MAKALAH
Dosen pengampu :
Disusun oleh :
Kelompok 6
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SASTRA SUNDA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
memberikan berbagai nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, karena dengan
dengan semua itu kami dapat menyeleasaikan makalah ini dengan baik.
Dengan adanya makalah ini kami berharap semoga dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya berupa bertambahnya
wawasan dan ilmu pengetahuan. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu , kami
mengharapkan kritik dan sarannya agar dapat memperbaiki kekurangan
yang ada.
Kami ucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Asep Yusup
Hudayat S.S.,M.A. yang telah membimbing kami dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini , sehingga dapat
diselesaikan dengan tepat waktu.
i
DAFTAR ISI
ii
2.1.2 Estetika Resepsi Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan:
Kajian Hans Robert Jauss (Desy Kusumawati) ............................................ 51
Lampiran ...................................................................................................... 70
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.1 Pengantar
1
Scmitz (2007:87) mengemukakan bahwa studi tentang resepsi sastra membuat
teori bahwa pembaca harus dikembalikan haknya. Suatu karya sastra tidak bisa
disamakan keberadaannya dengan objek material seperti sebuah meja. Karya sastra
hanya bisa disamakan dengan not musik yang hanya akan diubah menjadi musik
ketika ia dimainkan. Secara analogis, teks sastra hanya akan memiliki eksistensi
yang nyata sampai seorang pembaca membacanya dan mengkongkritkannya dalam
proses membaca yang dilakukannya.
Tokoh yang perlu disebut di sini ialah Mukarovsky, dengan judul bukunya,
yaitu dimaksudkan Aesthetic Function, Norm, and Value as Social Facts. Menurut
beliau, estetika resepsi adalah fungsi-fungsi estetis yang berhubungan dengan nilai
sebagai fakta-fakta sosial. Norma estetis adalah regulator terhadap fungsi estetis itu
sendiri, aturan yang bergerak secara terus menerus dan selalu diperbaharui. Oleh
karena itu, dalam karya seni norma estetis biasanya dilanggar.
Menurut (Pradopo dkk., 2001:108) resepsi sastra secara singkat dapat disebut
sebagai suatu aliran yang meneliti sastra yang bertitik tolak pada reaksi pembaca
atau tanggapan pembaca terhadap teks sastra.
2
memperkaya karya sastra itu. Di sini sudah cukup jelas bahwa teori resepsi ini
mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan
menilai sebuah karya sastra. Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca”
memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat
memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Tanggapan ada
dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif.
Pasif maksudnya adalah bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya
sastra, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang
bersifat aktif, yaitu bagaimana pembaca “merealisasikan” karya sastra tersebut.
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi
dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut.
Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan
golongan sosial budaya. Oleh karena itu, karya sastra tidak sama pembacaan,
pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan
masyarakat tertentu. Hal ini perlu di sadari bahwa fakta keragaman interpretasi
terhadap karya sastra menurut peran aktif pembaca sebagai kekuatan pembentuk
sejarah ( Jaus, 1974 :12 ). Kehidupan historis sebuah karya sastra akan mengalami
stagnasi bila tanpa keterlibatan ( partisipasi aktif ) pembaca. Partisipasi aktif itulah
yang membuat dinamis sejarah sastra.
Ada dua hal yang membuat perbedaan pemahaman pembaca terhadap karya
sastra, yaitu :
3
Munculnya tempat kosong dalam tek di karenakan sifat karya sastra yang
asimetri, tidak berimbang antara teks dengan pembaca. Selain itu, ketaksaan
bahasa sastra menimbulkan banyak penafsiran. Aktifitas pembaca menuntut
usaha menjembati kesenjangan antara teks dengan pembaca. Apabila
kesenjangan itu dapat di atasi dengan pembaca, terjadilah komunikasi (dialog)
antara teks dengan pembaca.
2. Horison harapan
Dengan demikian, nilai suatu karya sastra terletak pada “bertemu atau
tidaknya” karya sastra dengan horison harapan masyarakan pada saat karya
sastra itu ditulis atau diterbitkan. Ada tiga horison harapan masyarakat, yaitu:
(1) Horison zaman, yakti harapan zaman karya sastra yang ditulis
(2) Horison teks, yakni harapan bahwa semua teks karya sastra menyerupai satu
teks naskah standar, dan
(3) Horison kepengarangan, yakni harapan yng di dasarkan bahwa satu aspek
kreativitas pengarang dan aspek ini dijadikan standar.
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam
bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa
sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti
dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan
4
sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir
memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari
pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan
moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan
permasalahan baru.
5
suatu karya sastra secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi diakronis
merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman.
Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan
dan memadai.
6
Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi,
digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan
tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti.
Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian
sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja.
Estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang
didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi pembaca terhadap karya sastra
karena karya sastra itu tidak lepas dari individu atau masyarakat.
Pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada 4 macam seperti
digambarkan oleh M.H Abrams, yaitu :
7
sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala
sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat
di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang
dituangkan dalam sebuah karya sastra.
2. Objektif/karya sastra, karya sastra tidak adalah alat pengungkapan
perasaan pengarang yang menjadi kreatifitasnya. karya sastra
menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu
menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia
hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga
jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tanpa tiruan dari alam
maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi
pembacanya. Karena rasa yang ada dalam jiwa pembaca itu karena
pembaca merasakannya di alam yaitu tempat manusia hidup.
3. Ekspresif/pengarang, adalah sebagai pembuat ide dan kreatifitas.
Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam
memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian
pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra. Maka faktor
mimetik dalam teori Abrams sangat berpengaruh dalam kesastraan
karena pengarang tidak akan mampu berkreatifitas tanpa adanya
tiruan yaitu alam semesta.
4. Pragmatik/pembaca, pembaca ketika melihat sebuah karya sastra
pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang
karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra
melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga
defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa
yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan
bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan
sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra
adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu
merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.
8
Sebuah karya sastra tidak akan mempunyai nilai tanpa adanya tanggapan dan
penilaian pembaca, karena itu faktor pragmatik juga sangat penting diterapkan yaitu
pada teori resepsi pembaca.
Dalam hubungan ini estetika resepsi itu termasuk pada orientasi pragmatik.
Karya sastra itu sangat erat hubunganya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu
ditujukan kepada pembaca, bagi kepentingan masyarakat pembaca. Disamping itu
pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra. Karya sastra itu tidak
mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya dan karya sastra akan
mempunyai nilai karena pembaca yang menilai.
Dalam hubunganya dengan resepsi atau tanggapan pembaca itu akan berbeda
beda tanggapannya karena pembaca mempunyai tangapan dan pemikiran sendiri
mengenai objeknya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya.
Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya
sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia
membacanya. Dalam arti, seorang pembaca mempunyai konsep tertentu tentang
sebuah karya sastra baik puisi, cerpen, novel, atau bentuk karya sastra lainnya.
Seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai
dengan pengertian sastra yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seseorang dengan orang lain itu
mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan
periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan
cakrawala harapan. Adapun cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya
sastra. Begitu juga halnya cakrawala harapan sebuah periode.
Sebuah karya sastra adalah wujud ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil
tidak disebutkan, begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita
atau masalah. Dengan demikian, setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan
tersebut.
Dalam teori estetika resepsi hal yang paling utama diperhatikan adalah
pembaca karya sastra yang berada diantara posisi segitiga pengarang, karya sastra,
dan masyarakat pembaca. Hal ini disebabkan oleh kehidupan historis sebuah karya
sastra tidak terfikirkan tanpa partisipasi para pembacanya.
9
Apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan
diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetika
terungkap. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang
memberikan wajah yang sama pada masing-masing pembaca disetiap periode.
10
sastra kehilangan otomatisasi (deotomatisasi) untuk dipahami oleh pembaca.
Pembaca dapat membuat tafsiran sendiri-sendiri karena pembaca tidak secara
otomatis atau langsung dapat menangkap makna teks tanpa tafsiran, ini
hubungannya dengan otomatisasi persepsi pembaca yaitu semua pembaca
mempunyai tafsirannya sendiri-sendiri secara berbeda.
Penilaian secara diakronis ini dapat dilakukan seperti yang telah disinggung
dalam fasal empat, yaitu dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca-
pembaca ahli sebagai wakil pembaca dari tiap periode. Misalnya saja, bila orang
akan meneliti konkretisasi dan nilai sajak Chairil Anwar, maka dapat diteliti
bagaimana resepsi pembaca semasa karya itu terbit, kemudian diteliti resepsi-
resepsi pada periode-periode selanjutnya, dan resepsi pada periode sekarang ini
terhadap karya-karya tersebut. Dengan demikian akan dapat diketahui atau
disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah karya sastra berdasarkan resepsi-
resepsi setiap periode itu. Dalam penelitian itu diteliti dasar-dasar apa yang
dipergunakan oleh pembaca disetiap periode ; norma-norma apa yang menjadi
dasar konkretisasinya ; dan diteliti kriteria apa yang menjadi dasar penilaiannya.
Bila sebuah karya sastra dapat diketahui dasar konkretisasinya dan penilainnya
disetiap periode yang dilaluinya, maka dapat disimpulkan nilai estetiknya sebagai
karyua seni sastra. Bila disetiap periode karya sastra tersebut mendapat nilai positif,
hal ini berarti karya sastra tersebut bernilai abadi, karya sastra tersebut bernilai
tinggi.
11
Teori resepsi antara lain di kembangkan oleh RT. Sugers dalam bukunya
Receptie Esthetika. (1978) Di dalam pengantarnya ia menulis: Aan het eind van de
jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie esthetika geintroduceerd” (RT,
Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi estetika telah diperkenalkan di Jerman
Barat pada akhir tahun 60-an. Ia menunjuk artikel artikel Roman Jacosbon:
“Lingisties and Poetis” (1960) yang berisi sebuah model komunikasi. Pada
penerbitan yang terdahulu D.W. Fokkema dkk. (1977) menyajikan “The Rezeption
of Literature:Theory and Practice of Rezeptionns aesthetik” dalam bab 5 bukunya
yang berjudul “The ories of Literature in The Twentieth Century”. Di dalam bab 5
mereka mengutip pendapat Lotman (1972) “In fact, the literary work consist of the
text (the system of intra-textual relations) in its relation to extra-textual reality: to
literary norms, tradition and the imagination”. Selanjutnya ia mengutip pendapat
Siegfried J. Schmidt (1973) “Reception (therefore) occurs as a process creating
meaning, which realizes the instruction given in the linguistic appearance of the
text” (D.W. Fokkema, 1977: 137).
Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar teori resepsi estetika yang
di letakan oleh Hans Robbert Jauss dan Wolfgang Iser. Menurut Jaus (1970) ada 3
dasar faktir-faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:
1) Pembaca sesungguhnya
Menurut Segers (1975) pembaca sesungguhnya termasuk kategori yang
paling mendapat perhatian, termasuk dengan teori esthetika.
2) Pembaca implisit
Menurut Isser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan yang
terletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi
pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen didalam teks yang
diberikan.
12
3) Pembaca eksplisit
Menurut Grim (1975) pembaca eksplisit dapat disebut juga pembaca fiktif
imaijner atau imanen.
Selanjutnya dikemukakan empat buah teori dan R.T. Seggers, G. de Vriend dan
Wolfgang Iser, H van den Bergh dan T. Anbeek.
R. T. Seegers mengemukakan tentang pembaca dan teks; bagan proses
komunikasi G. de vriend dan Wolfgang Iser mengutarakan teks fisional. H van den
Berg menyajikan pendekatan karya estetis problem genre. T. Anbeek mengutarakan
resepsi estetika dan resepsi sejarah. Di dalam penerapan disajikan pertanyaan
J.J.Kloek: Mungkinkah resepsi sejarah itu?
D. W. Fokkema dkk, didalam bab 5 Theoris of Literature in the Twentienth
Century mengutaraka diskusi teoritis, studi resepsi historis, studi resepsi impiris,
pembaca implisit dan pendekatan social politik.
Props di dalam Evan der starre dkk (1978) membicarakan paradigm dan resepsi
nasional. Pada tahun 1980 Rien T. Segers mengembangkan teori resepsinya dengan
judul Het LAazen van Literature sebuah pengantar pendekatan sastra secara baru.
Ia merumuskan teorinya dalam lima bab yaitu:
Di dalam prinsip ini dikemukakan pergeseran tekanan dalam studi sastra: dari
pengarang melalui teks ke arah pembaca; dua buah pengertian pusat yakni
cakrawala harapan dan tempat terbuka; penafsiran dan evaluasi; resepsi historis dan
kerja penelitian.
13
Didalam penjelasan dikemukakan resepsi sejarah; sinkronis dan diakronis;
penelitian cakrawala harapan; pertimbangan nilai pembaca tentang sastra modern
dan kade pengajaran sastra. Dalam masa depan dibicarakan penyelesaian teori
resepsi, perkembangan lebih lanjut penelitian praktis, kemungkinan penerapan
resepsi estetika, implikasi pendidikan sastra dan ke arah organisasi pengajaran dan
penelitian.
Pada tahun 1982 Hans Robert Jauss mengemukakan sisi pengalaman estetis di
dalam bukunya Aesthetic Experience and Literary Heurmeuneutis. Pada tahun
tahun 1984 A. Teuw didalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra
membicarakan teori Musarovskay, Vodieka, Jauss, dan Madame Bovary.
Dibicarakan pula masalah estetik dalam ilmu sastra, penerapan metode penelitian
resepsi sastra, penelitian resepsi; intertekstual penyadaran, dan penerjemahan.
Pada tahun 1984 karya Jan van Luxemburg dkk diterjemahkan Dick Hartoko
dengan judul pengantar ilmu sastra, resepsi dan penafsiran, estetika pembaca,
pengertian mengenai resepsi, dan sejarah resepsi.
Pada tahun 1985, Umar Junus menulis buku Resepsi Sastra. Di dalam buku itu
di bicarakan penulis dan karya, resepsi sastra, resepsi sastra da pendekatan-
pendakatan lain, resepsi sastra; Latar belakang teori dan kemungkinan
penggunaannya, problematik dan kritik
Ada juga pendekatan pragmatis menurut Abrams (1958: 14-21), pendekatan ini
memberikan perhatian utama terhadap pembaca dengan pergeseran dan fungsi-
14
fungsi baru pembaca. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan
pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan
pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca
tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun
diakronis.
15
karya yang lain yang berhubungan dengan karya sebelumnya dengan cara tertentu,
yang mungkin bertentangan, parodi, demitefikasi, dan sebagainya.
Karya sastra, lebih-lebih yang dianggap penting dari waktu ke waktu selalu
mendapat tanggapan dari pembaca. Tanggapan pembaca itu umumnya berbeda satu
sama lain. Hal ini selaras dengan pendapat Jauss (1974:14) yang menyatakan bahwa
karya sastra selalu memberikan wajah yang berbeda kepada pembaca yang lain,
selalu memberikan orkestrasi yang berbeda dari generasi yang satu ke generasi yang
lain/kemudian.
Perbedaan tanggapan seorang pembaca dan pembaca lain dari suatu periode ke
periode disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi.
Pertama, prinsip horizon harapan dan kedua prinsip tempat terbuka (Pradopo
1995:219). Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum
membaca karya sastra. Kalau wujud harapan pembaca itu kemudian sesuai dengan
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya, ia akan dengan mudah
menerimanya. Sebaliknya kalau tidak sama wujud harapannya ia akan mereaksinya,
baik dengan sikap antusias maupun sikap menolaknya. Jika sebuah karya sastra
akhirnya tidak ditanggapi oleh generasi berikutnya, karya itu hanya menjadi karya
masa lalu yang tidak mempunyai sejarah lagi.
Dalam metode resepsi sastra, tanggapan pembaca terhadap karya sastra diteliti.
Adapun pembaca yang dimaksud adalah pembaca aktif, yaitu pembaca yang
menanggapi karya sastra dengan sudut pandang tertentu secara tertulis. Mereka ini
memberikan komentar-komentar dan penilaian berdasarkan konkretisasi terhadap
karya sastra yang dibacanya (Vodika, 1964:78).
Dengan demikian, penelitian dengan metode resepsi sastra adalah
merekonstruksi macam konkretisasi karya sastra dalam masa sejarahnya dan
meneliti hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak, di lain pihak
meneliti hubungan antara karya sastra dengan konteks historis yang mewakili
konkretisasi-konkretisasi itu.
Estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena
berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari terutama dalam
kaitannya dengan reaksi pembaca, menurut Segers (dalam Hudayat 2013: 39).
Dengan begitu, resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh
16
pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak
kepada pembaca dengan memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam
arti luas resepsi didefenisikan sebagai pengolahan teks juga cara-cara pemberian
makna kepada karya sastra, sehingga memberikan respon terhadap pembaca. Teori
resepsi ini berasal dari bahasa Latin, yaitu recipere, dan bahasa Inggris, reception,
yang dapat diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca.
Menurut Iser akan muncul beberapa tipe pembaca yang berlainan ketika kritik
sastra membuat pernyataan tentang efek-efek karya sastra atau memberikan
tanggapan-tnggapan terhadapnya. Dalam hal ini secara umum akan muncul dua
kategori pembaca. Jika penekananya kepada sejarah tanggapan-tanggapan akan
muncul tipe pembaca pertama yang disebut the real reader (pembaca yang
sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat terdokumentasi, sementara itu, jika
penekannannya pada efek-efek potensial teks, maka yang muncul adalah
hypothetical reader (pembaca hipotesis).
Pembaca jenis ini terutama muncul dalam pengajian sejarah tanggapan-
tanggapan yakini ketika perhatian studi sastra di pusatkan pada cara karya sastra
diterima oleh masyarakat khusus yang termasuk dalam kategori pembaca.
Sebenarnya telah mendapatkan perhatian besar ini biasanya tanggapan pembaca
kontemporer dikaji dalam penelitian eksperimental, yang secara material berbeda
dengan pengkajian terhadap pembaca ideal dan pembaca tersirat.
Menurut Segers (1978; 52) pembaca sebenarnya ini tercukupi oleh struktur arti
individual yang di hadirkan oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca sebenarnya
ini lebih penting untuk estetika resepsi daripada jenis pembaca ideal atau pembaca
tersirat. Apalgi jika ingat bahwa menurut Iser penilaian-penilaian ataupun
mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma
pembaca. Dengan demikian karya sastra dapat dikatakan sebagai cermin kode
kultural yang mengkondisikan penilain-penilain tersebut.
Rekontruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada
kelestarian dokumen-dokumen masa kini. Makin jauh kita kembali ke masa lalu
(misalnya melampaui abad ke 18) di temukan sebagai konsekuensinya, rekontruksi
tersebut sangat sangat tergantung pada apa yang dapat di kumpulkan dari karya itu
sendiri. menjadi masalah di sini adalah apakah suatu rekontruksi berkaitan dengan
17
pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mempresentasikan peran
dimana pengarang mengharapkan pembaca beransumsi.
Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin
telah diperhitungkan jenis pembaca hipotetis ini sering dibagi menjadi dua; idea
reader (pembaca idea)dan contemporery reader (pembaca kontemporer atau
pembaca masa kini). Pembaca ideatidak dapat di katakan berada keberadaannya
secara objektif. Pembaca kontemporer, walaupun tidak ada keraguan di dalamnya,
sulit untuk dibentuk dalam wujud sebuah generasi.
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe; suatu yang real dan historis, dan
kedua yang hipotesis yang real dan historis, tergambar dari keberadaan dokumen-
dokumen sementara. Sementara itu dua yang hipotesis pertama terkontruksi dari
pengetahuan sosial dan historis. Suatu waktu dan dari peran pembaca yang di
tetapkan tersimpan di dalam teks yang hampir berlawanan secara diametris dengan
pembaca kontemporer adalah pembaca ideal.
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca ideal tergambar
walaupun banyak sekali yang dapat di katakan untuk memklaim bahwa pembaca
ideal cenderung muncul bahwa pembaca ideal cenderung muncul dari otak.
Penilaian pengkritik mungkin secara baik terarah dan tersaing melalui berbagai teks
yang berhadapan dengannya, ia tidak menyisakan (menetapkan?)apa pun lebih dari
pada seorang seorang pembaca terpelajar. Jika hanya seorang pembaca ideal adalah
sebuah ketidakmungkinan struktural sejauh komunikasi sastra di perhatikan.
Pembaca ideal merupakan sebuah kontruksi hipotesis yang dibentuk oleh
seorang kritikus (teoritikus) dalam proses interpretasi. Pembaca jenis ini mengkin
dibentuk oleh seorang penulis misalnya ketika ia merencanakan alur. Segers (1978:
50) menyamakan konsep pembaca ideal ini dengan onsep super reader Riffaterre.
Seorang pembaca ideal harus memiliki sebuah ode yang identik dengan kode
pengarang. Para pengarang bagaimanapun, secara umum mengodekan kembali
kodekode umum (yang berlaku) dalam teks mereka, dan dengan demikian, pembaca
ideal akan juga menjadi sangat berlebihan (tidak berguna) karena seseorang hanya
mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri mungkin menjadi pembaca idealnya sendiri,
seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan pada penulis yang mereka
18
sangat sulit membuat pernyataan apapun tentang dampak penggunaan teks-teks
mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa refensial tentang
maksud-maksud merreka,strategi-strategi mereka, kontruksi-kontruksi mereka,
disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang akan menjadi valid bagi masyarakat yang
mereka coba arahkan.
Kapan pun pengarang kembali menjadi pembaca karyanya sendir, ia harus
kembali pada ode yang telah dikodekan dalam karyanyaa. Dengan kata lain,
meskipun secara teoritas hanya pengarang yang mungkin menjadi pembaca ideal
karena ia memiliki pengalaman tentang yang ditulisnya—kenyataannya. Tidaklah
perlu ia menduplikat dirinya sendiri menjadi pengarang dan pembaca idal. Dengan
demikian, ideal tentang seorang pembaca ideal dalam kasus pengarang itu adalah
berlebihan (tidak berguna).
Konsep pembaca ideal tidak sama dengan konsep pembaca kontemporer.
Pembaca ideal benar-benar fiktif. Ia tidak berbasis pada kenyataan. Oleh karena itu,
konsep itu justru sangat berguna. Sebagai sesuatu yang fiktif keberadaanya, ia dapat
mempersempit jarak yang tetap muncul dalam analisis tentang efek-efek dan
respons-respons sastra yang dimana pun. Ia dapat memberikan bantuan dengan satu
keanekaragaman kualitas dalam kaitannya dengan problem mana pun yang
memerlukan bantuan penyesuaian.
Supperreader (pembaca canggih) adalah kelompok imforman yang selallu
muncul bersama-sama pada isyarat dalam teks,dan dengan demikian, terbentuk
melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik.
Supperreader seperti hal nya tongkat pendeteksi yang digunakan untuk menemukan
kadar potensi makna yang dikodekan teks. Dalam hal ini Riffeterre berharap dapat
mengeliminasi tingkat variasi yang tak terlelakan, yang muncul dari disposisi
subjektif pembaca individual. Ia mencoba mengobjektivikasikan gaya, atau fakta
stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa.
Titik terpanting dari konsep Riffaterre ini adalah bahwa fakta stilistik hanya
dapat dilihat oleh subjek yang merasakannya. Sebagai konsekuensinya,
ketidakmungkinan dasar dalam performalan kontras intratekstual
memanifestasikan diri sendiri sebagai sebuah efek yang hanya dapat dialami olem
pembaca. Dengan demikian Supperreader Riffaterre merupakan sebuah sarana
19
untuk mengetahui fakta stilitistik, tetapi karena ketiadaan referensinya. Konsep ini
menunjukan bagaimana sangat diperlukannya pembaca untuk memformalkan fakta
stilistik. Konsep ini menunjukkan bahwa kualitas tidak dapat lagi menunjukkan
sesuatu dengan tepat secara ekslusif (terpisah) dengan instrumen-intrumen
linguistik.
Informed reader (pembaca mahatahu) fish adalah 1). Seorang pembiluar
pembangunan teks, 2). Orang yang memiliki keseluruhan pengetahuan senmatik
yang matang. Yang di bawa pendengar yang bertugas memahaminya, 3). Orang
yang memiliki kompetisi kesastraan. Pembaca yang tanggapan-tanggapannya saya
(fish) katakan adalah informed reader, bukan suatu abstraksi ataupun pembaca
aktual, tetapi sebuah cangkokan –seorang pembaca sebenarnya (saya,(fish),pen).
Yang melakukan apapun dengan kekuatannya untuk membuat dirinya informed
(mengetahui). Pembaca jenis ini, dengan demikian harus tidak hanya memiliki
kompetisi, yang diperlukakn tetapi juga harus mengobservasi reaksi-reaksinya
sendiri selama proses aktualisasi, untuk mengontrolnya. Observasi ini perlu karna
fish mendasarakan konsepnya pada tetaba hasa transpormasi genereatif, dan karna
kenyataan, ia tidak dapat mengambil beberapa konsekuensi yang inheren dalam
model itu.
Fish membiarkan model transformasional pada titik yang penting, baik untuk
model itu dan untuk konsepnya. Menurut iser model itu telah patah ketika
bersentuhan dengan satu di antara semua tugas sangat penting “ proses
pengklarifikasian teks sastra sebuah tindakan yang akan menjadi pemiskinan secara
fantastis jika merenduksi istilah-istilah tata bahasa sama sekali. Konsep itu juga
kehilangan bingkai acuan dan berubah menjadi sebuah dalil yang sangat sulit di
konsolidasikan. Konsep informed reader juga menunjukan secara jelas.
Keterbatasan cakupan model transformasional gramatikalnya. Model itu mulai dari
model tata bahasa, justifikasinnya mengabaikan model pada titik waktu utama,
tetapi hanya dapat menimbulkan sebuah pengalaman yang, meskipun tak terbantah,
mengisahkan hal yang tak tercapai teoritikus. Meskipun demikian menurut iser,
konsep fish ini lebih jelas daripada konsep supper reader. Riffaterre.
Intented reader wolff menunjuk pada perangkat rekontruksi pikiran pembaca
yang da dalam pikiran pengarang. Pembaca jenis ini juga fiktif. Ciri fiktif ini
20
memungkinkannya merekontruksi masyarakat yang ining di tuju oleh pengarang
intented reader ini penandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi hal ini belum
identik dengan peran pembaca. Menurut iser, konsep ini hanya merupakan salah
satu perspektif (terdapat empat perspektif utama) “ narator, karakter, plot, dan
pembaca fiktif”, tidak dapat mengedepankan lebih dari satu aspek peran pembaca.
Ini juga satu kelemahan.
Dalam meresepsi sebuah karya sastra, bukan hanya makna tunggal, tetapi
memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu. Hubungan teks sastra
dengan pembaca menunjukkan adanya sinyal, di mana teks satra merupakan hasil
sikap, perasaan dan kemampuan penulis memberikan sinyal bagi pembaca. Agar
sinyal tersebut dapat diterima dengan baik, maka diperlukan teori yang dapat
mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan pembaca.
Penelitian resepsi hadir karena teks sastra bersifat dinamis, berubah-ubah
sesuai pembacanya. Pada saat pembaca menerima berbagai perspektif yang
ditawarkan oleh teks dan mengaitkan berbagai pola dan pandangan antara satu
dengan yang lainnya, ini berarti teks sastra bermakna bergantung pada pembacanya.
Karena dalam pembacaan karya sastra juga, akan menimbulkan reaksi dan
pemahaman yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian pada teks sastra.
Dengan begitu, partisipasi pembaca dalam pemaknaan teks memang sangat
diharapkan, karena sebuah teks sastra memungkinkan terdapat ruang-ruang kosong
yang dapat diisi oleh pembaca dengan pemahamannya sendiri.
Estetika resepsi dianggap sebagai teori yang dominan pada tahun 1970-an,
beberapa ahli menyebutkan dominasi estetika resepsi diakibatkan oleh
pertimbangan bahwa estetika resepsi dianggap sebagai jalan keluar munculnya
kesadaran bahwa karya sastra dapat berkembang dengan adanya kompetensi
pembaca, kesadaran bahwa adanya makna yang terkandung dalam hubungan
ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca. Selain karena estetika resepsi
dianggap relevan, dominasi teori ini juga terjadi berkat adanya kesadaran
keterlibatan pembacalah yang membuat multikulturalisme dalam karya sastra bisa
digali secara maksilam, bukan dari sisi penulis. Estetika resepsi dibedakan menjadi
dua bentuk, a) resepsi sinkronik, yang meneliti karya sastra dalam hubungannya
dengan pembaca sezaman dan b) resepsi diakronik, di mana penelitian ini
21
melibatkan pembaca sepanjang sejarah sehingga memerlukan data dokumenter
yang memadai dalam penggunaannya.
Meskipun resepsi sastra secara singkat menikberatkan kepada pemberian
tanggapan dan efek dari pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya, bukan
berarti pembaca hanya sekedar membaca lalu memberikan reaksi terhadap apa yang
dibacanya, di dalamnya juga sudah disertai dengan penafsiran. Walaupun terdapat
perbedaan antara resepsi dan penafsiran, seperti yang dikemukakan oleh
Luxemburg, dkk (1984: 62) , bahwa penafsiran cenderung lebih teoritis dan
sistematis sehingga masuk ke dalam wilayah kritik sastra, tetapi kegiatan
mengkritik sebuah karya sastra juga termasuk dalam pemberian reaksi atas proses
pembacaannya di dalamnya, sehingga resepsi dan penafsiran saling berhubungan
satu dengan yang lainnya.
Dalam Hudayat (103: 44), proses pembacaan diarahkan kepada bagaimana
pembaca zaman sekarang bisa memandang dan memahami karya tersebut.
Pemahaman pembaca pasti berbeda sesuai dengan horizon harapan pembacanya
sendiri. Hal serupa juga dikemukakan oleh Jauzz yang menganggap bahwa estetika
resepsi sangat cocok diteliti dalam karya sastra yang beragam karena akan terjadi
pertemuan antara masa lampau karya sastra dengan kekinian masing-masing
penulis.
Seiring dengan perkembangannya muncul beberapa tokoh yang memaparkan
pendapatnya mengenai estetika resepsi, salah satunya yang paling terkenal adalah
Hans Robert Jaus (1982) dengan bukunya yang berjudul Toward an Aesthetic of
Reception dan Wolfgang Iser dengan bukunya yang berjudul The Act of Reading
(1987) dan The Implied Reader (1980) juga ikut serta memberikan pendapatnya
mengenai pentingnya peranan pembaca dalam suatu karya. Kedua tokoh tersebut
menjadi dikenal sebagai pencetus teori estetika resepsi. Tetapi walaupun begitu,
terdapat perbedaan pendapat antara keduanya. Jauss lebih menunjukan kepada
proses penelitian sejarah sastra dan juga pada hasil pembacaan, dengan kata lain,
karya sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan
implikasi historis, sedangkan Iser lebih bersifat umum dan terkonsentrasi pada
proses pembacaan.
22
1.2.2 Titik Pijar Pemikiran Hans Robert Jauss
Pemikiran Hans Robert Jauss mengemuka terutama setelah buku karyanya
berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary Theory (1970) terbit. Dalam
buku ini, Jauss berusaha fokus pada sebuah konsep penerimaan sebuah teks. Minat
utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu
tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi
pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun
waktu berbeda.
Dalam rekam biografinya, Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra
Perancis abad pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam
bisang sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk
masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam arti ada nilai-
nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu
Jauss memperkenalkan konsep yang sangat mashur yaitu Horizon Harapan
(Horizon of Expectation) yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan
pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.
Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum
membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang
dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk
masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas
ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi
dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan
kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca
dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses
tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
23
sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari
pengetahuannya tentang kehidupan.
Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari
persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan
ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam
masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan
antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan
historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan
menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya
sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca
mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif
menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang
mendominasi.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh
tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca
24
oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang
telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya
kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra
maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.
Pendekatan teori respsi sastra Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal
ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang
memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana
seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna
tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada
kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan.
Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini
mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang
mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya.
Pendekatan Jauss ini memberikan kerangka bagi perkembangan sastra karena
pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas
kesan seperti yang diasumsikan oleh Iser.
1.2.3 Titik Pijar Pemikiran Wolfgang Iser
Tokoh satu ini juga digolongkan sebagai aliran Konstanz Jerman. Dia
memperoleh gelar PhD dari Universitas Heidelberg, Jerman. Berbeda dari Jauss
yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya
kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetikan pengolahan).
Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual,
melainkan pembaca implisit. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaca
implisit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya
komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang
diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu
dengan cara tertentu.
Teori Resepsi Iser tertuang dalam bukunya berjudul The Act of Reading: a
Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang
menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra,
sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi
terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca
25
adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah
menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra,
melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek
skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan
konkretisasti (realisasi makna teks oleh pembaca).
Iser menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik
dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik
merupakan realisasinya yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar
terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur
bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur
bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur
yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar
menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama
belum ada efeknya bagi pembaca (Iser, 1978: 20-21). Oleh karena itu penelitian
perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca,
yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa
membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukanlah sesuatu
yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik, dapat berubah-ubah sesuai
dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwa totalitas makna
teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan
suatu prakondisi penting bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri
pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal
baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis
sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman
yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan
bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di luar teks.
Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya
mengenai pembaca implisit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca
lainnya.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya
mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis dan pembaca
26
potensial atau pembaca yang diandaikan oleh pengarang. Diandaikan bahwa
pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah
konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-
kode pengarang.
Iser mengemukakan pendapatnya tentang pembacaan karya sastra dalam
kaitannya dengan psikologi Norman Holland dan Lesser dalam bukunya The Act of
Reading. Menurut Iser, pengungkapan pendapat kedua tokoh itu dalam rangka
mengkritisi konsep psikologinya, karena membingungkan, terutama dalam
membuat kategorisasi-kategirisasi (contohnya tentang Superego, Ego, dann Id). Iser
juga menganggap bahwa konsep psikologi Holland dan Lesser masih ortodoks
(tradisional) dan ada kecenderungan dapat mendistorsi pengkategorisasiannya.
Selain itu, Iser (1987: 39) memandang bahwa konsep psikoanalisis kedua tokoh itu
hanyalah sebagai alat untuk mensistematisasi/ mengkategorisasi, bukan untuk
mengeksplorasi teks. Dengan demikian, Iser memandang konsep psikologi Holland
dan Lesser justru menghambat (mendistorsi) pembaca dalam upaya merespons
(mengkonkretisasi) teks sastra “ …Holland and Lesser use psychoanalytical
terminology as reified concepts and consequently hinder rather than help the
attempt to describe reactions to literature (Iser, 1987: 39)”
27
will seen relatively one-sided…. There are certain interactions between text and
reader that fail…” Sebagaimana Lesser yang memandang bahwa teks sastra
memiliki lapis-lapis makna dari overdetermination (ketidakfamiliaran), Iser pun
demikian. Akan tetapi, bagi Iser, Lesser sudah mengabaikan (to have overlooked)
overdetermination dalam teks sastra sebagai sebuah fakta yang penting. Bagi Iser,
Overdetermination memproduksi tingkatan-tingkatan makna yang berbeda-beda
dan diperlukan oleh pembaca dalam upaya menghubung-hubungkan antartingkatan
makna itu sehingga dapat dibentuk makna yang komprehensif. Pembaca melakukan
proses tindakan aktif dalam upaya membangun makna teks sastra. Lesser bagi Iser
tidak melihat proses tersebut. Oleh karena itu, bagi Iser, konsep emotif Lesser,
dipandang memposisikan pembaca sebagai pihak yang pasif (in fact, he seems to
regard the reader solely as a passive recipient (Iser, 1987: 49).
28
Dalam Sya’adah (2017:20) Konsep dialektika respon estetik, interaksinya dapat
dicermati melalui pengertian implied reader, literary repertoar, dan literary
strategies. Implied reader merupakan model, rol, standpoint yang membuat
pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Literary repertoar
merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk
membaca yang dihadirkan oleh teks serta merupakan semua wilayah familiar dalam
teks berupa acuan pada karya-karya yang ada lebih dahulu. Literary strategies
digunakan untuk defamilirisasi dan mengkomunikasikan teks dengan pembacanya
tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan primary code kepada
pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang
bervariasi. Iser mengatakan pokok dari membaca karya sastra adalah interaksi
antara sturkturnya dan penerimanya. Di mana teks itu sendiri hanya menawarkan
pada aspek ‘skematis’ dapat dipakai untuk memproduksi sbjek permasalahan karya,
sedangkan produksi aktual terjadi melalui tindak konkretisasi. Sehingga karya
sastra memiliki dua kutub, artistik dan estetik, di mana kutub artistik, yaitu teks
pembaca, sedangkan kutub estetik yaitu realisasi yang disempurnakan oleh
pembaca.
29
1.2.6 Konsep Respons Estetik
Menurut Iser (1987:69) situasi merupakan sarana yang mempertemukan antara
teks dan pembaca. Peran pembaca dapat dipenuhi melalui cara-cara yang berbeda
yang memungkinkan adanya cara-cara pemenuhan yang berbeda pula. Pembaca
yang dimaksud oleh Iser adalah Implied Reader (pembaca tersirat). Dengan kata
lain, pembaca yang diciptakan oleh teks itu sendiri yang sangat memungkinkan
pembaca dalam membaca teks itu dengan cara tertentu. Implied Reader yang
diistilahkan oleh Iser (1987:34) merupakan suatu kosep yang akar-akarnya tertanam
di dalam strutur teks. Ia mengejawantahkan semua propensitas-propensitas yang
diperlukan agar karya kesusastraan dapat memberi efek. Propensitas-propensitas
yang ditetapkan bukan oleh suatu realitas luas empiris, melainkan oleh teks itu
sendiri. Dengan demikian, dalam hal kepentingan telaah respons estetik medan
implied reader menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam pembicaraan efek teks
bagi pembaca.
Iser membekali pembaca dalam proses pembacaan terhadap suatu karya sastra
yang disebut konsep dialektika respons estetik (Iser 1987:20 dan 54), di mana ia
mengemukakan beberapa pendapatnya yaitu (1) Implied reader, (2) Literary
repertoire, dan (3) Literary Strategies. Secara umum ketiganya menunjukkan usaha
agar pembaca dapat dengan mudah memahami teks walau dengan berbagai variasi,
teks dipahami dengan latar belakang sosial, historis, dan budaya yang sama
sehingga teks dengan mudah dipahami, tetapi juga tidak menuntut agar pembaca
memiliki tanggapan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, Iser juga
memberikan seperangkat alat pembacaannya yaitu menyangkut repertoar dan
startegi pembaca karena pada dasarnya pembaca dalam menghadapi karya sastra
telah membawa sejumlah bakal pengetahuan dan pengalaman. Bekal pengetahuan
pembaca dikenal dengan istilah literary repertoar (Iser, 1987:69) mengistilahkan
konsep ini dengan “gudang pengalaman.”
30
Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang
menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian
interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra
selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh
bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil
membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis,
perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan
strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga
terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan
akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga
akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, strukturalisme semiotik,
strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi.
31
Namun analisis Jakobson dan Levi Strauss mendapat kritikan dari Riffaterre,
Riffeterre mengungkapkan bahwa Jakobson dan Strauss menggunakan konsep
super-reader, yang artinya adalah pembaca ideal yang baginya tersedia semua
arti, konotasi dan asosiasi kata-kata yang terdapat dalam puisi tertentu, ditambah
dengan seluruh puisi sebelumnya plus segala interpretasi sebuah sajak paling-paling
dapat merupakan pendekatan interpretasi yang tidak akan pernah mencapai taraf
yang sempurna.
Pergeseran minat peneliti dari struktur ke arah tanggapan pembaca telah mulai
berlangsung sekitar tahun 1960-an dalam strukturalisme Praha. Namun konsep-
konsep yang memadai tentang teori resepsi sastra baru ditemukan tahun 1970-an
(Teeuw, 1984:186). Menurut Segers (dalam Imran, 2001:108), peletak dasar resepsi
sastra adalah Mukarovsky. Mukarovsky lahir di Bohemia (1891-1975). Sebagai
pengikut strukturalisme Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari
struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme
dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis
dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh,
penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia
melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya sastra
sebagai fakta transindividual. Dengan kata lain, karya sastra harus dipahami dalam
kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu.
32
Gagasan Mukarovsky dikembangkan oleh Felix Vodicka yang menjelaskan
bahwa makna sebuah karya sastra tidak diberikan secara objektif, melainkan
melalui proses konkretisasi yang diadakan secara terusmenerus oleh pembaca
dalam waktu yang berbeda-beda menurut situasinya. Selanjutnya gagasan-gagasan
pokok dan mendasar tentang teori resepsi sastra ini dikemukakan oleh Hans Robert
Jauss dan Wolfgang Iser, masing-masing dalam bukunya yang berjudul Literatur
geschichte als Provokation dan Die Appel-struktur der Texts. Jauss memusatkan
perhatian pada pembaca dalam rangkaian sejarah, sedangkan Iser pada karya sastra
sebagai komunikasi, pada pengaruh yang ditimbulkannya, bukan sematamata pada
arti karya. Konsep terpenting Jauss adalah horison ekspektasi
(krwartungswawasant) sedangkan Iser adalah indeterminasi atau ruang kosong
(leerstellen).
Dalam teori pertama pembaca belum memperoleh tempat yang memadai sebab
karya sastralah yang menjadi pusat perhatian, sedangkan pengarang dengan sengaja
diingkari, Dalam teori yang kedualah, yaitu strukturalisme Praha terjadi pergeseran
yang sangat signifikan, dengan menunjuk pada karya-karya Mukarovsky yang
kemudian dilanjutkan oleh Vodicka. Dengan kata lain, resepsi sastra muncul karena
stagnasi analisis intrinsik selama hampir setengah abad sejak awal abad ke-20.
Resepsi sastra dapat dilakukan dengan konkretisasi, yaitu mengadakan perbedaan
antara fungsi yang diintensikan dan fungsi yang direalisasikan. Fungsi pertama
harus ditentukan terlebih dahulu, yaitu untuk menemukan maksud pengarang yang
sesungguhnya, baru kemudian dicari fungsi yang kedua yaitu reaksi pembaca
terhadap karya sastra yang dapat diteliti secara empiris.
33
1.3.2 Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang
terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman. Teori ini
menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan atau
penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi,
strukturalisme Praha, dan hermeneutika. Untuk memahami latar belakang teori-
teori resepsi, terlebih dahulu dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang
berperan mendorongtumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama
fenomenologi dah hermeunetika. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl
sebagai aliran filsafat yang menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara
dan diberi kesempatan memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis
yang sebenarnya adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan
sifat-sifat universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam
kesadaran kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan
berdasarkan pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu.
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori resepsi sastra oleh
Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana sarjana dari Jerman.
Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo
Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap
34
karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui
pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga
merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam
penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi
dasar teori resepsi sastra.
Teori resepsi antara lain dikembangkan oleh RT. Segers dalam bukunya
Receptie Esthetika (1978). Di dalam pengantarnya ia menulis: Aanhet eind van de
jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie esthetika geintroduceerd" (RT.
Segers, 1978:9). Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi
estetika yang diletakkan oleh Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser. Menurut Jauss
(1975:204) dalam Pradopo dkk. (2001:109), dalam memberikan sambutan terhadap
suatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh wawasan ekspektasi (wawasan of
expectation) yang merupakan interaksi antara karya sastra di satu pihak dan sistem
interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak. Konsep wawasan ini menjadi
dasar teori Jauss yang ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma umum
yang terpencar dari teks-teks yang telah dibaca pembaca, (2) pengetahuan dan
pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya, (3)
kontradiksi antara fiksi dengan kenyataan.
35
Menurut Luxemburg (1984:76) dalam (Ratna, 2011:325), pembaca karya sastra
dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) pembaca di dalam teks, dan (2) pembaca
di luar teks. Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu (1) pembaca implisit, dan
(2) pembaca eksplisit. Adapun, pembaca di luar teks dibedakan menjadi dua, yaitu
(1) pembaca yang diandaikan, dan (2) pembaca yang sesungguhnya. Menurut Iser
(1987:30-31) dalam Ratna (2011:325), pembaca implisit mengacu kepada
partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh
pengarang. Sebaliknya, pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara
langsung. Pembaca yang diandaikan adalah pembaca yang berada di luar teks,
pembaca yang seharusnya disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan
membaca suatu karya oleh pengarang. Pembaca yang sesungguhnya merupakan
objek eksperimental.
36
terpenting di sini yaitu aktivitas pembaca itu sendiri, sedangkan Iser (1) lebih
terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu
mengatakanannya secara aktif, dan (2) karya memiliki peranan yang cukup besar.
Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri.
Di Amerika Serikat, diskusi yang sangat hangat mengenai karya Iser dipicu
oleh fakta bahwa pada sekitar waktu yang sama ketika the Constance School
menjelaskan posisinya di Jerman, gerakan yang sama di Amerika merebak yakni
peranan tindakan membaca lebih penting dalam penginterprsian sastra. Kita harus
membahas sedikit mengenai sejarah pendekatan ini di Amerika agar dapat
memahami mengapa pendekatan ini sangat menarik. Sejak perang dunia II, praktek
penginterpretasian karya sastra di sekolah dan universitas Amerika telah didominasi
oleh oleh suatu pendekatan yang disebut “new criticism” yang muncul di era tahun
1920-an dan 1930-an. Pendekatan ini secara empatik mengklaim bahwa karya
sastra seni dianggap sebagai kesatuan organik yang bagian-bagiannya berbeda
berada dalam harmoni satu sama lain. Tugas interpreterlah untuk mengenali dan
mengekspresikan harmoni ini. Untuk mencapai tujuan ini kritik baru mengisolasi
teks dari lingkungan sekitarnya, seperti sejarah, biografi, sosial atau politik.
Pengisolasian ini menghasilkan slogan “hanya kata-kata di atas kertas” (Scmitz,
2007:91).
Esei yang ditulis oleh William K. Wimsatt (1907-75) dan Monroe Beardsley
(1915-85) mendefinisikan “affective fallacy” [379.21-39] menjadi kritik sastra
klasik di Amerika. Namun, Fish (b.1938) menentang Wimsatt dan Beardsley, dan
ia membentuk metodologinya sendiri untuk menginterpretasi teks sastra yang
secara provokatif disebutnya “affective stylistic”. Dengan menganalisis satu
kalimat dari karya Thomas Browne (1605-82), Fish mendemonstrasikan bagaimana
pengalaman pembaca menjadi hasil ekspektasi yang dicetuskan, dipenuhi atau
ditolak, dimodifikasi atau diadaptasi sewaktu ia membaca setiap kata dalam kalimat
yang ada dalam suatu karya sastra. Metodologi Fish terdiri dari perlambatan proses
membaca yang biasanya tak bisa dipersepsi oleh pembaca, akan terlihat dan
teranalisis (Scmitz, 2007:92).
37
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Fish dan kritikus sastra lainnya untuk
menentang ortodoksi New Criticism berhasil walaupun sebenarnya New Criticism
terhubung dengan pemertahanan otonomi estetika dan perlawanan kajian sastra
melawan campur tangan ilmu-ilmu yang beragam (Culler, 1982:17) sehingga
membuat perhatian tercurah lebih banyak pada pembaca dan tindakan membaca.
Namun, gerakan ini menuntun pada konsekuensi berbeda dengan yang ada di
Jerman, posisi teoritis berbeda memonopoli perhatian publik di Amerika: daripada
mememberi perhatian penuh pada estetika sastra yang sedang bergerak maju,
mayoritas kritikus Amerika memilih kritik respon pembaca. Salah satu kontributor
yang paling utama ialah Barthes yang menulis mengenai “kematian pengarang” dan
mengklaim bahwa kematian di sini berarti kebebasan bagi pembaca; inilah yang
menjadi inti dari hubungan antara kritik respon pembaca dengan teori dekonstruksi
seperti yang diajukan oleh Culler [69.31-83]. Kaum feminis yang berpijak pada
kritik sastra tertarik pada pengujian aspek pembaca feminin. Pendekatan psikologis
dan psikoanalisis menggali hubungan antara pengalaman membaca dan penciptaan
identitas pribadi (Scmitz, 2007:94).
Teori sastra Jauss bergerak diantara teori sastra Marxisme dan Formalisme
Rusia. Teori sastra Marxisme dipandang terlalu banyak menekankan sisi fungsi
sosial dan kurang memperhatikan sisi estetik karya tersebut, di sisi lain, formalisme
Rusia dianggap terlalu menekankan nilai estetik karya sastra sehingga mengabaikan
fungsi sosial sastra. Jauss berusaha untuk menjembatani kedua teori sastra tersebut,
yaitu menggabungkan antara sejarah dan nilai estetik sastra. Dengan kata lain, karya
sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi
histories. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan
karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul karena
perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.
The Constance School tidak begitu tertarik pada pendekatan empiris teori
resepsi sastra. Malahan mereka memposisikan diri dengan apa yang disebut estetika
38
resepsi. Fokus utamanya bukanlah pembaca historis individual (atau kolektif),
namun fokusnya ialah cara-cara teks berinteraksi dengan penerimanya, dan
memindahkan makna dan peran potensialnya kepada pembaca. Jauss mengkritik
metode sejarah sastra konvensional yang hanya menghasilkan catatan biografi
singkat, deskripsi dari karya individual, dan penilaian sastra. Kemudian Jauss
menawarkan cara baru menulis sejarah sastra yang mempertimbangkan bahwa
karya sastra tidak muncul secara magis pada panggung kosong namun dibingkai
oleh konteks sastra pada masanya. Ketika seorang pembaca membuka sebuah
novel, ia telah membaca novel-novel lain dan membangun asumsi tertentu apakah
isi novel itu dan bagaimana seharusnya sebuah novel; teks yang baru tersebut akan
dibaca dan dipahami melawan asumsi yang ia bangun sebelumnya. Inilah yang
disebut oleh Jauss sebagai “wawasan ekspektasi” yang ia definisikan sebagai sistem
objektif dari ekspektasi yang muncul bagi tiap karya pada momen historis
kemunculannya’ dari pra-pemahaman genre, dari bentuk dan tema karya yang
sudah akrab dengan pembaca, dan dari pertentangan antara bahasa puitis dan bahasa
praktis. Hal tersebut dilakukan hanya dengan membandingkan karya individual
dengan latar belakang sejarahnya sehingga kita dapat menilai posisinya dalam
sistem puitis, sastra, dan estetis di masanya: apa hubungannya dengan asumsi pra-
kemunculan? Apakah sebuah karya individual mengisi asumsi tersebut, ataukah
berkontradiksi, sehingga memodifikasi dan memperluas wawasan ekspektasi
karya-karya yang akan datang?
39
Selain itu, kontribusi Jauss dalam bukunya yang berjudul Toward an Aesthetic
of Reception (1982:20-45) dalam Endraswara (2011:123-124) adalah mengenalkan
tujuh tesis tentang wawasan ekspektasi pembaca sebagai berikut :
1. Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna sama,
seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi
yang tertutup. Pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya
sastra sesuai dengan pengalaman pembacaan masing-masing pembaca.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh
wawasan-wawasan ekspektasi, pengalaman kesastraan dan wawasan
ekspektasi pembaca, kritikus, dan pengarang.
5. Teori penerimaan estetik tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk
karya sastra menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut pembaca agar
memasukkan karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal
posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
40
6. Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi
historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka
seseorang dapat menggunakan perpektif sinkronis untuk menggambarkan
persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni
sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan
lebih mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem
sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang
tak dapat dipisahkan.
41
berpartisipasi dan menangkap pandangan yang dihasilkan teks. Iser menyebut
aspek sastra ini Appelstruktur (indeterminasi (indeterminacy)) yang berarti teks
yang menarik bagi pembaca. Berikut ini beberapa kemungkinan indeterminasi
tersebut:
3) Karya sastra modern sering memiliki akhir yang ‘terbuka’ yang tidak
memecahkan semua misteri yang ada dan membiarkan pertanyaanpertanyaan
pembaca tak terjawab (Scmitz, 2007:90).
42
menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia
berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dan lain-lain.
1.3.4 Filsafat
Filsafat adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani kuno yakni
philosophia dan philopsophos yang mempunyai arti orang yang cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Dalam filsafat, kegiatan mencintai
pengetahuan atau kebijaksanaan itu dilakukan dengan mempertanyakan sesuatu
secara mendasar dan menyeluruh titik filsafat dipahami sebagai upaya terus-
menerus mencari pengetahuan dan kebenaran. Atas pertanyaan-pertanyaan itu
dilakukan secara terus-menerus Karena itulah sering disebut juga bahwa filsafat itu
adalah sebuah tanda tanya bukan tanda seru yang artinya adalah filsafat sebagai
upaya pencarian akan kebijaksanaan atau pencarian pengetahuan yang tidak pernah
selesai.
Fenomenologi adalah salah satu landasan filsafat yang digunakan di teori
resepsi sastra atau salah satu filsafat yang memengaruhi teori tersebut. Lantas apa
itu fenomonologi?
Edmund Gustav Albrecht Husserl atau yang lebih akrab kita kenal sebagai
Edmund Husserl adalah tokoh yang mempelopori fenomenologi. Karya-karyanya
meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya,
dan mengutamakan pengalaman subjektif sebagai sumber dari semua pengetahuan
kita tentang fenomena tertentu.
Fenomenologi adalah sebuah disiplin ilmu yang meletakkan perhatiannya pada
studi atas penampakkan, akuisisi pengalaman, dan kesadaran. Fenomenologi dalam
43
arti singkatnya bisa disebt sebagai studi ilmu mengenai pengalaman dan bagaimana
pengalaman tersebut terbentuk. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
subjektif dan intensionalitasnya. Studi fenomenologi didasarkan pada premis
konsepsi, bahwa realitas terdii atas objek dan penampakan realitas yang diserap
atau dimengerti oleh kesadaran. Dalam konsep Husserl, fenomenologi berpusat
pada sistem refleksi sistematis dan studi struktur kesadaran dan fenomena yang
tampak pada pikiran.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa fenomenologi bisa mewakili
horizon harapan yang dikemukakan oleh Jauss, dimana Jauss mengemukakakn
bahwa horizon harapan pembaca bisa dipengaruhi oleh pengalaman pembaca secara
subjektif, contoh gilanya adalah jika menurut si pembaca rasa sakit itu
menyenangkan maka itu sah-sah saja bukan? Karena pengalaman si pembacalah
yang membentuk pikiran seperti itu, dan hal tersebut (subjektivitas pengalaman
pembaca) akan berhubungan dengan sebuah teori dari Hans Georg Gadamer.
Gadamer adalah seorang lulusan Universitas Breslau, Marburg, Freiburg dan
Munich, meraih gelar doctor pada umur 22 tahun, pemikiran-pemikiran Gadamer
dipengaruhi oleh Martin Heidegger. Wajar saja, karena Gadamer menjadi asisten
Martin di Universita Leipzig pada tahun 1939, dan pada tahun 1947 menjadi guru
besar di Heidelberg dan pada masa yang sama pula Gadamer menulis bukunya yang
berjudul Wahrheit und Methode (truth and method,1960) buku ini adalah isi
kritikan terhadap Dilthey dan Husserl.
Hermeneutik Gadamer menggunakan duan konsep, yaitu konsep fenomenologi
Husserl dan eksistensialisme Heidegger dengan bertolak dari situasi kini dan
disini(konteks). Gadamer menolak asumsi cita-cita untuk “kembali ke teks dan
pengarang asli” yang dikemukakan oleh Schleiermacher. Gadamer juga menolak
konsep tentang objektivitas penafsiran yang dikemukakan oleh Schleiermacher dan
Dilthey, maka menurut Gadamer adalah si pembuat teks dan si penafsir berada
dalam dua kondisi yang berbeda atau latar belakang budaya dan historis yang
berbeda pula. Perbedaan antara lingkungan sosial dan budaya inilah yang nantinya
akan menimbulkan praduga yang berbeda-beda, sehingga antara subjek dengan teks
berada dalam dua horizon dan tradisi yang berbeda pula.
44
Untuk memahami teks, menurut Gadamer, seseorang harus melakukan
peleburan horizon (fusi horizon) melalui dialog dengan menggunakan bahasa
sebagai mediasi(Gadamer, 1960:273,237). Peleburan horizon itu apat dicapai
melalui dialog dan membandingkan berbagai penafsiran sehingga dengan
pertemuan horizon (horizon pembuat dan horizon penafsir) kita menemukan suatu
yang baru yang berbeda dengan sebelumnya . Fusi horizon ini menjadi titk tolak
bagi Gadamer untuk menafsirkan teks, karena makna teks baru muncul ketika teks
dan penafsir terlibat sebuah dialog (Percakapan Hermeneutis ) yang berakhir
dengan peleburan kedua cakrawala.
SUBJEK TEKS
MAKNA
45
dari aturan-aturan atau metode. Hermeneutika, dengan demikian tujuannya tidak
memproduksi makna si penulis atau pembuat teks seperti dikemukakan
Scheleiermacher dan Dilthey, melainkan untuk menciptakan makna baru dengan
upaya dialog antara 2 horizon itu atau 2 nilai-nilai dan pandangan dengan peleburan
dua horizon itu. (analisis hermeneutika filosofis gadamer atas proses pemahaman
ini memberikan landasan filosofis dan implikasi bagi ilmu-ilmu humaniora).
Sementara itu ada tiga hal penting dalam pemikiran hermeneutika gadamer
yaitu:
Adapun dalam menafsirkan satu teks, ada tiga hal penting yang harus
dipertimbangkan yaitu:
46
2. Bagaimana komposisi tata bahasa teks, bagaimana menyatakannya
dan apa yang dinyatakannya.
3. Bagaimana keseluruhan teks (pandangan dunia nya)
Jika kita cermati, sering sekali perbedaan pendapat dan penafsiran dipengaruhi
oleh ketiga aspek ini (Muhsin, 1992).
Merujuk dari pemahaman diatas maka dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra
menggunakan fenomenologi Husserl dan Hermeneutik Gadamer merujuk kepada
Jauss, sudah dipastikan bahwa Jauss sedikit banyak dipengaruhi oleh filsafat
hermeneutiknya Gadamer dan Heidegger, Karena Jauss sendiri pernah menimba
ilmu di universitas Heidelberg yang mana pada saat itu Gadamer menjadi guru besar
di Heidelberg, hal tersebut terjadi pada tahun 1948.
Adapun ketersangkutan Jauss dan Husserl tidak secara langsung melainkan
melalui Gadamer, hal ini mungkin saja terjadi karena Gadamer sendiri pernah
mengkritik Husserl lewat bukunya. Maka bisa saja Jauss pun mengikuti jejak
gurunya.
47
BAB II
1. Tujuan penelitian
Tujuan penulisan artikel ilmiah dengan analisis estetika resepsi produktif pada
genre Soneta ini adalah untuk mendeskripsikan reaksi aktif pembaca Indonesia,
termasuk di dalamnya para penyair sastra Indonesia modern terhadap genre Soneta
dalam satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya, serta memahami arti
pergeseran setiap kurun waktunya sepanjang Abad XX. Setelah diamati selintas,
ternyata sambutan pembaca sastra Indonesia terhadap Soneta cukup meriah dengan
ditandai oleh banyaknya Soneta yang ditulis, sejak tahun 1920an hingga kini. Hal
ini akan dibuktikan dengan dasar pijakan kerangka teori analisis tentang estetika
resepsi berikut.
2. Landasan teori
Ada dua hal yang membuat perbedaan pemahaman pembaca terhadap karya
sastra yaitu (1) pengisian tempat kosong, dan (2) horison harapan. Bagian-bagian
yang tidak ditentukan di dalam teks, disebut "tempat kosong". Munculnya tempat
48
kosong dalam teks dikarenakan sifat karya sastra yang asimetri, tidak berimbang
antara teks dengan pembaca. Selain itu, ketaksaan bahasa sastra menimbulkan
banyak penafsiran.
(1) Pada awal masa pertumbuhan wanita di Indonesia, yaitu Soneta era pra
pujangga baru, penulisan Soneta masih mendasarkan pada konvensi
penulisan Soneta di barat dengan orientasi mengacu pada Soneta Soneta
angkatan 80 Negeri Belanda. Pemrakarsa penulisan Soneta di Indonesia
pada masa ini adalah Muhammad Yamin kemudian diikuti oleh Rustam
Effendi, Muhammad Hatta, dan Sanusi pane.
(2) Soneta era pujangga baru dapat dikatakan sebagai masa perkembangan
resepsi produktif Soneta di Indonesia. pada masa itu banyak diproduksi
Soneta dengan mengandalkan kekuatan estetika pantun dan syair. Variasi
bentuk dan isi masih dekat (tidak menyimpang jauh) dengan Soneta asalnya,
49
yaitu Soneta barat. Penyair-penyair kelahiran pulau Sumatera yang sangat
mendominasi penulisan Soneta era pujangga baru. Ali Hasymy adalah
penyair yang paling banyak menulis Soneta pada waktu itu. Umumnya
Soneta era pujangga baru banyak yang bersifat romantik.
(3) Penulisan Soneta era angkatan 66 tidak sebanyak masa penulisan Soneta era
pujangga baru. Wing Kardjo penulis sajak soneta yang paling produktif dan
baru disiarkan secara luas pada tahun 1997. Pada umumnya Soneta pada era
ini telah menyimpang dari Soneta asli di Barat. Keterikatan pada Soneta
hanya pada judul sajak dan jumlah larik sebanyak 14 baris. Era angkatan 66
ini boleh dikatakan sebagai era pergeseran penulis Soneta, yaitu dari
dominasi Pulau Sumatera ke pulau Jawa
(4) Tiga penyair angkatan 66, yaitu Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Eka
Budianta, bersama-sama menulis sajak dengan menggunakan alat ekspresi
yang disebut Soneta. Soneta yang mereka gunakan cukup unik dengan
ditandai oleh judul sajak dan jumlah larik sebanyak 14 baris. Dua hal itu
dapat dipakai sebagai tanda bahwa sajak tersebut dinamakan Soneta. Ajip
Rosidi masih membagi-bagi sajaknya ke dalam bait-bait seperti lazimnya
Soneta Italia, dua quatrain dan dua terzina. Namun, Soneta karya Ajip
Rosidi sudah tidak memiliki pola rima akhir yang lazim dimiliki oleh Soneta
barat maupun Soneta karya penyair pujangga baru. Sapardi Djoko Damono
dan Eka Budianta sudah tidak memperdulikan pola bait dan pola rima akhir
yang lazim dalam penulisan Soneta. Sajak yang ditulis oleh Sapardi dan Eka
hanya terdiri atas 1 bait, yaitu 14 larik yang menyuarakan satu pokok
pikiran, tentang pencarian jati diri.
(5) Pola estetika Soneta barat dan Soneta masa pujangga baru pada Soneta
ketiga penyair yang berasal dari angkatan 66 itu telah bergeser. Mereka
tidak lagi mengandalkan kekuatan estetika pantun karmina, ataupun syair
kedalam Soneta yang mereka produksi. Irama persajakan mereka lebih
dinamis karena memadukan estetika sajak bebas dengan warna lokal daerah
masing-masing. Sapardi lebih memilih kekuatan estetika mantra ke dalam
Sonetanya. Ajip Rosidi meskipun masih menggunakan pola bait Soneta,
tetapi ia mampu memadukannya dengan warna nyanyian dangding Sunda
50
dan geguritan Jawa. Eka Budianta lebih memilih pada kekuatan estetika
sajak bebas dengan memadukan kidungan Jula Juli ludruk Jawa Timur.
Mereka tampaknya sepakat bahwa Soneta adalah saja 14 larik yang
menyuarakan satu pokok pikiran atau perasaan, tanpa memperhatikan
aturan yang lainnya.
(6) Adanya pengaruh globalisasi dan era pasar bebas di abad ilmu pengetahuan
dan teknologi ini memungkinkan mereka mencari jati dirinya. Agar kita
tidak terlihat cerah boot dari akar tradisi dan akar kebudayaan daerahnya
sendiri, mereka harus menemukan jati dirinya, baik jati dirinya sendiri
maupun jati diri sebagai suatu bangsa. Persoalan pencarian jati diri akan
tetap aktual sepanjang manusia dalam situasi krisis. Mereka dalam situasi
krisis menghadapi abad ilmu pengetahuan dan teknologi, pasar bebas, dan
era globalisasi. Perpaduan antara warna lokal daerah dan tidak menolak
modernisme yang dipilih Eka Budianta. Sapardi dan ajip Rosidi tampaknya
tidak berani memilih dan hanya melontarkan pertanyaan. Jawaban dari
pertanyaan itu terserah kepada pembaca.
2.1.2 Estetika Resepsi Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan:
Kajian Hans Robert Jauss (Desy Kusumawati)
1. Tujuan penelitian
51
bekal pengetahuan pembaca yang dimiliki sebelumnya atas karya sastra yang
dinilainya. Dengan demikian, estetika resepsi adab sebuah karya sastra dipengaruhi
oleh horizon harapan pembacanya.
Dalam penelitian ini, tanggapan pembaca yang akan menjadi sumber data
penelitian merupakan tanggapan pembaca atas novel cantik itu Luka karya Eka
Kurniawan. Novel tersebut diambil dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pertama, novel tersebut yang memiliki keterikatan dengan teori estetika resepsi
yang berdasarkan tujuh tesisnya dalam karya sastra akan lahirnya sejarah sastra.
Selain itu novel tersebut sudah dibaca sekian ribu orang sebagaimana data dalam
tautan Goodreads.
Kedua, novel yang telah mengalami cetak ulang dari tahun 2002 ke 2017 yang
sebagaimana data dalam tautan detik.hot bahwa novel cantik itu Luka karya Eka
Kurniawan yang diterbitkan oleh penerbit AKY Press, penerbit jendela dan
Gramedia pustaka utama. Sebagaimana data medium.com yang menyatakan bahwa
novel cantik itu Luka di tahun 2017 merupakan cetakan ulang yang ke-13 kalinya
dengan cover baru.
Ketiga, novel yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa selain bahasa
Indonesia yang sebagaimana data dalam tautan jurnal ruang dan detikhot bahwa
novel cantik itu Luka telah diterjemahkan dalam bahasa sebanyak 34 bahasa.
2. Landasan Teori
1. Pengalaman pembaca
Pembaruan sejarah sastra menuntut penghapusan prasangka
objektivisme historis dan landasan estetika tradisional produksi dan
representasi dalam estetika penerimaan dan pengaruh.
52
2. Horizon harapan
Analisis pengalaman sastra pembaca menghindari jebakan psikologi
yang mengancam jika menggambarkan penerimaan dan pengaruh suatu
karya dalam sistem ekspektasi yang objektif yang meningkat untuk
setiap karya pada momen historis kemunculannya.
3. Jarak estetik
Jarak estetika dapat di objektifikasi secara historis di sepanjang
spektrum reaksi auditions dan penilaian kritik.
4. Semangat zaman
Pendekatan ini memperbaiki sebagian besar norma yang tidak diakui
dari klasik atau memodern kan pemahaman seni dan menghindari Jalan
melingkar ke semangat zaman umum.
5. Rangkaian sastra
Dengan kata lain, pekerjaan selanjutnya dapat memecahkan masalah
formal dan moral yang ditinggalkan oleh pekerjaan terakhir dan
menghadirkan masalah baru secara bergantian
6. Perspektif diakronik sinkronik
Berdasarkan prinsip presentasi sejarah sastra baru ini dapat
dikembangkan, jika penampang lebih lanjut secara diakronik perubahan
dalam struktur sastra pada saat-saat pembuatannya (jauss, 1983:36).
7. Sejarah sastra umum
Fungsi sosial seni memanifestasikan dirinya dalam kemungkinan yang
asli hanya di mana pengalaman seni pembaca masuk ke dalam
cakrawala harapan dari praksisnya yang hidup, melakukan
pemahamannya tentang dunia, dan dengan demikian juga memiliki dan
mempengaruhi perilaku sosialnya (jauss, 1983:39).
53
(universalitas) dengan perolehan standar deviasi 0,685. Jumlah standar deviasinya
sebanyak 15,742 dan penentuan keseluruhan standar deviasi yaitu 0,787. Kriteria
kegembiraan, karakteristik tokoh khayalan/image, dapat dipercaya, konflik,
kesederhanaan dan teknik narasi kategori tinggi dinilai oleh pembaca. Kriteria
ironis, ketertarikan, dapat dipahami, struktur, gaya bahasa, perspektif baru, minat
lanjut kategori sedang. Kriteria yang dinilai rendah yaitu gagasan/tema utama.
1. Latar belakang
Karya sastra ialah karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan
manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni) hasilnya
berupa karya sastra, misalnya novel, puisi, cerita pendek, drama, dan lain-lain,
sedang ilmu sastra mempunyai ciri-ciri keilmuan, yaitu objek, teori, dan metode.
artinya, sastra dapat berlaku sebagai objek atau subjek penelitian (noor,2009:9).
Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam
bentuk karya itu disebut karya sastra sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang
menyelidiki karya sastra ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan
terhadap karya sastra dan gejala sastra. Dalam ilmu sastra terdapat disiplin ilmu
yaitu, teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. ketiga bidang tersebut saling
membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti
halnya kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori sastra dan
salah satu teori sastra adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi sastra
adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra.
54
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Resepsi
sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra
dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara
pembaca satu dengan yang lain.
2. Tujuan penelitian
3. Metode penelitian
4. Landasan teori
1. Resepsi sastra
Bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat
melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya, atau mungkin juga bersifat
aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi
55
sastra mempunyai lapangan yang luas dengan berbagai kemungkinan
penggunaan.
Penelitian skripsi resepsi pembaca terhadap cerpen “Remon” karya
Kajii Motojiro menggunakan pendekatan eksperimental karena peneliti
memberikan teks cerpen. Halo memberikan pertanyaan melalui kuesioner
untuk dijawab oleh responden, dan terakhir tanggapan atau jawabannya
dianalisis oleh peneliti.
2. Sosiologi sastra
Resepsi sastra memiliki kaitan dengan sosiologi sastra karena keduanya
memanfaatkan masyarakat pembaca. Kaitan resepsi sastra dengan sosiologi
sastra terjadi dengan masyarakat biasa, dengan pembaca konkret, bukan
dengan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra (intrinsik). Menurut
Ratna (2009:168), resepsi sastra memberikan perhatian pada aspek estetika,
bagaimana karya sastra ditanggapi dan kemudian diolah, sedangkan
sosiologi sastra memberikan perhatian pada sifat hubungan dan saling
mempengaruhi antara sastra dengan masyarakat.
Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga
perspektif, yaitu:
1) Perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis teks sebagai
sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya
dipotong-potong, diklasifikasikan, dan di jelaskan makna sosiologisnya.
2) Perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan Life history seorang pengarang dan
latar belakang sosialnya. Memang analisis akan terbentur pada kendala jika
pengarang telah meninggal dunia, sehingga tak bisa diwawancara. Karena
itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukan bagi pengarang yang
masih hidup dan mudah terjangkau.
3) Perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan
masyarakat terhadap teks sastra (Endaswara, 2008:80-81). Peneliti
menggunakan perspektif yang ketiga dalam penelitian ini.
3. Teori struktural
56
Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme
adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh unsur
(pembangun)-nya. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu
pendekatan karya yang bersangkutan. struktur karya sastra juga
menyarankan pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang
bersifat timbal balik dan saling menentukan, saling mempengaruhi yang
secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Nurgiyantoro
(1995:23). Mengungkapkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Analisis struktural karya sastra, yang
dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan
mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang
bersangkutan.
57
Peneliti memberikan kuesioner secara acak kepada 20 mahasiswa S1 sastra
Jepang UI FIB Undip angkatan 2014, peneliti melakukan observasi dan wawancara
terlebih dahulu sebelum menyebarkan kuesioner. Observasi dilakukan saat kelas
Bun Pau angkatan 2014 yang terdiri dari beberapa kelas, observasi juga bertemu
langsung dengan responden. Wawancara langsung terhadap responden untuk
mencari tahu responden mereka terhadap karya-karya sastra. Setelah observasi dan
wawancara, penelitian ini dilakukan di tiga kelas yang berbeda.
58
kesulitan karena jawaban jawaban responden sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan
yang telah diberikan.
1. Tujuan Penelitian
2. Landasan teori
Perbedaan tanggapan seorang pembaca dan pembaca lain dari suatu periode ke
periode disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi.
Pertama, prinsip horison harapan dan kedua prinsip tempat terbuka (Pradopo
1995:219). Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum
membaca karya sastra. Kalau wujud harapan pembaca itu kemudian sesuai dengan
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya, dia akan dengan mudah
menerimanya. Sebaliknya kalau tidak sama wujud sarapannya ya kan mereaksi nya,
baik dengan sikap antusias maupun sikap menolaknya. Jika sebuah karya sastra
59
akhirnya tidak ditanggapi oleh generasi berikutnya, karya itu hanya menjadi karya
masa lalu yang tidak mempunyai sejarah lagi.
3. Hasil penelitian
1. Latar belakang
Tanggapan pembaca dalam membaca karya sastra mengalami perkembangan
dari masa ke masa. Perkembangan tanggapan pembaca ini lantas ada dalam karya
sastra beserta pembacanya dari masa ke masa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
60
Junus, bahwa keberadaan pembaca merupakan sisi lain Dunia penulis yang
menghasilkan karya sastra (1985:104)
Keberagaman tanggapan pembaca dalam membaca karya sastra ini lahir
keberagaman bekal pengetahuan pembaca. Keberagaman tersebut yang kita kenal
sebagai istilah estetika resepsi yang mulai meledak di Indonesia pada era 80-an.
Pradopo menjelaskan estetika resepsi sebagai suatu ilmu yang membahas tentang
keindahan yang didasarkan adanya tanggapan tanggapan atau resepsi persepsi
pembaca terhadap karya sastra (2012:206). Tanggapan atau resepsi pembaca lah
yang selanjutnya akan memberikan penilaian dalam karya sastra.
Tanggapan pembaca dalam menilai karya sastra sebagai sebuah pengalaman
dalam estetika resepsi didasarkan pada fakta fakta kesejarahan dan bekal
pengetahuan pembaca yang dimiliki sebelumnya atas karya sastra yang telah
dinilainya. Dengan demikian, estetika resepsi terhadap sebuah karya sastra
dipengaruhi oleh horizon harapan. Sedangkan horizon harapan pembaca
dipengaruhi oleh rangkaian sastra yang dipahaminya sebagai bekal pengetahuan
melalui peristiwa sejarah yang melatari lahirnya sebuah karya. Dengan adanya
bekal pengetahuan peristiwa atau rangkaian sastra maka akan lahir dua perspektif
sinkronik dan diakronik. Selanjutnya penjelasan mengenai tanggapan pembaca
dalam memahami karya sastra tersebut dalam kerangka teori sastra lazim disebut
sebagai teori 7 tesis jauss (Jauss,1983:20-39)
Dalam penelitian ini tanggapan pembaca atas novel Baruang Ka u Ngarora
karya D.K Ardiwinata akan menjadi sumber data penelitian. Novel tersebut diambil
dengan beberapa pertimbangan. Pertama, karena novel tersebut berisikan tentang
pepatah-pepatah yang mendidik yang ditujukan khusus untuk para pemuda. Kedua,
novel yang terbit pada tahun 1914 ini merupakan novel yang tidak lekang oleh
zaman dan terus-menerus ada hingga saat ini.
2. Kajian teori
Estetika resepsi merupakan aliran yang mempelajari teks karya sastra
berdasarkan reaksi atau tanggapan pembaca terhadap teks tersebut (Segers,
1978:34). Pembaca selaku penyambut dan pemberi makna adalah variabel menurut
ruang, waktu, dan kelompok sosial budayanya. Oleh karena itu, pemahaman dan
61
penilaian pembaca terhadap karya sastra dalam sepanjang masa dan seluruh
golongan tidaklah sama. Hal ini perlu disadari bahwa fakta keragaman interpretasi
terhadap karya sastra menuntut peran aktif pembaca sebagai kekuatan pembentuk
sejarah (Jauss, 1974:12). Partisipasi aktif pembaca itulah yang membuat dinamis
sejarah sastra.
Ada dua hal yang membuat perbedaan pemahaman pembaca terhadap karya
sastra, yaitu (1) pengisian tempat kosong, dan (2) horison harapan. Bagian-bagian
yang tidak ditentukan di dalam teks, disebut "tempat kosong". munculnya tempat
kosong dalam teks dikarenakan sifat karya sastra yang asimetri, tidak berimbang
antara teks dengan pembaca. Selain itu, ketaksaan bahasa sastra menimbulkan
banyak penafsiran.
Horizon harapan merupakan interaksi antara karya sastra dengan pembaca
secara aktif. Setiap pembaca memiliki horizon harapan tertentu pada teks karya
sastra yang dibacanya. Terwujudnya horizon harapan ini didasarkan pada tiga
kriteria pokok, yaitu (1) ditentukan oleh teks norma-norma yang terpancar dari teks
teks yang dibaca, (2) ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks
yang telah dibaca sebelumnya koma dan (3) pertentangan antara fiksi dan realitas
hidup (Segers, 1978:41). Dengan demikian, nilai suatu karya sastra terletak pada
"bertemu atau tidaknya" karya sastra dengan horizon harapan masyarakat pada saat
karya sastra itu ditulis atau diterbitkan titik ada 3 horizon harapan masyarakat, yaitu
(1) horizon zaman, yakni harapan dari zaman karya sastra yang ditulis (2) horison
teks, yakni harapan bahwa semua teks karya sastra menyerupai satu teks naskah
standar koma (3) horison kepengarangan, yakni harapan yang didasarkan bahwa
satu aspek kreativitas pengarang dan aspek ini dijadikan standar.
Respon Estetik Iser memusatkan pada proses pemaknaan teks yang dihasilkan
melalui hubungan teks dengan pembacanya, di mana hal tersebut
mengimplikasikan dua hal penting menyangkut cara atau tindakan pembacaan,
interaksi antara teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi pembacaannya
sendiri.
Hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya merupakan konsep
dasar yang penting dari teori respons estetik. Iser pun menyebutnya sebagai respon
estetik, sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi teks tersebut
62
mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melalukan
penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya terhadap teks itu sendiri.
Asusmi dasar teori ini adalah teks hanya hadir saat dibaca dan perlu adanya
pengujian atas teks melalui pembacaan. Teks baru bermakna setalah adanya
tindakan pembacaan. Cara atau tindakan pembacaan tersebut yaitu bagaimana teks
mengarahkan pembacanya dan pengalaman pembaca mengatur pembacaannya.
3. Tujuan penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
penelitian ini adalah (1) mengetahui keberagaman respon masyarakat mengenai
novel tersebut (2) atau horizon harapan yang terjadi di kelas sosial masyarakat (3)
mengetahui alasan pembaca yang masih menganggap bahwa novel ini sangat
menarik.
4. Hipotesis
Keberagaman respon masyarakat akan terjadi disebabkan karena terdapatnya
perbedaan kelas sosial masyarakat dan pengetahuan masyarakat mengenai sastra.
Seperti yang telah dijelaskan jauh bahwa analisis pengalaman sastra pembaca
menghindari jebakan psikologi yang mengancam jika menggambarkan penerimaan
dan pengaruh suatu karya sastra dalam sistem ekspektasi yang objektif yang
meningkat untuk setiap karya pada monositosis kemunculannya. Dan juga
cakrawala harapan sebuah karya memungkinkan seseorang untuk menentukan
karakteristik nya berdasarkan jenis dan tingkat pengaruhnya terhadap audiens yang
disangka.
Perbedaan kelas sosial masyarakat akan lebih menarik karena disebabkan
perbedaan tingkat strata sosial yang terjadi di kehidupan, dan juga perbedaan
pengalaman pembaca yang menuntut penghapusan prasangka objektivisme historis
dan landasan etika tradisional produksi dan representasi dalam sikap penerimaan
dan pengaruh
Semangat zaman juga akan menunjukkan tingkat respon pembaca terhadap
karya sastra tersebut. Dan semangat zaman ini juga yang akan menilai tentang
kesejajaran antara pembaca dan karya yang dibacannya.
63
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
64
DAFTAR PUSTAKA
Noor, R., Dan, D., & Ajisaputra, C. (2014). tanggaPan Pembaca terHadaP novel
ayat-ayat Cinta Karya HabibUrraHman el sHirazy: tinjaUan resePsi sastra.
1(1).
Dan, T., & Nerapannya, P. E. (2013). Resepsi Sastra: Teori Dan Penerapannya.
Humaniora, 2. https://doi.org/10.22146/jh.v0i2.2094
Pembaca, K., & Iser, W. (2013). Pembaca dan Konsep Pembaca Tersirat Wolfgang
Iser. Humaniora, 6. https://doi.org/10.22146/jh.v0i6.1863
Ii, B. A. B., Riwayat, I. I., & Dan, H. (2010). digital_133508-T 27902-Jalan tengah-
Tinjauan literatur. 18–41.
Lee, S., Hahn, C., Rhee, M., Oh, J. E., Song, J., Chen, Y., Lu, G., Perdana, & Fallis,
A. . (2012). 済無No Title No Title. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
Resepsi, E., Penerapannya, D. A. N., & Kasus, S. (2018). Estetika resepsi, metode,
dan penerapannya: studi kasus resepsi produktif soneta indonesia. June 2007.
Studi, P., Jepang, S., Ilmu, F., & Universitas, B. (2016). Karya Kajii Motojiro (
Studi Kasus 20 Mahasiswa S1 Sastra Jepang Fib Undip Angkatan 2014 )
Karya Kajii Motojiro ( Studi Kasus 20 Mahasiswa S1 Sastra Jepang Fib Undip
Angkatan 2014 ).
65
Ananda, S. D. W. I., Pendidikan, J., Jerman, B., Bahasa, F., Seni, D. A. N., &
Yogyakarta, U. N. (2013). Studi estetika eksperimental: tanggapan pembaca
akademik terhadap drama der zerbrochene krug karya heinrich von kleist.
Komardi, & Ismai, G. (2018). Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pontianak 2018. Jurnal
Bindo Sastra, 2(2).
Resepsi, E., Penerapannya, D. A. N., & Kasus, S. (2018). Estetika resepsi, metode,
dan penerapannya: studi kasus resepsi produktif soneta indonesia. June 2007.
Abrams, M.H.1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Irvine, T. (2007). No Title مروت خرن و هرهب خرن نیب یلع هطبار یسررب:هدافتسا اب
.ت اب لوی ی های داده ففف ففففاز فففف فففف ف فف فففف,
3(September), 1
Pembaca, K., & Iser, W. (2013). Pembaca dan Konsep Pembaca Tersirat Wolfgang
Iser. Humaniora, 6. https://doi.org/10.22146/jh.v0i6.1863
Noor, R., Dan, D., & Ajisaputra, C. (2014). tanggaPan Pembaca terHadaP novel
ayat-ayat Cinta Karya HabibUrraHman el sHirazy: tinjaUan resePsi sastra.
1(1).
Minderop, Albertine. (2016). Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan
Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Giri Mukti Pasaka:
Jakarta, 1988.
66
Junus, Umar. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Gramedia: Jakarta, 1985.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka
Pelajar: Yokyakarta, 2004.
Lubis, A. Y. (2016). Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (T. P. P. (P2) (ed.);
1st ed.). PT Raja Grafindo Persada.
Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Ilmu Sastra :Pengantar Teori
Sastra. Jakarta:Pustaka Jaya
Iser, Wolfgang. 1987 The Act of Reading: A theory of Aesthetic Respons: 4th
Printing, Baltimoren & London: The Jhon Hopkins University Pers
67
Jauss, Hans Robert. 1974. Lirerary History As A Chalenge dalam Ralp Caken (Ed).
London: New Direcftion in Literary History Rudledje & Kegan Paul.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesastraan Terjemahan Melani
Budianta dari Theory Of Literature (1977). Jakarta: PT Gramedia.
http://komak2.blogspot.com/2012/05/estetika-resepsi-sastra-dan.html. Diakses
pada tanggal 24 Maret 2020
https://riungsastra.wordpress.com/2012/08/04/resepsi-sastra-teori-dan-metode-
penerapannya/ Diakses pada tanggal 26 Maret 2020
68
Rahima, Ade. 2016. Literature Receprion (A Conceptual Overview). Jurnal Ilmiah
Dikdaya Unbari. dx.doi.org/10.33087/dikdaya.v6i1.37 Diakses pada
tanggal 10 April 2020
69
LAMPIRAN
Foto Kelompok
70