Anda di halaman 1dari 10

KBRN, Lhokseumawe : Tokoh masyarakat bersama unsur Muspika Kecamatan

dalam Wilayah Kota Lhokseumawe mengaku belum mengetahui tentang imbauan


Polres Lhokseumawe, untuk mengaktifkan kearifan lokal ronda malam Pos Sistem
Keamanan Lingkungan (Pos Siskamling), dalam rangka memutus mata rantai
peredaran Narkoba ditengah warga masyarakat sekaligus menjaga situasi
Kamtibmas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2017.

Salah seorang Tokoh Masyarakat di Desa Cot Girek Kemukiman Kandang


Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe, Sofyan Abdullah, kepada RRI, Kamis
(03/11/16), menyatakan, dari sisi dan keamanan Gampong, rencana mengaktifkan
kembali Pos Kamling bernilai positif. 

"Kita mengapreasiasi rencana ini (siskamling-red). Tetapi, apakah akan bisa


menumbuhkan minat masyarakat untuk ronda malam. Apalagi ronda malam sudah
lama ditiadakan di Lhokseumawe, lebih - lebih tak pernah disosialisasi", ujar Sofyan
Abdullah.

Sementara Camat Muara Dua, Bukhari, mengungkapkan, sistim keamanan gampong


yang sudah berjalan selama ini telah melibatkan petugas Pertahanan Sipil (Hansip)
atau yang sekarang dikenal petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas). Disamping
itu, ada juga Ketua Pemuda, Tuha Peut, Geuchiek dan Tuha Lapan. Khususnya
petugas Linmas, pada saat Pilkada 2017 nanti mereka akan disusupkan mengawal
TPS dan Petugas PPS maupun KPPS.

"Tapi untuk rencana ronda malam, saya belum mendapat petunjuk dari Polsek",
tegas Camat Bukhari. 

Sehubungan dengan itu, Kapolres Lhokseumawe, AKBP Hendri Budiman, SH, S.Ik,
MH seperti dikutip Portal Berita Polres Lhokseumawe (tribratanews.com)
menyampaikan Peran warga dalam memutus mata rantai peredaran narkoba sangat
diperlukan. Salah satunya dengan cara meningkatkan sistem keamanan lingkungan
(siskamling) di seluruh gampong yang ada di wilayah hukum Polres Lhokseumawe,
hal ini khusunya berguna untuk mencegah peredaran narkoba serta tindak kriminal
lainnya.

Dilanjutkan, ada 242 gampong yang berada di wilayah hukum Polres Lhokseumawe.
“Kalau tiap-tiap gampong menggalakkan siskamling, kami yakin segala tindak
kejahatan dapat dicegah,” ujarnya.

ditambahkan, kita akan mendukung penuh kegiatan siskamling yang dilaksanakan di


setiap gampong. “Sebagai bentuk dukungan, kami akan melakukan patroli rutin ke
setiap pelosok gampong,” tutup Kapolres. (DY)
http://m.rri.co.id/post/berita/323787/pertahanan_-
_keamanan/masyarakat_harap_ronda_malam_siskamling_disosialisasikan.html
Pos ronda atau pos kamling adalah sebuah tempat yang dipakai untuk menjaga keamanan.
[1] Biasanya, pos ronda dilengkapi dengan kentongan yang biasanya dibunyikan saat ada
suatu marabahaya.[2] Kegiatan yang dilakukan di pos ronda biasa disebut siskamling
(sistem keamanan lingkungan). [3]

Kemunculan pos ronda berawal dari gardu-gardu di pintu masuk keraton Jawa. Jauh
sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Gardu ini tidak berfungsi sebagai
pertahanan atau penanda batas teritorial keraton.

Desa-desa atau wilayah di luar keraton belum mempunyai batas teritorial jelas.
Maka, tulis Abidin Kusno dalam Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa, “maksud
kehadiran gardu itu adalah demi menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos.”
Penanda Batas

Kedatangan VOC mengubah fungsi gardu. Perebutan hegemoni VOC atas kerajaan
tradisional membuat kuasa kerajaan berangsur melemah. VOC mempersempit
kuasa keraton dengan membagi wilayah koloninya secara administratif. Batas-batas
administratif desa dan kampung menjadi lebih jelas. Sebagai penegasnya, VOC
mendirikan gardu jaga di tiap kampung dan desa.

Di kota Batavia, VOC membagi kampung berdasarkan identitas asal orang-orang


tempatan. Orang Bali, orang Ambon, orang Bugis, orang Makassar, orang Tionghoa,
dan orang Jawa berkumpul dalam satu kampung dan wilayahnya sendiri.

Keamanan kampung dipegang oleh kepala kampung (Kapitan) dari masing-masing


kelompok. Kepala kampung merekrut sejumlah orang untuk membantunya menjaga
keamanan kampung. Di gardulah mereka memulai kerja.

Tiap malam penjaga gardu menggelar ronda di kampungnya. Kata ronda berasal dari
bahasa Portugis dan Belanda. Maknanya serupa: berkeliling. Mereka meronda tanpa
melampaui batas-batas kampung. Sebab di kampung lain sudah ada perondanya
masing-masing. Ditandai oleh adanya pos ronda lain.

Pos ronda kemudian tidak hanya muncul di kampung dan desa, tetapi juga hadir di
pinggir jalan raya. Ini berlangsung selama dan setelah pembangunan Jalan Raya Pos
Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometer pada masa Gubernur Jenderal Daendels
(1808—1811).

Daendels membagi Jawa menjadi sejumlah Karesidenan untuk mempermudah


pengawasan pembangunan Jalan Raya. Dia memerintahkan pembangunan pos
ronda pada setiap interval tertentu untuk menjaga keamanan pembangunan.
Serampungnya pembangunan, pos ronda itu berkembang menjadi tempat ganti kuda
bagi musafir di sepanjang jalur tersebut.

Memasuki akhir abad ke-19, pos ronda di kampung dan desa lebih hidup. Seiring
maraknya perbanditan sosial di Banten, Yogyakarta, Surakarta, Pasuruan, dan
Probolinggo. Suhartono W. Pranoto menggambarkan perbanditan sosial sebagai
gejala protes sosial oleh para petani lantaran perkebunan dan pabrik mendesak
pertanian.

“Korban perampokan atau perkecuan adalah pihak-pihak yang merugikan petani dan
mendukung ekstraksi yang dilakukan tanah partikelir, perkebunan, dan pabrik,”
ungkap Suhartono dalam Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850—1942.

Para tuan tanah merekrut dan membayar sejumlah jago untuk melindungi harta
mereka dari jarahan para bandit sosial. Pos ronda pun jadi penuh oleh para penjaga
siang dan malam. Mereka melengkapi diri dengan senjata tajam dan akan
mengabarkan ke warga bila melihat orang mencurigakan di sekitar kampung.
Penyampaian kabar dengan memukul kentongan di pos ronda.

Dalam situasi demikian, bandit-bandit biasa ikut memanfaatkan ketakutan orang.


Mereka menjarah rumah warga biasa. Akibatnya warga juga membayar sejumlah
jago secara patungan untuk mengamankan kampung. Setiap orang masuk dan
keluar kampung pun terpantau oleh keamanan partikelir itu. Di sini pos ronda
bermakna sebagai kemandirian warga menjaga keamanannya sendiri tanpa
pelibatan pemerintah kolonial. Pos ronda adalah milik warga.

Ketika polisi kolonial mulai terbentuk pada awal abad ke-20, tugas penjagaan
properti pribadi itu beralih ke polisi. Pos-pos ronda kini dibangun secara lebih
permanen untuk kepentingan polisi kolonial menegakkan wibawa pemerintah.

Polisi kolonial adalah representasi pemerintah kolonial. Keamanan dan ketertiban


harus tegak demi wibawa pemerintah. Caranya dengan memberantas para bandit
dengan mempersempit gerak mereka melalui penggunaan pos ronda.

Maka polisi kolonial berusaha mengambil alih semua pos ronda dari tangan
keamanan partikelir, dari tangan warga. Tetapi keinginan mereka tidak sebanding
dengan ketersediaan sumber daya.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pos_ronda

Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro
Tujuan, Komponen, dan Bentuk Kegiatan
Siskamling yang Sesuai Aturan

Dimas Hutomo, S.H.


Kenegaraan
Bung Pokrol
Kamis, 28 Pebruari 2019

Pertanyaan
Apakah hukumnya wajib membunyikan bunyi-bunyian di kala ronda
keliling? Bukannya mengganggu kenyamanan yang sedang beristirahat?
Tolong penjelasannya karena saya merasa terganggu sampai-sampai anak
saya bangun setiap mala

Ronda sebagai Bagian dari Siskamling

Ronda atau meronda menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang


kami akses dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yaitu:

v berjalan berkeliling untuk menjaga keamanan; berpatroli


 

Ronda atau patroli di sekitar lingkungan tempat tinggal merupakan bagian


dari kegiatan Sistem Keamanan Lingkungan (“Siskamling”).[1]

Siskamling itu sendiri menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala


Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 Tentang
Sistem Keamanan Lingkungan (“Perkapolri 23/2007”) adalah suatu
kesatuan yang meliputi komponen-komponen yang saling bergantung dan
berhubungan serta saling mempengaruhi, yang menghasilkan daya
kemampuan untuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan akan kondisi keamanan dan ketertiban di lingkungan.

Siskamling diselenggarakan dengan tujuan:[2]

a. menciptakan situasi dan kondisi yang aman, tertib, dan tentram


di lingkungan masing- masing;
b. terwujudnya kesadaran warga masyarakat di lingkungannya
dalam penanggulangan terhadap setiap kemungkinan timbulnya
gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (“kamtibmas”).

 
Siskamling ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah
warga, dengan berasaskan semangat budaya kekeluargaan, gotong
royong, dan swakarsa.[3]

Adapun fungsi siskamling adalah sebagai:[4]


c. sarana warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rasa
aman di lingkungannya;
d. menanggulangi ancaman dan gangguan terhadap
lingkungannya dengan upaya:

a. pre-emptif, merupakan upaya-upaya penanggulangan terhadap


fenomena dan situasi yang dapat dikategorikan sebagai faktor
korelatif kriminogen, dengan cara mencermati setiap gejala awal dan
menemukan simpul penyebabnya yang bersifat laten potensial pada
sumbernya; dan
b. preventif, merupakan segala usaha guna mencegah/mengatasi
secara terbatas timbulnya ancaman/gangguan keamanan dan
ketertiban khususnya di lingkungan masing-masing melalui kegiatan-
kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli atau
perondaan, serta kegiatan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
sehingga tercipta suatu lingkungan yang aman, tertib, dan teratur.

 
Komponen siskamling terdiri dari:[5]

a. Forum Kemitraan Perpolisian Masyarakat (“FKPM”) yang


berperan memfasilitasi kepentingan warga masyarakat untuk
merealisasikan penyelenggaraan siskamling serta ikut membina
pelaksanaannya.[6]
b. Ketua siskamling, dijabat oleh ketua Rukun Tetangga
(“RT”)/Rukun Warga (“RW”) atau tokoh masyarakat yang dipilih
berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah warga masyarakat
setempat. Ketua siskamling tersebut bertugas sebagai pimpinan
penyelenggaraan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya
kepada warga.[7]
c. Pelaksana siskamling, seluruh kepala rumah tangga dan warga
laki-laki dewasa berusia paling sedikit 17 tahun dalam lingkungan
RT/RW setempat.[8]

 
Selanjutnya kegiatan pelaksana siskamling yang bertugas melaksanakan
kegiatan siskamling meliputi:[9]

d. penjagaan;
e. patroli atau perondaan;
f. memberikan peringatan-peringatan untuk mencegah antara
lain terjadinya kejahatan, kecelakaan, kebakaran, banjir, dan
bencana alam;
g. memberikan keterangan atau informasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan keamanan dan ketertiban lingkungan;
h. memberikan bantuan dan pelayanan kepada masyarakat yang
mempunyai masalah yang dapat mengganggu ketentraman warga
sekitarnya, serta membantu Ketua RT/RW dalam menyelesaikan
masalah warga tersebut;
i. melakukan koordinasi kegiatan dengan anggota Polri dan
Pamong Praja, dan aparat pemerintah terkait lainnya yang bertugas
di wilayahnya;
j. melaporkan setiap gangguan kamtibmas yang terjadi pada
Polri;
k. melakukan tindakan represif sesuai petunjuk teknis Polri dalam
hal kasus tertangkap tangan, dan pada kesempatan pertama
menyerahkan penanganannya kepada Satuan Polri di wilayahnya;
dan

a. melakukan tindakan yang dirasakan perlu untuk keselamatan


warganya atas izin dan perintah dari ketua siskamling.

 
Jadi ronda merupakan salah satu kegiatan siskamling. Namun mengenai
teknis pelaksanaan kegiatan siskamling itu sendiri termasuk ronda tidak
diatur secara rinci dalam Perkapolri 23/2007. Menurut hemat kami
diserahkan ke masing-masing daerah (tergantung kebijakan di setiap
daerah).

Teknis Kegiatan Ronda

Sebagai contoh di daerah Kabupaten Sampang, mengenai ronda ini diatur


dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sampang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Sistem Keamanan Lingkungan Masyarakat di Kabupaten
Sampang (“Perda Kabupaten Sampang 20/2008”). Pada dasarnya
aturan mengenai siskamling pada peraturan daerah juga merujuk
Perkapolri 23/2007, akan tetapi secara spesifik istilah ronda jaga atau
kemit disebutkan dalam Perda Kabupaten Sampang 20/2008 didefinisikan
sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dimana ia
bertempat tinggal untuk menjaga keamanan dan ketertiban di
lingkungannya pada siang hari dan atau malam hari  dengan waktu
tertentu.[10]

 
Masing-masing desa/kelurahan di antaranya mempunyai
tugas menyusun petunjuk teknis jaga, ronda, atau aktifitas lain serta
dan penjadwalan ronda yang berkenaan dengan siskamling.[11]

Sarana dan prasarana siskamling adalah:[12]

a.

a. Pos kamling atau pos jaga;


b. kentongan atau alat lain yang sejenis;
c. kamera CCTV, atau yang sejenis;
d. pentungan atau yang sejenis;
e. alat-alat lain yang diperlukan dan dibenarkan sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku

 
Berdasarkan penelusuran kami, alat yang mengeluarkan bunyi-bunyi
seperti yang Anda maksud adalah kentongan atau alat lain yang sejenis.
Oleh karenanya, jika memang di daerah Anda telah diatur bahwa
kentongan itu termasuk sarana dan prasarana siskamling yang diatur,
maka menurut hemat kami sah-sah saja apabila itu digunakan saat
kegiatan ronda (sebagai bagian dari kegiatan siskamling).

Selain itu, adapun sebenarnya kegiatan ronda (termasuk teknis jaganya)


sebagai salah satu pelaksanaan siskamling diserahkan dan ditentukan
secara musyawarah mufakat oleh masyarakat pada masing-masing
wilayah di setiap daerah. Meski demikian, menurut hemat kami hendaknya
petugas jaga ronda selain menjaga keamanan juga harus memperhatikan
kenyamanan warga saat ronda agar tidak mengganggu.
 

Apabila masyarakat terganggu dengan pelaksanaan kegiatan ronda, maka


saran kami adalah upayakan cara-cara kekeluargaan terlebih dahulu, yaitu
dengan mengadu ke ketua RT/RW atau kepala desa/lurah setempat
karena merekalah yang menyusun petunjuk teknis dan penjadwalan ronda.
Petunjuk teknis tersebut berarti terkait bunyi-bunyian yang mengganggu
Anda.

https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c72d8333b1df/tujuan--komponen--dan-bentuk-
kegiatan-siskamling-yang-sesuai-aturan/

Anda mungkin juga menyukai