Anda di halaman 1dari 3

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI–2 SKP

Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid


pada Dewasa
Darius Hartanto
Klinik Pratama Sathya Sai, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Demam enterik (demam tifoid dan paratifoid) adalah penyakit yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan paratyphi
(S. paratyphi) A dan B. Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat. Pemeriksaan gold standard untuk demam tifoid adalah kultur darah.
Pemeriksaan serologi seperti Widal, Dot Enzyme Immunoassay (EIA), dan uji IgM dipstick juga dapat digunakan untuk diagnosis. Pilihan utama
antibiotik tergantung kerentanan kuman S.typhi dan S.paratyphi di area tertentu; golongan fluorokuinolon adalah yang paling efektif.

Kata kunci: Demam tifoid, fluorokuinolon, salmonella

ABSTRACT
Enteric fever (typhoid and paratyphoid fever) is infection caused by Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) and paratyphi (S. paratyphi) A
dan B. Clinical symptoms are varied from mild to severe. Gold standard for diagnosis is blood culture; serological examination such as Widal,
Dot Enzyme Immunoassay (EIA), and IgM dipstick test can be used for diagnosis. Drug of choice depends on antibiotic susceptibility of S. typhi
and S. paratyphi in certain area; fluoroquinolone is the most effective antibiotic class. Darius Hartanto. Diagnosis and Management of Typhoid
Fever in Adult

Keywords: Fluoroquinolone, salmonella, typhoid fever

PENDAHULUAN bakteri Salmonella typhi atau Salmonella Salmonella di dalam makrofag akan menuju ke
Demam enterik (demam tifoid dan paratifoid) paratyphi; kadar bakteri biasanya antara kelenjar getah benih mesenterika; selanjutnya
adalah penyakit yang disebabkan oleh 200 hingga 106 colony-forming units (CFU).4 melalui duktus torasikus mencapai sirkulasi
Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan Beberapa kondisi yang menurunkan keasaman darah menyebabkan bakteremia pertama
paratyphi (S. paratyphi) A dan B.1 Data tahun lambung (usia <1 tahun, penggunaan yang asimtomatik; kemudian menyebar ke
2012 menunjukkan angka mortalitas dunia antasida, aklorhidria) atau gangguan integritas seluruh organ retikuloendotel terutama di hati
akibat demam enterik pada wanita 1,1% dan intestinal (inflammatory bowel disease, riwayat dan limpa. Di organ – organ ini, Salmonella
pria 0,9%.2 Demam tifoid jika tidak diterapi operasi gastrointestinal, perubahan flora akan meninggalkan sel fagosit, berkembang
memiliki case fatality rate sebesar 10-30%, saluran cerna akibat penggunaan antibiotik) biak di luar sel atau ruang sinusoid,
dapat turun menjadi 1 – 4% dengan terapi dapat meningkatkan kerentanan terinfeksi kemudian masuk kembali ke sirkulasi darah
yang tepat.1 Gejala umumnya adalah demam, Salmonella.4 menyebabkan bakteremia kedua disertai
menggigil, dan nyeri abdomen. Di Indonesia, timbulnya tanda dan gejala penyakit infeksi
demam tifoid banyak dijumpai pada usia 3 – Sebagian bakteri dimusnahkan di lambung sistemik. Salmonella dapat masuk ke dalam
19 tahun.3 Kejadian di Indonesia berhubungan dan sebagian yang lolos akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak, lalu
dengan rumah tangga (riwayat keluarga usus. Pada kondisi imunitas humoral mukosa menuju lumen usus bersama ekskresi cairan
dengan demam tifoid, tidak cuci tangan (IgA) usus kurang baik, S.typhi dan S. paratyphi empedu. Sebagian kuman keluar melalui
menggunakan sabun, penggunaan piring yang mencapai usus halus akan mempenetrasi feses, sebagian lain dapat menembus usus
bersama untuk makan, tidak tersedia tempat lapisan mukus usus dan mencapai phagocytic dan masuk lagi ke sirkulasi.3
buang air besar di dalam rumah).3 microfold cells (sel M) di Peyer’s patch. Setelah
melewati lapisan epitel usus halus, Salmonella Hepatomegali diperkirakan terjadi
PATOGENESIS akan difagosit oleh makrofag. Bakteri ini dapat akibat rekrutmen sel mononuklear dan
Infeksi Salmonella dimulai melalui konsumsi bertahan hidup dalam makrofag dengan pembentukan respons imun spesifik terhadap
makanan atau minuman terkontaminasi mengganggu fungsi sistem fagositnya.3,4 kolonisasi S. typhi. Penambahan rekrutmen
Alamat Korespondensi email: dariushartanto11@gmail.com

CDK-292/ vol. 48 no. 1 th. 2021 5


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

sel mononuklear dan limfosit ke Peyer’s patch sembuh. Pemeriksaan serologi seperti Widal aglutinin di serum terhadap antigen H
beberapa minggu setelah kolonisasi atau dan IgM/IgG Salmonella dapat digunakan (flagel) dan antigen O (tubuh kuman)
infeksi dapat menyebabkan pembesaran untuk diagnosis.3 Salmonella typhi. Antigen O juga terdapat
dan nekrosis Peyer’s patch, dimediasi oleh pada Salmonella paratyphi A dan B. Aglutinin
produk bakteri yang menyebabkan kematian Widal O meningkat pada hari ke-6 – 8 dan dapat
sel dan respons inflamasi.4 Makrofag di Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara bertahan hingga 4 – 6 bulan. Aglutinin H
dalam Peyer’s patch hiperaktif menimbulkan antigen kuman dan antibodi yang disebut meningkat pada hari ke-10 -12 dan dapat
reaksi hiperplasia jaringan. Akumulasi sel aglutinin. Uji Widal berdasarkan terdapatnya bertahan hingga 9 – 12 bulan. Belum ada
mononuklear menyebabkan nekrosis dan
hiperplasia Peyer’s patch, sehingga dapat Tabel 1. Manifestasi klinis demam tifoid8
menyebabkan erosi pembuluh darah dan Clinical feature Approx. frequency (%)*
perdarahan saluran cerna.3
Fever >95
Flu-like symptoms Headache 80
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dapat muncul setelah masa inkubasi Chills 40

7 – 14 hari. Gejala klinis bervariasi mulai dari Cough 30


ringan sampai berat. Pada minggu pertama Myalgia 20
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut Arthralgia <5
lain seperti demam, nyeri kepala, pusing, Abdominal symptoms Anorexia 50
mialgia, anoreksia, mual, muntah, obstipasi Abdominal pain 30
atau diare, rasa tidak nyaman di perut, batuk,
Diarrhea 20
dan epistaksis. Demam meningkat perlahan
Constipation 20
terutama sore hingga malam.3,5
Physical findings Coated tounge 50

Gejala pada minggu kedua lebih jelas berupa Hepatomegaly 10

bradikardia relatif, lidah berselaput (kotor Splenomegaly 10

di bagian tengah dan tepi, kemerahan Abdominal tenderness 5


pada ujung dan tremor), hepatomegali, Rash <5
splenomegali, meteorismus, hingga Generalized adenopathy <5
perubahan status mental (somnolen, sopor,
*The proportion of patients demonstrating these clinical features of enteric fever varies depending on the time,
koma, delirium, psikosis). Rose spot (ruam region and the type of clinical population (hospitalized or ambulatory) assessed. Estimated are drawn from
makulopapular, salmon-colored, dan pucat) recent case series in an endemic area presenting for ambulatory or inpatient care.
dapat muncul terutama di bagian dada pada (Harris JB, Brooks WA. Typhoid and Paratyphoid (Enteric) Fever. In: Magil AJ, Solomon, T, Ryan ET. (eds.) Hunter’s
akhir minggu pertama dan hilang setelah 2 – 5 Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease 9th ed. London: Saunders Elsevier; 2013)
hari.3,4 Tabel 2. Pilihan antibiotik untuk demam tifoid4
Indication Agent Dosage (Route) Duration, Days
DIAGNOSIS
Diagnosis definitif adalah isolasi S. typhi atau Empirical Treatment
S. paratyphi dari darah, sumsum tulang, rose Ceftriaxonea 2 g/d (IV) 10-14
spot, feses. Pemeriksaan gold standard untuk Azithromycinb 1 g/d (PO) 5
Fully Susceptible
demam tifoid adalah kultur darah. Organisme
Optimal treatment Ciprofloxacinc 500 mg bid (PO) or 400 mg q12h (IV) 5-7
paling sering ditemukan pada 7 – 10 hari
Azithromycin 1 g/d (PO) 5
pertama. Darah yang diperlukan sebanyak Alternative treatment Amoxicillin 1 g tid (PO) or 2 g q6h (IV) 14
2 – 4 mL untuk anak dan 10 -15 mL untuk Chloramphenicol 25 mg/kg tid (PO or IV) 14-21
remaja dan dewasa. Sensitivitas kultur darah Trimethoprim-sulfamethoxazole 160-800 mg bid (PO) 7-14
sekitar 40 – 60% dan dapat dipengaruhi oleh Multidrug-Resistant
pengobatan antibiotik, pengambilan sampel, Optimal treatment Ceftriaxonea 2 g/d (IV) 10-14
medium kultur, durasi inkubasi, dan variasi Azithromycin 1 g/d (PO) 5
bakteremia pada pasien.4,6,7 Alternative treatment Ciprofloxacin 500 mg bid (PO) or 400 mg q12h (IV) 5-14
Quinolone-Resistant
Optimal treatment Ceftriaxone 2 g/d (IV) 10-14
Pada pemeriksaan darah perifer dapat
Azithromycin 1 g/d (PO) 5
ditemukan leukopenia, leukosit normal, atau
Alternative treatment High-dose ciprofloxacin 750 mg bid (PO) or 400 mg q8h (IV) 10-14
leukositosis, aneosinofilia dan limfopenia, a
Or another third-generation cephalosporin (e.g., cefotaxime, 2 g q8h IV; or cefixime, 400 mg bid PO). bOr 1 g
juga anemia ringan dan trombositopenia. on day 1 followed by 500 mg/d PO for 6 days. cOr Ofloxacin, 400 mg bid PO for 2-5 days.
Laju endap darah meningkat. SGOT dan SGPT
(Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In Kasper DL, et al. Harrison Principles of Internal Medicine 19th ed. USA:
sering meningkat dan akan normal setelah Mc Graw Hill; 2015)

6 CDK-292/ vol. 48 no. 1 th. 2021


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Tabel 3. Pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable)7 dan fecal carrier <2%, dan efek terapi paling
Antimicrobial agents Route of administration Adult ekstensif adalah dengan siprofloksasin.4
Ceftriaxone IM/IV 1-2 g per day IV; for 7-10 days
Ciprofloxacin, Levofloxacin or other FQ+ Oral/IV FQ given in full doses as recommended; for 7-10 Kebanyakan pasien uncomplicated dapat
days
diterapi di rumah dengan antibiotik oral dan
Azithromycin Oral 500 mg twice a day for 5 days
antipiretik. Pasien dengan muntah persisten,
Cefixime-Ofloxacin Oral 200-200 mg; for 7-14 days
diare, dan distensi abdomen harus dirawat
+High-dose therapy is based on antimicrobial susceptibility profile of the infected typhoidal Salmonella strain, dan diberi terapi suportif dan antibiotik
as majorities are nonsusceptible to quinolones. Least preffered as majority of the isolates show intermediate parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
resistance to quinolones. fluorokuinolon, tergantung tingkat kerentanan
FQ: Fluoroquinolone; IM: Intramuscular; IV: Intravenous antibiotik setempat. Terapi selama 10 hari atau
(Veeraraghavan, B., Pragasam, A.K., Bakthavatchalam, Y.D., Ralph, R. Typhoid Fever: Issues in Laboratory
sampai 5 hari setelah demam hilang.4
Detection, Treatment Options & Concerns in Management in Developing Countries. Future Sci. 2018; 4(6))
Karier Kronik
Tabel 4. Jenis vaksin tifoid8 Karier Kronik adalah jika ditemukan Salmonella
Dose and Minimum Protection
Boosting spp. di kultur feses atau PCR minimal 12 bulan
Vaccine Type Route interval in
interval age against S. Typhi
travelers setelah selesai pengobatan antimikroba dan
Ty21a Live-attenuated Oral Four doses 5* 50-80% Every five years resolusi gejala infeksi akut yang terkonfirmasi
Administer laboratorium.1 Karier kronik dapat diterapi
one dose every
other day until dengan antibiotik yang sesuai selama
complete 4 – 6 minggu. Antibiotik oral amoksisilin,
Vi Capsule Polysaccharide Intramuscular 1 2 50-80% Every two trimethropim-sulfametoksazol, siprofloksasin,
Antigen years
atau norfloksasin memiliki keefektifan sekitar
*Five years and older per WHO, 6 years and older per Advisory Committee on Immunization Practices
80%.4 Pasien batu empedu atau batu ginjal
(Harris JB, Brooks WA. Typhoid and Paratyphoid (Enteric) Fever. In: Magil AJ, Solomon, T, Ryan ET. (eds.) Hunter’s
mungkin memerlukan terapi antibiotik dan
Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease 9th ed. London: Saunders Elsevier; 2013)
operasi.4 Kolesistektomi mungkin perlu untuk
kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin antigen lipopolisakarida Salmonella typhi dan kolelitiasis yang gagal dengan pengobatan.8
yang bermakna untuk diagnostik demam anti-IgM sebagai kontrol. Uji dipstick mungkin
tifoid. Batas titer yang dipakai berdasarkan bermanfaat untuk serodiagnosis pasien PENCEGAHAN
kesepakatan setempat.3,6 kultur negatif dengan tanda dan gejala yang Vaksin yang banyak tersedia di Indonesia
Dot Enzyme Immunoassay (EIA) konsisten dengan demam tifoid. Pemeriksaan adalah Vi kapsul polisakarida. Vaksin boleh
Uji EIA atau disebut juga uji typhidot ini hanya membutuhkan sedikit volume darah diberikan pada usia ≥2 tahun. Dosis 0,5 mL
mendeteksi antibodi IgM dan IgG spesifik serum dan tidak membutuhkan peralatan intramuskular atau subkutan, dengan daya
terhadap membran protein luar Salmonella laboratorium khusus.3,6 proteksi 50 – 80%.9 Imunisasi ulangan setiap
typhi. Hasil positif dapat ditemukan 2 -3 TERAPI 3 tahun.9 Konsumsi makanan dan minuman
hari setelah infeksi. IgG dapat bertahan Pilihan utama antibiotik tergantung pola yang higienis tetap dianjurkan walaupun
hingga 2 tahun dan deteksi IgG tidak dapat kerentanan kuman S.typhi dan S.paratyphi di sudah diberi imunisasi tifoid.9
membedakan infeksi akut dan konvalesen. Uji area tertentu. Terapi first-line original adalah SIMPULAN
typhidot-M hanya mendeteksi antibodi IgM kloramfenikol, ampisilin, dan trimethropim- Demam tifoid dapat didiagnosis dengan
sehingga lebih spesifik.3,4 sulfametoksazol.8 Antibiotik ini efektif terhadap pemeriksaan fisik, darah perifer, serologi;
Uji IgM Dipstick kuman yang sensitif, tetapi sering ditemukan diagnosis gold standard berupa kultur darah.
Uji dipstick mendeteksi antibodi IgM spesifik resistensi terhadap obat ini.8 Fluoroquinolones Pengobatan menggunakan antibiotik yang
Salmonella typhi di serum atau whole blood. adalah kelas yang paling efektif dengan angka adekuat, yaitu golongan fluorokuinolon yang
Uji ini menggunakan strip mengandung kesembuhan mencapai 98%, angka relaps dinilai paling efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Typhoid and other invasive Salmonellosis [Internet]. 2018 [cited 2018 Sep 5] Available from: https://www.who.int/immunization/
monitoring_surveillance/burden/vpd/WHO_SurveillanceVaccinePreventable_21_Typhoid_BW_R2.pdf?ua=1
2. Wain J, Hendriksen RS, Mikoleit ML, Keddy KH, Ochiai RL. Typhoid fever. Lancet 2014;385(9973):1136-45.
3. Widodo D. Demam tifoid. In: Setiati S, et al, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p 549-58.
4. Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Kasper DL, et al. Harrison principles of internal medicine 19th ed. USA: Mc Graw Hill; 2015. p. 1049-53.
5. Paul UK, Bandyopadhyay A. Typhoid fever: A review. Int J Adv Med. 2017;4(2):300-6.
6. Sultana S, Maruf AA, Sultana R, Jahan S. Laboratory diagnosis of enteric fever: A review update. Bangladesh J Infect Dis. 2016;3(2):43-51.
7. Veeraraghavan B, Pragasam AK, Bakthavatchalam YD, Ralph R. Typhoid fever: Issues in laboratory detection, treatment options & concerns in management in
developing countries. Future Sci. 2018;4(6).
8. Harris JB, Brooks WA. Typhoid and paratyphoid (enteric) fever. In: Magil AJ, Solomon, T, Ryan ET, eds. Hunter’s tropical medicine and emerging infectious disease 9th
ed. London: Saunders Elsevier; 2013. p. 568-76.
9. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 12 Tahun 2017: Tentang Penyelenggaraan Imunisasi.

CDK-292/ vol. 48 no. 1 th. 2021 7

Anda mungkin juga menyukai