Anda di halaman 1dari 15

BAB II

HERBAL ANTI HIPERTERMIA


2.1.1 Bawang Merah
Bawang merah merupakan tanaman semusim dan memiliki umbi yang
berlapis. Tanaman ini mempunyai akar serabut, dengan daun berbentuk silinder
berongga. Umbi terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang
yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk umbi berlapis. Umbi
bawang merah terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu.
Tinggi tanaman berkisar antara 15-25 cm (Damayanti, 2020).
Ditinjau dari kandungan gizinya, bawang merah bukanlah merupakan sumber
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, atau mineral. Namun, komponen-komponen
tersebut ada di dalam bawang merah walaupun dalam jumlah yang sedikit. Komponen
lainnya, seperti minyak atsiri, juga terkandung di dalam umbi bawang merah.
Kompenen tersebutlah yang sering dimanfaatkan sebagai penyedap rasa makanan,
bakterisida, fungisida, dan berkhasiat untuk obat-obatan (Cahyaningrum, 2017).
Adapun klasifikasi bawang merah secara rinci dalam Pasaribu (2017), sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spematophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonal
Ordo : Liliaceae
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium cepa var. ascalonicum

Gambar 1. Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum)


Sumber: Susanti (2015)
2.1.2 Kandungan Zat Aktif Bawang Merah
Bawang merah mempunyai efek herbal lavon glikosida yang mempunyai sifat
antiradang dan antibakteri. Kandungan kuersetin berkhasiat hipoglikemik, penurun
gula darah. Kandungan saponin digunakan untuk mencegah penggumpalan darah.
Jika umbi bawang merah diparut dan dicampur dengan minyak dapat untuk
menurunkan panas. Bawang merah diparut dan dicampur dengan rimpang kencur dan
bahan herbal yang lain dapat digunakan untuk mengobati penyakit batuk. Bawang
merah juga berpotensi untuk memblokir kehadiran senyawa karsinogenik (zat
pencetus kanker). Senyawa organosulfur dalam umbi berperan aktif sebagai zat
kemopreventif pada sel kanker. Kandungan minyak dalam umbi bawang merah
memiliki aktivitas antidiabetes, hipoglikemik, dan hipokolesterol (Mulyani,
Widyastuti dan Ekowati, 2016).
Menurut Damayanti (2020), bawang merah mengandung bahan-bahan aktif yang
mempunyai efek farmakologis terhadap tubuh. Beberapa bahan aktif yang berguna
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Allisin dan alliin
Senyawa ini bersifat hipolipidemik, yaitu dapat menurunkan kadar kolesterol
darah. Menurut dr. Widjaja Kusuma (1991), mengkonsumsi satu siung bawang
merah segar dapat meningkatkan kadar kolesterol “baik” atau HDL (High
Density Lipoprotein) sebesar 30%. Senyawa ini juga berfungsi sebagai
antiseptic, yaitu menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Allisin dan alliin
diubah oleh enzim allisin liase menjadi asam piruvat, ammonia, dan allisin
antimikroba yang bersifat bakterisidal (dapat membunuh bakteri) (Damayanti,
2020).
b. Flavonoid
Bahan aktif ini dikenal sebagai antiinflamasi atau antiradang. Jadi, bawang
merah bisa digunakan untuk menyembuhkan radang hati (hepatitis), radang
sendi (arthritis), radang tonsil (tonsillitis), radang pada cabang tenggorokan
(bronchitis), serta radang anak telinga (otitis media). Flavonoid juga berguna
sebagai bahan antioksidan alamiah, sebagai bakterisida, dan dapat
menurunkan kadar kolesterol “jahat” atau LDL (Low Density Lipoprotein)
dalam darah secara efektif (Damayanti, 2020).
c. Alil profil disulfide
Seperti flavonoid, senyawa ini juga bersifat hipolipidemik atau mampu
menurunkan kadar lemak darah. Khasiat lainnya yaitu sebagai antiradang.
Kandungan sulfur dalam bawang merah sangat baik untuk mengatasi reaksi
radang, terutama radang hati, bronchitis, maupun kengesti bronchial
(Damayanti, 2020).
d. Fitoterol
Fitosterol adalah golongan lemak yang hanya bisa diperoleh dari minyak
tumbuh-tumbuhan atau yang lebih dikenal sebagai “lemak nabati”. Jenis
lemak ini cukup aman untuk dikonsumsi, termasuk oleh para penderita
penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, penggunaannya justru akan
menyehatkan jantung (Damayanti, 2020).
e. Flavonol
Senyawa ini bersama kuersetin dan kuersetin glikosida, memiliki efek
farmakologis sebagai bahan antibiotic alami (natural antibiotic). Hal ini
dikarenakan kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan virus dan
