Anda di halaman 1dari 28

Laporan Praktikum

TEKNOLOGI SEDIAAN SOLIDA


“Formulasi Suppositoria Rektal Untuk Anak-Anak”

OLEH

KELOMPOK : II (DUA)
KELAS : B-D3 FARMASI 2018
ASISTEN : SRI NURSALAM MUKMIN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI
2020
Lembar Pengesahan

TEKNOLOGI SEDIAAN SOLIDA


“Formulasi Suppositoria Rektal Untuk Anak-Anak”

OLEH
KELOMPOK : II (DUA)
1. Moh. Rizqi Pratama Manoppo (821318098)
2. Anggriani Arif (821318099)
3. Hartanti Ode (821318064)
4. Lutfiah Husain (821318048)
5. Natasya Hasan (821318058)
6. Razia Yorkuran (821318043)
7. Sitiyansiputri Gausu (821318036)

Gorontalo, Maret 2020 Nilai


Mengetahui
Asisten

SRI NURSALAM MUKMIN


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Sholawat
serta salam selalu terlimpahkan pada Nabi kita Muhammad SAW serta segenap
pengikutnya hingga akhir zaman. Atas rahmat dan karunia-Nya kami kami
menyelesaikan laporan praktikum Teknologi Sediaan Solida.
Tersusunnya laporan ini tentunya bukan karena hasil kerja keras kami
semata, melainkan juga atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya
laporan ini.
Kami sangat menyadari bahwa laporan ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
laporan ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Semoga penulisan laporan
praktikum ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.

                                              
   Gorontalo, Maret 2020
             

Kelompok II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan..................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Dasar Teori.................................................................................................3
2.2 Studi Pre Formulasi....................................................................................7
2.3 Analisis Permasalahan...............................................................................8
BAB III PENDEKATAN FORMULA................................................................10
BAB IV FORMULASI DAN PERHITUNGAN.................................................15
4.1 Formulasi.................................................................................................15
4.2 Perhitungan..............................................................................................15
BAB V CARA KERJA DAN EVALUASI........................................................16
5.1 Cara Kerja................................................................................................16
5.2 Evaluasi....................................................................................................16
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................18
6.1 Hasil.........................................................................................................18
6.2 Pembahasan..............................................................................................18
BAB VII PENUTUP...............................................................................................23
7.1 Kesimpulan..............................................................................................23
7.2 Saran.........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan suatu profesi kesehatan yang berhubungan dengan
pembuatan dan distribusi dari produk yang berkhasiat obat, ini meliputi seni dan ilmu
pengetahuan dari sumber alam atau sintetik menjadi material atau produk yang cocok
dipakai untuk mencegah, dan mendiagnosa penyakit. Farmasi juga diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur, meracik, memformulasi,
mengidentifikasi, mengombinasi, menganalisis, serta menstandarkan obat dan
pengobatan juga sifat-sifat obat beserta pendistribusian dan penggunaannya secara
aman. Teknologi sediaan liquida semi solida dan solida, dan juga farmasi bidang
industri (Depkes RI, 1995).
Dalam bidang industri kefarmasian, perkembangan teknologi farmasi sangat
berperan aktif dalam peningkatan kualitas produksi obat-obatan. Ini dapat di tunjukan
dengan banyaknya sediaan obat-obatan. Di zaman sekarang ini sudah banyak bentuk
sediaan obat yang dapat dijumpai di pasaran. Bentuk-bentuk sediaan farmasi yang
beredar tersebut memiliki bentuk yang beragam, baik dalam bentuk larutan, suspensi,
emulsi, solida (kapsul, suppositoria, serbuk tablet) dan lain-lain. Dimana masing-
masing dari bentuk sediaan tersebut memiliki tujuan terapi yang berbeda-beda serta
rute pemberian yang berbeda-beda pula dan teknologi sediaan liquida dan semisolida
dan solida dan berbagai bentuk sediaan. (Chang, 1998)
Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai
dengan kebtuhan, mengdandung zat aktif atau lebih pembawa yang digunakan
sebagai obat dalam maupun obat luar. Berdasarkan wujud zatnya, sediaan farmasi
dikelompokan menjadi cair larutan sejati, suspense, emulsi, sediaan semipadat krim,
losion, salep, gel, suppositoria. (Depkes RI, 2009)
Suppositoria merupakan sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh.
Sebagai bahan dasar digunakan lemak coklat, polietilen glikol berbobot molekul
tinggi, lemak atau bahan yang cocok. Kecuali dinyatakan lain, digunakan lemak
coklat. (Depkes RI, 1979)
Berdasarkan latar belakang diatas, mengingat pentingnya mempelajari
tentang sediaan suppositoria maka dilakukanlah percobaan mengenai pembuatan
suppositoria rektal untuk anak-anak secara sistemik dengan zat aktif paracetamol.
1.2 Maksud
1. Mahasiswa dapat mengatahui cara memformulasi sediaan suppositoria rektal
untuk anak-anak.
2. Mahasiswa dapat megatahui cara memfacturing paracetamol dalam bentuk
sediaan suppositoria rectal untuk anak-anak.
3. Mahasiswa dapat mengatahui cara evaluasi bentuk sediaan suppositora rectal
dalam tubuh
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengatahui cara pembuatan sediaan suppositoria rectal
untuk anak-anak
1. Agar mahasiswa dapat mengatahui dan memahami cara memfacturing bentuk
sediaan suppositoria rectal
2. Agar mahasiswa dapat mengatahui cara evaluasi sediaan suppositoria rectal
paracetamol dalam tubuh.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari percobaan ini agar mampu membuat sediaan
suppositoria rectal paracetamol untuk anak-anak dan mampu untuk memanufacturing
bentuk sediaan suppositoria rectal untuk anak-anak. Serta dapat berkhasiat sebagai
analgesic dan antipiretik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Suppositoria
Menurut Dirjen POM (1995), Suppositoria adalah sediaan padat dalam
berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina, maupun uretra,
berbentuk peluru yang dapat meleleh pada suhu tubuh dan dalam bentuk padat dalam
suhu ruang. Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang
diberikan melalui rektal, vagina, maupun uretra, berbentuk torpedo, dapat melunak,
melarut, atau meleleh pada suhu tubuh, dan efek yang ditimbulkan adalah efek
sistemik atau lokal. Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau
meleleh pada suhu tubuh. Semakin pendek waktu melarut/mencair semakin baik
karena efektivitas obat semakin baik. Bobot suppositoria kalau tidak dinyatakan lain
adalah 3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak kecil. Umumnya memiliki panjang
32 mm, berbentuk silinder, dan kedua ujungnya tajam. Sedangkan untuk bayi dan
anak-anak ukurannya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa. Penyimpanan
suppositoria dalam wadah tertutup baik dan di tempat yang sejuk pada suhu 5-15 °C
agar suppositoria tidak menjadi lembek dan tidak bisa digunakan.
2.1.2 Macam-Macam Pemberian Suppositoria
Adapun Menurut Syamsuni (2006), macam – macam kapsul yaitu :
1. Melalui Rektal
a. Mencuci tangan dengan benar menggunakan air dan sabun.
b. Melepaskan penutup pada enema.
c. Berbaringlah miring dengan posisi kaki bawah diluruskan dan kaki bagian
atas ditekuk ke depan perut.
d. Keluarkan sedikit obat dan oleskan pada bagian ujung botol enema.
e. Masukkan ujung enema kedalam rektum (anus/ dubur) secara pelan-pelan.
Hindari memaksa enema masuk karena dapat melukai rektum (anus/
dubur).
f. Tekan botol enema hingga dosis obat yang dianjurkan oleh Dokter masuk
seluruhnya.
Catatan: penggunaan enema hanya untuk sekali pakai. Jika penggunaan
sesuai dosis tidak semuanya, maka sisa enema dalam kemasan tetap harus
dibuang.
2. Melalui Vagina
a. Gunakan obat vaginal sebelum tidur. Berbaring akan mencegah obat keluar
dari vagina.
b. Mencuci daerah vagina dengan sabun lembut dan air. Lalu keringkan
dengan menggunakan handuk.
c. Untuk produk krim vagina dapat menggunakan aplikator. Buka kemasan
krim dan pasang pada aplikator.
d. Tekan kemasan krim untuk memasukkan krim ke dalam aplikator sesuai
dosis yang dianjurkan dokter. Lepaskan aplikator dari kemasan krim.
e. Penggunaan tablet atau suppositoria untuk vagina dapat memakai
aplikator. Buka tablet atau suppositoria dari kemasan dan pasang pada
aplikator.
f. Masukkan aplikator ke dalam vagina dengan posisi membuka kaki dan
menekuk salah satu lutut.
g. Atau berbaring dengan posisi telentang dengan lutut ditekuk dan kaki agak
terpisah.
h. Mendorong pangkal aplikator hingga semua obat masuk. Lalu lepaskan
aplikator dari vagina.
i. Jika aplikator dapat digunakan kembali maka cuci aplikator dengan
menggunakan sabun. Namun jika aplikator hanya sekali pakai maka
buanglah setelah digunakan.
j. Mencuci tangan dengan benar menggunakan air dan sabun.
2.1.3 Keuntungan dan Kekurangan Suppositoria (Anief, 2006) :
a. Keuntungan Supositoria:
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
2. Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam
lambung
3. Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat
berefek lebih cepat daripada penggunaan obat peroral
4. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar
b. Kerugian Supositoria
1. Pemakaiannya tidak menyenangkan
2. Tidak dapat disimpan pada suhu ruang
2.1.4 Tujuan penggunaan suppositoria yaitu :
a. Supositoria dipakai unjtuk pengobtan local ,baik di dalam rectum, vagina, atau
uretra, seperti pada penyakit haemorroid/wasir/ambeien, dan infeksi lainnya.
b. Cara rectal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap
oleh membran mukosa dalam rectum.
c. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien
yang mudah muntah atau pasien yang tidak sadarkan diri.
d. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui mukosa
rectum dan langsung masuk dalam sirkulasi darah.
e. Agar terhindar dari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
2.1.5 Basis suppositoria
Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur,
melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan penting.
Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu
padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada
suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan
didispersikan merata kemudian menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik.
Basis supositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut :
1. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta
pemisahan obat.
4. Kadar air mencukupi.
5. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan
penyabunan harus diketahui jelas.
2.1.6 Persayaratan basis Suppositoria
1. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini
dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataun tengik, terlalu
keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik)
2. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat)
3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil)
4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat
berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah
pendinginan mendadak dalam cetakan)
5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini
dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya
pada suhu tinggi sehingga tetap stabil).
2.1.7 Macam-macam basis Suppositoria.
1. Basis berlemak, contohnya : oleum cacao.
2. Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak :campuran tween dengan
gliserin laurat.
3. Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya : gliserin-gelatin,
PEG (polietien glikol).
2.1.8 Bahan dasar supositoria
1. Bahan dasar berlemak : oleum cacao
Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan,
memiliki bau yang khas dan bersifat polimorf (mepunyai banyak bentuk
krital). Jika dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan mulai mencair dan
biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C berupa massa
semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencai
sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti Kristal metastabil.
Keuntungan oleum cacao :
a. Dapat melebur pada suhu tubuh
b. Dapat memadat pada suhu kamar
Kerugian oleum cacao :
a. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
b. Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila
ditambahkan dengan bahan tertentu.
c. Meleleh pada udara yang panas.
2. PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul
antara 300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000
(carbowax 1000), PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000),
dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk cair,
sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG
yang dipakai sebagai berikut:
1. Bahan dasar tidak berair : PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%)
2. Bahan dasar berair : PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%
Titik lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi
larut dalam cairan sekresi tubuh.
Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Tidak mengiritasi atau merangsang
2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum
cacao
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh
Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain :
1. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul
rasa yang menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan
supositoria ke dalam air dahulu sebelum digunakan.
2. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga mengahambat pelepasan
obat. Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan
bahan dasar, lalu dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan
supositoria dengan bahan dasar lemak coklat.
2.2 Studi Preformulasi Zat Aktif
Zat Aktif : Paracetamol
Kekuatan Sediaan : 250 mg
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
95% p, dalam 13 bagian aseton p.
pKa : -4,4
Ph: : 5,5 – 6,5 (Lewis, 2007)
Inkompatibilitas : Inkom terhadap permukaan nylon dan rayin
Stabilitas : Terhidrolisis pada Ph minimal 5-7, stabil pada
temperature 450c (dalam bentuk serbuk), dapat
terdegradasi quinominim dan terbentuk warna pink,
cokelat, dan hitam. Relatif stabil terhadap oksidasi,
menyerap uap air dalam jumlah tidak signifikan pada
suhu 25% dan kelembabab 90%.
Koefisien Partisi : Log 0,46
Dosis : Dalam 500 mg mengandung 250 mg paracetamol
Efek Farmakologi : Paracetamol dapat menurunkan demam dengan
bekerja pada hipotalamus yang mengakibatkan
validasi dan pengeluaran keringat. pada dosis
terapetik, inhibisi sintesis prostaglandin tidak
signifikan pada jaringan penhiral sehingga
paracetamol memiliki efek anti inflamasi,yang
rendah. (Machfoedz, 2007)
2.3 Analisis Permasalahan
1. Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur berbentuk
terpadu, dapat melunak,melarut atau meleleh pada suhu tubuh. (Kemenkes RI,
2014).
2. Ditinjau dari tujuan pemberian zat aktif paracetamol sebagai analgesic dan
antipiretik yang dibuat untuk mendapatkan efek yang cepat kepada pasien
terutama anak anak yang susah untuk menelan obat sehingga paracetamol
dapat dijadikan suppositoria akan menghasilkan efek yang cepat sama halnya
dengan rute intravena selain itu menurut (Pharm, 2005). Apabila paracetamol
diberikan melalui rektal maka akan menghasilkan bioavibilitas antara 80-
100% oleh karena itu paracetamol dibuat dalam bentuk suppositoria. (Suryani
dkk, 2009).
3. Menurut Waiswa et al (2007), Dalam formulasi suppositoria ini diperlukan
basis lemak coklat menurut (Rowe, 2009). Oleum cacao berdaya guna dalam
melepaskan zat aktif dari pada yang lain karena mempunyai titik lebur pada

suhu 31-34 . Dibuat dalam bentuk suppositoria digunakan untuk melebur

pada suhu tubuh, karena oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar

suppositoria yang ketambahan zat aktif jadi titik leburnya menjadi 35-37
BAB III
PENDEKATAN FORMULA
a. Basis
1. Setil alkohol (Rowe, 2009)
Nama Resmi : Alcoholum Cetylicum
Nama lain : Alkohol cetylicus
Rumus molekul : C16H34O

Struktur molekul :

Berat molekul : 242,44 g/mol


Alasan penambahan : Karena bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi
penstabil dan pengental dan termasuk kedalam
fase minyak pada sedikit kosmetik.
Kelarutan : Bebas larut dalam etanol (95%) dan eter,
kelarutan meningkat dengan meningkatnya
suhu, praktis tidak larut dalam air, larut ketika
dicairkan dengan lemak, parafin cair dan padat,
dan isopropil mengkristal.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan oksidator kuat. Alkohol
setil tanggung jawab untuk menurunkan titik
lebur ibu profen, yang menghasilkan
kecenderungan lengket selama proses pelapisan
kristal ibu profen.
Stabilitas : Setil alkohol stabil dihadapan asam, alkali,
cahaya dan udara, itu tida menjadi tenging. Itu
harus disimpan ditempat yang tertutup wadah
ditempat yang sejuk dan kering.
Konsentrasi : 2 – 10%
2. Oleum Cacao (Rowe, 2009)
Nama Resmi : OLEUM CACAO
Nama lain : Lemak Coklat
Rumus molekul :-

Struktur molekul :-
Berat molekul :-
Alasan penambahan : Oleum cacao dibuat dalam bentuk suppositoria
ditujukan untuk melebur pada suhu tubuh,
karena oleum cacao digunakan sebagai bahan
dasar suppositoria dengan ketambahan zat aktif
jadi titik leburnya semula 31-34˚C menjadi 35-
37˚C
Kelarutan : Mudah larut dalam kloroform, ester dan
minyak bumi, sangat larut dalam etanol
mendidih, sedikit larut dalam etanol 95%
Inkompatibilitas : Terjadi reaksi kimia antara basis lemak
suppositoria
Stabilitas : Memanaskan oleum cacao lebih dari 36˚C
selama persiapan suppositoria dapat terjadi
pemurnian yang cukup besar dari titik
soodifikasi karena pembentuk metastabil
Konsentrasi : 40 – 96%
3. Gliserin (Rowe, 2009)
Nama Resmi : GLYCERIN
Nama lain : Gliserin
Rumus molekul : C3H8O3

Struktur molekul :

Berat molekul : 92,09 g/mol


Alasan penambahan : Gliserin merupakan basis yang dapat dibuat
pada sediaan suppositoria rektal
Kelarutan : Larut dalam air, metanol, dan etanol 95%, tidak
larut dalam minyak, benzene dan kloroform,
larut dalam 1:500 dalam etil aseton 1:11.
Sangat larut dalam aseton.
Inkompatibilitas : Dapat mengkristal pada temperature rendah
dan Kristal-kristal tidak akan mencair
walaupun dipanaskan.
Stabilitas : Tidak teroksidasi oleh udara atmosfer, stabil
pada udara bila disimpan pada udara yang
sejuk
Konsentrasi : 70%
b. Peningkat kelarutan
1. Tween 80 (Rowe, 2009)
Nama Resmi : POLYSORBATUM-80
Nama lain : Polisorbat-80, tween 80
Rumus molekul : C64H124O26

Struktur molekul :

Berat molekul : 1.310 g/mol


Alasan penambahan : Untuk meningkatkan kelarutan dari zat aktif
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dan dalam etanol
(95%) P, dalam etil asetat P, dan dalam
metanol P, sukarlarut dalam parafin dan
minyak biji
Inkompatibilitas : Perubahan warna atau pengendapan dapat
terjadi dengan berbagai bahan, terutama fenol,
tannin.
Stabilitas : Stabil bila dicampurkan dengan elektrolit, asam
lemah dan basa lemah Pereaksi saponifikasi
terjadi jika dilakukan penambahan basa
kuat/asam kuat.
Konsentrasi : 1-15%
2. Span 80 (Rowe, 2009)
Nama Resmi : SORBITON ESTER
Nama lain : Span 80
Rumus molekul : C64H124O26

Struktur molekul :
Berat molekul : 1.310 g/mol
Alasan penambahan : Untuk meningkatkan kelarutan dari zat aktif
Kelarutan : Ester sorbitan umumnya larut atau terdispersi
dalam minyak; mereka juga larut dalam
sebagian besar pelarut organik. Dalam air,
meskipun tidak larut, mereka umumnya dapat
didispersikan.
Inkompatibilitas :-
Stabilitas : Stabil bila dicampurkan dengan elektrolit, asam
lemah dan basa lemah Pereaksi saponifikasi
terjadi jika dilakukan penambahan basa
kuat/asam kuat.
Konsentrasi : 1-15%
BAB IV
FORMULASI DAN PERHITUNGAN
4.1 Formulasi
a. Formula Utama
paracetamol 250 ng
Cera alba 3%
Oleum cacao ad 2 gr
b. Formula alternative
Paracetamol 250 mg
Cetaceum 5%
Oleum Cacao ad 2 gr
c. Formula yang disetujui
Paracetamol 0,5 gr
Cetil Alkohol 0,75 gr
Gliserin 2 ml
Tween 1 ml
4.2 Perhitungan
a. Perhitungan Bahan
1. Paracetamol 200 mg = 0,25 gr
= 2 gr – 0,25 gr
= 1,75 gr

2. Gliserin = ½ x 1,75 = 0,875 gr


= 0,875 x 2 = 1,75 gr

3. Cetil Alkohol = ½ x 1,75 = 0,875 gr


= 0,875 x 2 = 1,75 gr

b. Perhitungan Dosis
Paracetamol : Dosis Maksimum (250-1000 mg)
Dosis sekali : n x DM
20
: 12 x 250 mg
20
: 150 mg
Dosis sehari : n x DM
20
: 12 x 1000 mg
20
: 600 mg
BAB V
CARA KERJA DAN EVALUASI
5.1 Cara Kerja
1. Diasiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Disiapkan Ditimbang paracetamol sebanyak 4 gram
3. Ditimbangkan oleum cacao sebnyak 4 gram
4. Ditimbang cara alba sebanyak 0,15 gram
5. Dileburkan car alba diatas panangas suhu 5℃ hingga melebur
6. Ditambahkan oleum cacao 2/3 bagian
7. Ditambahkan paracetamol, diaduk hingga homogeny
8. Ditambahkan sisa oleum cacau
9. Setelah basis dan zat aktif tercampur semua, dituang campuran kedalam cetakan
yang sudah diolesi gliserin
10. Dimasukan kedalam lemari pendingin
11. Setelah memadat dikeluarkan dari cetakan, dan timbang
12. Dilakukan evaluasi
5.2 Tabel Evaluasi

No Jenis Evaluasi Prinsip Evaluasi Syarat Evaluasi Hasil

1 Uji Titik Lebur Uji titik lebur Suppositoria 10 menit pada


dilakukan untuk dimasukkan suhu 37ºC, karena
mengetahui titik kedalam gelas kisaran nilai
lebur dari sediaan kimia dan normal suhu tubuh
(Breman, 2009) diaduk selama 2 adalah 36,6-37,9ºC
menit untuk (Breman, 2009)
suppositoria peristiwa melebur
dapat melebur dapat ditentukan
sempurna waktu leburnya,
dimana
suppositoria
melebur tanpa sisa
atau meleh dengan
sempurna (Volght,
1971)
BAB VI
PEMBAHASAN

Suppositoria

Suppositoria merupakan sediaan padat  yang digunakan melalui dubur,


umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh.
Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu
tubuh. Sebagai bahan dasar digunakan lemak coklat, polietilen glikol berbobot
molekul tinggi, lemak atau bahan lain yang cocok. kecuali dinyatakan lain, digunakan
lemak coklat (Depkes RI, 1979). 
Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan sediaan suppositoria, adapun
alat dan bahan yang akan digunakan. Alat yang digunakan yaitu batang pengaduk,
cawan porselin, gelas ukur, neraca analitik, penangas air, spatula, lumpang alu.
Sedangkan bahan yang di gunakan yaitu paracetamol 0,5 gram, cetyl alkohol 0,75
gram, gliserin 2 ml dan tween 80 sebanyak 3 tetes. Sebelum masuk pada tahap awal
pertama-tama harus melakukan pemilihan bahan pada pembuatan sediaan
suppositoria, yakni zat aktif kami menggunakan paracetamol karena obat ini sesuai
dengan tema yaitu “Suppositoria Rektal Untuk Anak-Anak Zat Aktif Sintetik”, alasan
lain yaitu karena paracetamol memliki efek antipiretik khususnya pada anak-anak
yang demam tinggi biasanya disertai dengan kejang, untuk itu susah dalam pemberian
obat tersebut sehingga untuk mempermudah dibuat dalam sediaan suppositoria
(Ganiswara, 1995). Untuk peningkat kelarutan yaitu dipilih gliserin karena gliserin ini
merupakan basis yang dapat dibuat suppositoria rektal. Larut dalam air, metanol dan
etanol 95%, tidak larut dalam minyak, benzena, kloroform (Rowe, 2009). Selanjutnya
kami memilih bahan setil alkohol sebagai basis karena setil alkohol memiliki bentuk
seperti lilin dan berupa serpihan putih, granul atau kubus. Setil alkohol bersifat tidak
larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan eter. Kelarutan akan bertambah dengan
adanya peningkatan temperatur, dan setil alkohol ini juga berfungsi sebagai coating
agent, emulsifiying agent, dan stiffening agent (Rowe, 2009). Selanjutnya yaitu
peningkat kelarutan menggunakan tween 80, karena tween merupakan ester oleat dari
sorbitol dimana tiap molekul anhidrat sorbitolnya berkopolimerisasi dengan 20
molekul etilen oksida. Tween 80 larut dalam air dan etanol (95%), namun tidak larut
dalam mineral oil dan vehetable oil (Rowe, 2009).
Dalam pembuatan suppositoria tahap awal yang dilakukan yaitu
membersihkan alat yang akan di gunakan dengan menggunakan alkohol 70%.
Menurut Pratiwi (2008), alkohol 70% dapat mempercepat proses pembersihan alat
dari mikroorganisme. Selanjutnya dipanaskan air pada penangas air. Lalu ditimbang
bahan yang akan digunakan untuk membuat suppositoria. Selanjutnya pada
pembuatan suppositoria dimasukkan cetyl alkohol kedalam cawan porselin yang
diletakkan diatas penangas dan diaduk hingga melebur. Ditambahkan paracetamol
sedikit demi sedikit sambil diaduk. Kemudian ditambahkan gliserin, lalu diaduk
hingga homogen. Karena gliserin pada  umumnya  merupakan basis yang dapat
dibuat suppositoria rektal (Rowe, 2009).
Kemudian ditambahkan tween 80 sebanyak 3 tetes untuk meningkatkan
kelarutan dari sediaan suppositoria. Cetakan terlebih dahulu di olesi dengan
gliserin,tujuannya yaitu untuk mempermudah pada saat pengeluaran dalam cetakan,
menghindari sisa-sisa sediaan menempel pada cetakan (Ansel, 1989). Lalu
dituangkan sediaan yang telah tercampur kedalam cetakan, dan didinginkan sediaan
kedalam freezer. Dikeluarkan sediaan lalu dilakukan evaluasi. Pada sediaan
suppositoria terdapat beberapa evaluasi yaitu uji homogenitas, bentuk, uji waktu
hancur, keseragaman bobot, uji titik lebur, dan uji kerapuhan, kami melakukan
evaluasi dengan uji titik lebur, uji ini salah satu evaluasi pada sediaan suppositoria.
Uji titik lebur dilakukan untuk mengetahui titik lebur dari sediaan, teknik yang kami
lakukan yaitu dengan menggeser dari depan kebelakang gelas kimia yang berisi air
yang memiliki suhu 37˚C dan suppositoria,gerak ini diumpamakan seperti gerak
peristaltik dalam tubuh yaitu ditimbulkan oleh karena rangsangan sehingga terjadi
peregangan.peristaltik terjadi pada tractus gastrointerstinal, saluran empedu, ureter
dan saluran kelenjar lain diseluruh tubuh dan sebagian otot polos lain dalam tubuh
(Syaifuddin, 1997), dalam hal ini hasil yang kami dapatkan yaitu 10 menit pada suhu
37˚C, karena kisaran nilai normal suhu tubuh adalah 36,6-37,9˚C (Berman, 2009)
peristiwa melebur dapat ditentukan dengan atau ditentukan waktu leburnya, dimana
suppositoria melebur tanpa sisa atau meleleh dengan sempurna (Voight, 1971).
BAB VII
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
1. Pada formula A, B, dan C sediaan suppositoria untuk anak-anak lebih efektif
digunakan karena lebih cepat bereaksi di dalam tubuh.
2. Cara pembuatan suppositoria dengan zat aktif paracetamol dilakukan dengan
cara dileburkan setil alkohol diatas penangas air, ditambahkan sebagian
gliserin, ditambahkan paracetamol, ditambahkan sebagian gliserin dan
ditambahkan tween. Kemudian dimasukkan kedalam cetakan.
3. Evaluasi bentuk sediaan paracetamol, bentuk sediaan paracetamol dapat larut
pada suhu tubuh dengan rentang waktu 10 menit.
7.2 Saran
7.2.1 Saran Untuk Praktikum
Diharapkan agar dapat melaksanakan praktikum dengan baik dan sungguh-
sungguh, dan memperhatikan arahan dari asisten agar praktikum berjalan dengan
lancar.
7.2.2 Saran Untuk Praktikan
Diharapkan agar dapat menyusun laporan dengan baik dan sesuai dengan
prosedur yang ada, dan juga diharapkan agar praktikan lebih aktif pada saat
praktikum.
7.2.3 Saran Untuk Asisten
Diharapkan agar hubungan asisten dan praktikan bias terjalin degan baik serta
asisten dapat memberikan lebih banyak ilmu pengatahuan kepada praktikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700,
Jakarta, UI Press.

Berman A. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb, Alih Bahasa
Meiliya dkk, EGC, Jakarta

Chang, Raymond. 1998. Chemistry sixth edition. Boston: McGraw-Hill.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III, 378, 535, 612.
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV, 551, 713. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44


Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 271-288 dan 800-810,
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta : Kemenkes RI

Lewis. 2007. Medical Surgical Nursing, Assesment and Management of Clinical


Problem. Seventh Edition. Volume 2. St. Louis. Missouri. Mosby.Elsevier
INC

Machfoedz. 2007. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan dan


Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya

Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.


Pham, L.A, Hua, H. dan Chuong P. 2005. Free Radicals, Antioxidants in Disease and
Health. International Journal O Biomedical Science

Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The
Pharmaceutical Press, London.

Suryani. 2009. Hubungan Pengetahuan Dan Status Ekonomi dengan Status Gizi.
Jambi
Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Keperawatan, Edisi 2, Buku Kedokteran EGC.

Voight, R. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi V, 558-564, 570, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai