1. Sumber formal (asli), yaitu berasal dari wahyu (syariat), baik berasal dari
nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah;
2. Sumber assesoir (tambahan), yaitu berasal dari ijtihad para fuqaha, seperti
ijma’, qiyas, dan lainnya.
1. Al-Qur’an
1
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
hlm. 167.
2
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
hlm. 168-170.
b. Al-Ahkam Al-‘Amaliyyah merupakan hukum-hukum yang berkaitan
dengan amaliah praktis sehari-hari yang meliputi masalah ibadah sampai
masalah kemasyarakatan yang dibahas secara detail dalam ilmu syariat
atau ilmu fiqh.
c. Al-Ahkam Al-Akhlaqiyyah adalah hukum yang berkaian dengan etika dan
moral yang kerap dibahas dalam ilmu akhlak dan ilmu tasawuf.
2. As-Sunnah
3
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
hlm. 183.
bin Hanbal, dari ‘Aisyah r.a. tentang tidak batal wudu karena
persentuhan kulit, yang artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW
mencium salah seorang istrinya, lalu beliau shalat tanpa wudhu
lagi.”
c. Hadis taqririyah, yakni berupa perbuatan sahabat yang diketahui
oleh Rasul, tetapi beliau tidak melakukannya dan tidak pula
melarangnya. Contohnya dapat dilihat pada hadis riwayat Abu
Dawud, yang menurut Ad-Daruqutni termasuk sahih, yaitu tentang
tidak batalnya wudhu karena mengantuk sebagaimana “Pada
zaman Rasul, para sahabat menunggu datangnya waktu shalat Isya
hingga kepala mereka tertunduk (mengantuk), kemudian mereka
shalat dan tidak berwudhu lagi).
3. Ijtihad Nabi
4
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.
172.
B. Pemegang Kekuasaan Kehakiman Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Semasa hidupnya, Rasulullah dianggap sebagai figur ideal dalam
menyelesaikan segala persoalan5. Pada masa Rasulullah, kekuasaan
kehakiman atau tasyri’, yaitu pembentukan kekuasaan perundang-undangan
berada pada tangan Rasulullah SAW sendiri. Nabi Muhammad berperan
sebagai hakim6 dalam menjawab perselisihan, segala pertanyaan atau
permintaan fatwa yang langsung diserahkan kepada Rasulullah untuk
selanjutnya Rasulullah memberi fatwa untuk menuntaskan perselisihan dan
juga sengketa dengan menggunakan dasar nash serta ijtihad7.
Pada masa Nabi Muhammad, kekuasaan legislatif adalah Allah dan
dijabarkan oleh Nabi dalam sunahnya, baik perkataan, perbuatan maupun
pengakuannya terhadap perbuatan sahabat. Namun ketika itu belum ada
peraturan yang secara tertulis selain Al-Qur’an, sehingga seluruh aktivitas dan
penjabaran Nabi Muhammad terdapat Al-Qur’an belum lagi terkodifikasi 8.
Sehingga dapat diperjelas bahwa posisi Nabi disini sebagai penjelas terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global dan umum dimana otoritas
yang membuat hukum adalah Allah SWT.
5
Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.8.
6
Mudzakkir Khotib Siregar, Legislasi dan Kodifikasi Hukum Islam, el Qonuniy, Vol. 2,
No. 1, 2016, hlm. 6.
7
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.
183.
8
Budiarti, Studi Siyasah Syar’iyab Terhadap Konsep Legislatif dalam Ketatanegaraan
Islam, Zawiyah, Vol. 3, No. 2, 2017, hlm. 45.