bakteri. Senyawa ini juga mampu bertindak sebagai antikoagulan dan
antikanker (Damayanti, 2020).
f. Kalium
Salah satu unsur penting dalam kandungan gizi bawang merah dan terdapat
dalam jumlah besar adalah kalium. Menurut Food and Nutrition Research
Center, Manila (1964), kandungan unsur kalium dalam bawang merah biasa
lebih tinggi daripada bawang bombay, masing-masing 334 mg dan 102 mg
dalam setiap 100 gram. Kalium berperan dalam mempertahankan
keseimbangan elektrolit tubuh. Unsur ini juga bermanfaat untuk menjaga
fungsi saraf dan otot (Damayanti, 2020).
g. Pektin
Sama seperti flavonoid, pektin bersifat menurunkan kadar kolesterol darah
(hipolipidemik). Senyawa ini juga mempunyai kemampuan mengendalikan
pertumbuhan bakteri (Damayanti, 2020).
h. Saponin
Saponin termasuk senyawa penting dalam bawang merah, yang memiliki
cukup banyak khasiat. Senyawa ini terutama berperan sebagai antikoagulan,
yang berguna untuk mencegah penggumpalan darah. Saponin juga dapat
berfungsi sebagai ekspektoran, yaitu mengecerkan dahak (Damayanti, 2020).
i. Tripropanal sulfoksida
Ketika umbi bawang merah diiris atau dilukai, akan keluar gas tripropanal
sulfoksida. Gas ini termasuk salah satu senyawa aktif eteris dalam bawang
merah yang menyebabkan keluarnya air mata (lakrimator). Bersamaan dengan
keluarnya tripropanal sulfoksida, akan muncul pula bau menyengat yang
merupakan aroma khas bawang merah. Bau ini berasal dari senyawa propil
disulfida dan propil-metil disulfida. Ketika bawang merah ditumis atau
digoreng, senyawa ini akan menebarkan aroma harum. Baik tripropanal
sulfoksida, propil disulfida, maupun propil metal disulfida dapat berfungsi
sebagai stimulansia atau perangsang aktifitas fungsi organorgan tubuh. Jadi,
senyawa-senyawa itu sangat berguna untuk merangsang fungsi kepekaan saraf
maupun kerja enzim pencernaan (Damayanti, 2020).
2.1.3 Mekanisme Kerja Bawang Merah
Komponen bawang merah yang mempunyai potensi sebagai antipiretik adalah
flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol alam. Efek
flavonoid terhadap bermacam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat
menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam
pengobatan tradisional. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase, sedangkan
flavonoid lain menghambat aldoreduktase, monoaminoksidase, protein kinase, DNA
polimerase dan lipooksigenase. Penghambatan siklooksigenase dapat menimbulkan
pengaruh lebih luas karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama pada
jalur yang menuju ke hormone eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan.
Prostaglandin sendiri penting dalam peningkatan hypothalamic therm set point.
Mekanisme penghambatan inilah yang menerangkan efek antipiretik dari flavonoid.
Sehingga salah satu manfaat dari bawang merah yaitu dapat dijadikan sebagai obat
demam atau penurun panas (Maharani, 2019).
Pemberian kompres bawang merah akan memberikan sinyal ke hypothalamus
melalui sumsum tulang belakang. Hypothalamus adalah pusat integrasi utama untuk
memelihara keseimbangan energi dan suhu tubuh, hypothalamus berfungsi sebagai
thermostat tubuh yang secara terus menerus mendapat informasi mengenai suhu kulit
dan suhu inti melalui reseptor-reseptor khusus yang peka terhadap suhu yang disebut
termoreseptor. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hypotalamus dirangsang,
system effektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer. Vasodilatasi merupakan pelebaran diameter pembuluh darah yang terjadi
ketika otot-otot di dinding pembuluh darah mengendur (rileks). Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan panas melalui kulit meningkat, pori-pori
membesar, dan pengeluaran panas secara evaporasi (berkeringat) yang diharapkan
akan terjadi penurunan suhu tubuh mencapai keadaan normal kembali
(Cahyaningrum, 2017).
2.1.4 Pemanfaatan Bawang Merah Dalam Dunia Keperawatan
Prinsip dalam praktik keperawatan yaitu memandang pasien secara
menyeluruh atau holistic, hal tersebut sesuai dengan bentuk terapi komplementer yang
mempengaruhi individu secara menyeluruh dalam segala aspek hingga membentuk
keharmonisan antara aspek biologis, psikologis, dan spiritual dalam diri individu
tersebut. Terapi komplementer dengan pemberian kompres bawang merah dapat
dijadikan salah satu bentuk penatalaksanaan untuk membantu menurunkan demam.
Terapi komplementer sebagai salah satu bentuk dalam kesatuan penatalaksaan
berperan dalam penangan gejala yang ditumbulkan oleh suatu penyakit. Hal tersebut
menjadikan terapi komplementer sangat baik untuk menurunkan demam atau panas
tubuh, dimana demam merupakan suatu tanda gejala dari proses penyakit, satu bentuk
respon alami tubuh terhadap adanya infeksi (Damayanti, 2020).
Perawat dalam memberikan asuhan terhadap pasien, diharapkan tidak hanya
memberikan penatalaksanaan dalam konteks farmakologi namun juga harus
menggunakan konteks non-farmakologi. Pada penatalaksaan demam, perawat bisa
mengaplikasikan terapi kompres bawang merah sebagai bentuk intervensi mandiri,
sebagai bentuk kolaborasi antara intervensi mandiri perawat dengan intervensi medis
yang saling mendukung satu sama lain. Terapi kompres bawang merah juga tidak
menimbulkan efek samping yang berbahaya serta mudah dijangkau oleh masyarakat
dengan biaya yang relatif sedikit (Cahyaningrum, 2017). Bukti penelitian yang
dilakukan oleh Maharani (2019), menunjukkan bahwa setelah diberikan intervensi
terapi manajemen dengan modifikasi penerapan pemberian kompres bawang merah
terdapat penurunan panas tubuh yang signifikan pada pasien dengan masalah
keperawatan hipertermi diagnosis demam thypoid.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulandari, Mulyani, dan Soedibjo
(2017), sangat dibutuhkan edukasi mengenai demam dan penggunaan obat antipiretik
pada orang tua pasien. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah membuat
tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat masih sangat kurang, sehingga
dibutuhkan peningkatan peran serta tenaga kesehatan. Persepsi orang tua yang salah
mengenai penggunaan obat antipiretik, meningkatkan kemungkinan kelebihan dosis
dan meningkatkan fobia terhadap demam. Perlu edukasi mengenai tatalaksana demam
yang tepat kepada orang tua.
Adapun edukasi penatalaksanaan yang bisa diberikan yaitu dengan
memberikan cairan yang lebih banyak, istirahat, membuat nyaman, dan memberikan
pedoman yang tepat kapan memberikan obat dan berobat ke tenaga medis, sehingga
dapat menurunkan fobia demam dan kemungkinan kelebihan dosis. Kemungkinan
kelebihan dosis dapat meningkat karena antipiretik sangat mudah untuk diperoleh,
sedangkan orang tua tidak mengetahui berapa dosis dan frekuensi pemberian yang
tepat. Selain itu, tidak jarang orang tua menggunakan kombinasi antipiretik dan obat
lainnya dalam satu sediaan tanpa mengetahui indikasi tepat penggunaan obat tersebut,
sehingga meningkatkan kemungkinan efek samping obat (Yulandari, Mulyani, dan
Soedibjo, 2017).
Selain itu, perawat dapat berperan dalam pemberian edukasi terkait
penatalaksanaan demam secara non farmakologi pada anak. Perawat dapat
mengedukasi orang tua terkait penggunaan kompres bawang merah sebagai
alternative untuk menurunkan demam anak. Untuk menurunkan demam tersebut,
bawang merah dapat digunakan sebagai obat balur atau kompres. Adapun cara
pembuatannya yaitu 3 sampai 5 siung bawang merah dan bisa juga ditambah minyak
kelapa secukupnya diparut atau dihaluskan. Setelah itu, ramuan dapat dioleskan pada
bagian aksila dan lipatan paha sekali sehari dan maksimal dua kali sehari selama anak
masih demam, satu kali pembuatan hanya untuk satu kali pakai. Kompres sebaiknya
dioleskan pada saat anak sedang tidur agar aroma menyengat bawang merah tidak
mengganggu kenyamanan anak. Pada saat proses pemberian terapi juga harus
memperhatikan pakaian yaitu anak harus mengenakan pakaian yang tipis, karena
pakaian tebal justru akan meningkatkan kenaikan suhu tubuh (Cahyaningrum & Putri,
2017).
Pada perkembangannya, bawang merah sebagai terapi komplementer untuk
demam tidak hanya digunakan dengan teknik kompres, terdapat beberapa penelitian
yang menguji efektivitas ekstrak bawang merah terhadap penurunan suhu tubuh. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Willyanto, Hamid dan Widodo (2018), ekstrak etanol
bawang merah diaplikasikan dengan teknik patch yaitu penghantaran obat secara
transdermal. Ekstrak etanol bawang merah ditempelkan pada punggung tikus yang
telah dicukur bulunya. Setelah pemberian terapi terdapat penurunan suhu tubuh dan
jumlah monosit pada tubuh tikus yang diinduksi vaksin DPT. Dalam hal ini, perawat
dapat melakukan penelitian lebih lanjut agar dapat diaplikasikan dalam pelayanan
kesehatan pada pasien hipertermia dikemudian hari.

2.2.1 Daun Jarak Kepyar


Di Indonesia dikenal lebih dari 20.000 jenis tanaman obat, dan hanya 1.000
jenis tanaman sudah didata. Namun hingga saat ini hanya 300 jenis tanaman yang
sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Salah satu tumbuhan yang
bermanfaat untuk mengobati penyakit secara tradisional adalah tanaman jarak. Di
Indonesia terdapat berbagai jenis jarak, antara lain jarak kepyar (Ricinus communis
L.), jarak ulung (J. gossypifoli L.), jarak bali (J. podagrica H.), dan jarak pagar (J.
curcas L.) yang berpotensi sebagai tanaman obat tradisional (Al-Mamun dkk, 2016).
Dari semua jenis jarak, Ricinus communis merupakan jarak yang memiliki
kegunaan untuk dijadikan sebagai obat terbanyak pada penyakit. Tumbuhan ini
memiliki efek antioksidan, antihistamin, antinosiseptif, antiasma, antiulcer,
immunomedulatory, anti diabetes, hepatoprotektif, antifertilitas, antiinflamasi,
antimikroba, stimulan sistem saraf pusat, lipolitik, penyembuh luka, insektisida, dan
larvacida (Guyton dan Hall, 2013).
Adapun taksonomi Ricinus communis linn yaitu sebagai berikut: (Mutia dan
Oktarlina, 2017)
Kingdom : Plantae
Kelas : Acalypheae
Ordo : Malphigales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Ricinus
Spesies : Ricinus communis linn

Gambar 2. Tanaman Jarak Kepyar (Ricinus communis L)


Sumber: Rumape (2013)
2.2.2 Kandungan Zat Aktif Daun Jarak Kepyar
Daun jarak kepyar (Ricinus communis L.) merupakan tanaman obat yang
termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Daun jarak memiliki kandungan kimia yaitu
mengandung saponin, senyawa flavonoid antara lain kaempferol, nikotoflorin,
kuersetin, astragalin, risinin, dan vitamin C. Pengaruh daun jarak terhadap penurunan
suhu terjadi karena daun jarak mempunyai kandungan salah satunya kuersetin.
Kuersetin adalah senyawa aktif termasuk golongan flavonoid yang banyak ditemukan
dalam tanaman atau tumbuhan dan sayuran, buah-buahan serta biji-bijian. Kuersetin
memiliki banyak manfaat yang dipercaya sebagai anti inflamasi, antioksidan, anti
kanker, antidiabetes, menurunkan kolesterol dan dapat menjadi anti piretik (Mutia dan
Oktarlina, 2017).
2.2.3 Mekanisme Kerja Daun Jarak Kepyar
Demam adalah ketika suhu tubuh mengalami peningkatan diatas suhu tubuh
normal yang terjadi pada tubuh melalui pusat pengaturan suhu tubuh yang berada di
Hypotalamus. Demam dapat dikatakan sebagai gejala pada penyakit, sehingga demam
dapat disebut sebagai reaksi fisiologis dari tubuh saat terjadi infeksi oleh karna
mikroorganisme (bakteri, virus, parasit, jamur), peradangan, tumor dan lainnya.
Demam dapat terjadi pada semua usia. Terapi alternatif yang dapat digunakan untuk
menurunkan demam dapat dimanfaatkan dengan penggunaan tanaman obat yang
memiliki efektivitas sebagai anti- piretik yaitu salah satunya dengan menggunakan
daun jarak kepyar (Ricinus Communis L.). Pengolahan daun jarak kepyar sebagai
antipiretik yaitu dengan cara direbus dan diminum airnya (Mutia dan Oktarlina,
2017).
Mekanisme kerja kuersetin pada daun jarak kepyar dalam menurunkan suhu
tubuh atau menurunkan demam yaitu dengan cara menghambat produksi dan
pelepasan histamin, serta mediator-mediator inflamasi yang dapat memicu terjadinya
demam yaitu prostaglandin, leukotrien, sitokin, makrofag, interleukin-1, interleukin-6,
tumor necrosis factor, dan interferon. Penghambatan mediator pemicu demam terjadi
dengan jalan memblok jalur siklooksigenase (COX-2) dan fosfolipase A2.
Terhambatnya pelepasan asam arakhidonat ini menyebabkan berkurangnya jumlah
substrat asam arakhidonat melalui jalur siklooksigenase sehingga pelepasan
endoperoksida (PGG2, PGH2) yaitu prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin serta
hidroperoksida yaitu leukotrin juga terhambat. Sehingga pelepasan prostaglandin dan
leukotrien (yang berperan dalam proses inflamasi) yang terhambat akan menyebabkan
reaksi demam juga menjadi terhambat sehingga jika digunakan pada saat demam
berlangsung, dapat memiliki efek sebagai penurun demam (Ridha, 2016).

2.3.1 Kunyit
Pengobatan demam dapat dilakukan dengan menggunakan terapi farmakologi
dan non farmakologi. Salah satu pengobatan non farmakologi yaitu dengan
memanfaatkan terapi herbal sebagai antipiretik dan salah satunya yaitu dengan
pemanfaatan tanaman rimpang kunyit. Kunyit merupakan tumbuhan berbatang basah,
tingginya sampai 0,75 m, daunnya berbentuk lonjong, bunga majemuk berwarna
merah atau merah muda. Tanaman herbal tahunan ini menghasilkan umbi utama
berbentuk rimpang berwarna kuning tua atau jingga terang (Rahayu, 2019).
Menurut Damayanti, Ma’ruf dan Wijayanti (2014), kunyit merupakan tanaman
tahunan yang tumbuhnya merumpun. Tanaman kunyit terdiri dari akar, rimpang
(rizoma), batang semu, pelepah daun, daun, tangkai bunga dan kuntum bunga.
Rimpang merupakan modifikasi batang tumbuhan yang tumbuhnya menjalar di
bawah permukaan tanah dan dapat menghasilkan tunas dan akar baru dari ruas-
ruasnya. Rimpang kunyit tumbuh dari umbi utama dengan bentuknya yang bervariasi
antara bulat-panjang, pendek dan tebal lurus ataupun melengkung. Batang tanaman
kunyit relatif pendek dan membentuk tanaman semu dari pelepah daun yang saling
menutupi.
Menurut (Azis, 2019), taksonomi tanaman kunyit dikelompokkan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica Val
Gambar 2. Pohon dan Rimpang Kunyit
Sumber: Suproborini, Laksana dan Yudiantoro (2018)
2.3.2 Kandungan Zat Aktif Kunyit
Kandungan rimpang kunyit adalah minyak asiri, kurkumin, dimetoksin
kurkumin, arabinosa, luktosa, glukosa, pati, tanin, magnesium besi, kalsium, natrium,
dan kalium. Berdasarkan kandungan tersebut rimpang kunyit memiliki efek herbal
atau khasiat untuk menjaga stamina, hepatoprotektor, diuretik, antioksidan,
antiradang, immunomodulator, dan antikanker. Selain itu kunyit juga bersifat anti
inflamasi, antiproliferatif dan antitumor. Rimpang kunyit juga digunakan untuk
menurunkan tekanan darah, obat malaria, sakit perut, memperbanyak ASI, stimulan,
mengobati keseleo, memar, rematik, meredakan batuk, dan antikejang (Mulyani,
Widyastuti, dan Ekowati, 2016).
Rimpang kunyit merupakan salah satu tanaman herbal yang dapat digunakan
sebagai obat demam. Salah satu kandungan senyawa kunyit yang diduga dapat
mengobati demam adalah flavonoid. Efek antipiretik dari ekstrak rimpang kunyit ini
kemungkinan disebabkan oleh kandungan fenol, salah satunya yaitu senyawa
flavonoid. Senyawa flavonoid dalam kandungan rimpang kunyit akan menempel pada
sel imun dan memberikan signyal intraseluler untuk mengaktifkan kerja sel imun agar
lebih baik (Suproborini, Laksana dan Yudiantoro, 2018).
Kandungan zat kimia yang ada dalam rimpang kunyit adalah minyak atsiri,
pati, serat dan abu. Rimpang kunyit kandungan kimianya akan lebih tinggi apabila
berasal dari dataran rendah dibandingkan dengan rimpang kunyit yang berasal dari
dataran tinggi. Komponen utama dalam rimpang kunyit adalah kurkuminoid dan
minyak atsiri. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (Balittro) bahwa kandungan kurkumin dari rimpang kunyit rata-rata 10,92%.
Ada banyak data dan literatur yang membuktikan bahwa rimpang kunyit berpotensi
besar dalam aktifitas farmakologi yaitu sebagai anti inflamasi, anti imunodefisiensi,
anti virus, anti bakteri, anti jamur, anti oksidan, anti karsinogenik, dan anti infeksi
(Damayanti dkk, 2014). Kunyit digunakan dalam berbagai bidang seperti kesehatan,
kuliner dan kosmetik. Pada pengobatan tradisional, kunyit digunakan sebagai
antiinflamasi, antiseptic, antiiritansia, anoreksia, obat luka dan gangguan hati. Selain
itu kunyit juga memiliki khasiat sebagai antipiretik (Azis, 2019).
2.3.3 Mekanisme Kerja Kunyit
Substansi yang dapat menyebabkan demam disebut pirogen dan berasal baik
dari eksogen atau endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh berupa
mikroorganisme seperti bakteri, virus dan jamur. Sedangkan pirogen endogen berupa
molekul kimia seperti kompleks antigen-antibodi, metabolit steroid androgenik dan
sitokin inflamasi (IL-1, IL-6, TNF dan IFN). Pirogen dapat menyebabkan keadaan
demam melalui stimulus hipotalamus. Pirogen eksogen yang masuk ke dalam tubuh
atau zat asing akan dikelilingi dan dilekatkan pada imunoglobulin serta komplemen
yang selanjutnya difagosit oleh makrofag. Proses ini akan melepaskan sejumlah
sitokin pro inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, Interferon (IFN) yang bekerja pada
daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam
arakidonat yang berasal dari membran fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase
A2. Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari
enzim siklooksigenase 2 (COX-2). Kunyit (Curcuma domestica Val) mengandung
senyawa kurkumin yang dapat menghambat aktivitas COX-2. Sehingga ketika terjadi
penghambatan COX-2 maka pembentukan prostaglandin akan terhambat, sehinggal
akan terjadi penurunan suhu tubuh pada keadaan demam (Fahryl dan Carolia, 2019).

2.4.1 Cocor Bebek


Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia dengan lebih dari
30 ribu spesies tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat. Salah satu tanaman
yang banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah cocor bebek (Kalanchoe
pinnata (Lam.) Pers.). Tanaman cocor bebek merupakan jenis tanaman sekulen
(tumbuhan yang mengandung air) yang mampu hidup di daerah kering, panas,
ataupun sejuk, selama daerah tersebut memiliki cahaya yang cukup (Rezani dkk.,
2020).
Sistem klasifikasi cocor bebek sendiri menurut Agustina (2019) sebagai berikut:
Regnum : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliphyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Dicotyledon (berkeping dua / dikotil)
Ordo : Saxifragales
Famili : Crassulaceae
Genus : Kalanchoe
Spesies : Kalanchoe pinnata [Lam] Pers.

