Anda di halaman 1dari 22

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329737092

AKUNTANSI HIJAU: Isu, Teori dan Aplikasi

Conference Paper · October 2018

CITATIONS READS
4 6,050

1 author:

Andreas Lako
Soegijapranata Catholic University
99 PUBLICATIONS   140 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

GREEN ACCOUNTING: CONCEPTUAL FRAMEWORK AND APPLICATION View project

All content following this page was uploaded by Andreas Lako on 18 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Akuntansi Hijau:
Isu, Rerangka Konseptual dan Aplikasi*

Oleh: Andreas Lako


Guru Besar Akuntansi Hijau
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

1. Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis ekologi global maupun nasional yang disebabkan
oleh kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya daya dan lingkungan secara serakah
kian serius dan mengkuatirkan. Krisis tersebut telah menimbulkan berbagai bencana ekologi yang
sangat merugikan dan mengancam keberlanjutan kehidupan umat manusia. Perubahan iklim dan
pemanasan global maupun kerusakan dan degradasi lingkungan telah menimbulkan berbagai
bencana alam, bencana sosial dan bencana ekonomi yang serius. Berbagai bencana tersebut
juga telah menimbulkan krisis energi, kemiskinan, kemelaratan, kesenjangan sosial, pengungsian
dan penderitaan rakyat yang makin serius.

Apa pemicu dan pemacu terjadinya krisis ekologi? Secara umum, sejumlah literatur
menyebutkan bahwa penyebab utamanya adalah akibat perilaku keserakahan dan ketamakan
manusia. Sejumlah literatur menyatakan bahwa krisis tersebut dipicu dan dipacu oleh
keserakahan dan ketamakan dari pemerintah yang mengelola negara, korporasi dan rumah
tangga. Mereka mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan untuk memajukan taraf hidup
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan sosial dan mendorong kemajuan serta kemakmuran
bangsa. Secara khusus, krisis tersebut disebabkan oleh hasrat pemerintah dan para pelaku
ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meraup laba yang sebesar-besarnya
demi mendorong kemajuan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat.
Pemerintah dan para pelaku ekonomi tersebut menghalalkan segala cara, baik yang etis maupun

* Tulisan ini merupakan pengembangan dari Bab 1 buku “AKUNTANSI HIJAU: Isu, Teori & Aplikasi” (karya Andreas Lako: Penerbit
Salemba Empat, 2018). Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman secara komprehensif kepada peserta seminar tentang
isu, kerangka teoritis dan aplikasi serta tantangan dalam pengembangan Akuntansi Hijau di Indonesia. Artikel ini merupakan “suplemen”
dari makalah utama penulis berjudul “Akuntansi Hijau Berkelanjutan: Isu, Tantangan dan Strategi Pendidikan dan Riset Akuntansi”
untuk Konferensi Nasional “Improving Accounting, Management, and Economic Research in Developing Business Sustainability and
Economic Growth’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada 14 Oktober 2017. Artikel ini juga
pernah disajikan dalam Accounting Forum yang diselenggarakan oleh Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Diponegoro Semarang, pada 26 Oktober 2018 .
tidak etis, untuk mewujudkan hasrat atau kepentingan ekonomi mereka (Mauders dan Burritt,
1991; Elkington, 1997 & 2001; Gore, 2013).

Relasi kausalitas tersebut dapat divisualisasikan dalam Gambar 1.1. Gambar 1.1
menjelaskan relasi antara hasrat pembangunan ekonomi dan bisnis untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan krisis lingkungan dan krisis sosial. Menurut teori ekonomi klasik,
pembangunan ekonomi dan bisnis suatu negara memerlukan empat faktor produksi, yaitu modal
finansial (financial capital), sumberdaya alam (natural capital), teknologi (technology capital) dan
tenaga kerja (human capital). Keempat faktor produksi tersebut digunakan untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam dan lingkungan serta sumberdaya ekonomi sosial-masyarakat sesuai dengan
aturan-aturan main yang berlaku (regulasi). Tujuannya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial dan mendorong kemajuan ekonomi serta kemakmuran suatu bangsa.

Namun akibat dari kegagalan sistem pasar dalam mengatur dan menertibkan perilaku para
pelaku pasar (market failure) maka terjadilah perilaku serakah dan tamak (greedy) dari para
pelaku pasar terhadap masyarakat dan lingkungan demi meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perilaku buruk tersebut
menyebabkan krisis lingkungan, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan dan
polusi yang tak terkendali, pemanasan global, perubahan iklim, efek gas rumah kaca, degrasi
lingkungan dan lainnya, kian serius dan meluas. Juga menyebabkan krisis sosial seperti
meningkatnya jumlah penduduk miskin, melarat, tersingkir dan menderita akibat terkena dampak-
dampak negatif dari aktivitas korporasi. Krisis lingkungan (krisis ekologi) dan krisis sosial tersebut
pada akhirnya juga berimbas negatif pada pertumbuhan laba korporasi dan pertumbuhan
ekonomi negara dalam jangka panjang.

Gambar 1.1
Relasi perilaku pembangunan ekonomi dan bisnis yang tamak dengan krisis lingkungan dan
krisis sosial

Pembangunan
Ekonomi & Bisnis

Eksploitasi Kerusakan
alam/ Lingkungan dan
lingkungan alam semesta

Penurunan laba
Butuh dan
Faktor Tenaga
Kerja Faktor Faktor Modal pertumbuhan
ekonomi
Produksi
Ekonomi Kemiskinan,
Eksploitasi kemelaratan,
Manusia penderitaan, dll

Faktor Sumberdaya Faktor Teknologi Krisis


Alam ekonomi
Bagaimana dengan Indonesia? Secara nasional, Lako (2016a) menyebutkan bahwa ada
empat faktor pemicu-pemacu terjadinya krisis ekologi nasional.

Pertama, fokus pembangunan nasional yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek


kepentingan ekonomi dan bisnis dengan orientasi utama pada pertumbuhan ekonomi dan laba
yang sebesar-besarnya. Asumsinya adalah apabila korporasi meraup laba dan perekonomian
terus bertumbuh tinggi maka kemajuan dan kemakmuran bangsa akan terwujud. Kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial juga akan terwujud. Fokus tersebut telah mendorong pemerintah,
korporasi dan rumah tangga berperilaku serakah dan tamak dalam mengekploitasi sumberdaya
alam dan lingkungan serta sumberdaya ekonomi-sosial masyarakat. Perilaku buruk tersebut
tersebut telah menimbulkan komplikasi krisis ekologi dan krisis sosial yang kian serius.

Kedua, kegagalan dalam sistem dan tatakelola pembangunan ekonomi, bisnis dan
korporasi yang etis dan bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Selama ini,
sistem dan tatakelola pembangunan ekonomi dan bisnis nasional lebih memberikan keleluasaan
kepada para pelaku ekonomi dan bisnis untuk mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan
serta sumberdaya sosial-ekonomi masyarakat seluas-luasnya. Tujuannya, demi mendorong
kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, penyediaan
barang/jasa yang diperlukan masyarakat dan peningkatan pendapatan pajak negara.

Keleluasaan tersebut telah mendorong para pelaku ekonomi dan pebisnis berperilaku
tamak dan serakah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan serta sumberdaya
sosial untuk kepentingan ekonomi dan bisnis mereka. Itu sebabnya, dalam perekonomian
Indonesia selama ini sering terjadi paradoks ekonomi-bisnis. Yaitu, pada saat perekonomian
nasional dan laba korporasi bertumbuh pesat, pada saat yang sama kerusakan dan bencana
lingkungan, kemiskinan, kemelaratan dan ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat justru kian
meningkat dan serius. Semakin banyak korporasi membukukan kenaikan laba yang besar,
semakin kompleks pula problema-problema sosial dan lingkungan yang timbul. 1

1
Muncul dugaan bahwa kenaikan laba korporasi diperoleh dengan cara-cara yang memeras lingkungan
dan para stakeholder serta masyarakat. Secara akuntansi, kenaikan laba suatu korporasi disebabkan
karena kenaikan pendapatan (revenue) jauh lebih besar dibanding kenaikan biayanya (expense). Laba
yang besar atau kenaikan laba yang besar bisa saja diperoleh dari: Pertama, hasil efisiensi yang
berlebihan (pemerasan) terhadap biaya bahan baku dari masyarakat dan lingkungan (alam), biaya tenaga
kerja, biaya overhead, gaji karyawan dan biaya-biaya operasional lainnya, serta juga penghindaran
terhadap biaya-biaya sosial dan lingkungan (externalities costs) yang seharusnya diperhitungkan dalam
biaya periodik dan menjadi tanggung jawab korporasi. Kedua, hasil dari penjualan produk/jasa (revenue)
yang jauh lebih besar dibanding total biaya (costs) yang dikeluarkan. Namun, penjualan atau pendapatan
yang besar tersebut diperoleh karena perusahaan menetapkan harga jual produk/jasa jauh lebih besar
dibanding total biayanya. Penetapan harga jual yang tinggi tersebut karena manajemen perusahaan
memasukan biaya-biaya TJSL dan CSR dan memperhitungkan tingkat laba dengan besaran tertentu.
Secara etika, harga jual yang tinggi dengan motif meraup laba sebesar mungkin tersebut merupakan
pemerasan terhadap konsumen dan berpotensi memiskinkan masyarakat konsumen. Ketiga, laba yang
besar merupakan hasil dari pemerasan terhadap masyarakat pemasok (bahan baku, tenaga kerja,
overhead, karyawan, mitra usaha, dan lainnya) melalui penetapan harga input yang rendah dan pemerasan
terhadap masyarakat konsumen melalui penetapan harga jual produk/jasa (harga output) yang tinggi. Dari
hasil analisis yang saya lakukan selama ini, kebanyakan perusahaan menggunakan strategi ketiga ini
dalam meraup laba yang besar.
Meski dalam satu dekade terakhir mulai berkembang pesat kepedulian korporasi dalam
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib
karena diwajibkan regulasi2 serta CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab
sosial perusahaan yang bersifat sukarela 3, namun kepedulian tersebut sesungguhnya bukan
dimaksudkan untuk mengatasi krisis sosial dan lingkungan. Tapi, lebih dimaksudkan sebagai
strategi bisnis untuk promosi, pemasaran, pencitraan, pembentukan nama baik dan
meminimalkan risiko korporasi. Itu sebabnya, meski dalam satu dekade terakhir banyak korporasi
berlomba-lomba melaksanakan TJSLP dan CSR, namun kerusakan lingkungan dan krisis ekologi
serta krisis sosial justru meningkat.

Ketiga, kegagalan dalam sistem dan tatakelola keuangan korporasi yang tidak ramah
lingkungan. Selama ini, sistem keuangan korporasi juga dikritik tidak ramah lingkungan karena
cenderung mengabaikan faktor-faktor sumberdaya alam dan lingkungan serta sumberdaya sosial
dalam proses valuasi dan penentuan nilai uang terhadap obyek-obyek, peristiwa-peristiwa dan
transaksi-transaksi sosial dan lingkungan serta dampak-dampak eksternalitas dari operasi
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dalam proses keuangan. Dalam perencanaan
dan pengambilan keputusan keuangan yang berkaitan dengan investasi, pembiayaan, operasi,
penganggaran, penilaian kinerja dan pertanggungjawaban keuangan, faktor-faktor lingkungan
dan sosial tersebut juga cenderung diabaikan.

Akibat pengabaian tersebut, manajemen dalam perencanaan, pelaksanaan dan


pengendalian operasi perusahaan semakin tidak peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan
yang dipengaruhi dan mempengaruhi aktivitas investasi dan operasi perusahaan. Perusahaan
semakin berperilaku serakah dan tamak dalam mengekplotasi sumberdaya alam dan lingkungan
serta sumberdaya ekonomi masyarakat. Selain itu, dalam laporan posisi keuangan (neraca)
perusahaan, juga tidak terdapat akun-akun aset sumberdaya alam dan aset lingkungan, atau
akun investasi sosial dan lingkungan. Ketiadaan informasi tersebut mengakibatkan perusahaan
dan para pemangku kepentingan terkait semakin tidak peduli dan berperilaku tak etis terhadap
lingkungan dan masyarakat.

2
Tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) merujuk pada Pasal 66 dan Pasal 74 Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan PP No.47/2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam UU dan PP tersebut, TJSLP merupakan suatu
kewajiban perseroan yang wajib dilaksanakan. TJSLP melekat pada aktivitas operasi perusahaan,
termasuk semua rencana kegiatan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) yang
telah dirumuskan dan diatur dalam dokumen Amdal perusahaan. Karena itu, perusahaan harus
bertanggung jawab terhadap dampak-dampak eksternalitas yang timbul akibat keberadaan dan aktivitas
operasi perusahaan (Lako, 2015a).
3
Hakikat atau esensi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) berbeda dengan TJSLP. Dari berbagai
literatur buku dan jurnal internasional, CSR merupakan komitmen berkelanjutan korporasi untuk peduli dan
bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya agar tercipta suatu sinergitas dan
keberlanjutan antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan. Komitmen tersebut bersifat sukarela
dan dilandasi oleh kesadaran dan niat baik dari perusahaan untuk membangun lingkungan bisnis yang
harmonis, kondusif dan berkelanjutan (Lako, 2011a &2015b; Lawrence dan Weber, 2008; Benn dan Bolton,
2011).
Keempat, kegagalan sistem dan praktik akuntansi dalam mengakui, mengukur nilai,
mencatat, meringkas dan melaporkan informasi akuntansi berkaitan dengan obyek, peristiwa,
kejadian atau transaksi-transaksi sosial dan lingkungan. Selama ini akuntansi konvensional yang
berbasis pada akuntansi keuangan (financial accounting) cenderung mengabaikan faktor-faktor
sosial dan lingkungan tersebut dalam proses akuntansi dan pelaporan keuangan kepada para
pemakai. Akibatnya, dalam laporan posisi keuangan
entitas korporasi, khususnya pada perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha Ketiadaan informasi akuntansi
yang terkait langsung dengan sumberdaya dan sosial dan lingkungan dan salah
lingkungan, tidak ada akun-akun yang terkait kaprah dalam perlakuan akuntansi
dengan aset sumberdaya alam dan lingkungan. dan pelaporan terhadap informasi
TJSLP dan CSR telah menyebabkan
Misalnya, dalam neraca keuangan dari
informasi akuntansi yang tersaji
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
dalam laporan keuangan dinilai
industri pertambangan dan semen, tidak ada akun-
kurang relevan dan reliabel.
akun (accounts) yang terkait dengan aset
sumberdaya alam dan lingkungan (critical natural
Informasi akuntansi dikritik telah
capital) seperti batu bara, minyak dan gas bumi, menyesatkan para pihak dalam
logam dan mineral lainnya, batuan-batuan, karst, penilaian dan pengambilan
batu kapur dan lainnya. Yang ada hanyalah akun keputusan, serta dalam
aset-aset konvensional yang bersifat artifisial perencanaan, pengendalian dan
(artificial asset) seperti aset lancar, aset finansial, pelaksanaan operasi bisnis yang
aset tetap, aset tidak berwujud dan aset lainnya. Hal terkait dengan isu-isu sosial dan
ini menunjukkan bahwa dalam valuasi keuangan lingkungan. Pengabaian tersebut
dan proses akuntansi korporasi dari industri-industri juga telah mendorong perusahaan
tersebut, nilai moneter dari aset-aset alam dan dan para pihak kian tidak peduli
lingkungan dianggap nol. Padahal, aset-aset dan berperilaku tamak dan
tersebut merupakan aset utama yang menjadi core serakah terhadap sumberdaya
business perusahaan. alam dan lingkungan, serta
masyarakat sekitar dan
Selain itu, dalam struktur aset korporasi juga masyarakat luas. Pengabaian
jarang sekali terdapat akun-akun untuk investasi tersebut telah menyebabkan
sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan
kerusakan lingkungan dan krisis
pelaksanaan TJSLP dan CSR. Hal ini
ekologi serta krisis sosial kian
mengindikasikan bahwa secara keuangan dan
serius, meluas dan mengancam
akuntansi, semua pengorbanan sumberdaya
keberlanjutan kehidupan umat
ekonomi dan nonekonomi korporasi untuk
manusia.
melaksanakan TJSLP dan CSR diperlakukan
sebagai beban periodik (expenses) yang
mengurangi nilai aset, laba dan nilai ekuitas pemilik.
Karena diperlakukan sebagai beban periodik yang merugikan perusahaan dan pemilik, maka
banyak perusahaan lalu berupaya menghindari pelaksanaan TJSLP dan CSR. Kalau dilakukan,
itu lebih didorong oleh motif-motif bisnis atau sekedar memenuhi kewajiban regulasi daripada
motif tulus untuk berperan aktif mengatasi krisis sosial dan lingkungan.
Ketiadaan informasi akuntansi sosial dan lingkungan dan salah kaprah dalam perlakuan
akuntansi dan pelaporan terhadap informasi TJSLP dan CSR tersebut telah menyebabkan
informasi akuntansi yang tersaji dalam laporan keuangan dinilai kurang relevan dan reliabel.
Informasi akuntansi dikritik telah menyesatkan para pihak dalam penilaian dan pengambilan
keputusan, serta dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan operasi bisnis yang terkait
dengan isu-isu sosial dan lingkungan. Pengabaian tersebut juga telah mendorong perusahaan
dan para pihak semakin tidak peduli dan berperilaku tamak dan serakah terhadap sumberdaya
alam dan lingkungan, serta masyarakat sekitar dan masyarakat luas. Pengabaian tersebut telah
menyebabkan kerusakan lingkungan dan krisis ekologi serta krisis sosial kian serius, meluas dan
mengancam keberlanjutan kehidupan umat manusia.

2. Pembangunan Berkelanjutan

Akibat krisis ekologi atau krisis lingkungan yang kian serius di berbagai pelosok bumi, sejak
tahun 1980an mulai muncul gerakan dari berbagai negara untuk membangun kolaborasi global
dalam upaya mengatasi krisis ekologi dan krisis sosial. Pada tanggal 20-22 Juni 1992, para
kepala negara dan pemimpin pemerintahan dari berbagai negara serta para pemimpin bisnis
dunia berkumpul di Rio de Janeiro, Brasil, untuk melakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
tentang Bumi (Earth Summit). Lebih dari 140 kepala negara dan pemimpin pemerintahan,
termasuk Presiden Suharto dari Indonesia, hadir dalam KTT yang diadakan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut.

Pada KTT tersebut, mereka menyepakati konsep baru dalam model pembangunan dunia,
yaitu Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan.4 Mereka juga berkomitmen
melaksanakan paradigm baru dalam konsep pembangunan tersebut di negaranya masing-
masing melalui Agenda Aksi 21 untuk Lingkungan. Tujuan utamanya adalah untuk mengatasi
kerusakan lingkungan dan krisis ekologi, serta menyelamatkan bumi dari bahaya kerusakan dan
kepanasan, serta mengatasi kemiskinan. Dalam konsep baru tersebut juga dinyatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang memadukan
kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan pada saat ini tanpa mengabaikan kepentingan dari

4
Sebelumnya, pembangunan selalu diidentikkan dengan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, kenaikan gross national product (GNP) atau produk domestik bruto (PDB), peningkatan
kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan kemajuan bangsa dan
lainnya. Untuk mewujudkan orientasi tersebut maka konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan
import harus digenjot. Sektor-sektor usaha atau industri seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, manufaktur,
perdagangan dan lainnya harus dieksploitasi sebesar-besarnya untuk memberikan nilai ekonomi. Korporasi-
korporasi juga didorong untuk menghasilkan laba yang sebesar-besarnya agar bisa memberikan kontribusi yang
sebesar-besarnya kepada negara dalam bentuk pajak, royalty, penyediaan barang dan jasa, pembangunan sarana
dan prasarana, penyerapan tenaga kerja, dan meningkatkan kinerja perekonomian serta lainnya. Orientasi dan
dorongan tersebut telah mendorong pemerintah (negara), pelaku ekonomi dan bisnis, korporasi, rumah tangga dan
masyarakat berperilaku serakah dan tamak terhadap sumberdaya alam dan lingkungan (bumi) dan terhadap sesama
manusia atau masyarakat luas. Perilaku buruk tersebut menyebabkan lingkungan rusak dan tercemar sehingga
menyebabkan bumi sakit, ekosistem alam terganggu sehingga mengancam kelangsungan kehidupan umat manusia,
ketersediaan sumberdaya alam pendukung kehidupan manusia kian menipis, dan masyarakat kian miskin, melarat,
menderita dan tersingkir (Makower, 1994; Panayotou, 1994).
generasi-generasi berikutnya untuk hidup secara layak (United Nations General Assembly, 1987;
Panayotou, 1994; Benn dan Bolton, 2011).

Berbeda dengan konsep pembangunan konvensional yang lebih berfokus pada


pembangunan ekonomi dengan orientasi pada kepentingan-kepentingan jangka pendek dan
kebutuhan dari generasi sekarang, konsep Pembangunan Berkelanjutan menekankan pada
pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan
secara terpadu, berkeadilan dan berkelanjutan untuk memenuhi kepentingan dari generasi saat
ini maupun generasi-generasi berikutnya agar bisa hidup secara layak. Sasaran dari
implementasi konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah untuk menciptakan keadilan (equity),
keberlanjutan (sustainability), kedamaian (peace), dan kesejahteraan (prosperity) bagi semua
pihak dan sekaligus memelihara kelestarian lingkungan hidup atau bumi (Panayotou, 1994;
Lawrence dan Weber, 2008).

Secara garis besar, tiga pilar dasar dari konsep Pembangunan Berkelanjutan dan interaksi
dari ketiga pilar dasar tersebut dalam menciptakan keberlanjutan (sustainability) lingkungan atau
panet bumi (planet), masyarakat atau manusia (people) dan perekonomian (economic) dapat
digambarkan dalam Gambar 1.2. Dari Gambar 1.2 terlihat bahwa pada awalnya, tiga pilar dasar
Pembangunan Berkelanjutan berbentuk segi tiga dimana planet atau lingkungan merupakan pilar
dasar utama dan terutama, masyarakat (people) merupakan pilar dasar kedua, dan ekonomi
(economic) merupakan pilar dasar ketiga dari suatu entitas (negara, ekonomi, bisnis, korporasi,
rumah tangga dan lainnya).

Namun dalam perkembangan selanjutnya, tiga pilar dasar Pembangunan Berkelanjutan


tersebut direkonstruksi kembali ke dalam suatu bentuk irisan untuk menegaskan bahwa
Pembangunan Berkelanjutan merupakan suatu model dan proses pembangunan yang
mengintegrasikan dan mensinergiskan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan secara
terpadu dan berkelanjutan untuk menciptakan kebersamaan (partnership), keberlanjutan
(sustainability), keadilan (equity), kesejahteraan (prosperity) dan kedamaian (peace) bagi
generasi sekarang dan generasi-generasi selanjutnya.
Gambar 1.2
Tiga Pilar Dasar dari Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan relasinya
dalam menciptakan sustainability

Economic

People

Planet

Pasca KTT Bumi Juni 1992, banyak negara, termasuk Indonesia, berupaya memasukkan
konsep Pembangunan Berkelanjutan ke dalam perencanaan pembangunan jangka panjang dan
jangka pendek nasionalnya. Konsep tersebut juga dikampanyekan secara terstruktur, sistematis
dan masif untuk diadopsi, dikembangkan dan diimplementasikan oleh pemerintah, pelaku
ekonomi dan industri, korporasi, rumah tangga dan lainnya di banyak negara. Selama era tahun
1990an hingga tahun 2000an berkembang konsep-konsep seperti sustainable economy,
sustainable business, sustainable corporation, sustainable management, sustainable production,
sustainable finance, sustainable accounting dan lainnya yang diadopsi dari konsep Sustainable
Development.

Inti dari konsep-konsep “sustainable” tersebut adalah bahwa pembangunan ekonomi,


industri, bisnis dan korporasi, serta praktik manajemen, produksi, operasi, keuangan, akuntansi
dan lainnya untuk kepentingan ekonomi dan bisnis harus dilakukan dengan cara-cara yang
bertanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab tersebut adalah dengan
mengintegrasikan kepentingan ekonomi dari industri, bisnis dan korporasi dengan kepentingan
menyejahterakan masyarakat dan memelihara kelestraian lingkungan secara adil dan
berkelanjutan. Dengan cara-cara tersebut maka ekonomi, bisnis, industri, korporasi, manajemen,
produksi, operasi, keuangan, akuntansi dan lainnya akan dapat bertumbuh dan berkembang
secara berkelanjutan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan (Elkington, 1997 & 2001).

Dalam upaya mewujudkan implementasi konsep Pembangunan Berkelanjutan dan


konsep-konsep sustainable atau sustainability tersebut, pemerintah mulai mendesak para pelaku
bisnis dan korporasi agar mulai peduli dan berkomitmen melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan atau sering disebut sebagai corporate social responsibility (CSR) secara
berkesinambungan. CSR diharapkan terinternalisasi dalam kebijakan manajemen dan praktik
bisnis organisasi korporasi. Para pelaku bisnis dan korporasi pun merespon permintaan tersebut
dengan mengadopsi dan mengembangkan praktik-praktik CSR yang relevan dengan kebutuhan
dan strategi bisnisnya masing-masing. CSR bahkan kemudian didesain sebagai suatu strategi
bisnis untuk membangun keberlanjutan ekonomi dan bisnis, pertumbuhan laba dan
keberlanjutan korporasi dalam jangka panjang (Benn dan Bolton, 2011; Beal, 2014; Lako, 2015b).

Pertanyaannya, mengapa pemerintah dan para pelaku bisnis menggunakan pendekatan


CSR sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
keberlanjutan korporasi?

Jawabnya, karena entitas korporasi, termasuk negara, sesungguhnya memiliki tiga pilar
dasar utama (Makower, 1994; Elkington, 1997 & 2001). Seperti dipaparkan dalam Gambar 1.2,
pilar dasar pertama dan terutama adalah lingkungan semesta alam (environment) dimana
negara, korporasi dan masyarakat atau rumah tangga berpijak dan melakukan aktivitas
perekonomian dan kehidupan. Pilar dasar kedua adalah masyarakat (society) yang menjadi
warga negara dan mendukung serta mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung
serta merasakan dampak-dampak secara langsung dan tidak langsung dari aktivitas
perekonomian negara, korporasi dan rumah tangga. Pilar dasar ketiga adalah ekonomi
(economic) yaitu aktivitas perekonomian yang dilakukan negara, korporasi dan rumah tangga
atau masyarakat luas untuk mendukung kelangsungan kehidupan. Menurut Elkington (1997;
2001) dan Steiner dan Steiner (2009), keberhasilan pemerintah dalam mengintegrasikan ketiga
pilar dasar tersebut dalam pembangunan negara dan korporasi akan mendukung keberhasilan
Pembangunan Berkelanjutan dan menciptakan keberlanjutan (sustainability) dari planet bumi
(planet), kesejahteraan bagi masyarakat atau manusia (people) dan kemakmuran ekonomi
(economic walfare) negara.

Dalam konteks korporasi, Makower (1994) dan Elkington (1997, 2001) merumuskan
konsep triple bottom-line of business yang pada esensinya menekankan bahwa korporasi bisnis
memiliki tiga pilar dasar, yaitu planet bumi atau lingkungan (planet) sebagai pilar dasar utama
dan terutama; masyarakat pemangku kepentingan (people) sebagai pilar dasar utama kedua;
dan laba atau keuntungan (profit) sebagai pilar dasar yang ketiga. Ketiga pilar dasar tersebut
sering disebut juga sebagai 3P. Pengintegrasian dan pengelolaan secara baik oleh korporasi
(corporate governance) terhadap ketiga pilar dasar bisnis tersebut akan mendukung keberhasilan
dan keberlanjutan bisnis (sustainability of business) dan pertumbuhan laba (sustainable profit)
korporasi dalam jangka panjang. Gambar 1.3 berikut ini menjelaskan relasi tersebut.
Gambar 1.3
Triple bottom-line of business dan interaksinya dalam menciptakan
“sustainability” lingkungan, masyarakat dan laba korporasi

Profit

People

Planet

Pentingnya pengintegrasian dan pengelolaan secara baik terhadap tiga pilar dasar
korporasi tersebut mendorong pemerintah, pelaku bisnis dan korporasi serta komunitas
masyarakat mulai menekankan pentingnya korporasi peduli dan berkomitmen melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bersifat wajib (mandatory responsibility) maupun
yang bersifat tidak wajib atau sukarela (voluntary responsibility) secara berkelanjutan. Tanggung
jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) memiliki dua dimensi
tanggung jawab tersebut.5

Pada era tahun 1990an hingga era tahun 2010an ini, kepedulian korporasi global dan
korporasi nasional terhadap pelaksanaan CSR dan pengungkapan informasinya dalam media
annual report, sustainability reporting atau CSR reporting juga terus meningkat pesat. Di
Indonesia, dalam satu dekade terakhir jumlah korporasi yang peduli terhadap pelaksanaan dan
pengungkapan informasi CSR juga terus meningkat pesat. Sejumlah hasil riset juga telah
menunjukkan bahwa kepedulian korporasi melaksanakan CSR secara berkesinambungan
berdampak positif terhadap peningkatan kinerja dan nilai korporasi serta keberlanjutan korporasi
(Lako, 2011a & 2015b; Beal, 2014).

5
Menurut Cannon (1994) dan Elkington (1997), p ada hakikatnya tanggung jawab korporasi tidak
hanya berkaitan dengan aspek-aspek bisnis dan kepada para pemangku kepentingan yang memiliki relasi
ekonomi atau bisnis dengan korporasi. Tapi, juga kepada masyarakat dan lingkungan yang berada di
sekitar perusahaan atau yang merasakan dampak-dampak eksternalitas dari aktivitas operasi perusahaan.
Dengan melaksanakan tiga tanggung jawab tersebut secara terintegrasi tersebut maka fundamental bisnis
dan ekonomi akan semakin kuat. Perusahaan-perusahaan juga akan tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan.
3. Ekonomi Hijau dan Bisnis Hijau

Meskipun berbagai upaya untuk melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan telah


dilakukan oleh berbagai negara, termasuk menerapkan TJSL atau CSR pada level korporasi,
namun eskalasi kerusakan lingkungan dan krisis ekologi justru makin serius dan meningkat. Krisis
tersebut memacu krisis sosial seperti kemiskinan dan kemelaratan serta bencana-bencana sosial
lainnya juga semakin meningkat. Di Indonesia, krisis tersebut sangat dirasakan. Penyebabnya,
karena paradigma pembangunan berkelanjutan nasional di berbagai negara, khususnya di
negara-negara sedang berkembang (developing countries), tetap berfokus pada pembangunan
ekonomi dengan orientasi utamanya adalah pada pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Pada level korporasi, orientasi utama pembangunan bisnisnya tetap pada maksimalisasi
pertumbuhan laba dan peningkatan nilai ekuitas pemilik yang sebesar-besarnya.

Dalam praktiknya, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan maksimalisasi laba dan
nilai ekuitas tersebut, pemerintah dan para pelaku ekonomi tetap menggunakan paradigma
greedy economy. Mereka terus mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara
serakah dan tamak, serta merusak alam dan mencemari lingkungan. Akibatnya, krisis ekologi
seperti pemanasan global dan perubahan iklim makin meningkat dan membahayakan
kelangsungan kehidupan umat manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan para
pelaku ekonomi-bisnis juga mengeksploitasi sumberdaya-sumberdaya sosial dan ekonomi
masyarakat sehingga menyebabkan kemiskinan, kemelaratan, ketimpangan dan bencana-
bencana sosial lainnya kian meningkat. TJSL dan CSR yang dilakukan korporasi ternyata juga
lebih bermotif “kedok” untuk kepentingan ekonomi dan bisnis (Lako, 2015a).

Untuk mengatasi permasalahan krisis ekologi dan krisis sosial yang kian serius tersebut,
dalam KTT Rio+20 di Rio de Janeiro pada 20-22 Juni 2012, yaitu KTT Bumi yang diselenggarakan
dalam rangka peringatan 20 tahun KTT Bumi Juni 1992, para pemimpin dunia via dokumen “The
Future We Want” menyepakati penerapan konsep “Green Economy atau Ekonomi Hijau” sebagai
paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan (ekologi). Tujuannya
adalah untuk mewujudkan visi Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan.6

Pasca KTT tersebut, berkembang pesat gerakan green economy dan agenda aksi global
untuk mengatasi krisis lingkungan dari para kepala negara dan pemimpin pemerintahan, para
pelaku ekonomi dan pemimpin bisnis dunia, serta masyarakat luas untuk menghijaukan
pembangunan dan perekonomian nasional, serta menghijaukan bisnis, industri dan korporasi.
Seperti dipaparkan dalam Gambar 1.4 berikut ini, pada level negara dan pemerintahan dilakukan
reformasi dan transformasi paradigma pembangunan dari greedy economy (ekonomi tamak)

6
Green Economy atau Ekonomi Hijau pada hakikatnya menekankan pada pembangunan ekonomi yang ramah
lingkungan atau pembangunan ekonomi yang memadukan aspek-aspek sosial dan lingkungan dalam tatakelola
pembangunan ekonomi untuk menciptakan sustainabilitas ekonomi, sosial dan lingkungan dalam jangka panjang
(Lako, 2015a).
menuju ke green economy (ekonomi hijau) yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang ramah
terhadap lingkungan dan masyarakat.

Pada level industri, bisnis dan korporasi, berkembang pesat pula gerakan “go green” dari
para pelaku industri dan korporasi untuk menghijaukan ekonomi dan bisnis, industri dan
korporasi. Konsep green industry, green business, green corporation, green management, green
technology, green production, green operation, green marketing, green finance, green accounting
dan lainnya dikembangkan dalam upaya menghijaukan ekonomi dan industri, bisnis dan
korporasi. Tujuan utama dari semua gerakan tersebut adalah untuk mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan dan mengatasi krisis ekologi dan krisis sosial.

Gambar 1.4
Relasi Krisis Sosial-Lingkungan dengan gerakan Green Economy, Green Industry,
Green Business & Green Corporation

Environment & Sustainable Green Economy Green Industry


Social crises Development

Green Corporation Green Business


Green Management

Green Human Green


Green Production Green Marketing Technology
Green Finance Resources

Green Accounting Green operations

Pasca KTT Rio+20, di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)


juga gencar mengkampanyekan gerakan green economy melalui gerakan 4Pro yaitu pro-job, pro-
poor, pro-growth dan pro-green. Meskipun sejumlah pihak menilai gerakan tersebut lebih bersifat
pencitraan politik dalam relasi internasional dan sesungguhnya juga tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip green economy, namun banyak pihak juga memuji inisiatif tersebut. Para pelaku ekonomi
dan bisnis umumnya merespon positif gerakan Ekonomi Hijau tersebut dengan menggelorakan
semangat dan melakukan aksi-aksi “go green” pada level industri, bisnis dan korporasi.
Kesadaran dan semangat untuk menjadi industri hijau (green industry), bisnis hijau (green
business) dan korporasi hijau (green corporation) terus meningkat hingga saat ini dan dilakukan
melalui beragam upaya, termasuk melalui aksi-aksi CSR.7

Saat ini, jumlah korporasi Indonesia yang peduli dan masuk dalam kategori “korporasi
hijau” dan aktif melakukan kegiatan-kegiatan TJSL dan CSR dan menghijaukan korporasi dan
bisnisnya juga sudah banyak. Diperkirakan jumlah korporasi yang masuk dalam kategori “green
company” atau “green corporation” akan terus meningkat di waktu-waktu yang akan datang.

4. Kelemahan Akuntansi konvensional

Meskipun paradigma pembangunan nasional mulai bertransformasi dari paradigma


pembangunan konvensional yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi ke paradigma baru yaitu
Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau, dan paradigma bisnis dan korporasi juga telah
mulai bertransformasi ke paradigma bisnis hijau dan korporasi hijau sehingga menyebabkan
paradigma manajemen dan tatakelola korporasi juga bertransformasi ke arah manajemen hijau
dan tatakelola hijau, namun respon profesi akuntansi terhadap sejumlah pergeseran paradigma
tersebut ternyata sangat lamban, konservatif dan bahkan tidak mau berubah. Hingga kini, profesi
akuntansi umumnya masih masih tetap bertahan dengan paradigma akuntansi konvensional
yang konservatif dan berpusat pada perspektif akuntansi keuangan.

Ada dua fakta menarik sekaligus memprihatinkan yang mencerminkan respon


konservatif dari profesi akuntansi Indonesia terhadap dinamika lingkungan bisnis eksternal yang
sedang bertransformasi ke arah go green dan sustainability.

Pertama, ketika UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan PP No.47/2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (TJSLP) mewajibkan
perusahaan melaksanakan TJSLP dan menganggarkannya sebagai biaya perseroan sesuai
dengan asas kepatutan dan kewajaran, profesi akuntansi justru merespon kewajiban biaya
perseroan tersebut sebagai biaya periodik. Akibatnya, semua pengorbanan sumberdaya
ekonomik perseroan untuk melaksanakan TJSLP tersebut secara akuntansi diperlakukan
sebagai biaya periodik (expenses) yang mengurangi aset, laba dan nilai ekuitas pemilik
perseroan, serta penerimaan pajak bagi negara. Akibatnya, banyak pelaku bisnis kemudian
enggan atau berusaha meminimalisir pelaksanakan TJSLP karena dinilai merugikan kepentingan
perseroan dan pemegang saham.

7
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep green business berkembang pesat di Indonesia. Green business
pada hikikatnya menekankan bahwa dalam membangun suatu bisnis atau korporasi bisnis untuk meraup
keuntungan (profit), korporasi harus peduli dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan
(planet atau environmental stewardship) dan meningkatkan kesejahteraan sosial bagi para pemangku
kepentingan dan masyarakat yang menjadi stakeholder korporasi (people). Hanya dengan
mengintegrasikan dan mensinergiskan kepentingan-kepentingan dari tiga pilar dasar tersebut maka bisnis
dan korporasi akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Karena itu, green business
sesungguhnya merupakan investasi strategis untuk mendukung “keberlanjutan” bisnis korporasi dan
pertumbuhan laba serta nilai perusahaan dalam jangka panjang (Lako, 2015a).
Pasca diwajibkannya TJSLP sebagai kewajiban korporasi, banyak perusahaan juga
semakin gencar melaksanakan aktivitas CSR yang bersifat sukarela sebagai suatu strategi
investasi bisnis untuk memperkuat pilar dasar bisnis dan meningkatkan pangsa pasar serta
pertumbahan laba dan nilai ekuitas pemilik. Dalam pengamatan penulis (Lako, 2011a, 2015b,
2016a), jumlah perusahaan yang peduli dan aktif melaksanakan beragam program CSR yang
bersifat sukarela juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, respon profesi akuntansi
terhadap fenomena pelaksanaan CSR tersebut juga sangat konservatif.

Perlakuan akuntansi dan pelaporan informasi akuntansi terhadap pengorbanan


sumberdaya ekonomi untuk melaksanakan CSR tersebut adalah sebagai beban periodik
(expense) yang mengurangi laba, nilai ekuitas pemilik dan aset perusahaan. Alasannya, karena
pengorbanan untuk CSR dianggap tidak memiliki manfaat ekonomik masa datang yang cukup
pasti dan sulit diukur nilai costs-benefits-nya. Padahal, sejumlah hasil riset empiris telah
menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR dan TJSL merupakan suatu investasi strategis karena
mendatangkan banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi bagi korporasi. Pengorbanan
sumberdaya ekonomik dan segala daya-upaya yang dicurahkan untuk melaksanakan TJSL dan
CSR berdampak positif meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, serta menurunkan corporate
risks (Lako, 2015b).

Permasalahan yang timbul akibat perlakuan akuntansi yang salah kaprah tersebut
sangat serius dan kompleks. Akibat perlakuan tersebut, informasi akuntansi yang diterima dan
digunakan para pihak untuk pengambilan keputusan dinilai tidak merefleksikan realitas yang
sesungguhnya alias menyesatkan. Selain menyebabkan pajak yang dibayarkan kepada negara
menjadi lebih rendah, biaya-biaya CSR tersebut juga dimasukkan dalam perhitungan harga jual
produk/jasa yang kemudian dibebankan kepada masyarakat konsumen. Karena itu, yang
menanggung biaya CSR sesungguhnya adalah masyarakat konsumen, bukan perusahaan!

Selain itu, karena secara akuntansi biaya-biaya CSR diperlakukan sebagai biaya
periodik, banyak perusahaan juga terindikasi melakukan mark-up biaya-biaya CSR atau
menciptakan pos-pos fiktif biaya CSR dalam upaya menghindari pajak kepada negara. Sejumlah
riset empiris menunjukkan ada indikasi kuat bahwa banyak perusahaan di Indonesia melakukan
manajemen laba (earnings management) dengan menggunakan pendekatan rekayasa biaya
CSR untuk menghindari pajak atau membayar pajak seminimal mungkin.

Kedua, meskipun banyak korporasi telah melakukan berbagai upaya untuk


menghijaukan bisnis dan korporasi, dan tren kepedulian pelaku bisnis terhadap pengelolaan
bisnis dan korporasi hijau terus meningkat pesat dalam satu dekade terakhir, namun respon
profesi akuntansi terhadap tren tersebut masih sangat konservatif. Sama seperti perlakuan
akuntansi terhadap biaya-biaya untuk melaksanakan TJSLP dan CSR sebagai beban periodik,
pengorbanan sumberdaya ekonomik untuk melaksanakan program-program bisnis hijau dan
korporasi hijau juga kebanyakan diperlukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba
periodik, nilai ekuitas pemilik dan aset korporasi serta juga mengurangi pajak kepada negara.
Alasannya, karena pengorbanan tersebut dinilai tidak memiliki nilai manfaat ekonomi yang cukup
pasti di masa datang. Kalaupun ada manfaat ekonomiknya, namun nilai manfaat ekonomik
tersebut juga sulit diukur secara pasti dengan pendekatan-pendekatan pengukuran akuntansi
maupun keuangan.

Padahal, secara empiris telah terbukti bahwa perusahaan-perusahaan yang peduli pada
bisnis dan korporasi hijau mendapatkan banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi di masa
datang. Perusahaan-perusahaan tersebut menikmati pertumbuhan pendapatan, laba, ekuitas
dan nilai aset yang fantastik. Harga pasar sekuritas dari perusahaan-perusahaan yang green juga
meningkat signifikan. Secara empiris, sejumlah hasil riset juga telah mengkonfirmasi bahwa
upaya-upaya manajemen untuk menghijaukan korporasi dan operasi bisnisnya mendatangkan
banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi (intangible benefits) di masa datang (Lako, 2015a).

Pertanyaannya adalah mengapa akuntansi dan profesi akuntansi bersikap konservatif


dalam perlakuan akuntansi dan pelaporan informasi akuntansi terhadap biaya-biaya investasi
untuk TJSL, CSR, green business dan green corporation? Apa faktor penyebabnya?

Menurut Deegan (2003) dan Lako (2011a), ada lima keterbatasan mendasar yang
menyebabkan akuntansi konvensional bersikap konservatif dalam merespon dinamika isu-isu
CSR atau TJSL dan eksternalitas, khususnya berkaitan dengan perlakuan akuntansi terhadap
obyek-obyek, peristiwa-peristiwa dan atau transaksi-transaksi sosial dan lingkungan dalam
proses akuntansi dan pelaporan keuangan.

Pertama, akuntansi keuangan hanya memfokuskan pada kebutuhan informasi dari para
pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya ekonomi entitas. Fokus
tersebut cenderung terbatas pada para stakeholder yang memiliki kepentingan atau relasi
keuangan dengan entitas korporasi. Karena itu, fokus pelaporan informasi akuntansi dalam
pelaporan keuangan adalah untuk pihak-pihak yang memiliki relasi keuangan dengan korporasi
seperti manajemen, pemegang saham, kreditor, pemasok, konsumen, karyawan, pemerintah dan
mitra bisnis lainnya. Sementara masyarakat dan lingkungan di sekitarnya dianggap bukan bagian
dari stakeholder karena diasumsikan tidak memiliki relasi keuangan dengan entitas korporasi.

Kedua, pertimbangan utama dalam proses akuntansi dan pelaporan informasi keuangan
adalah “materialitas” dari suatu informasi yang disajikan. Artinya, hanya informasi yang dinilai
material yang boleh disajikan dalam laporan keuangan. Sementara informasi terkait TJSL, CSR
dan dampak-dampak sosial-lingkungan dari aktivitas operasi perusahaan terhadap masyarakat
dan lingkungan dianggap tidak material untuk disajikan dalam laporan keuangan karena sulit
dikuantifisir dan diperbandingkan (matching) antara costs dan benefits-nya.

Ketiga, pelaporan akuntansi cenderung memperlakukan pengorbanan sumberdaya


ekonomik yang tidak jelas manfaat ekonomiknya di masa datang sebagai beban periodik
(expense). Pengorbanan sumberdaya ekonomik untuk TJSL atau CSR dianggap tidak memiliki
umur manfaat ekonomik masa datang yang cukup tersebut sehingga harus diperlakukan segera
sebagai beban periodik. Konsekuensinya adalah kepedulian korporasi pada TJSL atau CSR
dinilai berdampak negatif mengurangi laba, ekuitas pemilik, dividen, kompensasi manajemen,
likuiditas dan solvabilitas korporasi. Inilah yang menyebabkan kebanyakan pelaku bisnis enggan
melaksanakan TJSL atau CSR.
Keempat, akuntansi mengadopsi asumsi ”entitas bisnis” yang mengharuskan perusahaan
diperlakukan sebagai suatu entitas yang berbeda dari para stakeholder-nya. Implikasinya, jika
suatu transaksi atau peristiwa tidak berdampak langsung pada korporasi maka harus diabaikan
untuk tujuan akuntansi. Karena itu, informasi TJSL, CSR atau eksternalitas yang disebabkan oleh
tindakan dan pelaporan perusahaan umumnya diabaikan dalam pelaporan akuntansi karena
dinilai tidak memberi dampak langsung pada ukuran-ukuran kinerja keuangan.

Kelima, proses akuntansi hanya terfokus pada item-item yang dapat “dikontrol”
perusahaan. Item-item itu harus lolos seleksi “recognition criteria” akuntansi, yaitu: (1) memenuhi
syarat “definition” sebagai item laporan keuangan, (2) dapat diukur nilainya secara handal
(measurability), (3) informasinya relevan untuk pemakai (relevance), dan (4) keakuratan dan
kehandalan informasinya dapat dipercaya (reliability). Informasi sosial dan lingkungan dianggap
tidak memenuhi empat kriteria tersebut sehingga tidak bisa diakui dan sajikan dalam laporan
keuangan.

Perspektif konservatif tersebut menyebabkan selama ini akuntansi tidak sensitif dan
responsif terhadap isu-isu tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR), isu-isu eksternalitas,
isu-isu green economy, green business dan green corporation, serta isu-isu sustainability dalam
proses akuntansi. Kalaupun ada korporasi yang sensitif dan responsif, namun pengakuan,
pengukuran nilai, pencatatan dan pelaporan informasi akuntansinya cenderung salah kaprah dan
menyesatkan para pihak pengguna informasi akuntansi dalam penilaian dan pengambilan
keputusan, serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian aktivitas ekonomi dan
nonekonomi entitas bisnisnya.

Sikap konservatisme tersebut juga telah memunculkan tudingan dari berbagai kalangan
bahwa akuntansi dan para akuntan yang berada dibalik kian serius dan meluasnya krisis ekologi
dan krisis sosial global. Praktik akuntansi korporasi selama ini dituding turut berkontribusi menjadi
pemicu dan pemacu kian serius dan meluasnya eskalasi krisis ekologi di berbagai negara,
termasuk di Indonesia. Karena itu, akuntansi dan para akuntan dituntut harus turut bertanggung
jawab terhadap segala dampak negatif dari krisis ekologi dan krisis sosial yang terjadi selama ini.

Selain itu, para akuntan juga diminta segera mereformasi dan mentransformasi sejumlah
keterbatasan “cenceptual framewrok” dalam akuntansi konservatif yang selama ini dinilai
“membelenggu” praktik akuntansi dengan paradigma Akuntansi Hijau yang lebih sensitif,
responsif dan bertanggung jawab terhadap isu-isu sosial dan lingkungan, go green dan
sustainability.

Dengan melakukan reformasi dan transformasi tersebut maka akuntansi diharapkan akan
semakin berperan penting dan signifikan dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan,
mengatasi krisis ekologi dan krisis sosial, memperkuat keberlanjutan entitas korporasi, dan
menciptakan kemajuan, kemakmuran dan kelestarian bangsa. Dengan begitu, eksistensi dan
relevansi akuntansi dan profesi akuntansi akan semakin diakui pemerintah, pelaku ekonomi,
korporasi dan masyarakat luas.

5. Transformasi Menuju Akuntansi Hijau

Berdasarkan paparan di atas maka reformasi, rekonstruksi dan transformasi terhadap


rerangka konseptual, prinsip-prinsip dasar dan strandar akuntansi keuangan konvensional
menuju ke paradigma baru akuntansi yang lebih sensitif, responsif dan akuntabel terhadap isu-
isu sosial dan lingkungan dalam proses akuntansi menjadi sangat penting dan mendesak untuk
dilakukan. Buku berjudul “Akuntansi Hijau: Isu, Teori dan Aplikasi” ini berupaya
mengembangkan dan menawarkan rerangka konseptual dan prinsip-prinsip dasar serta model
aplikasi “Akuntansi Hijau” sebagai paradigma baru menuju era praktik akuntansi yang lebih
sensitif, responsif dan akuntabel terhadap isu-isu sosial dan lingkungan atau disebut Akuntansi
Hijau (Green Accounting).

Secara umum, gagasan pengembangan ESENSI BUKU INI


Akuntansi Hijau yang disajikan dalam buku ini
berfokus pada empat isu utama. Pertama,
alasan mengapa Akuntansi Hijau perlu segera
dikontruksi dan dikembangkan secara serius Buku berjudul
serta diaplikasikan dalam praktik akuntansi “Akuntansi Hijau: Isu,
entitas korporasi. Aspek kemendesakan untuk
mengatasi krisis ekologi dan krisis sosial serta Teori dan Aplikasi” ini
citra buruk akuntansi konvensional yang berupaya
dituding sebagai pemicu-pemacu krisis sosial mengembangkan dan
dan lingkungan menjadi alasan utamanya.
Pengembangan dan aplikasi Akuntansi Hijau menawarkan rerangka
diharapkan dapat membantu mengatasi krisis konseptual dan prinsip-
tersebut dan meningkatkan peran strategis,
relevansi nilai dan citra positif akuntansi dan
prinsip dasar serta
profesi akuntansi di masa datang. model aplikasi
“Akuntansi Hijau”
Artikel 2 dan Artikel 3 pada Bagian II buku
ini berupaya menguraikan relasi tersebut. Dari sebagai paradigma baru
uraian tersebut maka reformasi dan menuju era praktik
transformasi akuntansi konvensional menuju ke
paradigma akuntansi yang lebih sensitif,
akuntansi yang lebih
responsif dan akuntabel terhadap isu-isu sosial sensitif, responsif dan
dan lingkungan menjadi sangat penting dan akuntabel terhadap isu-
mendesak. Konstruksi, pengembangan dan
aplikasi Akuntansi Hijau diharapkan menjadi isu sosial dan
solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. lingkungan atau disebut
Kedua, strategi menghijaukan akuntansi
Akuntansi Hijau
dan akuntan. Untuk menuju era praktik
Akuntansi Hijau maka penghijauan (greening)
terhadap akuntansi dan akuntan menjadi
sangat penting. Artikel 4 hingga Artikel 6 pada
Bagian III buku ini memaparkan strategi
tersebut. Menurut Artikel 4-6, strategi penghijauan akuntansi dapat diawali dengan mengevaluasi
dan mereformasi rerangka konseptual dan prinsip-prinsip dasar akuntansi konvensional ke arah
yang lebih progresif, yaitu lebih sensitif, responsif dan akuntabel terhadap isu-isu sosial dan
lingkungan yang selama ini cenderung diabaikan. Kemudian dilakukan konstruksi dan
pengembangan terhadap rerangka konseptual dan prinsip-prinsip Akuntansi Hijau. Apabila
rerangka konseptual dan prinsip-prinsip Akuntansi Hijau telah dikonstruksi maka selanjutnya baru
dilakukan reformasi dan konstruksi terhadap Standar Akuntansi Hijau (SAH) untuk mendasari
praktik akuntansi entitas korporasi atau organisasi.
Sementara penghijauan terhadap akuntan dapat diawali dengan mereformasi dan
menghijaukan visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi pendidikan akuntansi di Indonesia.
Reformasi dan transformasi terhadap kurikulum akuntansi konvensional menuju ke kurikulum
berbasis Akuntansi Hijau juga menjadi sangat penting. Setelah itu, penghijauan terhadap profesi
akuntansi seperti akuntan pendidik, akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan pemerintah
dan lainnya melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan juga menjadi sangat penting
untuk menghijaukan akuntan dalam menjalankan profesinya masing-masing. Penghijauan
terhadap para akuntan pendidik di perguruan tinggi juga menjadi sangat krusial dalam upaya
menghijaukan pendidikan akuntansi dan menghasilkan para akuntan hijau (green accountant).

Ketiga, transformasi menuju Akuntansi Hijau. Artikel 7 dan Artikel 8 pada Bagian IV buku
ini memaparkan pentahapan dan strategi proses reformasi dan transformasi akuntansi
konvensional menuju Akuntansi Hijau. Proses reformasi dan transformasi akuntansi dapat diawali
dengan mereformasi atau merekonstruksi kembali definisi, tujuan dan ruang lingkup akuntansi.
Selanjutnya, dilakukan reformasi dan konstruksi terhadap prinsip-prinsip dasar dan rerangka
konseptual Akuntansi Hijau. Apabila konstruksi terhadap rerangka konseptual dan prinsip-prinsip
dasar Akuntansi Hijau telah dilakukan maka langkah selanjutnya adalah mereformasi Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) dan mengkonstruksi Standar Akuntansi Hijau (SAH).

Keempat, konstruksi rerangka konseptual dan aplikasi Akuntansi Hijau. Untuk memberikan
pemahaman yang konkrit dan komprehensif terkait dengan teori dan aplikasi Akuntansi Hijau,
Artikel 9 dan Artikel 10 pada Bagian V buku ini memaparkan konstruksi rerangka konseptual dan
aplikasi Akuntansi Hijau. Secara lebih rinci, Artikel 9 menguraikan rerangka konseptual Akuntansi
Hijau mencakup: 1) definisi, tujuan dan sasaran Akuntansi Hijau; 2) model Akuntansi Hijau; 3)
karakteristik kualitatif informasi Akuntansi Hijau; 4) elemen-elemen laporan Akuntansi Hijau; dan
5) prinsip-prinsip dasar Akuntansi Hijau.

