Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Inspirasi

BPSDM Provinsi Jawa Barat


Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019

Kebijakan Pendidikan Pada Era Industri 4.0 : Proses Pencetakan 100


ribu Wirausaha Baru Jawa Barat

Educational Policy in the Industrial Era 4.0: The Process of Printing


100,000 New Entrepreneurs in West Java

Daniar Ahmad Nurdianto1

Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jawa Barat.


(Naskah Diterima Tanggal 19 November 2019—Direvisi Akhir Tanggal 28 November 2019—Disetujui
Tanggal 06 Desember 2019 )
DOI: https://doi.org/10.35880/ inspirasi.v10i1.119

Abstract
The printing of one hundred thousand new entrepreneurs in West Java is the program of the
elected Governor of West Java, which was carried out over the last five years, 2013-2018.
Implementation of this program is carried out with several procedures such as recruitment,
selection, apprenticeship training and mentoring. The "Jabar Masagi" strategy is a
collaboration between the Government, Academics, the private sector, business associations,
and the media that are the main drivers of the policy process. This research uses qualitative
methods, case studies in vocational education in the industrial era 4.0 from the perspective of
the policy process. This research explores the characteristics of the formation and
implementation of policies that lead to the creation and maintenance of the program. This is a
descriptive analysis of what happened, not a prospective study. The research found that the
disposition and leadership of the implementing agency are important from a top-down policy.

Keywords: Policy Process, Vocational Education, entrepreneurship

Abstrak

Pencetakan seratus ribu wirausaha baru di Jawa Barat adalah program Gubernur
Jawa Barat terpilih yang dilaksanakan selama periode lima tahun terakhir, 2013--
2018. Implementasi program ini dilakukan dengan beberapa prosedur seperti,
perekrutan,seleksi,pelatihan magang dan pendampingan. Strategi “Jabar
Masagi”merupakan kolaborasi antara Pemerintah, Akademisi, sektor swasta, asosiasi
bisnis, dan media yang menjadi penggerak utama dari proses kebijakan. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif, studi kasus dalam pendidikan vokasi di era
industri 4.0 dari perspektif proses kebijakan. Penelitian ini mengeksplorasi
karakteristik formasi dan implementasi kebijakan yang mengarah pada penciptaan
dan pemeliharaan program tersebut. Ini adalah analisis deskriptif tentang apa yang
terjadi, bukan studi prespektif. Penelitian menemukan disposisi dan kepemimpinan
dari badan pelaksana merupakan hal penting dari sebuah kebijakan top down.

Kata Kunci: Proses Kebijakan, Pendidikan Vokasi, kewirausahaan

1 Email: D4niarto3@gmail.com

106 Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019


Jurnal Inspirasi

1. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan laporan kualitatif, studi kasus dalam pencetakan 100 ribu
wirausaha baru (wub) Jawa Barat dalam perspektif proses kebijakan. Tujuan penelitian ini
adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang tercipta dan mendukung proses ini. Dua aspek
proses kebijakan-- penyusunan dan implementasi kebijakan-- memberikan aspek konsep
kerangka pemikiran. Pencetakan 100 ribu wirausaha baru Jawa Barat merupakan janji
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat terpilih 2013--2018. Kebijakan ini dilaksanakan
oleh 13 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) selama kurun waktu 5 tahun terakhir dengan
total target tahunan sebanyak 20.000 wub yang terlatih. Adapun peserta pelatihan tersebut,
penduduk Jawa Barat dari usia 18--55 tahun, berdomisili dan Ber-KTP Jawa Barat. Harapan
pemerintah Jawa Barat adalah setiap wirausaha yang tercetak mampu menciptakan
lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan perekonomian daerah.

2. Tinjauan Teoretis
Thoha (2010) menguraikan panjang lebar tentang proses politik dan perilaku telah
lama menjadi pusat perhatian ilmu politik pada beberapa dasawarsa belakangan ini. Salah
satu tujuan utama yang diinginkan adalah untuk menemukan suatu pola aktivitas atau
proses yang mudah diidentifikasikan. Hasilnya ialah adanya serangkaian proses kebijakan
yang biasanya mengikuti pola umum sebagai berikut:
1. Identifikasi isu-isu strategis; tuntutan-tuntutan untuk kegiatan pemerintah.
2. Perumusan usul-usul Kebijakan; prakarsa dan pengembangan usulan-usulan
program pemerintah.
3. Pengesahan Kebijakan; pemilihan suatu usulan, pembentukan dukungan politik
untuk usulan tersebut, dan pengesahanya sebagai undang-undang hukum.
4. Pelaksanaan Kebijakan; penataan birokrasi, penyediaan gaji dan pelayanan-
pelayanan, dan penetapan-penetapan pajak.
5. Evaluasi Kebijakan; penganalisisan program-program, evaluasi hasil-hasil dan
pengaruhnya, dan menyarankan perubahan-perubahan dan penyesuaian-
penyesuaian.

Dengan demikian, Kebijakan publik dilihat dari model proses ini sebagai suatu
rangkaian kegiatan-kegiatan politik mulai dari identifikasi masalah, perumusan,
pengesahan, pelaksanaan dan evaluasi Kebijakan. Model proses menekankan bagaimana
tahapan aktivitas yang dilakukan di dalam menghasilkan Kebijakan Publik. Model ini
kurang memerhatikan isi subtansi dari Kebijakan yang bakal dibuat. Dengan demikian,
sebagian ahli mengatakan bahwa pandangan-pandangan dari model proses ini terlalu
sempit dibandingkan dengan model yang lain. Walaupun dikatakan sempit, model ini
bagaimanapun mempunyai kegunaan yang besar untuk mengetahui dan memahami aneka
macam kegiatan yang terlibat dalam proses pembuatan Kebijakan (Tahir, 2011). Proses
kebijakan menggambarkan aktor-aktor kebijakan pemerintah yang terlibat serta bersifat
lebih komprehensif dibandingkan model lain. Secara komprehensif Hill (2002)
menggambarkan model proses memiliki karakteristik sebagai berikut.

Tabel 1 :Ringkasan Model Proses Kebijakan


Model Ahli Prinsip Karakteristik Kekuatan Kelemahan
Pendukung pemandu

Model Wlliam, - Bersifat 1. Identifika - Meyesuaikan - Terbatas


politis si dengan proses peranan

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 02 |Desember 2019 107


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019

Proses 1975 - Digolongka persoalan politik sebuah danpartis


n memiliki 2. Agregasi kebijakan ipasi bagi
Rabinovitz kesamaan dan - Menyesuaikan pihak
dkk, 1976 dengan pengorga dengan aktor non
model elit nisasian kebijakan yang pemerint
Fullan dan
dan model 3. Perwakila menyeluruh ah
Pomfret,
kelompok n dan flexible - Keterbata
1977
- Kebijakan 4. Penyusun (termasuk ke san
Lindeblom, ditentukan an agenda dalam model dalam
1980 dan 5. Perumusa elit dan analisis
dilaksanak n kelompok serta rasional
Jones, 1984 an secara 6. Pengesah tahapan dari
interaktif an model
Dye, 1984 7. Pengangg rasional)
aran
8. Implemen
tasi
9. Evaluasi
10. Pengatura
n kembali

Tidak linear,
disesuaikan
dengan
perilaku
aktor
kebijakan

2.1 Kerangka Konseptual


Kerangka konseptual akan menjawab, siapa, melakukan apa dan mengapa? Ini
merupakan faktor ketergantungan dari dimensi ”siapa”aktor kebijakan (pelaku dan
institusi), lalu “apa”, menggambarkan tahapan pembuatan dan implementasi kebijakan
(merupakan atribut model proses kebijakan) , lalu “kenapa” menggambarkan faktor-faktor
berpengaruh terhadap actor kebijakan pada setiap tahapnya.

Tabel 2: Proses Kebijakan suatu kerangka analisis (Thoha, 2010:140)

Aktivitas-aktivitas Pengelompokan dalam Sebagai suatu sistem Hasil


Fungsional Pemerintahan

108 Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019


Jurnal Inspirasi

Persepsi Definisi Persoalan-persoalan Identifikasi persoalan Persoalan untuk


Agregasi dalam pemerintahan tuntutan

Organisasi
Representatif

Tindakan -tindakan
Pengembangan
Formulasi Legitimasi dalam pemerintahan
program Usul-usul untuk
Apresiasi
program anggaran

Dari pemerintahan
Organisasi Interpretasi untuk masalah
Bermacam-macam
Aplikasi Pelaksanaan program
(antara lain:pelayanan,
gaji, fasilitas, control
dsb)
Program untuk
Spesifikasi pemerintah
Pengukuran Analisis Bermacam-macam
Evaluasi Program (antara lain, justifikasi,
rekomendasi dll)

Masalah resolusi
Resolusi Terminasi perubahan
Pemecahan atau
perubahan
Terminasi program

2.2 Tahap-tahap proses kebijakan


Dua tahap dari proses kebijakan adalah tahap formulasi kebijakan dan tahap
implementasi kebijakan. Tahap tersebut akan terbagi menjadi subbagian, identifikasi
masalah strategis,penyusunan agenda, putusan kebijakan, (formulasi kebijakan) dan
penganggaran dan implementasi (implementasi kebijakan).
Dalam formulasi kebijakan, masalah didefinisikan dalam model rasional
menggunakan analisis berdasarkan ilmu pengetahuan. Identifikasi isu kebijakan akan
sangat tergantung kepada persepsi aktor-aktor kebijakan. Penyusunan agenda merupakan
tahap penyelesaian masalah yang terjadi oleh pengambil kebijakan. Tahap pengambilan
keputusan, merupakan tahap akumulasi dari tiga tahap sebelumnya, tetapi tahapan tersebut
tidak harus berurutan (Birkland, 2001).
Implementasi kebijakan berkaitan dengan penerjemahan keputusan kebijakan menjadi
petunjuk operasional, apa dan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan. Setelah petunjuk
tersusun, prosedur administratif dibuat agar rencana dapat dilaksanakan oleh institusi.
Termasuk di dalamnya penentuan objek kebijakan, proses penganggaran dan penentuan
dasar hukum operasional (Heineman et al, 2002). Pelaksanaan penerjemahan sebuah
kebijakan kedalam kegiatan yang memiliki dampak, dengan melibatkan dua aktor, subjek
(pelaksana) dan objek (penerima) kebijakan tersebut.

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 02 |Desember 2019 109


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019

2.3 Aktor-aktor yang terlibat


Aktor kebijakan adalah orang atau organisasi yang berkaitan pencapaian tujuan
kebijakan. Premis dasar dari Model Kelompok, Model Elit dan Model proses adalah sebuah
kebijakan dibuat dan dilaksanakan oleh aktor-aktor yang saling mempengaruhi(Birkland,
2001).
Aktor yang berpengaruh antara lain peserta pelatihan, instruktur, akademisi,
komunitas bisnis, pengusaha, media informasi, pimpinan institusi (dinas). Aktor-aktor
bergerak dinamis, mereka mendapatkan reputasi, posisi dan menciptakan koalisi yang
berpengaruh. “Jabar Masagi” atau Academic, Business, Community, Government, Media
(ABCGM), adalah pentahelix koalisi aktor-aktor kebijakan pencetakan wirausaha baru pada
tahap penguatan implementasi. Tim ABCGM terbentuk atas prakarsa Kepala Dinas (badan
pelaksana) yang melihat kolaborasi merupakan sebuah modal Sumber Daya Manusia (SDM)
dalam pembuatan maupun implementasi kebijakan. Proses pembentukan tim diawali
dengan inisiasi aktif pimpinan badan untuk melibatkan aktor kebijakan nonpemerintah
dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Tim ABCGM yang aktif terlibat adalah
Akademic (akademisi) dari berbagai universitas dilibatkan, UNPAD, ITB, UNWID, Tel-U,
YPKP Sanggabuana, LP3I, dari Business (pelaku usaha), melibatkan BJB, BRI sebagai bank
yang bertanggung jawab dalam menyalurkan kredit bagi UMKM, Community (komunitas),
KADIN Jabar, HIPMI, Komunitas Tangan Di Atas (TDA), IWAPI, GUMKEMINDO, adalah
komunitas pengusaha yang ikut terlibat, Government (pemerintah), OPD pemerintah
Provinsi dan OPD pemerintah kab/kota, Media (media informasi), Strategi bisnis (Strabis)
TV, Bandung TV, TVRI, K-Lite FM, membantu memberitakan informasi ini.

2.4 Faktor-faktor yang berpengaruh


Aktor operasional dalam konteks lokal Jawa Barat. Pengaruh lingkungan
diidentifikasi sebagai berikut ekonomi, pendidikan, masyarakat (demografi dan geografi),
politik, teknologi. Beberapa hal di luar faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku
masyarakat adalah analisis teknis, kesejahteraan keluarga, ideologi dan keinginan pribadi.

3. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian ini menggunakan teknik kualitatif sosial berupa studi kasus.
Menggunakan analisis kualitatif berarti menggali fenomena yang kompleks, sukar dipahami
dan ambigu. Kualitas analisis kualitatif dan bukti empiris yang kuat akan sangat
menentukan derajat penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk:
a. Menguji teori;
b. Memberikan analisis detail dari kejadian;
c. Memberikan perasaan intuitif dari seluk beluk proses kebijakan.
(Hill, 2002:190)

Penggunaan sumber informasi bermacam-macam (triangulasi) untuk menjelaskan


kejadian yang sama. Validitas internal studi kasus ditingkatkan melalui konsesus dari
kejadian yang sama dan bermacam aktor kebijakan, sumber informasi yang bebas. Validitas
external, informasi yang cukup tentang konteks untuk sebuah perwakilan pengalaman dari
proses kebijakan. Reliabilitas atau kehandalan artinya derajat kesesuaian simpulan bila
terjadi pengulangan penelitian. Reliabilitas dari studi kasus tidak dapat dilakukan melalui
tes pengulangan, tetapi berdasarkan stabilitas data setelah tempat dan perubahan yang
direncanakan dapat dipertanggungjawabkan. Dimana penelitian formulasi dan implemetasi

110 Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019


Jurnal Inspirasi

kebijakan sangat ditentukan oleh satu set penelitian melalui jenjang waktu yang terbatas
oleh beberapa pengamat atau beberapa metode pengamatan untuk menguji objek/hal yang
sama akan mengurangi bias dan meningkatkan kehandalan penelitian (Hill, 2002:190).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Proses Kebijakan : Tahap pembentukan kebijakan
Pada setiap fase kebijakan aktor-aktor kebijakan terlibat dan factor lain yang
bepengaruh mendorong para aktor kebijakan untuk bergerak dinamis pada setiap tahapan.
Berbagai subtahapan membantu dalam menjelaskan proses formulasi kebijakan

4.2 Identifikasi isu strategis


Angka tingkat pengangguran terbuka Jawa Barat (Jabar) selama 5 tahun 2008--2012,
memiliki nilai di atas angka pengangguran Nasional. Pada tahun 2008, tingkat
pengangguran terbuka Jabar sebesar 12,28%, sedangkan tingkat pengangguran Nasional
sebesar 8,46%. Selama kurun waktu lima tahun (2008--2012), pemerintah Provinsi Jawa
Barat mampu menurunkan tingkat pengangguran terbuka sebesar 2,5%, diikuti penurunan
tingkat pengangguran terbuka nasional selama lima tahun sebesar 2.14%. Namun
keberhasilan ini dinilai kurang bila dibandingkan dengan angka tingkat pengangguran
nasional, yaitu sebesar 6,32% sedangkan angka pengangguran Jawa Barat sebesar 9,78%.
(BPS, 2015). Bila angka pengangguran ini tidak dapat dikendalikan, maka angka kemiskinan
daerah semakin tinggi. Pemerintah provinsi Jawa Barat, lingkup bidang perencanaan
(BAPPEDA), dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sector ekonomi berusaha untuk
menurunkan angka pengangguran dengan program-program penguatan ekonomi
pedesaan.

4.3 Penyusunan agenda


Tahap penyusunan agenda ditandai dengan beberapa pertimbangan. Bila tingkat
pengangguran terbuka Jawa Barat menurun, maka daya beli masyarakat akan meningkat
dan angka kemiskinan akan turun, hal ini tentunya akan mendorong tingkat kemajuan
perekonomian daerah.
Keberhasilan penyusunan agenda tergantung pada kemampuan pengambil kebijakan untuk
membuat sebuah program yang dapat mengurangi angka pengangguran. Ahmad
Heryawan sebagai kandidat Guberur Jawa Barat 2013--2018, dalam pencalonannya sebagai
gubernur Jawa Barat yang kedua kali, mengangkat isu pengangguran sebagai masalah
utama, sehingga menciptakan sebuah kebijakan 100.000 wub Jawa barat dalam kampanye
janji gubernurnya.

4.4 Perumusan
Dorongan kepada elit kebijakan adalah membuat sebuat program strategis.
Berdasarkan teori kelompok, ada tiga kelompok yang menjadi aktor kebijakan: kelompok di
arena publik (objek kebijakan), administrator/organisasi perangkat daerah, elit
Saat terpilih kedua kalinya Ahmad Heryawan sebagai gubernur Jawa Barat, maka semua
janji kampanye kandidat terpilih, dibuat sebagai kebijakan. Semua janji tersebut dituangkan
ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat (Jabar)
tahun 2013-2018,yang disahkan sebagai PERDA Jabar nomor 13 Tahun 2013 tentang RPJMD
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013--2018 yang diubah melalui PERDA Provinsi Jawa Barat
Nomor 8 Tahun 2017.

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 02 |Desember 2019 111


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019

4.5 Pengesahan
Operasionalisasi pencetakan 100 ribu wub, pemerintah provinsi Jawa Barat membuat
Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 58 Tahun 2014 tentang Pedoman
pencetakan seratus ribu wirausaha baru, yang diubah menjadi Pergub Jabar no 79 Tahun
2015. Pedoman tersebut memuat tahapan pencetakan 100 ribu wub serta OPD pelaksana
program, yang terdiri dari 13 OPD yaitu (1)Dinas Koperasi dan UKM, (2)Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, (3) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi,(4)Dinas
Pertanian Tanaman Pangan,(5)Dinas Perikanan dan Kelautan, (6)Dinas Peternakan, (7)Dinas
Perkebunan, (8) Dinas Kehutanan, (9) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, (10)Dinas Energi
dan Sumber Daya Mineral, (11) Dinas Olahraga dan Pemuda, (12) Dinas Pendidikan, (13)
Dinas Kesehatan. OPD pelaksana mencetak wirausaha berdasarkan jenis usaha UMKM
yang disesuaikan dengan bidang teknis OPD masing-masing.

4.6 Proses Kebijakan :Tahap Implementasi Penganggaran


Proses penganggaran merupakan penjabaran dari biaya yang diperlukan dalam
proses pencetakan wub. Adapun fase dalam proses pencetakan wirausaha baru ini terdiri
dari, (1)proses sosialisasi; (2) seleksi dan wawancara; (3) Pelatihan (in class training); (4)
Pemagangan (company visit); (5) Pendampingan (out class training); (6) Klinik Bisnis;
(7)Monitoring dan Evaluasi. Penganggaran sangat tergantung pada calon peserta yang akan
dilatih berdasarkan target yang telah ditentukan di dalam Pedoman pencetakan wirausaha.
Total anggaran yang diperlukan untuk 100 ribu wub, sebesar 150 milyar rupiah.

4.7 Pelaksanaan
Tahap pertama yang dilakukan adalah membuat kurikulum pelatihan, OPD pelaksana
yang dipimpin oleh Dinas Koperasi dan UKM Jabar, membuat kurikulum pelatihan
berdasarkan kepemilikan usaha dan lamanya peserta dalam berbisnis. Kurikulum pelatihan
mengklasifikasikan peserta kedalam 3 jenis, (1)ide bisnis, calon wirausaha belum memiliki
usaha, (2) start up, wirausaha telah memiliki usaha 0-2 tahun, (3) growth, wirausaha yang
telah berusaha 3-5 tahun. Proses sosialisasi program ini melibatkan PEMDA Kab/kota
sebagai pendukung, selain itu sosialisasi dilakukan ke berbagai media cetak maupun
elektronik.
Pendaftaran dilakukan secara online melalui alamat yang ditentukan
(www.wirausahabarujabar.net/pendaftaran-wub/) maupun secara offline melalui
pemberkasan yang dikirimkan langsung ke alamat dinas. Seleksi dan wawancara calon
peserta pelatihan melibatkan pihak-pihak sinergitas ABCGM (pentahelix) atau “Jabar
Masagi”. Proses wawancara digunakan untuk menggali potensi calon peserta melalui
perencanaan bisnis yang dibuat oleh calon peserta.
Proses pelatihan dilaksanakan selama 3 hari di kelas, dengan pemateri melibatkan ABCGM,
kemudian dilaksanakan 1 hari pemagangan, dengan kunjungan ke UMKM yang berhasil,
untuk menggali success story. Peserta pelatihan ditawari untuk ikut bergabung menjadi
anggota Koperasi Wirausaha Jawa Barat Sejahtera (WJS), koperasi pemasaran khusus bagi
alumni pelatihan WUB. Selain itu, para alumni ditawari ikut ke dalam Komunitas
MARKET-IND, komunitas khusus marketer-marketer produk UMKM Jawa Barat.
Pendampingan usaha dilaksanakan saat alumni pelatihan wub kembali ke tempatnya
masing-masing. Pendamping usaha yang telah ditugaskan, melaksanakan pendampingan
langsung ke tempat usaha, proses ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3 bulan, untuk
melaporkan kemajuan usaha para alumni wub. Gelar produk pameran wub, dilaksanakan
setahun sekali sebagai wujud apresiasi bagi para alumni wub.

112 Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019


Jurnal Inspirasi

Tim ABCGM menjadi sebuah gerakan relawan untuk pengembangan usaha UMKM,
dengan program lanjutan yaitu, UMKM naik kelas. Kelompok tersebut menyeleksi dan
membina 100 UMKM telah dibina saat ini, untuk dijadikan pilot project, dalam peningkatkan
omzet dan asetnya. Program non APBD ini, bermodalkan kolaborasi antara UMKM dan tim
ABCGM yang telah dibentuk untuk kemajuan pembangunan ekonomi Jawa Barat.

5. PENUTUP
Kebijakan pencetakan 100 wub merupakan kebijakan yang sifatnya top down, dalam
proses kebijakannya memerlukan kepemimpinan transformasional dari pimpinan tertinggi
untuk mewujudkan program ini. Kepemimpinan transformasional dalam mempengaruhi
disposisi pimpinan badan-badan pelaksana, sehingga pembuatan kebijakan dan proses
penganggaran menjadi prioritas. Komitmen dari aktor kebijakan non pemerintah dalam tim
ABCGM menjadi modal utama ini yang diperlukan mengingat bahwa program UMKM naik
kelas merupakan gerakan relawan tim ABCGM diluar penganggaran pemerintah. Konteks
sosial yang mempengaruhi proses kebijakan ini adalah, faktor demografi dan pendidikan,
peserta pencetakan wirausaha baru mayoritas adalah penduduk perkotaan yang memiliki
fasilitas teknologi maupun akses informasi yang baik. Proses kebijakan merupakan proses
interaksi dinamis dari actor-aktor kebijakan. Kolaborasi merupakan modal penguatan
pembangunan, untuk membangun ini memerlukan iklim dan budaya organisasi yang baik.
Kebijakan strategis memerlukan single database yang terintegrasi, kesulitan pemprov Jabar
dalam kebijakan ini adalah integrasi data peserta yang interaktif untuk monitoring
kemajuan bisnis UMKM.

DAFTAR PUSTAKA
Birkland, Thomas A.,2001,An Introduction to the Policy Process, M E Sharpe Inc:New York
and London

BPS Jabar, 2015, Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Jawa Barat, sumber
:https://simreg.bappenas.go.id/publikasi/info/49

Heineman, Robert A., William T. Bluhm, Steven A. Peterson and Edward N. Kearny,2002
The World of the Policy Analyst: Rationality, Values and Politics, Chatham House
Publishers: New York

Hill, Ian 2002, The International Baccalaureate : Policy Process in Education, Journal of
Research in International Education 2002, 1:183

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat no 8 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah tahun 2013-2018

Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat no 79 Tahun 2015 tentang Pencetakan Seratus Ribu
Wirausaha Baru Di Daerah Jawa Barat

Tahir, Arifin, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah


Daerah, Jakarta: PT Pustaka Indonesia Press

Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 02 |Desember 2019 113


Jurnal Inspirasi
BPSDM Provinsi Jawa Barat
Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019

Thoha, Miftah, 2010, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Permada media


Group: Jakarta

Website :

www.wirausahabarujabar.net/pendaftaran-wub/

114 Jurnal Inspirasi | Volume 10 | Nomor 2 | Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai