Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TERSTRUKTUR

MAKALAH ILMU DAN INDUSTRI TERNAK UNGGAS

REFORMASI PENGEMBANGAN INDUSTRI AYAM LOKAL DI INDONESIA DALAM MENOPANG


KETAHANAN PANGAN

Oleh :

NAMA: AGUS DARMANTO

NIM: D2A020024

PRODI: S2 ILMU PETERNAKAN

PENGAMPU: Prof. Dr. Ir. Elly Tugianti, MP

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PETERNAKAN

PURWOKERTO

2021

1|Page
DAFTAR ISI

Halaman

COVER ........................................................................................................ 1

DAFTAR ISI .................................................................................................. 2

I. PENDAHULUAN. .................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 3

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4

1.3 Tujuan ........................................................................................................... 4

II. METODE PEMECAHAN .......................................................................... 5

2.1 Identifikasi Permasalahan ........................................................................... 5

2.2 Gagasan Pemecahan Masalah...................................................................... 6

III. PEMBAHASAN ...................................................................................... 7

3.1 Potensi Pengembangan Ayam Lokal di Indonesia....................................... 7

3.2 Sistem Produksi dan Performa Ayam Lokal ................................................ 8

3.3 Strategi Reformasi Pengembangan Ayam Lokal dalam Menopang

Ketahanan Pangan....................................................................................... 11

IV. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17

2|Page
I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industri perunggasan memiliki beberapa peranan strategis dalam pemenuhan protein
hewani maupun dalam membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sampai saat
ini, Indonesia masih belum mampu menyediakan seluruh kebutuhan pangan hewani asal
ternak. Pemenuhan sumber protein hewani asal ternak seperti daging sapi sebagian besar
masih impor, sementara asal ternak unggas sudah mampu mandiri. Sekitar 60% kebutuhan
daging nasional disediakan oleh ternak unggas yang didominasi oleh ayam ras, sisanya
disumbang oleh produk unggas lokal yang berasal dari ayam lokal, puyuh, itik, maupun aneka
ternak unggas lainnya. Peranan ayam ras yang begitu dominan memiliki tingkat ketergantungan
terhadap impor begitu tinggi, baik impor bahan ransum, bibit, obat, dan teknologi sehingga
resiko terhadap kegagalan produksi juga sangat tinggi. Sedangkan ternak ayam lokal
mempunyai produktivitas lebih rendah, tetapi tingkat ketergantungan terhadap impor kecil. Hal
tersebut dikarenakan bibit ayam lokal berasal dari Indonesia dan telah beradaptasi dengan
lingkungan, sehingga mampu memanfaatkan bahan ransum lokal dan hasil samping pertanian
serta industri pertanian yang terdapat melimpah disekitarnya.

Potensi pengembangan ayam lokal di Indonesia saat ini masih sangat menjanjikan
seiring dengan meningkatnya permintaan dan konsumsi daging di masyarakat. Menurut
Kementan (2019), konsumsi daging ayam kampung di Indonesia pada tahun 2018 mencapai
0,73 kg/ kapita pertahun dibandingkan tahun 2015 sebesar 0,53 kg/ kapita pertahun. Adanya
permintaan yang tinggi terhadap komoditas ayam lokal sebagai ayam potong, tetapi tidak
diikuti dengan pengembangan ayam lokal yang komprehensif akan mengakibatkan
terganggunya populasi ayam lokal di Indonesia. Permasalahan lain dalam pengembangan ayam
lokal di masyarakat adalah skala usaha ayam lokal masih kecil (<10 ekor), produksi rendah,
mortalitas tinggi akibat adanya penyakit (virus ND dan avian influenza), biaya ransum tinggi,
dan dipelihara perorangan dengan sistem tradisional. Sementara itu, perhatian pemerintah
terhadap pengembangan ayam lokal di Indonesia masih belum optimal sehingga berdampak
pada populasi ayam lokal yang tidak berkembang dengan baik dibandingkan ayam ras.

3|Page
Populasi ayam lokal di Indonesia tahun 2020 sejumlah 308 juta ekor (Badan Pusat
Statistik, 2021). Besarnya populasi ayam lokal di Indonesia apabila diikuti dengan peningkatan
produktivitasnya, akan menjadi aset nasional yang tinggi nilainya. Di tengah kondisi ketahanan
pangan yang semakin terancam karena ketidakpastian di tingkat global, pemanfaatan sumber
daya genetik ternak lokal menjadi suatu keharusan untuk menjaga sistem penyediaan pangan
(protein hewani). Berdasarkan uraian masalah diatas maka penulisan makalah ini bertujuan
untuk menyampaikan strategi mengenai pengembangan peternakan ayam lokal dalam rangka
meningkatkan kemandirian pengadaan bahan pangan sumber protein hewani melalui
perbaikan manajemen dan ransum serta peningkatan kualitas ayam lokal dengan
mengandalkan sumber daya lokal dan berwawasan lingkungan untuk mengurangi
ketergantungan kebutuhan pangan terhadap luar negeri.

1.2. Rumusan Masalah

a) Seberapa besar potensi pengembangan industri ayam lokal di Indonesia dalam


menopang ketahanan pangan?

b) Bagaimanakah sistem produksi dan performa ayam lokal Indonesia?

c) Bagaimanakah strategi reformasi pengembangan industri perunggasan ayam lokal


dalam menopang ketahanan pangan?

1.3. Tujuan

a) Mengetahui potensi pegembangan industri ayam lokal di Indonesia dalam menopang


ketahanan pangan.

b) Mengetahui bagaimana sistem produksi dan performa ayam lokal di Indonesia.

c) Mengetahui strategi reformasi pengembangan industri perunggasan ayam lokal dalam


menopang ketahanan pangan.

4|Page
II METODE PEMECAHAN

2.1. Identifikasi Permasalahan

Industri peternakan unggas di Indonesia (broiler, petelur, puyuh, itik, dan lain-lain) dan
industri pendukungnya seperti pakan, obat, bibit, dan sebagainya sudah berkembang sangat
pesat, tetapi sebagian besar masih dikuasai oleh corporate. Produktivitas bahan baku untuk
pakan ternak di Indonesia belum memenuhi kebutuhan industri perunggasan. Kualitasnya juga
sering tidak memenuhi standar karena agronomi dan pascapanen yang tidak tepat sehingga
cemaran mikotoksinya tinggi. Menurut Westra (2009), kelangsungan usaha peternakan unggas
masih sangat bergantung pada impor sehingga sangat rentan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan, seperti:

a. Ketersediaan jagung, kedelai, SBM, MBM, tepung ikan, tepung darah, tepung bulu, dan
lain-lain (bahan pakan ternak) masih impor.

b. Kebutuhan bibit ternak unggas sebagian masih tergantung dari impor khusus grand-parent
(GP) stok.

c. Pemerintah juga masih mengimpor susu, daging sapi, dan sebagainya untuk pemenuhan
protein hewani.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki ketahanan pangan.


Ketahanan pangan hanya akan terjadi apabila kita sudah berdaulat atas pangan, kedaulatan
pangan pada gilirannya hanya mungkin terjadi apabila peternak menguasai faktor-faktor
produksi seperti lahan, tenaga kerja, modal, disamping faktor distribusi dan pemasaran.
Menurut peraturan pemerintah No. 68 Tahun 2002, konsep ketahanan pangan didefinisikan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah ataupun mutunya, aman, terjangkau, dan merata. Di tengah
kondisi ketahanan pangan yang semakin terancam karena ketidakpastian di tingkat global,
pemanfaatan sumber daya genetik ternak lokal menjadi suatu keharusan untuk menjaga
sistem penyediaan pangan (protein hewani). Pengembangan ayam lokal sangat berpotensi
untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani. Oleh karena itu, diperlukan suatu reformasi yang
berkelanjutan dan terukur untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia.

5|Page
2.2. Gagasan Pemecahan Masalah

Pengembangan industri perunggasan ayam lokal di Indonesia dalam rangka menopang


ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta kemandirian produksi
terdiri sebagai berikut:

a) Perbaikan sistem pemeliharaan dan manajemen ayam lokal

b) Spesialisasi dan peningkatan skala usaha ayam lokal

c) Pemanfaatan bahan ransum lokal Indonesia

d) Pemanfaatan tanaman herbal sebagai feed additive ransum

e) Memperbaiki kualitas bibit melalui program pemuliaan

f) Mengembangkan ayam lokal menjadi ayam komersial, dan

g) Pelestarian ayam lokal asli Indonesia.

6|Page
III PEMBAHASAN

3.1. Potensi Pengembangan Ayam Lokal di Indonesia

Populasi ayam lokal di Indonesia tahun 2020 sejumlah 308,477 juta ekor (Badan Pusat
Statistik, 2021). Besarnya populasi ayam lokal di Indonesia mempunyai peranan penting dalam
pemenuhan bahan pangan hewani asal ternak karena mampu menyumbang 23% kebutuhan
daging dan 40% kebutuhan telur. Usaha pengembangan ayam lokal mempunyai peluang yang
sangat luas ditinjau dari agroekosistem dan lingkungan hidup, seiring dengan pendapatan
maupun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kualitas dan kuantitas bahan pangan yang
bergizi dan aman untuk dikonsumsi (Elizabeth dan Rusdiana, 2012).

Tabel 1. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2016-2020

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021 (kementan)

Pengembangan ayam lokal dalam menopang ketahanan pangan asal ternak memiliki
prospek yang sangat baik. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kecenderungan peningkatan
permintaan ayam lokal dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa: (1) masih tingginya
preferensi masyarakat terhadap ayam lokal karena rasa daging yang khas, (2) terdapat
kecenderungan beralihnya pangsa konsumen tertentu dari produk berlemak ke daging yang
lebih organik, (3) dan terbukanya pangsa ayam lokal yang terlihat dari semakin banyaknya

7|Page
rumah makan yang menggunakan daging ayam lokal (Saptati dan Priyanti, 2005). Menurut
Widjastuti et al., (2015), potensi pengembangan unggas lokal khususnya ayam sangat terbuka,
apabila dilihat dari data total rumah tangga di Indonesia sebesar 52,9 juta dimana 25 juta
merupakan rumah tangga pertanian. Berdasarkan jumlah rumah tangga pertanian tersebut
60,9% merupakan rumah tangga peternakan dan 98% dari nya merupakan unggas lokal. Data
tersebut memberi gambaran bahwa ternyata hampir seluruh rumah tangga peternakan
memelihara unggas lokal yang merupakan usaha budidaya rakyat.

3.2. Sistem Produksi dan Performa Ayam Lokal

3.2.1. Sistem Produksi Ayam Lokal

Ayam lokal umumnya dipelihara oleh masyarakat di lingkungan pedesaan dengan pola
ekstensif. Pola ekstensif merupakan pola pemeliharaan dengan cara diumbar, dimana ayam
mencari pakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga peran pemilik sangat
minim. Pemilik hanya sesekali memberi makan dari sisa makanan keluarga dan mengadangkan
ayamnya pada malam hari. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, pemeliharaan
ayam lokal sudah dilakukan dengan sistem semi intensif yaitu pola pemeliharaan ayam lokal
yang dilakukan dengan cara terkurung terbatas. Ayam dikandang pada malam hari/ saat cuaca
lingkungan buruk dan ketika cuaca lingkunga baik maka ayam dibiarkan berkeliaran disekitar
pekarangan rumah. Sebagian kecil masyarakat yang tidak mempunyai pekarangan, sudah
memelihara ayam lokal dengan sistem intensif. Ayam dipelihara secara terkurung dan ransum
diberikan sesuai kebutuhan ayam, seperti yang dilakukan pada pemeliharaan ayam ras
(Suprijatna, 2010).

Ayam lokal mempunyai sifat mengeram dan mengasuh anak yang cukup tinggi seperti
unggas yang liar di alam. Bangsa unggas-unggas liar biasanya bertelur dalam periode (clutch),
jumlah telur yang dihasilkan setiap periode hampir seragam dalam spesies. Menurut suranjaya
(2016), bahwa pada pemeliharaan intensif dengan menghilangkan sifat mengerami telur dan
mengasuh anaknya dapat meningkatkan produksi telur sebanyak 110%. Gunawan (2006)
menambahkan bahwa pemeliharaan ayam lokal secara intensif efektif dalam menekan angka
kematian ayam dan dapat mengontrol sifat alamiah dari ayam lokal seperti kanibalisme dan

8|Page
megeram serta kebutuha pakan dapat diatur sedemikian rupa sehingga meningkatkan
pertumbuhan bobot badan dan memperpendek masa pelihara. Selain itu, pemeliharaan ayam
secara intensi melalui perbaikan manajemen pemeliharaan (kandang, ransum, dan vaksinasi),
serta peningkatan skala usaha akan menghasilkan tambahan pendapatan bagi peternak yang
lebih besar.

Produktivitas ayam lokal pada berbagai kondisi lingkungan pemeliharaan relatif tidak
berbeda, seperti halnya ayam lokal yang dipelihara petani di Pulau Jawa, produksi telur masih
rendah dan berkisar antara 30-60 butir/tahun. Produksi telur rata-rata berkisar antara 10-15
butir/periode bertelur dan daya tetas 20-100%, periode istirahat bertelur sekitar 3-4 kali
setahun. Produktivitas ayam lokal yang dipelihara pada berbagai jenis lingkungan tidak
berbeda, karena lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Rendahnya produksi
disebabkan oleh lamanya mengasuh anak dan istirahat bertelur. Menurut Suprijatna (2010),
gambaran mengenai berbagai permasalahan yang berakibat pada rendahnya produktivitas
ayam lokal di berbagai daerah digambarkan pada ilustrasi berikut:

Ilustrasi 1: Hubungan sebab akibat permasalahan perkembangan ayam lokal

9|Page
3.2.2. Performa Ayam Lokal

Ayam lokal mempunyai laju pertumbuhan yang relatif lambat apabila dibandingkan
dengan ayam ras. Ayam lokal mempunyai keragaman yang cukup tinggi, dimana berdasarkan
bobot badan digolongkan menjadi ayam lokal tipe ringan dan tipe medium. Ayam lokal tipe
ringan merupakan ayam yang mempunyai bobot badan sekitar 1,5 kg pada usia dewasa (>24
minggu) dan tipe ayam medium mempunyai bobot badan sekitar 2,5 kg saat mencapai dewasa.
Produksi telur ayam lokal yang dipelihara oleh masyarakat pedesaan sangat beragam, baik
antar jenis, antar individu dalam jenis sama dan antar daerah. Produksi ayam lokal selama
setahun hanya berkisar 30-60 butir. Selain itu, dewasa kelamin ayam lokal juga lebih lambat
dibandingkan ayam ras. Ayam lokal mempunyai dewasa kelamin pada umur sekitar 6-7 bulan
(Suprijatna, 2010).
Salah satu penyebab rendahnya produksi telur pada ternak ayam lokal adalah adanya
sifat mengeram, sifat ini menurun karena diproduksinya hormon prolaktin. Meningkatnya
sekresi hormon ini menyebabkan ayam berhenti bertelur, akan tetapi sifat ini dapat dihilangkan
dengan perbaikan mutu genetis karena adanya cekaman. Sistem pemeliharaan ayam kampung
secara ekstensif tradisional di pedesaan dengan membiarkan ayam mencari pakan sendiri dan
mengerami telur serta mengasuh anaknya mengakibatkan produktivitas ayam lokal menjadi
rendah. Waktu pengeraman yang dibutuhkan yaitu 21 hari dan mengasuh 50-157 hari,
kemudian setelah penyapihan anak diperlukan waktu selama 11-37 hari untuk produksi telur
kembali. Hal ini berarti dalam satu siklus produksi yang dimulai dari bertelur, mengeram,
mengasuh anak, sapih, dan mulai bertelur kembali memerlukan waktu 5 bulan sehingga dalam
satu tahun hany 2-3 kali produksi dengan jumlah telur 30-60 butir (Sinurat, et al, 1992).
Pemeliharaan ayam lokal yang dilakukan dengan sistem tradisional akan menyababkan
ayam lokal tidak berkembang dengan baik. Bobot badan ayam lokal umur sapih (107 harI)
sekitar 412 gram, bobot badan umur 20 minggu ayam lokal jantan 1062,4 g, ayam lokal betina
926,58 gram, dengan tingkat kematian 69,45%. Waktu mengasuh anak yang panjang
menyebabkan produktivitas ayam lokal rendah, disamping faktor lain seperti bibit, pakan, dan
manajemen pemeliharaan. Karkas yang dihasilkan pada ayam lokal juga masih rendah (60%),
selain karena faktor pemeliharaan yang masih tradisional juga karena faktor bibit serta motivasi

10 | P a g e
peternak. Oleh karena itu, program-program pemuliaan ayam lokal sangat perlu dilakukan
secara optimal dan kontinyu agar dapat memberikan sumbangan dalam peningkatan gizi
masyarakat dan peternak terutama dalam pemenuhan protein hewani asal ternak unggas
(Juarini, et al., 2004).

3.3. Strategi Reformasi Pengembangan Industri Perunggasan Ayam Lokal dalam Menopang
Ketahanan Pangan

Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan
efisiensi pemeliharaan ayam lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ketahanan
pangan serta kemandirian produksi pangan, bahkan menjadi komoditas ekspor unggulan adalah
sebagai berikut:

3.3.1. Perbaikan Sistem Pemeliharaan dan Manajemen

Manajemen pemeliharaan ayam lokal yang dilakukan secara tradisional harus diubah
ke dalam pemeliharan intensif. Adanya wabah avian influenza yang banyak terjadi pada ayam
dan mengakibatkan kematian pada manusia, maka menjadi pembelajaran bahwa harus ada
sebuah reformasi peternakan ayam lokal. Pemeliharaan ayam lokal yang biasanya dilakukan
secara tradisional, bebas berkeliaran maka perlu dilakukan pembatasan pemeliharaan secara
terkurung agar memudahkan dalam mengontrol status kesehatannya. Selain itu, dengan
melakukan pemeliharaan secara intensif maka akan menekan tingkat kematian, mengontrol
sifat buruk ayam lokal (mengeram dan kanibalisme), serta kebutuhan ransum untuk
pertumbuhan dan produksi telur dapat dicukupi.

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi telur pada pemeliharaan
ayam lokal adalah karena adanya sifat mengeram yang kuat. Penghilangan sifat mengeram
perlu dilakukan secara genetis seperti ayam ras untuk memperbaiki produktifitasnya. Selain
sifat mengeram, sifat agresif pada ayam lokal masih sangat tinggi, terutama pada ayam jantan.
Sifat agresif akan muncul secara alamiah pada pemeliharaan ekstensif sehingga perlu
dihilangkan karena apabila dilakukan pemeliharaan akan sangat merugikan. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara seleksi maupun penggunaan kandang liter dan penggunaan ransum
dengan serat kasar tinggi serta dengan mengurangi kepadatan ayam dalam kandang dan

11 | P a g e
membuat kondisi kandang tidak terlalu terang. Cahaya yang diberikan cukup dengan cahaya
redup untuk membantu proses konsumsi pakan. Seleksi dilakukan secara rutin untuk
menghilangkan sifat kaibalisme sehingga mortalitas akan berkurang dan produksi telur
meningkat (Cheng dan Muir, 2007).

3.3.2. Spesialisasi dan Peningkatan Skala Usaha

Model pengembangan ayam lokal yang telah dilakukan selama ini belum sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, sehingga pemeliharaan ayam lokal sebagian besar masih
dilakukan secara tradisional/ umbaran dengan skala kecil. Pengembangan ayam lokal harus
menerapkan skala agribisnis, dimana peternak harus memilih spesialisasi tujuan usaha antara
telur dan daging secara terpisah, meningkatkan skala usaha dan terintegrasi. Pemeliharaan
ayam lokal sebagai penghasil daging/telur secara intensif melalui perbaikan manajemen
pemeliharaan (ransum, vaksinasi, perkandangan), peningkatan skala usaha dan permodalan
dapat menghasilkan tambahan pendapatan bagi peternak yang lebih besar. Spesialisasi ini
utamanya dapat dilakukan pada daerah sekitar kota besar dan kecil. Spesialisasi usaha ayam
lokal berupa usaha sebagai berikut: usaha penetasan telur, perbibitan untuk menghasilkan telur
tetas, telur konsumsi, pembesaran sebagai ayam bibit/ ayam potong.

3.3.3. Pemanfaatan Bahan Ransum Lokal

Pemeliharaan ayam secara intensif akan memerlukan biaya yang cukup besar karena
penyediaan semua bahan baku produksi berasal dari peternak. Komponen produksi yang paling
banyak menghabiskan biaya dalam pemeliharaan ternak secara intensif adalah ransum pakan
sebesar 60-70% dari total biaya produksi. Keterbatasan ransum dalam negeri mengakibatkan
Indonesia harus melakukan impor dari luar negeri seperti jagung, tepung ikan, tepung bungkil
kedelai, tepung daging, dan tepung tulang. Untuk itu perlu adanya langkah-langkah
peningkatan penyediaan ransum. Salah satu upaya yang dimaksud adalah integrasi dan
diversifikasi lahan pertanian, termasuk perkebunan maupun pemanfaatan produk samping
industri pertanian secara optimal. Sentuhan tekhnologi akan sangat membantu
mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping pertanian dan industri pertanian sebagai sumber
ransum alternatif. Menurut Ratnawati, et al., 2004), tiap daerah memiliki potensi bahan ransum

12 | P a g e
lokal berbeda, sehingga masing-masing peternak harus belajar menyusun bahan ransum lokal
setempat untuk menekan biaya produksi. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum bahan tersebut digunakan seperti: jumlah ketersediaan, kontinuitas
pengadaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta
perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai ransum ternak.

3.3.4. Pemanfaatan Tanaman Herbal sebagai Feed Additive Ransum

Pemanfaatan tanaman herbal dapat dimanfaatkan dalam budidaya ayam lokal,


umumnya tanaman tersebut digunakan sebagai feed additive untuk meningkatkan performa
dan kesehatan ayam sehingga menghasilkan produk ayam lokal yang lebih baik kualitasnya dan
aman. Berbagai tanaman herbal yang sudah digunakan turun temurun dan dipercaya
khasiatnya untuk kesehatan antara lain: lempuyang, kencur, kunyit, lidah buaya, temu lawak,
bawang putih, daun katuk, sambiloto, beluntas, dan limbah buah merah. Salah satu tanaman
herbal yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan performa dan kesehatan ayam adalah
serbuk daun Sambiloto (Andrographis Paniculata) (Ulfah dan Natsir., 2008).
Sambiloto (Andrographis Paniculata) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang
banyak di gunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat Indonesia (Sikumalay, et al.,
2016). Sambiloto (Andrographis Paniculata) digunakan sebagai obat infeksi saluran pencernaan,
diare, infeksi saluran pernafasan, demam, dan batuk. Khasiat Sambiloto (Andrographis
Paniculata) telah diketahui karena sifat antimikrobial yang dimiliki oleh komponen aktif
penyusunnya yaitu Andrographolide. Neoandrographolide, Deoxyandrographolide,
Deoxyandrographolide-19-b-D-Glukosa, dan Dehydroandrographolide. Selain komponen utama
tersebut terdapat juga senyawa lain seperti saponin, flavonoid, alkaloid, dan tannin (Royani, et
al., 2014). Rahayu dan Budiman (2006) menambahkan bahwa pemanfaatan tanaman herbal
mampu meningkatkan performa dan kesehatan ayam, akan tetapi masih sangat sedikit
informasi mengenai level optimum penggunaanya dalam campuran ransum ayam lokal.

3.3.5. Memperbaiki Kualitas Bibit Ayam Lokal


Ayam lokal harus diperbaiki kualitasnya untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan
meningkatkan efisiensi reproduktifnya. Peningkatan kualitas harus memperhatikan karakteristik

13 | P a g e
asli dari ayam lokal seperti warna bulu, bentuk jengger, bentuk tubuh, warna cakar dan lainnya
seperi citarasa daging, tekstur daging, bentuk telur, warna kerabang sehingga perlu melakukan
persilangan dan seleksi. Persilangan yang dilakukan adalah antara ayam lokal dengan galur
ayam lokal yang telah diseleksi untuk tujuan pertumbuhan cepat dan produksi telur yang tinggi.
Seleksi dan persilangan ayam lokal akan menghasilkan performa dengan karakteristik ayam
lokal tetap terjaga. Terjaganya karakteristik ayam lokal yang tetap nampak pada ayam lokal
yang telah diperbaiki kualitasnya akan meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk-
produk tersebut. Menurut Khan (2008), persilangan antara ayam lokal dengan eksotis akan
menghasilkan keturunan yang mempunyai performa optimal, tetapi disisi lain sering muncul
karakterisik yang berubah, berbeda dengan ayam lokal sehingga mengurangi preferensi
konsumen. Persilangan ayam lokal dengan ayam eksotis mampu meningkatkan bobot badan
dan ukuran telur ayam lokal, serta meningkatkan 24-45 butir telur.

3.3.6. Mengembangkan Ayam Lokal Menjadi Komersial

Ayam lokal harus dikembangkan menjadi ayam komersial seperti ayam ras. Hal
tersebut dapat dilakukan secara bertahap dengan cara pemurnian ayam-ayam lokal untuk
memperoleh sifat produksi yang ekonomis sehingga dapat mengganti peran ayam ras.
Pegembangan ayam lokal seperti yang telah dilakukan sebelumnya, perlu digalakkan lagi
disertai dengan pendampingan di lapangan oleh instansi terkait baik dari litbang dan penyuluh
pertanian. Disamping itu, pengembangan ayam lokal perlu didukung dengan permodalan
dengan ketentuan yang ringan seperti subsidi bunga dan sejenisnya sangat dibutuhkan. Aturan-
aturan perlu diperhatikan terutama dalam pemberian subsidi bunga hendaknya sama dengan
pemberian kredit komersial, bedanya adalah adanya subsidi/keringanan bunga.

3.3.7. Pelestarian Ayam Lokal

Keanekaragaman ayam lokal merupakan aset nasional yang dapat digunakan sebagai
sumber genetis untuk pembentukan ayam unggul. Potensi ayam lokal sampai saat ini masih
belum dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut dapat dilihat oleh adanya kepunahan ayam
lokal sebelum potensinya genetiknya diketahui. Kepunahan tersebut terjadi karena ayam
tersebut sudah jarang dipelihara oleh petani, akibat mereka beralih memelihara ayam ras/

14 | P a g e
ayam lokal lainnya yang lebih unggul dan mempunyai produktivitas tinggi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pelestarian ayam lokal dengan cara memelihara secara terbatas beberapa galur
ayam lokal yang telah dikenal secara insitu maupun exsitu dan membuat semen beku untuk
bebrapa galur yang belum teridentifikasi dan hampir punah. Menurut Iskandar (2005), upaya
pelestarian ayam lokal dengan pembekuan semen telah dicoba dilakukan oleh Balai Penelitian
Ternak Bogor pada ayam Arab, Pelung, Sentul, dan Kedu. Akan tetapi, hasil yang didapatkan
kurang memuaskan hanya mencapai daya hidup 30% dan motilitas 20-30% pada spermatozoa
yang di bekuthawingkan.

15 | P a g e
IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Peternakan unggas merupakan sumber utama bagi pemenuhan kebutuhan pangan


asal protein hewani. Peternakan ayam ke depan akan menjadi tumpuan utama dalam
menyediakan bahan pangan sumber protein hewani. Industri perunggasan diharapkan hanya
bertumpu pada ayam ras karena ayam ras sangat tergantung pada luar negeri dalam
penyediaan sarana produksi (bibit, ransum, obat, dan teknologi) serta penyebaran produk ayam
ras belum mampu menjangkau wilayah pelosok terpencil. Oleh karena itu, ayam lokal
mempunyai peran strategis dalam menyediakan bahan pangan hewani. Kemandirian pangan
hewani asal unggas lokal dapat tercapai melalui beberapa strategi yaitu melalui perbaikan
sistem pemeliharaan dan manajemen ayam lokal, spesialisasi dan peningkatan skala usaha
ayam lokal, pemanfaatan bahan ransum lokal Indonesia, pemanfaatan tanaman herbal sebagai
feed additive ransum, memperbaiki kualitas bibit melalui program pemuliaan, mengembangkan
ayam lokal menjadi ayam komersial, dan pelestarian ayam lokal asli Indonesia.

4.2. Saran

Penulis berharap pengembangan ayam lokal bisa menjadi prioritas pemerintah


sehingga dapat menjadi penopang sumber protein hewani untuk masyarakat indonesia.

16 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2021. Populasi Ayam Lokal di Indonesia. Kementerian Pertanian.

Cheng, H.W., and W.M. Muir. 2007. Mechanism of aggression and production in chicken:
genetic variations in the functions of serotonin, catecholamine, and corticosterone.
World’s Poult.Sci.J. 63: 233-254.

Elizabeth, R., & Rusdiana, S. 2012. Perbaikan Manajemen Usaha Ayam Kampung Sebagai Salah
Satu Sumber Pendapatan Keluarga Petani di Pedesaan. Workshop Nasional Unggas
Lokal. 12-14.

Gunawan. 2006. Evaluasi model pengembangan ayam buras di Indonesia : kasus di Jawa Timur.
Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Hal 260-
271.

Iskandar, S, Setioko, AR, Sopiyana, S, Sartika, T, Saepudin, Y, Wahyu, E, Hernawati, R & Mardiah,
E. 2004. Konservasi in-situ Ayam Pelung, Ayam Sentul dan Ayam Kedu dan karakterisasi
sifat kuantitatif dan kualitatif Ayam Sedayu, Wareng dan Ciparage (In-situ conservation
for Pelung chickens, Sentul chickens and Kedu chickens and quantitative and qualitative
characteristics of Sedayu, Wareng and Ciparage chickens), Balai Penelitian Ternak,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor,
Indonesia

Juarini. F. Sumanto dan D. Zainuddin. 2008. Pengembangan Ayam Lokal dan Permasalahannya
di Lapangan. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal: Bogor.

Kementerian Pertanian. 2019. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan : Jakarta.

Khan, A.G., 2008. Indigenous breeds, crossbreeds and synthetic hybryds with modified genetic
and economic profiles for rural family and small scale poultry farming in India. World’s
Poultry ,Sci. 64(3): 405-415.

Rahayu,H.S., I. dan C . Budiman. 2006. Pemanfaatan Tanaman Tradisional Sebagai Feed Additive
Dalam Upaya Menciptakan Budidaya Ayam Lokal Ramah Lingkungan. Prosidings
Lokakarya ,Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Bogor. Hal : 126-131.

Ratnawaty, S., D.K. Haui, J. Nuliki dan E. Handiwirawan. 2006. Perbaikan manajemen
pemeliharaan dalam menunjang pengembangan ayam buras lokal di Nusa Tenggara
Timur. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Hal : 228-236

Royani, J. I., D. Hardianto, dan S. Wahyuni. 2014. Analisa Kandungan Andrographolide pada
Tanaman Sambiloto (Andrographis Paniculata) dari 12 Lokasi di Pulau Jawa. Jurnal
Biotekhnologi dan Biosains Indonesia. Volume 1. No. 1. ISSN-2442

17 | P a g e
Saptati, R.A. dan A. Priyanti. 2006. Pendekatan ekonomi usaha ternak ayam lokal pada
peternakan rakyat. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal.
Hal 205-217.

Sinurat, A.P., Santoso, E. Juarini, Sumanto, T. Murtisari dan B. Wibowo. 1992. Peningkatan
produktivitas ayam buras melalui pendekatan sistem usaha tani pada peternak kecil.
Ilmu dan Peternakan. Vol 2 No 2.

Suprijatna, E. 2010. Strategi Pengembangan Ayam Lokal Berbasis Sumber Daya Lokal dan
Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Unggas Lokal ke IV. ISBN 978-979-097-000-7

Suranjaya, I.G. 2016. Sifat-sifat Produksi dan Upaya Perbaikan Mutu Genetik Ayam Kampung.
Universitas Udayana: Denpasar.

Ulfah, M. dan M. H. Natsir. 2008. Pemanfaatan Sambiloto, Andrographis Paniculata Ness


sebagai Aditif Pakan untuk Meningkatkan Performan Ayam Pedaging. Jurnal IIPB. Vol.
18. No. 1 : 11-24.

Westra, P. 2009. Reformasi Industri Perunggasan Menuju Ketahanan Pangan (Protein Hewani)
Bagi Masyarakat Miskin di Jawa Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 7.
No.3. Hlm: 223-230.

Widyastuti, T., I. Y. Asmara, dan A. Anang. 2015. Pengembangan Ayam Lokal di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional: Pengembangan Ayam Lokal di Indonesia.

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai