budaya yang terkadang

berlawanan dengan hati nuraninya.

Durkheim, Spencer dan Comte mengungkapkan sifat-sifat alamiah perempuan yang

inheren menciptakan suatu pembagian kerja, hierarki kekuasaan laki-laki, dan struktur

moralitas.49 Sifat-sifat alamiah tersebut menempatkan kaum perempuan di bawah

kontrol logis kaum laki-laki dalam suatu keluarga patriarkat dan stuktur sosial.

Mereka beranggapan bahwa budaya patriarki selalu ada dan akan terus ada, dan

seperti tatanan alam lainnya tidak bisa di rubah. Tetapi ada juga pedapat yang

menyatakan bahwa patriarki sifatnya bukan nature, tetapi nurture dan kerena itu bisa

diubah seiring dengan berjalannya waktu. Teori nature menggangap bahwa perbedaan

peran antara perempuan dan laki-laki bersifat alami.50 Menurut Budiman dalam

bukunya Pembagian Kerja Secara Seksual, teori nature memusatkan perhatian pada

ciri-ciri yang alami dari insan manusia, atau yang seringkai disebut dengan kodrat,

yang pada gilirannya menghasilkan pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan

antara jenis kelamin.51 Pembedaan kerja yang didasarkan pada perbedaan seksual, ini

49
Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita..............................................................7.
50
Riant Nugroho, Gender Strategi pengarus-utamaan di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011). Hlm,
22.
51
Arif Budiman, Pembagian kerja Secara Seksual, (Jakarta: Gramedia, 1982). Hlm, 1.

58
tak jarang menimbulkan adanya perbedaan status sosial serta kedudukan antara laki-

laki dan perempuan. Karena secara alamiah perempuan bertugas untuk mengurusi

urusan domestik, maka posisi dan status sosialnya berada cenderung berada lebih

rendah. Sedangkan status sosial kaum laki-laki yang bekerja di ruang publik relatif

lebih tinggi dalam masyarakat. Pembagian kerja yang menempatkan perempuan

dalam ruang domestik, membuat mereka cenderung tidak berkembang sebagai sesama

makluk ciptaan Tuhan. Pada akhirnya mereka cenderung menjadi semakin kerdil

seumur hidupnya, karena berada dilingkungan domestik yang serba terbatas.

Sementara laki-laki dapat mengembangkan dirinya secara optimal di wilayah publik.

Sementara teori nurture bertentangan dengan teori nature atau teori kodrat. Teori ini

mengungkapkan bahwa realita biologis tidak menyebabkan kedudukan laki-laki lebih

tinggi dari perempuan. Pemilihan sektor domestik dan publik, sekaligus

pengunggulan terhadap laki-laki sebetulnya merupakan upaya elaborasi terhadap

faktor biologis masing-masing seks dengan lingkungan.52 Perbedaan sifat dan sikap

yang dianggap kelelaki-lakian dan keperempuanan juga merupakan rekayasa

lingkungan sosial, hasil pemupukan proses sosialisasi atau melalu usaha pendidikan.

Bebeda dengan teori Equilibrium, teori ini menekankan pada konsep kemitraan dan

keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki–laki. Pandangan ini

tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki – laki, karena keduanya

harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam

setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan

peran perempuan dan laki – laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen

52
S.K Sanderson Sosiologi Makro, Sebuah pendekatan Terhadap Realita. Jakarta : Rajagfindo, 1995. Hlm, 42.

59
tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling

melengkapi satu sama lain.

Walapun perempuan telah mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki, tetapi

masih saja ada stigma dari masyarakat yang menganggap bahwa perempuan hanya

dianggap sebagai nomor dua dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu tidak punya

peran yang berarti dan dianggap sebagai kaum yang tidak penting. Masih terdapat

pengotak-kotakanperan, peminggiran, perlakuan tidak menyenangkan masih kerap

menimpa perempuan ketika berkarir, kadang juga hanya di pandang sebelah mata dan

terabaikan. Ternyata walaupun telah mendapatkan kesempatan yang sama, tetapi

perempuan dalam pelaksanaanya masih merasakan ketidakadilan jender. Berikut

uraian masing-masing dari bentuk ketidakadilan jender tersebut.

 Marginalisasi

Marginalisasi artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin

yang mengakibatkan kemiskinan.

 Subordinasi

Subordinasi artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang

dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.

 Stereotipe (pelabelan negatif)

Stereotipe pemberian citra baku atau label/cap kepada seorang atau kelompok

yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.

 Violence (kekerasan)

Kekerasan artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan

oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau

negara terhadap jenis kelamin lainnya.

 Double burden (beban ganda)

60
Beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih

banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.

3.5.3 Berbagai hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan karir dalam rumah

tangga.

Berikut merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Es : “Sebagai Ibu rumah

tangga menyiapkan keperluan keluarga. Di satu sisi ia bekerja memenuhi

kewajibannya sebagai pekerja.“53

Sementara itu Ibu Mo : “Ia mengatakan bahwa waktu bagi keluarga dan rumah tangga

kurang. Selain itu tidak bisa maksimal untuk bisa mengembangkan karirnya.”54

Dalam wawancara dengan Ibu Ma : “ Dahulu saat anak-anak masih kecil sangat terasa

repot. Selain itu mengalami hambatan soal waktu, akomodasi dan pekerjaan yang

menumpuk setiap hari yang harus dikerjakan tepat waktu.”55

Begitu pula dengan Ibu Mi mengatakan bahwa : “Ketika bekerja ia memikirkan anak-

anak yang masih kecil di rumah.”56

Hampir sama dengan Ibu Kr : “Masa-masa paling sulit adalah ketika anak di bawah

usia lima tahun, karena membutuhkan perawatan yang intensif. Pada saat itu ia

sempat berpikir untuk berhenti bekerja, karena waktu untuk merawat anak-anak lebih

sedikit. Sehingga anak-anak lebih banyak dipegang atau dirawat orang lain, dalam

hal ini pembantu. Ketika pembantunya baik-baik saja ini tidak menjadi masalah,

tetapi ketika pembantu itu keluar atau gonta-ganti itu menjadi masalah bagi kami.

53
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
54
Hasil wawancara dengan Ibu Mo, Jumat 13 Juni 2014 pkl 18.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)
55
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
56
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

61
Selain itu hambatan di dalam karir sangat banyak, misalnya tidak ada penerimaan di

tempat kerja, pimpinan kadang tidak senang dengan ia dan egoisnya laki-laki.”57

Begitu pula dengan Ibu Na berpendapat : “Hambatan-hambatan yang dihadapinya itu

komplek, misalnya pekerjaan rumah tangga kadang tidak ada yang membantu. Ia

harus mengantar anaknya ke sekolah, terkadang ia terlambat masuk kerja, sementara

suaminya hanya sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Kadang hambatan-hambatan

tersebut sulit untuk di selesaikan. Maka yang dapat ia lakukan adalah berusaha

berserah pada Tuhan dalam doa.”58

Dalam FGD para perempuan berpendapat bahwa : “Mereka mengatakan banyak

hambatan yang mereka alami, misalnya ketika anggota keluarga ada yang sakit.

Mengenai pembagian waktu antara keluarga dan karir. Selain itu banyak hal yang

terbengkalai, baik urusan rumah tangga ataupun pekerjaan. Pekerjaaan yang

dikerjakan terasa kurang maksimal.”59

Berbeda dengan pendapat di atas, Ibu Ti menuturkan : “Hambatan di rumah tangga

ada, tetapi menurutnya itu tidak menggangu apa yang ia lakukan baik kegiatan di

kantor, masyarakat dan gereja”.60

Dari hasil teknik pengambilan data penelitian melalui wawancara maupun FGD yang

dilakukan di atas, sebetulnya kedua teknik tersebut juga berfungsi untuk menjelaskan

hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data dokumen tentang alasan yang

mendorong perempuan berkarir. Menurut penulis, ketika seorang perempuan sebagai

ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir, banyak sekali menemui hambatan-

hambatan dalam pelaksanaanya. Hambatan-hambatan tersebut lebih banyak ditemui

57
Hasil wawancara dengan Ibu Kr, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB(Lokasi sektor Jetis Barat)
58
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
59
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
60
Hasil wawancara dengan Ibu Ti, Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

62
di dalam rumah tangga dan karir, sehingga membuat perempuan kurang maksimal

dalam menjalankan karirnya.

Hasil dari wawancara maupun FGD yang dilakukan memang sesuai dengan yang ada

dalam teori, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa aspek pengasuhan anak

menjadi hambatan perempuan karir di dalam rumah tangga. Sulitnya ketika anak di

bawah usia lima tahun, karena membutuhkan perawatan yang intensif. Menurut

pandangan Rosaldo Zimbalist yang menyimpulkan pengamatannya dari berbagai

kebudayaan manusia, memang hampir merupakan gejala umum bahwa citra

perempuan selalu diketengahkan dalam fungsi sebagai ibu : jadi, fungsi mata rantai

reproduksi.61 Peran sentral ibu dalam keluarga merupakan profesi yang tidak bisa

digantikan oleh siapapun. Sadli mengungkapkan mengenai romantisasi seorang

perempuan sebagai ibu yang diperkuat dengan adanya mitos dan stereotip tentang

“naluri keibuan”, “kodrat” perempuan, dan tentang perempuan yang kasih sayangnya

terhadap anak tidak dapat ditukar dan ditakar. Peran perempuan dalam rumah tangga

ditampilkan melalui dikotomi peran, yaitu sebagai istri dan sebagai ibu.62

Kesulitan perempuan membagi waktu antara urusan rumah tangga, keluarga dan

pekerjaan. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan orang lain, banya hal

yang terbengkalai, hasil pekerjaan kurang maksimal. Apalagi jika anggota keluarga

ada yang sakit, pekerjaan kantor yang mungkin belum selesai atau harus menenuhi

target dan masalah yang berkaitan dengan kodrat. Seorang ibu dikatakan sebagai

“tiang rumah tangga” amatlah penting yaitu mengatur pengeluaran hidup rumah

tangga yang menyangkut kesehatan dan gizi keluarga, pendidikan anak-anak, dan

kelangsungan hidup dalam masyarakat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan

61
Dalam Sumiyatiningsih, Michelle Zimbalist Rosaldo, Women, Culture, and Society ................................17-
41.
62
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, .................................... 19.

63
home economic. Menurut Mulyani peran tersebut merupakan kodrat dan kewajiban

yang harus dijalani oleh perempuan.63 Dapat dikatakan bahwa kesuksesan dan

kebahagiaan keluarga sangat ditentukan oleh peran seorang ibu. Menurut Sa’ad

Karim, jika ibu adalah seorang perempuan yang baik, akan baiklah kondisi keluarga.

Sebaliknya, apabila ibu adalah perempuan yang bersikap buruk, hancurlah

keluarga.64 Sedangan menurut Baqir Sharifal-Qarashi, bahwa para ibu merupakan

sekolah-sekolah paling utama dalam pembentukan kepribadian anak serta saran, untuk

memenuhi mereka dengan berbagai sifat mulia.65 Konsep ibu rumah tangga ini secara

tidak langsung mengantarkan perempuan untuk mendalami peran-peran rumah

tangga dengan berbagai konsekuensinya.

Menurut Walkel dan Woods dalam Guhardja mendefinisikan pekerjaan rumah tangga

ke dalam 6 kategori, yaitu :66

 Penyediaan pangan atau makanan

 Pemeliharaan keluarga (anggota keluarga)

 Pemeliharaan rumah

 Pemeliharaan pakaian (termasuk mencuci, seterika)

 Manajemen (termasuk pencatatan atau record keeping)

 Marketing (termasuk kegiatan berbelanja)

63
Mulyawati, “Peran Ganda Seorang Wanita”, (Yogyakarta: Pustaka Semesta Pers,1986).
64
Gm. Susanto., 2014., (http://jawabanpasti.com/ibu-rumah-tangga.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2014,
Pkl. 17.38
65
Haryanto., 2010., (http://belajarpsikologi.com/peranan-ibu-dalam-keluarga.com). Diakses pada tanggal 10
Juni 2014, Pkl. 18.20
66
http://ichrisdianms.wordpress.com/2013/05/11/peran-ganda wanita sebagai ibu rumah tangga dan civitas
akademika. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2013, pkl 20.00.

64
3.5.4 Cara perempuan karir mengatasi hambatan-hambatan dalam rumah tangga.

Berikut merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Ti : “Bisa mengatasi

hambatan tersebut dengan baik, yaitu dengan mengatur waktu baik untuk kelurga dan

pekerjaan.”67

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga di ungkapkan oleh Ibu Mo : “ Berusaha

membagi waktu dan dirinya dengan baik. “68

Hampir sama dengan pendapat diatas Ibu Mi : “Membagi waktu dengan baik.”69

Dalam wawancara dengan Ibu Es : “Pandai mengatur waktu dengan baik.” 70

Begitu pula dengan pendapat Ibu Na : “Berusaha membagi waktu antara keluarga dan

pekerjaannya.”71

Sementara itu Ibu Ma menuturkan : “Meminta bantuan anggota keluarga untuk

mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan juga dalam hal tenanga untuk

mengantarnya pergi bekerja.”72

Sedangkan menurut Ibu Kr: “Hambatan-hambatan dalam berkarir selalu ada dalam

keluarga, tetapi tidak membuatnya berhenti bekerja. Walaupun kadang ia merasa

tersingkir, tetapi berusaha untuk terus maju dan bekerja dengan baik. Hal ini semakin

membuatnya semangat bekerja dan membuatnya lama kelamaan mulai diterima.”73

Dalam FGD para perempuan mengungkapkan bahwa : “Mereka berusaha membagi

waktu antara keluarga dan pekerjaan. Mereka berusaha meminta bantuaan anggota

67
Hasil wawancara dengan Ibu Ti, Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
68
Hasil wawancara dengan Ibu Mo, Jumat 13 Juni 2014 pkl 18.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)
69
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
70
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
71
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
72
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 WIB(Lokasi sektor Kemiri)
73
Hasil wawancara dengan Ibu Kr, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)

65
keluarga yang lain. Ada juga yang mengatakan, harus pandai mengatur waktu dan

kesempatan serta tidak lupa berdoa.”74

Dari hasil teknikpengambilan data penelitian melalui wawancara maupun FGD yang

dilakukan di atas, sebetulnya kedua teknik tersebut juga berfungsi untuk menjelaskan

hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data dokumen tentang alasan yang

mendorong perempuan berkarir. Menurut penulis, ketika seorang perempuan sebagai

ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir, mereka tetap mampu mengatasi

hambatan-hambatan yang ada di dalam rumah tangganya. Meskipun memang masih

ada perempuan yang mengalami kesulitan dalam mengatasi hambatan-hambatan

tersebut.

Hasil dari wawancara maupun FGD yang dilakukan memang sesuai dengan yang ada

dalam teori, kenyataan menunjukkan bahwa perempuan telah berusaha mengatasi

hambatahn-hambatan tersebut dengan berusaha membagi waktu dengan baik.

Perempuan berusaha mengatur diri dan waktunya dengan baik, dalam pekerjaan

maupun di keluarga. Berusaha meminta bantuan anggota keluarga yang lainnya untuk

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sekaran mengatakan bahwa dukungan dan

bantuan yang diberikan suami dan anggota keluarga lainnya akan memberikan

kesempatan kepada istri untuk mengembangkan karirnya. Adanya dukungan sosial

dari anggota keluarga ini akan memberikan rasa aman bagi perempuan untuk berkarir.

Selain itu perempuan juga tidak lupa berdoa dalam mengatasi hambatan-hambatan

yang di alaminya. Pandai membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan, tuntutan

yang sangat penting bagi seorang perempuan karir. Hal inilah yang diungkapkan oleh

74
Hasil FGD terhadap perempuan karir ,Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)

66
Sri Dasa Utama. Meski sibuk dengan berbagai kegiatan dan aktivitas, namun harus

berusaha tidak menomordukan keluarga.75

3.3.5 Perempuan dalam menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus

perempuan karir, pernah mengalami dilema, stres dan kelelahan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Mo : “Ia pernah mengalami dilema, stres dan

kelelahan saat bekerja.“76

Dalam wawancara pendapat serupa juga di ungkapan oleh Ibu Es : “Kadang ketika

bekerja ia merasakan jenuh, dan malas dalam bekerja.”77

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga di ungkapkan oleh Ibu Kr : “Sering

kelelahan dan stres. Selain itu pernah dilema memilih antara karir atau keluarga.

Apalagi jika tantangan-tantangan itu bersal dari keluarganya, hal ini bisa membuat ia

down misalnya ketika anak-anaknya protes. Sehingga pada akhirnya, ia terkadang

menyalahkan dirinya sendiri ketika waktunya banyak habis di pekerjaan. Ia

mengalami dilema ketika urusan rumah tangganya terbengkalai.”78

Dalam wawancara Ibu Mi : “Stres wajar di dalam pekerjaan. Kadang menggangunya

ketika pulang ke rumah.”79

Menurutpendapat Ibu Ti : “Capek pernah, tapi tidak sampai berpikir untuk tidak

melayani, bekerja atau ikut kegiatan di masyarakat. Apa yang bisa dikerjakannya,

maka ia akan kerjakan.”80

75
Sri Dasa Utama., 2014., www/radar-utara.com/berita/1122/sulit-atur-waktu-butuh-support-suami. Diakses
pada tanggal 21 Agustus 2014. Pkl 16.48 wib.
76
Hasil wawancara dengan Ibu Mo, Jumat 13 Juni 2014 pkl 18.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)
77
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
78
Hasil wawancara dengan Ibu Kr, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)
79
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
80
Hasil wawancara dengan Ibu Ti, Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

67
Hal yang tidak jauh berbeda di ungkapkan oleh Ibu Ma : “Sering lelah dan letih

secara pikiran. Selama ini ia belum pernah berpikir lebih memilih keluarga atau

pekerjaan, karena ia sangat membutuhkan pekerjaan tersebut.”81

Sedangkan menurut Ibu Na : ”Berusaha tetap menjalankan dua perannya, meskipun

dengan berbagai hambatan-hambatan yang dihadapi.”82

Dalam FGD para perempuan menuturkan : “Iya pernah dilema. Mereka mengatakan

kelelahan iya, tetapi stres belum tentu. Ada juga yang mengatakan kadang-kadang

mengalami dilema, stres dan kelelahan.”83

Dari hasil teknik pengambilan data penelitian melalui wawancara maupun FGD yang

dilakukan di atas, sebetulnya kedua teknik tersebut juga berfungsi untuk menjelaskan

hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data dokumen tentang alasan yang

mendorong perempuan berkarir. Menurut penulis, ketika perempuan sebagai ibu

rumah tangga sekaligus perempuan karir, mereka pada umumnya mengalami dilema,

stres dan kelelahan. Hal ini terjadi, dikarenakan peran ganda yang dilakukan oleh

perempuan karir yang secara bersamaan.

Hasil dari wawancara maupun FGD yang dilakukan memang sesuai dengan yang ada

dalam teori, kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya perempuan mengalami

dilema, stres dan kelelahan. Ketika anak-anak protes, ini bisa membuat perempuan

down. Selain itu merasa jenuh dan malas dalam bekerja. Stres kerja merupakan beban

kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang menghambat

performance individu. Menurut Sheridan dan Radmacher serta Gibson, Ivancevich,

dan Donnely stres kerja dipengaruhi oleh kondisi organisasi, seperti penetapan arah

81
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 (Lokasi sektor Kemiri)
82
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 (Lokasi sektor Kemiri)
83
Hasil FGD terhadap perempuan karir , Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 (Lokasi sektor Jetis Barat)

68
dan kebijaksanaan organisasi, perubahan strategi organisasi, dan keuangan, tuntutan

kerja, tanggung jawab atas orang lain, perubahan waktu kerja, hubungan yang

kurang baik antar kelompok kerja dan konflik peran. Akibatnya konsentrasi kerja

terganggu, kinerja kurang memuaskan dan individu tidak dapat memenuhi tuntutan

pekerjaannya karena kurangnya dukungan sosial.84

Menurut Orenstein bahwa peran ganda dapat membuat perempuan sulit meraih sukses

di bidang pekerjaan, keluarga, dan hubungan interpersonal sekaligus. 85 Penelitian

Alfadiomi dan Fathul tentang ibu dan karir menunjukan bahwa ibu yang bekerja

(berkarir) mengalami dilema.86 Seorang perempuan dalam statusnya sebagai ibu

rumah tangga sekaligus perempuan karir sering kali dihadapkan pada pilihan yang

dilematis. Memilih karir atau keluarga atau memilih keduanya dengan berbagai

hambatan-hambatannya. Memang penyebab dan dampak pada tiap perempuan tidak

sama, tetapi semuanya bersumber pada keinginan untuk menyeimbangkan antara karir

dan keluarga. Sehingga yang muncul dipermukaan kesadaran adalah bahwa karir

adalah dilema bagi perempuan atau ibu rumah tangga yang berkarir.

3.5.6 Adanya dukungan dan kerterlibatan anggota keluarga dalam menyelesaikan

pekerjaan atau urusan rumah tangga.

Berikut merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Mo : “Ada keterlibatan

anggota keluarga lainnya dalam menyelesikan pekerjaan atau urusan rumah

tangganya.”87

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga di ungkapkan oleh Ibu Ma : “Semua

anggota keluarga turut terlibat dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Anak-

84
F. Luthans, Organizational behavior. Singapore: McGraw-Hill Books Company, 1998).
85
(http://www.google.co.id/search?hl=id&q= peranganda perempuan menurut Orenstein). Diakses pada
tanggal 05 Mei 2014, pkl 21.13
86
Alfadiomi dan Fathul, Ibu dan Karir : Kajian Fenomenologi Terhadap Dual-Career Family, Jurnal Psikologi,
Vol 32, No 1, (Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 2005).
87
Hasil wawancara dengan Ibu Mo, Jumat 13 Juni 2014 pkl 18.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat)

69
anak juga sudah dididik dari kecil untuk membantu. Walaupun ketika anak-anak

membantu tidak sampai bersih, misalnya cuci piring dan membereskan tempat tidur.

Hal ini mengajarkan anak-anaknya ketika dewasa nanti untuk dapat mandiri dan

bertangung jawab atas dirinya sendiri. Ia juga didukung oleh suami dan anak-anak

untuk menjadi perempuan karir.”88

Hampir sama dengan pendapat Ibu Mi : “Anak-anak turut terlibat, misalnya anak laki-

laki bersih-bersih dan anak peremuan cuci piring serta bantu-bantu. Begitu juga

dengan suami turut membatu istri menyelesaikan urusan rumah dan dapur.”89

Berikut ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Kr : “Anak dan suami

turut terlibat dalam urusan rumah tangga. Kalau anak-anak biasanya membantu

mencuci piring, mencuci mobil dan bersih-bersih sementara suami membantu dalam

urusan dapur.”90

Sementara itu dalam wawancara dengan Ibu Es : “Suami dan anak-anak membantu

mengerjakan urusan rumah tangga dan mendukung ia bekerja.”91

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Pak Ye : “Sangat mendukung sekali istrinya

bekerja tidak ada hambatan di dalam keluarga. Sering kali pekerjaan rumah tangga

digantikan oleh anggota keluarga. Selama ini tidak terjadi masalah dalam arti

pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan istrinya, tapi bisa dikerjakan oleh keluarga

lainnya (suami dan anak-anak).”92

Berikut ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Na: “Ada yang

membantu yaitu mertua dan kakak ipar. Mereka ikut membantu mengerjakan urusan

88
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
89
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
90
Hasil wawancaradengan Ibu Kr, Kamis 19 Juni 2014 pkl 19.00 WIB(Lokasi sektor Jetis Barat)
91
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
92
Hasil wawancara dengan Pak Ye, Minggu 15 Juni 2014 pkl 16.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

70
rumah tangga. Kadang-kadang suami juga ikut membantu, jika diminta untuk

membantunya. Anak belum bisa dilibatkan untuk membantu mengerjakan pekerjaan

rumah tangga.”93

Begitu pula wawancara dengan Pak Ad : “Dukunganya yaitu membantu istrinya

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Anak-anak juga sedikit membantu pekerjaan

rumah”.94

Pak Aj berpendapat : “Ia dan anak-anak mendukung dalam hal akomodasi dan waktu.

Di dalam keluarga tidak ada perbedaan pekerjaan perempuan dan laki-laki. Kadang ia

yang memasak. Anak-anak juga sudah dididik untuk membantu mengerjakan

pekerjaan rumah.”95

Hampir sama dengan penuturan Pak Yo : “Dulu sempat tidak ada pembantu, tetapi

ketika memiliki anak baru ada pembantu untuk menjaga dan mengerjakan pekerjaan

rumah. Namun, untuk urusan anak-anak istrinya tetap memberikan perhatian penuh.

Ia sering bangun pagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah bersama istrinya.”96

Dalam wawancara Pak Bu juga menambahkan : “Suami dan istri berbagi tugas dan

saling menggantikan peran.”97

Begitupula dalam wawancara dengan Pak Su : “Membantu istrinya, kadang ia yang

memasak dan juga anak-anak terlibat dalam membereskan tempat tidur.”98

Sedangkan menurutIbu Ti : ”Sebenarnya tidak ada keterlibatan anggota keluarga

dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kebetulan semua anaknya berjenis

93
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
94
Hasil Wawancara dengan Pak Ad, Kamis 19 Juni 2014 pkl 20.00 WIB (Lokasi sektor Jetis Barat).
95
Hasil Wawancara dengan Pak AJ, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
96
Hasil Wawancara dengan Pak Yo, Jumat 04 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis)
97
Hasil wawancara dengan Pak Bu, Minggu 15 Juni 2014 pkl 11.00. WIB
98
Hasil wawancara Hasil Wawancara dengan Pak Su, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor
Kemiri).

71
kelamin laki-laki sehingga mereka tidak tahu bagaimana caranya membantu. Sempat

saat itu ada orang yang membantu, tetapi saat ini ia sendiri yang menangani pekerjaan

rumah tangga. Ia juga tidak mendidik anak-anak untuk bantu-bantu dalam

mengerjakan urusan rumah tangga. Ia merasa tidak terbeban atas pekerjaan rumah

tangga yang dilakukan. Dahulu suami tidak turut terlibat, namun kini suaminya mulai

ikut terlibat dalam membantunya mengurus rumah.”99

Dalam FGD para perempuan menuturkan: “Mereka mengatakan ada keterlibatan

anggota keluarga tetapi tidak setiap hari. Ada yang mengatakan bahwa keterlibatan

anggota keluarga itu selalu dan harus. Ada juga yang menambahkan, adanya

keterlibatan anggota keluarga jika sudah ada kesepakatan. Mereka mengungkapkan

bahwa suami mendukung mereka untuk berkarir. Suami memberi mendukung dengan

juga melihat situasi.”100

Dari hasil teknik pengambilan data penelitian melalui wawancara maupun FGD yang

dilakukan di atas, sebetulnya kedua teknik tersebut juga berfungsi untuk menjelaskan

hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data dokumen tentang alasan yang

mendorong perempuan berkarir. Menurut penulis, peran ganda yang di hadapi

perempuan, sangat membutuhkan keterlibatan anggota keluarga dalam mengerjakan

urusan rumah tangga. Selain keterlibatan anggota keluarga, diperlukan juga dukungan

dari anggota keluarga lainnya. Sebab rumah tangga adalah milik suami, istri dan

anggota keluarga lainnya (anak-anak).

Hasil dari wawancara maupun FGD yang dilakukan memang sesuai dengan yang ada

dalam teori, bahwa adanya keterlibatan anggota keluarga dalam mengerjakan

pekerjaan rumah tangga. Sementara itu anak-anak juga turut dilibatkan dalam

99
Hasil wawancara dengan Ibu Ti, Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 (Lokasi sektor Kemiri)
100
Hasil FGD terhadap perempuan karir ,Sabtu 14 Juni 2014 pkl 11.00 (Lokasi sektor Jetis Barat)

72
mengerjakan urusan rumah tangga, walaupun hanya sebatas bantu-bantu misalnya

menyuci piring, merapikan kamar, menyuci mobil, dan menyapu rumah. Para

perempuan juga berusaha mendidik anak-anak sejak usia dini, supaya ketika dewasa

mereka dapat mandiri dan bertangung jawab atas diri sendiri. Meskipun kenyataan di

lapangan ternyata masih ada anggota keluarga yang tidak mau terlibat atau dilibatkan

dalam urusan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan alasan bahwa semua

anaknya adalah laki-laki.

Memang diperlukan sebuah kesepakatan dalam urusan mengerjakan pekerjaan rumah

tangga. Selain membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, anggota keluarga

juga mendukung perempuan dalam berkarir. Mendukung dalam hal mengantar dan

menjemput istri, berupa biaya dan memberikan semangat. Selain itu menurut

Suriyasam dalam Budiman, bahwa faktor penting yang dapat mengurangi dilema

antara keluarga dan pekerjaan bagi perempuan adalah adanya dukungan dari suami.101

Hal ini sangat berkaitan dengan hak dan kedudukan suami istri di dalam perkawinan

dilindungi oleh Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 1 yaitu “

Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama masyarakat”.102

Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial, dimana individu berada di

dalamnya, yang memberikan beberapa dukungan seperti bantuan nyata, dukungan

informasi, dan dukungan emosional sehingga individu merasa nyaman.103 Hal tersebut

sesuai dengan penelitian French dan Tellenback, Breuner, Sten-Olof, dan Lofgren

101
Budiman (2002), Persepsi efektivitas kinerja karyawan ditinjau dari konflik peran ganda isteri dan
dukungan sosial rekan kerja. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
102
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_no 74.htm, Diakses Pada tanggal 5 Agustus 2013, pkl 13.00.
103
R. S. Lazarus, (Emotional and adaptation. (New York: McGraw-Hill Publishing Company, 1991).

73
menemukan bahwa dukungan sosial dapat mencegah terjadinya psychological distress

di lingkungan kerja.

3.5.7. Usaha yang dilakukan gereja dalam menerapkan kesetaraan jender antara laki-

laki dan dalam kepemimpinan di gereja.

Berikut merupakan pendapat yang dikemukakan Ibu Es : “Banyak Ibu-ibu yang

berperan di gereja. Bukan hanya laki-laki saja, perempuan banyak yang berperan di

bagian vital. Perempuan diberikan kesempatan di dalam gereja.

Dulu memang sulit, karena cara pandang gereja yang masih kuno. Sehingga mereka

berpikir lagi kalau mau menempatkan perempuan di gereja untuk menempati jabatan-

jabatan tersebut. Hal ini juga dikarenakan adanya pengaruh budaya patriarki. Pada

saat itu perempuan tidak diberi kesempatan untuk bersuara, tapi saat ini perempuan

sudah menjadi ketua komisi dan ketua bidang.”104

Hal yang mirip dengan itu antara lain juga di ungkapkan oleh Ibu Ma : “Perempuan

dan laki-laki sudah bisa sama. Saat ini perempuan diberi ruang atau kesempatan untuk

ambil bagian di gereja. Selain itu juga memiliki kesempatan untuk bersuara di dalam

rapat-rapat. Ia juga termasuk terlibat dalam komisi peribadatan.”105

Begitu pula wawancara dengan Ibu Na : “Iya sudah mendapatkan kesempatan yang

sama.”106

Penuturan Ibu Mi dalam wawancara : “Perempuan di gereja semakin menyenangkan,

pintar-pintar, perempuan dan laki-laki sudah tidak ada beda ketika melakukan tugas

pelayanan.“107

104
Hasil wawancara dengan Ibu Es, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
105
Hasil wawancara dengan Ibu Ma, Minggu 15 Juni 2014 pkl 15.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
106
Hasil wawancara dengan Ibu Na, Minggu 06 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

74
Pak Aj juga berpendapat: “Di gereja sudah bagus. GKJ sudah ada pemetaan istilah

majelis perempuan, penatua perempuan. Dahulu memang di dominasi oleh laki-laki.

Sekarang dengan majunya perkembangan zaman perempuan sudah banyak yang ikut

berperan. Selain itu juga, di komisi-komisi banyak perempuan yang berperan. Bahkan

istrinya terus menerus yang menjadi majelis, sementara ia belum pernah menjadi

majelis.”108

Begitu pula denga Pak Yo mengatakan bahwa: “Seiring dengan berkembangnya

paradigma berpikir seharusnya sudah tidak ada lagi untuk meragukan kopetesi

perempuan. Sudah sewajarnya bagaimana menemukan potensi dalam diri perempuan

dan mengembangkan kopetensi itu sehingga perempuan bisa menjadi mitra dalam

pelayanan dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konteks GKJ, telah

memberikan ruang kepada perempuan. Namun, terkadang perempuan tidak percaya

diri, tidak bisa bicara, dan hanya bersikap nerimo. Perempuan tidak mau

meningkatkan potensi dalam dirinya.” 109

Dalam wawancara dengan Pak Su menuturkan : “Gereja memberi kesempatan kepada

perempuan untuk ikut terlibat dalam pelayanan di gereja, dan juga adanya kerinduan

dari jemaat untuk ingin dilayani oleh perempuan.”110

Hal yang tidak jauh berbeda juga di ungkapkan oleh Pak Bu berpendapat : “

Perempuan perlu terlibat di dalam gereja, karena gereja bukan hanya milik laki-laki.

Dahulu laki-laki banyak yang merasa superior. Yesus turun dengan wujud laki-laki.

Nabi dan rasul juga banyak yang laki-laki. Hal ini membuat jugment yang dirasa valit

bahwa laki-laki superior, sementara perempuan inferior. Pada awal peradaban

107
Hasil wawancara dengan Ibu Mi, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)
108
Hasil wawancara dengan Pak AJ, Selasa 03 Juli 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Cungkup)
109
Hasil wawancara dengan Pak Yo, Jumat 04 Juli 2014 pkl 11.00 WIB (Lokasi sektor Jetis)
110
Hasil wawancara dengan Pak Su, Minggu 15 Juni 2014 pkl 17.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

75
manusia juga, banyak laki-laki yang lebih berperan, mereka punya fisik dan power

yang kuat. Namun karena perkembangan zaman membuat laki-laki menyadari bahwa

perempuan juga bisa punya peran yang sama. Dan esensi agama itu kan tidak

mendiskriminasi. Maka saat ini Gereja Kristen membuka lebar bagi perempuan untuk

berperan ambil bagian dalam berbagai posisi di gereja. Namun memang prosesnya

berjalan sangat lamban.”111

Sedangkan menurut Pak Ye : “Walaupun ada budaya kanca wingking itu sudah

berkembang lama. Sekarang dipandang dari segi firman Tuhan bahwa menggangap

perempuan kanca wingking itu tidak disukai Tuhan. Sebab, kehadiran perempuan

dalam kehidupan laki-laki adalah melengkapi kekurangan dan hal-hal yang tidak bisa

di lakukan atau dimiliki oleh laki-laki. Budaya patriarki bisa diubah. Hal ini tidak

menjadi tabu untuk zaman sekarang. Justru dalam banyak hal, kalau bisa kanca

wingking bisa di rubah menjadi kanca ngereb. Justu malah menjadi juru mudi atau

supir. Dalam banyak hal, justru perempuan yang lebih menentukan. Sebelum Kartini,

banyak perempuan tidak di hargai sebagai teman hidup tetapi hanya sebagai teman

belakang. Kalaupun waktu itu perempuan bersuara hanya dianggap angin lalu.

Dengan dimulainya perjuangan Kartini, perempuan tidak bisa lagi dianggap nomor

dua. Kalau bisa perempuanlah yang didepan. Gereja menyadari potensi-potensi yang

ada di dalam diri perempuan itu sangat perlu di manfaatkan. Pernah satu kali memilih

ketua majelis itu perempuan. Di blok ketuanya perempuan, majelis perempuan.”112

Dari hasil teknik pengambilan data penelitian melalui wawancara maupun FGD yang

dilakukan di atas, sebetulnya kedua teknik tersebut juga berfungsi untuk menjelaskan

hasil dari teknik pengumpulan data dan analisa data dokumen tentang alasan yang

111
Hasil wawancara dengan Pak Bu, Minggu 15 Juni 2014 pkl 11.00. WIB
112
Hasil wawancara dengan Pak Ye, Minggu 15 Juni 2014 pkl 16.00 WIB (Lokasi sektor Kemiri)

76
mendorong perempuan berkarir. Menurut penulis, keterlibatan perempuan di dalam

pelayanan di gereja amatlah sangat penting. Perempuan dan laki-laki diharapkan

dapat menjadi mitra sejajar dalam melakasanakan tugas pelayanan. Sebab perempuan

dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk dapat dikembangkan dalam pelayanan

dan kepemimpinan di gereja.

Hasil dari wawancara maupun FGD yang dilakukan memang sesuai dengan yang ada

dalam teori, kenyataan menunjukkan bahwa GKJ Salatiga sudah berusaha

menerapkan kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan dalam kepemimpinan

di gereja. Dikatakan juga bahwa banyak perempuan yang perperan penting di gereja.

Saat ini perempuan diberi kesempatan untuk bersuara dalam rapat-rapat, menjadi

majelis, menjadi ketua komisi, dan ketua bidang. Perempuan di gereja semakin cerdas

dan menyenangkan.

Saat ini GKJ Salatiga sudah berusaha menerapkan kesetaraan jender antara

perempuan dan laki-laki dalam kepemimpinan di gereja. Jender menurut Oakley

dalam bukunya yang berjudul Sex, Jenderand Society memaknai jender sebagai

perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan.113

Perbedaan biologis seks (jenis kelamin) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya

secara permanen dan universal berbeda. Dalam Women’s Studies Encyclopedia

disebutkan bahwa jender merupakan suatu konsep kultural yang dipakai untuk

membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki

dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.114 Pendapat lain mengatakan

bawa jender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,

hak, tangung jawab, dan perilaku yang dibetuk oleh tata nilai sosial, budaya dan

113
A. Oakley, Sex, Gender and Society. (New York: Harper Colophon 1972).
114
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.............................................................................8

77
adat istiadat.115 Mansour Fakih juga berpendapat mengenai jender yaitu suatu sifat

yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial

maupun kultural.116 Caplan juga sependapat dengan Fakih, dalam The Cultural

Contruction of Sexuality ia menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki

dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial kultural.117

Selanjutnya Santrock mengemukakan bahwa istilah jender mengacu pada dimensi

sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.118 Selain itu, istilah jender merujuk

pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan

perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada

perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan kultural tentang apa

artinya menjadi laki-laki atau perempuan.119 Baron juga mengartikan bahwa jender

merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu sebagai

seorang laki-laki atau perempuan.120

Keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan di gereja, sangatlah membawa dampak

yang sangat baik. Kini gereja tidak lagi melihat perempuan berdasarkan fisik atau

jenis kelaminnya, tetapi lebih melihat kepada potensi yang dimiliki oleh kaum

perempuan. Bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama

dalam pelayanan di gereja. Gereja sudah berusaha memberikan peluang sebesar-

besarnya bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam kepemimpinan di Gereja Kristen

Jawa Salatiga. Perempuan dan laki-laki, kini menjadi mitra sejajar dalam

kepemimpinan dan pelayanan di gereja.

115
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung : PT Refika Aditama,
2012). Hlm, 76.
116
Mansour Fakih, Analisis Jender & Transformasi Sosial.................................................................. 8.
117
Mansour Fakih, Analisis Jender & Transformasi Sosial .....................................................................72
118
J.W. Santrock, Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup. (Jakarta : Bandung, 2003). Hlm, 365.
119
A. Rahmawati, 2004, Presepsi Remaja tentang Konsep maskulin dan Feminim Dilihat dari Beberapa Latar
Belakangnya. Skripsi pada Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI. (Bandung : Tidak Diterbitkan).
Hlm, 19.
120
A. R. Baron (Alih Bahasa Ratna Juwita). (2000). Psikologi Sosial. Bandung : Khazanah Intelektual). Hlm,
188.

78
Rangkuman

Dalam konteks GKJ Salatiga, laki-laki dan perempuan yang telah berkeluarga mereka

rata-rata bekerja (berkarir). Perempuan dan laki-laki dalam keluarga di GKJ Salatiga

sama-sama maju mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam

menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir, perempuan

sering menghadapi berbagai hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan-

hambatan yang dihadapi kebanyakan berasal dari dalam rumah tangga, misalnya

perempuan bertangung jawab terhadap keluarga, urusan rumah tangga dan juga

karirnya. Berbeda dengan laki-laki, mereka hanya bertangung jawab atas urusan

mencari nafkah dan membantu istri semampu atau sebisa mereka.

Berbagai alasan yang medorong seorang perempuan berkarir yaitu adanya keinginan

perempuan untuk membantu suami mencari nafkah. Supaya bertambah sumber

finansial bagi keberlangsungan hidup anggota keluarganya, meringankan beban

rumah tangga dan juga perempuan ingin memiliki pendapatan sendiri. Ketika

perempuan berkarir, itu juga sebagai bentuk aktualisasi diri perempuan, untuk

pengembangan kemampuan dalam menambah wawasan serta keterampilan, hiburan

untuk keluar rumah, mendapat banyak teman, dan perempuan tidak hanya fokus di

rumah saja. Alasan lainnya perempuan berkarir yaitu ingin mengaplikasikan ilmu

yang didapat dan tidak mau menyia-nyiakan pendidikan yang telah ditempuh selama

ini.

Perempuan dan laki-laki telah mendapatkan kesempatan yang sama di segala aspek

kehidupan. Perempuan sudah mendapatkan peluang yang cukup besar untuk berkarir.

Batasan-batasan untuk perempuan sudah tidak ada lagi. Perempuan sudah punya

79
kesempatan yang sama, terutama bagi perempuan yang ekonominya pas-pasan. Tugas

antara perempuan dan laki-laki tidak lagi diberikan berdasarkan jender. Keikut sertaan

perempuan dalam pekerjaan itu adalah untuk saling melengkapi. Walapun perempuan

telah mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki, tetapi masih saja ada stigma

dari masyarakat yang menganggap bahwa perempuan hanya dianggap sebagai nomor

dua dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu tidak punya peran yang berarti dan

dianggap sebagai kaum yang tidak penting. Masih terdapat pengotak-kotakanperan,

peminggiran, perlakuan tidak menyenangkan masih kerap menimpa perempuan ketika

berkarir, kadang juga hanya di pandang sebelah mata dan terabaikan.

Aspek pengasuhan anak menjadi hambatan perempuan karir di dalam rumah tangga.

Sulitnya ketika anak di bawah usia lima tahun, karena membutuhkan perawatan yang

intensif. Kesulitan perempuan membagi waktu antara urusan rumah tangga, keluarga

dan pekerjaan. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan orang lain, banya

hal yang terbengkalai, hasil pekerjaan kurang maksimal. Apalagi jika anggota

keluarga ada yang sakit, pekerjaan kantor yang mungkin belum selesai atau harus

menenuhi target dan masalah yang berkaitan dengan kodrat.

Perempuan berusaha mengatur diri dan waktunya dengan baik, dalam pekerjaan

maupun di keluarga. Berusaha meminta bantuan anggota keluarga yang lainnya untuk

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selain itu perempuan juga tidak lupa berdoa

dalam mengatasi hambatan-hambatan yang di alaminya.

Pada umumnya perempuan mengalami dilema, stres dan kelelahan. Ketika anak-anak

protes, ini bisa membuat perempuan down. Selain itu merasa jenuh dan malas dalam

bekerja.

80
Dalam realita, ada keterlibatan anggota keluarga dalam mengerjakan pekerjaan rumah

tangga. Sementara itu anak-anak juga turut dilibatkan dalam mengerjakan urusan

rumah tangga, walaupun hanya sebatas bantu-bantu misalnya menyuci piring,

merapikan kamar, menyuci mobil, dan menyapu rumah. Para perempuan juga

berusaha mendidik anak-anak sejak usia dini, supaya ketika dewasa mereka dapat

mandiri dan bertangung jawab atas diri sendiri. Meskipu ternyata masih ada anggota

keluarga yang tidak mau terlibat atau dilibatkan dalam urusan mengerjakan pekerjaan

rumah tangga dengan alasan bahwa semua anaknya adalah laki-laki. Selain membantu

mengerjakan pekerjaan rumah tangga, anggota keluarga juga mendukung perempuan

dalam berkarir, misalnya dengan mengantar atau menjemput istri, dan memberikan

semangat.

GKJ Salatiga sudah berusaha menerapkan kesetaraan jender antara laki-laki dan

perempuan dalam kepemimpinan di gereja, meskipun belum maksimal. Dikatakan

juga bahwa banyak perempuan diberi kesempatan untuk bersuara dalam rapat-rapat,

menjadi majelis, menjadi ketua komisi, dan ketua bidang.

81

Anda mungkin juga menyukai