Gambar 2.4 Daun Cocor Bebek


Sumber: Tambunan (2018)
2.4.2 Kandungan Zat Aktif Cocor Bebek
Tanaman cocor bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers.) mengandung senyawa
flavonoid, alkaloid, vitamin C, zat asam apel, zat asam lemon, quercetin-3-
diarabinoside, kaempferol-3-glucoside, tannin dan air. Daun cocor bebek
mengandung senyawa-senyawa bufadienolida yang memiliki kerja sebagai
antibakteri, antitumor, insektisida dan mencegah kanker. Seperti briofilin A memiliki
aktivitas antitumor dan briofilin C bekerja sebagai insektisida (Latief, 2012).
Cocor bebek (Kalanchoe pinnata L.) merupakan salah satu tanaman obat yang
sejak lama digunakan sebagai obat tradisional, selain digunakan untuk mengatasi
demam atau penurun panas, secara empiris cocor bebek banyak digunakan untuk
mengatasi bisul, peluruh dahak, radang amandel, luka bakar dan lain lain. Cocor
bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers.) merupakan salah satu tanaman obat yang
sejak lama digunakan sebagai obat tradisional, selain digunakan untuk mengatasi
demam, daun cocor bebek juga bisa menghilangkan nyeri kepala, mengatasi asma,
mengatasi luka, mengatasi perut mulas, menyembuhkan bisul, mengatasi radang
telinga dan lain-lain (Suparni dan Kinoysan, 2012).
2.4.3 Mekanisme Kerja Cocor Bebek
Efek antipiretik yang terjadi pada pemberian ekstrak daun cocor bebek karena
mengandung senyawa flavonoid. Mekanisme kerja cocor bebek ini sama seperti
mekanisme kerja kunyit sebagai antipiretik. Flavonoid pada cocor bebek dapat
menghambat enzim siklosigenase khususnya siklooksigenase2 (COX-2) yang
berperan dalam biosintesis prostaglandin yang merupakan mediator demam sehingga
dapat menurunkan demam (Purwitasari, Yuliet, dan Ihwan, 2017).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mamun, M. A., Akter, Z., Uddin, M. J., Ferdaus, K. M. K. B., Hoque, K. M. F., Ferdousi,
Z., & Reza, M. A. (2016). Characterization and evaluation of antibacterial and
antiproliferative activities of crude protein extracts isolated from the seed of Ricinus
communis in Bangladesh. BMC complementary and alternative medicine, 16(1), 1-10.
Agustina, M. (2019). Identifikasi Perubahan Jalur Fotosintesis Pada Cocor Bebek
(Kalanchoe Pinnata) Melalui Konduktansi Stomata (Studi Deskriptif Sebagai Sumber
Belajar Peserta Didik Materi Fotosintesis SMA Kelas XII Semester Ganjil) (Doctoral
dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
Azis, A. (2019). Kunyit (Curcuma domestica Val) Sebagai Obat Antipiretik. Jurnal Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan, 6(2), 116-120.
Cahyaningrum, E. D. (2017). Pengaruh kompres bawang merah terhadap suhu tubuh anak
demam. Bidan Prada: Jurnal Publikasi Kebidanan Akbid YLPP Purwokerto.
Cahyaningrum, E. D., & Putri, D. (2017). Perbedaan Suhu Tubuh Anak Demam Sebelum dan
Setelah Kompres Bawang Merah. Jurnal Ilmiah Ilmu- Ilmu Kesehatan, V(2), 66-74.
ISSN: 2621- 2366.
Damayanti, S. D. (2020). Penerapan Kompres Bawang Merah Pada Anak Dengan Febris Di
Puskesmas Muara Bungo 1 (Doctoral dissertation, Universitas Perintis Indonesia).
Damayanti, E., Ma'ruf, W. F., & Wijayanti, I. (2014). Efektivitas Kunyit (Curcuma longa
Linn.) Sebagai Pereduksi Formalin Pada Udang Putih (Penaeus merguiensis)
Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan, 3(1), 98-107.
Fahryl, N., & Carolia, N. (2019). Kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai Terapi Artritis
Gout. Jurnal Majority, 8(1), 251-255.
Guyton AC dan Hall JE. (2013). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Jakarta: EGC.
Latief, A. (2012). Obat Tradisional. Jakarta: EGC.
Maharani, N. M. (2019). Pengaruh Kompres Bawang Merah terhadap Penurunan Suhu
Tubuh pada Pasien Demam Thypoid di RS PKU Muhammadiyah Gombong (Doctoral
dissertation, Stikes Muhammadiyah Gombong).
Mulyani, H., Widyastuti, S. H., & Ekowati, V. I. (2016). Tumbuhan herbal sebagai jamu
pengobatan tradisional terhadap penyakit dalam serat primbon jampi jawi jilid I. Jurnal
Penelitian Humaniora Uny, 21(2), 124817.
Mutia, V., & Oktarlina, R. Z. (2017). Efektivitas Daun Jarak Kepyar (Ricinus Communis L.)
Sebagai Anti-piretik. Jurnal Majority, 7(1), 36-41.
Pasaribu, S. (2017). Pengaruh Dosis Pupuk Kompos Gulma Siam Terhadap Pertumbuhan
Dan Hasil Tiga Varietas Bawang Merah (Doctoral dissertation, Universitas Mercu
Buana Yogyakarta).
Purwitasari, H., Yuliet, Y., & Ihwan, I. (2017). Efek Antipiretik Kombinasi Ekstrak Daun
Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata L.) Dan Ekstrak Daun Tembelekan (Lantana camara
L.) Pers. Terhadap Marmut (Cavia porcellus) Dengan Demam Yang Diinduksi
Pepton. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy)(e-Journal), 3(1),
43-48.
Rahayu, S. M. (2019). Tumbuhan Antipiretik Di Desa Sesaot, Kecamatan Narmada,
Kabupaten Lombok Barat. Pharmed: Journal of Pharmaceutical Science and Medical
Research, 2(2), 49-56.
Rezani, M. I., Safira, D., Khalidah, A. S., & Analita, R. N. (2020). Tanaman herbal cocor
bebek (kalanchoe pinnata (lam.) pers.) sebagai kompres dingin untuk menurunkan
demam: sebuah tinjauan. ISBN: 978-623-7533-51-1
Ridha, D. A. (2016). Pengaruh Getah Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Terhadap
Penyembuhan Luka Pada Tikus (Rattus norvegcus) Strain Wistar (In Vivo) (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Suparni, I., & Kinoysan. (2012). Herbal Nusantara: 1001 Ramuan Tradisional Asli
Indonesia. Rapha Publishing.
Suproborini, A., Laksana, M. S. D., & Yudiantoro, D. F. (2018). Etnobotani Tanaman
Antipiretik Masyarakat Dusun Mesu Boto Jatiroto Wonogiri Jawa Tengah. Journal of
Pharmaceutical Science and Medical Research, 1(1), 1-11.
Susanti, D. S. (2015). Pemberian Berbagai Jenis Kompos Pada Pertumbuhan Dan Hasil
Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Di Kabupaten
Enrekang. Agricola, 5(1), 61-69.
Tambunan, L. R. (2019). Uji Efek Antipiretik Dekokta (Rebusan) Daun Cocor Bebek
(Kalanchoe Pinnata Lam) Pada Merpati (Columbia Livia) Parasetamol Sebagai
Pembanding.
Willyanto, J. R., Hamid, I. S., & Widodo, T. (2018). Uji antipiretik patch ekstrak etanol
bawang merah (Allium ascalonicum L.) dengan matriks chitosan dan Enhancer Tween-
80. Jurnal Farmasi Sains dan Terapan, 5(1), 53-58.
Yulandari, I., Mulyani, D. I., & Soedibyo, S. (2017). Persepsi Orangtua Mengenai Demam
dan Penggunaan Antipiretik: Studi Potong Lintang di RSUD Malingping dan RSUPN
Cipto Mangunkusumo. Cermin Dunia Kedokteran, 44(10), 677-683.

Anda mungkin juga menyukai