Anda di halaman 1dari 27

SEJARAH AWAL HINGGA AKHIR DINASTI SANJAYA

TUGAS SEJARAH INDONESIA 1500

O
L
E
H
LUTHFIONA FITRI RAMADHANI S.
190110301062

FAKULTAS ILMU BUDAYA


JURUSAN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya, sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini
tepat waktu. Makalah ini berjudul “Sejarah Berdiri Hingga Berakhirnya Kerajaan Sriwijaya”

Makalah ini berisikan informasi tentang kerajaan Sriwijaya yang diharapkan dapat
memberikan pemahaman kepada kita semua tentang sejarah kerajaan Sriwijaya. Saya
menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari
berbagai pihak lain. Oleh karena itu saya ucapkan terima kasih kepada Dra. Latifatul Izzah,
M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Indonesia 1500.

Akhir kata saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu saya harapkan semi kesempurnaan makalah ini. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi usaha-usaha kita.

Jember, 14 April 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
1.1. Latar Belakang....................................................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................................3
1.3. Tujuan..................................................................................................................................3
1.4. Manfaat................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1. Sumber-sumber Sejarah Berdirinya Dinasti Sanjaya............................................................5
2.2. Keadaan Masyarakat.............................................................................................................20
2.3. Struktur Kerajaan dan Birokrasi Dinasti Sanjaya..............................................................23
2.4. Masa keruntuhan Dinasti Sanjaya........................................................................................24
BAB III...............................................................................................................................................26
PENUTUP..........................................................................................................................................26
Kesimpulan....................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................27

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam sejarah kerajaan Sriwijaya sempat disinggung tentang dinasti Sanjaya. Nah,
siapakah Sanjaya itu? dan apa hubungan antara dinasti Sanjaya dengan dinasti Sailendra?
Disini kita akan membahas dan mencari tahu tentang dinasti Sanjaya.

Dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa pendiri diasti Sanjaya adalah Ratu Sanjaya.
Sanjaya adalah seorang raja yang gagah berani yang telah banyak menakhlukkan raja-raja
disekelilingnya bagaikan Raghu ia juga di segani dan di hormati oleh para pujangga
karena dipandang sebagai seorang raja yang faham tentang isi-isi dari kitab suci. Sanjaya
bagaikan Meru yang menjulang tinggi, dan meletakkan kakinya jauh diatas kepala raja-
raja lainnya.

Dinasti Sanjaya memeluk agama Hindu Siwa. Bangunan candi Hindu umumnya
berada di kawasan Jawa Tengah bagian utara. Selain itu, prasasti-prasasti pada dinasti
Sanjaya menggunakan huruf Jawa Kuno atau Melayu Kuno.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sumber-sumber sejarah berdirinya dinasti Sanjaya ?


2. Bagaimana kehidupan masyarakat dinasti Sanjaya?
3. Bagaimana struktur kerajaan dan birokrasi dinasti Sanjaya ?
4. Bagaimana masa keruntuhan dinasti Sanjaya ?

1.3. Tujuan

1. Mendeskripsikan bagaimana sejarah berdirinya dinasti Sanjaya.


2. Mendeskripsikan bagaimana kehidupan masyarakat dinasti Sanjaya.
3. Menjelaskan struktur kerajaan dan birokrasi dinasti Sanjaya.
4. Menjelaskan masa keruntuhan dinasti Sanjaya.

1.4. Manfaat

3
1. Dapat menanbah wawasan tentang dinasti Sanjaya.
2. Dapat mengetahui sejarah berdirinya dinasti Sanjaya.
3. Dapat mengetahui kehidupan masyarakat dinasti Sanjaya
5. Dapat mengetahui struktur kerajaan dan birokrasi dinasti Sanjaya.
4. Dapat mengetahui masa keruntuhan dinasti Sanjaya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sumber-sumber Sejarah Berdirinya Dinasti Sanjaya

Prasasti tertua yang menyebutkan tentang kerajaan Mataram adalah prasasti Canggal
yang ditemukan di desa Canggal, terletak di halaman percandian di atas Gunung Wukir,
Kecamatan Salam, Magelang (Jawa Tengah). Prasasri ini berhurufkan Pallawa dan berbahasa
Sansekerta dan berangka tahun 654 Saka (6 Oktober 732). Dalam bait pertama prasasti ini
dikatakan bahwa raja Sanjaya telah mendirikan Lingga yang terletak di atas bukit pada
tanggal 6 Oktober 732. Pada lima berikutnya berisi pujian-pujian kepada Siwa, Brahma dan
Wisnu. Catatan tentang Siwa sendiri tersedia tiga bait. Kemudian pada bait ke tujuh, memuji
Pulau Jawa yang bertana subur dan bayak menghasikan padi serta kaya akan tambang emas.
Di Pulau Jawa itu ada sebuah bangunan suci yang digunakan untuk pemujaan Siwa yang
sangat Indah, untuk kesejahteraan dunia, yang dikelilingi oleh sungai-sungai yang suci, antara
lain sungai Gangga. Bangunan suci tersebut berada di daerah Kunjarakunja. Kemudia dua bai
berikutnya ditujukan kepada Raja sanna. Dikatakan bahwa raja Sanna memerintah dengan
lemah dan lembut bagaikan seorang ayah yang mengasuh anaknya sejak kecil dengan penuh
kasih sayang, sehingga demikian menjadi termasyur dimana-mana. Dan setelah ia dapat
menaklukkan musuh-musuhnya maka ia memerintah untuk waktu yang lama dengan
menjunjung tinggi keadilan bagaikan Manu. Tetapi setelah ia kembali ke surga untuk
menikmati jasa-jasanya yang sangat banyak, dunia seketika terpecah dan kebingungan karena
sedih kehilangan pelindungnya. Selanjutnya, tiga bait terakhir prasasti ini ditujukan kepada
kepada pengganti Sanna yaitu Sanjaya. Dikatakan bahwa Sanjaya adalah anak Sanna. Dan
memiliki anak perempuan yang bernama saunaha. Sanjaya adalah seorang raja yang gagah
berani yang telah banyak menakhlukkan raja-raja disekelilingnya bagaikan Raghu ia juga di
segani dan di hormati oleh para pujangga karena dipandang sebagai seorang raja yang faham
tentang isi-isi dari kitab suci. Sanjaya bagaikan Meru yang menjulang tinggi, dan meletakkan
kakinya jauh diatas kepala raja-raja lainnya. Selama masa pemerintahannya, rakyatnya dapat

5
tidur di jalan tanpa merasa takut akan penyamun dan bahaya yang lain. Maka dewi Kali
hanya dapat menagis-nangis saja kerena tidak dapat berbuat apa-apa.1

Gambar Prasasti Canggal

Dari prasasti tersebut dapat kita ketahui bahwa pada tahun 732 M. raja Sanjaya telah
mendirikan Lingga di atas bukit dan jelas ia beragama Siwa. Mungkin bangunan Lingga yang
di maksudkan prasasti tersebut ialah sisa-sisa candi yang hingga kini masih ada di atas
gunung Wukir, mengingat bahwa prasasti tersebut memang berasal dari halaman percandian
itu. pendirian Lingga ini, bisa jadi dalam rangka memperingati kenyataan bahwa ia telah
dapat membangun kembali kerajaan dan memiliki tahta yang aman dan tentram setelah
menakhlukkan musuh-musuhnya. Sehingga dapat pula disimpulkan dari kata-kata pada bait
ke-9 yang menerangkan mangkatnya raja Sanna, raja Sanna gugur dalam perang kerana
diserang oleh musunya. Sehingga mungkin sekali pada tahun 717 M, yaitu tahun permulaan
tarikh Sanjaya yang hanya digunakan oleh Daksa didalam dua prasastinya, raja Sanjaya
kembali lagi kepada tahta kerajaannya.2

Raja sanna, Sanjaya dan Sahanna mungkin jadi adalah keturunan-keturunan dari
Dapunta Salendra. Hal ini dapat disimpulkan dari daftar nama raja-raja yang disebutkan
dalam di dalam prsasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh raja Wake Ruku Kura Dyah
Belitung. Prasasti Mantiasih desebut juga dengan prasasti Kedu yang berangka tahun 907 M.
1
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indoesia II, (Balai Pustaka,
1984), hal 98-100.

2
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid

6
Pada prasasti itu, Sanjaya disebut sebagai raja pertama yang memerintah di Medang yang
diberi gelar Rake Mataram. Dari prasasti tersebut dapatlah kita ketahui betapa besar arti
Sanjaya itu bagi raja-raja yang menggantikannya sampai abad ke X M. 3 Raja Sanjaya
kemudian di susul oleh Rangkai Panangkaran, yang menamakan dirinya sebagai permata
Wangsa Sailendra. Mungkin jadi di antara Dapunta Sailendra dan Sima, atau antara Sima
dengan Sanna masih ada lagi seorang raja lain yang hanya saja hingga kini belum ditemukan
di dalam sumber-sumber sejarah.

Gambar Prasasti Mantiasih

Dapat disimpulkan mengapa raja Sanjaya disebut sebgai raja pertama kerajaan
Medang. Seperti yang telah dijelaskan di awal, yaitu raja Sanna telah diserang oleh musuh
dan gugur dalam pertempuran. Mungkin juga ibukota kerajaan juga telah dijarah dan
diserang. Maka dari itu, setelah raja Sanjaya dinobatkan menjadi seorang raja, perlu dibangun
ibukota yang baru dengan istana baru serta pembangunan candi untuk pemujaan Lingga
kerajaan. Hal tersebut bisa juga berhubungan denga kepercayaan bahwa istana yang diserbu
oleh musuh itu sudah kehilangan tuahnya. Hal ini dapat dilihat berkali-kali dalam sejarah
tanah air kita sampai zaman Surakarta. Istana yang dibangun oleh Sanjaya terletak di Poh
Situ. Akan tetapi hingga sekarang letak Poh Situ itu masih belum dapat ditemukan.4

Selain itu ada juga hal yang menarik perhatian, yaitu keterangan bahwa di Pulau Jawa
terdapat sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa yang terletak di daerah Kunjarakunja

3
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Sejarah Indonesia, (Karunika Jakarta Unoversitas
Terbuka, 1986), hal 82.
4
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid

7
yang dikelilingi oleh sungai-sungai suci, yang terutama diantaranya ialah sungai Gangga.
Candi manakah yang dimaksudkan itu? apakah candi tersebut sama dengan candi Lingga
yang dibangun oleh raja Sanjaya di gunung Wukir? Ataukah sebuah candi lain yang belum
dapat diidentifikasi ? yang jelas candi yang dimaksud itu bukanlah candi Prambanan, sebab
candi Prambanan baru diresmiukan pada tahun 856 M., seperti yang tertera dari Siwagerha.
Tentu yang menjadi pertanyaan ialah adakah candi Siwa yang dibangun oleh raja sebelum
Sanjaya?.mungkinkah yang dimaksud dengan candi Siwa dalam prasasti Canggal itu ialah
candi Banon dekat candi Mendut, yang sekarang ini hanyatinggal arca-arcanya saja yang
besar yang bercorak klasik? Letak candi ini memang di suatu daerah di antara sungai Elo dan
sungai Progo. Jadi sesuai dengan penggambaran yang terdapat pada prasasti, dengan
menduga bahwa yang dimaksud dengan sungai Gangga itu adalah Kali Progo, sebagai sungai
yang terbesar di daerah ini. 5 Melihat besarnya arca-arcanya memang pantas untuk suatu candi
kerajaan.

Mengenai nama Kunjarakunja, yaitu Poerbatjaraka pernah mengemukakan pendapat


bahwa yang dimaksudkan dengan daerah itu ialah daerah Slamen sekarang, yang terletak di
Jawa Tengah. Kunjarakunja berdasarkan arti kata ialah hutan gajah dan adanya daerah wanua
ing i Saliman di dalam tiga prasasti pada batu sima. Namun pendapat Poerbatjaraka masih
diragukan kebenarannya, karena nama daerah di dalam ketiga prasasti tersebut sekarang
ditambah dengan dua buah lagi batu sima yang memuat nama dari daerah itu harus dibaca
dengan wanua ing i salimar. Selain itu, kata kunjarakunja juga berarti Ficus Religiosa atau
hutan pohon bodhi atau sejenisnya, sebab kata kunjara tidak hanya berarti gajah, tetapi nama
beberapa jenis pohon.6

Raja Sanjaya yang dikatakan telah menaklukan raja-raja di sekelilingnya memang


dapat difahami. Hal serupa juga dapat dilihatdari raja Dharmmawangsa Airlangga, yang juga
harus menakhlukkan kembali raja-raja bawahan yang sebelumnya mengaui kekuasaan
Dharmmawangsa Teguh. Demikian pula halnya dengan raja Sanjaya. Setelah Sanna di serang
oleh musuh dan pusat kerajaannya diserang, tentu ada di antara raja-raja kecil yang semula
mengakui kekuasaannya lalu menganggap dirinya tidak terikat hubungan sebagai raja
bawahan lagi dari maharaja Holing. Maka setelah Sanjaya berhasil menduduki tahta kerajan
kembali dengan membangun istana baru, ia harus menaklukan raja-raja yang tidak mau lagi
mengakui kemaharajaanya.7
5
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid.hal 101.
6
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 101-102.
7
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid

8
Prasasti selanjutnya ialah prasasti Hampran yang berangka tahun 672 Saka (24 Juli
750 M. Prasasti Hampran ditulis diatas batu alam yang besar di desa Plumpungan dekat
Salatiga. Menggunakan bahasa Sansekerta, hanya saja huruf yang digunakan bukan lagi huruf
Pallawa, tetapi menggunakan huruf bahasa kuno. Jadi huruf pada prasasti Harapran adalah
huruf dalam bahasa Jawa kuno tertua di dalam prasasti yang pernah ditemukan. Isi dari
prasasti ini yaitu tentang memperingati pembertian tanah di di desa Hampra yang terletak di
wilayah Trigramwya oleh seseorang yang bernama Bhanu demi kebaktian kepada Isa dengan
persetujuan dari sang Siddhadewi.8

Gambar Prasasti Kelurak

Keterangan mengenai keadaan Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abad ke VIII
M, terdapat dalam prasasti Kelurak yang berangka tahun 704 Saka (782 M). Prasasti Kelurak
ditemukan di daerah Prambanan yang berbahasa Sansekerta dan ditulis dengan menggunakan
huruf pre-nagari.pada prasasti ini meringkas tentang pembuatan arca Manjusri oleh seorang
raja yang bernama Indra, yang bergelar Sri Sanggramadananjaya. Mungkin bangunan suci ini
merupakan candi Sewu yang letanya berdekatan dengan candi Prambanan, yaitu di sebelah
utara candi Prambanan.9

8
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid
9
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid

9
Gambar Prasasti Sewu

Setelah raja Indar Wafat, digantika oleh Samaratungga, yang namanya tidaka ada
disebutkan dalam silsilah Belitung. Samratungga mendirika sebuah bangunan suci yaitu
Wanuwana pada tahun 824 M. yang menurut pendapat para ahli mungkin sekali candi
Ngawenyang terletak di sebelah barat Muntulan (Magelang, Jawa Tengah). Tanah bangunan
suci yang berada disekitarnya dibebaskan dari membayar pajak, agar penghasilannya
diperuntukkan untuk bangunan suci tersebut. Pemberian tanah itudilakukan oleh Rakarayan
Patapan Pu Palar.

Setelah masa pemerintahan raja Sanjaya terjadi perubahan besar di Jawa tengah. Salah
satu berita dalam dalam kitab sejarah dinasti T’ang, mengatakan bahwa raja Ho-ling
mempunyai istana di Cho po. Salah seorang nenek moyangnya yang bernama Ki Yen,
memindahkan ibukota kerajaannya ke bagian Timur yaitu ke P’o lu kia sieu. Pemindahan
tersebut dilakukan sekitar tahun 742 dan 755 M.

Berita Bina yang diteukan ini mungkin bisa di hubungkan dengan prasasti yang
ditemukan di Dinoyo, yaitu sebelah barat laut Kota Malang, Jawa Timur. Prasasti ini
berangka tahun 682 Saka (760 M) yang menggunakan bahasa Sansekerta dan ditulis dala
huruf Kawi. Adapu bunyi dari prasasti ini yaitu:

“Ada seorang raja yang baik lagi bijaksana dan berkuasa Dewasimba, dibawah
perlindungan api Putikeswara yang memancarkan cahaya putranya Gajayana, yaitu
raja pemuja Agastya. Bahwa ketika ia melihat patung Agastya yang terbuat dari kayu

10
cendana, yang dipahat oleh nenek moyangnya telah rusak, ia meminta untuk
dibuatkan kembali patung dari batu hitam yang indah”10

Jika kita perhatikan kembali antara prasasti Canggal dengan prasasti Donayo, maka terlihat
jelas bahwa keduanya menunjukkan pemujaan terhadap Siwa.

Gambar Prasasti Donayo

Dalam prasati Donayo diceritakan bahwa sekitar abad ke VIII, ada sebuah kerajaan
yang berpusat di Kanyuruhan, yaitu desa Kejuron sekrang. Saat peresmian arca Agastya, raja
menghadirkan segala keperluan untuk acara Korban serta mendirikan bangunan-bangunan
untuk keperluan para tamu dan para Brahmana.11

Selain itu, di desa Kujuruan juga ditemukan candi Badut, yang didalam candi tersebut
terdapat sebuah Lingga. Lingga tersebut mungkin saja lambang dari Agastya yang memang
selalu digambarkan seperti Siwa dalam wujudnya sebagai Mahaguru.

Jika dilihat dari sudut seni bangunan candi Badut, terdapat langgan seni bangunan
Jawa Tengah. Bagaimanakah hubungan kerajaan Kanyuruhan dengan kerajaan sanjaya di
Jawa Tengah? Menurut Prof. R. Ng Poerbatjaraka di dalam bukunya yang berjudul “Riwayat
Indonesia I” antara lain sebgai berikut:

10
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid, hal 83.
11
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid

11
Berdasarkan berita Cina yang disebut oleh Ki-yen adalah sang Gejayana, nama
Dewasimba diperkirakan sama dengan raja Sanjayasesudah ia berusia lanjut. Putikeswara ada
Siwa yang menyatakan dirinya dalam Lingga, lambang raja dan perisai kekuasaan. Dengan
demikian, suda jelas bahwa ada persamaan agama yang dipuja antara Gajaya dengan Sanjaya.
Selai itu, juga adanya selisih angka tahun antara kedua prasasti tersebut: Canggal yang
berangka tahun 732 M dan Dinaya berangka tahun 760 M, yang berarti hanya terpaut 28
tahun saja.12

Apakah yang melatar belakangai Sang Ki-yen (Genjaya) memindahkan kratonya ke


Jawa Timur? Menurut Poerbatjaka, bahwa dengan meluasnya agama Buddha Mahayana,
ternyata Wangsa Sailendra dapat mendesak Wansa Sanjaya, yang kemudian memindahkan
dirinya ke Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bahwa di Jawa Tengah telah terjadi perubahan
yang sangat besar.

Sayang sekali kita tidak dapat mengetahui kapan raja Sanjaya wafat dan dimana ia
dimakamkan. Setelah Raja Sanjaya wafat ia digantikan oleh Rangkai Panangkaran. Tidak
dapat diketahui dengn pasti kapan ia mulai memerintah.

Pada prasasti Kalasan yang berangka tahun 700 Saka (778 M) di tulis dalam bahas
Sansekerta dan berhuruf Pre nagari. Isi dari prasasti ini yaitu tentang para guru sang raja yang
merupakan permata keluarga Sailendra berhasil membujuk maharaja Tejahpurnaparna
Panangkaran untuk membangun banunan suci unuk Dewi Tara dan sebuah biara bagi para
pendeta dalam kerajaannya. Yang dimaksud bangunan itu adalah candi Kalasanyang terletak
di desa Kalasan, sebelah timur Yogyakarta. Sekarang candi ini kosong, tetapi terdapat
singgasana bilik candiya, maka arca Tara yang dahulu bertahta disini tentu besar sekali dan
sangat mungkin terbuat dari bahan perunggu.13

12
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid. Hal 84.
13
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid

12
Gambar Prasasti Kalasan

Kemudian timbul sebuah pertayaan, mengapa pengganti Sanjaya tidak menganut


agama Hindu (Siwa)? Terdapat beberapa pendapat mengenai ini. Bosh berpendapat bahwa
Sailendra Sailendra raja dan Rangkai Panangkaran adalah seorang raja Sriwijaya dan
termasuk bagian dari keluarga Sailendra. Selai itu juga ada Van Naersen, yang berpandangan
bahwa ada dua orang raja dalam prasasti Kalasan ini, yaitu raja Sailendra yang tidak ada
disebut namanya dan Dyah Pancapana panangkaran, yang merupakan seorang raja bawahan
dari raja Sailendra yang tidak disebut namanya ini beragama Buddha.

Jika raja Panangkaran adalah seorang raja bawahan, maka mengapa para gururaja
Sailendra meminta kepada Rangkai Panangkaran untuk membangun candi Tanya beserta
dengan wiharanya, namun tidak langsung memintanya kepada raja Sailendra yang berkuasa?
Dalam hal ini ada anggapan bahwa pada raja Rangkai Panangkaran berkuasa atas daerahnya,
ia akan dengan mudah membebaskan tanah serta desa demi kepentingan candi dan wihara.
Hal ini menunjukkan bahwa andanya pengakuan dari para guru raja Sailendra terhadap
kekuasaan Panangkaran.

Prof. Poetbatjaraka juga memiliki pendapat lain yaitu bahwa pada awal berdirinya
wangsa Sailendra memeluki agama Siwa, akan tetapi karena adanya suatu sebeb Sanjaya
menyuruh anaknya yaitu Rangkai Panangkaran untuk meninggalkan kepercayaan nenek
moyang mereka dan menganut agama Buddha. Juga dikatakan bahwa di wilayah Jawa hanya
terdapat satu dinasti saja.14

14
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid, hal. 85

13
Namun candi-candi yang ditemui di Jawa Tengah bagian utara dari abad ke VIII
sampai dengan abad ke XI bersifat agama Hindu. Sedangkan candi-candi yang ditemui di
wilayah selatan Jawa Tengah bersifat agama Buddha. Sehingga sangat memungkinkan bahwa
dinasti sanjaya masih terus berlangsung disamping adanya pemerintahan Wangsa Sailendra.

Tentang asal mula adanya wangsa Sailendra belum dapat diketahui dengan pasti,
tetapi dapat dipastikan bahwa wangsa Sailendra memerintah di Sriwijaya dan Mataram.

Rakai Panakaran yang berpindah agama ke Buddha Mahayana memerintah dan


berkuasa di kemaharajaannya cukup lama (750-792 M). Rakai Panakaran kemudian
digantikan oleh Samaratungga. Samaratungga mempunyai dua orang anak. Anak pertama
adalah purti mahkota Pramodawarddhani dan yang kedua yaitu Balaputradewa yang
berkemungkinan adalah anak dari permaisuri yang lain bernama Tara, yang berasal dari
Sriwijaya.15

Mungkin Rakai Patapan pu Palar, sekalipun ia memberikan tanah-tanah sebagai sima


begi pembangunan candi oleh Samaratungga dan anaknya berambisi untuk menjadi seorang
raja. Dalam hal ini ternyata diadakannya perkawinan antar keluarga yaitu putri mahkota
Pramodawarddhani dikawinkan dengan Rakai Pikatan anak dari Patapan pu Palar yang
menganut agama Siwa.16

Setelah Samaratungga wafat, ia digantikan oleh Rakai Pikatan yang kemudian


berkuasa di kerajaan Medang. Karena ia memeluk agama Siwa, maka ia memerintahkan
untuk dibangunkan candi yang lain yang berlandaskan agama Siwa. Candi yang dimaksud
disini adalah percandian Loro Jonggrang di Prambanan. Selanjutnya untuk menunjukkan
bahwa ia tidaklah ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang dibangun oleh Rakai
Panakaran, yaitu candi Plaosan Lor dan mungkin untuk menghargai permaisurinya
Pramodawarddhani yang memeluk agama Buddha. Ia menambahkan dua buah candi perwara
berupa bangunan stupa pada percandian itu. Hal ini dapat terliat dari tulisan pada dua
bangunan stupa.17

Menurut De Caparis, prasasti Siwagrha yang berangka tahun 856 M merupakan


prasasti yang memperingati babak terakhir perjuangan antara wangsa Sanjaya dengan Wanga
Sailendra. Menurut pendapatnya Rakai Patapan pu Palar adalah anggota Sanjayawangsa.
Dialah yang memulai memberotak dalam melawan penjajahan wangsa Sailendra dengan
15
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 119.
16
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid
17
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 120.

14
mengeluarkan prasasti Sang Hyang Wintang yang berbahasa Melayu Kuno. Dan karena
cemas menghadapinya, maka Samaratungga menyerahkan anaknya Pramodawarddhani
kepada Rakai Pikatan anak dari Rakai Patapan pu Palar. Melihat hal ini adik dari
Pramodawarddhani, yaitu Balaputra mengadakan perlawanan dengan menyerang Rakai
Pikatan. Namun ia dapat dikalahkan, dan sesudah ia gagal mempertahankan kedudukannya di
atas bukit Ratu Baka yang didalam prasasti Siwagrha itu digambarkan sebagai tempat
pengungsian berupa beratus-ratus batu, seingga ia kembali ke Sumatera dan menjadi raja di
Sriwijaya. Kemudian ia mengadakan hubungan dengan raja Dewapaldewa dari Benggala, dan
di dalam prasasti Nalanda disebutkan bahwa asal usulnya adalah dari raja Jawa, keturunan
dari Wangsa Sailendra, yang dikenal sebagai pembunuh musuh yang gagah berani.18

Setelah Rakai Pikatan berhasil mengalahkan balaputradewa, ia mentahbiskan candi


induk percandian Loro Jonggrang, lalu mengundurkan diri dari pemerintahan untuk menjadi
seorang petapa. Kemudian kekuasaanya digantikan oleh putrinya yang bernama Dyah
Lokapala yang bergelarkan Rakai kayuwangi.19

Pada dasarnya rekonstruksi itu memang masuk akal, tetapi dengan mengacu pada
anggapan bahwa hanya ada satu saja wangsa raja-raja di Jawa Tengah, yaitu wangsa sailendra
maka cerita sejarah tersebut ada di rubah sedikit. Pada uraian di atas telah dikatakan bahwa
Rakai Patapan adalah anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut agama Siwa. Namun ia
jiga berambisi menjadi seorang Maharaja. Mka perang perebutan kekuasaanpun terjadi antara
Rakai Pikatan dengan Rakai Walaing yang berdasarkan pada prasasti Siwagerha berlangsung
selama satu tahun. Anak bungsu dari Rakai Pikatan, yaitu Rakai Kayuwangi sebagai
pemimpin pasukan yang gagah berani berhsil memukul mundur Rakai Walaing ayng
mengungsi di atas bukit Ratu Baka dan juga membuat benteng pertahanan disana. Karena
strategisnya lokasi ini maka Rakai Kayuwangi mengalami kesulitan untuk melakukan
penyerangan. Pada saat itu Rakai Walaing sempat membuat bangunan untuk Lingga bagi
Siwa sebagai upaya magis untuk memperoleh kemenangan. Kemudian dari pada itu, ia juga
membuat silsilah untuk menunjukkan bahwa ia berhak atas tahta kerajaan Mataram. Sorang
peneliti bernama Crawfurd pernah meneliti sebuah arca batu yang digambarkan sebagai
sebuah Siwa Mahadewa menghancurkan Tripurantaka di bukit Ratu Baka. Amat disayangkan
tenyata arca tersebut ditemukan dalam keadaan yang cukup rusak. Selai itu juga ada J.W.
Ijzerman yang melihat sebuah arca dewa-dewi sedang berpelukan yang kemudian

18
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 127.
19
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid

15
mengingatkan kita kepada alinganamurti seperti yang disebutkan dalam prasasti
Trymkalingga.20

Namun akhirnya Rakai Kayuwangi berhasil menggempur bentengpertahanan di bukit


Ratu Baka itu, maka prasasti yang memuat silsilah tentang Rakai walaing itu sengaja dirusak
dengan menghilangkan nama-nama ayah, kakek dan buyutnya.21

Dengan berhasilnya Rakai Kayuwangi mengalahkan Rakai Walaing, maka dialah


yang kemudian dinobatkan sebagai raja manggantikan ayahnya, yaitu Rakai Pikatan.
Melainkan bukan kakaknya putri mahkota Rakai Gurunwangi Dyah Saladu.22 Hal ini tentu
juga menyebabkan kericuhan seperti yang diuraikan diatas.

Rakai Kayuwangi dinobatkan menjadi seorang raja pada tahun 856 M. Ia bertahta di
Medang yang terletak di Mamratipura. Keterangan yang terdapat pada prasasti Siwagerha
menggambarkan bahwa keraton Medang dipindahka ke Mamratipura, hal ini dikarenakan
mungkin Rakai Walaing pada suatu ketika berhasil menyerbu ke dalam Kota Medangyang
lama yang sayang sekali sampai saat ini belum diketahui lokasinya. Rakai Kayuwangi
memerintah kira-kira hingga tahun 883 M. Ada sekitar 50 prasasti yang ditemukan pada masa
pemerintahannya, yang sekalipun tidak semuanya dikeluarkan oleh raja sendiri, melainkan
hanya 12 prasasti saja yang memuat namanya.23

Dari sekian banyak prasasti yang ditemukan itu, hanya ada satu prasasti yang
menjelaskan keterangan di bidang sejarah politik. Dan yang lainnya hanyalah menjelaskan
keterangan-keterangan tentang penetapan sima untuk suatu bangunan suci baik oleh raja
sendiri maupun oleh seorang pejabat kerajaan atau daerah.

Namun, Rakai Garunwangi Dyah Saladu sebagai putri mahkota selam itu tidak tinggal
diam menerima nasib dialngkahi oleh adik bungsunya Rakai Kayuwangi. Dengan bantuan
dari suaminya, ia berusaha untuk merebut kekuasaannya kembali, dan ternyata berhasil.
Karena jelas yang menggantikan Rakai Kayuwangi bukanlah putra mahkotanya, Rakai Hino
pu Aku, melainkan Rakai Gurunwangi.

Sementara itu juga ada ditemuakan prasasti yang menyebit nama Rakai
Watuhumalang, akan tetapi tidak dengan gelar kemaharajaannya, yaitu pada prasasti
Panunggalan yang berangka tahun 818 Saka (896 M). Dalam prasasti ini ia memiliki galar
20
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 128.
21
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid
22
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 133.
23
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid

16
Haji, yang pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di zaman Kediri bisa
digunakan oleh seorang raja bawahan atau penguasa daerah. Hal ini tentu menarik perhatian
karena di dalam daftar raja-raja pada prasasti Mantyasih ia diberi gelar Sri Maharaja,
sehingga hal ini memperkuat dugaan bahwa gelar Sri Maharaja pada beberapa tokoh dilebih-
lebihkan.24

Kemudian muncul juga seorang tokoh yang cukup menarik perhatian, yaitu Sri
Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun, yatu sejak 899-911 M. Ditemukan sekitar 28
prasasti pada masanya, yang tidak termasuk yang rangkap, baik yang diatas batu maupun
yang diatas perunggu.

Pendapat yang mengatakan Rakai Watukura Dyah Balitung berasal dari jawa Timur
kurang meyakinkan, malah gelar rakainya justru menunjukkan bahwa ia adalah seorang
penguasa daerah di jawa Tengah, kerana Watukura diperkirakan berada di daerah Kedu
Selatan. Mungkin sekali jika ia yang meluaskan kekuasaan ke Jawa Timur. Memang ada satu
prasasti yang yang dapat ditafsirkan sebagai sumber keterangan mengenai perluasan
kekuasaan tersebut. prasasti tersebut bernama Kubu kubu yang berangka tahun 827 Saka (905
M). Isi dari prasasti ini memperingati pemberian anugerah raja kepada Rakryan Hujung
Dhyah Mangarak dan Rakryan Matuha Rakai Majawuntan yang berupa sebudang tanah
tegalan di desa Kubu Kubu yang dijadikan sima. Adapun sebab mereka mendapat hadiah atau
anugerah dari raja ialah kerena mereka telah berhasil mengalahkan Bantan. L.C. Damais
pernah mengemukakan dugaan bahwa daerah Bantan yang dimaksud adalah Bali.25

Meskipun demikian kemungkinan Rakai Watukura Dyah Balitung memerintahkan


kedua pejabat dari Jawa Timur itu untuk menyerang Bali. Maka setelah berhasil mendapat
anugerah sima desa Kubu Kubu yang terletak di Jawa Timur masih belum tertutup sama
sekali. Hanya saja sampai sekarang masih belum ditemukan sumber sejarah di Bali sendiri
yang dapat memberikan petunjuk tentang adnya penyerangan kerajaan Medang yang berhasil
menakhlukan pulau itu pada awal abad ke X M.

Dengan adanya prasasti Kubu Kubu, mamberikan petunjuk kepada kita bahwa Rakai
Watukura Dyah Balitung telah meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke timur. Seperti
yang telah dikemukakn di atas mungkin sekali kerajaan Kanjuruhan yang muncul pada
pertengan abad ke VIII M berpusat di Malang sekarang telah tunduk kepada kerajaan
24
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 135.
25
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 139.

17
Medang , dan kemudian menjadi daerah takhluk yang dikuasi oleh seorang rakai, yaitu
Rakarayan Kanuruhan. Gelar ini pertama kali muncul dalam prasasti Watukura dan diantara
tulisan-tulisan singkat pada candi-candi perwara percandian Loro Jonggrang. Selain itu ada
juga pembuatan tempat penyebrangan di Paparahuan (desa Praon dekat Wonokiri sekarang)
yang terletak di tepi Bengawan Solo. Rakai Watukura membuat tempat penyebrangan itu
untuk melaksanakan nazar seorang raja yang memerintah sebelumnya, yaitu Rakai Wlar pu
Sudarsana. Maka dari itu telah ditetapkan menjadi sima di desa Talang, Mahe dan Paparuhan
yang diabadikan dalam prasasti Telang yang berangka tahun 825 Saka (904 M).26

Rakai Witukura Dyah Balitung memerintah di kerajaan Medang kira-kira 12 tahun.


Pada masa pemerintahannya kerajaan berjalan dengan aman, kecuali kerusuhan yang terjadi
di desa Kuning yang berada di sekitar gunung Sumbing dan gunung Sindoro yang terdapat
dalam prasasti Mantyasih dan penaklukan Batan dalam prasasti Kubu Kubu. Namun intrik
yang terjadi di Krato terus berjalan. Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaya atau yang
dikenal denga Daksa yang menjabat sebagai putra mahkota ternyata bukanlah anak dari Rakai
Watukura, tetapi mungkin sekali iparnya. Dari berita Cina dinasti Sung ia disebut ta-tso-kan-
hiung, yang oleh Boechari ditafsirkan sebagai Daksa, yaitu saudara raja yang gagah berani. Ia
tetap berusah untuk tetap duduk di tahta kerajaan Mataram sebagai seorang pewaris yang
lebih berhak. Maka untuk menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Sanjaya, semasa Daksa
masih menjabat rakryan mahamantri i hino ia mengeluarkan prasasti dengan menggunakan
tarikh Sanjaya. Prasasti yang dimaksud tersebut adalah prasasti Taji Gunung yang berangka
tahun 194 Sanjayawarsa (910 M). Kemudian setelah ia menjadi seorang raja, ia
mengeluarkan lagi satu prasasti dengan tarikh Sanjaya, yaitu prasasti Timbanan Wungkal
yang berangka tahun 196 Sanjawarsa (913 M).27

Maka dapatlah diperkirakan bahwa pergantian kepemimpinan dari Rangkai Watukura


Dyah Balitung kepada Rakai Daksa tidaklah berjalan dengan wajar. Apalagi jika dilihat
dalam prasasti Taji Gunung tersebut, Rakai Daksa menetapkan desa Taji Gunung sima
bersama dengan Rakryan Gurunwangi.

Selain itu juga dalam prasasti Timbanan Wungkal dikatakan bahwa perintah Rakai
Daksa turun kepada Rakryan Mapatih i Halu, Sirikan dan Weka, Rakryan Gurunwangi, dan
Samgat Tiruan. Gelar pada Rakryan Gurunwangi dijumpai pada candi Plaosan Lor, yaitu
nama lain dari Rakai Gurunwangi Dyah Saladu, yang dimungkinkan merupakan anak tertua
26
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 139-140.
27
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 144-145.

18
dari Rakai Pikatan, serta Rakai Gurunwangi Dyah ranu yang mungkin adalah suami dari
Rakai Gurunwangi Dyah Saladu.

Yang cukup menarik perhatian disini ialah antara tulisan pada candi-candi perwara
candi Plaosan Lor juga terdapat nama Rakai Daksa dengan gelarnya, Sang Kalungwarak.
Candi yang dimaksud disini ialah candi perwara yang berdampingan dengan yang bertulisan
dharmma sri maharaja. Dalam deretan yang sama juga ditemui secara berturut-turut Sang
Rasbang Pu Manju, Rakai Wanwa Galuh, Rakai Gulunwangai Dyah Ranu, Sang Ramraman
pu Singha, dan Sang Watuhumalang pu Tguh.28

Memang sulit untuk membuktikan bahwa Rakai Garunwangi Dyah Ranu identik
dengan Sri Maharaja Rakai Gurunwangi di dalam prasasti Munggu Antan, dan Sang
watuhumalang pu Tguh identik dengan Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan Sang
Kalungwarak pu Daksa dengan Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Gelar rakai
memang mangikat, dua orang yang memakai gelar Rakai yang sama mungkin sekali seorang
suami Istri atau dapat juga anak yang mewarisi daerah lungguh ayahnya.29

Ternyata perebutan kekuasaan terus berjalan. Rakai Daksa memerintah di Medang


tidaklah lama. Agak sulit menentukan dengan tepat kapan Daksa turun tahta. Namun dalam
prasasti Sugih Menek dikatakan bahwa ia memerintah tidak lebih dari 8 tahun.

Rakai Daksa tidak ada menunjuk seorang putra mahkota, dan yang mengejutkan
ternyata Rakai Layang Dyah Tlodhong juga bukanlah seorang pejabat eselon pertama dalam
masa pemerintahan Rakai Daksa, yang biasanya diduduki oleh pangeran, putra raja atau
kerabatnya. Dalam prasasti Poh Galuh yang ditemukan, sanyang sekali angka tahunnya
hilang tetapi terang itu berasal dari masa pemerintahan Daksa.30

Pada tahun 849 Saka (928 M) muncul seorang raja yang bernama Dyah Wawa. Ada
beberapa [pendapat yang mengatakan bahwa Dyah Wawa itu sama dengan Sri Ketudhara
Manimantaprabha Prabhusaksti Triwikrama yang menjabat sebagai rakryan mapitih i hino
pada masa pemerintahan Rakai Sumba Wawa., karena kata dhara sama artinya dengan wawa
(membawa).31

Dyah wawa mempunyai gelar yaitu, Rakai Sumba. Beberapa keterangan yang
menarik pada masa pemerintahan Rakai Sumba Wawa terdapat pada prasasti Sangguran yang
28
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid
29
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 146.
30
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 148.
31
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 153.

19
berangka tahun 850 Saka (928 M). Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Mpu Sindok telah
bernazar untuk menjadikan desa Sangguran di suatu bangunan suci yang berada di daerah
sima kajurugusalyan di Mananjung. Hal yang menarik disini adalah dikatakan bahwa sima
khusus untuk para juru gusali, yaitu para pandai perunggu, besi, tembaga dan emas. Pada
prasasti sebelumnya telah disebutkan bahwa sima diberikan atau dianugerahkan kepada para
patih-patih di Mantyasih yang telah berjasa kepada raja, yaitu Rakai Watukura Dyah
Balitung. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada masa Rakai Sumba Wawa, ada para orang
pandai atau seorang pemuka pandai yang berjasa kepada raja dan dianugerahkan kepada
mereka sima.32

Selain itu, ada juga prasasti lain yang ditemukan pada masa Rakai Sumba wawa, yaitu
prasasti Air Kali, prasasti ini berangka tahun 849 Saka (928 M) dan juga prasasti Kambang
Sari B (jedung), namun sayang sekali prasasti-prasasti ini dalam keadaan yang sangat halus,
sehingga sangat sulit untuk dibaca dan diketahui isinya.

2.2. Keadaan Masyarakat

Dinasti Sanjaya memegang kekuasaan di Jawa Tengah kira-kira selama selama satu
abad lamanya, yaitu dari tahun 732-850 M. Pada masa itu sangat banyak didirikan bangunan-
banagunan suci yang berupa candi-candi. Barangkali wangsa Sailendra sekitar tahun 850 M
telah mendesak Sriwijaya dan menjadi raja di Sriwijaya adalah Balaputradewa. Kemudian
pada prasasti Nalanda juga disebutkan, bahwa raja Balaputra merupakan raja Suwarnabhumi
dan cuci dari raja Jawabhumi. Dalam prasasti itu juga dikatakan bahwa Balaputra adalah
putra dari Samaratungga (atau Samaragrawira).33

Samaratungga mempunyanyi seorang putri yang bernama Pramodhawardhani.


Pramodhawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang berasal dari keluarga Sanjaya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Balaputra adalah saudara dari Pramodhawardhani.
Seperti yang tertera dalam piagam yang ditemukan pada candi Plaosan. Diduga bekas dari
istana raja Samaratungga terletak di sebelah Prambanan, yaitu istana Prabu Baka.34

32
Marwati Djoened Poesponerogo dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal 154.
33
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid, hal. 85
34
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid,

20
Sepeninggal dari raja Samaratungga kekuasaan sanjaya dibagi menjadi dua antara
Rakai Pikatan yang memerintah di jawa Tengah dan Balaputra (adik dari Pramodhawardhani)
yang memerintah di Sumatera. Pramodhawardhani memiliki gelar yaitu Sri Kahuluan. Ia
mendirikan bangunan-bangunan Hindu. Ada juga candi Plaosan yang bercorak Buddha,
yang ditemukan prasasti-prasasti pendek diantaranya dengan nama Rakai Pikatan dan Sri
Kahuluan. Ada kemungkinan bahwa kompleks dari candi Plaosan tersebut dibangun atas
perintah dari Pramodhawardhani.35 Berikut adalah beberapa candi di Jawa Tengah yang
bercorak agama Hindu:

1. Candi Gunung Wukir, dekat Magelang (Piagam Canggal tahun 732 Masehi);
2. Kelompok candi Dieng, di dataran tinggi Dieng;
3. Candi Sambisari;
4. Candi Pringapus, di lereng timur Gunung Sindoro;
5. Candi Gedongsanga, di lereng Gunung Ungaran;
6. Candi Selangriya, di lereng Gunung Sumbing;
7. Candi Prambanan.

Adapun candi-candi yang bercorak agama Buddha, antara lain:

1. Candi Sari, dekat Kalasan;


2. Candi Kalasan, dekat Prambanan;
3. Candi Borobudur dekat kompleks (Mendut dan Paon);
4. Candi plaosan, sebelah timur candi Sewu;
5. Candi Sewu, dekat candi Prambanan,

Pada prasasti yang berangka tahun 764 Saka (842 M) Sri kahuluan meresmikan
pemberian tanah dan sawah dalam rangka untuk menjamin kelangsungan pemeliharaan
Kamulan di Bhumisambhara. Kamulan ini dihubungkan dengan candi Borobudur, yang
berkemungkinan telah ada pada masa Samaratungga pada tahun 824 M. Secara samar-samar
telah disebutkan dalm prasasti di Karang Tengah.36

Sedangkan Rakai Pikatan mendirikan bangunan-bangunan suci yang beraliran Hindu.


Mungkin kelompok candi Loro jonggrang (prambanan disirikan atas perintahnya. Ada juga
prasasti yang berangka tahun 778 Saka (856 M) yang dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi

35
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid,
36
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid, hal. 86

21
atau Dyah Lokapala. Setelah Rakai Pikatan turun dari tahtanya, terdapat uraian dari
kelompok candi Siwa yang sesuai dengan kelompok candi Loro Jonggrang.

Masa kedudukan Mataram merupakan masa pembangunan candi-candi yang bercorak


Hindu maupun Buddha, hal ini dikarenakan banyaknya berbagai candi yang di temukan pada
zaman ini. Meskipun candi-candi di Nusantara banyak mendapatkan pengaruh budaya dari
candi yang terdapat di India, akan tetapi corak bangunan-bangunannya tidak semata-
matameniru corak bangunan candi di India. Setelah melalui banyak penyesuain dan
pengolahan, sehingga menjadi seni bangunan yang bercorak Indonesia.

Kata “candi” berasal bersal dari kata “candikagraha” yaitu rumah Dewi Candika yang
merupakan salah satu nama untuk Dewi Durga yang sebut sebagai Dewi Maut. 37 Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pembuatan candi sangaterak kaitannya dengan masalah kematian.
Namun, mengenai fungsi candi dalam dalam tatanan kehidupan beragama pada masa itu
masih belum diperoleh kepastiannya, hal tersebut dikarenakan masih ada perbedaan pendapat
di kalangan para ahli. Menurut Stutterheim, candi berfungsi sebagai tempat untuk
mengkeramatkan leluhur raja atau keluarga kerajaan. Hal tersebut dipandang sebagai
kelanjutan dalam bentuk Hindu dari kebiasaan bangsa Indonesia untuk “memuja leluhur”
mereka sejak zaman prasejarah. Sedangkan menurut penapat dari Soekarno, candi bukanlah
berfungsi sebagai tempay pemakaman abu janazah. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan,
ia berpandangan bahwa candi adalah sebuah kuil yang fungsinya sama denga kuil yang
terdapat di Bali.

Dalam berbagai prasasti dinyatakan bahwa candi selalu berhubungan dengan Kraton,
khususnya dengan seorang raja. Maka denga sendirinya pembangunan maupun pendiriannya
adalah suatu maslah yang langsung ditangani oleh birokrasi kerajaan.

2.3. Struktur Kerajaan dan Birokrasi Dinasti Sanjaya

Kerajaan Mataram dan kerajaan Medang yang merupakan wilayah yang cukup luas
serta telah meninggalkan banyak monumen agama yang besar. Jelas bahwa kerajaan ini

37
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid, hal. 85

22
merupakan kerajaan yang sudah teratur. Prasasti-prasasti yang ditemukan, membuktikan
adanya suatu tatanan pemerintahan yang yang ditunjang oleh suatu birokrasi yang rapi dan
teratur.

Dari berbagai prasasti yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa kerajaan di


Nusantara pada masa kuno tidak ada yang membentuk kekuasaan tunggal yang mutlak.
Kerajaan-kerajaan tersebut dibagi atas beberapa wilayah yang diperintah oleh rakryan atau
rakai. Mereka adalah penguasa-pengauasa daerah yang mempunyai otonmi yang cukup luas
untuk menjalankan peperintahannya. Pada umumnya mereka masih mempunyai hubungan
keluaga denga keraton, baik sebagai keturunan dari raja maupun kerabat keraton karena
adanya perkawinan.

Mungkin para rakai sebagai penguasa di daerah, memiliki kekuasaan seperti seorang
raja. Hal ini dikarenakan seorang rakai semula adalah sorang raja lokal yang karena kalah
perang kemudian mengakui kemaharajaan yang mengalahkannya.

Untuk mengatur suatu kerajaan yang baik, harus terdapat birokrasi yang terdiri dari
beberapa tingkat pejabat. Seperti pada kerajaan Balitung mempunyai 32 orang pejabat tinggi
dan yang terkemuka diantara mereka adalah ta-tso-khan-hiung. Menurut berita Cina yang
dimaksud tersebut adalah seorang putra mehkota. Selanjutnya disebut juga pejabat lo ki lien
(rakryan). Dalam prasasti Balitung namanya diesebut berturut-turut dari tingkatan sebagai
Rakryan i Hino (901 M), majapatih Hino (906 M), dan sebagai Mahamatri i Hino (970 M).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gelar Hino ini menunjukkan bahwa Daksha adalah
seorang putra mahkota.38

Ada pula penemuan prasasti baru yang terletak di Sojomerto, Kabupaten Batang,
Jawa Tengah yang terletak di bagian utara. Prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno
dan memberikan keterangan baru mengenai sejarah Indonesia kuno. Dalam prasasti itu
menyebutkan nama seorang tokoh yaitu Dapunta Sailendra, bersama dengan ayah, ibu, dan
istrunya. Menurut Buchari diduga ia adalah pendiri dari suatu dinasti, yaitu dinasti Sailendra.
Kemudian juga dikatakan bahwa ia adalah penduduk asli Indonesia. Pendiri dari suatu
wangsa atau dinasti disebut dengan Wamsakara. Contoh pendiri dari beberapa dinasti adalah
Ken Arok yang merupakan seorang pendiri dari dinasti Singasari dan Majapahit. Dan ada
pula Ageng Pamanahan pendiri dinasti Mataram zaman Islam dan sebagainya.39
38
Suwardono, Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, (Ombak, 2019), hal 107-108.
39
Dra. Chusnul Hajati, Drs. Supriyo P.,Dra. Titi Pratitis, Ibid, hal 87.

23
2.4. Masa keruntuhan Dinasti Sanjaya

Pada masa pemerintahan Rakai Sumba Wawa berakhir dengan tiba-tiba, mungkin
sekali dikarenakan letusan gunung Merapi yang terhebat dalam sejarahnya. R. W. van
Bemmelan berpendapat bahwa letusan gung tersebut sangatla dahsyat sehingga pada bagian
puncaknya lenyapdan terjadinya pergeseran tanah ke arah Baratdaya sehingga terjadi lipatan
yang antara lain membentuk gunung Gendol. Karena gerakan tanah tersebut terbentur dengan
kepada lempengan pegunungan Menoreh. Sudah tentu letusan tersebut disertai dengan gempa
bumi, banjir lahar, dan hujan abu vulkanik serta batu-batuan yang sangat mengerikan.
Bencana alam yang terjadi ini jelas menghancurkan Ibukota Medang dan berbagai daerah di
jawa Tengah, sehingga oleh para rakyat dirasakan sebagai Pralaya atau kehancuran dunia.

Maka kerabat raja dan para pejabat tinggi kerajaan serta penduduk yang daerahnya
tertimpa bencana tersebut lari mengungsi ke arah timur, yang tentu saja gempa hebat itu
melanda daerah barat daya gunung Merapi. Keudian di Jawa Timurlah, di daerah yang sudah
dikenal terdapat penguasa daerah yang tunduk kepada Mataram, yaitu daerah Kanuruhan.
Sealnjutnya Mpu Sindok membangun ibukota baru, yaitu Tmwlang. Sesuai dengan landasan
kosmogonis kerajaan, maka kerajaan yang dianggap baru itu merupakan dunia baru. Dengan
adanya tempat pemujan yang baru dan pemerintahan oleh wangsa yang baru pula. Sehingga
walaupun Mpu Sindok sebenarnya masih anggota Wangsa Sanjaya, mengingat kedudukannya
sebagai rakryan mapatih i halu dan i hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba dan Rakai
Layang, maka ia dianggap sebegai pendiri dari bangsa baru.

24
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dinasti Sanjaya adalah dinasti yang dimulai pada masa Ratu Sanjaya. Sanjaya adalah
seorang raja yang gagah berani yang telah banyak menakhlukkan raja-raja disekelilingnya
bagaikan Raghu ia juga di segani dan di hormati oleh para pujangga karena dipandang
sebagai seorang raja yang faham tentang isi-isi dari kitab suci. Dinasti Sanjaya memeluk
agama Hindu Siwa. Dinasti ini berada di wilayah Jawa Tengah dan pada umumnya prasasti-
prasasti yang ditemukan pada masa dinasti ini menggunakan huruf Jawa Kuno. Terdapat
berbagai polemik dari setiap raja yang memerintah di dinasti ini. Pada masa pemerintahan
Rakai Sumba Wawa berakhir dengan tiba-tiba, hal ini dikarenakan letusan gunung Merapi
yang terhebat dalam sejarahnya sehingga dalam berbagai sumber sejarah yang ditemukan
faktor inilah yang melatar belakangi berakhirnya dinasti Sanjaya. Maka kerabat raja dan para
pejabat tinggi kerajaan serta penduduk yang daerahnya tertimpa bencana tersebut lari
mengungsi ke arah timur. Kemudian di Jawa Timur Pu Sindok membuat dinasti baru.

25
DAFTAR PUSTAKA

Djoened Poesponegoro, Marwati & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional


Indonesia II. Balai Pustaka

Hajati, Chusnul, dkk. 1986. Sejarah Indonesia. Jakarta: Karunika, Universitas Terbuka.

Suwardono. 2019. Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha. Yogyakarta: Ombak

26

Anda mungkin juga menyukai