Anda di halaman 1dari 6

Misteri Dibalik Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib

Apakah Mahzab-isme Salah Satunya?


Oleh: Wahyu Munaini
wahyumunaini@gmail.com

Kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kaum Muslimin dalam perang melawan kaum
Salib merupakan salah satu dampak negatif dari apa yang berkembang dalam masyarakat
Muslim sendiri, seperti pemikiran, kecenderungan, nilai, dan tradisi. Hal ini karena realita
politik, sosial, dan ekonomi adalah episode terakhir dari perilaku yang berawal pada
perasaan, lalu akal (pikiran) dan berakhir pada organ tubuh yag diluar batas jiwa atau pada
seluruh aspek kehidupan.

Sesuai dengan keterangan Al-Qur’an bahwa segala bentuk krisis yang dialami oleh suatu
masyarakat berawal dari diri mereka sendiri yang mencakup keyakinan (akidah), nilai,
tradisi, dan kebiasaan realitas masyarakat tersebut. Allah swt. Berfirman:

‫ﺒﺃﻦ ﷲ ﻠﻢ ﻴﻚ ﻤﻐﻴﱢﺮﺍ ﻨﱢﻋﻤﺔ ﺃﻨﻋﻤﻬﺎ ﻋﻠﻯ ﻘﻮﻡ ﺣﺗﻰ ﻴﻐﻳﺭﻮﺍ ﻣﺍ ﺑﺄﻨﻓﺳﻬﻢ‬


‫ﺫ ﻠﻙ ﱠ‬

Artinya: “yang demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan merubah nikmat yang telah
dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri”. (Q.S. Al-Anfal: 53)

Masyarakat Muslim yang mengalami ekspansi pertama pasukan Salib tidak kosong dari
da’i-da’i yang gigih. Kegiatan Islam masih dilakukan dengan aktif dan terus menerus
namun kegiatan Islami tersebut secara umun bersifat mazhab-isme (Mahdzabbiyah) dan
tidak bersatu.

Pada masa itu, dari kalangan mazhab Hambali lahir sejumlah ulama, mereka begitu
bersemangat dan gigih untuk merekrut masyarakat luas (awam) untuk bergabung. Mereka
dikenal dalam kepiawaiannya dalam berdialog dengan berbagai aliran dan kelompok yang
tidak sejalan dan sanggup menanggung beban penderitaan yang cukup pahit sekalipun.
Selain pengikut mazhab Hambali, ada juga pengikut mazhab Asy’ari yang lebih dikenal
dengan mazhab Syafi’i. Dikenal dengan pengetahuan yang luas dan mampu menghadapi
aliran filsafat dan kebatinan. Dari kalangan mereka lahir sejumlah ulama besar seperti
Imam Al Juwaini dan dua orang muridnya Abu Hamid al Ghazzali dan al Kiya al Hirasi.

Peran para pengikut mazhab Hambali dan Asyafi’i pada saat itu cukup besar, namun
mereka terjebak kesalahan dalam menerapkan pola aktivitas Islam (Manhaj al’Amal al
Islam). Mereka lebih cenderung kepada afilasi mazhab, bukan kepada fikrah mazhab atau
umat yang menjadi pengikutnya.

Pada awal perkembangannya, kelompok-kelompok (mazhab) ini hanya merupakan


madrasah (institusi) intelektual, seperti Madrasah Sufyan ats Tsauri, Madrasah Abu
Hanifah, Madrasah Syafi’i dan Madrasah Ahmad bin Hambal. Madrasah-madrasah tersebut
lebih mencerminkan bidang-bidang spesialis dalam kerangka risalah Islam yang satu dan
yang lain yang mengutamakan hubungan guru dan murid yang saling mencintai dan
menghormati.

Fungsi utama madrasah-madrasah tersebut adalah membangun berbagai macam sistem


yang akan diimplementasikan dalam institusi sosial, kultur, pemerintahan, ekonomi, dan
lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu madrasah-madrasah intelektual tersebut
berubah menjadi mazhab yang serupa dengan partai dan kelompok (Jama’ah) yang ada di
zaman kita sekarang.

Sejak abad kelima Hijriah, para pengikut dan berbagai mazhab terlibat dalam berbagai
perselisihan yang menyia-nyaiakan usaha seluruh pihak dalam hal-hal yang tidak
bermanfaat. Mengakibatkan aspek kultur dan sosial menjadi pasif, memunculkan taqlid dan
jumud. Kesatuan umat menjadi pecah dan terbagi dalam golongan-golongan yang saling
bertikai dan bertentangan. Masalah-masalah besar umat menjadi tersingkirkan.

Dampak negatif terbesar dari mazhabisme adalah setiap mazhab menganggap dirinya
sebagai satu-satunya representasi kebenaran dalam kehidupan dunia Islam dengan dalih
kegemilangan catatan sejarah yang ditorehkan oleh para pendahulunya seperti mazhab
Hambali disebabkan oleh besarnya andil tokoh-tokoh masa lalunya sejak periode Ahmad
bin Hambal, menderita penyakit ujub, menganggap dirinya sebagai penghulu umat, hanya
mereka yang layak eksis, dan melaksanakan misi Al Amr bin Ma’ruf dan an Nahy ‘an al
Munkar. Dengan alih-alih dasar keyakinan ini, mereka beranggapan berhak menentang,
melawan dan menghalangi setiap orang yang bergerak dalam bidang dakwah.

Ketika para pengikut mazhab Asyafi’i muncul di pentas dakwah dan aktivitas Islam, para
pengikut mazhab Hambali memandang mereka sebagai pesaing yang akan merusak
aktivitas mereka selama ini, maka mereka berusaha menghalangi para da’i dari kalangan
Asyafi’i, menuduh dan merusak citra mereka dimana-mana.

Begitupun dengan pengikut mazhab Asyafi’i disebabkan oleh jasa Imam Abu Hasan al
Asy’ari dalam menentang ajaran kaum Mu’tazilah menderita sindrom keangkuhan
intelektual. Dengan menganggap dirinya sebagai orang yang berpengetahuan luas dan
berpikiran hebat, mereka menuduh para pengikut Hambali sebagai orang-orang yang
memiliki pengetahuan dangkal dan wawasan sempit. Ibnu ‘Asakir salah seorang tokoh yang
paling gencar mewakili kalangan Asyafi’i .

Mazhabisme dalam istilah modern bisa disebut Hizbiyyah (Komunalisme) yang dapat
memberikan berbagai dampak yang berbahaya terhadap pemikiran, pendidikan, sosial dan
politik. Mazhabisme ini melahirkan semacam teror intelektual terhadap orang-orang yang
berusaha melakukan pencerahan sekalipun menganut mazhab yang sama. Mereka ditekan
agar tidak melakukan dialog pemikiran dengan mazhab-mazhab lain. Siapapun yang berani
keluar dari tradisi mazhab dan berusaha terbuka dengan pemikiran mazhab lain maka ia
akan dituduh munafik dan dianggap keluar dari ajaran mazhab.

Fenomena teror intelektual ini semakin merajalela dan menghancurkan kesatuan umat
menjadi bermacam-macam kelompok dan mazhab yang bertentangan enggan bersatu.
Namun dampak pemikiran paling berbahaya yang timbul dari mazhabisme yaitu para
pengikut mazhab tidak lagi bersentuhan langsung dengan Al-Quran dan Sunnah, melainkan
segenap daya pikir, pandangan dan pandangan mereka mengacu pada buku-buku yang
dikarang oleh tokoh-tokoh mazhab dan menganggapnya sebagai hasil pemahaman atas Al-
Qur’an dan Sunnah yang memiliki kebenaran mutlak.

Dampak fanatisme mazhab terhadap pengajaran sangat besar karena para tokoh sangat
berperan aktif dalam aktivitas sekolah dan institusi pendidikan. Mereka memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap kurikulum, tujuan, visi, dan pola kehidupan yang
berkembang di lingkungan sekolah-sekolah tersebut. Pengaruh negatif yang ditimbulkan
diantaranya: Pertama, rusaknya tujuan pendidikan karena hanya mempersiapkan pelajar
untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Setiap mazhab bersaing untuk menonjolkan
pemikiran mereka dalam bidang-bidang tertentu sebagai batu loncatan untuk menguasai
kursi jabatan dan institusinya.

Kedua, rusaknya tujuan pendidikan mengakibatkan ruang lingkup kurikulum pendidikan


menjadi sempit, sehingga hanya terbatas pada kajian-kajian fiqih ibadah dan mu’amalat
yang tidak lepas dari cara pandang mazhab. Di dalam satu madrasah tersebut terbentuk
beberapa departemen dan bagian sesuai mazhab yang mewakilinya. Sehingga
mengakibatkan beberapa materi tertentu terabaikan dan proses pembaruan dan inovasi
menjadi beku dan berhenti.

Dampak buruk lainnya adalah terjadinya dikotomi antara materi-materi kajian Islam dengan
ilmu-ilmu alam (fisika), kedokteran, dan astronomi. Ilmu-ilmu alam tersebut kemudian
berkembang dalam institusi-institusi khusus yang terpisah karena mengadopsi filsafat dan
didorong oleh desakan para fuqoha kepada para penguasa yang bersikap negatif terhadap
masalah-masalah sains, yaitu sikap yang dibangun atas dasar kecurigaan dan tidak
mendukung.

Berbagai peristiwa yang mencerminkan mazhabisme dan dampak-dampaknya yang telah


dibahas diatas hanya merupakan contoh kasus pola hubungan yang terjalin antara sekian
banyak kelompok dan aliran Islam di Iraq, Syam, dan Mesir serta belahan dunia Islam
lainnya. Visi ke-mazhaban menjadi bentuk yang dominan dalam penulisan sejarah yang
dilakukan oleh para sejarawan pada masa itu. Alhasil, setiap mazhab membukukan jasa-
jasa mazhabnya dalam karya yang disebut Thabaqat.
Sementara dalam sekian banyak krisis dan permasalahan terutama serangan kaum Salib
(Eropa) yang terus menghimpit umat Islam tidak mendapat perhatian serius, melainkan
hanya catatan-catatan kecil tanpa disertai perasaan mendalam dan emosi persaudaraan. Dari
sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemikiran Islam dan istitusi-institusi yang
mewakilinya tidak memiliki tujuan dan konsep yang sejalan dengan berbagai tuntutan dan
tantangan yang ada saat itu. Selain itu pula tidak ada strategi yang dapat menjadikan
institusi-institusi tersebut mampu memikul tanggung jawab dan perannya terhadap
masyarakat Islam pada masa itu.
Biodata Penulis

Nama : Wahyu Munaini

Instansi : Universitas PGRI Yogyakarta

Jurusan : PGSD (Pendikan Guru Sekolah Dasar)

Alamat : Rt/Rw: 12/03 Ds. Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan, Jawa Timur

Domisili : Rt: 02 Jl. Imogiri Timur, Grojokan, Wirokerten, Bnguntapan, Bantul, DIY

Email : wahyumunaini@gmail.com

Instagram : ayuwahyu28_

Deskripsi singkat

Bukan orang yang memiliki pengalaman-pengalaman yang besar tetapi berusaha memaknai
pengalaman-pengalaman kecil yang akan menjadikannya sebuah pengalaman yang luar
biasa.

Anda mungkin juga menyukai