Anda di halaman 1dari 33

Volume 94 Number 886 Summer 2012

Kotak Pandora ? Serangan Drone menurut jus ad


bellum, jus in bello, dan hukum hak asasi manusia
internasional
Stuart Casey-Maslen
Dr. Stuart Casey-Maslen adalah Kepala Riset di the Geneva
Academy of International Humanitarian Law and Human Rights,
yang mengkhususkan diri dalam hukum senjata dan sesuai
dengan norma-norma internasional oleh aktor non-negara
bersenjata

Abstrak
Drone (Pesawat tak berawak) bersenjata menimbulkan ancaman besar terhadap larangan umum
penggunaan kekuatan antar-negara dan terhadap penghormatan hak asasi manusia. Di medan perang,
dalam situasi konflik bersenjata, penggunaan drone mungkin dapat memenuhi aturan hukum humaniter
internasional yang fundamental tentang pembedaan dan proporsionalitas (meskipun mengaitkannya
dengan pertanggungjawaban pidana internasional karena penggunaannya yang tidak sah dapat
membuktikan tantangan yang signifikan). Jauh dari medan peperangan, penggunaan drone seringkali
berakhir menjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejelasan tentang rezim hukum yang berlaku
bersamaan dengan pembatasan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari teknologi drone ini sangatlah
dibutuhkan.

Kata kunci: konflik bersenjata, partisipasi langsung dalam perang, drone, hak asasi manusia, hukum
humaniter internasional, penegakan hukum, pembunuhan yang ditargetkan, kendaraan udara tak berawak.

::::::::::::::::::::::

Beberapa orang menyebutnya operasi 'pembantaian'. Itu tidak benar, dan penggunaan bahasa yang
emosional sama sekali tidak pada tempatnya. Pembantaian adalah pembunuhan yang melanggar hukum.
Jaksa Agung AS, Eric Holder, Maret 5, 2012.1


Penulis ingin mengucapkan terima kasih Profesor Andrew Clapham, Profesor Nils Melzer, dan Bonnie Docherty untuk
komentar mereka pada draft artikel ini, dan Alice Priddy untuk penelitian latar belakangnya. Semua referensi internet yang
diakses pada bulan Oktober 2012, kecuali kalau tidak dinyatakan.
1 Pidato Northwestern University School of Law, Chicago, 5 Maret 2012, tersedia di t: http://www.lawfareblog.com/2012/ 03/text-
of-the-attorney-generals-national-security-speech/.
Selama sepuluh tahun terakhir, penggunaan drone - kendaraan udara tak berawak (UAV) atau
pesawat tak berawak2 - untuk keperluan militer dan kontraterorisme telah mengalami 'ledakan
pertumbuhan'.3 Sebagai contoh, dilaporkan bahwa pada tahun 2010, Pemerintahan Presiden Amerika
Serikat Barack Obama mengijinkan lebih dari dua kali serangan drone ke barat laut Pakistan dibandingkan
pada 2009 – Dalam satu tahun saja ada lebih dari tiga serangan drone dibandingkan selama masa
pemerintahan GeorgeW.Bush.’4 Pada awal 2012, Pentagon dikatakan memiliki 7.500 drone di bawah
kendalinya, mewakili sekitar sepertiga dari semua pesawat militer AS.5 Penggunaan UAV oleh pasukan
polisi sehubungan dengan penegakan hukum kebiasaan dalam batas-batas suatu negara terus meningkat,
meskipun perlahan.6
Drone7 pertama kali digunakan pada skala besar untuk pengawasan dan pengintaian dalam
konflik bersenjata oleh Amerika Serikat: di Vietnam pada tahun 1960-an,8 di Bosnia dan Herzegovina, dan

2 Menurut undang-undang federal AS yang digunakan pada 2012, istilah'pesawat tak berawak' berarti 'sebuah pesawat yang
dioperasikan tanpa kemungkinan campur tangan manusia secara langsung dari dalam atau di pesawat'. Bagian 331 (8), Undang-
Undang Modernisasi dan Reformasi FAA 2012, yang disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden AS pada 14 Februari
2012.

3Departemen Pertahanan AS, 'sistem tak berawak AS dengan integrated roadmap (tahun fiskal 2009 2034)', Washington, DC,
2009, hal. 2, tersedia d: http://www.acq.osd.mil/psa/docs/UMSIntegratedRoadmap2009.pdf. Agaknya .tak ada maksud permainan
kata

4 Peter Bergen dan Katherine Tiedemann, ‘Hidden war, there were more drone strikes – and far fewer civilians killed’, di New
America Foundation, 22 Desember 2010, tersedia di: http://newamerica.net/node/
41927.
5 W. J. Hennigan, ‘New drone has no pilot anywhere, so who’s accountable?’, di Los Angeles Times, 26 Januari 2012, tersedia di:

http://www.latimes.com/business/la-fi-auto-drone-20120126,0,740306.story. Sebuah persentase yang hampir sama antara drone


dan pesawat yang dikemudikan diharapkan dalam waktu dua puluh tahun di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF). Nick
Hopkins, ‘Afghan civilians killed by RAF drone’, di The Guardian, 5 Juli 2011, Tersedia di: http://www.guardian.co.uk/
uk/2011/jul/05/afghanistan-raf-drone-civilian-deaths. Jendral NA Schwartz, Kepala Staf Angkatan Udara AS, dilaporkan jika ia
'membayangkan' bahwa pilot drone di Angkatan Udara akan melebihi jumlah pilot yang ada di cockpits di masa mendatang,
meskipun ia meramalkan bahwa Angkatan Udara AS akan memiliki pilot tradisional selama setidaknya tiga puluh tahun lagi.
Elisabeth Bumiller, ‘A day job waiting for a kill shot a world away’, in The New York Times’, 29 Juli 2012tersedia di:
http://www.nytimes.com/2012/07/30/us/drone-pilots-waiting-for-a-kill-shot-7000-miles-away.html?pagewanted=all.

6 Lihat, contoh, ‘Groups concerned over arming of domestic drones’, di CBSDC, Washington, DC, 23 Mei 2012, tersedia di:
http://washington.cbslocal.com/2012/05/23/groups-concerned-over-arming-of-domesticdrones/; Vincent Kearney, ‘Police in
Northern Ireland consider using mini drones’, di BBC, 16 November 2011, tersedia di: http://www.bbc.co.uk/news/uk-northern-
ireland-15759537; BBC, ‘Forces considering drone aircraft’, 26 November 2009, tersedia di: http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/
england/8380796.stm; Ted Thornhill, ‘New work rotor: helicopter drones to be deployed by US police forces for the first time (and
it won’t be long before the paparazzi use them, too)’, di Daily Mail, 23 Maret 2012, tersedia di:
http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2119225/Helicopter-drones-deployed-
U-S-police-forces-time-wont-long-paparazzi-use-too.html. Modernisasi Otoritas Avisiasi Federal Amerika Serikat dan UU
Reformasi 2012 memberikan penambahan wewenang kepada pasukan polisi lokal di seluruh Amerika Serikat untuk
menggunakan drone mereka sendiri.

7 Menurut Kamus Inggris Oxford, definisi menyangkut drone adalah 'pesawat tak berawak yang dikendalikan dari jauh atau rudal',
etimologi bahasa Inggris Kuno untuk lebah jantan. Di Pakistan, drone, yang membuat suara berdengung, yang dijuluki machay
(tawon) oleh Pashtun. Jane Meyer, ‘The Predator war’, dalam The New Yorker, 26 Oktober 2009, http://www.newyorker.com/
reporting/2009/10/26/091026fa_fact_mayer.
8 David Cenciotti, ‘The dawn of the robot age: US Air Force testing air-launched UCAVs capable to fire
Kosovo pada 1990-an.9 Baru-baru ini, di tahun 2012, dilaporkan bahwa drone telah digunakan oleh rezim
Suriah untuk mengidentifikasi lokasi pasukan pemberontak.10 Tapi walaupun mereka digunakan untuk
peran ini (dan beberapa angkatan bersenjata menggunakannya hanya untuk alasan ini), mereka lebih
dikenal karena menembakkan senjata peledak dalam pembunuhan tersangka 'teroris' yang ditargetkan,11
terutama dalam operasi lintas-perbatasan.
Pada saat yang sama dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang membawa ke penciptaan
drone yang lebih besar dan lebih cepat, miniaturisasi telah membuka jalan bagi UAV berukuran serangga -
'nano' drone12 - yang juga dapat digunakan untuk menentukan target pembunuhan, kemungkinan dengan
menggunakan racun. Pada bulan Februari 2011, peneliti meluncurkan prototipe hummingbird drone, yang
bisa terbang di 11 mil per jam dan bertengger di ambang jendela.13
Perang robot juga akan menjadi nyata, jelas sulit untuk menentukan tanggung jawab pidana
individual (yang dibahas di bawah). Tentang hal ini, sebuah laporan media pada tahun 2011
memperingatkan bahwa drone yang sepenuhnya otonom, mampu menentukan target dan menembakinya
tanpa ‘man in the loop’ (yaitu, kontrol manusia setelah peluncuran), sedang dipersiapkan untuk
dioperasikan oleh Amerika Serikat,14 berpotensi mewakili tantangan terbesar bagi jus in bello sejak

Maverick and Shrike missiles in 1972’, dalam The Aviationist (weblog), 14 Maret 2012, tersedia di: http://theaviationist.com/
2012/03/14/the-dawn-of-the-robot-age/.

9 ‘Predator drones and unmanned aerial vehicles (UAVs)’, di The New York Times, diperbarui 5 Maret 2012, tersedia di:
http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned_aerial_vehicles/index.html.

10‘Syrian forces use drone in attack on rebel city’, di ABC News, 12 Juni 2012, tersedia di: http://www.abc.net.au/news/2012-06-
12/52-killed-in-syria-as-troops-pound-rebels-strongholds/4064990.

11 Menurut Alston, pembunuhan yang ditargetkan adalah, ‘penggunaan kekuatan mematikan yang terencana dan disengaja, oleh
Negara-negara atau agen-agen mereka yang bertindak di bawah pengaruh hukum, atau oleh kelompok bersenjata yang
terorganisir dalam konflik bersenjata, terhadap individu tertentu yang tidak dibawah perlindungan fisik pelaku'. Laporan Reporter
Khusus tentang ekstrajudisial, tinjauan atau eksekusi sewenang-wenang. Report of the Special Rapporteur on extrajudicial,
summary or arbitrary executions, Philip Alston, Addendum, Study on targeted killings, Report to the Human Rights Council,
Dok.PBB. A/HRC/14/24/Add.6, 28 Mei 2010, ayat 1, tersedia di: http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/
14session/A.HRC.14.24.Add6.pdf (selanjutnya, Studi tentang Pembunuhan Target 2010). Melzer menegaskan bahwa
pembunuhan yang ditargetkan memiliki lima unsur kumulatif: penggunaan kekuatan mematikan, niat, direncanakan terlebih
dahulu, dan musyawarah untuk membunuh, penargetan orang dipilih secara individual, kurangnya perlindungan fisik, dan
attributability dari pembunuhan terhadap subyek hukum internasional. Nils Melzer, Targeted Killings in International Law, Oxford
Monographs in International Law, Oxford University Press, Oxford, 2008, hal. 3–4.

12 J. Meyer, catatan kaki 7.

13 Elisabeth Bumiller dan Thom Shanker, ‘War evolves with drones, some tiny as bugs’, di The New York Times, 19 Juni 2011,
tersedia di: http://www.nytimes.com/2011/06/20/world/20drones.html?pagewanted=1&_r=1&ref=unmannedaerialvehicles.

14 W. J. Hennigan, ‘New drone has no pilot anywhere, so who’s accountable?’, di Los Angeles Times, 26 Januari 2012,
http://www.latimes.com/business/la-fi-auto-drone-20120126,0,740306.story.
pengembangan perang kimia.15 Dalam sebuah studi internal tentang drone yang diterbitkan oleh
Kementerian Pertahanan Inggris pada tahun 2011, ditegaskan bahwa : "Secara khusus, jika kita ingin
membiarkan sistem membuat keputusan independen tanpa campur tangan manusia, beberapa pekerjaan
penting akan diwajibkan untuk menunjukkan bagaimana sistem tersebut beroperasi secara legal’.16
Demikian pula, Departemen Pertahanan AS menegaskan pada tahun 2009 bahwa:
Karena Departemen Pertahanan sesuai dengan Hukum Konflik Bersenjata, maka ada banyak isu
yang membutuhkan penyelesaian terkait dengan pengerjaan senjata oleh sebuah sistem tak
berawak. . . . Untuk jangka waktu yang signifikan ke depan, keputusan untuk menarik pelatuk
atau meluncurkan rudal dari sistem tak berawak tidak akan sepenuhnya otomatis, tetapi akan
tetap berada di bawah kontrol penuh operator manusia. Banyak aspek dari rentetan penembakan
akan sepenuhnya otomatis tetapi keputusan untuk menembak tidak akan mungkin sepenuhnya
otomatis sampai hukum, aturan keterlibatan, dan masalah keamanan semuanya telah melalui
pemeriksaan.17

Mengingat bahwa drone jelas ‘disambut’18 - sungguh, 'drone pembunuh' yang dikatakan oleh
mantan pengacara CIA akan menjadi 'masa depan perang'19 - artikel ini mengamati legalitas serangan UAV
dalam dan lintas batas,20 dan dalam konflik bersenjata maupun situasi penegakan hukum. Dengan
demikian ia akan menghadapi interaksi antara jus ad bellum, jus in bello, dan aturan-aturan yang mengatur
penegakan hukum, hukum hak asasi manusia internasional khususnya. Dan berakhir dengan diskusi
singkat tentang tantangan masa depan bagi hukum internasional dari penggunaan drone dan robot
bersenjata.
Sebelum memulai diskusi yang lebih rinci, bagaimanapun, layaklah untuk mengingat Pasal 36
Protokol Tambahan I tahun 1977, yang mensyaratkan bahwa :

15 Emma Slater, ‘UK to spend half a billion on lethal drones by 2015’, The Bureau of Investigative Journalism, 21 November 2011,
tersedia di: http://www.thebureauinvestigates.com/2011/11/21/britains-growingfleet- of-deadly-drones/.

16 Pusat Pengembangan, Konsep dan Doktrin, Pendekatan Inggris pada Sistem Pesawat tak berawak, Joint Doctrine Note 2/11,
Departemen Pertahanan, 2011, hal. 5-2, ayat 503. Laporan lebih lanjut menyatakan bahwa: ‘Perkiraan kapan kecerdasan buatan
akan dicapai (karena bertentangan dengan sistem otomatis yang kompleks dan cerdas) bervariasi, tetapi konsensus tampaknya
terletak antara lebih dari 5 tahun dan kurang dari 15 tahun, dengan beberapa outlier yang kemudian akan jauh dari ini.’ Ibid. hal.
5-4, ayat. 508

17 Departemen Pertahanan Amerika, catatan kaki 3, hal. 10.

18 Lihat E. Bumiller danT. Shanker, catatan kaki 13. Menurut Departemen Pertahanan Amerika, ‘Unmanned systems will continue
to have a central role in [the US’s] diverse security needs, especially in the War on Terrorism’. Departemen Pertahanan Amerika,
catatan kaki 3, hal. iii.

19Afsheen John Radsan, ‘Loftier standards for the CIA’s remote-control killing’, Statement for the House Subcommittee on
National Security & Foreign Affairs, dalam Legal Studies Research Paper Series, Accepted Paper No. 2010–11, William Mitchell
College of Law, St Paul, Minnesota, Mei 2010, tersedia di: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1604745.

20 Aspek lain dari penggunaan drone, seperti pengawasan dan pengintaian, tidak akan dinilai dalam artikel ini.
Dalam penyelidikan, pengembangan, akuisisi atau penggunaan senjata baru, alat-alat atau cara
peperangan, suatu Pihak Peserta Agung berkewajiban menetapkan apakah penggunaannya,
dalam keadaan tertentu atau segala keadaan, tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh
aturan lain dari hukum internasional yang berlaku bagi Pihak Peserta Agung.
Sebagai metode baru perang, pelepasan rudal oleh pesawat tak berawak yang dikendalikan oleh
operator - seringnya kewarga sipil – yang ditempatkan ribuan mil jauhnya seharusnya sudah menjadi
sasaran pengawasan ketat oleh negara-negara yang berusaha untuk mengembangkan atau memperoleh
drone. Setidaknya, kewajiban yang diatur dalam Pasal 36 harus mencakup semua negara yang menjadi
anggota Protokol Tambahan I 1977, meskipun, tentu saja, kewajiban umum untuk 'menghormati dan
menjamin penghormatan' pada hukum humaniter internasional (HHI) harus mempengaruhi setiap negara ,
apakah itu adalah peserta Protokol atau bukan, untuk melakukan analisis hukum tersebut.21 Namun, tujuh
puluh Negara atau lebih yang kabarnya memiliki drone tidak mempublikasikan analisis mereka - jika
mereka telah membuatnya – tentang legalitas drone bersenjata, baik untuk digunakan dalam konflik
bersenjata atau untuk tujuan penegakan hukum. 22

Drone dan jus ad bellum


Jus ad bellum mengatur legalitas dari penggunaan kekuatan militer, termasuk menggunakan
serangan dengan drone, oleh satu negara terhadap negara lain dan terhadap aktor non-negara bersenjata
di negara lain tanpa persetujuan Negara tersebut.23 Berdasarkan Pasal 2, ayat (4) dari Piagam PBB, semua
anggota wajib menjauhkan diri, dalam hubungan internasional mereka, dari ancaman atau penggunaan

21 Agak mengherankan, studi Komite Internasional Palang Merah (ICRC) 's tentang HHI Kebiasaan diterbitkan pada tahun 2005
tidak mendapati bahwa Pasal 36 adalah bagian dari korpus hukum kebiasaan, tampaknya karena kurangnya praktek negara
yang positif. Meskipun kekosongan ini, sulit memahami bagaimana kewajiban kebiasaan melarang penggunaan senjata yang
membabi buta atau senjata yang bersifat menyebabkan cedera berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu (berturut-turut
Aturan 71 dan 70 dari studi ICRC) bisa dihormati kecuali kalau kemampuan senjata itu yang pertama kali diuji oleh analisis
hukum untuk memastikan bahwa senjata itu mematuhi hukum. Lihat Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck,
Customary International Humanitarian Law, ICRC dan Cambridge University Press, 2005. Amerika Serikat, misalnya, bukan
negara pihak Protokol, melakukan tinjauan rinci pada senjata sebelum penyebaran mereka.. Lihat contoh, Departemen
Pertahanan Amerika, catatan kaki 3, hal. 42.

22Lihat contoh, Peter Bergen dan Jennifer Rowland (New America Foundation), ‘A dangerous new world of drones’, di CNN, 1
Oktober 2012, tersedia di: http://newamerica.net/node/72125. Memang, itu baru awal tahun 2012, sepuluh tahun setelah
serangan pesawat tak berawak pertama, bahwa pemerintah AS secara resmi mengakui keberadaan program rahasia dalam
penggunaan drone bersenjata. Dalam Google+ secara daring dan obrolan YouTube pada tanggal 31 Januari 2012, Presiden
Obama mengatakan serangan menargetkan 'orang-orang yang berada di dalam daftar teroris aktif.’ Lihat contoh.,
www.youtube.com/watch?v=2TASeH7gBfQ, diposting oleh Al Jazeera pada 31 Januari 2012.

23Dengan demikian, seperti yang diamati Lubell, kerangka jus ad bellum tidak dirancang untuk membatasi penggunaan kekuatan
dalam perbatasannya negaranya sendiri. Noam Lubell, Extraterritorial Use of Force against Non-State Actors, Oxford
Monographs in International Law, Oxford University Press, Oxford, 2011, hal. 8
kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun, atau dengan cara lain
yang tidak konsisten dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Cryer dkk. menggambarkan hal ini sebagai 'prinsip hukum dasar yang mengatur penggunaan
kekuatan', yang 'mencerminkan hukum kebiasaan internasional'.24 Namun, seperti yang juga dikenal,
berdasarkan Pasal 51 dari Piagam ditetapkan bahwa:
Tidak ada hal dalam Piagam ini akan merusak hak yang melekat pada pembelaan diri kolektif
atau individu jika serangan bersenjata terjadi pada anggota PBB, sampai Dewan Keamanan
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.25
Definisi serangan bersenjata dalam kasus kelompok bersenjata yang dipersenjatai dan
diperlengkapi oleh negara asing diuraikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus Nikaragua
sebagai berikut:
Mahkamah tidak punya alasan untuk menyangkal bahwa, dalam hukum kebiasaan, pelarangan
serangan bersenjata bisa berlaku pada pengiriman yang dilakukan oleh kelompok bersenjata dari
suatu negara ke wilayah negara lain, jika itu adalah sebuah operasi, karena skala dan efeknya,
akan diklasifikasikan sebagai serangan bersenjata dan bukannya sebagai insiden perbatasan
belaka yang dilakukan oleh angkatan bersenjata reguler. Namun Mahkamah tidak percaya bahwa
konsep 'serangan bersenjata' tidak hanya mencakup tindakan oleh kelompok bersenjata di mana
tindakan tersebut terjadi pada skala yang signifikan, tetapi juga pada bantuan yang diberikan
kepada pemberontak dalam bentuk pemberian senjata atau logistik atau bantuan lain. Bantuan
tersebut dapat dianggap sebagai ancaman atau penggunaan kekerasan, atau sama dengan
intervensi dalam urusan internal atau eksternal negara lain.26

Ambang batas bagi terjadinya serangan bersenjata oleh negara lain tampaknya relatif tinggi,
melampaui 'insiden perbatasan belaka' antara anggota angkatan bersenjata dari dua negara (atau
kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di satu negara dengan dukungan yang terbatas dari
negara lain). Bahkan dikatakan oleh beberapa orang bahwa serangan drone yang sangat terbatas dan
ditargetkan oleh satu negara terhadap individu yang tinggal di negara lain tidak akan memicu serangan
bersenjata dalam pengertian Piagam PBB atau hukum kebiasaan, dengan argumen yang didasarkan pada
konsep pertahanan diri antisipatif yang sangat menantang.27 Namun demikian, dengan tidak adanya
pembelaaan diri yang sah, kekuatan bersenjata tersebut tidak diragukan lagi bertentangan dengan larangan

24Robert Cryer, Hakan Friman, Darryl Robinson dan Elizabeth Wilmshurst, An Introduction to International Criminal Law and
Procedure, eds.2, Cambridge University Press, Cambridge, 2010, hal. 322.

25Piagam PBB, Pasal 51. Selain pembelaan diri dan penggunaan kekarasan yang disahkan oleh Dewan Keamanan PBB, juga
sah saat menggunakan kekerasan di negara lain dengan persetujuan negara itu.

26Mahkamah Internasional (ICJ), Kasus Kegiatan Militer dan Paramiliter di dan melawan Nikaragua (Nikaragua v. Amerika
Serikat), Keputusan, 27 Juni 1986, ayat (195).

27 Lihat contoh, Antonio Cassese, International Law, Eds.2, Oxford University Press, Oxford, 2005, hal. 357–363.
umum atas penggunaan atau ancaman kekerasan (dan karena itu menjadi pelanggaran hukum
internasional kecuali penggunaan kekuatan disetujui negara 'korban’ ).28 Hampir pasti, semakin intensif
lintas-perbatasan menggunakan serangan drone, mirip dengan pemboman, akan menjadi serangan
bersenjata terhadap negara lain dan oleh karena itu merupakan agresi, tidak ada otorisasi Dewan
Keamanan atau menjadi tindakan yang dilakukan berdasarkan pembelaan diri yang sah.29
Namun, ada argumen kuat bahwa bahkan satu serangan drone merupakan serangan bersenjata
dan berpotensi agresi. Memang, Resolusi Majelis Umum PBB 3314 (XXIX) menyatakan bahwa tindakan
agresi harus dilakukan, antara lain, oleh : 'Pengeboman oleh angkatan bersenjata suatu negara terhadap
wilayah negara lain atau penggunaan senjata apapun oleh sebuah negara terhadap wilayah negara lain'.30
Kasus 1988 tentang sembilan pasukan komando Israel membunuh seorang ahli strategi militer Organisasi
Pembebasan Palestina di rumahnya di Tunisia, dimana Dewan Keamanan PBB mengecamnya sebagai
'agresi' dalam pelanggaran yang terang-terangan terhadap Piagam PBB, selanjutnya mendukung argumen
ini.31
Jika serangan drone tunggal memang merupakan suatu 'serangan bersenjata', negara yang
meluncurkan drone perlu menjustifikasi aksinya dengan mengacu pada hak membela diri yang inheren
(kecuali ia telah menerima persetujuan yang diperlukan atau otorisasi dari Dewan Keamanan PBB); jika
tidak maka akan beresiko munculnya tindakan agresi.32 Situasi ini kontroversial ketika hak pembelaan diri
mengaku tidak melawan negara lain tapi melawan aktor non-negara bersenjata yang berlokasi di negara
lain. Dalam Advisory Opinionnya pada tahun 2004 dalam kasus Wall, ICJ tampaknya menyiratkan bahwa
pembelaan diri hanya bisa digunakan oleh satu negara terhadap negara lain.33 Sebuah pemahaman
terhadap keputusan itu, bagaimanapun, menunjukkan bahwa Mahkamah Internasional tidak sepenuhnya
mengesampingkan kemungkinan pembelaan diri terhadap aktor non-negara bersenjata yang melakukan

28 Untuk rincian syarat pemberian persetujuan keabsahan, lihat, contoh., ibid., hal. 370–371

29 Lihat contoh., ibid., hal. 158–159.

30 Resolusi majelis Umum PBB 3314 (XXIX) 14 Desember 1974, Lampiran, Pasal 3(b).

31 Resolusi majelis Umum 611 (1988), digunakan pada 25 April 1988 dengan 14 suara dengan satu abstain (Amerika Serikat)

32Tindakan agresi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan bersenjata oleh satu negara terhadap negara lain
tanpa pembenaarn terhadap pembelaan diri atau otorisasi oleh Dewan Keamanan PBB. Tindakan kualifikasi sebagai tindakan
agresi secara eksplisit dipengaruhi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 3314 (XXIX) 14 Desember 1974. Berdasarkan Pasal 8 bis
dari Statuta Roma1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, seperti yang digunakan oleh Konferensi Tinjauan Pertama di
Kampala pada tahun 2010, kejahatan agresi individu adalah perencanaan, persiapan, inisiasi, atau eksekusi oleh seseorang
dalam posisi pemimpin dari sebuah tindakan agresi. Tindakan semacam itu pasti merupakan 'pelanggaran nyata' dari Piagam
PBB (Pasal 8 bis, ayat 1).

33 ICJ, Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory, Advisory Opinion, 2004, ayat 139.
tindakan 'teroris' di mana kontrol yang efektif tidak dilakukan oleh negara yang berada di bawah ancaman.34
Dalam Kasus berikutnya Mengenai Kegiatan Bersenjata di Wilayah Kongo, ICJ menghindari pertanyaan
mengenai apakah hukum internasional memungkinkan untuk membela diri melawan serangan besar-
besaran oleh pasukan liar'35 Sebuah pendapat terpisah dan minoritas oleh Hakim Kooijmans tentang hal ini
melebihi keputusan Wall, menyatakan bahwa:
jika serangan oleh pasukan liar, karena skala dan efek mereka, harus diklasifikasikan sebagai
serangan bersenjata yang dilakukan oleh pasukan bersenjata reguler, tidak ada aturan dalam
Pasal 51 Piagam yang mencegah negara korban untuk menggunakan hak inherennya untuk
membela diri.36
Hukum kebiasaan tradisional yang mengatur pembelaan diri oleh sebuah negara berasal dari
insiden diplomatik awal antara Amerika Serikat dan Inggris atas pembunuhan sejumlah warga AS yang
terlibat dalam pengangkutan manusia dan bahan dari wilayah Amerika untuk mendukung pemberontakan
di, yang saat ini adalah, koloni Inggris Kanada.37 Menurut apa yang disebut tes Caroline, untuk pembelaan
diri yang sah harus ada ' kebutuhan pertahanan diri, instan, luar biasa, metode yang wajib, dan tak ada
momen pertimbangan' dan, selanjutnya, setiap tindakan yang diambil harus proporsional, ‘karena tindakan
yang dibenarkan oleh kebutuhan pertahanan diri harus dibatasi oleh kebutuhan itu, dan artinya tetap
jelas’.38 Pernyataan-pernyataan ini pada tahun 1842 oleh Menteri Luar Negeri AS untuk Pemerintah Inggris
secara luas diterima sebagai deskripsi akurat tentang hak tradisional suatu negara untuk membela diri.39
Oleh karena itu, dua prinsip kebutuhan dan proporsionalitas harus dipenuhi jika penggunaan
kekuatan oleh sebuah negara yang mengaku bertindak untuk membela diri akan dinilai sah. Kegagalan

34Mahkamah (ayat 139) mengacu pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1368 (2001) dan 1373 (2001), berhasil pasca serangan
11 September 2001 terhadap Amerika Serikat, melihat bahwa Israel melakukan pengawasan di Wilayah Pendudukan Palestina
dan bahwa, seperti dinyatakan sendiri oleh Israel, ancaman yang mereka anggap sebagai pembenaran akan pembangunan
tembok berasal dari dalam, dan bukan luar, wilayah itu. Situasi demikian berbeda dari yang dimaksud oleh resolusi Dewan
Keamanan 1368 (2001) dan 1373 (2001), dan karena itu Israel tidak bisa, dalam setiap peristiwa, menggunakan resolusi tersebut
untuk mendukung klaimnya dalam melakukan hak pembelaan diri.’ Dalam kedua contoh kasus, sebuah paragraf preambul pada
resolusi masing-masing mengakui 'hak yang melekat pada individu atau pembelaan diri kolektif sesuai dengan Piagam'.

35ICJ, Case Concerning Armed Activities on the Territory of the Congo (Democratic Republic of the Congo v. Uganda), 19
Desember 2005, ayat. 147.

36 Ibid., Opini Terpisah dari Hakim Kooijmans, ayat 29.

37 Lihat dalam hal ini, Christopher Greenwood, ‘International law and the pre-emptive use of force:Afghanistan, Al-Qaida, and
Iraq’, di San Diego International Law Journal, Vol. 4, 2003, hal. 17; dan N. Lubell, catatan kaki 23, hsl. 35; dan Andrew Clapham,
Brierly’s Law of Nations, eds.7, Oxford Universit Press, Oxford, 2008, hal. 468–469.

38Surat bertanggal 27 Juli 1842 dari Mr Webster, Departemen Pertahanan Amerika serikat, Washington, DC, untuk Lord
Ashburton.

39 Lihat contoh., A. Clapham, catatan kaki 37, hal. 469–470.


untuk memenuhi kriteria kembar itu berarti bahwa penggunaan kekuatan bahkan mungkin adalah sebuah
agresi. Dalam Advisory Opinionnya tahun 1996 terhadap Legalitas Ancaman atau Penggunaan Senjata
Nuklir, ICJ menyatakan bahwa dua persyaratan mutual tersebut merupakan aturan hukum internasional
kebiasaan.40 Menurut prinsip kebutuhan, 'negara yang diserang (atau diancam dengan serangan yang
mungkin akan terjadi jika serangan tersebut merupakan pembelaan diri yang defensif) tidak harus, dalam
keadaan tertentu, melakukan cara apapun untuk menghentikan serangan selain memberi jalan keluar bagi
pasukan bersenjata'.41 Prinsip proporsionalitas, di sisi lain, agak lebih sulit dipahami, karena meskipun kata
tersebut umumnya berkonotasi keseimbangan (seringkali konsepnya bertentangan), maksudnya dalam
konteks ini agak berbeda:
Persyaratan proporsionalitas dari tindakan yang dilakukan untuk membela diri. . . menyangkut
hubungan antara tindakan dan tujuannya, yaitu. . . bahwa menghentikan dan memukul mundur
serangan. . . bagaimanapun adalah keliru untuk berpikir bahwa harus ada proporsionalitas antara
perilaku yang mengakibatkan serangan bersenjata dan perilaku yang menentang. Tindakan yang
diperlukan untuk menghentikan dan memukul mundur serangan itu mungkin harus
mengasumsikan aspek yang tidak proporsional kepada mereka yang menderita karena serangan
itu. . . . Keabsahannya tidak dapat diukur kecuali dengan kapasitasnya untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Bahkan, persyaratan dari 'kebutuhan' dan 'proporsionalitas' dari tindakan yang diambil
untuk membela diri hanya dapat digambarkan sebagai dua sisi mata uang yang sama.42

Sudut pandang ini, khususnya klaim bahwa efektivitas dalam menghentikan serangan bersenjata
adalah penentu proporsionalitas,43 telah ditangani secara tidak langsung dalam yurisprudensi Mahkamah
Internasional lainnya. Dalam kasus Oil Platform tahun 2003 (Iran v. USA), Mahkamah menyimpulkan
bahwa:
Adapun persyaratan proporsionalitas, serangan 19 Oktober 1987 mungkin, membuat Mahkamah
mendapati bahwa perlu adanya tanggapan pada insiden Sea Isle City sebagai serangan
bersenjata yang dilakukan oleh Iran, telah dianggap proporsional. Dalam kasus serangan 18 April

40Mahkamah menyatakan dalam kasus tentang Kegiatan Militer dan Paramiliter di dan terhadap Nikaragua (Nicaragua v Amerika
Serikat), ada 'aturan khusus dimana pembelaan diri akan hanya menjamin langkah-langkah yang sebanding dengan serangan
bersenjata dan perlu untuk menanggapinya, aturan mapan dalam hukum kebiasaan internasional '. Pengadilan melihat bahwa
kondisi ganda ini 'berlaku sama dengan Pasal 51 Piagam, apapun jenis kekuatan yang digunakan' ICJ, Legality of the Threat or
Use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion 8 Juli 1996, ayat 41.

41‘Addendum – Eighth report on State responsibility by Mr Roberto Ago, Special Rapporteur – the internationally wrongful act of
the State, source of international responsibility (part 1)’, Disarikan dari buku Tahunan the International Law Commission 1980,
Vol. II(1), Dok. PBB. A/CN.4/318/Add.5-7, ayat 120.

42 Ibid., ayat 121.

43 Lihat contoh, Elizabeth Wilmshurst, ‘Principles of international law on the use of force by states in selfdefence’, Chatham
House Working Paper, Oktober 2005, khusus. hal. 7–8, 10, tersedia di http://www.chathamhouse.org/sites/default/
files/public/Research/International%20Law/ilpforce.doc.
1988, bagaimanapun, dipahami dan dilaksanakan sebagai bagian dari operasi yang lebih luas
bernama 'Operasi Praying Mantis'. . . . Sebagai respon terhadap ledakan ranjau, oleh sebuah
badan tak dikenal, pada sebuah kapal perang Amerika Serikat, yang rusak parah tapi tidak
tenggelam, dan tak ada yang tewas, bukanlah 'Operasi Praying Mantis' secara keseluruhan, atau
bahkan sebagian yang menghancurkan platform [minyak] Salman dan Nasr, dapat dianggap,
dalam situasi kasus ini, sebagai penggunaan kekuatan yang proporsional untuk membela diri.44

Aplikasi maupun ambang batas yang tepat untuk penggunaan yang sah atas kekuatan sebagai
pembelaan diri tetap tidak pasti.45 Meskipun demikian, hal ini bisa dibilang masalah karena sebuah negara
yang menggunakan drone bersenjata dalam operasi lintas-perbatasan, yang belum disetujui oleh negara
dimana wilayahnya merupakan lokasi tempat tinggal ‘teroris’, mungkin secara sah mengklaim bahwa itu
adalah tindakan untuk membela diri jika ancaman atau penggunaan kekerasan terhadapnya itu berujung
menjadi serangan bersenjata.46 Sebuah ancaman dari serangan ‘teroris’ yang terisolasi dan lebih dibatasi
tidak akan pernah cukup. Hal ini memiliki implikasi yang signifikan berpotensi, khususnya, dalam
penggunaan drone bersenjata oleh Israel di wilayah Palestina. Bagaimanapun, juga akan muncul,
berdasarkan Pasal 51 dari Piagam PBB, bahwa penggunaan drone bersenjata oleh satu negara terhadap
negara yang lain atau di wilayah negara lain yang mengaku membela diri setidaknya harus segera
dilaporkan kepada Dewan Keamanan jika ingin dianggap sah.47 Ini tidak diketahui kapan akan terjadi.48

Drone dan hukum humaniter internasional


Mungkin sekali, penggunaan drone di medan perang relatif tidak kontroversial menurut jus in bello
(tanpa prasangka terhadap jus ad bellum) karena mungkin ada sedikit perbedaan praktis antara

44 ICJ, Case Concerning Oil Platforms, Republik Islam Iran v. Amerika Serikat, Keputusan 6 November 2003, ayat. 77.

45Termasuk sehubungan dengan klaim hak untuk membela diri yang muncul dari tingkat rendah, serangan kumulatif oleh aktor-
aktor non-negara. Lihat dalam hal ini, Reporter khusus ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat 41.

46 Seperti yang ditegaskan Alston, ‘hanya situasi yang sangat jarang saat aktor non-negara yang aktivitasnya tidak melibatkan
tanggung jawab negara manapun akan mampu melakukan jenis serangan bersenjata yang akan menimbulkan hak untuk
menggunakan kekuatan ekstrateritorial mereka.’ Reporter Khusus 'studi tentang pembunuhan yang ditargetkan tahun 2010',
catatan kaki 11, ayat 40.

47"Tindakan yang diambil oleh anggota dalam pelaksanaan hak pembelaan diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan
Keamanan '. Alston melanjutkan lebih jauh, dengan alasan bahwa Piagam PBB akan mengharuskan bahwa persetujuan Dewan
Keamanan harus dihargai. Ibid. ayat 40

48 Selain itu, bahkan ketika beroperasi dalam negara yang memiliki fakta - dan meskipun pernyataan umum reguler bertentangan
- secara implisit setidaknya setuju dengan penggunaan drone di wilayahnya, namun fakta penggunaan drone untuk menargetkan
'teroris' memang tidak populer. Dalam sebuah wawancara dengan Voice of America (VOA) pada tanggal 31 Januari 2012, juru
bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan menyebut rudal serangan AS 'ilegal, kontraproduktif dan tidak dapat diterima, dan
melanggar kedaulatan Pakistan' meskipun hal itu menegaskan serangan itu dilakukan dengan bantuan intelijen Pakistan.
‘Obama’s drone strikes remark stirs controversy’, dalam VOA, 31 Januari 2012, tersedia di: http://www.voanews.com/content/
pakistan-repeatscondemnation-of-drone-strikes-138417439/151386.html.
penggunaan rudal Cruise atau pemboman udara dan penggunaan drone yang dilengkapi dengan senjata
peledak.49 Memang, menurut Reporter Khusus PBB tentang eksekusi yang ekstrajudisial, tiba-tiba atau
sewenang-wenang, meskipun ‘dalam kebanyakan kasus pembunuhan yang ditargetkan melanggar hak
untuk hidup, dalam situasi konflik bersenjata yang luar biasa, hal tersebut mungkin dianggap sah secara
hukum'.50 Apakah penggunaan drone bersenjata merupakan agresi atau tindakan membela diri yang sah,
keduanya harus berlangsung dalam situasi konflik bersenjata dan memenuhi kriteria perhubungan yang
relevan (lihat di subbagian bawah tentang perhubungan konflik) keduanya juga akan dinilai berdasarkan jus
in bello yang berlaku, khususnya HHI.51 Dengan demikian, mereka harus mematuhi, minimal, aturan HHI
yang berlaku pada perilaku perang, khususnya aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan pencegahan
dalam serangan, pembedaan, dan proporsionalitas, dan keduanya tidak harus menggunakan senjata yang
penggunaannya melanggar hukum berdasarkan HHI. Aturan-aturan ini akan dibahas pada gilirannya.

Tindakan pencegahan dalam serangan


Ada hubungan langsung antara menghormati aturan mengenai tindakan pencegahan dalam
serangan dan menghormati aturan kebiasaan lain yang berlaku pada perilaku perang, terutama pembedaan
(diskriminasi) dan proporsionalitas, serta larangan menggunakan cara atau metode perang yang sifatnya
menyebabkan cedera berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Sebagian besar aturan tentang
tindakan pencegahan dalam serangan, yang dikodifikasikan dalam Protokol Tambahan I tahun 1977,
bersifat kebiasaan dan berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional maupun konflik bersenjata
internasional, menurut studi Komite Internasional Palang Merah (ICRC) yang diterbitkan pada tahun 2005.
Pusat di antara aturan-aturan itu adalah kewajiban untuk melakukan 'perawatan konstan' dalam
pelaksanaan operasi militer untuk 'menyelamatkan penduduk sipil, warga sipil, dan obyek-obyek sipil'.
Dalam hal ini, ‘semua tindakan pencegahan yang mungkin harus diambil untuk menghindari, dan disamping

49 Drone AS telah secara aktif dikerahkan di Afghanistan sejak tahun 2001, telah dikatakan bahwa serangan pesawat tak
berawak pertama kalinya terjadi selama invasi November 2001, menarget pertemuan Al Qaeda tingkat tinggi di Kabul. Lihat
contoh, John Yoo, ‘Assassination or targeted killings after 9/11’, dalam New York Law School Law Review, Vol. 56, 2011/12, hal.
58, juga mengutip James Risen, ‘A nation challenged: Al Qaeda; Bin Laden aide reported killed by US bombs’, dalam The New
York Times, 17 November 2001, hal. A1, tersedia di: http://www.nytimes.com/2001/11/17/world/a-nationchallenged-al-qaeda-bin-
laden-aide-reported-killed-by-usbombs.html. Sejak April 2011, serangan drone juga digunakan dalam konflik bersenjata di Libya
di mana serangan itu melanda konvoi yang membawa pemimpin terguling Muammar al-Gaddafi keluar dari Sirte pada bulan
Oktober tahun yang sama.

50 ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat (10).

51 Dengan demikian, perbuatan yang melanggar hukum di bawah jus in bello belum tentu merupakan respon yang tidak
proporsional untuk tujuan menentukan legalitas tindakan yang diambil untuk membela diri dalam jus ad bellum.
itu untuk meminimalkan, korban sipil yang tewas tanpa sengaja, korban sipil yang terluka, dan kerusakan
objek sipil'.52 Pasal 57 Protokol menyatakan bahwa mereka yang merencanakan atau memutuskan sebuah
serangan akan 'mengambil semua tindakan pencegahan yang mungkin dalam pemilihan sarana dan
metode serangan'.53
Untuk beberapa alasan dapat dikatakan bahwa serangan drone mungkin memenuhi persyaratan
bagi tindakan pencegahan dalam serangan. Pertama, video yang tersedia dalam drone dapat memberikan
pandangan 'langsung' pada target sehingga tidak adanya warga sipil disekitar target dapat dipantau sampai
beberapa menit atau bahkan detik terakhir.54 Kedua, tampaknya bahwa setidaknya beberapa dari target
serangan drone diketahui lokasi keberadaannya menggunakan alat pelacak yang mungkin terpasang (atau
yang 'dicat') pada pesawat, barang bawaan, atau peralatan, atau bahkan kemungkinan pada orang atau
salah satu orang yang ditargetkan. Ketiga, dalam kasus-kasus tertentu (terutama di tanah Afghanistan),
pasukan militer di dekatnya juga bertugas memonitor target. Keempat, selain varian thermobaric dari rudal
Hellfire,55 sebagian besar rudal ditembakkan dari drone yang diyakini memiliki radius ledakan lebih kecil
dari amunisi konvensional lainnya yang mungkin biasanya digunakan dari sebuah jet tempur. Faktor-faktor
ini tidak menghilangkan risiko korban sipil, tetapi mereka pasti mewakili tindakan yang mungkin dapat
meminimalkan tewasnya warga sipil secara tak sengaja.56
Kegagalan yang signifikan terjadi tanpa disangkal, bagaimanapun, dengan satu serangan drone di
Afghanistan pada tahun 2010 saja membunuh dua puluh tiga warga sipil Afghanistan dan melukai dua

52 Studi hukum humaniter internasional, catatan kaki 21, Aturan 15.

53 Protokol Tambahan I1977, Pasal 57(2)(a)(ii).

54Sebaliknya, seorang mantan pejabat kontraterorisme Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya dilaporkan menegaskan
bahwa '"ada begitu banyak drone" di udara di atas Pakistan yang menjadi bahan perdebatan di mana operator jarak jauh dapat
mengklaim yang mana target, menyebabkan "masalah perintah-dan-kontrol” Lihat J. Meyer, catatan kaki 7.

55Menurut salah satu situs AS industri pertahanan, varian Hellfire AGM-114N menggunakan thermobaric (logam ditambah biaya)
dengan hulu ledak yang mampu menyedot udara keluar dari gua, meruntuhkan bangunan, atau menghasilkan 'suatu radius
ledakan yang mencengangkan di area terbuka.’ ‘US Hellfire missile orders, FY 2011-2014’, dalam Defense Industry Daily, 10
Januari 2012, tersedia di: http://www.defenseindustrydaily.com/US-Hellfire-Missile-Orders-FY-2011-2014-07019/.

56 Meskipun, dengan memperhatikan peringatan terkait dengan hal ini yang diungkapkan oleh Alston: pendukung 'Drone'
berpendapat bahwa karena drone memiliki kemampuan pengawasan yang lebih besar dan tingkat ketepatan yang lebih besar
daripada senjata lain, maka ia lebih mampu mencegah korban cedera dari pihak sipil. Hal ini mungkin benar tepat hingga pada
tahap tertentu, namun ia menyajikan gambar yang tak lengkap. Presisi, akurasi dan legalitas serangan drone tergantung pada
kecerdasan manusia yang menjadi dasar dari segala keputusan untuk menarget.' ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki
11,ayat 81. Memang seperti yang dikatakan Daniel Byman: "Untuk mengurangi korban, kecerdasan luar biasa diperlukan.
Operator harus tahu tidak hanya tentang keberadaan teroris, tetapi juga siapa yang ada bersama teroris dan siapa saja yang ada
dalam radius ledakan. Tingkat pengawasan mungkin sering kurang, dan teroris 'sengaja menggunakan anak-anak dan warga
sipil lainnya sebagai tameng hingga membuat kematian warga sipil jadi mungkin terjadi.’ Daniel L. Byman, ‘Do targeted killings
work?’, dalam Brookings Institution, 14 Juli 2009, tersedia di: http://www.brookings.edu/opinions/2009/ 0714_targeted_killings_
byman.aspx.
belas lainnya.57 Pada bulan Mei 2010, militer AS merilis laporan mengenai yang tewas, mengatakan bahwa
laporan yang 'tidak akurat dan tidak profesional' oleh operator drone Predator telah mengakibatkan
serangan udara pada bulan Februari 2010 pada sekelompok warga sipil pria, wanita, dan anak-anak.58
Laporan itu mengatakan bahwa empat perwira Amerika, termasuk satu komandan brigade dan batalion,
telah ditegur, dan dua perwira muda itu juga telah didisiplinkan. Jenderal Stanley A. McChrystal, yang
meminta maaf kepada Presiden Afghanistan Hamid Karzai setelah serangan, mengumumkan serangkaian
langkah-langkah pelatihan yang dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hal serupa.
Jenderal McChrystal juga meminta komandan Angkatan Udara untuk membuka penyelidikan atas para
operator Predator.59
Pertanyaan tentang berapa banyak warga sipil yang tewas dalam serangan drone sangat
terpolarisasi.60 Hal itu dilaporkan dalam The New York Times pada Mei 2012 bahwa pemerintahan Obama
telah menggunakan suatu metode untuk memperkirakan korban sipil yang ‘pada dasarnya menganggap
semua laki-laki usia militer di zona serangan sebagai kombatan. . . kecuali kalau ada keterangan eksplisit
setelah kematian yang membuktikan mereka tidak bersalah'.61 Dilihat dari sudut peristiwa ini, "klaim yang
luar biasa' pada bulan Juni 2011 oleh penasihat kontraterorisme terkenal Presiden Obama, John O.
Brennan, bahwa tak ada 'sebuah kematian yang terjadi bersamaan' selama dua belas bulan sebelumnya
terdengar tidak akurat.62

57‘First drone friendly fire deaths’, dalam RT, 12 April 2011, tersedia di: http://rt.com/usa/news/first-dronefriendly-fire/. Pada bulan
Oktober 2011, Departemen Pertahanan AS menyimpulkan bahwa sejumlah kesalahan miskomunikasi antara personil militer
yang telah menyebabkan serangan drone pada April sebelumnya, serangan yang keliru yang membunuh dua tentara AS di
Afghanistan. ‘Drone strike killed Americans’, dalam RT,17 Oktober 2011, tersedia di: http://rt.com/usa/news/drone-american-
military-report-057/.

58 Dexter Filkins, ‘Operators of drones are faulted in Afghan deaths’, in The New York Times, 29 May 2010, tersedia di:
http://www.nytimes.com/2010/05/30/world/asia/30drone.html. Laporan, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal TP McHale,
menemukan bahwa operator Predator di Nevada dan 'pos komando yang kurang berfungsi' di daerah gagal memberikan bukti
pada komandan lapangan bahwa ada warga sipil di dalam truk. Menurut pejabat militer di Washington dan Afghanistan, yang
berbicara tentang kondisi anonimitas, analis intelijen yang memantau video feed drone yang dikirim melalui pesan komputer dua
kali, memperingatkan operator drone dan pos komando bahwa ada anak-anak yang terlihat.

59 Ibid.

60 Lihat contoh Chris Woods, ‘Analysis: CNN expert’s civilian drone death numbers don’t add up’, dalam The Bureau of
Investigative Journalism, 17 Juli 2012, tersedia di: http://www.thebureauinvestigates.com/2012/07/17/analysis-cnn-experts-
civilian-drone-death-numbers-dont-add-up/.

61Jo Becker dan Scott Shane, ‘Secret “kill list” proves a test of Obama’s principles and will’, dalam The New York Times, 29 Mei
2012, tersedia di: http://www.nytimes.com/2012/05/29/world/obamas-leadership-in-waron-al-qaeda.html?_r=1&pagewanted=all.

62‘Biro Jurnalisme Investigatif, yang memonitor korban, menghitung ‘laporan media yang kredibel’ antara 63 dan 127 kematian
non-militan pada tahun 2011, dan investigasi Associated Press baru-baru ini menemukan bukti bahwa setidaknya 56 warga desa
dan polisi suku tewas dalam 10 serangan terbesar sejak Agustus 2010. Tetapi analis, pejabat Amerika dan bahkan banyak suku
setuju kalau drone semakin tepat dalam menarget. Dari 10 serangan tahun ini, media berita lokal telah menuduh bahwa kematian
warga sipil terjadi dalam satu kasus. Sisa dari mereka yang tewas - 58 orang, berdasarkan perkiraan konservatif - adalah militan’.
Aturan mengenai pembedaan
Sehubungan dengan aturan mengenai pembedaan, yang bisa dianggap paling fundamental dari
semua aturan HHI, penerapannya dalam sebuah konflik bersenjata internasional jauh lebih sederhana
dibandingkan dalam konflik bersenjata yang bersifat non-internasional. Penggunaan drone penyerang
tampaknya telah dikonfirmasi dalam dua konflik bersenjata internasional sampai saat ini, yaitu Amerika
Serikat dan yang lainnya terhadap Afghanistan (Pasukan Taliban - sebagai lawan Al Qaeda63 ) pada tahun
2001-200264 dan salah satu yang mengadu angkatan bersenjata negara-negara anggota NATO dengan
Libya pada tahun 2011. Hal ini, bagaimanapun, juga diperkirakan bahwa serangan drone dilakukan pada
tahun 2003-2004 selama serangan terhadap Irak,65 yang membentuk bagian dari konflik bersenjata
internasional antara Amerika Serikat (dan yang lainnya) dengan rezim Saddam Hussein.
Contoh-contoh ini dikesampingkan, jelas bahwa mayoritas serangan drone selama konflik
bersenjata terjadi dalam konflik yang karakternya non-internasional: oleh Amerika Serikat dan Inggris di
Afghanistan dari bulan Juni 2002,66 dan oleh Amerika Serikat di Pakistan,67 Somalia,68 dan Yaman.69 Di
Irak, drone tak bersenjata yang saat ini digunakan oleh Departemen Luar Negeri AS untuk keperluan

Declan Walsh, Eric Schmitt dan Ihsanullah T. Mehsud, ‘Drones at issue as US rebuilds ties to Pakistan’, dalam The New York
Times, 18 Maret 2012, tersedia di: http://www.nytimes.com/2012/03/19/world/asia/drones-at-issue-as-pakistan-tries-tomend-us-
ties.html?pagewanted=all. Untuk pertahanan yang kuat dari serangan drone dan klaim jumlah korban sipil benar-benar dilebih-
lebihkan.Lihat contoh, Gregory S., McNeal , ‘Are targeted killings unlawful? A case study in empirical claims without empirical
evidence’, dalam C. Finkelstein, J. D. Ohlin dan A. Altmann (eds), Targeted Killings, Law and Morality in an Asymmetrical World,
Oxford University Press, Oxford, 2012, hal. 326–346.

63Dalam pandangan penulis, pertempuran dengan Al-Qaeda di Afghanistan sejak tahun 2001 tepat diklasifikasikan sebagai
konflik bersenjata yang terpisah, non-internasional

64Karakter konflik dengan Taliban berubah sebagai akibat dari Loya Jirga yang pada bulan Juni 2002 memilih Presiden Hamid
Karzai. Sehubungan dengan kualifikasi konflik bersenjata di Afghanistan,lihat contoh, Robin Geiß dan Michael Siegrist, ‘Has the
armed conflict in Afghanistan affected the rules on the conduct of hostilities?’, dalam International Review of the Red Cross, Vol.
93, No. 881, Maret 2011, khususnya hal. 13 dst.

65 Lihat contoh, ‘Unmanned aerial vehicles (UAVs)’, dalam GlobalSecurity.org, terakhir dimodifikasi 28 Juli 2011, tersedia di:
http://www.globalsecurity.org/intell/systems/uav-intro.htm.

66Australia dan Canadadipercaya menggunakan drone Heron tak bersenjata . Lihat contoh, ‘Canada, Australia contract for Heron
UAVs’, dalam Defense Industry Daily, 17 Juli 2011, tersedia di: http://www.defenseindustrydaily.com/Canada-Contracts-for-
Heron-UAVs-05024/.

67Lihat contoh, ‘US drone strike kills “16” in Pakistan’, dalam BBC, 24 Agustus 2012, http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-
19368433.

68Serangan drone pertama melawan pasukan al-Shabaab diyakini telah terjadi pada akhir Juni 2011. Declan Walsh, ‘US begins
drone strikes on Somalia militants’, dalam The Guardian, 1 Juli 2011, hal. 18.

69Lihat contoh, Ahmed Al Haj, ‘Khaled Batis dead: US drone strike in Yemen reportedly kills top Al Qaeda militant’, dalam
Huffington Post, 2 September 2012, tersedia di: http://www.huffingtonpost.com/2012/09/02/khaled-batis-dead_n_1850773.html;
dan Hakim Almasmari, ‘Suspected US drone strike kills civilians in Yemen, officials say’, dalam CNN, 4 September 2012, tersedia
dia: http://edition.cnn.com/2012/09/03/world/meast/yemen-drone-strike/index.html.
pengamatan saja;70 drone bersenjata juga digunakan di sana di masa lalu, dengan efek yang
kontroversial.71 Di India, drone digunakan untuk membantu Pasukan Khusus India menarget pejuang
Maois, tetapi UAV yang mereka gunakan disebut-sebut tidak bersenjata.72
Mengingat realitas ini, aturan yang berlaku pada pembedaan – antara sasaran militer yang sah dan
warga serta objek sipil - biasanya adalah aturan yang mengatur perilaku perang dalam konflik bersenjata
yang bersifat non-internasional. Hanya sasaran militer yang sah, termasuk warga sipil 'yang berpartisipasi
langsung dalam perang', bisa menjadi sasaran sah dalam penyerangan, sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 3 Ketentuan yang bersamaan dalam keempat Konvensi Jenewa, yang dilengkapi
dengan hukum kebiasaan internasional (dan, jika memungkinkan, Pasal 13 (3) ProtokoTambahan l, II
1977).73
Pedoman Interpretasi ICRC pada konsep Partisipasi Langsung dalam Perang berdasarkan Hukum
Humaniter Internasional sangat kontroversial dalam hal tertentu. Tidak ada yang muncul untuk mengklaim
bahwa HHI melarang menargetkan angkatan bersenjata sebuah negara yang turut serta dalam konflik
bersenjata non-internasional.74 Jauh lebih kontroversial adalah pernyataan bahwa anggota (militer)
kelompok bersenjata yang terorganisir yang merupakan pihak dalam konflik tersebut juga memenuhi kriteria
yang diperlukan atas dasar fungsi tempur berkelanjutan'75 yang diklaim. Mereka yang melatih fungsi tempur
berkelanjutan dapat, pada prinsipnya, menjadi sasaran serangan setiap saat (meskipun permisif umum ini
tunduk pada peraturan tentang kebutuhan militer). Seperti yang diamati Alston:

70Eric Schmitt dan Michael S. Schmidt, ‘US drones patrolling its skies provoke outrage in Iraq’, dalam The New York Times, 29
Januari 2012, tersedia di: http://www.nytimes.com/2012/01/30/world/middleeast/iraq-is-angered-by-us-drones-patrolling-its-
skies.html?pagewanted=all.

71 J. Meyer, catatan kaki 7.

72 Nishit Dholabhai, ‘Scanner in sky gives fillip to Maoist hunt’, dalam The Telegraph (India), Calcutta, 16 Januari 2012, tersedia
di: http://www.telegraphindia.com/1120117/jsp/nation/story_15015539.jsp.

73 AS bukan Negara Pihak pada Protokol ini, meskipun Afghanistan sebaliknya. Bahkan Amerika Serikat yang mematuhi
Protokol, mungkin berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 1 Protokol, instrumen ini akan berlaku hanya untuk Afghanistan dan /
atau akan mengecualikan aplikasi ekstrateritorialnya untuk serangan di Pakistan. Hal ini karena menurut Pasal 1, Protokol
berlaku 'untuk semua konflik bersenjata. . . yang berlangsung di wilayah satu Pihak Peserta Agung antara angkatan
bersenjatanya dan angkatan bersenjata pihak yang tak sepakat atau kelompok bersenjata lainnya yang terorganisir yang, di
bawah komando yang bertanggung jawab, melakukan kontrol atas bagian dari wilayahnya yang memungkinkan mereka untuk
melaksanakan operasi militer berkelanjutan dan terpadu dan untuk melaksanakan Protokol ini.' Untuk tampilan yang lebih baik
pada penerapan Protokol di Afghanistan, setidaknya, pada semua negara pihak dalam instrumen, lihat contoh, the Rule of Law in
Armed Conflicts (RULAC) project, Australia profile, Qualification of Armed Conflicts section, khususnya catatan 2, tersedia di:
http://www.geneva-academy.ch/RULAC/applicable_international_law.php?id_state=16.

74Lihat Nils Melzer, Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in Hostilities under International Humanitarian
Law, ICRC, Geneva, 2009, hal. 30–31 (selanjutnya, ICRC Interpretive Guidance).

75Lihat ibid., hal. 27–28. ‘The term organized armed group . . . refers exclusively to the armed or military wing of a non-State
party: its armed forces in a functional sense’. Ibid., hal. 32.
penciptaan kategori CCF [fungsi tempur berkelanjutan] adalah, de facto, sebuah penentuan status
yang dipertanyakan mengingat bahasa perjanjian khusus yang membatasi partisipasi langsung
pada ‘waktu tertentu’ sebagai lawan dari 'sepanjang waktu. ". . . Penciptaan kategori CCF juga
meningkatkan risiko penargetan keliru pada seseorang yang, misalnya, mungkin telah
melepaskan fungsinya.76

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengidentifikasi - secara legal dan praktis – siapa
anggota militer tersebut. Seperti yang diamati oleh Pedoman Interpretasi yang diterbitkan oleh ICRC:
Berdasarkan HHI, kriteria menentukan bagi keanggotaan individu dalam kelompok bersenjata
yang terorganisir adalah apakah seseorang mengasumsikan fungsi berkelanjutan untuk kelompok
yang melibatkan partisipasi langsungnya dalam perang (selanjutnya: 'Fungsi tempur
berkelanjutan'). . . . [Fungsi ini] membedakan anggota pasukan perang terorganisir pihak non-
negara dari warga sipil yang secara langsung berpartisipasi dalam perang dengan dasar spontan,
sporadis, tidak terorganisir, atau yang menganggap fungsinya bersifat politis, administratif atau
fungsi non-perang lainnya.77

Mereka yang berpartisipasi secara langsung dalam perang yang dasarnya spontan, sporadis, atau
tidak terorganisir mungkin ditargetkan secara sah hanya ketika mereka berpartisipasi (meskipun di lain
waktu mereka tentu saja dapat ditangkap oleh operasi penegakan hukum dan diberi sangsi berdasarkan
hukum domestik karena pelanggaran yang dilakukan). Mereka yang menganggap fungsi ini sepenuhnya
bersifat politis, administratif, atau fungsi non-perang lainnya mungkin tidak secara sah ditargetkan kecuali
kalau dan sampai mereka berpartisipasi langsung dalam perang, dan hanya untuk waktu tertentu mereka
melakukan tindakan tertentu.78 Jika ragu dengan statusnya, seseorang harus dianggap sebagai warga sipil
yang tidak berpartisipasi secara langsung dalam perang.79

76 ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat (65)–(66).

77 ICRC Interpretive Guidance, catatan kaki 74, hal. 33. Menurut Melzer, fungsi tempur yang terus-menerus 'juga dapat
diidentifikasi berdasarkan perilaku konklusif, misalnya di mana seseorang telah berulang kali terlibat langsung dalam perang
dalam mendukung kelompok bersenjata yang terorganisir dalam keadaan yang mengindikasikan bahwa perilaku tersebut
merupakan fungsi kontinu dan bukannya perang spontan, sporadis, atau sementara diasumsikan untuk operasi tertentu.' Ibid.,
hal. 35; dan lihat N. Melzer, ‘Keeping the balance between military necessity and humanity: a response to four critiques of the
ICRC’s Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation In Hostilities’, dalam New York University Journal of
International Law and Politics, Vol. 42, 2010, hal. 890 (selanjutnya, ‘Keeping the balance’).

78 Sebaliknya, Brigadir Jenderal Watkin mengusulkan untuk secara signifikan memperluas kategori orang-orang yang akan
masuk dalam definisi, khususnya termasuk orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi eksklusif 'dukungan layanan tempur',
termasuk tenaga memasak dan administrasi. Kenneth Watkin, ‘Opportunity lost: organized armed groups and the ICRC “Direct
Participation in the Hostilities” Interpretive Guidance’, dalam New York University Journal of International Law and Politics, Vol.
42, 2010, hal. 692, tersedia di: http://www.law.nyu.edu/ecm_dlv1/groups/public/@nyu_law_website__journals__ journal_of_
international_law_and_politics/documents/documents/ecm_pro_065932.pdf. Lihat N. Melzer, ‘Keeping the balance’, catatan kaki
77, hal. 848–849.

79Menurut Rekomendasi VIII dari ICRC’s Interpretive Guidance: Semua tindakan pencegahan yang layak harus diambil dalam
menentukan apakah seseorang adalah sipil dan, jika demikian, apakah warga sipil yang berpartisipasi secara langsung dalam
perang. Dalam hal keraguan, orang harus dilindungi dari serangan langsung'. ICRC Interpretive Guidancecatatan kaki 74, hal.
75–76. Lihat juga N. Melzer, ‘Keeping the balance’, catatan kaki 77, khususnya hal. 874–877. Radsan menegaskan bahwa:
‘Kecuali dalam keadaan luar biasa, agensi bisa menyerang hanya jika ia puas tanpa keraguan bahwa tujuannya adalah pejuang
Atas dasar ini, menggunakan kekuatan mematikan untuk menargetkan mata-mata Al-Qaeda di
Afghanistan yang terlibat dalam perencanaan, pengarahan, atau melakukan serangan di Afghanistan
melawan, misalnya, pasukan AS, karena itu akan, dianggap, sah menurut aturan pembedaan HHI.
Menargetkan putranya, putrinya, istrinya, atau istri-istrinya tidak akan sah, kecuali (dan hanya untuk waktu
tertentu) mereka berpartisipasi secara langsung dalam perang.80 Legalitas serangan terhadap mata-mata,
di mana serangan juga diharapkan secara tak sengaja membunuh atau melukai warga sipil, tergantung
pada ketetapan sesuai dengan aturan proporsionalitas (lihat sub bagian di bawah tentang proporsionalitas
dalam serangan).
Gagal membuat pembedaan seperti itu selama serangan akan membuat serangan menjadi tidak
sah dan merupakan bukti kejahatan perang.81 Pada bulan Maret 2012, firma hukum Inggris Leigh Day & Co
dan Reprieve mengajukan tuntutan melawan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague mewakili Noor
Khan, yang ayahnya Malik Daud Khan tewas dalam serangan drone di Pakistan pada tahun 2011 'selagi
memimpin pertemuan damai para tetua suku'.82
Pada tahun 2009, dilaporkan di media bahwa Joint Integrated Prioritized Target List Departemen
Pertahanan Amerika Serikat - daftar target teroris Pentagon yang disetujui, berisi 367 nama - telah
diperluas hingga mencakup sekitar lima puluh bandar narkoba Afghanistan yang diduga memberikan uang

fungsional Al Qaeda atau kelompok teroris yang sama. Serangan drone, pada dasarnya, adalah eksekusi tanpa kesempatan
yang realistis untuk banding ke pengadilan melalui habeas corpus atau prosedur lain'. A. J. Radsan, catatan kaki 19, hal. 3.
Sayangnya, ia kemudian mengklaim bahwa: "Ada, tentu saja, pengecualian untuk aturan umum saya bagi penargetan CIA. Saya
meringkas pengecualian ini menurut label keadaan yang luar biasa. Targetnya, misalnya, dapat memainkan peran yang tak
tergantikan dalam al Qaeda. Sebuah operator drone dapat melihat lawan bicara lewat layar yang mungkin saja orang itu Bin
Laden - tetapi bukan Bin Laden dan itu tak diragukan. Meski begitu, keuntungan militer dalam membunuh Bin Laden,
dibandingkan dengan teroris tingkat menengah, dapat membenarkan risiko tambahan karena telah keliru melukai warga sipil'.
(Ibid., hal. 5.)

80 Dalam hal ini, Melzer mencatat pemahaman Amerika Serikat, dinyatakan dalam konteks Protokol Opsional Konvensi Hak Anak
mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, bahwa ‘kalimat tersebut’ adalah bagian langsung dalam perang: (i) berarti
tindakan segera dan aktual di medan perang cenderung membahayakan musuh karena ada hubungan kausal langsung antara
aktivitas yang terlibat dan bahaya yang diberikan untuk musuh, dan (ii) tidak berarti partisipasi langsung dalam perang, seperti
mengumpulkan dan mengirimkan informasi militer, mengangkut senjata, amunisi, atau perlengkapan lainnya, atau meneruskan
penyebaran’ Lihat N. Melzer, ‘Keeping the balance’, catatan kaki 77, hal. 888, dan catatan 226.

81 Dalam hal ini, mengklaim bahwa sejumlah serangan drone CIA telah menargetkan sebuah acara pemakaman atau mereka
yang menyelamatkan korban serangan drone sangatlah meresahkan. Menurut sebuah laporan oleh Biro Jurnalisme Investigatif:
'Sebuah penyelidikan tiga bulan termasuk laporan saksi mata telah menemukan bukti bahwa setidaknya 50 warga sipil tewas
dalam serangan lanjutan ketika mereka sedang membantu korban. Lebih dari 20 warga sipil juga telah diserang dalam serangan
yang disengaja pada sebuah upacara pemakaman dan pelayat' Chris Woods dan Christina Lamb, ‘Obama terror drones: CIA
tactics in Pakistan include targeting rescuers and funerals’, dalm Bureau of Investigative Journalism, 4 Februari 2012, tersedia di:
http://www.thebureauinvestigates.com/2012/02/04/obamaterror-drones-cia-tactics-in-pakistan-include-targeting-rescuers-and-
funerals/.

82 ‘GCHQ staff could be at risk of prosecution for war crimes’, dalam Gloucester Echo, 13 Maret 2012, Tersedia di: http://www.
thisisgloucestershire. co.uk/GCHQ-staff-risk-prosecution-war-crimes/story-15505982-detail/story.html.
untuk membantu membiayai Taliban.83 Individu yang terlibat dalam pertumbuhan, distribusi, dan penjualan
narkotika, dianggap penjahat, namun, meskipun mereka rela atau membiayai terorisme, mereka tidak
langsung berpartisipasi dalam perang di Afghanistan.84 Penargetan penjahat individu dengan drone adalah
melanggar hukum.

Aturan proporsionalitas
Bahkan jika suatu target yang merupakan sasaran militer yang sah menurut HHI, pertanyaan
proporsionalitas muncul dan bisa mempengaruhi pemilihan sarana dan metode perang yang mungkin
secara sah dapat digunakan, atau bahkan secara efektif melarang serangan yang diluncurkan. Melanggar
aturan proporsionalitas adalah serangan tak pandang bulu sesuai dengan Protokol Tambahan I 1977.85
Aturan tersebut tidak mendapat dukungan dari Pasal 3 Ketentuan yang bersamaan dalam konvensi Jenewa
atau Protokol Tambahan II tahun1977, tetapi dianggap sebagai aturan HHI kebiasaan yang berlaku tidak
hanya pada konflik bersenjata internasional tetapi juga dalam konflik bersenjata yang bersifat non-
internasional. Menurut Peraturan 14 studi hukum humaniter kebiasaan internasional ICRC:
Meluncurkan serangan yang diharapkan menyebabkan tewasnya korban sipil, terluka, atau
kerusakan objek sipil, atau kombinasinya, yang menjadi berlebihan dalam kaitannya dengan
keuntungan militer yang konkrit dan langsung, dilarang.
Pertanyaannya, tentu saja, adalah apa yang 'berlebihan'? Dalam komentar ICRC yang diterbitkan
pada Pasal 51 (5) Protokol Tambahan I 1977, tempat asal teks tersebut menetapkan aturan tentang
proporsionalitas dalam serangan, dinyatakan bahwa:
Tentu saja, ketidakseimbangan antara kerugian dan kerusakan yang disebabkan dan keuntungan
militer yang memang diantisipasi menimbulkan masalah rumit, dalam beberapa situasi tidak ada
lagi keraguan, sementara dalam situasi lain mungkin ada alasan untuk ragu-ragu. Dalam situasi
seperti itu kepentingan penduduk sipil haruslah diutamakan.86
Diketahui bahwa negara yang berbeda memiliki penilaian berbeda tentang apa itu proporsional.
Bahkan militer sekutu, seperti Inggris dan Amerika Serikat, tampaknya memiliki pandangan yang berbeda
tentang masalah ini. Sebuah contoh instruktif terjadi di Afghanistan pada Maret 2011 ketika drone Royal Air
Force milik Inggris menewaskan empat warga sipil Afghanistan dan melukai dua orang lainnya dalam

83 J. Meyer, catatan kaki 7.

84 Lihat, dalam hal ini, ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11,ayat (68).

85 Lihat 1977 AP I, Pasal 51(5)(b) dan Pasal 57(2)(a)(iii).

86Yves Sandoz, Christophe Swinarski dan Bruno Zimmermann (eds), Commentary on the Additional Protocols, ICRC, Geneva,
1987, ayat (1979)–(1980)
serangan terhadap 'pemimpin pemberontak' di provinsi Helmand, operasi pertama yang dikonfirmasi di
mana sebuah pesawat Reaper Inggris telah bertanggung jawab atas kematian warga sipil.87 Menurut
laporan pers, juru bicara Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan:
Setiap insiden yang melibatkan korban sipil akan menimbulkan penyesalan yang mendalam dan kita
mengambil setiap tindakan yang mungkin untuk menghindari insiden seperti itu. Pada tanggal 25
Maret Reaper Inggris ditugaskan untuk terlibat dan menghancurkan dua truk pick-up. Aksi serangan
tersebut mengakibatkan tewasnya dua gerilyawan dan menghancurkan bahan peledak yang dibawa
truk. Sayangnya, empat warga sipil Afghanistan juga tewas dan dua lagi warga sipil Afghanistan
terluka. Ada prosedur yang ketat, sering diperbarui berdasarkan pengalaman, dimaksudkan untuk
meminimalkan risiko jatuhnya korban dan juga untuk menyelidiki setiap kejadian yang terjadi.

Sebuah penyelidikan ISAF dilakukan untuk menentukan apakah ada pelajaran yang bisa diambil dari
insiden tersebut atau jika kesalahan dalam prosedur operasional dapat diidentifikasi; laporan ini mencatat
bahwa tindakan kru Reaper Inggris telah sesuai dengan prosedur dan Aturan Keterlibatan Inggris.88
Meskipun demikian, sebuah 'sumber', rupanya dari Kementerian Pertahanan Inggris,
menginformasikan pada surat kabar the British Guardian bahwa serangan 'tidak akan terjadi jika kami tahu
bahwa ada warga sipil dalam kendaraan'.89 Jadi, sementara target (yaitu, gerilyawan setidaknya dalam
salah satu truk) mungkin tidak melanggar hukum berdasarkan HHI, tampaknya Inggris akan
menganggapnya tidak proporsional untuk menargetkan dua gerilyawan saat mereka tahu ada warga sipil di
sana.
Bandingkan contoh ini dengan kasus pemimpin Taliban, Baitullah Mehsud. Pada tanggal 23 Juni
2009, CIA membunuh Khwaz Wali Mehsud, seorang komandan peringkat pertengahan Taliban Pakistan.
Mereka berencana untuk menggunakan tubuhnya sebagai 'umpan' untuk menyasar Baitullah Mehsud, yang
diharapkan menghadiri pemakaman KhwazWali Mehsud. Hinggai 5.000 orang menghadiri pemakamannya,
termasuk tidak hanya pejuang Taliban tapi juga banyak warga sipil. Drone AS menyerang lagi, membunuh
sampai delapan puluh tiga orang. Dilaporkan Empat puluh lima dari yang tewas adalah warga sipil, di
antaranya sepuluh anak-anak dan empat pemimpin suku. Serangan itu menimbulkan pertanyaan yang
sangat serius tentang menghormati larangan serangan membabi buta. Baitullah Mehsud yang lolos tanpa
cedera, dilaporkan mati enam minggu kemudian, bersama dengan istrinya, dalam serangan CIA yang
lain.90

87 N. Hopkins, catatan kaki 5

88 Ibid.

89 Ibid.

90 C.Woods dan C. Lamb, catatan kaki 81. Menurut Meyer, CIA melakukan enam belas serangan rudal dengan menewaskan
hingga 321 orang sebelum mereka berhasil membunuh Baitullah Mehsud. Lihat J. Meyer, catatan kaki 7.
Penggunaan persenjataan yang sah
Hukum kebiasaan melarang penggunaan, baik dalam konflik bersenjata internasional atau non-
internasional, senjata yang sifatnya membabi buta, serta senjata yang sifatnya berlebihan hingga
menyebabkan cedera atau penderitaan yang tidak perlu.91 Secara umum, Rudal Hellfire yang biasanya
ditembakkan dari drone tidak tampak melanggar kriteria ini.92 Seperti yang disebutkan di atas,
bagaimanapun, sebuah surat peringatan diperlukan karena potensi penggunaan rudal Hellfire thermobaric
dikhawatirkan. Mengingat efek luas dan konsekuensinya bagi manusia, rudal thermobaric tersebut
menuntut pertimbangan lanjut berdasarkan kedua prinsip umum yang berkaitan dengan persenjataan.93
Selain itu, karena drone hanyalah platform, senjata lainnya dapat - dan - digunakan, yang mungkin
melanggar aturan yang melarang penggunaan senjata tidak sah dalam konflik bersenjata.

Penghubung konflik
Apakah serangan di Pakistan, khususnya yang melawan tersangka Al-Qaeda, dianggap melakukan
perang sah dalam konflik bersenjata di Afghanistan?94 Dalam sambutannya secara on line pada tanggal 31
Januari 2012, Presiden Obama mengatakan bahwa drone yang menyerang di Pakistan, yang dilakukan
oleh CIA dan bukan militer,95 adalah ‘upaya yang difokuskan dan ditargetkan pada orang-orang yang
berada di dalam daftar teroris aktif' dan bahwa AS tidak hanya 'menembakkan sejumlah besar serangan
tanpa rencana' tapi menargetkan ‘tersangka Al Qaeda yang berada di medan yang sangat sulit di
sepanjang perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan.96 Bagaimanapun, seorang 'teroris' tidak berarti

91 Lihat Studi HHI Kebiasaan ICRC, catatan kaki 21, Aturan 70 dan 71.

92Mengingat bahwa serangan drone sering terjadi di daerah berpenduduk, dimana radius ledakan rudal yang biasanya
meningkat dalam ukuran akan menjadi kekhawatiran besar menyangkut kepatuhan pada larangan akan serangan membabi buta.

93 Senjata thermobaric digambarkan sebagai 'salah satu senjata yang paling mengerikan dalam setiap koleksi tentara: bom
thermobaric, sebuah ledakan menakutkan yang menimbulkan nyala api di udara di atas target, kemudian mengisap oksigen dari
siapa pun yang tidak cukup beruntung masih hidup sejak ledakan awal' Noah Shachtman, ‘When a gun is more than a gun’,
dalam Wired, 20 Maret 2003, tersedia di: http://www.wired.com/politics/law/news/2003/03/58094 (kunjungan terkhir pada 20
Februari 2012, tetapi situsnya tidak lagi aktif).

94Dimana, sebaliknya, anggota Pakistan atau Taliban Afghanistan berencana dan melakukan serangan lintas-perbatasan ke
Afghanistan, atau Amerika Serikat sedang melakukan serangan drone dalam mendukung konflik bersenjata non-internasional
Pakistan melawan Taliban Pakistan (TTP), ini jelas terkait dengan konflik bersenjata yang spesifik

95Drone CIA dikatakan dikontrol dari fasilitas pinggiran kota dekat markas Agensi di Langley, Virginia Lihat D. Walsh, catatan
kaki 68

96 Lihat contoh., ‘Obama discusses US use of drones in online Q&A – video’, dalam The Guardian, 31 January 2012, tersedia di:
http://www.guardian.co.uk/world/video/2012/jan/31/obama-us-drones-video.
seseorang yang terlibat dalam konflik bersenjata (berbeda dari kasus bandar narkoba yang disebutkan di
atas yang kemudian dihilangkan). Harus ada penghubung jelas bagi konflik bersenjata dengan pihak non-
negara yang pasti, bukan tidak pasti, 'perang melawan teror' global, terutama karena pemerintah AS saat
ini telah berusaha untuk menjauhkan dirinya dari retorik semacam itu.97 seperti yang dinyatakan Melzer:
Apakah sebuah kelompok terlibat atau tidak dalam perang tidak hanya tergantung pada apakah ia
memilih kekerasan bersenjata yang terorganisir secara temporal dan geografis bertepatan
dengan situasi konflik bersenjata, tetapi juga pada apakah kekerasan tersebut dirancang untuk
mendukung salah satu pihak yang berperang melawan yang lain (penghubung pihak yang
berperang).98

Menurut Jaksa Agung AS, Eric Holder, yang membahas masalah serangan drone dalam sebuah
pidato pada bulan Maret 2012, 'otoritas hukum pemerintah AS tidak terbatas di medan perang di
Afghanistan.’ Holder mengatakan ada keadaan di mana ‘sebuah operasi menggunakan kekuatan
mematikan di negara asing, ditargetkan terhadap seorang warga negara AS yang merupakan pemimpin
operasional senior Al-Qaeda atau pasukan yang terkait, dan yang secara aktif terlibat dalam perencanaan
untuk membunuh warga Amerika, mungkin jadi tindakan yang sah’.99 Keadaan seperti itu termasuk sebuah
tinjauan menyeluruh yang telah menetapkan individu yang menyebabkan 'sebuah ancaman serangan nyata
terhadap Amerika Serikat', dimana ‘penangkapan tidak dapat dilakukan’, dan 'operasi akan dilakukan
dengan cara yang konsisten dengan hukum prinsip-prinsip perang yang berlaku’.100
Sementara pembatasan legalitas terhadap pembunuhan yang ditargetkan pada para pemimpin
operasional senior Al-Qaeda atau pasukan yang berkaitan yang menyebabkan ‘ancaman serangan
terhadap Amerika Serikat' mungkin diterima karena hal itu menyiratkan bahwa jika ancaman serangan itu
‘nyata’, maka serangan tidak akan disahkan, hal ini masih menimbulkan serangkaian pertanyaan. Pertama,
apa yang merupakan ‘ancaman nyata? Kedua, banyak dari mereka yang tewas dalam serangan drone di
Pakistan bukanlah pemimpin senior tapi pejuang tingkat menengah atau tingkat rendah. Apa legalitas dari
serangan ini? Atau apakah kriteria hanya terbatas pada drone penyerang ketika menyangkut warga negara

97 Lihat contoh., N. Lubell, catatan kaki 23, hal. 113, khususnya catatan 5, dan 114

98 N. Melzer, ‘Keeping the balance’, catatan kaki 77, hal. 841; lihat juga N. Melzer, catatan kaki 11, hal. 427.

99 Gagasan 'pasukan gabungan’ membutuhkan klarifikasi. Amerika Serikat akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat jika publik
mempersempit daftar terpilihnya untuk membunuh para anggota pimpinan Al-Qaedatidak semua orang yang secara terbuka atau
pribadi mendukung tujuan atau bersimpati dengan metode mereka.

100 ‘Attorney General Eric Holder defends killing of American terror suspects’, dalam Daily Telegraph, 6 Maret 2012, tersedia di:
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/al-qaeda/9125038/Attorney-General-Eric-Holder-defends-killing-of-American-terror-
suspects.html.
Amerika Serikat? Apakah ini adalah ‘musim berburu’ warga negara asing?101 Ketiga, apakah serangan
terhadap pasukan AS di Afghanistan oleh para pejuang yang berbasis di Pakistan dianggap sebagai
serangan teroris oleh pemerintah AS? Meskipun definisi terorisme masih sangat kontroversial, banyak yang
akan berpendapat bahwa itu adalah menargetkan warga sipil, bukan anggota angkatan bersenjata suatu
negara, ini merupakan salah satu hal yang mendefinisikan karakteristik terorisme,102 bersama dengan
upaya terkait untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah pada satu masalah atau lebih. Bagaimanapun Ini
jelas bukan pemahaman pemerintah AS terhadap istilah 'terorisme'.
Dan, sekali lagi, pernyataan Jaksa Agung tidak membahas masalah apakah serangan tersebut
merupakan bagian dari konflik bersenjata: komitmen lisan untuk melakukan operasi 'dengan cara yang
konsisten dengan hukum prinsip-prinsip perang yang berlaku' tidak berarti bahwa HHI berlaku menurut
hukum internasional. Mahkamah Agung AS, dalam Hamdan v Rumsfeld, menolak pernyataan bahwa
konflik tersebut adalah perang global melawan Al-Qaeda dimana Konvensi Jenewa tidak berlaku, dan
secara khusus menetapkan bahwa Pasal 3 Ketentuan yang Bersamaan dari Konvensi Jenewa diterapkan
pada Salim Ahmed Hamdan, mantan pengawal dan sopir Osama bin Laden, seorang individu yang
ditangkap oleh pasukan militer AS di Afghanistan pada bulan November 2001.103 Penilaian ini tidak berarti
bahwa siapa pun - di mana pun ia berada di dunia ini – yang berafiliasi dengan Al Qaeda ditarik ke dalam
konflik bersenjata yang bersifat non-internasional melawan Amerika Serikat sebagai seorang yang
berpartisipasi secara langsung dalam perang berdasarkan dukungan terhadap, atau bahkan dukungan
tidak langsung untuk, ideologi kekerasan.104

Serangan drone dan hukum hak asasi manusia


Penerapan dan dampak dari HHI pada serangan drone dalam situasi konflik bersenjata telah diulas
di atas, bagian ini membahas implikasi hukum hak asasi manusia internasional untuk penggunaan drone
bersenjata. Pembunuhan pertama yang ditargetkan menggunakan serangan drone di luar medan konflik

101 Seperti yang diperhatikan Radsan: "Jika kehidupan non-Amerika sama pentingnya dengan kehidupan Amerika, maka salah
satu model proses hukum (atau ‘tindakan pencegahan’untuk menggunakan istilah HHI), harus berlaku di seluruh badan. Dalam
istilah negatif, jika kuasa tidak cukup ampuh untuk membunuh orang Amerika, maka ia juga tidak cukup ampuh untuk membunuh
warga Pakistan, Afghanistan, atau Yaman . Lihat A. J. Radsan, catatan kaki 19, hal. 10.

Lihat contoh., UN, ‘A more secure world: Our shared responsibility, Report of the High-level Panel on Threats, Challenges and
102

Change’, New York, 2004 (UN High Level Panel), ayat 159–161.

103 Mahkamah Agung AS, Hamdan v. Rumsfeld, 29 Juni 2006, hal. 67–69.

104 Lihat contoh., M. E. O’Connell, ‘Seductive drones: learning from a decade of lethal operations’, Notre Dame Legal Studies
Paper No. 11-35, dalam Notre Dame Law School Journal of Law, Information & Science, Agustus 2011; dan seperti dikutip oleh
Carrie Johnson, ‘Holder spells out why drones target US citizens’, dalam NPR, 6 Maret 2012,
http://www.npr.org/2012/03/06/148000630/holder-gives-rationale-for-drone-strikes-on-citizens.
bersenjata diyakini telah membunuh enam orang yang diduga anggota Al-Qaeda, termasuk Qaed Senyan
al-Harithi, yang juga dikenal sebagai Abu Ali, yang adalah dalang tersangka pemboman USS Cole pada
Oktober 2000.105 Enam orang tewas pada tanggal 3 November 2002 di Yaman ketika salah satu atau dua
rudal Hellfire106 yang diluncurkan dari drone yang dikendalikan oleh Badan Intelijen Pusat AS (CIA)
menghancurkan kendaraan yang mereka tumpangi di provinsi Yaman utara Marib, sekitar 160 kilometer
sebelah timur Sana'a.107 Sejak itu, pembunuhan yang ditargetkan dengan menggunakan drone sudah
menjadi kejadian biasa di Pakistan dan, meskipun pada tingkat yang lebih rendah, di Yaman maupun di
negara-negara lain.108 Pembantaian 2011, oleh drone CIA, di Yaman Anwar al-Awlaki, seorang ulama
Muslim radikal keturunan Yaman, sangat kontroversial karena ia adalah seorang warga negara Amerika
Serikat.109 Setelah sebelumnya gagal menyerangnya dengan drone, keluarganya mengajukan tuntutan
hukum untuk berusaha mencegah AS dalam melaksanakan eksekusi terhadap salah satu warga negaranya
tanpa proses pengadilan.110
Sub bagian pertama di bawah ini membahas bagaimana hukum hak asasi manusia mengatur
penggunaan kekuatan di luar konflik bersenjata dalam situasi 'penegakan hukum', sedangkan yang kedua
melihat peran dan konsekuensinya - aktual dan potensial - dalam konflik bersenjata sebagai konstituen jus
in bello bersama HHI.

105 Lihat N. Melzer, catatan kaki 11, hal. 3; ‘Sources: US kills Cole suspect’, dalam CNN, 4 November 2002, tersedia di:
http://articles.cnn.com/2002-11-04/world/yemen.blast_1_cia-drone-marib-international-killers?_s=PM:WORLD.

106Hellfire AGM-114 adalah rudal dari-darat-ke-udara yang dikembangkan terutama untuk penggunaan anti-lapis baja, yang
dapat diluncurkan dari udara, laut, atau permukaan tanah. Lihat contoh., Lockheed Martin, ‘HELLFIRE II Missile’, website situs
Lockheed Martin, tak bertanggal, tersedia di: http://www.lockheedmartin.com/us/products/HellfireII.html (kunjungan terakhir 20
Maret 2012). Nama rudal, peluncuran pertama yang dipandu terjadi pada tahun 1978, berasal dari konsepsi aslinya seperti
sebuah helikopter yang meluncurkan senjata ‘fire-and-forget’ (HELicopter Launched FIRE-and-forget). ‘AGM-114A HELLFIRE
missile’, dalam Boeing, tersedia di: http://www.boeing.com/history/bna/hellfire.htm.

107Lihat contoh., ‘CIA “killed al-Qaeda suspects” in Yemen’, in BBC, 5 November 2002; and ‘US Predator kills 6 Al Qaeda
suspects’, dalam ABC News, 4 November 2002, terjadi di: http://abcnews.go.com/WNT/story?id=130027&page=1. Menurut
laporan ABC news, semua yang tersisa dari mobil 'adalah puing-puing di padang pasir'.

108 Angkatan bersenjata Israel melakukan pembantaian denga target terhadap Palestina menggunakan drone. Lihat contoh.,
‘Three killed in Israeli airstrike’, dalam CNN, 1 April 2011, tersedia di: http://articles.cnn.com/keyword/gaza-strip; ‘Gaza truce gets
off to a shaky start’, dalam CNN, 23 Juni 2012, available at: http://articles.cnn.com/2012-06-23/middleeast/world_meast_israel-
gaza-violence_1_gaza-truce-popular-resistance-committees-palestinianmedicalofficials?_s=PM:MIDDLEEAST

109 ‘Predator drones and unmanned aerial vehicles (UAVs)’, dalam The New York Times, diperbarui 5 Maret 2012.

110‘Obituary: Anwar al-Awlaki’, dan BBC, 30 September 2011, tersedia di: http://www.bbc.co.uk/news/worldmiddle-east-
11658920.
Penerapan hukum hak asasi manusia dalam penegakan hukum
Menurut hukum hak asasi manusia internasional dua prinsip penting yang mengatur semua
penggunaan kekuatan dalam pengaturan penegakan hukum: kebutuhan dan proporsionalitas. Meskipun
istilah-istilah ini telah digunakan dalam konteks jus ad bellum dan HHI, maknanya yang tepat dalam konteks
hukum hak asasi manusia sangat berbeda. Seperti yang dinyatakan Alston: 'Sebuah pembantaian yang
dilakukan oleh negara adalah sah hanya jika diperlukan untuk melindungi kehidupan (menjadikan kekuatan
mematikan dipandang proporsional) dan tidak ada cara lain, seperti menangkap atau penghancuran
kekuatan tak mematikan, dalam mencegah ancaman terhadap kehidupan (membuat kekuatan mematikan
sebagai hal yang diperlukan)'.111 Persyaratan selanjutnya adalah bahwa ancaman terhadap kehidupan di
mana penggunaan kekuatan mematikan itu sebagai upaya pencegahan yang harus dilakukan dengan
segera.112 Demikian, dalam pendekatannya pada pengaturan penggunaan kekuatan mematikan dengan
sengaja, hukum hak asasi manusia internasional secara umum menerima standar yang ditetapkan dalam
Prinsip-Prinsip Dasar tahun 1990 tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak
Hukum ('Prinsip Dasar').113 Menurut kalimat terakhir dari Prinsip Dasar 9: 'Dalam hal apapun, penggunaan
dengan sengaja terhadap senjata api mematikan hanya dapat dilakukan jika benar-benar tidak dapat
dihindari dalam rangka untuk melindungi hidup'.114
Bagaimanapun posisi umum ini tunduk pada dua peringatan. Pertama, Prinsip-prinsip Dasar tidak
dirancang untuk mengatur tindakan oleh angkatan bersenjata dalam situasi konflik bersenjata, yang tetap
berada di bawah lingkup jus in bello. Kedua, permulaan penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja
telah ditetapkan dengan tidak terlalu banyak pembatasan oleh domestik yurisprudensi AS (berkaitan
dengan kekuasaan aparat) dan juga ditafsirkan lebih permisif oleh Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi

111 ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat 32. Seperti yang dicatat Melzer, menurut 'paradigma' penegakan
hukum, 'pertanyaa tes proporsionalitas bukan apakah penggunaan kekuatan yang mematikan "diperlukan" untuk menghapus
ancaman nyata, tetapi apakah itu "dibenarkan" dalam pandangan akan sifat dan skala ancaman itu. N. Melzer, catatan kaki 11,
hal. 115.

112Menurut Prinsip 9 tahun 1990 Prinsip-Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak
Hukum (penekanan ditambahkan): ‘Aparat penegak hukum tidak akan menggunakan senjata api terhadap orang-orang kecuali
untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau cedera serius, untuk mencegah dilakukannya
suatu kejahatan serius yang melibatkan ancaman berat terhadap nyawa, untuk menangkap seseorang yang menyebabkan
bahaya semacam itu dan melawan otoritas mereka, atau untuk mencegahnya melarikan diri, dan hanya bila cara yang kurang
ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan tersebut.’

113Digunakan oleh Kongres Kedelapan PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar, Havana, Kuba,
27 Agustus-7 September 1990. Amerika Serikat tidak berpartisipasi dalam pertemuan ini, namun resolusi Majelis Umum PBB
menggunakan tahun yang sama untuk menyambut Prinsip Dasar dan mengajak pemerintah 'untuk menghormatinya dan
membawanya ke dalam laporan dalam kerangka undang-undang dan praktek nasional mereka.’ Resolusi Majelis Umum PBB
45/166, A/45/PV.69, digunakan tanpa pengambilan suara pada 18 Desember 1990, Paragaraf Operatif 4.

114 Prinsip 8 menyatakan bahwa: 'keadaan luar biasa seperti ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat publik lainnya
tidak dapat digunakan untuk membenarkan setiap perubahan dari prinsip-prinsip dasar.'
Manusia (sehubungan dengan operasi kontraterorisme).115 Di Tennessee v. Garner,116 Mahkamah Agung
AS menyatakan bahwa:
Ketika aparat memiliki alasan yang mungkin untuk percaya bahwa tersangka merupakan
ancaman bahaya fisik yang serius, baik kepada petugas atau orang lain, maka secara hukum
masuk akal untuk mencegah aksi melarikan diri dengan menggunakan kekuatan mematikan. Jadi,
jika tersangka mengancam petugas dengan senjata atau ada alasan yang bisa dipercaya bahwa
ia telah melakukan kejahatan yang menimbulkan penderitaan atau ancaman penderitaan dari luka
fisik yang serius, kekuatan mematikan dapat digunakan jika diperlukan untuk mencegah aksi
melarikan diri, dan jika, bila mungkin, beberapa peringatan telah diberikan.117

Negara-negara lain, termasuk Australia dan Inggris, mendukung standar yang lebih tinggi
sebagaimana diatur dalam Prinsip Dasar. Misalnya, Inggris memiliki kebijakan tembak-untuk-membunuh
pada tersangka pembom bunuh diri, tapi yang jelas memenuhi standar yang lebih tinggi karena pembom
bunuh diri tidak hanya mengancam kematian, tetapi juga kemungkinan untuk memenuhi kriteria nyata yang
merupakan bagian integral yang menyertai tingkat ancaman. Menyusul pembunuhan 2005 oleh Polisi
Metropolitan pada seorang pemuda tak bersenjata, Jean Charles de Menezes, yang keliru diduga sebagai
pelaku bom bunuh diri dan ia ditembak tujuh kali dari jarak dekat,118 Lord Stevens, mantan Komisaris Polisi
Metropolitan, membuat - dalam tabloid Inggris - kebijakan untuk publik yang telah telah digunakan ketika

115Komisi Tampaknya, bagaimanapun, membingungkan situasi di mana senjata api dapat digunakan (ancaman kematian atau
cedera serius yang akan terjadi) dalam situasi di mana kekuatan mematikan yang disengaja dapat digunakan. Memang, dalam
mengklaim bahwa penggunaan kekuatan mematikan oleh aparat penegak hukum adalah sah untuk melindungi diri mereka
sendiri atau orang lain dari ancaman cedera serius, mengutip Prinsip Dasar 9, seperti yang telah kita lketahui membatasi
penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja yang mana hal itu benar-benar tidak dapat dihindari dalam rangka untuk
melindungi kehidupan. Penulis terkemuka tertentu tampaknya telah melakukan kesalahan serupa. Lihat contoh., N. Melzer,
‘Keeping the balance’, catatan kaki 77, hal. 903; N. Melzer, , catatan kaki 11, hal. 62, 197; dan N. Lubell, catatan kaki 23, hal. 238

116 Tennessee v. Garner, 471 US 1, Banding dari Pengadilan Banding AS untuk Sixth Circuit, No 83-1035 (27 Maret 1985). Kasus
ini melibatkan penembakan fatal oleh polisi terhadap seorang anak 15 tahun yang tidak bersenjata. Tersangka, yang ditembak di
bagian belakang kepala dengan pistol kaliber 38 terisi dengan peluru hollow point, merupakan tersangka pencuri yang sedang
melarikan diri. Pada orang ini ditemukan uang dan perhiasan senilai $ 10 yang diduga ia curi dari sebuah rumah.

117 Pengadilan menyebut persetujuan model hukum pidana dimana: 'Penggunaan kekuatan mematikan tidak dapat dibenarkan. .
. kecuali (i) penahanan itu untuk kejahatan besar, dan (ii) orang yang melakukan penangkapan memiliki wewenang untuk
bertindak sebagai petugas perdamaian atau membantu orang yang ia percaya untuk diberi wewenang untuk bertindak sebagai
petugas perdamaian, dan (iii ) aktor percaya kekuatan yang digunakan tidak menimbulkan risiko cedera yang besar pada orang
yang tidak bersalah, dan (iv) aktor percaya bahwa (1) kejahatan yang menyebabkan adanya penangkapan melibatkan perilaku
termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan mematikan; atau (2) ada risiko besar bahwa orang yang akan
ditangkap akan menyebabkan kematian atau luka fisik serius jika penangkapannya tertunda.’ American Law Institute, Model
Penal Code, Section 3.07(2)(b) (Draft Resmi 1962 yang diusulkan), disebut dalam Tennessee v. Garner, ibid., ayat 166, catatan
7.

118 Lihat contoh, ‘De Menezes police ‘told to shoot to kill’, dalam Daily Telegraph, 3 Oktober 2007, tersedia di:
http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/1564965/De-Menezes-police-told-to-shoot-to-kill.html. Insiden ini menunjukkan potensi
kesalahan fatal yang akan dibuat bahkan ketika pengamatan round-the-clock, langsung dan tidak langsung dipertahankan pada
tersangka teroris.
dia bertugas pada tahun 2002.119 Dia mengatakan pada surat kabar Inggris itu bahwa tim yang ia kirim ke
Israel dan negara lainnya120 yang diserang oleh pembom bunuh diri setelah serangan 11 September 2001
di Amerika Serikat telah mempelajari arti 'kebenaran yang mengerikan', bahwa satu-satunya cara untuk
menghentikan seorang pembom bunuh diri adalah ‘menembak kepalanya secara langsung, sepenuhnya'.
Sebelumnya, petugas menembak tubuh pelaku, 'biasanya dua tembakan, untuk melumpuhkan dan
merubuhkan'.121 Sir Ian Blair, yang merupakan anggota Komisi pada tahun 2005, menyatakan bahwa "tidak
ada guna' bila menembak tersangka di dada karena di sanalah kemungkinan besar letak bomnya dan bom
akan terpicu untuk meledak.122
Pertanyaan mengenai ‘nyata’ sangat penting bagi isu serangan drone, terutama mengingat risiko
subjektivitas dan kurangnya transparansi siapa yang berada dalam daftar AS yang ingin disingkirkan.123
Pidato oleh Jaksa Agung Holder pada Maret 2012 tampaknya berusaha untuk menyatukan dua rezim
hukum yang berbeda - satu berlaku untuk penegakan paradigma hukum dan lainnya berlaku untuk konflik
bersenjata - ketika dia menyatakan bahwa otorisasi penggunaan serangan drone terhadap warga negara
AS akan membutuhkan 'kajian menyeluruh' yang menetapkan individu yang menyebabkan 'sebuah
ancaman serangan terhadap Amerika Serikat' dan bahwa 'penangkapan adalah hal yang tidak mungkin’.
Pada tahun 2010, Koh menyatakan bahwa
Ini adalah pandangan penuh pertimbangan terhadap pemerintahan ini - dan itu pasti jadi
pengalaman saya sebagai seorang Penasehat Hukum - bahwa praktek menargetkan AS,
termasuk operasi mematikan yang dilakukan dengan menggunakan drone, mematuhi semua
hukum yang berlaku, termasuk hukum perang.124

119Kebijakan, nama sandi Operasi Kratos, diberi nama seperti manusia setengah dewa Yunani, Kratos, yang berarti kekuatan
atau kekuasaan dalam bahasa Yunani kuno

120 Kabarnya Rusia dan Sri Lanka

121 ‘Debate rages over “shoot-to-kill’, dalam BBC, 24 Juli 2005, tersedia di: http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk/4711769.stm. Lord
Stevens mengatakan: ‘Kita hidup di zaman kejahatan yang unik, berperang dengan musuh yang brtalnya tak terkatakan, dan
saya tidak ragu bahwa sekarang, lebih dari sebelumnya, prinsipnya benar meskipun, tragisnya, kesempatan adanya kesalahan. .
. . Dan itu akan menjadi kesalahan besar bagi siapa pun untuk bahkan sekedar untuk mempertimbangkan membatalkannya.’

122Penggunaan senjata 'kurang-mematikan', seperti Taser yang menampilkan senjata listrik, juga tidak dianjurkan karena ada
kekhawatiran bahwa ia mungkin akan memicu ledakan bahan peledak. Lihat, misalnya, Memorandum berjudul 'Kontra Terorisme
Bunuh Diri' dari Panitera kepada Otoritas Polisi Metropolitan hingga Anggota MPA, London, 8 Agustus 2005.

123 Lihat ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat 20. Ada juga resiko yang jelas bahwa pembunuhan yang
ditargetkan dipandang sebagai pembalasan mematikan atas kejahatan masa lalu. Lihat contoh., di Pakistan, N. Melzer, catatan
kaki 11, hal. 178.

124 Pidato oleh Harold Hongju Koh, Penasihat Hukum, Departemen Luar Negeri AS, pada Rapat Tahunan American Society of
International Law, Washington, DC, 25 Maret 2010 (penekanan ditambahkan), tersedia di:
http://www.state.gov/s/l/releases/remarks/139119.htm.
Pada bulan Mei 2012, The New York Times melaporkan tentang keberadaan 'Teror Selasa', ketika
Presiden AS akan memutuskan siapa yang akan dibunuh oleh Amerika Serikat, biasanya melalui serangan
drone:
Ini adalah musuh, disajikan dalam grafik terbaru dari badan-badan intelijen: 15 tersangka Qaeda
di Yaman dengan ikatan Barat. Foto-foto tersangka dan biografi singkat menyerupai tata letak
buku tahunan SMA. Beberapa adalah berkebangsaan Amerika. Dua remaja, termasuk seorang
gadis yang tampak lebih muda dari usianya yang 17 tahun.125
Mengingat kendala signifikan pada penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja berdasarkan
hukum hak asasi manusia internasional, Alston menyimpulkan bahwa: "Di luar konteks konflik bersenjata,
penggunaan drone untuk membunuh para target hampir tidak pernah mungkin menjadi sesuatu yang legal.
Pembunuhan target dengan drone dalam sebuah wilayah negara, dimana negara memiliki kontrol, akan
sangat tidak mungkin untuk memenuhi keterbatasan hukum hak asasi manusia pada penggunaan kekuatan
mematikan'. Selanjutnya, di luar wilayah suatu negara,
ada sangat sedikit situasi di luar konteks perang aktif di mana uji antisipasi pembelaan diri. . .
akan terpenuhi. . . . Selain itu, drone yang membunuh orang lain selain target (anggota keluarga
atau orang lain di sekitarnya, misalnya) akan disebut perampasan kehidupan yang sewenang-
wenang menurut hukum hak asasi manusia dan akan berakhir menjadi tanggung jawab negara
dan tanggung jawab pidana individual.126

Bagi Lubell, misalnya, pembunuhan al-Harithi di Yaman pada tahun 2002 tidak sah atas dasar
bahwa hal itu melanggar hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik tahun 1966.127

Penerapan hukum internasional yang berlaku di dalam dan terkait dengan konflik bersenjata
Selain, dan sebagai tambahan, setiap penentuan menurut jus ad bellum mengenai legalitas
penggunaan kekuatan di negara lain, hukum HAM internasional akan menjadi sumber utama hukum
internasional dalam menentukan legalitas penggunaan drone di luar situasi konflik bersenjata. Dalam
situasi konflik bersenjata dan sehubungan dengan tindakan yang mewakili penghubung yang diperlukan,
setidaknya hak non-derogable akan terus berlaku sepenuhnya, sementara yang lain dapat dikenakan
pengurangan sejauh 'sangat diperlukan oleh gawatnya situasi'.128 Sejak serangan drone bersenjata

125 J. Becker dan S. Shane, catatan kaki 61

126 ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat 85, 86.

127 N. Lubell, catatan kaki 23, hal. 106, 177, 254–255


merupakan ancaman paling jelas bagi kehidupan meskipun ia mungkin secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi sejumlah hak asasi manusia, analisis akan berfokus pada hak ‘luar biasa’ ini
(dalam ucapan Komite Hak Asasi Manusia PBB).129

Berlakunya hukum hak asasi manusia dalam konflik bersenjata


Dalam diktum yang sering dikutip berkaitan dengan hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966, ICJ berpendapat pada tahun 1996 bahwa:
perlindungan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tidak berhenti di masa perang,
kecuali dengan pelaksanaan Pasal 4 Kovenan dimana ketentuan tertentu dapat dikurangi dari
waktu darurat nasional. Penghormatan terhadap hak untuk hidup tidak, bagaimanapun, masuk
dalam ketentuan tersebut. Pada prinsipnya, hak untuk tidak sewenang-wenang merampas hidup
seseorang juga berlaku dalam perang. Uji tentang apa itu perampasan kehidupan yang
sewenang-wenang, bagaimanapun ada akhirnya ditentukan oleh lex specialis yang berlaku, yaitu
hukum yang berlaku dalam konflik bersenjata yang dirancang untuk mengatur perilaku perang.
Jadi kehilangan hidup, dikarenakan penggunaan senjata tertentu dalam peperangan, harus
dianggap sebagai perampasan kehidupan yang bertentangan dengan Pasal 6 Kovenan, hanya
dapat diputuskan dengan mengacu pada hukum yang berlaku pada konflik bersenjata dan tidak
disimpulkan dari ketentuan Kovenan itu sendiri.130

Beberapa negara berpendapat, dan tak berhasil, di depan Mahkamah bahwa Kovenan - dan hak
asasi manusia pada umumnya - tidak berlaku dalam situasi konflik bersenjata. Posisi ini jarang didengar
saat ini, dan umumnya telah didiskreditkan.131

Hubungan antara hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter
Sebaliknya, pernyataan Mahkamah bahwa apakah hak untuk hidup telah dilanggar tergantung
pada renvoi hukum yang berlaku dalam konflik bersenjata saat lex specialis132 masih menarik dukungan
luas. Dalam interpretasi yang dangkal, hal ini muncul menjadi sebuah penghormatan yang total pada HHI.
Ada sejumlah alasan untuk mengajukan pernyataan seperti itu. Seperti yang dinyatakan Christian

128 Komite HAM, ‘Komentar Umum 29: Situasi Darurat (Pasal 4)’, Dok. PBB. CCPR/C/21/Rev.1/Add.11, 31 Agustus 2001.

129‘Komentar Umum No. 6: Hak untuk hidup (Pasal 6)’, 30 April 1982.

130 ICJ, Nuclear Weapons Advisory Opinion, 8 Juli 1996, ayat (25)

131Meskipun untuk posisi Israel dan Amerika Serikat, lihat, misalnya, Melzer, catatan kaki 11, hal. 79-80. Sehubungan dengan
Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia telah menetapkan bahwa
'kontur hak untuk hidup dapat berubah dalam konteks konflik bersenjata, tapi. . . larangan perampasan kehidupan tetap mutlak.
Konvensi ini jelas menetapkan bahwa hak untuk hidup tidak dapat ditangguhkan dalam keadaan apapun, termasuk konflik
bersenjata dan situasi darurat yang sah.’ Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia, ‘Laporan tentang Terorisme dan
HAM’, Dok. OEA/Ser.L/V/II.116 (dok. 5 rev. 1 corr.), 22 Oktober 2002, ayat (86).

132Untuk diskusi tentang penerapan prinsip, lihat contoh., Nancie Prud’homme, ‘Lex specialis:oversimplifying a more complex
and multifaceted relationship?’, dalam Israel Law Review, Vol. 40, No. 2, 2007.
Tomuschat,133 Pernyataan Mahkamah itu 'agak dangkal'134 mengingat bahwa dalam masalah sebelum ini,
legalitas ancaman atau penggunaan senjata nuklir, hal ini tidak dapat ‘menyimpulkan secara pasti'
berdasarkan interpretasi HHI apakah ancaman atau peggunaan tersebut ‘akan sah atau melanggar hukum
dalam situasi membela diri yang ekstrim'.135 Kedua, ketika ia dan rekan-rekannya mengamati, penilaian
Mahkamah tentang hubungan timbal balik antara hukum hak asasi manusia dan HHI telah dimodifikasi
dalam keputusan selanjutnya,136 terutama Advisory Opinion dalam kasus Wall (2004)137 dan keputusan
dalam kasus Kegiatan Bersenjata di Wilayah Kongo (2005).138 Menurut Alston, karena baik hukum hak
asasi manusia maupun HHI berlaku dalam konteks konflik bersenjata,
apakah pembunuhan tertentu itu sah ditentukan oleh lex specialis yang berlaku. . . . Hingga ke
tingkat HHI tidak menyediakan aturan, atau aturan itu tidak jelas dan maknanya tidak bisa
dipastikan oleh pedoman yang ditawarkan oleh prinsip HHI, maka akan tepat untuk memperoleh
pedoman dari hukum hak asasi manusia.139
Yang lainnya, termasuk penulis ini, akan melangkah lebih jauh. Milanovic', misalnya, menyatakan
penghilangan referensi terhadap HHI sebagai lex specialis dalam keputusan ICJ dalam kasus Kongo tahun
2005, dibandingkan dengan Advisory Opinion-nya dalam kasus Wall dan kasus Senjata Nuklir, dan

Christian Tomuschat, ‘The right to life – legal and political foundations’, dalam C. Tomuschat, E. Lagrange dan S. Oeter (eds),
133

The Right to Life, Brill, The Netherlands, 2010, hal. 11.

134Schabas menggambarkannya sebagai ‘clumsy at best’. Lihat William A. Schabas, ‘The right to life’, in A. Clapham and P.
Gaeta (eds), Oxford Handbook of International Law in Armed Conflict, Oxford University Press, forthcoming. Lubell bahkan lebih
keras menyangkut Mahkamah, menyebutnya ‘mungkin adalah pendekatan yang mustahil’. N. Lubell, catatan kaki 23, hal. 240.
Milanovic´ membutuhkan lex specialis untuk 'dilepaskan sebagai semacam daya magis, penjelasan dua kata terhadap hubungan
antara HHI dan HHAMI, karena jauh lebih membingungkan daripada menjelaskan' M. Milanovic´, ‘Norm conflicts, international
humanitarian law and human rights law’, dalam Orna Ben-Naftali (ed.), Human Rights and International Humanitarian Law,
Collected Courses of the Academy of European Law, Vol. XIX/1, Oxford University Press, Oxford, 2010, hal. 6.

135 Ibid., ayat (105).

136 Lihat juga dalam hal ini Sir Daniel Bethlehem, 'Hubungan antara hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi
manusia internasional dan penerapan hukum hak asasi manusia internasional dalam konflik bersenjata, makalah yang tidak
diterbitkan, tak bertanggal, tahun 2012, ayat (39)

137 Ibid. seperti yang tercakup dalm ayat (106): ‘Mengenai hubungan antara hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi
manusia, ada tiga kemungkinan situasi: beberapa hak mungkin secara eksklusif mungkin penting dalam hukum humaniter
internasional, yang lainnya mungkin secara eksklusif penting dalam hukum hak asasi manusia, namun yang lainnya mungkin
penting dalam kedua cabang hukum internasional ini. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan itu, Mahkamah harus
mempertimbangkan baik cabang-cabang hukum internasional ini, yaitu hukum hak asasi manusia dan, seperti lex specialis,
hukum kemanusiaan internasional.’

138 ICJ, Kasus Menyangkut Aktivitas Bersenjata di Wilayah Kongo (DRC v. Uganda), Keputusan 19 Desember 2005, ayat (216).

139 ‘2010 study on targeted killings’, catatan kaki 11, ayat (29).
mengungkapkan harapan bahwa ini adalah kesengajaan.140 Dalam Journal blog Hukum Internasional Eropa
2011, ia menyatakan:
Pendekatan yang berani pada aplikasi bersama antara HHI dan HHAMI [hukum hak asasi
manusia internasional] pasti bertanya apakah ada pembunuhan yang sah menurut HHI tapi masih
dianggap sewenang-wenang menurut HHAMI. Dapatkah, dengan kata lain, selama konflik
bersenjata HHAMI memberlakukan persyaratan tambahan untuk mendapatkan wewenang untuk
membunuh seperti yang ada pada HHI? Dan dapatkah persyaratan ini, yang masih terasa lebih
ketat dibandingkan HHI, yang sedikit lebih kendur dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam
yurisprudensi HAM ini dikembangkan dan berlaku di masa normal. . .? . . . Saya pikir semua
pertanyaan ini dapat dijawab dengan hati-hati 'ya'.141

Memang, dalam Advisory Opinion Senjata Nuklir, Mahkamah telah menjelaskan bahwa hukum
yang berlaku dalam konflik bersenjata (jus in bello) tidak terbatas pada HHI.142 Bukti lebih lanjut adalah
bahwa terlalu sederhana bila menafsirkan hak untuk hidup dalam situasi konflik bersenjata hanya melalui
pandangan bahwa HHI berasal dari arti 'merampas dengan sewenang-wenang'. Sehubungan dengan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966, istilah ini disebut berisi 'unsur melawan
hukum dan ketidakadilan, serta tidak dapat dipercaya dan tidak masuk akal'.143
Ada batas yang jelas pada pendekatan ini, bagaimanapun. Sementara hukum hak asasi manusia
telah banyak memberi manfaat pada HHI dalam hal membatasi kekerasan dan mendukung kemanusiaan
(misalnya, dengan memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih besar dari apa yang dipahami
sebagai hal praktis 'prinsip-prinsip kemanusiaan' dan 'hati nurani publik’ dalam penerapan klausula
Martens), hal ini tidak disarankan di sini bahwa senjata yang umumnya sah menurut HHI entah bagaimana
menjadi tidak sah menurut hukum hak asasi manusia. Lubell, misalnya, menunjukkan bahwa undang-
undang tentang seleksi persenjataan dengan tepat ditangani oleh HHI tanpa intervensi dari hukum hak
asasi manusia.144 (Pada kenyataannya, bahkan bisa dikatakan bahwa intervensi tersebut akan membuat
risiko melemahnya HHI, mengingat bahwa gas air mata dan pembesaran peluru, dilarang

140 M. Milanovic´, catatan kaki 134, hal. 6.

141 M. Milanovic´, ‘When to kill and when to capture?’, dalam EJIL Talk!, 6 Mei 2011, tersedia di: http://www.ejiltalk.org/when-to-
kill-and-when-to-capture/.

142 Karena itu, dalam ayat (42) Advisory Opinion, Mahkamah mengacu pada 'persyaratan hukum yang berlaku dalam konflik
bersenjata yang terdiri dalam khususnya prinsip-prinsip dan aturan hukum humaniter. Hukum yang berlaku dalam konflik
bersenjata memang terdiri dalam khususnya prinsip-prinsip dan aturan hukum humaniter, tetapi mereka tidak begitu terbatas,
terdiri dari unsur-unsur hak asasi manusia internasional dan hukum perlucutan senjata ('kemanusiaan'). ICJ, Legality of the
Threat or Use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion of 8 Juli 1996, ayat (42).

143Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, N. P. Engel, Kehl, 1993, hal. 111. Lihat juga
N. Melzer, catata kaki 11, hal. 93.

144 N. Lubell, catatan kaki 23, hal. 242.


menurut HHI sebagai metode dan sarana untuk perang, mungkin entah kenapa dianggap sah karena
mereka dapat digunakan dalam penegakan hukum sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.)
Meskipun demikian, peningkatan, dan meningkatnya, pengaruh hukum hak asasi manusia pada isi
jus in bello, area yang sebelumnya dianggap domaine réservé HHI, harus dilihat bukan sebagai ancaman
tapi sebagai penyeimbang yang diperlukan bagi tindakan yang lebih agresif dari negara-negara tertentu
dalam menanggapi, apa yang mereka dukung, paradigma hukum baru dalam dunia paska-9/11.145
Pengendalian bukanlah tanda kelemahan - melainkan kekuatan. Sehubungan dengan drone, dikatakan
bahwa CIA menolak menyebarkan Predator untuk hal lain selain pengawasan sebelum 9/11. Minggu
sebelum serangan Al-Qaeda terhadap AS, Direktur CIA saat itu, George Tenet, dilaporkan telah
mengatakan, mengacu pada drone, bahwa adalah sebuah 'kesalahan besar' bagi 'Direktur Pusat Intelijen
untuk menembakkan senjata seperti ini.’146 Betapa pernyataan ini seperti sebuah prediksi yang terbukti.

Kesimpulan
Drone dapat memungkinkan negara-negara melakukan pembunuhan dengan target secara efisien,
dengan biaya yang relatif sedikit, dan risiko yang minimal. Dalam kasus Selat Corfu,147 ICJ menyatakan
bahwa:
Hak intervensi yang diduga sebagai manifestasi dari kebijakan kekuatan, seperti, di masa lalu,
yang telah meningkat hingga pada pelanggaran yang paling serius dan yang tidak bisa, apa pun
yang dianggap cacat dalam organisasi internasional saat ini, menemukan tempat dalam hukum
internasional. Intervensi mungkin masih kurang diterima dalam bentuk tertentu; karena, sifat dari
segala sesuatu, hal itu akan disediakan untuk negara yang paling kuat, dan mungkin mudah
menyebabkan penyesatan administrasi peradilan internasional itu sendiri.148

Terlalu sering, pembunuhan dengan target yang dilakukan negara-negara, apakah dengan
menggunakan drone atau cara lain, agak terlihat seperti aksi mencoret nama dari daftar yang dimiliki Mafia.
Memang, seperti yang diamati Melzer: "Dalam analisis akhir,. . . diukur dengan standar moral umum untuk
sebagian besar masyarakat, bahkan pembunuhan yang ditargetkan yang dilakukan dalam kerangka

Cara lain untuk melihat sikap negara 'setelah serangan 9/11 adalah menerapkan aturan HHI pada situasi di mana hak asasi
145

manusia berlaku karena operasi penegakan hukum harus diterapkan.

146 Daniel Benjamin dan Steven Simon, The Age of Sacred Terror, Random House, New York, 2002, hal. 345

147Kasus Selat Corfu berasal dari dua kapal Angkatan Laut Kerajaan Inggris di Selat Corfu yang menabrak dan meledakkan
ranjau laut (empat puluh lima perwira dan pelaut Inggris kehilangan nyawa dan empat puluh dua lainnya luka-luka) dan operasi
pembersihan ranjau dilakukan oleh Angkatan Laut Kerajaan di Selat, namun di perairan twilayah Albania. ICJ memegang
tanggung jawab Albania atas ledakan dan kerusakan yang diterima Inggris, tetapi menilai bahwa operasi pembersihan telah
melanggar kedaulatan Albania.

148ICJ, Corfu Channel case (United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland v. Albania), (Merits) Keputusan 9 April 1949,
hal. 35.
tatanan hukum saat ini sering memiliki sifat yang lebih mudah dikaitkan dengan perilaku kriminal
dibandingkan dengan kebijakan Pemerintah yang bisa diterima'.149 Dan dalam pernyataan mantan
pengacara CIA: “Wewenang pemerintah untuk membunuh harus dikontrol dengan hati-hati - atau bisa
berubah menjadi tirani yang jauh lebih buruk daripada terorisme.”150
Kontrol tersebut berarti tanggung jawab hukum internasional terhadap serangan drone yang
melanggar hukum, baik di tingkat negara dan individu. Tapi siapa yang harus bertanggung jawab atas
tindak pidana ketika warga sipil tewas entah itu karena pelanggaran aturan HHI pembedaan atau
proporsionalitas atau pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental? Operator drone? 'mata-mata' di
darat (jika ada)? Mereka yang menunjuk target sebagai sasaran militer (yang dapat dibayar oleh para
informan)? Para pengacara yang memberikan wewenang penyerangan? Semua hal di atas? Jika serangan
itu tidak sah, apakah itu bisa menjadi contoh sebuah kegiatan kriminal bersama berdasarkan hukum pidana
internasional, atau apakah satu atau lebih dari poin di atas membantu atau mendukung kejahatan
internasional?
Lebih memprihatinkan lagi adalah prospek drone yang sepenuhnya otonom yang membuat
keputusan target berdasarkan serangkaian vektor yang diprogram, berpotensi tanpa kontrol manusia.151
Siapa yang kemudian akan bertanggung jawab? Para produsen pesawat tersebut? Programer software?
Untuk saat ini, pertanyaannya jauh lebih banyak dibandingkan jawaban.

149 N. Melzer, catatan kaki 11, hal. 435.

150 A. J. Radsan, catatan kaki 19, hal. 8. Sebuah studi Kementerian Pertahanan Inggris 2011 menyatakan bahwa: "Sangat
penting bahwa, sebelum sistem tak berawak menyebar (jika belum terlambat) kita pikirkan masalah ini dan memastikan bahwa,
dengan menghilangkan ketakutan, atau setidaknya menjauhkannya, kita tidak kehilangan kontrol kemanusiaan kita dan
berkemungkinan menciptakan perang.’The UK Approach to Unmanned Aircraft Systems, Development, Concepts and Doctrine
Centre, Joint Doctrine Note 2/11, Ministry of Defence, 2011, hal. 5–9. Lihat juga Richard Norton-Taylor dan Rob Evans, ‘The
terminators: drone strikes prompt MoD to ponder ethics of killer robots’, dalam The Guardian, 17 April 2011, tersedia di:
http://www.guardian.co.uk/world/2011/apr/17/terminators-drone-strikes-mod-ethics.

151Menurut laporan Angkatan Udara AS 2010: 'Pertumbuhan dalam penggunaan kendaraan berpilot jarak jauh militer telah
berkembang pesat sebagai kekuatan di seluruh dunia, eksplorasi penggunaan semakin luas, termasuk pengawasan,
penyerangan, peperangan elektronik, dan lain-lain. Ini mencakup sistem fixed-wing and rotary-wing, pesawat, pesawat hibrida,
dan pendekatan lainnya. Kemampuan mereka semakin otonom yang memungkinkan pilot jarak jauh menyatakan maksud misi
mereka secara keseluruhan, tetapi mengijinkan sistem ini untuk beradaptasi secara mandiri dalam lingkungan lokal paling tepat
untuk memenuhi tujuan tersebut. . . . Meskipun manusia akan tetap mengontrol keputusan serangan di masa mendatang, tingkat
otonomi yang jauh lebih besar akan menjadi mungkin dengan teknologi canggih. Hal ini, pada gilirannya, dapat dengan
meyakinkan dieksploitasi sebagai metode V & V yang pantas [verifikasi dan validasi] yang dikembangkan bersama dengan
standar teknis untuk memungkinkan penggunaannya dalam sertifikasi sebagai sistem yang sangat otonom.’ US Air Force Chief
Scientist, ‘Report on technology horizons, a vision for Air Force science & technology during 2010–2030’, Doc. AF/ST-TR-10-01-
PR, Vol. I, Mei 2010, hal 24, 42. Lihat juga, Tom Malinowski, Human Rights Watch, ‘A dangerous future of killer robots’, dalam
Washington Post, 22 November 2012, tersedia di: http://www.hrw.org/news/2012/11/22/dangerous-future-killer-robots.
Selain itu, hanya masalah waktu sebelum kelompok bersenjata non-negara berkembang atau
menghasilkan teknologi drone152 (atau kembali ke pengoperasian drone yang dikendalikan negara dan
mengambil kendali).153 Tidak akankah kelompok-kelompok tersebut berusaha secara aktif untuk
mengurangi arena pembantaian? Seperti yang diperingatkan seorang Anggota Senior di Institut Brookings
pada tahun 2011:
Untuk percaya bahwa drone akan tetap menjadi wilayah eksklusif negara-negara yang
bertanggung jawab adalah mengabaikan sejarah panjang teknologi senjata. Ini hanya masalah
waktu sebelum kelompok atau negara jahat bermusuhan dengan Amerika Serikat mampu
membuat atau memperoleh drone mereka sendiri dan menggunakannya untuk memulai serangan
di tanah kami atau tentara kami di luar negeri.154

Kotak Pandora sudah terbuka, tetapi pastinya kejutan yang lebih mengerikan belum muncul.

152 Pada bulan Oktober 2012, pemimpin Hizbullah mengklaim bahwa kelompoknya berada di balik peluncuran drone yang
ditembak jatuh di atas Israel oleh Angkatan Pertahanan Israel pada tanggal 6 Oktober. Sheikh Hassan Nasrallah menegaskan
bahwa drone itu dibuat di Iran dan telah terbang di atas ‘wilayan sensitif 'di Israel. BBC, ‘Hezbollah admits launching drone over
Israel’, 11 Oktober 2012, tersedia di: http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-19914441.

153Pada bulan Juni 2012, para peneliti AS mengambil alih sebuah drone dengan cara melakukan 'hacking' ke dalam sistem GPS,
berpura-pura sebagai tantangan $ 1.000 (£ 640) dari US Department of Homeland Security (DHS). Tim University of Texas di
Austin menggunakan 'spoofing', teknik di mana drone keliru menangkap sinyal dari hacker yang dikira adalah sinyal dari satelit
GPS. Metode yang sama mungkin telah digunakan untuk menjatuhkan drone AS di Iran pada tahun 2011. ‘Researchers use
spoofing to “hack” into a flying drone’, dalam BBC, 29 Juni 2012, tersedia di: http://www.bbc.com/news/technology-18643134.

154John Villasenor, ‘Cyber-physical attacks and drone strikes: the next homeland security threat’, The Brookings Institution, 5 Juli
2011, tersedia di: http://www.brookings.edu/papers/2011/0705_drones_villasenor.aspx.

Anda mungkin juga menyukai