Sementara Artikel 10 sebagai artikel terakhir berupaya memaparkan hasil konstruksi


pemikiran penulis berkaitan dengan aplikasi rerangka konseptual Akuntansi Hijau dalam praktik
akuntansi entitas korporasi. Selain mengkritisi kelemahan-kelemahan dan dampak-dampak
negatif dari perlakuan akuntansi konvensional yang cenderung mengabaikan atau salah kaprah
dalam perlakuan akuntansi terhadap obyek, peristiwa, kejadian dan transaksi-transaksi sosial-
lingkungan, terutama terkait dengan aset sumberdaya alam dan pengorbanan sumberdaya
ekonomik entitas untuk biaya investasi TJSL (bersifat wajib), CSR (bersifat sukarela) serta green
business atau green company, Artikel 10 juga berupaya mengindentifikasi komponen-komponen
biaya yang termasuk dalam kategori biaya hijau (green costs) dan yang bukan termasuk green
costs.

Setelah komponen biaya dikategorikan, Artikel 10 lalu menerapkan pendekatan Akuntansi


Hijau dalam perlakuan akuntansi terhadap biaya-biaya tersebut dan menganalisis dampak positif-
negatif dari perlakuan akuntansi tersebut terhadap besaran nilai akuntansi dalam neraca (posisi
keuangan) dan laporan laba/rugi (laporan kinerja keuangan). Dari hasil analisis tersebut,
disimpulkan bahwa pendekatan Akuntansi Hijau jauh lebih baik, relevan, reliabel dan fair
dibanding pendekatan akuntansi konvensional yang berbasiskan pada akuntansi keuangan.

Secara keseluruhan, empat isu utama yang dibahas dalam buku ini dimaksudkan untuk
memberikan penalaran logis, basis teoritis, rerangka konseptual dan praktis kepada profesi
akuntansi Indonesia dalam menghadapi berbagai dilemma dan tantangan dalam pengembangan
dan aplikasi Akuntansi Hijau. Menurut Lako (2016a), ada lima tantangan yang dihadapi profesi
akuntansi dalam mereformasi dan mentransformasi akuntansi konvesional menuju Akuntansi
Hijau. Lima tantangan tersebut adalah:
1. Tantangan dalam meformasi rerangka konseptual akuntansi dan prinsip-prinsip akuntansi
berterima umum (PABU) dari akuntansi konvensional menuju ke Akuntansi Hijau.
2. Tantangan dalam mereformasi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) menuju Standar
Akuntansi Hijau.
3. Tantangan dalam mereformasi proses akuntansi dan format pelaporan akuntansi menuju
proses Akuntansi Hijau dan Pelaporan Akuntansi Hijau (PAH) yang mengintegrasikan
aspek-aspek informasi finansial dan informasi nonfinansial yang berkaitan dengan
informasi sosial dan lingkungan.
4. Tantangan dalam mereformasi visi, misi, tujuan, sasaran dan sasaran dari pendidikan dan
pengajaran akuntansi di perguruan tinggi dalam upaya menghijaukan akuntansi dan
akuntan.
5. Tantangan dalam mereformasi paradigma pebisnis dan manajemen korporasi dalam
menerapkan tatakelola korporasi hijau dan tatakelola keuangan-akuntansi hijau untuk
mendukung keberhasilan praktik Akuntansi Hijau pada level entitas korporasi.

Buku ini membantu profesi akuntansi, pemerintah, pelaku bisnis atau pelaku ekonomi dan pihak-
pihak terkait dalam upaya mencari solusi terbaik terhadap sejumlah tantangan tersebut di atas.
Peran strategis dan dukungan riil dari pemerintah dalam mendorong dan bahkan mewajibkan
profesi akuntansi dan entitas korporasi dalam pengembangan dan penerapan rerangka
konseptual dan standar Akuntansi Hijau akan membuat sejumlah tantangan tersebut lebih mudah
diatasi.

Referensi
Beal, B.D. 2014. Corporate Social Responsibility: Definition, Core Issues and Recent
Development. SAGE Publications, Ltd. California

Benn, S & D. Bolton. 2011. Key Concepts in Corporate Social Responsobility. SAGE Publication
Ltd. London

Cannon. T. 1995. Corporate Responsibility (Tanggung Jawab Perusahaan). Pitman Publishing.


London. Alih bahasa FG Najoan. Penerbit PT Elex Media Computindo. Jakarta

Deegan, C., 2003. Financial Accounting Theory. Second Edition. McGraw-Hill Companies.
Australia.

Elkington, J. 1997. Cannibals with Forks: The Tripple Bottom Line of 21st Century Business.
Capstone, Oxford

Elkington, J. 2001. The Chrysalis Economy: How Citizen CEOs and Corporations can Fuse
Values and Value Creation. Capstone Publishing Ltd. United Kingdom.

Gallhofer, S. & J. Haslam. 1997. The Direction of Green Accounting Policy: Critical Reflections.
Accounting, Auditing, & Accountability Journal. Vol. 10.No.2. pp 148-174

Gore, A. The Future: Six Drivers of Global Change. Random House. New York
Greenham, T. Green Accounting: A Conceptual Framework. International Journal of Green
Economics. Vol.4, Issue4, hlm 333-345

Lako, A. 2005. Relevansi Informasi Akuntansi untuk Pasar Modal Indonesia: Teori dan Bukti
Empiris. Amara Books. Yogyakarta

Lako, A. 2011a. Rekonstruksi Paradigma Bisnis dan Akuntansi: Menuju Akuntansi Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Katolik Soegijapranata, 28 Mei 2011.

Lako, 2011b. Dekonstruksi CSR dan Reformasi Paradigma Bisnis & Akuntansi. Penerbit
Erlangga. Jakarta

Lako, A. 2014. Menghijaukan Akuntansi dan Akuntan. CPA Indonesia. edisi 7 Juni 2014, hlm
52-54

Lako, A. 2015a. Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis & Akuntansi. Penerbit Erlangga.
Jakarta

Lako, A. 2015b. Berkah CSR Bukan Fiksi. La Tofi Publishing Enterprises. Edisi Pertama

Lako, A. 2015c. CSR dan Reformasi Pengakuan Akuntansi. CPA Indonesia. Edisi 5. hlm 52-53

Lako, A. 2016a. Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. Desain Konsep dan Praktik. Paper
disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke-19 Lampung untuk sesi
Corporate Governance, CSR & Green Accounting IAI-KAPd pada 26 Agustus 2016

Lako, A. 2016b. Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. CPA Indonesia. Edisi 7. hlm 52-54.

Lako, A. 2016c. Konstruksi Teori Akuntansi Hijau dan Strategi Pendidikan Akuntansi. Paper
disajikan dalam Seminar Nasional dan Kolaborasi Riset IAI-KAPd sesi Corporate
Governance & CSR. Universitas Negeri Surakarta, 12-13 November 2016

Lamberton, G. 2005. Sustainability Accounting - A Brief History and Conceptual Framework.


Accounting Forum. No. 29. hlm 7-26

Lawrence, A.T dan J. Weber. 2008. Business and Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy.
Twelfth Edition. McGraw-Hill Irwin. Boston

Makower, J. 1994. The E-Factor: The Bottom-Line Approach to Environmentally Responsible


Business. Tilden Press Inc. New York

Maunders, K.T. & R.L. Burritt. 1991. Accounting and Ecological Crisis. Accounting, Auditing, &
Accountability Journal. Vol. 4. No.3.pp 9-26

Panayotou, T. 1994. Economy and Ecology in Sustainable Development. Dalam Economy and
Ecology in Sustainable Development. SPES (editor). Gramedia Pustaka Utama

Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
Schaltegger, S.,M. Bennett & R. Burritt. (Editors). 2006. Sustainability Accounting and Reporting.
Eco-Efficiency and Science Volume 21. Springer. Netherlands.

Undang-Undang Republik Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penerbit Gradien
Mediatama, Yogyakarta

United Nations General Assembly. 1987. Report of the world commission on environment and
development: Our Common Future. Oslo, Norway.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai