1. Berkekuatan pada hukum yang sama dengan Grosse putusan Hakim didalam perkara perdata
yang tidak dapat diajukan banding lagi pada Hakim atasan.
2. Sifatnya pada berkekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde).
3. Mempunyai fungsi yang ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak (pada biaya-
biaya penagihan).
Apabila pajak yang terutang, tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 kali 24 jam (2 X 24
jam) sesudah tanggal pemberitahuan SURAT PAKSA kepada penanggung pajak, pejabat
segera mengeluarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Pada setelah disita, apabila penanggung pajak belum melunasi kewajibannya, maka
lewat 14 (empatbelas) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
(SPMP) Pejabat menerbitkan/buat pengumuman lelang 14 hari setelah pengumuman lelang
WP/PP tidak melunasi utang/kewajiban pajaknya, maka kepada KPP mengajukan permohonan
tertuju kepada Kepala Kantor Lelang Negara agar dilaksanakan lelang.
Pada hal tersebut tentu berbeda dengan penagihan pajak menggunakan surat paksa yang
jelas ditulis menetapkan tanggal jatuh tempo bagi penanggung pajak untuk supaya melunasi
utang pajaknya.
Selanjutnya, jika kita melihat pada Pasal 7 ayat (1) UU PSPP, surat paksa memiliki
kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan pajak
yang ditetapkan berkekuatan hukum tetap.
Surat paksa memiliki kekuatan hukum yang sama seperti dengan grosse putusan hakim
dalam perkara perdata sehingga terhadap surat paksa tidak dapat diajukan banding kepada
hakim. Terlebih,pada surat paksa juga dapat memiliki sifat in kracht van gewijsde yang artinya
telah berkekuatan hukum yang sudah pasti.
Maka dari itu,dari segi sifatnya,pada surat paksa memiliki sifat yang dilihat cenderung
lebih kuat serta lebih memaksa ketimbang upaya pada penagihan pajak sebelumnya yang
tertulis dalam jatuh tempo. Hal ini dikarenakan kedudukannya setara dengan putusan hakim.
Surat paksa bisa langsung dilakukan tanpa ada bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat
diajukan banding.
Namun jika kita melihat dari bentuknya, surat paksa tidak jauh berbeda dengan surat
perintah penagihan seketika dan sekaligus. Pada dasarnya,pada surat perintah penagihan
seketika dan sekaligus termuat hal-hal yang tidak jauh berbeda dari surat paksa, yakni:
a. nama wajib pajak, atau nama wajib pajak dan penanggung pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar; dan
d. saat pelunasan pajak.
Sementara itu, mengenai bentuk dan isi dari surat paksa sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU PSPP, surat paksa harus dikepalai dengan kalimat "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Pada surat paksa setidaknya harus memuat beberapa informasi atau data, antara lain
nama wajib pajak sendiri atau nama wajib pajak dan penanggung pajak; dasar biaya penagihan;
besarnya kewajiban utang pajak; dan perintah untuk melakukan membayar.
Berdasarkan diatas, perbedaan surat paksa dengan surat perintah penagihan seketika
dan sekaligus adalah surat paksa harus memuat fundamental dilakukannya penagihan dengan
surat paksa.
Hal tersebut dilakukan untuk mempertegas dan memperjelas penanggung pajak yang
bersangkutan telah diberi teguran, peringatan atau terhadapnya telah diberikan surat perintah
penagihan seketika dan sekaligus, sehingga telah layak untuk diberikan kepadanya surat paksa.
Jika sisi fungsi, surat paksa bisa/dapat digunakan pada menagih semua jenis pajak
apapun, baik itu pajak di tingkat pusat maupun yang ada pada di tingkat daerah. Selain itu,
surat paksa juga memiliki fungsi ganda, yaitu bisa digunakan untuk menagih pajak dan
menagih yang bukan pajak seperti biaya-biaya penagihan.
Dalam praktiknya, penagihan pajak dengan surat paksa dapat dilanjutkan dengan
tindakan yang lebih keras, seperti penyitaan, penyanderaan, atau pencegahan apabila
penanggung pajak yang bersangkutan masih belum/lama juga membayar utang pajaknya
sampai batas waktu yang ditentukan.
Jika kita memperhatikan rumusan awal pade kedua undang-undang perpajakan (UU
KUP dan UU PPSP), dapat diformulasikan hak mendahulu negara atas pembayaran utang pajak
dengan ciri karakteristik dibawah ini :
2. Meliputi pokok pajak, sanksi pada administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak.
3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya tetapi tidak
bersifat absolute/ mutlak karena dapat masih terdapat pengecualian yaitu terhadap :
a. Biaya perkara yang ada semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
4. Adanya larangan bagi kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan, membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran, atau
likuidasi, kepada para pihak pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan
harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak.
5. Adanya daluarsa hak mendahulu yaitu pada setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun.
Dari penelusuran rumusan hak mendahulu negara atas pembayaran utang pajak tersebut
di atas, ternyata kesalahan Pembentuk Undang-Undang (DPR) terdahulu yang tidak
memperjelas pengertian kedudukan negara sebagai kreditur preferen, kemudian terus menerus
diikuti oleh DPR berikutnya.
Dapat disepakati pendapat Tunggul Ansari S.N, yang telah mensyaratkan hal-hal yang
harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang agar undang-undang pajak senantiasa
memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, yaitu :
2. Definisi arti harus jelas dan tegas supaya tidak diselundupi hukum;
3. Memberikan penafsiran yang otentik dan jelas pada Pasal 1, jangan memberikan penafsiran
pada penjelasan karena masih dapat ditafsirkan lagi;
4. Uraian yang limitatif lebih diutamakan dari pada yang enusiatif kata-kata seperti,
diantaranya, antara lain, harus dihindari;
8. Adanya kepastian mengenai jumlah pajak yang harus dibayar. Bila tarif dibuat golongan-
golongan, maka harus pasti;