"Tapi untuk rencana ronda malam, saya belum mendapat petunjuk dari Polsek",
tegas Camat Bukhari.
Sehubungan dengan itu, Kapolres Lhokseumawe, AKBP Hendri Budiman, SH, S.Ik,
MH seperti dikutip Portal Berita Polres Lhokseumawe (tribratanews.com)
menyampaikan Peran warga dalam memutus mata rantai peredaran narkoba sangat
diperlukan. Salah satunya dengan cara meningkatkan sistem keamanan lingkungan
(siskamling) di seluruh gampong yang ada di wilayah hukum Polres Lhokseumawe,
hal ini khusunya berguna untuk mencegah peredaran narkoba serta tindak kriminal
lainnya.
Dilanjutkan, ada 242 gampong yang berada di wilayah hukum Polres Lhokseumawe.
“Kalau tiap-tiap gampong menggalakkan siskamling, kami yakin segala tindak
kejahatan dapat dicegah,” ujarnya.
Kemunculan pos ronda berawal dari gardu-gardu di pintu masuk keraton Jawa. Jauh
sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Gardu ini tidak berfungsi sebagai
pertahanan atau penanda batas teritorial keraton.
Desa-desa atau wilayah di luar keraton belum mempunyai batas teritorial jelas.
Maka, tulis Abidin Kusno dalam Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa, “maksud
kehadiran gardu itu adalah demi menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos.”
Penanda Batas
Kedatangan VOC mengubah fungsi gardu. Perebutan hegemoni VOC atas kerajaan
tradisional membuat kuasa kerajaan berangsur melemah. VOC mempersempit
kuasa keraton dengan membagi wilayah koloninya secara administratif. Batas-batas
administratif desa dan kampung menjadi lebih jelas. Sebagai penegasnya, VOC
mendirikan gardu jaga di tiap kampung dan desa.
Tiap malam penjaga gardu menggelar ronda di kampungnya. Kata ronda berasal dari
bahasa Portugis dan Belanda. Maknanya serupa: berkeliling. Mereka meronda tanpa
melampaui batas-batas kampung. Sebab di kampung lain sudah ada perondanya
masing-masing. Ditandai oleh adanya pos ronda lain.
Pos ronda kemudian tidak hanya muncul di kampung dan desa, tetapi juga hadir di
pinggir jalan raya. Ini berlangsung selama dan setelah pembangunan Jalan Raya Pos
Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometer pada masa Gubernur Jenderal Daendels
(1808—1811).
Memasuki akhir abad ke-19, pos ronda di kampung dan desa lebih hidup. Seiring
maraknya perbanditan sosial di Banten, Yogyakarta, Surakarta, Pasuruan, dan
Probolinggo. Suhartono W. Pranoto menggambarkan perbanditan sosial sebagai
gejala protes sosial oleh para petani lantaran perkebunan dan pabrik mendesak
pertanian.
“Korban perampokan atau perkecuan adalah pihak-pihak yang merugikan petani dan
mendukung ekstraksi yang dilakukan tanah partikelir, perkebunan, dan pabrik,”
ungkap Suhartono dalam Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850—1942.
Para tuan tanah merekrut dan membayar sejumlah jago untuk melindungi harta
mereka dari jarahan para bandit sosial. Pos ronda pun jadi penuh oleh para penjaga
siang dan malam. Mereka melengkapi diri dengan senjata tajam dan akan
mengabarkan ke warga bila melihat orang mencurigakan di sekitar kampung.
Penyampaian kabar dengan memukul kentongan di pos ronda.
Ketika polisi kolonial mulai terbentuk pada awal abad ke-20, tugas penjagaan
properti pribadi itu beralih ke polisi. Pos-pos ronda kini dibangun secara lebih
permanen untuk kepentingan polisi kolonial menegakkan wibawa pemerintah.
Maka polisi kolonial berusaha mengambil alih semua pos ronda dari tangan
keamanan partikelir, dari tangan warga. Tetapi keinginan mereka tidak sebanding
dengan ketersediaan sumber daya.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pos_ronda
Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro
Tujuan, Komponen, dan Bentuk Kegiatan
Siskamling yang Sesuai Aturan
Pertanyaan
Apakah hukumnya wajib membunyikan bunyi-bunyian di kala ronda
keliling? Bukannya mengganggu kenyamanan yang sedang beristirahat?
Tolong penjelasannya karena saya merasa terganggu sampai-sampai anak
saya bangun setiap mala
Siskamling ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah
warga, dengan berasaskan semangat budaya kekeluargaan, gotong
royong, dan swakarsa.[3]
Komponen siskamling terdiri dari:[5]
Selanjutnya kegiatan pelaksana siskamling yang bertugas melaksanakan
kegiatan siskamling meliputi:[9]
d. penjagaan;
e. patroli atau perondaan;
f. memberikan peringatan-peringatan untuk mencegah antara
lain terjadinya kejahatan, kecelakaan, kebakaran, banjir, dan
bencana alam;
g. memberikan keterangan atau informasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan keamanan dan ketertiban lingkungan;
h. memberikan bantuan dan pelayanan kepada masyarakat yang
mempunyai masalah yang dapat mengganggu ketentraman warga
sekitarnya, serta membantu Ketua RT/RW dalam menyelesaikan
masalah warga tersebut;
i. melakukan koordinasi kegiatan dengan anggota Polri dan
Pamong Praja, dan aparat pemerintah terkait lainnya yang bertugas
di wilayahnya;
j. melaporkan setiap gangguan kamtibmas yang terjadi pada
Polri;
k. melakukan tindakan represif sesuai petunjuk teknis Polri dalam
hal kasus tertangkap tangan, dan pada kesempatan pertama
menyerahkan penanganannya kepada Satuan Polri di wilayahnya;
dan
Jadi ronda merupakan salah satu kegiatan siskamling. Namun mengenai
teknis pelaksanaan kegiatan siskamling itu sendiri termasuk ronda tidak
diatur secara rinci dalam Perkapolri 23/2007. Menurut hemat kami
diserahkan ke masing-masing daerah (tergantung kebijakan di setiap
daerah).
Masing-masing desa/kelurahan di antaranya mempunyai
tugas menyusun petunjuk teknis jaga, ronda, atau aktifitas lain serta
dan penjadwalan ronda yang berkenaan dengan siskamling.[11]
a.
Berdasarkan penelusuran kami, alat yang mengeluarkan bunyi-bunyi
seperti yang Anda maksud adalah kentongan atau alat lain yang sejenis.
Oleh karenanya, jika memang di daerah Anda telah diatur bahwa
kentongan itu termasuk sarana dan prasarana siskamling yang diatur,
maka menurut hemat kami sah-sah saja apabila itu digunakan saat
kegiatan ronda (sebagai bagian dari kegiatan siskamling).
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c72d8333b1df/tujuan--komponen--dan-bentuk-
kegiatan-siskamling-yang-sesuai-aturan/